10.5 Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "10.5 Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP)"

Transkripsi

1 10.5 Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan ialah strategi yang tersusun atas berbagai aksi tindak (action plan) yang diarahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang suatu kawasan konservasi. Pencapaian tujuan dari pengelolaan kawasan konservasi hanya bisa terlihat dalam jangka panjang. Sedangkan kalender kegiatan biasanya berumur satu tahun. Oleh karena itu, rencana pengelolaan kawasan konservasi biasanya dibagi dalam 3 (tiga) kategori: rencana pengelolaan jangka panjang, rencana pengelolaan jangka menengah dan rencana pengelolaan jangka pendek. Rencana pengelolaan jangka pendek sering disebut rencana kerja tahunan (RKT) sesuai dengan kalender proyek pada umumnya. Rencana jangka menengah ialah tata waktu pencapaian antara jangka pendek dengan jangka panjang. Umumnya rencana pengelolaan jangka panjang dibuat untuk berlaku dalam waktu 25 tahun. Sedangkan rencana jangka menengah berlaku untuk periode 5 (lima) tahun. Namun tata waktu ini bukan ketentuan baku, tergantung dari tujuan dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan konservasi Pendekatan Proses pengelolaan atau manajemen Kawasan Konservasi Perairan, seperti pada umumnya, bisa dibedakan dalam 5 (lima) langkah berurutan, ialah: batasan kerja konservasi kawasan, pembuatan strategi konservasi dalam bentuk rencana pengelolaan, implementasi, monitoring capaian sukses, dan adaptasi strategi sebagai bentuk pengelolaan yang adaptif (Gambar 10.6). Proses awal dimulai dari batasan kerja pengelolaan. Namun secara keseluruhan, semua proses merupakan kesatuan yang utuh dan bersifat siklik. Hasil monitoring selalu bisa digunakan untuk evaluasi dan penyempurnaan. Semua proses ini harus dilakukan dan didokumentasikan dalam rencana pengelolaan. Jadi, rencana pengelolaan mencakup dokumentasi semua proses dalam pengelolaan kawasan konservasi secara utuh, dari awal sampai akhir satu tahapan siklus pengelolaan, baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Batasan kerja proyek pengelolaan terdiri dari tim penyusun strategi dan rencana pengelolaan, deskripsi kawasan konservasi dan target konservasi. Kata proyek diartikan sebagai suatu set aksi yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi untuk mencapai tujuan atau sasaran konservasi yang sudah didefinisikan dengan jelas. Skala kisaran proyek bisa bervariasi dari sebuah usaha masyarakat lokal untuk melindungi terumbu karang di depan desa sampai pada usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengelola sebuah Taman Nasional Perairan yang luasnya mencapai ribuah ha. Target didefinisikan sebagai seperangkat spesies, komunitas, habitat dan/atau sistem ekologi yang dipilih untuk mewakili kawasan yang ingin dikonservasi. Target merupakan dasar untuk menentukan sasaran, tindakan dan mengukur keberhasilan usaha konservasi. Sebagai contoh, sebuah target konservasi ialah terumbu karang. Keberhasilan usaha konservasi ditentukan jika tingkat kesehatan habitat terumbu karang semakin baik. Dengan cara yang sedikit berbeda, keberhasilan usaha konservasi bisa ditentukan dari keberhasilan menurunkan ancaman terhadap target (terumbu karang) dengan menurunnya ancaman terhadap target, secara otomatis tingkat kesehatan target (terumbu karang) akan meningkat. 364 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

2 Gambar Rangkaian pendekatan atau proses yang sering digunakan dalam penyusunan dokumen rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (Sumber: diadaptasi dari Foundation of Success, The Nature Conservancy, 2007). Strategi ialah rangkaian aksi yang luas, dirancang untuk melindungi target konservasi, menurunkan (mengatasi) ancaman dan/atau membangun kapasitas. Istilah strategi secara spesifik digunakan sebagai payung untuk menjelaskan tindakan atau aksi konservasi. Strategi konservasi secara praktis diterjemahkan sebagai dokumen rencana pengelolaan. Sebagai contoh, zonasi ialah suatu strategi untuk mengurangi tekanan penangkapan namun memberikan peluang kepada nelayan secara terbatas untuk tetap melakukan penangkapan pada tempat-tempat yang telah ditentukan. Ketika program konservasi mulai dijalankan, pengelola juga melakukan kegiatan monitoring. Monitoring sukses ialah kegiatan koleksi informasi atau data yang dibutuhkan untuk menunjukkan bahwa strategi sudah mencapai sasaran atau tidak data atau informasi yang dikumpulkan merupakan indikator yang kuat tentang keberhasilan strategi. Hasil monitoring menjadi informasi bagi pengelola untuk melakukan evaluasi terhadap strategi konservasi. Jika hasil monitoring tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, strategi pengelolaan bisa diadaptasi atau disempurnakan agar bisa mencapai sasaran konservasi secara efektif. Dengan metode ini, rangkaian pengelolaan dimulai lagi secara siklik Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Tahapan Proses Model PHKA Gambar Menyajikan contoh tahapan proses pembuatan rencana pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan ketentuan dari PHKA. Pada tahap awal, perencana harus mempertimbangkan tiga hal utama, ialah: kondisi kawasan saat ini, praktek pengelolaan kawasan saat ini dan rencana pembangunan wilayah. Ketiga faktor tersebut dianalisis untuk mendapatkan peluang dan hambatan yang mungkin akan dihadapi dalam setiap strategi konservasi. Dari kondisi riil 365 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

3 tersebut, perencana menentukan tujuan atau sasaran dari pengelolaan kawasan dalam jangka waktu tertentu dan menentukan perangkat hukum yang akan digunakan dalam pengelolaan kawasan. Hasil akhir ialah suatu strategi konservasi jangka panjang, berupa dokumen Rencana Pengelolaan 25- tahun. Dari dokumentersebut, dibuat rencana kerja 5-tahun dan rencana kerja tahunan (RKT). Semua sasaran dalam rencana kerja jangka pendek selalu diarahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang (25 tahun) yang telah ditetapkan. Gambar Tahapan dalam proses penyelesaian Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (25- tahun) kawasan konservasi berdasarkan ketentuan PHKA (Sumber: Alder et al., 1994). Penyusunan rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, seperti disajikan pada Gambar 10.7, memperhatikan beberapa ketentuan dasar sebagai berikut: Tim kerja multi-sektor kawasan konservasi selalu berada dalam wilayah propinsi atau kabupaten tertentu dan PHKA selalu mempertimbangkan rencana pembangunan wilayah regional maupun daerah. Oleh karena itu tim kerja yang mempersiapkan rencana pengelolaan kawasan akan terdiri dari instansi pemerintah yang berbeda, dari tingkat pusat 366 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

4 maupun daerah. Rencana Pengelolaan 25 tahun Taman Nasional Komodo ditanda tangani bersama oleh Bupati Manggarai dan Gubernur Nusa Tenggara Timur; Tim multi-disiplin penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi memerlukan anggota tim dari keahlian yang berbeda. Penilaian kondisi kawasan saat ini, paling tidak memerlukan ahli dari biologi dan ekologi secara bersama. Dalam menyusun strategi konservasi, perencana juga akan melibatkan ahli dibidang hukum dan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi Integrasi aturan zonasi ke dalam rencana pengelolaan dokumen rencana pengelolaan mencakup strategi yang sangat luas. Zonasi ialah salah satu strategi yang harus diintegrasikan dalam rencana pengelolaan kawasan secara keseluruhan Identifikasi hambatan rencana pengelolaan disusun karena adanya ancaman terhadap kawasan konservasi. Strategi konservasi dibuat untuk menurunkan ancaman dan/atau meningkatkan status kesehatan kawasan; Identifikasi peluang strategi konservasi (rencana aksi) selalu memperhatikan kemanpuan sumber daya seperti jumlah dan kapasitas pengelola, pendanaan dan keberlanjutan pengelolaan dalam jangka panjang Perangkat Lunak Miradi Sejak awal tahun 2000an, pemerintah bersama organisasi non-pemerintah (LSM) telah berhasil mengidentifikasi suatu pola standar (standard lexicon) dalam menyusun rencana pengelolaan kawasan. Tahapan proses dalam penyusunan rencana pengelolaan pada dasarnya terdiri dari: (1) tentukan taget konservasi, (2) identifikasi ancaman langsung terhadap target konservasi, (3) analisis sumber ancaman dan penentuan prioritas ancaman (threat rating), (4) kembangkan strategi dan rencana aksi untuk menurunkan ancaman dan/atau meningkatkan status kesehatan target konservasi, dan (5) tentukan perangkat monitoring untuk mengukur keberhasilan strategi. Target didefinisikan sebagai seperangkat spesies, komunitas dan/atau sistem ekologi yang dipilih untuk mewakili dan mencakup keanekaragaman hayati atau sumber daya di dalam kawasan yang ingin dikonservasi. Target merupakan dasar untuk menentukan sasaran-sasaran, melaksanakan tindakan-tindakan konservasi, dan mengukur keefektifan konservasi. Secara teori, dan diharapkan secara praktis di tingkat lapang, target konservasi akan menjamin perlindungan semua keanekaragaman hayati (perikanan) yang ada dalam bentang alam fungsional suatu kawasan konservasi. Ancaman atau threat didefinisikan sebagai sebuah agen (bahan hampiran) atau faktor yang secara langsung menurunkan satu atau lebih target konservasi. Sebagai contoh, penangkapan berlebih ialah ancaman terhadap terumbu karang yang menjadi target untuk dikonservasi. Penangkapan berlebih bisa disebut sebagai ancaman terhadap target ikan yang menjadi tujuan penangkapan nelayan. Sumber ancaman ialah tindakan atau peristiwa yang didorong oleh manusia, yang mendasari atau menyebabkan adanya satu atau lebih ancaman langsung (direct threat). Sebagai contoh, harga ikan karang yang tinggi termasuk sebagai sumber ancaman, yang mendorong nelayan untuk melakukan penangkapan secara berlebih atau menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (dan mengancam target konservasi). 367 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

5 Strategy ialah serangkaian tindakan luas yang dirancang untuk memulihkan kesehatan (viabilitas) target, mengurangi ancaman (threat), dan/atau meningkatkan kapasitas pengelolaan. Strategi biasanya digunakan sebagai payung untuk menjelaskan seperangkat tindakan konservasi tertentu. Sebagai contoh zonasi ialah salah satu strategi untuk membatasi penangkapan secara berlebih pada wilayah tertentu di dalam kawasan. Aturan zonasi dilakukan melalui tahapan tindakan atau aksi yang disebut aksi konservasi. Monitoring ialah kegiatan pemantauan yang dilakukan secara berulang untuk menilai dampak keberhasilan tindakan konservasi dalam mengurangi ancaman atau meningkatkan status kesehatan target konservasi. Sebagai contoh misalnya, mengukur tingkat kesehatan Terumbu Karang yang dilakukan setiap tahun atau setiap dua tahun sekali. Jika dalam periode tertentu, tingkat kesehatan terumbu karang meningkat, dia digunakan sebagai indikator bahwa program atau tindakan konservasi sudah berada pada jalan (track) yang sesuai. Sebaliknya, tindakan konservasi dikatakan belum berhasil. Berbagai instansi mengembangkan prinsip dasar ini dengan pendekatan dan metode yang berbeda-beda. Sampai tahun 2002, paling tidak, ada dua kawasan konservasi di Indonesia (Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Lore Lindu) yang menerapkan metode ini. Rencana Pengelolaan 25-tahun Taman Nasional Wakatobi yang dilakukan pada tahun juga menggunakan pendekatan ini dengan cara yang berbeda. Untuk menghindari berbagai variasi tersebut, praktisi konservasi bersama pemerintah membentuk tim yang disebut Conservation Measure Partnership (CMP). Sistem kemitraan ini berhasil menyusun program standar terbuka (open standard) dalam menyusun rencana pengelolaan kawasan konservasi. Program standar terbuka tersebut dituliskan dalam bentuk perangkat lunak yang disebut Miradi. Miradi tersedia dalam bentuk free-ware yang bisa diunduh melalui Tim Pengelola Kawasan Pada akhirnya, rencana pengelolaan harus dijalankan sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan dalam rencana pengelolaan 25-tahun, rencana pengelolaan 5-tahun, maupun rencana kerja tahunan. Rencana kerja tersebut akan dilaksanakan oleh suatu badan atau institusi pengelola kawasan. Pengelolaan kawasan bisa dilakukan oleh satu instansi tertentu, atau gabungan dari beberapa instansi, bahkan bisa terdiri dari sistem perwakilan berbagai komponen masyarakat. Dalam sejarah perkembangan pengelolaan sumber daya maupun kawasan konservasi, Indonesia berpengalaman menjalankan dua sistem yang berbeda, ialah: model pengelolaan kawasan berbasis masyarakat, dan model pengelolaan berbasis pada pemerintah formal. Ketika suatu kawasan konservasi berada pada lokasi yang terisolasi dan sulit dijangkau oleh pemerintah, masyarakat lokal akan membuat kesepakatan melalui aturan non-formal untuk mengelola pemanfaatan sumber daya berbasis masyarakat (community-based management). Contoh ini sudah kita diskusikan sebelumnya, termasuk diantaranya ialah: Sasi Laut di Maluku dan Papua, Nyale di Sumba, Awig-Awig di Lombok atau Panglima Laot di Aceh. Sistem pengelolaan kawasan konservasi yang berkembang saat ini di Indonesia ialah berbasis pada pemerintah. Hal ini tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945, Pasal 33 (3), sebagai berikut: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun demikian, pemerintah secara bertahap mulai menyerahkan sebagian urusan pengelolaan sumber daya kepada Pemerintah Daerah maupun masyarakat. 368 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

6 Sejak 30 tahun yang lalu, sistem pengelolaan sumber daya berkembang dan mengarah pada konsep alternatif yang disebut pengelolaan secara bersama. Model ini sering disebut dengan istilah co-management atau collaborative management, kolaborasi kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam maupun konservasi kawasan. Kolaborasi, pada banyak teks, didefinisikan sebagai usaha untuk berbagi wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dengan masyarakat berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya maupun kawasan konservasi. Tingkatan dalam kolaborasi ini akan berbeda-beda, sesuai dengan kondisi lokal dan dinamika antara pemerintah dan masyarakat berkepentingan. Masing-masing tingkatan dicirikan berdasarkan besarnya atau intensitas interaksi diantara kedua pihak. Gambar Menyajikan berbagai tingkatan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya atau kawasan konservasi. Pada bagian sebelah kiri menggambarkan sistem pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah (state-base management). Sedangkan pada bagian kanan menunjukkan sistem pengelolaan yang dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat (community-base management). Sedangkan ruang diantaranya menunjukkan intensitas kolaborasi dalam pengelolaan sumber daya. Jika intensitas interaksi lebih banyak berada di sebelah kiri, artinya sistem kolaborasi lebih condong didominasi oleh pmerintah. Sedangkan interaksi yang mengarah ke bagian kanan condong lebih didominasi oleh masyarakat. Jadi kolaborasi ialah suatu kompromi dalam berbagi tanggung jawab dan wewenang. Inisiatif kolaborasi harus dimulai oleh pihak penguasa (pemerintah). Intensitas kolaborasi yang paling awal dimulai dari tingkat penyampaian informasi oleh pemerintah kepada masyarakat tentang rencana atau ketentuan dalam pengelolaan sumber daya. Intensitas kedua ialah pelibatan masyarakat melalui konsultasi, demikian selanjutnya. Semakin banyak indikator tersebut (Gambar 10.8) terpenuhi, semakin tinggi instensitas pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Demikian sebaliknya. Gambar Berbagai tingkatan kolaborasi antara sistem yang berbasis pada pemerintah dan berbasis masyarakat (Sumber: diadopsi dari Pomeroy & Berkes, 1997) 369 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

7 Akhir-akhir ini Pemerintah memulai inisiatif untuk melakukan pengelolaan kawasan secara kolaboratif bersama para pihak. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/04 tentang kolaborasi pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam peraturan tersebut, pemerintah merasa perlu untuk melakukan sistem kolaborasi untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan kolaborasi ini sudah mulai dicobakan pada tingkat implementasi. Contoh yang bisa dilihat ialah Taman Nasional Bunaken dengan membentuk Dewan Pengelola Taman Nasional Bunaken (DPTNB), Taman Nasional Gede Pangrango, Taman Nasional Bukit Dua Belas dan Taman Nasional Komodo. Pengelola kawasan konservasi yang menggunakan sistem kolaborasi akan terdiri dari beberapa instansi yang bergabung secara bersama dalam berbagi tanggung jawab dan wewenang. Sebagai contoh ialah alternatif Dewan Pengelola (Komodo Collaborative Management Board) yang pernah diajukan untuk Taman Nasional Komodo. Pengelola kawasan konservasi terdiri dari perwakilan para pihak berkepentingan atau stakeholder, sebagai berikut: perwakilan DitJen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Jakarta, Kepala Balai Taman Nasional (BTN), perwakilan pihak swasta (PT. Putri Naga Komodo), Bupati Manggarai Barat sebagai perwakilan Pemerintah Daerah dan satu orang perwakilan dari masyarakat pengguna kawasan. Dewan pengelola bergabung untuk menentukan garis besar kegiatan yang akan dilakukan selama setahun ke depan. Masing-masing perwakilan mempunyai satu suara dalam menentukan arah kebijakan dan kegiatan di dalam taman nasional. Pelaksanaan program di tingkat lapang dibedakan menjadi dua, ialah: pengelolaan kawasan (penegakan aturan zonasi, monitoring dan penyuluhan) dan pengelolaan eko-wisata. Pengelolaan konservasi kawasan dilakukan oleh pihak taman nasional yang sudah sangat berpengalaman dalam menjalankan kegiatan konservasi. Sedangkan pengelolaan eko-wisata dan mekanisme pendanaan jangka panjang menjadi tanggung jawab pihak swasta (PT. Putri Naga Komodo) yang diharapkan bisa berperan secara profesional. Dalam pelaksanaan konservasi dan ekowisata, masyarakat akan bersinggungan dengan aturan konservasi dan kepuasan dalam pelaksanaan eko-wisata. Ketidak puasan ini bisa diselesaikan dalam tiga tahap (grieven mechanisms). Pada tahap pertama, masyarakat bisa menyelesaikan konflik pada tingkat lapang dengan masing-masing petugas yang bertanggung jawab langsung dalam bidangnya. Jika tidak puas, pengguna atau masyarakat bisa menyampaikan nota protes langsung kepada pihak BTN. Jika hal ini juga tidak memuaskan, masyarakat bisa menyampaikan nota ketidak puasan ini melalui perwakilan di tingakt Dewan Pengelola. Dengan sistem ini masing-masing pihak akan terwakili dan berbagai pihak bisa saling berinteraksi dan saling memperbaiki untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kawasan konservasi (Gambar 10.9) 370 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

8 Gambar Bentuk alternatif kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi yang pernah diajukan sebagai alternatif untuk Taman Nasional Komodo Monitoring Sukses Monitoring ialah suatu pengamatan yang dilakukan secara berulang, dengan metode yang sama, dengan tujuan untuk mengukur perubahan yang terjadi sebagai dampak dari kegiatan atau aksi pengelolaan. Parameter monitoring harus bisa menjamin bahwa perubahan yang terjadi merupakan dampak dari aksi konservasi, bukan oleh faktor lain, selain aksi konservasi. Namun menentukan parameter yang akan dimonitor harus efektif tidak semua parameter harus dimonitor, dengan memperhatikan tenaga dan dana yang tersedia untuk keperluan ini. Sebagai contoh, pengelolaan suatu kawasan konservasi ditujukan untuk mengurangi tekanan penangkapan di wilayah larang-ambil, ialah pada lokasi penangkapan ikan (fishing ground) nelayan. Kegiatan monitoring ialah dengan mencatat jumlah Crown-Of-Thorn (COT) setiap 6 (enam) bulan sekali. Strategi monitoring seperti ini jelas tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan Tujuan Monitoring Secara umum, tujuan utama dari monitoring ialah sebagai berikut: Memberikan informasi agar pengelolaan bisa adaptif, Mengukur kinerja pengelolaan. Menunjukkan keberadaan pengelola di lapangan Memberikan informasi tentang pengelolaan pengelolaan suatu Kawasan Konservasi Perairan hanya efektif bila didasarkan pada pengetahuan yang tepat tentang bagaimana manusia mempengaruhi keberadaan sumber daya di dalam kawasan. Pengukuran ancaman, rancangan strategi dan pengukuran untuk menurunkan berbagai ancaman, memerlukan informasi yang terkini 371 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

9 tentang: siapa yang melakukan apa, dimana dan kapan di dalam kawasan. Informasi ini hanya akan dapat diperoleh melalui monitoring secara berkala. Misalnya, monitoring pemanfaatan sumber daya dapat menunjukkan tipe atau jenis perikanan yang baru berkembang di dalam suatu kawasan. Aktifitas ini memerlukan reaksi pengelola secara cepat dan tepat untuk menghindari berkurangnya stok ikan. Jika aktifitas yang baru ini bisa mempengaruhi perikanan, strategi pengelolaan harus bisa adaptif dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di tingkat lapang. Mengukur kinerja: pengelola kawasan harus bisa menunjukkan kepada publik bahwa dana pengelolaan kawasan memang sudah dimanfaatkan secara efektif. Selain tanggung jawab secara akunting, pengelola juga akan berhadapan dengan audit secara programatik. Sebagai contoh, apabila pengelola bermaksud untuk mengurangi tekanan penangkapan di wilayah larang-ambil, hal ini tidak hanya ditunjukkan dari frekuensi atau jumlah patroli petugas saja. Pengelola juga harus bisa membuktikan bahwa jumlah orang yang menangkap ikan pada wilayah larang-ambil sudah mengalami penurunan, atau dengan kata lain, jumlah pelanggaran sudah mengalami penurunan. Mempertahankan keberadaan petugas pengelola di tingkat lapang: kegiatan monitoring juga membantu untuk menunjukkan keberadaan pengelola pada tingkat lapang. Hal ini akan mengurangi kemungkinan pengguna kawasan untuk melakukan hal-hal yang melanggar aturan pengelolaan. Jika keberadaan pengelola relatif rendah, maka kecenderungan pelanggaran tentu saja akan meningkat tanpa diketahui oleh pengelola Jenis Monitoring Seperti telah disebutkan, jenis kegiatan monitoring sangat beragam. Namun pada dasarnya kegiatan ini bisa dibedakan dalam 4 (empat) kategori, ialah: (1) monitoring biologi atau ekologi, (2) monitoring sosial-ekonomi, (3) monitoring pola pemanfaatan sumber daya, dan (4) monitoring insidental. Beberapa kegiatan monitoring ada yang bisa mengukur dampak dari aksi pengelolaan secara langsung. Jenis monitoring lainnya hanya bisa mengukur dampak aksi konservasi setelah beberapa lama. Sebagai contoh, suatu aksi konservasi ialah patroli dan penegakan aturan wilayah larang-ambil. Untuk itu, pengelola kawasan melakukan patroli wilayah larang-ambil secara teratur, misalkan 2 hari setiap periode 10 hari. Sebelum patroli diterapkan, petugas mencatat sekitar 10 nelayan menangkap ikan dalam setiap 1 ha wilayah larang-ambil. Pada waktu yang ditentukan, kegiatan patroli dan penegakan aturan mulai diterapkan. Bersama itu, petugas juga mengamati nelayan yang beroperasi di wilayah larang-ambil. Jika jumlah ini berkurang maka aksi konservasi bisa dikatakan berdampak langsung terhadap perubahan di dalam kawasan. Sebaliknya, kegiatan patroli tidak langsung berdampak positif terhadap peningkatan jumlah dan ukuran ikan di dalam wilayah larang-ambil. A. Monitoring Dampak Langsung Sejak tahun 1996, Taman Nasional Komodo mempunyai fasilitas (speedboat), tenaga (bantuan kepolisian) dan dana yang mencukupi untuk melakukan patroli rutin di laut. Sebelumnya, kegiatan patroli hanya dilakukan di darat dan dipusatkan pada pos-pos Jagawana yang berjumlah 8 (delapan) unit di seluruh kawasan. Petugas mencatat (memonitor) jumlah suara ledakan bom ikan yang dilakukan di laut dan terdengar dari pos jaga. Mereka mencatat rata-rata antara kali suara bom ikan yang terjadi setiap bulannya (Gambar 10.10). 372 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

10 Pada akhir bulan Mei 1996, pengelola taman nasional memutuskan untuk memulai patroli rutin dengan petugas kepolisian. Setiap pengguna alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (bom dan potas) langsung ditindak dan dikenakan sanksi hukum oleh petugas. Hal ini menimbulkan dampak yang cukup besar pada tingkat pengguna atau nelayan. Pengguna alat yang tidak ramah lingkungan merasa dirugikan dan menyampaikan nota protes kepada pengelola kawasan. Selain itu, beberapa nelayan melakukan perlawanan di tingkat lapang. Namun nota ini harus dikalahkan dengan dasar hukum (UU No. 9 tahun 1985 tentang perikanan, dan UU No. 5 tahun 1990). Polisi menyatakan argumentasi bahwa penangkapan ikan dengan menggunakan alat tidak ramah lingkungan dilarang pada seluruh wilayah perairan di Indonesia. Sebagian nelayan secara sembunyisembunyi masih berusaha untuk melakukan operasi dengan resiko terkena sanksi jika ketahuan petugas. Pada tahun 2000, Dinas Perikanan Kabupaten Manggarai menyampaikan Surat Edaran yang melarang penggunaan bom dan kompresor hookah pada seluruh wilayah perairan Manggarai, terutama Taman Nasional Komodo. Surat edaran ini memperkuat polisi untruk mengambil tindakan yang diperlukan dan nelayan pengguna bom ikan semakin terbatas. Petugas pos jagawana terus mencatat (melakukan aktifitas monitoring) jumlah suara bom ikan yang terdengar dari pos jaga. Hasil monitoring disajikan pada Gambar Jumlah insiden penggunaan bom ikan langsung menurun, dan hal ini dipastikan sebagai dampak langsung dari aksi konservasi berupa patroli rutin di dalam wilayah larang-ambil. Hasil analisis ini telah dilaporkan oleh pengelola kepada pihak atasan untuk menunjukkan dampak langsung dari aksi konservasi. Grafik di bawah merupakan contoh pembelajaran tentang bagaimana monitoring bisa menunjukkan perubahan yang terjadi di dalam kawasan. Gambar Hasil dari program monitoring sumber daya, menunjukkan efektifitas pengelolaan. Jagawanana atau Polisi Hutan. Jagawana memonitor pemanfaatan sumber daya oleh nelayan pengguna bom ikan dengan mencatat frekuensi suara bom ikan yang terdengar dari pos jaga di darat. Setelah menerapkan program patroli pengamanan gerak cepat, insiden pengeboman ikan berkurang secara nyata. Grafik ini menunjukkan pesan yang kuat dalam efektifitas program konservasi kawasan kepada masyarakat dan pihak terkait. 373 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

11 B. Monitoring Biologi Monitoring biologi termasuk didalamnya kegiatan pemantauan lingkungan dan habitat yang mengalami perubahan sebagai dampak dari aksi atau kegiatan konservasi. Sebagai contoh, jika kegiatan patroli bisa menurunkan kejadian bom ikan yang dilakukan masyarakat nelayan, hal ini tentu saja akan berdampak positif dengan meningkatnya tutupan karang hidup di dalam kawasan. Namun perlu disadari bahwa peningkatan ini tidak akan terjadi secara langsung dalam waktu yang relatif pendek. Terumbu karang membutuhkan waktu selama beberapa tahun untuk pulih. Untuk itu, pengelola kawasan Taman Nasional Komodo melakukan inisiatif untuk mengukur tutupan karang keras setiap dau tahun sekali. Hasil analisis disajikan pada Gambar 5.9 (lihat juga pada Bab V sebelumnya). Hasil kegiatan monitoring karang selama 8 tahun menunjukkan indikasi bahwa tutupan karang keras di dalam kawasan (wilayah larang-ambil) mengalami peningkatan. Pada awal patroli dijalankan, tutupan karang keras hidup mencapai sekitar 15%. Setelah 8 (delapan) tahun program konservasi, tutupan karang keras telah meningkat menjadi sekitar 26%. Program patroli dinyatakan berhasil dan memberikan dampak pada perubahan biologi yang terjadi di dalam kawasan. Namun hal ini baru diketahui sekitar 8 (delapan) tahun kemudian, dari saat aksi konservasi mulai dijalankan. Pada tahun 1998, pengelola kawasan juga melakukan monitoring terhadap jumlah induk ikan karang yang melakukan pemijahan pada waktu-waktu tertentu. Jenis kegiatan ini disebut monitoring SPAGs (Spawning Aggregation Sites). Hasil monitoring disajikan pada Gambar Selama periode 5 (lima) tahun, jumlah induk ikan karang ternyata mengalami penurunan, sebagai indikasi terjadinya penangkapan berlebih (over-fishing) terhadap populasi induk ikan karang. Penangkapan berlebih dilakukan secara bersama, baik oleh alat tangkap destruktif (tidak ramah lingkungan dan ilegal) maupun oleh alat tangkap yang diijinkan beroperasi di dalam kawasan. Hasil monitoring (Gambar 10.10) menunjukkan bahwa pengelola kawasan telah berhasil melarang penggunaan alat tangkap destruktif (bom dan racun sianida melalui penggunaan kompresor hookah). Namun, pengelola kawasan belum berhasil menghindari kawasan dari usaha pengambilan berlebih yang dilakukan oleh nelayan dengan alat tangkap legal. 374 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

12 Gambar Jumlah populasi induk ikan karang pada lokasi pemijahan ikan yang dimonitor dalam periode (Sumber: Pet et. al., 2005) C. Monitoring Pemanfaatan Sumber daya Monitoring Pemanfaatan Sumber daya (MPS) didefinisikan sebagai suatu kegiatan dimana suatu tim melakukan survei lapang pada suatu daerah tertentu untuk mengetahui apa tipe-tipe pemanfaatan sumber daya yang ada, kapan, dimana, dan oleh siapa. Pemanfaatan sumber daya pada konteks ini diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya laut yang dapat diperbarui (alam hayati), termasuk pemanfaatan ekstraktif (penangkapan ikan, pengambilan batu karang, dll) dan pemanfaatan non-ekstraktif (pariwisata, pendidikan, dll). Memonitor pemanfaatan sumber daya bisa dilakukan secara in-situ, ialah pengamatan yang dilakukan di tempat peristiwa tersebut terjadi. Monitoring pemanfaatan juga bisa dilakukan secara ex-situ, misalnya melalui analisis data dari tempat pelelangan ikan. Secara khusus, tim lapang akan menggunakan perahu/speed boat untuk mengelilingi suatu area, mewawancarai nelayan dan pengguna lainnya yang ditemui di laut ketika sedang menangkap ikan atau melakukan aktifitas, beristirahat atau melintasi kawasan untuk pindah tempat. Kegiatan keliling ini akan diulangi secara berkala (misalnya, setiap minggu atau setiap bulan) untuk mendapatkan kecenderungan (perubahan berdasarkan waktu). Monitoring pemanfaatan sumber daya juga bisa dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang mini. Dari atas pesawat, petugas mencatat jenis perahu, alat tangkap (jika memungkinkan) dan jumlah perahu yang berada di suatu tempat tertentu. Monitoring pemanfaatan sumber daya seringkali dikombinasikan dengan kegiatan patroli pengamanan atau penegakan aturan pemanfaatan sumber daya. Sesungguhnya, patroli 375 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

13 pengamanan dapat dianggap sebagai suatu monitoring pemanfaatan sumber daya yang lebih spesifik, dikhususkan pada metode pemanfaatan sumber daya yang melanggar aturan hukum, ilegal. Dalam catatan protokol monitoring, petugas Taman Nasional Komodo melakukan monitoring pemanfaatan sumber daya selama 2 (dua) hari dalam 10 hari. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan speedboat, terutama mengelilingi kawasan (wilayah larang-ambil). Waktu yang dibutuhkan untuk mengelilingi kawasan dalam satu rute monitoring ialah dua hari. Salah satu hasil analisis data monitoring disajikan pada Gambar Secara jelas petugas menunjukkan nelayan dari desa tertentu (Pulau Mesa) terkonsentrasi melakukan penangkapan ikan di wilayah Gili Lawa laut dan Pulau Padar Utara dengan menggunakan kompresor hookah lokasi penangkapan ditandai dengan warna putih. Hasil monitoring ini sangat bermanfaat bagi pengelola untuk segera melakukan respon cepat. Kedua lokasi yang disebut di atas ialah termasuk tempat potensial pemijahan ikan karang. Alat tangkap kompresor sudah dilarang oleh pemerintah untuk digunakan terutama di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Pengelola kawasan Taman Nasional bisa memerintahkan petugas lapang untuk melakukan konsentrasi patroli yang lebih intensif pada kedua wilayah yang menjadi target penangkapan nelayan. Sebagai ringkasan, strategi konservasi ditujukan untuk mengurangi ancaman dan/atau meningkatkan status kesehatan target konservasi. Strategi konservasi terdiri dari berbagai aksi konservasi di tingkat lapang. Semua aksi konservasi yang tersusun dalam rencana pengelolaan harus dievaluasi untuk menjamin bahwa kegiatan tersebut menuju pada sasaran konservasi (mengurangi ancaman atau meningkatkan status kesehatan target konservasi). Alat evaluasi tersebut tercakup dan diukur dalam kegiatan monitoring. Kegiatan monitoring harus menjamin bahwa setiap perubahan yang terjadi di dalam kawasan merupakan dampak dari aksi konservasi, bukan oleh faktor lain. Gambar Hasil analisis monitoring pola pemanfaatan sumber daya di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Nelayan dari Pulau Mesa (Misa) melakukan konsentrasi penangkapan pada dua wilayah tertentu (tanda lingkaran putih) dengan menggunakan alat kompresor hookah 376 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

14 Bahan Bacaan Utama: Froese, R., & D. Pauly FishBase: World Wide Web Electronic Publication. version (02/2011). Pet, J. S., P.J. Mous, A.H. Muljadi, Y.J. Sadovy, & L. Squire (2005). Aggregations of Plectropomus Areolatus and Epinephelus Fuscoguttatus (Groupers, Serranidae) in the Komodo National Park, Indonesia: Monitoring and Implications for Management. Environmental Biology of Fishes 74: Salm, R. V., J. Clark, & R. Siirila Marine and Coastal Protected Areas: A guide for planners and managers. Washington DC, IUCN., xxi + 371pp. Ringkasan: 1. Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia saat ini lebih merupakan kebutuhan dari pada komitmen terhadap ketentuan global untuk melindungi keanekaragaman hayati laut. Jelaskan alasan yang mendukung hal ini. 2. Keberhasilan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan sangat berpeluang untuk mendapatkan bonus berupa alternatif mata pencaharian baru yang timbul dari keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi. Apa peluang alternatif tersebut, berikan alasan; 3. Jelaskan arti kriteria keterwakilan (representativeness) sebagai salah satu kriteria dalam seleksi kawasan. Apa alasan kriteria ini menjadi dasar dalam seleksi kawasan? 4. Kolaborasi (co-management) ialah salah satu sistem dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Apa yang dimaksud dengan kolaborasi dalam konteks ini? Sebutkan beberapa contoh kolaborasi dalam praktek pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia; 5. Sebutkan alasan yang paling kuat untuk melakukan program monitoring sebagai bagian dari rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan 6. Dalam setiap diskusi tentang stakeholder, kita sering melupakan salah satu pihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Mereka sering disebut sebagai suara para pihak yang diam atau tidak bersuara. Siapakah yang dimaksud dengan stakeholder ini? 7. Ada tiga prinsip dasar yang sebaiknya dipertimbangkan dalam seleksi calon kawasan konservasi. Sebutkan dan jelaskan masing-masing prinsip dasar tersebut. 8. Monitoring biologi menjadi alat ukur sukses atau kegagalan program konservasi. Hal ini bisa dilihat dari tingkat kesehatan (viabilitas) dari target konservasi. Berikan dua contoh monitoring biologi yang menunjukkan sukses dari program konservasi. 9. Gambarkan proses penetapan suatu kawasan konservasi dengan menggunakan sistem yang dikembangkan oleh PHKA. Bagaimana proses akomodasi pelibatan masyarakat dalam sistem ini? 10. Buatlah sebuah contoh badan pengelola kawasan konservasi dengan model kolaborasi berbagai pihak. 377 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

(Varanus kornodoens~ s) dan habitatnya Namun kemudian kawasan ini di ketahui

(Varanus kornodoens~ s) dan habitatnya Namun kemudian kawasan ini di ketahui 1.1. Latar belakang Taman Nasional Komodo (TNK) dibentuk pada tahun 1980 dan dinyatakan sebagai sebuah World Heritage Site dan Man nncl Rrosphe~e oleh UNESCO pada tahun 1986 (Pet dan Yeager, 2000a). TNK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

KEMITRAAN MENUJU KOLABORASI PENGELOLAAN TN KOMODO

KEMITRAAN MENUJU KOLABORASI PENGELOLAAN TN KOMODO KEMITRAAN MENUJU KOLABORASI PENGELOLAAN TN KOMODO Fajarudin PT Putri Naga Komodo Predikat yang disandang oleh TN Komodo (A Man and Bisophere Reserve dan World Heritage Site) merupakan kebanggaan tersendiri,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

PROGRAM KELAUTAN CI INDONESIA BENTANG LAUT KEPALA BURUNG

PROGRAM KELAUTAN CI INDONESIA BENTANG LAUT KEPALA BURUNG PROGRAM KELAUTAN CI INDONESIA BENTANG LAUT KEPALA BURUNG I. PROJECT DESCRIPTION 1. Judul :Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) 2. Tujuan : Melindungi sumber daya alam Papua Barat meningkatkan kehidupan lokal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia Secara fisik, karakteristik taman nasional digambarkan sebagai kawasan yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

PENGALAMAN MENDORONG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA OLEH BURUNG INDONESIA

PENGALAMAN MENDORONG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA OLEH BURUNG INDONESIA PENGALAMAN MENDORONG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA OLEH BURUNG INDONESIA Inisiatif oleh Burung Indonesia 1. Fasilitasi Penataan Batas Partisipatif di TN Manupeu Tanadaru (Sumba,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

Lebih terperinci

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB)

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) Menimbang berbagai faktor utama yang menghambat pengelolaan hutan lindung secara efektif, maka pengelolaan hutan

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

RENCANA AKSI PENGELOLAAN TNP LAUT SAWU DAN TWP GILI MATRA

RENCANA AKSI PENGELOLAAN TNP LAUT SAWU DAN TWP GILI MATRA RENCANA AKSI PENGELOLAAN TNP LAUT SAWU DAN TWP GILI MATRA Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) KUPANG Jl. Yos Sudarso, Jurusan Bolok, Kelurahan Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Provinsi

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia. Wawan Ridwan

Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia. Wawan Ridwan Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia Wawan Ridwan Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 9 10 Mei 2017 (c) Nara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/KEPMEN-KP/2014 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI SUAKA ALAM PERAIRAN KEPULAUAN WAIGEO SEBELAH BARAT DAN LAUT SEKITARNYA DI PROVINSI

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN KA- WASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN KA- WASAN KONSERVASI PERAIRAN Tujuan pembelajaran: X PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN KA- WASAN KONSERVASI PERAIRAN Memahami proses-proses perencanaan, pengelolaan dan monitoring keberhasilan program konservasi pada kawasan konservasi,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

VIII ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

VIII ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN VIII ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN Tujuan pembelajaran: Memahami proses-proses perencanaan zonasi kawasan dan mengenal aturan dalam zona yang berbeda zona inti, penelitian, penyangga, pendidikan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Pombo merupakan salah satu Pulau di Provinsi Maluku yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sumber daya alam dengan kategori Kawasan Suaka Alam, dengan status

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 20, 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN 5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN Evaluasi efektivitas pengelolaan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap 4 aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap

Lebih terperinci

TAHAPAN MENUJU PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN (KKP) DI INDONESIA

TAHAPAN MENUJU PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN (KKP) DI INDONESIA TAHAPAN MENUJU PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN (KKP) DI INDONESIA [Makalah bahan diskusi pada kegiatan Focused-Group Discussion di Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PROGRAM PEMBANGUNAN ETALASE KELAUTAN DAN PERIKANAN DI WILAYAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/KEPMEN-KP/2014 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI TAMAN WISATA PERAIRAN PULAU GILI AYER, GILI MENO DAN GILI TRAWANGAN DI PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Data pokok kelautan dan perikanan 2010 1 menggolongkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang banyak.

Lebih terperinci

Hauraki Gulf Marine Park, Selandia Baru KATA PENGANTAR

Hauraki Gulf Marine Park, Selandia Baru KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR MPAG (Marine Protected Areas Governance Project) merupakan bagian dari MRP USAID (Marine Resource Program) bersama dengan IMACS, NOAA dan University Partnership. MPAG sebagai bantuan hibah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya 6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya Salah satu parameter yang berpengaruh bagi pengembangan kawasan konservasi laut adalah kandungan potensi kekayaan bawah laut yang

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN DARAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kebijakan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DISAMPAIKAN OLEH Ir. Agus Dermawan, M.Si DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

RANCANGAN SISTEM PEMANTAUAN,PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN (MCS) COREMAP PHASE II COMPILED BY NURSAMRAN SUBANDI (MCS SPECIALIST)

RANCANGAN SISTEM PEMANTAUAN,PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN (MCS) COREMAP PHASE II COMPILED BY NURSAMRAN SUBANDI (MCS SPECIALIST) RANCANGAN SISTEM PEMANTAUAN,PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN (MCS) COREMAP PHASE II COMPILED BY NURSAMRAN SUBANDI (MCS SPECIALIST) BEBERAPA PENEKANAN PADA SISTEM MCS COREMAP II 1. PENGIKUTSERTAAN SECARA PENUH

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT

PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT Oleh: Rony Megawanto Tekanan terhadap sumber daya perikanan semakin tinggi seiring dengan meningkatkan permintaan pasar (demand) terhadap produk-produk

Lebih terperinci

LESSON LEARNED DALAM PERENCANAAN TATA RUANG KELAUTAN DI EKOREGION SUNDA KECIL

LESSON LEARNED DALAM PERENCANAAN TATA RUANG KELAUTAN DI EKOREGION SUNDA KECIL LESSON LEARNED DALAM PERENCANAAN TATA RUANG KELAUTAN DI EKOREGION SUNDA KECIL Putu Oktavia, Uly Faoziyah, B. Kombaitan, Djoko Santoso Abi Suroso, Andi Oetomo, Gede Suantika Email: putu.oktavia@gmail.com

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan konservasi keanekaragaman hayati Taman Nasional Wakatobi (TNW) sangat ditentukan pengakuan kepemilikan masyarakat atas sumberdaya oleh pengelola sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Sebuah Temuan Awal dari XPDC Alor Flotim Penulis: Amkieltiela Marine Science and Knowledge Management Officer, WWF-Indonesia

Sebuah Temuan Awal dari XPDC Alor Flotim Penulis: Amkieltiela Marine Science and Knowledge Management Officer, WWF-Indonesia Status Ekosistem Terumbu Karang Perairan Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar dan Laut Sekitarnya, Suaka Alam Perairan (SAP) Flores Timur, dan Perairan Sekitarnya Tahun 2017 Sebuah Temuan Awal dari XPDC

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS 6 BAB II LANDASAN TEORITIS Salah satu alasan mendasar pendirian kawasan lindung adalah agar keberadaan kawasan tetap utuh selama-lamanya untuk melestarikan nilai-nilai biologi dan budaya yang dimilikinya

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G RINCIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SUKAMARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ANCAMAN TERHADAP KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TAMAN WISATA PERAIRAN LAUT BANDA, PULAU HATTA, DAN PULAU AY

IDENTIFIKASI ANCAMAN TERHADAP KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TAMAN WISATA PERAIRAN LAUT BANDA, PULAU HATTA, DAN PULAU AY Disampaikan dalam Simposium Nasional Kawasan Konservasi Perairan Kementerian Kelautan dan Perikanan 9-10 Mei 2017 IDENTIFIKASI ANCAMAN TERHADAP KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TAMAN WISATA PERAIRAN LAUT BANDA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor kepuasan kerja dijelaskan oleh Umam (2010) bahwa terdapat dua indikator yaitu adanya ciri-ciri instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan yang menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu Kabupaten yang paling banyak memproduksi Ikan, komoditi perikanan di Kabupaten Kupang merupakan salah satu pendukung laju perekonomian masyarakat,

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2014 T E N T A N G

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2014 T E N T A N G GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2014 T E N T A N G PENGELOLAAN KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI DALAM USAHA PERKEBUNAN DI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari dua pulau besar, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa serta dikelilingi oleh ratusan pulau-pulau kecil yang disebut Gili (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KEARSIPAN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KEARSIPAN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KEARSIPAN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR,

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63/KEPMEN-KP/2014 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI SUAKA ALAM PERAIRAN KEPULAUAN RAJA AMPAT DAN LAUT SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA. secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sumber daya Wilayah Pesisir Fakta menunjukkan bahwa kawasan perlindungan laut telah dikenali secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari lingkungan

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN PENATAAN FUNGSI PULAU BIAWAK, GOSONG DAN PULAU CANDIKIAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele.

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. 303 BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan sumberdaya dan potensi

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 41 TAHUN 2014 T E N T A N G PENGELOLAAN KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI DALAM USAHA PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Lebih terperinci

C. Model-model Konseptual

C. Model-model Konseptual C. Model-model Konseptual Semua kampanye Pride Rare dimulai dengan membangun suatu model konseptual, yang merupakan alat untuk menggambarkan secara visual situasi di lokasi proyek. Pada bagian intinya,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversity jenis hayati dan mega center keanekaragaman hayati. Keanekaragaman ekosistem di Indonesia juga sangat mengagumkan,

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci