Gambar 12 Peta Lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 12 Peta Lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina"

Transkripsi

1 74 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pulau-pulau kecil terluar di Indonesia sangat kompleks keberadaannya ditinjau dari aspek pengelolaan sumberdaya alam, apabila dihubungkan dengan kegiatan pengembangan pembangunan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara. Potensi-potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil terluar sangatlah baik, unik, sehingga apabila tidak mengikuti prosedur pengelolaan dan tidak dilindungi, maka sangat berpotensi terjadinya degradasi lingkungan dan konflik antar masyarakat, kabupaten/kota, provinsi dan bahkan antar negara. Penatataguna dan kelola penyusunan suatu pola rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di wilayah Indonesia menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan di wilayah perbatasan Negara Indonesia bagian utara, yang secara geografis berbatasan langsung antara Negara Indonesia dan Negara Filipina, di Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, seperti dilihat dalam Gambar 12 di bawah ini. Gambar 12 Peta Lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina

2 Kejahatan di Perbatasan Negara Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change (perubahan cuaca), drug trafficking (Peraturan Daerahgangan obat terlarang), political violence out control (kekerasan politik), illegal fishing (pencurian ikan). Kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di Indonesia diperkirakan mengalami kerugian hingga USD 2 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun. Dengan kata lain, 22 % produksi illegal fishing di seluruh dunia berasal dari Indonesia. Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian Indonesia jauh lebih besar, yakni antara Rp triliun setiap tahunnya akibat illegal fishing tersebut. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Secara geografis, hampir 70 persen (5,8 juta km persegi) wilayah Indonesia merupakan perairan dengan potensi kekayaan laut yang sangat potensial. Menurut data, sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai ton per tahunnya. Namun akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia), menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing. Adapun, daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera Hindia). Illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang masih terus berlanjut, begitu marak terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecenderungan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam pula. Kegiatan illegal fishing masih berlangsung dapat diakibatkan karena : (1) Terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga memberikan peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada Pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh

3 76 dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional. (2) Kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing. Hal ini bisa dilihat pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan, padahal berdasarkan Pasal 85 jo Pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat dikenakan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu, adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illegal fishing, misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya, hanya 77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya. (3) Pemerintah tidak mengagendakan secara serius untuk mengatasi illegal fishing secara komprehensif. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional. Hal ini bisa dilihat pada kasus pelangaran berupa operasi perizinan kapal, misalnya kapal yang dilaporkan sebagai milik perusahaan Indonesia (7.000 kapal), namun ternyata sekitar 70 persen atau 5000 di antaranya, lebih dimiliki oleh pihak asing terutama Taiwan, Philipina, Thailand, RRC. Di wilayah Timur Indonesia, dari kapal yang beroperasi, banyak di antaranya yang tidak memiliki izin. (4) Banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi backing para pelaku illegal fishing. Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di Pontianak, misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya dan masih adanya oknum yang melakukan pelanggaran dengan modus memberi izin para pelaku dengan cara membelotkan aturan yang ada misalnya penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak melalui pelabuhan, padahal menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, setiap kapal harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya.

4 77 (5) Kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media massa. Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus illegal fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang berimbang (balance). Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya. Sebagai gambaran kita bisa lihat pada periode November-Desember 2007, Mabes Polri telah menangkap 16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing pelaku illegal fishing, di mana kerugian negara mencapai Rp13 triliun. Ironisnya, media massa tidak memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya. (6) Kurangnya koordinasi antar-kementerian yang terkait dalam mengatasi masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tumpang tindihnya dalam penanganan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Pemerintah Daerah. Di samping itu, Indonesia tidak memaksimalkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam menangani pelaku illegal fishing asal Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC. Akibatnya, bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling melempar tanggung jawab. (7) Kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan illegal fishing. Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas sejumlah 16 buah. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan Indonesia. Hanya dengan begitu, kasus illegal fishing yang tidak terkendali dapat diminimalkan. Belum tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh pemerintah menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut. Kondisi ini pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain. Sebagai gambaran, dapat di lihat negara Filipina yang merupakan negara mengekspor tuna terbesar di dunia. Ironisnya, 70 persen tuna yang mereka ekspor itu berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara

5 78 mengekspor ikan kaleng, ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang ditangkap secara ilegal. Hasil illegal fishing seperti pada Gambar 13 Gambar 13 Pelaku dan hasil kejahatan di wilayah laut perbatasan negara Pelaku illegal fishing menggunakan BBM bersubsidi, di mana kerugian negara akibat menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp. 500 miliar. Untuk meminimalkan illegal fishing, sudah saatnya pemerintah membuat Undang- Undang Anti Illegal fishing karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Pasal 29 dan 30, masih kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut, bahkan UU terebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak asing, mengeksploitasi sumber daya ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEEI (Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia). Pelaksanaan kegiatan tentang Penangkapan Ikan Berbasis Industri harus dilaksanakan secara konsekuen untuk melindungi hasil laut, melindungi nelayan tradisional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara dari devisa dan pajak. Mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki dan memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih pelakunya. Dari gambaran di atas, dilihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak dikelola secara bijaksana yang mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing. Hal ini bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya pendapatan (devisa) negara dari hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah,

6 79 tetapi juga dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang. Luas trumbu karang Indonesia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 persen dan 15 persen dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari pemerintah dalam penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana yang tetap berpihak kepada lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas. 5.2 Batas Maritim Negara Indonesia dan Filipina belum disepakati Batas maritim Indonesia Filipina sampai saat ini belum ditetapkan, pertemuan-pertemuan bilateral yang melibatkan kedua negara dalam rangka batas maritim masih terus dilakukan, dengan agenda-agenda yang resmi untuk mecapai kesepakatan bersama. Kedudukan geografis negara Indonesia dan Filipina masih bermasalah, sehingga perjanjian perbatasan yang harus di buat adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Hal ini disebabkan jarak pulau terluar kedua negara lebih dari 24 mil laut. Pada umumnya batas maritim antara Indonesia dan Filipina hampir seluruhnya terletak di Laut Sulawesi dan hanya sebagian terletak di Laut Mindanao dan Laut Maluku Utara. Panjang garis batas landas kontinen maupun garis batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia - Filipina di Laut Sulawesi lebih kurang 510 mil laut, dan luas Zona Ekonomi Eksklusifnya sekitar mil laut persegi. Jarak terlebar antara pantai yang berhadapan sekitar 315 mil laut dan jarak terpendek 39 mil laut antara Pulau Marore di Indonesia dan Pulau Sarangani di Filipina. Gambar 14 Pulau Marore

7 80 Pulau Marore merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara, dengan luas 3.12 Km² dimasukkan dalam anggota gugusan pulau-pulau perbatasan yang langsung dengan negara Filipina. Pulau Marore merupakan pulau terluar yang tercatat dalam nomor urut 61 pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, tercatat pada nomor urut 26. Pulau Miangas merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara. Pulau seluas 3.20 Km² ini dimasukkan dalam anggota gugusan Kepulauan Nanusa, yang merupakan daerah perbatasan langsung dengan negara Filipina. Pulau Miangas merupakan pulau terluar yang tercatat dalam nomor urut 63 pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar tercatat pada nomor urut 28. Gambar 15 Pulau Miangas Pemerintah Indonesia terus menunjukkan juridiksi teritorial di kawasan perbatasan Pulau Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud, dan Pulau Marore di Kepulauan Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, terutama dilakukan melalui pembangunan ekonomi (prosperity aproach). Perhatian yang serius dicurahkan

8 81 oleh Pemerintah Pusat sehinga tidak menjadi persoalan krusial di kemudian hari. Selain itu, di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga terdapat beberapa pulau kecil terluar yang memerlukan perhatian khusus karena berbatasan langsung dengan negara lain antara lain Pulau Miangas (05 34'02"U '54"T / TD.056 TR.056 antara TD.056-TD.056A Garis Pangkal Biasa dan / TD.056A TR.056 Jarak TD.056A- TD.057A = nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Marore (04 44'14"U '42"T / TD.055 TR.055 antara TD.O55-TD.O55A Garis Pangkal Biasa dan TD.055A TR.055 Jarak TD.055A-'TD.055B=0.5 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Batubawaikang (04 44'46"U 125o29'24"T TD.055B TR.055 Jarak TD.055B-TD.056=81.75 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Kawio, Pulau Lipang, Pulau Kawaluso, Pulau Matutuang dan Makalehi. Konvensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) pada tahun 2010 telah berumur 28 tahun. Orang menyebutnya Constitution of the Oceans karena dipandang sebagai bentuk kodifikasi hukum laut yang paling komprehensif sepanjang sejarah peradaban manusia. Konferensi untuk mewujukan konvensi tersebut berlangsung tidak kurang dari sembilan tahun sebelum akhirnya disetujui dan diratifikasi oleh sebagian besar negara pantai (coastal states) di dunia. Kini ada 155 negara yang meratifikasinya termasuk Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun Salah satu hal penting yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan terkait erat dengan Indonesia adalah yurisdiksi dan Batas Maritim Internasional. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekskluif, dan landas kontinen). Selain itu diatur juga tatacara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga, baik yang bersebelahan (adjacent) maupun berseberangan (opposite). Dalam merancangbangun hukum di pulau-pulau terluar perlu menganalisis dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia berdasrkan permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, merupakan landasan hukum untuk melakukan rancangbangun hukum di perbatasan negara.

9 82 Gambar 16 Peta Garis pangkal di perbatasan Indonesia dan Filipina Penetapan batas terluar wilayah Negara Indonesia yang berbatasan langsung di darat yaitu Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste, sedangkan wilayah maritim yang berbatasan langsung yaitu (1) India, (2) Malaysia, (3) Singapura, (4) Thailand, (5) Vietnam, (6) Filipina, (7) Republik Palau, (8) Australia, (9) Timor Leste, dan (10) Papua New Guinea (PNG). Adapun permasalah yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia dan 10 negara antara lain : (1) Perbatasan Indonesia-India. Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau Nicobar di India. Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titiktitik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah disepakati oleh kedua negara. Permasalahan di antara kedua negara masih timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak, terutama yang dilakukan para nelayan.

10 83 (2) Perbatasan Indonesia-Malaysia. Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati kedua negara. Ketidakjelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia. Demikian pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan. Forum General Border Committee (GBC) dan Joint Indonesia Malaysia Boundary Committee (JIMBC), merupakan badan formal bilateral dalam menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara yang dapat dioptimalkan. (3) Perbatasan Indonesia-Singapura. Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Singapura, telah berlangsung sejak tahun Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan. Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari. (2) Perbatasan Indonesia-Thailand. Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan

11 84 Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia. (3) Perbatasan Indonesia-Vietnam. Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut. (4) Perbatasan Indonesia-Filipina. Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara secara bilateral. (5) Perbatasan Indonesia-Republik Palau. Sejauh ini kedua negara belum sepakat mengenal batas perairan ZEE Palau dengan ZEE Indonesia yang terletak di utara Papua. Akibat hal ini, sering timbul perbedaan pendapat tentang pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh para nelayan kedua pihak. (6) Perbatasan Indonesia-Australia. Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI- Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste

12 85 (7) Perbatasan Indonesia-Timor Leste. Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada di perbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi perbatasan, dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping itu, keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari. (8) Perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari. 5.3 Hak Berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia Nilai dasar dan landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara serta kebijakan pembangunan nasional mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam UUD 1945 tersebut dijabarkan dalam pasal demi pasal. Indonesia sebagai Negara kepulauan yang bercirikan nusantara dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 25A (UUD 1945 hasil amandemen) merupakan landasan sekaligus acuan pemikiran dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Demikian pula dengan Pasal 33 yang secara eksplisit mengamanatkan bahwa sumber kekayaan alam yang dimiliki pulau-pulau terluar harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu pengelolaan pulau-pulau kecil terluar harus menjamin bahwa Dalam Pasal 25a Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen) disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hakhaknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hal ini semakin mengukuhkan

13 86 eksistensi Negara Indonesia sebagai Negara maritim yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yang tersebar di garis khatulistiwa. Pengaturan tentang wilayah negara seperti yang tertian dalam Bab IXA, Pasal 25A yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hakhaknya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 25A, telah diimplementasikan dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008, dimana dalam undang undang tersebut disebutkan bahwa wilayah negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian maka pengaturan wilayah negara mempunyai tujuan tertentu, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 3 menyebutkan bahwa Pengaturan Wilayah Negara bertujuan: (1) menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa; (2) menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan (3) mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya. Secara jelas dan tegas disebutkan dalam angka (1) dan angka (2), bahwa perlunya ketertiban di kawasan perbatasan dan pengelolaan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan perbatasan termasuk batas-batasnya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pengelolaan sumberdaya di pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara merupakan bagian dari kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang harus di kelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, dimana pemanfaatannya harus juga mempertimbangkan akan keberlanjutan dari sumberdaya.

14 87 Sejak lama Pemerintah Republik Indonesia merasakan pentingnya arti zona ekonomi eksklusif untuk mendukung perwujudan Wawasan Nusantara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan Bangsa Indonesia dengan memanfaatkan segenap sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang terdapat di zona ekonomi eksklusifnya. Dengan demikian maka untuk melindungi kepentingan nasional, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan sumber daya alam non hayati, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan penting untuk dilaksanakan pengaturannya di zona ekonomi eksklusif yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif dan disahkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober Sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, maka pemerintah telah mengeluarkan pengumuman pada tanggal 21 Maret 1980 telah mengeluarkan Pengumuman Pemerintah tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pengumuman tersebut menegaskan tentang rezim hukum internasional yaitu penetapan zona ekonomi eksklusif yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasional melalui Konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga dan praktek negara (state practice) dimana dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara pantai dari bahaya dihabiskannya sumber daya alam hayati di dekat pantainya oleh kegiatan-kegiatan perikanan berdasarkan rezim laut bebas. Di samping itu zona ekonomi eksklusif juga dimaksud untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan dalam rangka menopang pemanfaatan sumber daya alam di zona tersebut. Melalui konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut telah memberikan rekomendasi hukum kepada Republik Indonesia sebagai negara pantai hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terdapat di zona ekonomi eksklusif dan yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan hak berdaulat tersebut. Ketentuan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berkewajiban pula untuk menghormati hak-hak negara lain di zona ekonomi eksklusifnya antara lain

15 88 kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut di zona ekonomi eksklusif. Khusus yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, maka sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut negara lain dapat ikut serta memanfaatkan sumber daya alam hayati, sepanjang Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh sumber daya alam hayati tersebut. Di samping asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan di atas yang terutama ditunjukan kepada dunia luar, asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan tersebut perlu pula dituangkan dalam peraturan pelaksanaannya agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban dalam zona ekonomi eksklusif dan dengan demikian tercapai pula kepastian hukum. Berhubung dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menetapkan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Republik Indonesia maka kebijakan lain yang berhubungan dengan pengelolaan pulaupulau kecil terluar di perbatasan negara dalam. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa sumberdaya alam hayati adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk bagian-bagiannya yang terdapat di dasar laut dan ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Selanjutnya sumber daya alam non hayati adalah unsur alam bukan sumber daya alam hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; Sumberdaya alam perlu di konservasi sebagai upaya yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; sedangkan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah segala upaya yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Substansi Pasal 1 tersebut mensyaratkan akan tujuan dari Undang- Undang Zona Ekonomi Eksklusif untuk menjaga dan memelihara ekosistem, dalam hal ini ekosistem pulau-pulau kecil di perbatasan negara, apabila berdampingan atau berdekatan dengan zona ekonomi eksklusif.

16 89 Penentuan batas zona ekonomi eksklusif diatur dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Apabila terjadi tumpang tindih maka diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu : Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. Dalam menentukan batas maka dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa : Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia termaksud. Hak berdaulat Indonesia dalam zona ekonomi eksklusif yaitu Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut. Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak Republik Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum dan hot pursuit terhadap kapal-

17 90 kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai zona ekonomi eksklusif. Kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional adalah kewajiban Republik Indonesia untuk menghormati hak-hak negara lain, misalnya kebebasan pelayaran dan penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan kebebasan pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of the laying of submarine cables and pipelines). Bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam hayati dan non hayati di dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku di bidang landas kontinen serta persetujuan- persetujuan internasional tentang landas kontinen yang menentukan batas-batas landas kontinen antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang pantainya saling berhadapan atau saling berdampingan dengan Indonesia. Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku seperti yang tumbuh dari praktek negara dan dituangkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga di zona ekonomi eksklusif setiap negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut, serta penggunaan laut yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan tersebut seperti pengoperasian kapal-kapal, pesawat udara dan pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut. Kegiatan untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara asing, orang atau

18 91 badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara asing yang bersangkutan. Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional dicantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut, antara lain kewajiban untuk membayar pungutan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Dengan adanya sifat-sifat dalam melaksanakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan tingkat pemanfaatan baik di sebagian atau keseluruhan daerah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dimana dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati, Indonesia berkewajiban untuk menjamin batas panen lestari (maximum sustainable yield) sumber daya alam hayatinya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dengan memperhatikan batas panen lestari tersebut, Indonesia berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang diperbolehkan (allowable catch). Dalam hal usaha perikanan Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut, maka selisih antara jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest). Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya jumlah tangkapan yang diperbolehkan ada (seribu) ton sedangkan jumlah kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton maka negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Di samping itu Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. Demikian juga Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif tetapi pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki status sebagai pulau dalam arti

19 92 wilayah negara dan oleh karena itu tidak memiliki laut teritorial sendiri dan kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia atau Landas Kontinen Indonesia. Sejak beberapa waktu telah dilakukan kegiatan mencari sumbersumber kekayaan alam baru antara lain berupa eksplorasi minyak dan gas bumi dilandas kontinen. Kegiatan ini merupakan akibat daripada bertambah pentingnya dasar laut dan tanah di bawah landas kontinen sebagai sumber kekayaan alam dan kemajuan tehnik pengambilan kekayaan alam yang kian hari kian meningkat. Untuk mengamankan kepentingan rakyat Indonesia dalam landas kontinen yang berbatasan dengan negaranya, Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Pebruari 1969 telah mengeluarkan suatu Pengumuman tentang Landas Kontinen yang membuat azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia. Disamping pengumuman azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan diatas yang terutama ditujukan kepada dunia luar, dirasakan pula perlunya untuk menuangkan azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan itu dalam suatu Undang-Undang agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak-hak atas kekayaan yang diperoleh dari landas kontinen dan demi kepastian hukum. Disamping hal-hal yang bersifat umum seperti sifat dan ruang lingkup kekuasaan Negara atas landas kontinen, Undang-Undang ini juga memberikan dasar-dasar bagi pengaturan eksplorasi dan eksploitasi serta penyelidikan jumlah atas kekayaan alam di landas kontinen dan masalahmasalah yang ditimbulkan olehnya. Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia, berbatasan dengan negara lain, penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan. Landas Kontinen Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun Dalam ketentuan umum, Pasal 1 huruf a sampai huruf c bahwa Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan

20 93 wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Selanjutnya kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya di dasar laut dan/atau di dalam lapisan tanah di bawahnya bersama-sama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedinter yaitu organisme yang pada masa perkembangannya tidak bergerak baik diatas maupun dibawah dasar laut atau tak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan tanah di bawahnya. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi adalah usaha-usaha pemanfaatan kekayaan alam dilandas kontinen. Dengan demikian maka pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara termasuk yang diatur dalam Undang-Undang Landas Kontinen, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa, dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia, termasuk berbatasan dengan negara lain, dimana penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dan sudah dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan, maka pengelolaan dapat dilakukan untuk kepentingan negara. Ketentuan lain yang menyangkut eksploitasi kekayaan diatur dalam Pasal 10 ayat (1) yaitu Dalam melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingan-kepentingan: (1) Pertahanan dan keamanan nasional; (2) Perhubungan; (3) Telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut; (4) Perikanan; (5) Penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya; (6) Cagar alam. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal-hal terdapat perselisihanperselisihan antara kepentingan kepentingan tersebut dalam ayat (1) pasal ini mengenai pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen

21 94 Indonesia,akan diselesaikan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Syarat lain diatur dalam ayat (3) yaitu apabila terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini, Pemerintah dapat menghentikan untuk sementara waktu pengusahaannya atau dapat mencabut lain usaha yang bersangkutan. 5.4 Perbandingan antara ketentuan Undang-Undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif dengan Undang-Undang tentang Pengesahan United Nation Convention on the Law of The Sea 1982 Secara historis, bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif (UU ZEE) umurnya satu tahun lebih muda dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS Dalam artian, bisa saja ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU ZEE Indonesia adalah mengadopsi ketentuan yang ada dalam UNCLOS Dengan mengenyampingkan bahwa Indonesia barulah meratifikasi UNCLOS 1982 pada tahun 1985, yakni 2 tahun setelah UU ZEE lahir. Namun patutlah kiranya dapat disinkronkan antara UNCLOS 1982 dan UU ZEE dalam pengambilan kebijakan penentuan wilayah negara di daerah perbatasan. Dari segi struktur, UU ZEE terdiri dari 9 Bab dan 21 Pasal. Dengan masing-masing bab mengatur ketentuan tertentu. Sedangkan dalam UNCLOS 1982, ketentuan tentang ZEE diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab V UNCLOS 1982 mulai Pasal 55 sampai Pasal 75 UNCLOS Meskipun pengaturannya hanya dalam 1 Bab, namun ketentuan tentang ZEE dalam UNCLOS 1982 dibedakan dalam beberapa sub Bab. Yaitu terdiri dari 21 sub Bab. Dari segi substansi, ketentuan yang ada di dalam UU ZEE lebih mengkhususkan pengaturannya pada hal-hal yang konkrit ada dan terimplementasikan dalam wilayah Indonesia, sedangkan ketentuan dalam UNCLOS 1982 lebih mengatur hal yang sifatnya umum dan universal bisa diterapkan di berbagai negara yng meratifikasi. Meskipun UNCLOS 1982 tidaklah secara tegas dinyatakan sebagai bahan rujukan penyusunan UU ZEE, dengan tidak memasukkanya pada konsiderans menimbang UU ZEE, namun

22 95 substansinya terlihat tidak mutlak ada perbedaan dengan UNCLOS Bahkan dalam beberapa hal bisa terdapat kesamaan, dan seakan-akan UU ZEE adalah lex specialis dari UNCLOS 1982 sebagai lex generalisnya. Oleh karena itu berikut beberapa perbandingan antara ketentuan dalam UU ZEE dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982 khususnya Bab V yang mengatur tentang ZEE. 5.5 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Selaras dengan ketentuan pasal 2 UU ZEE yang menyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia, maka pada pasal 55 UNCLOS 1982, tidak secara menonjol terdapat perbedaan. Bahkan terlihat bahwa konsepsi yang ada dalam UU ZEE merupakan konkretisasi dari ketentuan pasal 55 UNCLOS disamping itu telah tercakup pula ketentuan lebar laut tertitorial yang diatur pasal 57 UNCLOS 1982 dalam ketentuan Pasal 2 UU ZEE ini. Secara umum dalam UU ZEE dan UNCLOS 1982 menganut prinsip hukum yang sama yakni terdiri dari: (1) Hak berdaulat negara pantai (2) Hak partisipasif bagi negara tak berpantai dan negara lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam hayati (3) Prinsip Keadilan Ketentuan secara konkret dari prinsip hukum tersebut di atas terlihat dalam Pasal 4 UU ZEE. Hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Coastal States mempunyai hak berdaulat untuk tujuan: (1) Explorasi dan exploitasi, konservasi dan mengelola SDA (2) Aktivitas lain untuk exploitasi ekonomi spt energy production Coastal States mempunyai jurisdiction yang berkaitan dengan: (1) Proteksi dan preservasi lingkungan laut

23 96 (2) Hak untuk melaksanakan hot porsuit terhadap kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan di ZEE (3) Pendirian dan penggunaan artificial islands installations and structures (4) Riset ilmiah kelautan (marine scientific research) Coastal States mempunyai hak dan kewajiban lain yang diatur dalam konvensi (Ketentuan Pasal 56 UNCLOS 1982). Ketentuan tersebut di atas, teratur pula dalam pasal 4 UU ZEE. UU ZEE telah mengatur secara tegas dan rinci dalam hal penggunaan wilayah ZEE Indonesia untuk kegiatan-kegiatan tertentu seperti pembuatan pulau buatan, riset ilmiah dan konservasi alam dengan menerapkan ketentuan kewajiban memohon izin dari Indonesia. Secara implisit dinyatakan dalam Bab IV UU ZEE mulai Pasal 5 sampai Pasal 8, hal tersebut adalah implementasi jurisdiksi negara di wilayah ZEE. Adapun ketentuan kegiatan ini dalam UNCLOS 1982 dinyatakan dalam ketentuan pada Pasal 60 dan Pasal 61. Mengenai mekanisme kegiatan ganti rugi yang di diatur dalam UNCLOS 1982 memberikan kewenangan bagi negara pantai untuk mengturnya lebih lanjut melalui per Undang-Undangan yang berlaku. Dalam konteks UU ZEE, ketentun mengenai ganti rugi ditentukan dalam Pasal 9 sampai Pasal 12. terhadap mekanisme ganti rugi ini diberlakukan pula penentuan jumlah maksimum ganti rugi tnpa mengesmpingkan ketentuan pasal 8 UU ZEE. Terdapat perbedaan mekanisme penyelesain antara UNCLOS 1982 dengan UU ZEE. Dalam UU ZEE mekanisme penentuan batas ZEE Indonesia dengan negara yang saling berdampingan pertama-tama dilakukan melalui jalur perundingan. Dan bila tidak terdapat kesepakatan maka diterapkan mekanisme penentuan berdasarkan garis tengah antara kedua negara. Adapun dalam UNCLOS 1982, bila suatu negara yang saling berhadapan wilayah pantainya, mekanisme penyelesaiannya pertama kali adalah jalur perundingan jika hal tersebut tidak tercapai kesepakatan, maka dilakukan mekanisme berdasarkan yang diatur dalam UNCLOS Penegakan hukum berdasarkan UU ZEE dilakukan dengan mengacu ketentuan Hukum Acara Indonesia yang diatur dalam KUHAP. Dalam mekanisme ini tidak dikenal adanya mekanisme pembebasan dengan penjaminan. Sedangkan

24 97 ketentuan Pasal 73 UNCLOS 1982 terdapat ketentuan pembebasan dengan jaminan. Di samping itu terdapat ketentuan larangan untuk melakukan hukuman badan dalam UNCLOS sedangkan pada UU ZEE, ketentuan ini tidak diterapkan secara tegas. 5.6 Keterpaduan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Kompleksitas sistem pada wilayah pesisir dan laut, yaitu sumberdaya alam dan masyarakat, mutlak memerlukan pengelolaan yang tepat dan terpadu bagi keberlanjutan pembangunan pesisir dan laut. Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir dan laut, potensi dan permasalahan pembangunan, serta banyaknya tumpang tindih kepentingan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut, baik dari masyarakat maupun pemerintah, sehingga untuk pencapaian pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu berbasis konservasi, masyarakat dan pemerintah. Kegiatan pembangunan pesisir dan laut khususnya pulau-pulau kecil di daerah perbatasan negara, dinyatakan berkelanjutan, jika kegiatan tersebut mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan, yakni berkelanjutan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik. Pulau-pulau kecil terluar dalam pencapaian pembangunan dapat ditinjau dari 5 (lima) aspek yaitu : Sumberdaya Alam, Sosial Budaya, Sosial Politik, Sosial Ekonomi dan Pertahanan Keamanan, yang merupakan bagian dari pembangunan berlanjutanan. Pencapaian keterpaduan pengelolaan pulau-pulau kecil harus mengetahui karakteristik pulau kecil yaitu karakteristik pulau-pulau kecil yang biogeofisiknya menonjol menurut Bengen dan Retraubun (2006) yaitu : (1) Terpisah dari habitat atau pulau induk (main land), sehingga bersifat insuler, (2) Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil, (3) Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta pencemaran, (4) Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi,

25 98 (5) Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utama (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada di batas suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai yang sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara, (6) Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai. Berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil di atas maka pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, yang merupakan bagian dan tidak terpisahkan dari pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga perlu dilakukan zonasi oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten kota dalam wilayah hukum dan administrasi. Penyusunan rencana zonasi harus diserasikan, diselaraskan dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang wilayah. Perencanaan dilakukan dengan mempertimbangkan : (1) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; (2) keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan (3) kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Pencapaian keterpaduan fungsi dari pulau-pulau kecil terluar harus dituangkan dalam rencana zonasi dalam kurun waktu berlakunya yaitu selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun, dan dituangkan dalam Peraturan Daerah. Fungsi keterpaduan pulau-pulau kecil terluar terdiri dari fungsi (1) sumberdaya alam, (2) sosial budaya, (3) fungsi sosial politik (4) fungsi sosial ekonomi, dan (5) fungsi pertahanan keamanan yaitu : (1) Fungsi Sumberdaya Alam, Sumberdaya Alam merupakan satuan kehidupan (organisme hidup/biotik) saling berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan nir-hayati (fisik/abiotik). Sumberdaya yang terdapat di pulau-pulau kecil terluar mencakup sumber daya hayati, meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun,

26 99 mangrove dan biota laut lain; Adapun sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral. dasar laut, jasa lingkungan. Potensi yang terkandung dalam pulau kecil terluar sangat bernilai ekonomi tinggi, hal tersebut tercermin dari kondisi geofisik dengan keaneka ragaman hayatinya yang tersebar di sekitar pulau-pulau kecil. Dengan mengetahui fungsi sumberdaya alam pulau kecil, maka secara rinci dapat mengetahui data dasar keseluruhan kekayaan sumberdaya alam dan sistem pengamanannya. Pengelolaan Sumberdaya Alam pulau-pulau kecil di daerah perbatasan masing-masing negara dengan mengikutsertakan sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat lokal. (2) Fungsi Sosial Budaya Sosial budaya masyarakat pulau kecil adalah masyarakat yang masih mengakui nilai-nilai luhur kearifan lokal yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat setempat, sedangkan kegiatan perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya, dan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional. Fungsi Sosial dan budaya meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan yang memadai, serta meningkatkan ketahanan budaya untuk membendung masuknya budaya asing. (3) Fungsi Sosial Politik. Sosial politik yang merupakan bagian dari sistem politik nasional, sehingga pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar melakukan pemahaman politik dan ideologi yang berkaitan dengan pembinaan dan penghayatan untuk menangkal ideologi asing, sebagai bagian dalam upaya menjaga stabilitas politik yang dinamis bersama aparat pemerintah sebagai mitra pembinaan teritorial. (4) Fungsi Sosial Ekonomi Pulau kecil yang mempunyai potensi besar karena didukung oleh ekosistem dan produktifitas hayati tinggi, sehingga kegiatan pembangunan harus diarahkan mampu meningkatkan perekonomian dan memberikan pengaruh ganda pada masyarakat dengan investasi yang berwawasan lingkungan

27 100 dengan memperhatikan hak-hak atas tanah dan perairan. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang yang memperkuat ekonomi daerah, dan mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi rakyat sehingga merupakan pilihan utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Dengan pembangunan sosial ekonomi dapat berfungsi sebagai pendukung logistik wilayah pertahanan keamanan dan pemberdayaan masyarakat sekaligus kebijakan mengembangkan jalur kerja sama dengan negara tetangga yang dapat mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan. (5) Fungsi Pertahanan Keamanan Secara geografis, pulau-pulau kecil di perbatasan negara sangat terisolasi, juga mempunyai kepentingan geopolitis tinggi dalam menjaga keutuhan kedaulatan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau terluar ditetapkan sebagai titik pangkal batas negara Indonesia dengan negara lain sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Saat ini teridentifikasi berjumlah 92 pulau terluar, dengan 67 pulau berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga. Pelaksanaan pertahanan dan keamanan, dengan pembuatan pos-pos perbatasan, pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan maupun swakarsa masyarakat dan meningkatkan patroli perbatasan. Sebagai fungsi pertahanan dan keamanan maka peranan effective occupation (penguasaan secara efektif) pemerintah pada aspek administrasi, dengan melakukan kegiatan. Dengan demikian keberadaannya dapat berlangsung terus menerus (continous presence). Upaya melindungi dan melestarikan ekologi (maintenance and ecology preservation) juga bisa dilakukan sehingga menjadikan pulau-pulau kecil sebagai beranda depan negara.

28 Pengesahan United Nation Convention on the Law of The Sea / UNCLOS Tahun 1982 Masyarakat internasional yang tergabung alam Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui forum Konperensi Hukum Laut III, telah berhasil merumuskan dan menandatangani suatu konvensi hukum laut yang baru, pada tanggal 10 Desember tahun 1982 yaitu Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Selain penting sebagai suatu perangkat hukum laut yang baru, Konvensi ini juga sangat penting karena di samping mencerminkan hasil usaha masyarakat internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang telah ada, juga menggambarkan suatu perkembangan yang progresif (progressive development) dalam hukum internasional. Perkembangan ini disebabkan oleh bertambah pentingnya laut bagi kehidupan dan kelangsungan hidup manusia. Meningkatnya peranan yang demikian itu pula disebabkan oleh bertambahnya kemampuan manusia di dalam usaha memanfaatkan laut sebagai salah satu sumber kehidupan. Laut yang merupakan bagian terbesar dari permukaan bumi memiliki manfaat yang besar dan fungsi penting bagi kehidupan suatu bangsa, baik untuk memenuhi kebutuhan makanan dan energi, sarana transportasi, maupun sebagai sarana pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam termasuk penelitian ilmiah, bahkan terlebih menyangkut kepentingan pertahanan dan keamanan. Sejak dahulu laut digunakan sebagai alat dan sarana untuk melakukan ekspansi kekuasaan sehingga dapat menjadi sumber pertentangan dan pertikaian antar bangsa dan karena itu pula laut merupakan salah satu objek pengaturan hukum internasional. Hukum dalam hal ini hukum (laut) internasional, berperan sebagai alat untuk mengatasi hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pemanfaatan laut oleh berbagai negara. Perkembangan hukum laut internasional sangatlah cepat dan besar pengaruhnya bagi masyarakat internasional karena negara-negara saling berlomba satu sama lain untuk memperluas wilayah laut ke dalam kedaulatan maupun yuridiksinya sendiri, sehingga timbul antara lain tindakan-tindakan perluasan wilayah secara sepihak oleh negara-negara yang merasa perlu untuk melindungi kepentingan nasionalnya.

29 102 Kondisi yang demikian mengakibatkan munculnya potensi kerawanan pada perbatasan antar negara yang bersumber dari masalah-masalah kelautan, mengingat klaim-klaim dari sejumlah negara yang tentunya tidak selamanya berdasarkan pada aturan-aturan yang berlaku, dan kadangkala timbul klaim sepihak seperti Proklamasi Truman 28 September Tindakan-tindakan seperti itu akan mendapat reaksi dari sejumlah negara, khususnya negara-negara yang berkepentingan atas laut maupun perbatasannya. Sebagai negara kepulauan juga dihadapkan pada masalah yang sama, mengingat Indonesia memiliki pantai yang terbentang panjang dan luas, yang juga dikelilingi oleh negara-negara lain baik yang berbatasan dengan daratan maupun dengan lautan. Demikian pula dari segi geografis Indonesia yang berada pada posisi silang yang sangat strategis dalam pelayaran internasional, dapat menjadi potensi sengketa tentang masalah-masalah kelautan. 5.8 Perairan Indonesia Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut akhirnya telah menghasilkan pengakuan masyarakat internasional secara universal (semesta) yaitu dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut Tahun Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut). Perubahan kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan membawa implikasi yang sangat luas tidak saja terhadap kepentingan nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di perairan Indonesia. Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara kepulauan sebagai penjelmaan aspirasi bangsa Indonesia, membawa konsekuensi bahwa Indonesia juga harus menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal-kapal asing.

30 103 Setelah masyarakat dunia yakin bahwa dengan tindakannya ini Indonesia tidak ber-maksud mengurangi hak-hak dunia pelayaran yang sah dan tercapai suatu keseimbangan antara keinginan Indonesia untuk mengamankan keutuhan wilayahnya dan menguasai sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di satu pihak, dan kepentingan dunia pelayaran internasional di pihak lain, asas negara kepulauan ini akhirnya diterima dunia internasional. Ditinjau dari segi ketatanegaraan, Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan Undang-Undang Nomor 4/Prp./Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian diakui oleh dunia internasional dengan dimuatnya asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam BAB IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun Ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Konvensi ter-sebut mengandung berbagai pengembangan dari konsepsi negara kepulauan sebagai-mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp./ Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut adalah dengan diakuinya garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis pangkal kepulauan Indonesia. Berdasarkan cara pengukuran tersebut, maka dalam wilayah perairan Indonesia terdapat lebih kurang pulau yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, alasan yang mendorong bangsa Indonesia untuk mencetuskan asas negara kepulauan kemudian mengundangkannya, sampai saat ini masih tetap relevan. Akan tetapi dengan berkembangnya berbagai kepentingan dan kegiatan di perairan Indonesia, maka kepentingan nasional dan internasional di perairan Indonesia perlu ditata, diamankan dan dikembangkan secara terarah dan bijaksana sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Selain kepentingan pertahanan-keamanan, persatuan- kesatuan, dan ekonomi, juga perlindungan lingkungan terhadap bahaya pencemaran dan pelestariannya serta kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan di perairan Indonesia, dirasakan semakin mendesak.

31 Perikanan Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku. Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian

32 105 hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Undang-Undang ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan Pemerintahan daerah Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benarbenar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan

33 106 teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan dan daerah Peraturan Daerahgangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah eksploitasi, konservasi bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik. Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan kawasan khusus tersebut. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan pemerintahan yang bersifat concurrent senantiasa ada urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.

34 107 Selain itu yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atau Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu Penataan ruang Secara geografis, letak Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berada di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia sangat khas karena posisinya yang berada di dekat khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang merupakan aset atau sumber daya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa. Dengan keberadaan tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup. Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan nusantara dan ketahanan nasional dalam Undang-Undang tata ruang mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan

35 108 pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional Pengelolaan pulau-pulau kecil Pulau-pulau kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti sasi, mane e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain. Keunikan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian pulau kecil dapat dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan,

36 109 pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan normanorma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya Wilayah negara Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Bahwa wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut sistem: (1) pengaturan suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (3) desentralisasi pemerintahan kepada daerah-daerah besar dan kecil yang bersifat otonom dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (4) kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas Wilayah Negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan batas-batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah Negara, dan hak hak berdaulat. Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan di laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional. Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam,

37 110 perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan Wilayah Negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dalam arti upayaupaya pengelolaan Wilayah Negara hendaknya memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di Kawasan Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah Negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa, sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan dalam arti pembangunan Kawasan Perbatasan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam mengelola pembangunan Kawasan Perbatasan Persetujuan pelaksanaan ketentuan-ketentuan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini terjadi penurunan yang tajam sediaan sumber daya ikan sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis. Pada tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi, khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks), telah menimbulkan keprihatian dunia. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara dan ZEE negara lain sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara. Jenis ikan yang beruaya jauh merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE ke Laut Lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan beberapa samudera sehingga memiliki kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh khususnya dalam pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di Laut Lepas yang

38 111 berbatasan dengan ZEE. Oleh karena itu, kerja sama internasional dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah yang timbul. Negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dalam satu wilayah Laut Lepas yang seluruhnya dikelilingi oleh suatu wilayah di bawah yurisdiksi nasional dari satu Negara dan Negara tersebut harus bekerjasama untuk merumuskan tindakantindakan konservasi dan pengelolaan yang berkaitan dengan sediaan tersebut di wilayah Laut Lepas. Dengan memperhatikan karakteristik alamiah dari wilayah tersebut, Negara-negara harus memperhatikan secara khusus untuk menetapkan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang cocok untuk sediaan tersebut berdasarkan Pasal 7. Langkah-langkah yang diambil dalam hal Laut Lepas harus mempertimbangkan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan dari negara pantai sesuai dengan Konvensi, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia dan juga harus memperhatikan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang diambil dan dilaksanakan dalam kaitannya dengan sediaan yang sama sesuai dengan Pasal 61 dari konvensi oleh negara pantai di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional. Negara-negara harus juga menyetujui tindakan-tindakan pemantauan, pengawasan, pengamatan dan penegakan hukum untuk menjamin kesesuaian dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan dalam kaitannya dengan Laut Lepas. Berdasarkan Pasal 8, negara-negara harus bertindak dengan iktikad baik dan membuat setiap usaha menyetujui tanpa penundaan tindakan konservasi dan pengelolaan untuk diterapkan dalam operasi penangkapan ikan dalam wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Apabila, dalam jangka waktu yang layak, negara-negara penangkap ikan terkait dan negara pantai tidak dapat menyetujui tindakan tersebut, mereka harus, dengan memperhatikan ayat (1), menerapkan Pasal 7 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), berkaitan dengan pengaturan-pengaturan atau tindakan-tindakan sementara. Sementara menunggu penetapan pengaturanpengaturan atau tindakan-tindakan sementara, Negara-negara terkait harus mengambil tindakan-tindakan berkaitan dengan kapal-kapal yang mengibarkan

39 112 bendera mereka sehingga mereka tidak melakukan penangkapan ikan yang dapat merusak sediaan terkait. Negara-negara harus bekerjasama, baik secara langsung atau melalui organisasi-organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional, untuk menjamin penaatan dan penegakan hukum bagi tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 mengatur secara garis besar mengenai beberapa spesies ikan yang mempunyai sifat khusus, termasuk jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish), serta jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish). Pada tahun 1995 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyusun suatu persetujuan baru untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement /UNIA 1995). UNIA 1995 merupakan persetujuan multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS Mengingat UNIA 1995 mulai berlaku tanggal 11 Desember 2001 dan tujuan pembentukan Persetujuan ini untuk menciptakan standar konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang persediaannya sudah menurun, maka pengesahan UNIA 1995 merupakan hal yang mendesak bagi Indonesia. Konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas telah menjadi bahan perdebatan panjang masyarakat internasional sejak Konferensi Hukum Laut I hingga Konferensi Hukum Laut III, namun hingga disahkan Konvensi Hukum Laut Konferensi belum berhasil merumuskan pengaturan yang komprehensif mengenai masalah konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas. Konferensi telah menyerahkan pengaturan tersebut pada negara yang berkepentingan dengan perikanan di Laut Lepas di wilayahnya masing-masing.

40 113 Dalam perkembangannya, sediaan sumber daya ikan di Laut Lepas, khususnya jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, terus mengalami penurunan secara drastis. Hal ini telah mendorong masyarakat internasional untuk mencari solusi guna mengatasi persoalan tersebut. Pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992, telah dihasilkan sebuah agenda (Agenda 21) yang mengharuskan negaranegara mengambil langkah yang efektif melalui kerja sama bilateral dan multilateral, baik pada tingkat regional maupun global, dan menjamin bahwa perikanan di laut lepas dapat dikelola sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang ditetapkan untuk menindaklanjuti ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, dalam Pasal 6 menentukan bahwa Garis-garis Pangkal Kepulauan Indonesia harus dicantumkan dalam peta dengan skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan disertai referensi Datum Geodetis yang diperlukan. Pembuatan peta laut perairan Indonesia yang memadai untuk menggambarkan garis-garis pangkal kepulauan memerlukan waktu pembuatan yang lama, di samping memerlukan dana dan sumber daya manusia yang besar. Di samping itu perubahan pantai dan dasar laut di sekitarnya oleh kekuatan alam menyebabkan bahwa kegiatan pembuatan Peta Navigasi memerlukan kegiatan yang bertahap, terus-menerus, sistematis dan melembaga. Pembuatan Peta Navigasi yang masih menunggu penyelesaiannya yang dilakukan secara bertahap, perlu dibuat Daftar Koordinat Geografis Titik-titik untuk menarik garis pangkal kepulauan untuk kegiatan pelayanan dan penegakan hukum di Perairan Indonesia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

41 114 Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 50 Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, dalam perairan kepulauan dapat ditarik garis-garis penutup untuk menetapkan batas Perairan Pedalaman di Teluk, di Muara Sungai atau Terusan, di Kuala dan di daerah Pelabuhan. Ketentuan Pasal 50 tersebut tidak menentukan bahwa garis batas perairan pedalaman di perairan kepulauan dapat ditarik di sepanjang pantai, perairan yang terletak pada sisi dalam Garis Air Rendah sepanjang pantai mempunyai kedudukan sebagai perairan pedalaman. Berhubung dengan itu garis rendah tersebut juga merupakan batas perairan pedalaman dalam perairan kepulauan. Ketentuan mengenai penetapan batas Perairan Pedalaman tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia tidak terdapat suatu ketentuan untuk diatur lebih lanjut, namun demi kepastian hukum mengenai penetapan batas Perairan Pedalaman dalam Perairan Kepulauan perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Titik terluar pada Garis Air Rendah pantai yang berbatasan dengan negara tetangga yang berhadapan atau berdampingan yang merupakan titik terluar bersama untuk penarikan garis pangkal ditetapkan berdasarkan perjanjian kedua negara serta memenuhi ketentuan Hukum Internasional. Perjanjian perbatasan dengan negara tetangga tersebut pengesahannya dilakukan dengan Undang- Undang. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pada Peraturan Pemerintah ini dilampirkan Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Daftar Koordinat Geografis tersebut merupakan lampiran pada Peraturan Pemerintah ini dan tidak dimasukkan sebagai ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini, dengan tujuan agar perubahan atau pembubaran (updating) data dalam Daftar Koordinat Geografis tersebut dapat dilakukan dengan tidak perlu mengubah ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini. Namun demikian, lampiran-lampiran tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Selain untuk kepentingan pelayanan dan untuk penegakan hukum di perairan Indonesia, Daftar Koordinat tersebut juga dibuat untuk memenuhi

42 115 ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menentukan bahwa Daftar Koordinat tersebut harus didepositkan di Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Peraturan presiden pengelolaan pulau kecil terluar Dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di bidang social, ekonomi, budaya, hokum, sumber daya manusia, pertahanan dan keamanan; pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia; Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu kilomenter persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan: (1) menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan; (2) memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan; (3) memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar: a. Wawasan Nusantara; b. berkelanjutan; c. berbasis masyarakat. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara

43 116 Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, meliputi bidang-bidang: a. sumberdaya alam dan lingkungan hidup; b. infrastruktur dan perhubungan; c. pembinaan wilayah; d. pertahanan dan keamanan; e. ekonomi, sosial, dan budaya Pedoman umum pengelolaan pulau-pulau kecil Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan hutan bakau (mangrove). Sumber daya hayati laut pada kawasan ini memiliki potensi keragaman dan nilai ekonomis yang tinggi seperti kerapu, napoleon, ikan hias, kuda laut, kerang mutiara, kima raksasa (Tridacna gigas), dan teripang. Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan. Selama ini kawasan pulau-pulau kecil kurang mendapat sentuhan pembangunan yang berarti karena Pembangunan Nasional di waktu lampau lebih berorientasi ke darat. Walaupun terdapat kegiatan pembangunan, kegiatan tersebut lebih mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, sehingga kurang memperhatikan kelestarian lingkungan dan bahkan seringkali memarjinalkan masyarakat setempat. Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa perairan pulau-pulau kecil yang memiliki potensi perikanan cukup tinggi cenderung menjadi tempat penangkapan ikan yang dilakukan baik oleh nelayan asing maupun nelayan lokal dengan cara tidak ramah lingkungan, seperti pemboman, pembiusan, penggunaan racun, dan sebagainya. Selain itu, terdapat fakta bahwa pulau-pulau kecil yang terpencil sering dijadikan sebagai tempat penyelundupan, pembuangan limbah dan/atau penambangan pasir secara liar. Era globalisasi saat ini yang berciri perdagangan bebas serta dilengkapi sistem komunikasi dan informasi tanpa batas, dapat mengakibatkan penduduk pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan menjadi lebih dekat serta lebih menguntungkan jika berhubungan dengan negara-negara lain dibandingkan dengan Provinsi atau Kabupaten/Kota yang melingkupinya. Hal ini juga harus

44 117 menjadi pertimbangan dalam pembangunan kawasan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan dengan negara tetangga. Sasaran pembangunan pulau-pulau kecil antara lain : (1) Terarahnya pengembangan kebijakan operasional pengelolaan pulau-pulau kecil di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. (2) Terwujudnya mekanisme pengelolaan pulau-pulau kecil, baik yang dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan. (3) Tertatanya perencanaan dan implementasi kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil yang sedang berjalan dan yang masih dalam tahap perencanaan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Mekanisme pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil diatur sebagai berikut: (1) Pengelolaan pulau-pulau kecil sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bekerja sama dengan masyarakat dan dunia usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan inventarisasi dan penamaan untuk pulau-pulau kecil yang belum mempunyai nama dengan tetap memperhatikan penamaan pulau yang telah digunakan masyarakat, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun rencana strategis dan rencana permintakatan (zonasi) untuk pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayahnya. (4) Dalam perencanaan pengelolaan pulau-pulau tersebut, para pihak yang berkepentingan harus menyusun rencana pengelolaan pulau-pulau kecil dan membuat mintakat (zona) sesuai dengan tujuan pemanfaatannya.

45 118 (5) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat memberikan izin pengelolaan pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya kepada pihak ketiga sesuai dengan hukum adat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (6) Khusus untuk pengelolaan pulau kecil oleh pihak ketiga dari luar negeri, sebelum izin dikeluarkan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terlebih dahulu mengkonsultasikannya kepada Pemerintah. (7) Pihak ketiga yang akan melakukan pengelolaan wajib menyusun rencana investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan rencana strategis pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang akan dinilai oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota. (8) Pihak ketiga dari luar negeri yang akan melakukan pengelolaan perlu menyusun rencana investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan rencana strategis pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang dinilai oleh Pemerintah. (9) Pihak ketiga bersama Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota diwajibkan melakukan dialog awal dengan masyarakat untuk mendapatkan kesepakatan ide pengelolaan. Setelah mendapatkan kesepakatan, maka dilakukan perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan melibatkan masyarakat setempat. (10) Sebagai tindak lanjut pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak ketiga harus melakukan Studi Amdal, termasuk Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan Rencana (11) Pengelolaan Lingkungan (RKL) untuk kegiatan-kegiatan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. (12) Dalam pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak ketiga disarankan dapat memanfaatkan potensi energi yang tersedia sebagai sumber energi baru yaitu angin, pasut, gelombang, Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), dan tenaga surya. (13) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menetapkan pulau-pulau kecil yang akan dipergunakan sebagai tempat usaha industri strategis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

46 119 (14) Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota bila diperlukan, dapat menunjuk lembaga/dinas teknis yang membidangi kelautan dan perikanan sebagai instansi di daerah yang bertanggung jawab dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan km2. (15) Masyarakat berperan serta dalam pengawasan pengelolaan pulau-pulau kecil sejak dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan. (16) Dalam rangka pengendalian pengelolaan pulau-pulau kecil baik yang sedang dan akan berjalan, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib memberikan laporan secara berkala kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. (17) Apabila pengelolaan pulau tersebut akan dikerjasamakan dengan pihak ketiga, harus ada jaminan pengelolaan dan asuransi lingkungan (environmental insurance) kepada Pemerintah. (18) Dalam hal pengelolaan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh pihak ketiga, yang aktivitas fisiknya dapat mengorbankan/menghilangkan fungsi dan nilai-nilai ekosistem bioma penyangga setempat, maka Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai hak untuk mencairkan jaminan pengelolaan pulau-pulau kecil secara langsung tanpa persetujuan dari pihak ketiga. 5.9 Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 sebagai produk hukum nasional yang melanjutkan dan mengembangkan isi dari pada Pengumuman Pemerintah 21 Maret 1980 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Kajian terhadap Undang-Undang ini hanya membahas pasalpasal yang penting yang terkait dengan penelitian serta relevan dengan rancangbangun hukum. Rumusan Zona Ekonomi Eksklusif sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 berbunyi: Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-

47 120 Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluas 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia". Rumusan Zona Ekonomi Esklusif ini menyatakan bahwa suatu jalur laut yang berada di luar laut wilayah yang meliputi antara dasar laut dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mii laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Sedangkan yang berhubungan dengara dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk hak-hak berdaulat dan hak-hak lain serta yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia (Pasal 4 ayat 2) dilakukan menurut peraturan perundang-undangan landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuanketentuan hukurn internasional yang berlaku. Hal yang penting lainnya adalah ketentuan yang menyangkut penetapan garis batas Zona Ekonomi Eksklusif dengan negara tetangga, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1 ) yang berbunyi: "Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan". Rumusan tentang batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan akan ditetapkan melalui suatu persetujuan, dan untuk kasus Indonesia dan Filipina sampai saat ini masih terus dilakukan pertemuan bilateral. Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 mengatur berbagai cara untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif antar negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan berdasarkan Pasal 74 Konvensi yang menetapkan sebagai berikut :

48 121 (1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil. (2) Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea, pada Bab XV. (3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam Bab XV Bagian 1, Bagian 2 dan Bagian 3, Pasal 279 sampai dengan Pasal 299, negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan. (4) Dalam hal adanya suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang bersangkutan, maka masalah yang bertalian dengan penetapan batas zona ekonomi eksklusif harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan itu. Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif ini penting sekali artinya untuk menentukan batas-batas kelautan sebagai akibat dari klaim negaranegara pantai, seperti halnya klaim atas ZEE yang beberapa dasawarsa terakhir ini menjadi bahan perbincangan luas di kalangan masyarakat internasional. Suatu perkembangan bagi Indonesia, bahwa dengan mengacu pada Pasal 74 dan Pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia pada tanggal 14 Maret 1997 telah berhasil menandatangani suatu Perjanjian tentang "Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas-batas Dasar Laut Tertentu". Dengan telah ditandatanganinya perjanjian batas ZEE antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia, maka bagi Indonesia hal ini merupakan suatu kemajuan di bidang hukum laut. Karena dengan demikian makin

49 122 berkurang batas-batas ZEE Indonesia yang tumpang tindih dengan negara-negara tetangga yang belum terselesaikan. Dalam upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah batas ZEE yang tumpang tindih yang belum terselesaikan, maka sudah sepatutnya untuk dipikirkan mengenai garis batas ZEE yang tumpang tindih seperti antara Indonesia (di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara) dan Filipina (di kepulauan Mindanao bagian Selatan). Adapun yang menentukan tumpang tindihnya garis batas ZEE ke dua negara tersebut adalah karena jarak antara pulau-pulau terluar yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan pulaupulau terluar di Filipina Selatan adalah sebagai berikut : "Antara Pulau Marore (Sangihe) dengan Pulau Balut (Filipina), jaraknya adalah 35 mil laut; antara Pulau Kawio (Talaud) dengan Pulau Balut (Filipina), jaraknya adalah 37 mil laut; dan antara Pulau Miangas (Talaud) dengan San Agustin (Filipina), jaraknya adalah 50 mil laut". ZEE mempunyai arti yang penting dalam rejim hukum laut yang baru ini. Pentingnya ZEE ini dapat dilihat dari perhitungan-perhitungan berikut: Zona yang lebarnya 200 mil laut itu akan meliputi kira-kira 13 juta mil laut persegi dari luas daratan bumi dan mencakup lebih 80% dari persediaan ikan dunia dan 90% sumbersumber minyak lepas pantai. Pembentukan ZEE merupakan jawaban atas keprihatinan dunia tentang ancaman bagi menipisnya sumber kekayaan alam yang ada di darat. Potensi ekonomi dari sumber kekayaan alam hayati yang terdapat pada ZEE ini nampaknya merupakan suatu alasan baik bagi negara pantai untuk menetapkan ZEE ini sebagai Zona yang mempunyai arti bagi kepentingan semua Negara. Peranan yang sangat penting dari ZEE ini sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam hayati di ZEE. Negara pantai mempunyai kewajiban untuk menggalakkan tujuan pemanfaatan sumber kekayaan hayati secara optimal di ZEE dengan memperhatikan tentang konservasi sumber daya alam yang terdapat di ZEE tersebut. Ketentuan Pasal 56 ayat (1) Konvensi dinyatakan bahwa negara pantai menjalankan hak berdaulat di ZEE untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi,

50 123 konservasi dan pengelolahan sumber kekayaan alam. Hak berdaulat ini dinyatakan sebagai hak eksklusif negara pantai, dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak mengeksplorasi ZEE atau mengeksplorasi sumber kekayaan alamnya, maka tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan negara pantai yang bersengketa. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi masalah dalam hal eksplorasi dan eksploitasi serta untuk menghilangkan potensi perselisihan antara negara-negara terutama yang menyangkut penetapan garis batas ZEE, maka perlu mendapat perhatian yang serius untuk penyelesaiannya. Berdasarkan Pasal 55 Konvensi, ZEE berada di bawah rejim hukum khusus. Rejim hukum ZEE berbeda dengan rejim laut teritorial dan rejim laut lepas. ZEE merupakan zona yang memiliki kesamaan ciri dari kedua rejim tersebut, namun tidak termasuk pada salah satu diantaranya. Secara horizontal batas ZEE dapat dilihat sebagai berikut; batas bagian dalam ZEE adalah batas luar laut territorial, sedangkan batas terluar ZEE adalah tidak boleh melebihi jarak sejauh 200 mil laut. Selanjutnya di bagian luar ZEE adalah laut lepas, yang menurut Pasal 86 Konvensi, laut lepas berlaku bagi semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara dan atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Dalam hal ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, maka penetapan garis batas ZEE tersebut harus dilakukan melalui suatu perjanjian atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu pemecahan yang adil. Dalam penetapan batas ZEE tersebut negara negara yang bersangkutan wajib membuat peta dengan skala yang memadai untuk menentukan posisinya dimana perlu. Daftar titik-titik koordinat-koordinat geografis, yang merinci datum geodetik, dapat menggantikan garis batas terluar atas garis-garis penetapan batas tersebut. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis dan harus mendepositkan satu copy setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.

51 124 Hubungan ZEE dengan Landas Kontinen dapat diketahui dengan mengkaji ketentuan Pasal-Pasal yang terdapat dalam kedua rejim hukum tersebut, terutama mengenai hak dan kewajiban Negara pantai. Di ZEE, Pasal 56 ayat (1) huruf (a) menyebutkan bahwa: "Dalam Zona Ekonorni Eksklusif Negara pantai mempunyai: (a) hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi Zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin" Dari rumusan Pasal ini dapat diartikan bahwa negara pantai di ZEE mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi serta konservasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di perairan di atas laut, dasar laut dan tanah di bawahnya. Dasar laut dan tanah di bawahnya pada jarak 200 mil laut adalah juga merupakan daerah landas kontinen. Akan tetapi untuk mengetahui lebih jelas mana yang termasuk bagian ZEE atau landas kontinen dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 56 ayat (3) yang menyebutkan bahwa: "Hak-hak yang tercantum dalam Pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan Bab VI" Pada bab VI Konvensi ini dalam Pasal 76 ayat (1) dikatakan landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Dengan demikian pengelolaan sumber kekayaan alam yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawahnya di ZEE akan tunduk pada ketentuan landas Kontinen. Begitu pula mengenai organisme jenis sedenter (menetap) dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 58 yang menyebutkan bahwa bagian ini tidak berlaku

52 125 bagi ikan jenis sedenter sebagaimana diartikan dalam Pasal 77 ayat (4) yang berbunyi sebagai berikut: "Sumber kekayaan alam tersebut dalam Bab ini terdiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut dan tanah dibawahnya, bersama dengan organisasi hidup yang tergolong jenis sedenter yaitu organisme yang pada tingkat yang sudah dapat dipanen dengan tidak bergerak berada pada atau dibawah dasar laut atau tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak fisik tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya". Menurut Pasal ini bahwa jenis ikan sedenter yang terdapat di ZEE termasuk sumber kekayaan hayati dasar laut pengaturannya tunduk pada ketentuan landas kontinen. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas terlihat dari dua rejim hukum yang berbeda, yaitu rejim hukum ZEE dan landas kontinen yang mengatur masalah yang sama mengenai hak-hak berdaulat Negara pantai atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya. Melalui kedua rejim ini Negara pantai dapat menikmati hak-hak berdaulatnya untuk melakukan eksploitasi maupun eksplorasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati dari dasar laut maupun tanah di bawahnya. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang berkembang antara ZEE dan landas kontinen, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang berlaku di ZEE bersifat melengkapi pengaturan hukum di landas kontinen, dan begitu pula sebaliknya ketentuan hukum di landas kontinen melengkapi ketentuan hukum di ZEE 5.10 Kebijakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Filipina Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya

53 126 dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Demikian juga menurut ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden Filipina Nomor 1599 Tahun 1978 tentang ZEE Filipina, menyebutkan "The economic exclusive zone shall extend to a distance of two hundred nautical miles beyond and from the baselines from which the territorial sea is measured. Sedangkan pengertian Zona Ekonomi Ekslusif menurut Pasal 55 Konvensi Hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa : "Zona Ekonomi Ekslusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yuridiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dan Konvensi ini". Menurut Pasal 57 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, lebar ZEE ditetapkan sebagai berikut: "Zona Ekonomi Ekslusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur". Dari rumusan Pasal 55 dan Pasal 57 tersebut di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan ZEE adalah suatu daerah laut yang berdampingan atau berbatasan dengan laut teritorial suatu negara pantai, dengan lebar ZEE sejauh 200 mil laut yang dihitung dari garis pangkal, dari mana negara pantai mengukur lebar laut teritorialnya. Dengan ditetapkannya pula lebar laut teritorial negara pantai sejauh 12 mil laut maka dengan demikian lebar ZEE sebenarnya adalah 200 mil laut dikurangi lebar laut teritorial 12 mil laut sehingga menjadi 188 mil laut. Hak dan kewajiban Negara pantai di ZEE, sesuai konvensi yaitu Negara pantai mempunyai hak-hak dan kewajiban kewajiban seperti yang telah ditetapkan dalam Pasal 56 ayat (1) Konvensi, yaitu bahwa dalam Zona Ekonomi Ekslusif Negara pantai mempunyai :

54 127 "(a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin." Di samping dari hak-hak berdaulat tersebut Negara pantai mempunyai yurisdiksi yang berhubungan dengan: "(b) (i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, (ii) riset ilmiah kelautan; dan (iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut" Dalam Pasal 58 dijelaskan bahwa disamping melaksanakan hak-hak, negara pantai juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan negara lain berkenaan dengan hak-hak untuk melakukan kebebasan pelayaran, kebebasan penerbangan dan kebebasan untuk memasang kabel dan pipa di bawah laut, serta penggunaan laut lainnya berdasarkan ketentuan Konvensi ini dan ketentuan lain dari hukum internasional. Di samping itu pula Negara pantai tetap menghormati ketentuan-ketentuan hukum mengenai laut lepas dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya untuk menjamin kepentingan atau hak-hak negara lain dalam melaksanakan kebebasankebebasan di laut sepanjang ketentuan hukum (laut) internasional tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum negara pantai di ZEE tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, hak-hak berdaulat atas kekayaan alam serta yurisdiksi-yurisdiksi tertentu yang berhubungan dengan hak-hak tersebut tunduk pada ketentuan Negara Pantai, sedangkan pelayaran kapal-kapal dan penerbangan pesawat adalah bebas bagi tiap negara. Oleh karena itu status hukum ZEE tunduk pada rezim hukum khusus ("sui generis"). Wilayah ZEE Filipina ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Presidential Decree) Nomor 1599 tahun Dalam konsideran Keputusan Presiden tersebut dinyatakan bahwa wilayah ZEE yang membentang sampai 200 mil laut dari garis

55 128 dasar darimana laut teriorial diukur adalah vital bagi kelangsungan dan perkembangan ekonomi Republik Filipina. Pemagaran yuridis atas wilayah ZEE tersebut adalah sah oleh karena zona demikian pada saat sekarang ini merupakan suatu konsepsi hukum internasional yang diakui. Berdasarkan Pasal 1 disebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu wilayah yang membentang sampai sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis dasar darimana laut teritorial diukur. Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah ZEE Filipina dalam posisi tumpang tindih dengan ZEE dari negara yang berdekatan atau bertetangga, maka batas-batas bersama (common boundaries) akan ditentukan dengan perjanjian dengan negara yang bersangkutan atau sesuai dengan azas-azas hukum internasional tentang perbatasan yang umumnya diakui. Penetapan batas ZEE Filipina dengan negara lain, sejalan dengan teori dan praktek penetapan batas (termasuk wilayah ZEE) antar negara yang memungkinkan bagi dua negara yang memiliki wilayah ZEE dalam posisi berhadapan atau berdampingan untuk menyelesaikannya berdasarkan persetujuan. Persetujuan tersebut didasarkan pada azas-azas hukum internasional tentang penetapan batas yang diakui secara umum, sebagaimana yang tercermin dalam Pasal 74 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun Selanjutnya didalam Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut dikemukakan bahwa Negara Republik Filipina mempunyai kedaulatan atas laut wilayah, hakhak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE yang dimilikinya, sekaligus memiliki dan menjalankan hak-hak sebagai berikut : (1) Hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber-sumber alam baik yang hidup ataupun yang tidak (living or non-living), baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui, dari dasar laut, termasuk lapisan tanah sebelah bawah dan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan lain untuk eksploitasi ekonomi dan eksplorasi sumber-sumber alam di zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin; (2) Hak eksklusif dan yurisdiksi sehubungan dengan didirikannya dan dimanfaatkannya pulau-pulau buatan, terminal lepas pantai, instalasi dan

56 129 bangunan, pemeliharaan lingkungan kelautan, termasuk pencegahan dan pengendalian pencemaran, dan penelitian ilmiah; (3) Hak-hak lain sebagaimana diakui oleh hukum internasional atau praktek negara. Sedangkan dalam Pasal 3 menetapkan adanya persyaratan perjanjian yang diadakan dengan Republik Filipina atau ijin yang diberikan olehnya atau di bawah wewenang Republik Filipina. Ijin yang diberikan tersebut mengecualikan hal-hal sebagai berikut: (1) Mengekspolarasi atau mengeksploitir sumber-sumber alam apapun; (2) Melakukan pencarian, penggalian atau operasi pengeboran terhadap sumbersumber alam; (3) Melakukan penelitian; (4) Mendirikan bangunan, memelihara atau mengoperasikan pulau buatan, terminal lepas pantai, instalasi, atau bangunan atau cara lain; atau (5) Melaksanakan suatu tindakan atau terlibat di dalam suatu kegiatan yang bertentangan dengan atau merugikan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi yang ditetapkan disini. Ketentuan-ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut sama dengan ketentuan angka (b sampai g) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dan Pasal 56 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang berkaitan dengan hak-hak, yurisdiksi dan kewajiban negara pantai dalam wilayah ZEE. Selanjutnya dalam Pasal 3 Keputusan Presiden tersebut dinyatakan bahwa Neqara-negara lain akan merikmati di ZEE kebebasan hubungan dengan navigasi dan penerbangan, pemasangan Kabel-kabel dan saluran pipa-pipa dibawah laut, dan pemakaian lain yang secara internasional sah dari laut yang berhubungan dengan navigasi dan komunikasi. Ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 dan Pasal 58 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban negara lain di wilayah ZEE.

57 Prinsip Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia-Filipina Melalui Perjanjian hukum dan praktek penetapan batas wilayah (termasuk ZEE) tersebar dalam berbagai konvensi Internasional, putusan mahkamah internasional maupun ketentuan hukum nasional negara-negara yang menyatakan bahwa penetapan batas wilayah ZEE antara dua negara yang berdampingan atau berhadapan, dapat ditempuh melalui persetujuan atau perjanjian antara kedua negara. Dengan kata lain, praktek penetapan batas wilayah ZEE antara negaranegara sudah menjadi aturan kebiasaan internasional, sehingga Indonesia dan Filipina dapat mencontohnya. Churchill dan Lowe, membenarkan praktek tersebut dengan menyatakan bahwa selama ini sejumlah 70 atau lebih negara yang telah menetapkan ketentuan tentang ZEE, dan lebih dari sepertiganya memasukkan dalam perundang- Undangannya yang merujuk pada prinsip sama jarak seperti suatu solusi sementara sambil menunggu penyelesaian penetapan batas melalui persetujuan. Ketentuan hukum nasional Indonesia, juga mengatur mengenai kemungkinan adanya penetapan batas antara Indonesia dengan negara lain, rnelalui perjanjian. Dalam Pengumuman Pemarintah Republik Indonesia mengenai ZEE Indonesia tanggal 21 Maret tahun 1980 menyebutkan bahwa dalam hal garis batas ZEE Indonesia menimbulkan masalah penentuan batas dengan negara lain yang letaknya berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, Pemerintah Indonesia bersedia pada waktu yang tepat mengadakan perundingan-perundingan dengan negara yang bersangkutan guna mencapai persetujuan. Ketentuan yang sama juga dikodifisir dalam Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1983 yang menyebutkan bahwa apabila wilayah ZEE Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif neaara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan.

58 131 Penetapan batas ZEE berdasarkan persetujuan juga diatur dalam Perjanjian antara Indonesia dan Australia tentang Penetapan Batas ZEE dan Batas-batas Laut Tertentu. Di dalam konsiderans perjanjian tersebut dikemukakan bahwa Republik Indonesia dan Australia terikat oleh Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, khususnya berdasarkan ketentuan Pasal 74 dan Pasal 83 yang menentukan bahwa batas ZEE dan landas kontinen antara kedua negara yang pantainya berhadapan harus diatur dengan persetujuan berdasarkan hukum internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil (the delimitation of the economic exclusive zone and continental shelf between States with opposite coasts shall be effected by agreement on the basis of international law in order to achieve an equitable solution). Ketentuan hukum nasional Filipina, khususnya yang berkaitan dengan penetapan batas ZEE, juga mencantumkan penetapan wilayah berdasarkan persetujuan. Dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 1599 Tahun 1978 menyebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu wilayah yang membentang sampai sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis dasar darimana laut teritorial diukur. Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah ZEE Filipina dalam posisi tumpang tindih dengan ZEE dari negara yang berdekatan atau bertetangga, maka batasbatas umum (common boundaries) akan ditentukan dengan perjanjian dengan negara yang bersangkutan dan sesuai dengan azas-azas hukum internasional tentang perbatasan yang umumnya diakui. Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, harus sejalan dengan ketentuan hukum internasional, dan bukan menurut ketentuan hukum nasional semata-mata dari suatu negara. Dengan kata lain, ketentuan hukum dan metode penatapan batas antara Indonesia dan Filipina, tidak boleh dilakukan dengan menggunakan hukum nasional Indonesia atau Filipina, melainkan didasarkan pada ketentuan-ketentuan internasional tentang penetapan batas, sebagaimana diatur dalam berbagai konvensi dan yurisprudensi internasional yang ada. Penetapan batas wilayah ZEE secara permanen (persetujuan akhir) antara kedua negara (termasuk Indonesia dan Filipina) juga dapat ditempuh melalui

59 132 pengaturan sementara yang bersifat praktis berdasarkan semangat saling pengertian dan kerjasama antara kedua negara, mendahului persetujuan akhir. Hal ini diatur dalam Pasal 74 ayat (3) Konvensi Hukum Laut yang menyatakan bahwa sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dari Pasal ini, negara negara yang bersangkutan dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama masa peralihan ini tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Menurut Churchill dan Lowe, sambil memutuskan penyelesaian sengketa, negara-negara yang berbatasan tersebut dapat mengadakan usaha-usaha awal dalam bentuk memberlakukan perjanjian sementara yang bersifat praktis berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (3) dan Pasai 83 ayat (3) Konvensi Hukum Laut. Contoh-contoh perjanjian tersebut antara lain persetujuan Perancis-Tuvalu berdasarkan garis sama jarak yang digunakan sebagai persetujuan perbatasan sementara atas suatu perbatasan yang permanen, persetujuan Denmark-Swedia yang menetapkan bahwa selama perbatasan disetujui (sebagai ditanda tangani pada tahun 1984) zona perikanan eksklusif dalam wilayah Kattegat terletak diluar 12 mil dari pantai akan ditempatkan berdasarkan yurisdiksi perikanan bersama Denmark-Swedia, dan persetujuan Jepang Korea Selatan tahun 1974 berdasarkan Konvensi yang mengeksploitir sumber daya alam dalam suatu wilayah yang disengketakan didasar laut untuk kepentingan kedua negara Prinsip Sama Jarak Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Filipina Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa penetapan batas wilayah, baik laut teritorial, landas kontinen maupun ZEE sudah merupakan aturan umum yang dipraktekkan negara-negara, bahkan ketentuan tentang penetapan batas tersebut sudah menjadi bagian dalam perundang-undangan yang bersifat nasional dari sejumlah negara. Mochtar Kusumaatmadja membenarkan konsep ini dengan menyatakan bahwa dengan diadakannya kurang lebih 10 perjanjian garis batas landas kontinen dan laut teritorial yang didasarkan atas penggunaan azas garis tengah dan azas sama jarak (median line and equidistance principle) maka azas atau ketentuan

60 133 tersebut diperkuat kewibawaannya, paling tidak untuk Asia Selatan dan Tenggara dan Pasifik Barat Daya. Dalam beberapa persetujuan penetapan batas antara Indonesia dengan negara lain juga menggunakan prinsip sama jarak. Demikian juga dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dikemukakan bahwa selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang pe, dipertimbangkan, maka batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negaranegara, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia termaksud. Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 disebutkan bahwa dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah yang titiktitiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut. Sama seperti ketentuan hukum nasional Indonesia, Filipina juga telah mengumumkan wilayah ZEE sejauh 200 mil pada bulan Juni tahun Sistim yang dianut Filipina dalam penetapan batas ZEE negaranya adalah sama dengan yang dianut oleh Indonesia yakni "median line atau equidistance". Baik Indonesia maupun Filipina keduanya juga adalah negara kepulauan. Dengan terjadinya penetapan batas ZEE 200 mil laut oleh kedua belah pihak yang diukur dari garisgaris pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing yang mengelilingi kepulauannya, maka di bagian Selatan Pilipina (bagian selatan Mindanao) dan

61 134 bagian utara Indonesia (Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara) perlu diadakan penetapan batas-batasnya. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dan Filipina merupakan negara kepulauan. Sebagai konsekwensi dari eksistensinya sebagai negara kepulauan, maka setiap hak dan kewajiban yang berkaitan dengan konsepsi negara kepulauan, akan berlaku terhadap kedua negara tersebut. Termasuk di dalamnya mengenai penetapan batas bagi suatu negara kepulauan yang berhadapan atau bersampingan dengan negara lain. Dalam Pasal 15 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 disebutkan bahwa dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garisgaris pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi ketentuan diatas tidak berlaku, apabila terdapat alasan historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan diatas. Walaupun bukan dalam konteks Bab V Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai ZEE, akan tetapi ketentuan Pasal 15 tersebut mengandung substansi bahwa apabila suatu negara kepulauan memiliki pantai yang berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, maka negara tersebut harus mengadakan penetapan wilayahnya dengan berdasarkan pada garis tengah. Pengaturan mengenai prinsip sama jarak, juga ditetapkan dalam Konvensi Jenewa tahun 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan bahwa batas landas kontinen akan ditentukan melalui persetujuan diantara negara-negara yang berkepentinpan. Karena itu dalam hal tidak adanya persetujuan dan kecuaii kalau garis batas iainnya dibenarkan oleh keadaan-keadaan khusus, perbatasan akan ditentukan melalui penerapan dari prinsip sama jarak (Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (2).

62 135 Pemakaian prinsip sama jarak (equidistance principle) sebagaimana disebutkan diatas yang ditetapkan menurut garis sama jarak dari titik-titik yang paling dekat dari pantai negara-negara (sebagaimana yang ditetapkan Komisi Hukum Internasional selama tahun 1950-an) merupakan solusi yang mempunyai keuntungan-keuntungan mengenai kesederhanaan dan kepastian. Hal ini dibandingkan dengan penetapan batas berdasarkan kondisi suatu pulau (pulau utama) di lepas pantai yang ternyata menciptakan penyimpangan besar-besaran terhadap garis sama jarak. Salah satu contoh konfigurasi dari pulau utama yang menciptakan prinsip sama jarak yang tidak adil dan merupakan salah satu sumber sengketa adalah peradilan dalam kasus Landas Kontinen Laut Utara pada tahun 1969, yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak dari kecekungan atau kelekukan garis pantai Republik Federal Jerman dan negara-negara yang berdekatan, yaitu Denmark dan Belanda. Pembenaran penetapan batas berdasarkan prinsip sama jarak juga mencontohi praktek dari sejumlah negara. Berdasarkan sejumlah ketentuan konvensi dan yurisprudensi maka Churchill & Lowe, menyimpulkan bahwa paling sedikit ada empat prinsip yang dapat diterima dengan jelas mengenai penetapan batas, yaitu : (1) Hak-hak atas landas kontinen adalah melekat dan ini harus diakui dalam penetapan-penetapan batas; ada dalam teori, tidak ada unsur distribusi keadilan yang dilibatkan. (2) Penetapan batas melalui perjanjian tetap merupakan aturan yang utama dari hukum internasional. (3) Setiap penetapan batas, apakah disetujui atau ditentukan oleh pihak ketiga, harus menghasilkan prinsip solusi yang adil. (4) Tidak ada pembatasan bagi faktor-faktor yang berhubungan dengan penetapan-penetapan batas berdasarkan keadilan Kendala-Kendala Dalam Penetapan Batas ZEE Indonesia-Filipina Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina dinilai akan lebih mudah dibandingkan dengan penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Australia. Hal ini disebabkan bahwa tidak adanya keadaan-keadan khusus

63 136 (special circumstances) diantara pulau-pulau Indonesia dan Filipina. Sebagai contoh, diantara pulau Marore (suatu pulau yang berada di wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (yang berada di Mindanao Selatan-Filipina) yang jaraknya hanya 35 mil laut, tidak ada satupun pulau yang berada pada posisi diantara kedua pulau tersebut. Hal yang sama juga antara Pulau Kawio (yang ada di wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (di bagian selatan Filipina), yang hanya berjarak 37 mil laut. Demikian juga dengan kondisi geografis antara Pulau Miangas (di Indonesia bagian utara Kabupaten Kepulauan Talaud Indonesia) yang berhadapan dengan pulau San Agustin Filipina yang berjarak 50 mil laut. Dengan kata lain, diantara ketiga posisi ketiga pulau-pulau yang berdampingan atau berdekatan tersebut, tidak ada satu pun pulau atau karang yang diklaim sebagai milik, baik dari Indonesia maupun dari Filipina, untuk dapat dijadikan dasar pengukuran sekaligus penetapan batas wilayah ZEE, berdasarkan keadaan-keadaan tertentu Peran daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil Tata kelola sumberdaya pulau-pulau kecil merupakan bagian tak terpisahkan dari tata kelola sumberdaya wilayah pesisir dari program pemerintah secara umum. Oleh karena itu, tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil harus mengikuti prinsip-prinsip tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance), juga mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil yang saat ini telah banyak dikembangkan oleh para ilmuwan dan praktisi tata kelola sumber daya pulau-pulau kecil. Aturan hukum dibuat merupakan bagian tata kelola pemerintah untuk membentuk perilaku individu dan lembaga dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan aturan hukum sangat tergantung pada legitimasi dari masyarakat dan pemberian sanksi. Setiap upaya pembuatan peraturan perundang-undangan harus mengacu pada kerangka hukum yang sudah ada. Keseluruhan kerangka hukum inilah yang memberi identitas bagi sistem hukum di Indonesia, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini :

64 137 Tabel 12 Tata Urutan Hukum yang dipergunakan di Indonesia Hukum dan proses penyusunannya dapat digambarkan sebagai perangkat utama dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan. Hukum akan menentukan baik dan buruknya suatu tata kelola pemerintahan. Hukum yang berbasiskan pada tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) seringkali disebut sebagai faktor penentu keberhasilan pengelolaan yang berkelanjutan (Martin and Smith, 2000). Upaya menciptakan suatu sistem hukum yang bertalian dengan masyarakat yang diaturnya haruslah didasarkan kepada kepentingan, kebutuhan, aspirasi, dan kemampuan masyarakatnya. Oleh karena itu, penyusunan suatu hukum harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut: (1) menghindari pemberian kewenangan yang berlebihan; (2) menghindari pengaturan dan persyaratan yang tidak perlu, berlebihan, dan sulit diterapkan; (3) mengakomodasi ketetapan yang bersifat transparan, akuntabel, dan melewati proses pengambilan keputusan yang benar; (4) melibatkan tokoh masyarakat setempat; (5) menyelenggarakan proses pelibatan publik yang luas; dan (6) meningkatkan efektivitas mekanisme penegakan hukum (Lindsay, 2000). Seluruh ketentuan ini dirangkai dengan delapan prinsip tata kelola pemerintahan, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian dasar yaitu proses, substansi, dan keberpihakan. Proses pembuatan peraturan peraturan perundang-

65 138 undangan hendaknya mengikuti prinsip-prinsip transparansi/keterbukaan, partisipasi, koordinasi, dan keterpaduan. Substansi peraturan perundangundangan hendaknya menguraikan materi muatan dengan mengikuti prinsip-prinsip kepastian hukum, fleksibilitas administrasi, akurasi secara ilmiah, sosial-ekonomi, kegunaan, kejelasan, dan pendanaan berkelanjutan. Penerapan menguraikan penyelenggaraan dan penegakan hukum, yang dituangkan lewat prinsip-prinsip akuntabilitas, pelaksanaan, keputusan yang adil, keutuhan proses, dan kesempatan dengar pendapat yang sama (Patlis, 2003) Kebijakan pengambilan keputusan masyarakat Proses yang transparan dalam pengambilan keputusan memberikan kepada masyarakat: (1) informasi tentang akan ditetapkannya suatu kebijakan, dan (2) peluang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Hal penting dalam proses pengambilan keputusan adalah bahwa kegiatan ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah secara langsung. Proses yang transparan haruslah mampu meniadakan batas antara pemerintah dan non pemerintah. Partisipasi mendorong: (1) terciptanya komunikasi publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan pemerintah, dan (2) keterbukaan informasi pemerintah yang lebih baik untuk kemudian menyediakan gagasan baru dalam memperluas pemahaman komprehensif terhadap suatu isu (Axelrod, 1984). Partisipasi mengurangi kemungkinan terjadinya konfl ik dalam menerapkan suatu keputusan (Ostrom, 1992) dan mendukung penerapan akuntabilitas, serta mendorong publik untuk mengamati apa yang dilakukan oleh pemerintah (Estache, 1995). Partisipasi publik tercermin dalam: (1) kesempatan untuk melakukan kajian terhadap rancangan keputusan; (2) kesempatan untuk memberikan masukan; dan (3) tanggapan terhadap masukan publik dari pengambil keputusan, dalam hal ini pemerintah. Koordinasi dan keterpaduan/integrasi berkaitan dengan hubungan antara pemerintah dan organisasi dalam pemerintah menyediakan mekanisme yang

66 139 melibatkan instansi lain dalam pengambilan keputusan secara utuh. Keterpaduan memerlukan kombinasi yang harmonis antara wawasan dan aksi koordinasi, menekan konflik, membatasi ketidakefektifan, dan yang terpenting membatasi jumlah produk hukum. Keterpaduan tidak mengurangi kewenangan suatu instansi, melainkan sekadar mengurangi sifat keotonomiannya. Keterpaduan menghasilkan pemerintah yang lebih efisien Dasar kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil Akurasi llmiah dan pertimbangan sosial-ekonomi, dimana setiap peraturan yang berhubungan dengan tata kelola wilayah pesisir hendaknya sarat dengan keilmuan di dalamnya. Akan tetapi, pertimbangan sosial dan ekonomi akan memperkaya nuansa dan muatan peraturan tersebut dalam upaya pengelolaan wilayah pesisir. Suatu peraturan tidak bersifat normatif semata, melainkan juga harus mencerminkan isu dan permasalahan sebenarnya, berikut strategi pemecahan yang dibutuhkan masyarakat. Untuk dapat memastikan kebutuhan yang sebenarnya dari para pemangku kepentingan, suatu kajian akademis terhadap peraturan yang tengah dirancang atau ditetapkan perlu dilakukan, dengan menekankan pertimbangan ilmiah, sosial, dan ekonomi di dalamnya. Pendanaan berkelanjutan mengacu pada pendanaan yang cukup untuk mengimplementasikan suatu peraturan. Pada sebagian besar wilayah, pendanaan digunakan untuk keperluan administrasi dan operasional, dan hanya sedikit yang digunakan untuk pelaksanaan program dan pembangunan, kecuali apabila ada alokasi khusus. Keterbatasan kemampuan dalam mendukung pendanaan merupakan salah satu alasan utama lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Kejelasan peraturan dapat diterima untuk kemudian dilaksanakan dengan baik hanya apabila memiliki kejelasan dan dapat dicerna oleh masyarakat (Seidman, et al., 2001; Botchway, 2001). Kejelasan mengacu pada bagaimana suatu peraturan dirumuskan dan masyarakat mengerti akan kandungan yang terdapat di dalamnya. Akuntabilitas merupakan landasan dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik (Bennett, 2001), yang dapat mendorong perilaku pemerintah, baik secara individu dan kelembagaan, untuk melaksanakan tanggung

67 140 jawab kepada publik dan menegakkan hukum (Turner and Hulme, 1997). Akuntabilitas penting dilakukan untuk mengatasi inefi siensi dan mendorong pengambilan keputusan secara lebih dewasa. Kepastian Hukum. Kepastian hukum adalah jantung dari aturan hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kepastian hukum sangat penting untuk sistem pemerintahan yang baik dan efisien. Kepastian hukum juga akan memberikan jaminan keamanan terhadap investasi. Kepastian hukum akan memberikan persamaan secara sosial dan mencegah timbulnya konfl ik dalam masyarakat. Dengan demikian, kepastian hukum tidak saja penting bagi pemerintah, melainkan juga dunia usaha dan masyarakat. Keleluasaan administratif telah lama digunakan dalam penyusunan perundangan. Tak satupun peraturan yang dapat secara efektif memprediksi semua kegiatan, fakta, dan situasi yang dibutuhkan (Botchway, 2001). Keleluasaan dapat dituangkan secara eksplisit dan implisit dalam suatu peraturan. Pemenuhan tingkat keadilan seringkali dipandang semu, sulit diukur, dan berbeda antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Namun demikian, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan berhak mendapatkan keadilan. Prinsip keadilan sesungguhnya memiliki keterkait erat dengan supremasi hukum. Supremasi hukum akan menentukan arah dan menjamin kepastian hukum, keadilan, dan pembelaan hak asasi manusia. Hukum ditegakkan bukan atas dasar kepentingan kekuasaan ataupun golongan kepentingan tertentu, melainkan demi nama keadilan. Keadilan tidak semata ditegakkan hanya demi mewujudkan aturan hukum secara adil. Keadilan harus didukung oleh keberadaan institusi hukum dan aparat penegak hukum yang jujur, profesional dan tidak terpengaruh oleh golongan manapun. Selain kedelapan prinsip good governance terdapat juga prinsip yang menjadi dasar dalam menyusun peraturan perundang-undangan, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

68 141 dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang- Undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam pembentakan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifi tas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijabarkan juga bahwa materi

69 142 muatan peraturan perundangan harus memenuhi asas sebagai berikut, yaitu pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kapastian hukum; dan atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. (1) Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang- Undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. (2) Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang- Undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. (3) Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang- Undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. (4) Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. (5) Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang- Undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. (6) Bhinneka tunggal ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundang- Undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (7) Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

70 143 (8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. (9) Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. (10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa: Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat, berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang- Undangan yang bersangkutan. Penjelasan, yang dimaksud dengan asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain: (a) dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapi dana, dan asas praduga tak bersalah; (b) dalam Hukum Peraturan Daerah, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik. Secara formal, rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD atau Kepala Pemerintah Daerah. Penyusunan sebuah Peraturan Daerah hanya dapat diinisiasi apabila terdapat permasalahan yang pencegahan atau pemecahannya memerlukan sebuah Peraturan Daerah baru. Inisiasi awal penyusunan Peraturan Daerah baru dapat diprakarsai oleh pemangku kepentingan yang terkait dengan sumber daya wilayah pesisir, baik itu lembaga/instansi pemerintah, badan legislatif, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah, maupun kelompok masyarakat. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah

71 144 dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam Peraturan Daerah. Lebih lanjut ditegaskan bawha kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Peraturan Daerah lain. Terlepas dari pihak mana yang mengambil prakarsa awal penyusunan sebuah Peraturan Daerah baru, hendaknya diingat bahwa saat ini terdapat dua jalur penyusunan Peraturan Daerah, yaitu jalur eksekutif dan jalur legislatif. Oleh karena itu, pejabat berwenang dari lembaga/instansi eksekutif dan badan legislatif hendaknya dilibatkan sejak awal. Dengan kata lain, sebelum melangkah terlalu jauh, inisiasi awal yang bisa saja datang dari kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya tersebut haruslah diadopsi menjadi inisiasi lembaga/instansi eksekutif atau badan legislatif. Setelah instansi/badan yang menginisiasi memahami prinsip-prinsip penyusunan Peraturan Daerah, maka instansi tersebut telah siap untuk membuat kerangka konseptual dan memulai proses pembuatan Peraturan Daerah. Pada intinya, pembuatan Peraturan Daerah sebenarnya merupakan satu bentuk pemecahan masalah secara rasional. Layaknya sebagai proses pemecahan masalah, langkah pertama yang perlu diambil adalah menjabarkan masalah yang akan diatasi, dan menjelaskan bagaimana Peraturan Daerah yang diusulkan akan dapat memecahkan masalah tersebut. Konsep atau draft rancangan Peraturan Daerah harus merupakan usulan pemecahan masalah-masalah spesifik yang telah diidentifikasi dan dirumuskan. Seperti layaknya usulan pemencahan masalah yang memerlukan kajian empiris, draft Peraturan Daerah juga hendaknya dikaji secara empiris melalui konsultasi publik dan pembahasan antar-instansi. Lebih jauh, rancangan Peraturan Daerah yang sudah disahkan hanyalah merupakan pemecahan masalah secara teoristis. Sebagai pemecahan masalah, Peraturan Daerah yang baru hendaknya dicek secara silang (crosscheck). Peraturan Daerah perlu diimplementasikan untuk mengetahui secara pasti tingkat keefektifan yang sebenarnya.

72 145 Secara umum, terdapat 6 (enam) langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Peraturan Daerah baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui. (1) Langkah 1: Identifi kasi isu dan masalah; (2) Langkah 2: Identifi kasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana Peraturan Daerah (Peraturan Daerah) baru dapat memecahkan masalah; (3) Langkah 3: Penyusunan Naskah Akademik; (4) Langkah 4: Penulisan Rancangan Peraturan Daerah; (5) Langkah 5: Penyelenggaraan Konsultasi Publik; Revisi Rancangan Peraturan Daerah; Apabila diperlukan, melakukan konsultasi publik tambahan; (6) Langkah 6: Pembahasan di DPRD (7) Langkah 7: Pengesahan Peraturan Daerah. Gambar 17 Alur proses penyusunan peraturan daerah Proses legislative drafting sebenarnya sudah dimulai dalam penyusunan naskah akademik. Isu dan masalah ditelaah dan dianalisis, dan pemikiranpemikiran serta tema-tema disajikan secara tertulis di dalam naskah akademik. Hal ini akan membentuk struktur atau sistematika penulisan Peraturan Daerah yang baru. Idealnya, proses penyusunan naskah akademik berlanjut secara alami menuju proses penyusunan legislative drafting atau rancangan Peraturan Daerah.

73 146 Secara umum, legislative drafting hendaknya dimulai dengan penulisan secara garis besar, lalu dilanjutkan ke penulisan yang lebih detil atau rinci. Tim dapat memulainya dengan membuat satu kerangka tulisan (outline), atau dengan merumuskan tujuan dari Peraturan Daerah yang dibuat, yang mengidentifi kasi tema-tema utama dan ruang lingkup dari Peraturan Daerah yang baru. Telaah naratif berdasarkan naskah akademik dapat dimasukkan di sini. Tim penyusun hendaknya menyempurnakan ruang lingkup Peraturan Daerah yang baru, melalui serangkaian pertemuan dengan para pemangku kepentingan, serta didukung dengan hasil kerja anggota tim secara individu yang dikerjakan di antara pertemuan-pertemuan tersebut. Naskah akademik hendaknya dipakai sebagai dasar dalam melakukan pengecekan silang (cross-checking) dari usulan-usulan yang disampaikan dalam pertemuan-pertemuan ini. Dalam tahap-tahap awal, konsep rancangan Peraturan Daerah sebaiknya tidak ditulis menyerupai suatu Peraturan Daerah. Draft awal hendaknya tidak ditulis dalam bentuk bab, pasal, dan ayat. Tim dapat memulai dengan sebuah matriks yang mengidentifi kasi masalah, mengusulkan pemecahan masalah, dan tulisan hukum secara singkat yang berkaitan dengan dua hal tersebut. Materi muatan Peraturan Daerah tentang pulau kecil, tentunya tidak dapat diseragamkan untuk seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Dalam penyusunan Peraturan Daerah pengelolaan pulau kecil di daerah perbatasan, materi muatannya hendaknya disesuaikan dengan potensi, permasalahan, dan kebutuhan masingmasing daerah. Adapun materi muatan yang disajikan di bawah ini dimaksudkan sebatas sebagai bahan acuan, yang penggunaannya harus mengikuti kebutuhan masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Pada intinya, pengelolaan pulau kecil bertujuan untuk pengelolaan berkelanjutan atas seluruh sumber daya yang berada di pulau kecil termasuk wilayah pesisirnya dengan mengakomodasi kepentingan seluruh pemangku kepentingan yang ada. Pengelolaan pulau kecil mengkoordinasikan dan memadukan seluruh aktivitas di pulau kecil untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir yang ada untuk tujuan ekonomi dan lainnya, dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Konsep pengelolaan pulau kecil memberi keleluasaan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk

74 147 tetap melakukan program dan aktivitasnya masing-masing di pulau kecil termasuk wilayah pesisir. Seluruh sektor seperti kehutanan, pertambangan, perikanan dan sebagainya masih tetap memiliki kewenangan masing-masing dalam mengelola program dan aktivitas mereka di pulau kecil dalam wilayah pesisir. Program yang dikehendaki adalah bahwa perencanaan dan pengelolaan seluruh program harus dilakukan secara terpadu, agar semua program dan aktivitas yang dilakukan saling memperkuat satu sama lain, tidak saling bertabrakan dan merugikan satu sama yang lain. Keterpaduan mutlak diperlukan dalam seluruh proses perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir yang bersifat multisektoral. Namun demikian, mencapai keterpaduan perencanaan dan pengelolaan tersebut bukanlah hal yang mudah. Apalagi, pengelolaan wilayah dan sumber daya pesisir sangat erat kaitannya dengan tata kelola kepemerintahan yang kompleks, dan menghadapi permasalahan-permasalahan sulit seperti kerancuan yurisdiksi, ketidakjelasan kewenangan, serta status milik bersama (common property) dan akses terbuka (open access) sumber daya pesisir pada umumnya. Untuk itulah, pengelolaan sumber daya pesisir perlu melibatkan seluruh tingkatan, dari nasional hingga pemerintahan desa, dan seluruh pemangku kepentingan pada setiap tingkatan pemerintahan. Manfaat-manfaat yang diperoleh dengan melakukan pengelolaan pulau kecil dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori. Kategori inilah yang sedapat mungkin diikutsertakan dalam proses pengelolaan pulau kecil. Keempat kategori tersebut ialah: (1) Manfaat dari sumber daya laut dan darat (terrestrial) yang berkelanjutan, termasuk ikan, karang, pantai, mangrove, estuari, laguna, dan sebagainya; (2) Manfaaat pencegahan terjadinya pencemaran/polusi, baik yang berasal dari darat maupun laut, dan perlindungan kesehatan dan keamanan masyarakat pesisir; (3) Peningkatan manfaat ekonomi dari industri pariwisata dan maritim; (4) Pengembangan beberapa manfaat baru seperti energi dan ekowisata.

75 148 Bagaimanapun juga, perlu dipahami bahwa tiada cara yang lebih baik untuk merencanakan dan menyelenggarakan pengelolaan pulau kecil selain dengan menyesuaikannya kepada keberadaan kelembagaan dan lingkungan dalam suatu wilayah terkait. Termasuk pula di dalamnya pertimbangan mengenai struktur politik dan administrasi, kondisi ekonomi, kebudayaan, dan tradisi sosial (Clark, 1996). Di Indonesia, upaya penyusunan peraturan perundang-undangan formal tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu sudah berjalan selama beberapa tahun. Di Sulawesi Utara, misalnya, warga di Desa Bentenan, Tumbak, Blongko, dan Talise menyusun peraturan desa (Perdes) mengenai pengelolaan daerah perlindungan laut dan wilayah pesisir berbasis masyarakat pada tahun , yang bertujuan menyediakan kerangka hukum di tingkat desa. Berikutnya, tahun , 24 desa di satu kecamatan (Likupang, Minahasa Utara) menetapkan Perdes tentang pengelolaan daerah perlindungan laut dan wilayah pesisir. Upaya penyusunan Perdes di desa-desa lainnya di Sulawesi Utara kemudian dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Perdes di tingkat desa ini kemudian diikuti dengan penyusunan dan pengesahan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi jenjangnya, yaitu Peraturan Daerah mengenai pengelolaan wilayah berbasis masyarakat tingkat kabupaten dan provinsi. Di samping itu, upaya penyelesaian rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir terpadu di tingkat nasional saat ini sedang berlangsung. Selain upaya-upaya yang telah di Sulawesi Utara, upaya serupa tengah berlangsung di sejumlah kabupaten/kota dan provinsi, yang difasilitasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui proyek Marine and Coastal Resources Management Project (MCRMP). MCRMP diikuti oleh 15 (lima belas) provinsi dan 43 (empat puluh tiga) kabupaten/kota di Indonesia, yang sebagian besar berupaya menyusun Peraturan Daerah mengenai pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjelaskan sejumlah pertanyaan, keraguan, dan inkonsistensi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun Banyak kerangka dasar

76 149 yang diboyong ke Undang-Undang baru. Pasal 2 dan 10 (10) pada Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencantumkan wewenang yang luas bagi pemerintahan daerah untuk mengelola wilayah mereka sendiri. Jangkauan/lingkup kewenangan ini dicantumkan dalam Pasal 13 untuk provinsi dan Pasal 14 untuk kabupaten dan kota, dan memasukkan masalah tata ruang, urusan kemasyarakatan, monitoring lingkungan, dan beberapa urusan lain. Hak-hak untuk Pemerintah Derah (provinsi dan kabupaten/kota), termasuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam, diatur dimuat dalam Pasal 21, dan pertanggungjawaban termasuk melindungi dan melestarikan lingkungan dicantumkan dalam Pasal 22. Pemerintah Provinsi perlu memiliki kemampuan dalam menangani permasalahan-permasalahan antar-kabupaten/kota (Pasal 13), dan Pemerintah Pusat dapat menolak peraturan-peraturan Daerah yang tidak sejalan dengan undang-undang (Pasal 136, 145). Bupati kepala daerah dipilih langsung, dan desa diberi tanggung jawab lebih besar dalam menangani masalah-masalahnya, meskipun tetap harus merujuk ke kabupaten (Pasal 200). Undang-undang yang baru memberikan arahan lebih baik dibandingkan dengan Undang-Unang Nomor 22 Tahun 1999 dalam mendorong tata kelola pemerintahan yang baik. Masyarakat adat diakui dan diperhatikan, sesuai dengan prinsip negara (Pasal 2). Prinsip-prinsip manajemen, akuntabilitas, dan efisiensi menjadi pijakan bagi Pemerintah untuk bekerja (Pasal 11). Pengelolaan sumber daya alam dilaksanakan dalam cara yang jujur dan harmonis (Pasal 26). Masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam penyusunan Peraturan Daerah (Pasal 139 ayat 1). Di sini dijelaskan juga bahwa Peraturan Daerah harus mengikuti kerangka hukum yang telah ada sebelumnya (Pasal 139 ayat 2 dan Pasal 145). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Pasal 4, menyatakan secara umum bahwa ketentuan tersebut bertujuan untuk mengatur dan mengorganisasikan masyarakat setempat berdasarkan keputusan yang mereka ambil dan aspirasi mereka sendiri. Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa wewenang ini mencakup setiap urusan pemerintahan, kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, hukum/keadilan, keuangan, dan agama. Pemerintah

77 150 Pusat tetap memegang kewenangan untuk membuat kebijakan tentang banyak hal, termasuk pemanfaatan dan konsevasi sumber daya alam. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, memuat ketentuan-ketentuan khusus sehubungan dengan pengelolaan perairan pesisir dan laut (coastal waters), yang merupakan perubahan nyata tata kelola pemerintahan sehubungan dengan pengelolaan perairan pesisir dan laut. Perairan laut provinsi ditentukan sejauh 12 mil laut, terhitung dari garis pantai. Provinsi memiliki kewenangan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan pada kawasan tersebut. Kabupaten/kota memiliki kewenangan mengelola sampai dengan sepertiga dari perairan laut provinsi, terhitung dari garis pantai ke arah laut. Terdapat dua pengecualian mengenai kewenangan daerah ini. Pertama, dasar laut yang berada di bawah teritorial suatu samudera, tidak secara jelas tercakup dalam wilayah laut ini, sehingga kewenangan dalam mengelola wilayah dasar laut tetap berada di tangan Pemerintah. Hal ini termasuk dalam hak-hak pelaksanaan kegiatan di bawah laut, seperti minyak, gas, dan mineral. Kedua, hakhak penangkapan ikan secara tradisional tidak dibatasi oleh teritorial laut suatu daerah. Sehubungan dengan perairan laut yang berada dalam yurisdiksi Pemerintah, terutama Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang berada di luar batas 12 mil, Pemerintah tetap memegang tanggung jawab langsung untuk melakukan kegiatan-kegiatan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, (Pasal 2 (3) (2) (a)), Pemerintah memiliki hak untuk mengeksplorasi, mengkonservasi, memproses, dan mengeksploitasi semua sumber daya alam yang berada di perairan itu. Hak pemerintah di wilayah laut berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur dalam Pasal 18 yaitu: (1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. (2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

78 151 1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; 2) pengaturan administratif; 3) pengaturan tata ruang; 4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; 5) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan 6) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. (4) Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. (5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. (7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Indonesia telah memiliki pengalaman dalam menyusun peraturan perundang-undangan, dari tingkat desa sampai ke tingkat Pemerintah Pusat, yang secara khusus mengatur pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Sampai saat ini di Provinsi Sulawesi Utara, setidaknya terdapat beberapa peraturan desa dan peraturan daerah kabupaten/kota dan provinsi yang telah dibuat dan disahkan yaitu di tingkat Kabupaten yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat; sedangkan satu Peraturan Daerah provinsi yang telah diberlakukan adalah Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat, yang dibuat belum dilandasi dengan Undang- Undang khusus mengenai pengelolaan wilayah pesisir, karena Undang-Undang

79 152 yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil nanti di tetapkan pada tahun Selain peraturan yang belum dilandasi dengan undang- Undang pengelolaan pesisir, namun di Kota Bitung telah ditetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, telah dilakukan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, sebagai kebijakan dan hukum nasional dalam pengelolaan wilayah pesisir. Namun khusus untuk pengelolaan pulau kecil hingga saat ini belum ada peratuiran daerah yang di proses. Demikian pula di kabupaten yang menjadi obyek penelitian belum ada peraturan daerah yang khusu mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, walapun telah diamanatkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Nomor 38 Tahun 2003 agar kabupaten dan kota wajib melakukan penyusunan dan menetapkan peraturan daerah pengelolaan wilayah pesisir. Seluruh peraturan daerah disebut di atas disebut telah dilakukan melalui proses penyusunan yang bersifat terbuka, transparan dan partisipatif atau dengan cara bottom up. Seluruh pengalaman ini menunjukkan bahwa telah terjadi pembelajaran yang cukup banyak dalam penyusunan peraturan perundangundangan tentang pengelolaan wilayah pesisir. Oleh karena sebuah peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya, maka idealnya rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan wilayah pesisir disusun di Provinsi Sulawesi Utara sudah seharusnya direvisi menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang baru ditetapkan. Proses pembelajaran yang telah dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara didasarkan pada paham atau kaidah-kaidah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan baik menurut prinsip yang dianutnya maupun mekanisme dalam menggulirkan prosesnya. Sehingga, diharapkan akan memberikan sumbangsih pemikiran untuk mendorong terciptanya suatu proses penyusunan Peraturan Daerah yang baik, khususnya mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil di Provinsi Sulawesi Utara.

80 Analisis Hierahi Proses Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau- Pulau Kecil Kajian faktor eksternal dan internal ditujukan untuk mengetahui existing condition (kondisi saat ini) dari aspek sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum, kelembagaan, dan internasional tentang pengelolaan pulaupulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Faktor-faktor eksternal dan internal ini diidentifikasi berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner oleh responden yang memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing berkaitan dengan permasalahan pulau-pulau kecil terluar. Responden yang terlibat terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat lokal. Hasil yang diperoleh dijelaskan sebagai berikut : Faktor eksternal Faktor eksternal ini dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu peluang dan ancaman. Peluang adalah existing condition dari segi eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara, sedangkan ancaman adalah existing condition dari segi eksternal yang harus diantisipasi dan ditanggulangi agar tujuan peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar tercapai Peluang dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (1) Kebijakan nasional mendorong investasi. Faktor ini menjadi peluang dengan alasan bahwa investasi adalah kunci pertumbuhan ekonomi. Dengan dukungan pemerintah dalam tataran nasional untuk mendorong investasi maka pemanfaatan potensi sumber daya dalam kaitannya dengan peningkatan pengelolaan di pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara semakin optimal. Investasi yang dapat dikembangkan di pulau-pulau terluar berupa investasi di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, dan pariwisata sesuai dengan potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang dimiliki oleh pulau-pulau tersebut. (2) Kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah. Kebijakan pemerintah ini merupakan kebijakan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah menurut kerangka perundang-undangan yang

81 154 berlaku untuk mengatur kepentingan pengelolaan daerah masing-masing. Faktor ini dapat menjadi peluang untuk meningkatkan pendapatan asli dareah dengan mengembangkan sektor-sektor produktif. (3) Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam. Potensi pasar baik lokal, nasional, dan internasional akan kebutuhan hasil olahan sumber daya alam menjadi dorongan untuk meningkatan nilai tambah dari pengelolaan sumber daya alam tersebut dan pemberdayaan aspek sosial ekonomi masyarakat lokal pulau-pulau terluar (4) Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia. Konvensi Hukum Laut 1982 telah memberikan hak kepada Indonesia untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan batas-batas maksimum yang sudah ditetapkan. Penetapan batas merupakan kepastian hukum yang dapat menunjang berbagai kegiatan dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar di bidang pertahanan keamanan, perikanan, pariwisata, pelayaran dan pertambangan. (5) Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga. Kerjasama ini diharapkan mampu mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Indonesia dengan negara-negara tetangga sehingga terbentuk sebuah perjanjian atau persetujuan yang mengakomodir kepentingan masing-masing negara. (6) Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah khususnya pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun Dalam pengelolaannya perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden Ancaman dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (1) Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE). Batas wilayah Negara Indonesia dengan Negara Filipina belum disepakati dan ditetapkan secara bersama antara kedua negara. Faktor ini menjadi

82 155 ancaman karena ketidakjelasan batas-batas wilayah suatu negara akan menimbulkan sengketa dengan negara tetangga dalam memberlakukan wewenang pengelolaan kekayaan sumber daya. (2) Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara. Respon pengawasan yang lemah akibat lemahnya perangkat hukum dan perangkat kelembagaan merupakan ancaman untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang menyebabkan berkembangnya kegiatan illegal dan eksploitasi di kawasan perbatasan. Kegiatan illegal di daerah perbatasan sudah berlangsung sejak dulu hingga sekarang seperti illegal fishing, illegal logging, illegal trading, dan penyelundupan. Tindakan ini merupakan ancaman karena akan menghambat pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. (3) Adanya konflik kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Stakeholder baik dari lembaga pemerintah pusat, daerah, instansi swasta, dan masyarakat memiliki kebutuhan dan pandangan berbeda terhadap pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Kepentingan ini bisa menjadi sebuah konflik yang menghambat peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara Faktor internal Faktor internal dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kekuatan dan kelemahan. Kekuatan dalam hal ini adalah existing condition dari segi internal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara, sedangkan kelemahan adalah existing condition dari segi internal yang harus diantisipasi agar tujuan peningkatan pengelolaan pulaupulau kecil terluar tercapai Kekuatan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (1) Sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar. Pulau-pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar terutama sumber daya kelautan yaitu berbagai jenis ikan, terumbu karang, lamun dan mangrove, sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang sangat prospektif adalah kegiatan pariwisata bahari. Keberadaan potensi ini menjadi

83 156 strategis sebagai wujud pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa kelautan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. (2) Posisi geografis yang cukup strategis. Pulau-pulau kecil memiliki posisi geografis yang cukup strategis karena berada di daerah perbatasan. Posisi strategis ini berpotensi dijadikan kawasan pengembangan pelabuhan yaitu sebagai pintu masuk dan keluar bagi Peraturan Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga. Posisi yang strategis ini juga berpotensi sebagai basis pertahanan dan keamanan negara. Potensi ini memegang peranan penting dalam rangka pembangunan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara. (3) Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar. Program pembangunan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJMD) tahun Adanya program ini yang disertai dukungan anggaran dari APBD merupakan bagian dari faktor kekuatan dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil Kelemahan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil Terluar (1) Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar. Wilayah pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara yaitu Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan wilayah terpencil yang menyebabkan kendali pengawasan pemerintah menjadi sulit untuk dilaksanakan sehingga menimbulkan potensi kerawanan sosial, budaya, politik, hukum, dan pertahanan keamanan. (2) Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian. Wilayah pulau-pulau kecil terluar memiliki keterbatasan sarana dan prasarana perekonomian seperti jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan listrik, lembaga perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan pendapatan

84 157 masyarakat yang rendah. Terbatasnya sarana dan prasarana ini merupakan penghambat dalam pengelolaan wilayah pulau-pulau terluar. (3) Terbatasnya sarana prasarana sosial. Keterbatasan sarana dan prasarana sosial seperti kurangnya fasilitas pendidikan, tidak tersedianya informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Rendahnya kualitas SDM, berpengaruh terhadap pengelolaan wilayah pulaupulau terluar. (4) Lemahnya koordinasi antar lembaga. Koordinasi antar lembaga dalam mengelola wilayah pulau-pulau terluar masih lemah dan tidak jelas karena masing-masing lembaga menjalanlan perannya sendiri-sendiri bukan berdasar kebijakan bersama. Kelemahan ini menyebabkan kurangnya integrasi perencanaan pengelolaan wilayah pulaupulau kecil (5) Kontrol Pendanaan yang lemah. Pendanaan yang tercakup dalam APBN, APBD, atau loan/grant dari pemerintah ataupun lembaga donor untuk pelaksanaan program-program pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil belum memiliki pengontrolan yang cukup baik sehingga diperlukan penegakan akuntabilitas publik dari pelaksanaan program-program tersebut. (6) Batas Maritim yang belum selesai. Penetapan batas-batas maritim yang belum selesai masih diupayakan percepatannya melalui kebijakan border diplomacy dan peningkatan hubungan bilateral. Penegasan batas-batas pasti di lapangan dan di atas peta belum dilaksanakan sehingga tidak diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia dan pembinaan batas dan wilayah perbatasan kurang tersentuh pembangunan wilayah sehingga terjadi kesenjangan pembangunan di perbatasan dari berbagai sektor. (7) Belum tersosialisasinya Hukum Laut kepada masyarakat luas termasuk pada pejabat eksekutif dan legislatif, serta implikasinya secara komprehensif. Belum meningkatnya pengetahuan dan pemahaman aspek teknis dari hukum laut 1982 dalam meningkatkan serta memperkuat posisi Indonesia dalam

85 158 berbagai perundingan perbatasan dan batas-batas maritim dengan negara tetangga yang didukung oleh kekuatan-kekuatan para ahli hukum laut. (8) Belum terencananya perencanaan nasional terpadu yang mengintegrasikan kebijakan yang berbasis kelautan dengan juridiksi maritim dalam suatu sistem Marine Space Database yang berwawasan Nusantara, merupakan perspektif sosial politik dan pertahanan keamanan yang memancarkan keutuhan dan kewibawaan negara-bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. (9) Belum adanya UU yang mengatur secara khusus mengenai pulau perbatasan negara. Karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, tingkat keterpencilannya dan fungsi pertahanan dan keamanan yang menonjol menyebabkan penanganan pulaupulau di perbatasan negara perlu mendapat perhatian khusus. Undang-Undang yang telah di tetapkan, belum mengakomodasikan secara lengkap untuk dijadikan sebagai pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Hasil Evaluasi Faktor Eksternal dan Internal Faktor eksternal dan internal yang telah dijelaskan sebelumnya perlu dievaluasi agar dapat mengetahui posisi internal dan eksternal pengelolaan pulaupulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Evaluasi dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu evaluasi faktor eksternal dan evaluasi internal Evaluasi faktor eksternal Pengawasan dan penegakan hukum sangat dibutuhkan agar dapat diperoleh suatu kepastian hukum dalam menjaga kepentingan negara dari gangguan asing. Sementara itu kapasitas pada bidang kelembagaan penegakan hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu ditingkatkan sehingga terwujud penegakan peraturan perundang-undangan, pengawasan, pemantauan, pengamanan, dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun sumberdaya. Sebagai upaya yang diharapkan untuk mengetahui dan mengevaluasi akan keberhasilan penegakan huku di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-

86 159 undangan yang sudah diberlakukan maka perlu dilakukan evaluasi eksternal atas implementasi kebijakan berdasarkan penerapannya. Evaluasi faktor eksternal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat dan skor pada masing-masing faktor. Matriks evaluasi faktor eksternal dapat dilihat pada Tabel 13 berikut : Tabel 13 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal FAKTOR INTERNAL BOBOT PERINGKAT SKOR PELUANG 1 Kebijakan nasional mendorong investasi 2 Kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah 3 Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam 4 Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia 5 Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga 6 Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Jumlah ANCAMAN (9) Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) (10) Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara (11) Adanya konflik kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Total Berdasarkan Tabel 13, nilai skor faktor eksternal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara adalah Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 mengindikasikan bahwa pemanfaatan peluang dan mengatasi ancaman belum efektif. Tingkat kepentingan yang paling atas dari faktor eksternal adalah respon pengawasan perbatasan laut antar negara, yaitu mendapat bobot Respon pengawasan yang masih lemah ini perlu diperbaiki dengan penegakan perangkat hukum dan peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit

87 160 kerja pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai tingkat Nasional. Faktor eksternal di atas juga didukung oleh kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang merupakan prioritas kedua dari faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara dengan bobot Dengan kelembagaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 diharapkan setiap lembaga yang terkait mampu melakukan koordinasi kelembagaan yang efektif dan mampu memainkan peran sesuai kewenangannya. Faktor eksternal lain yang merupakan peluang dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar antara lain kebijakan nasional mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah, meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumberdaya alam, konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga. Faktor-faktor ini dapat dimanfaatkan jadi peluang dan pendukung bagi peningkatan pengelolaan pulaupulau kecil terluar, namun peranan untuk langsung adalah dari aspek hukum dan kelembagaan. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga khususnya Filipina diharapkan mampu mengkoordinasikan permasalahan wilayah perbatasan yang menjadi hak masing-masing negara. Disamping itu yang menjadi ancaman dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) dengan bobot Hal ini perlu untuk segera diselesaikan dan disepakati dengan upaya-upaya politis dan diplomatis. Namun demikian adanya konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar sehingga sering menimbulkan konflik yang sulit diselesaikan karena tidak jelasnya kewenangan antar lembaga maupun antar pemerintahan pusat dan daerah. Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.

88 Evaluasi faktor internal Evaluasi faktor internal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat dan skor terbobot pada masing-masing faktor. Bobot menunjukkan tingkat kepentingan, peringkat menunjukkan kekuatan utama atau kecil dan kelemahan utama atau kecil, dan skor menunjukkan posisi kekuatan faktor strategis internal. Matriks evaluasi faktor internal dapat dilihat pada Tabel 14 berikut : Tabel 14 Matriks Evaluasi Faktor Strategis Internal FAKTOR INTERNAL BOBOT PERINGKAT SKOR KEKUATAN 1. Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar 2. Posisi geografis yang cukup strategis 3. Sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar Jumlah KELEMAHAN 1. Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar 2. Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian. 3. Terbatasnya sarana prasarana sosial 4. Lemahnya koordinasi antar lembaga 5. Belum adanya UU yang khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar 6. Kontrol Pendanaan yang lemah Jumlah Total Berdasarkan Tabel 14, total skor faktor strategis internal mendapatkan angka Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 menunjukkan bahwa faktor strategis internal berada pada posisi lemah. Dengan demikian keadaan faktor internal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara lemah. Faktor kekuatan internal yang dipandang memiliki peran yang besar dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot Program dari pemerintah yang telah ditetapkan untuk pembangunan pulau-pulau kecil menjadi pendorong dan dukungan bagi lembaga terkait dalam meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar secara berkelanjutan.

89 162 Faktor kekuatan internal di atas sangat terkait dengan faktor kelemahan internal yang memiliki tingkat kepentingan pertama yaitu kontrol pendanaan yang lemah dengan bobot Faktor pendanaan menjadi penting karena merupakan anggaran bagi kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil terluar dan pembangunan sarana dan prasarana. Pendanaan yang diperoleh dari berbagai sumber perlu dilakukan pengontrolan dalam penggunaannya agar terwujud hasil yang nyata dan efektif dalam meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Jika dana tidak terkontrol maka peluang terjadi penyalahgunaan dana semakin besar sehingga program pengelolaan wilayah sulit dilaksanakan secara kontinu. Keterbatasan sarana dan prasarana baik sosial dan ekonomi menjadi faktor kelemahan yang cukup dominan dengan bobot dan Adanya sarana dan prasarana yang dilakukan dengan penyediaan perangkat-perangkat infrastruktur merupakan pendukung pengembangan pulau-pulau kecil terluar dan sangat berpengaruh terhadap kelancaran terlaksananya program-program pembangunan. Pembangunan infrastruktur seperti sarana perhubungan mempermudah arus barang dan penumpang dalam memanfaatkan akses pasarpasar lokal, nasional dan internasional (Dahuri, 2003) Rendahnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di pulau-pulau kecil terluar adalah akibat dari keterbatasan sarana dan prasarana sosial. Kualitas SDM merupakan hal yang sangat penting dan mendasar dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar karena SDM tersebut adalah masyarakat lokal yang akan terlibat langsung dalam program-program pembangunan sedangkan mereka belum memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik tentang arti pentingnya pembangunan pulau-pulau kecil terluar. Sebagian besar penduduk di kawasan itu kurang mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak tersentuh pemberdayaan SDM. Faktor lain yang menjadi unsur kelemahan adalah lemahnya koordinasi antar lembaga dengan bobot dan belum adanya UU yang khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar dengan bobot Kedua faktor ini adalah permasalahan dalam aspek hukum dan kelembagaan. Kondisi ini menyebabkan rendahnya kapasitas kelembagaan dan penegakan hukum sehingga sistem dan operasional pengelolaan pulau-pulau kecil terluar menjadi kurang kondusif.

90 163 Faktor internal yang memiliki tingkat kepentingan cukup rendah adalah posisi geografis yang cukup strategis dengan bobot 0.105, sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar dengan bobot dan keterpencilan pulaupulau kecil terluar dengan bobot Faktor-faktor ini adalah bagian dari keunikan dan menjadi ciri khas pulau-pulau tersebut baik dari sisi kelebihan maupun kekurangannya yang tidak bisa diubah sehingga membuat tingkat kepentingan faktor ini menjadi rendah. Namun demikian, faktor ini khususnya sumberdaya alam dan jasa lingkungan kelautan dan posisi geografis yang cukup strategis merupakan kekuatan yang besar di pulau-pulau terluar tersebut yang ditandai dengan peringkat yang besar yaitu untuk posisi geografis dan untuk sumber daya dan jasa kelautan karena ke dua faktor tersebut adalah potensi yang dimiliki oleh pulau yang bersangkutan. Jika lembaga-lembaga terkait mampu mengelola pulau-pulau tersebut sesuai dengan potensinya maka akan didapat hasil yang efektif dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perbatasan negara. Pengelolaan di tujukan pada sektor perikanan yang berpotensi untuk peningkatan devisa negara melalui eksport hasil penangkapan di laut teritorial dan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Eksport dapat dilakukan di Kota General Santos Filipina berhubung pertimbangan biaya transportasi apabila wilayah penangkapan di perbatasan dan lokasi pengumpul di Kota Bitung, maka waktu dan jarak tempuh menjadi pertimbangan. Oleh karena itu perlu peningkatan kerjasama Peraturan Daerahgangan dengan mengacu pada harga kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah pihak Evaluasi Gabungan Faktor Strategis Eksternal dan Internal Hasil evaluasi faktor eksternal dan internal kemudian dievaluasi secara bersama-sama untuk menentukan arah strategi selanjutnya. Evaluasi gabungan ini menggunakan matriks IE (Internal dan Eksternal) yang dapat dilihat pada Gambar 15. Pada matriks tersebut, total skor evaluasi faktor eksternal dan internal diplotkan sehingga dapat diketahui posisi kuadran pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara. Total skor evaluasi faktor eksternal adalah dan total skor evaluasi faktor internal adalah Posisi ini ditunjukkan oleh titik hitam yang berada dalam matriks kuadran V pada Gambar 18.

91 164 Total Skor IFE Kuat Rata-Rata Lemah 4,0 3,0 2,0 1,0 Tinggi 3,0 I II III Total Skor EFE Menengah 2,0 IV V VI Rendah 1,0 VII VIII IX Gambar 18 Matriks IE (Internal Eksternal) posisi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara Berdasarkan dari matriks IE di atas, posisi peningkatan pengelolaan pulaupulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara pada saat ini berada pada kuadran V artinya pengelolaan pulau-pulau tersebut berada pada kondisi yang stabil atau tetap yang menunjukkan bahwa pengelolaan di pulau tersebut masih belum mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan baik dari aspek sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan. Hal ini merupakan kondisi nyata dari pulau-pulau tersebut saat ini seperti pemanfaatan sumber daya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini saja, masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan. Salah satu bukti nyatanya antara lain maraknya pencurian ikan di kawasan tersebut dan sampai saat ini masih belum ada kepastian garis batas laut dan darat antara Indonesia dan Filipina. Pada aspek sosial ekonomi juga belum menunjukkan pertumbuhan, pulau-pulau tersebut masih mengalami keterisolasian dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Begitu juga dengan lemahnya sistem pendanaan sehingga pelaksanaan program-program pembangunan belum bisa dilaksanakan secara kontinu.

92 165 Strategi yang harus dilakukan pada kondisi ini adalah melakukan perbaikan secara internal dan menguatkan posisi eksternal sehingga skor dari faktor internal dan eksternal meningkat. Faktor internal ditingkatkan dengan cara membuat kelemahan-kelemahan utama menjadi kelemahan kecil dan kekuatankekuatan kecil diusahakan menjadi kekuatan-kekuatan utama. Faktor eksternal ditingkatkan skornya dengan membuat strategi yang dapat secara efektif merespon dari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi Analisis SWOT Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Analisis SWOT adalah indentifikasi beberapa faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengelolaan pulau kecil terluar. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strenghts) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis peengelolaan pulau kecil terluar dalam kondisi yang ada pada saat ini. Analisis SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal; Strenghts dan Weaknesses serta lingkungan eksternal; Opportunities dan Threats. Matriks SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, and Threats) ditujukan untuk memformulasikan strategi-strategi peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara atas dasar keterangan matriks IE (Internal dan Eksternal) di atas. Faktor eksternal, peluang dan ancaman akan disintesakan dengan faktor internal, kekuatan dan kelemahan sehingga dapat menghasilkan beberapa strategi. Beberapa alternatif strategi yang menjadi keterkaitan dengan penelitian berdasarkan analisis SWOT akan menggambarkan keadaan dan situasi saat ini di lokasi penelitian yang telah disusun dalam bentuk matriks. Matriks SWOT dapat dilihat pada Gambar 19 Matriks SWOT yang menghasilkan beberapa alternatif-alternatif strategi yang dapat dipilih.

93 166 Eksternal Internal Kekuatan (S) SDA dan jasa lingkungan kelautan yang besar (S1) Posisi geografis cukup tinggi (S2) Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar (S3) Kelemahan (W) Keterpencilan pulaupulau kecil terluar (W1) Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian. (W2) Terbatasnya sarana prasarana sosial (W3) Lemahnya koordinasi antar lembaga (W4) Kontrol Pendanaan yang lemah (W5) Belum adanya UU yang khusus mengenai pulaupulau kecil terluar (W6) Peluang (O) Kebijakan nasional mendorong investasi (O1) Kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah (O2) Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam (O3) Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia (O4) Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga (O5) Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar (O6) Ancaman (T) Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) (T1) Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara (T2) Adanya konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (T3) SO Pelaksanaan program Pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan (S1,S3, O1,O2,O3) Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4, O5) Peningkatan kerjasama bilateral dan Internasional (S2, O4, O5) Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara (S1,S2, O1-3) ST Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, T1, T2) WO Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W4,O6) Pembangunan Sarana dan Prasarana Wilayah (W1-3,O1-3) Peningkatan kekuatan sistem pendanaan (W5, O1) WT Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (W6,T2) Peningkatan Keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W4, T3) Gambar 19 Matriks SWOT

94 167 Berdasarkan Gambar 18, alternatif strategi yang dapat dipilih untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara terdiri dari 10 pilihan. Strategi-strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 5.21 Strategi Kekuatan Peluang: (Strengths Opportunities (S-O) Kolom strategi S O adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengambil keuntungan dari peluang yang ada. Strategi tersebut antara lain : Pelaksanaan program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan Strategi ini memanfaatkan kekuatan SDA dan jasa lingkungan kelautan yang besar dan adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar serta memanfaatkan peluang kebijakan nasional mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah dan meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam. Sumber daya alam dan jasa lingkungan merupakan bagian dari potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau perbatasan. Program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan dilaksanakan dengan penyusunan rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan tersebut pemerintah daerah menetapkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai dan meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Pengelolaan secara berkelanjutan adalah suatu upaya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di pulau untuk kesejahteraan manusia, artinya pemanfaatan tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini saja, tetapi juga menjamin generasi yang akan datang. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain : pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat, sosialisasi peringatan dini bencana alam, manajemen kawasan pesisir secara terpadu, rencana tata ruang pesisir secara terpadu, pengelolaan kawasan konservasi laut sebagai reservoir, pengendalian pencemaran, bersih pantai dan laut, rehabilitasi ekosistem mangrove, rehabilitasi ekosistem karang, pembuatan daerah perlindungan laut dan kawasan konservasi laut daerah, cagar alam laut dan identifikasi penamaan laut.

95 168 Program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan juga dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam dan jasa lingkungan yang semakin meningkat. Kebutuhan ini merupakan peluang mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan pariwisata, budidaya perairan, yang apabila dikembangkan secara optimal mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan perekonomian masyarakat sekitarnya Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional sangat penting guna meningkatkan dukungan dari dunia internasional dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Mengingat pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara memiliki posisi geografis yang strategis sebagai pintu masuk dan keluar bagi Peraturan Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga dan memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terjadinya konflik pemanfaatan antar negara maka salah satu upaya untuk mendukung stabilitas politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan kawasan adalah dengan melakukan kerjasama bilateral dan internasional Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar SDA dan jasa lingkungan kelautan yang besar serta posisi geografis yang cukup tinggi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Kekuatan internal ini perlu ditingkatkan nilainya untuk menjadi kekuatan utama dengan cara melakukan penataan ruang wilayah terhadap pemanfaatan SDA dan jasa lingkungan kelautan di pulau tersebut. Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar bertujuan untuk menentukan lokasi atau wilayah yang dijadikan sebagai tempat penangkapan ikan, budidaya perairan, wisata dan konservasi. Hal ini sangat penting dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan konflik pengelolaan. Sebelum dilakukan penataan ruang, perlu diidentifikasi terlebih dahulu potensi dan keunggulan pulau tersebut sehingga pemanfaatan ruang wilayah didasarkan pada potensi pulau yang bersangkutan.

96 169 Kebijakan pemerintah dalam mendorong investasi dan pemberian otonomi daerah menjadi motivasi pada pelaksanaan strategi ini. Dengan penataan ruang wilayah, maka calon investor akan lebih tertarik menginvestasikan dana karena melihat prospek yang cukup menguntungkan. Begitu juga dengan pemberian otonomi daerah akan membuat pemerintah daerah menjadi lebih leluasa menggunakan perannya dalam mengatur kepentingan pengelolaan daerah masingmasing Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4, O5) Batas wilayah darat dan laut antara Indonesia dan Filipina perlu ditetapkan terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir yang belum ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau terluar yang belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan terutama penataan ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan dan kesejahteraan. Penetapan batas wilayah ini memanfaatkan peluang Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga khususnya Filipina. Adanya konvensi internasional menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan dukungan yang besar dari dunia internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 telah memberikan hak kepada Indonesia untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan batas-batas maksimum yang sudah ditetapkan. Penyelesaian permasalahan batas wilayah juga harus dilakukan dengan peningkatan intensitas dialog antara Indonesia dan Filipina melalui kerjasama bilateral dengan upaya-upaya politis dan diplomatis sehingga terwujud kepastian garis batas wilayah laut dan darat antara Indonesia dan Filipina Strategi Kekuatan Ancaman: Strength Threats (S-T) Strategi S-T merupakan strategi untuk menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara dengan cara menghindari ancaman. Strategi yang dapat dilakukan adalah :

97 Strategi penetapan batas wilayah Strategi ini berusaha untuk meningkatkan nilai posisi geografis sebagai kekuatan internal yang dimiliki oleh pulau tersebut dengan cara mengatasi ancaman berupa belum adanya batas laut yang disepakati bersama dan masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara. Strategi ini juga ada di dalam strategi SO, namun dilihat dari faktor yang berbeda Penetapan batas yang disepakati Indonesia dan Filipina Penetapan batas merupakan sebuah kepastian hukum yang dapat menunjang berbagai kegiatan yang terkait dengan kewenangan pengelolaan pulau pulau kecil terluar di bidang sumber daya alam, sosial ekonomi, hukum dan kelembagaan seperti perikanan, pariwisata, pelayaran, pertambangan, serta peraturan yang mengawasi kegiatan di bidang tersebut agar tidak terjadi kesalahan wewenang dan tindakan illegal yang menyebabkan kerugian negara Strategi Kelemahan Peluang: Weakness Opportunities (W-O) Strategi W-O dalam konteks peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar terbagi menjadi dua definisi, yang pertama adalah strategi W-O untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki, dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada, yang kedua adalah strategi W-O untuk memanfaatkan peluang dengan cara mengatasi kelemahan-kelamahan yang dimiliki Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulaupulau kecil terluar. Meskipun sebelumnya sudah terdapat lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan pengelolaan seperti Dewan maritim nasional, Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta DKP, namun lembaga ini belum mampu mengakomodir permasalahan di pulau tersebut dan masih banyak lembaga-lembaga lainnya yang memiliki wewenang tumpang tindih dan kurang berfungsi dengan sinkronasi yang baik. Akibatnya sulit melakukan koordinasi dalam pelaksanaan di lapangan. Dengan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah maka pemerintah mengeluarkan kebijakan membentuk kelembagaan baru dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar. Berdasarkan Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, disebutkan bahwa dalam pengelolaan

98 171 perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan oleh tim koordinasi yang telah dibentuk yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan wakil ketua I merangkap Anggota Menteri Perikanan dan Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri, sedangkan Sekretaris adalah Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan kelembagaan terdiri dari TNI, kepolisian, badan intelijen dan kementerian yang lain. Dengan adanya kelembagaan baru ini, diharapkan lembaga tersebut mampu menjalankan wewenangnya sesuai dengan fungsinya dan mampu bersinergi dalam sistem pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang terintegrasi sehingga terwujud pengelolaan yang efektif dan efisien Pembangunan sarana dan prasarana wilayah Strategi yang bertujuan untuk mengatasi kelemahan berupa keterpencilan pulau-pulau kecil terluar, terbatasnya prasarana ekonomi dan sosial untuk meraih peluang pertumbuhan investasi, otoritas wilayah dan peningkatan taraf hidup masyarakat terutama pada aspek sosial dan ekonomi. Upaya untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah baik dari aspek ekonomi dan sosial. Pada aspek ekonomi perlu dilakukan pengembangan infrastruktur transportasi dari pulau ke pulau secara kontinyu, pembangunan sarana pelabuhan guna mendukung aliran barang dan jasa, pengembangan sarana listrik dan air bersih, penyediaan fasilitas komunikasi, pengembangan infrastruktur ekonomi seperti pasar sebagai pusat Peraturan Daerahgangan serta pengembangan lembaga perbankan atau keuangan lainnya yang menjadi sarana kelancaran pelaku ekonomi untuk melaksanakan usahanya. Pada aspek sosial perlu dilakukan peningkatan kualitas SDM dengan pengembangan pendidikan formal dan informal serta pembinaan dalam kegiatan perekonomian dan sosial sehingga SDM memiliki informasi dan wawasan yang memadai untuk peningkatan taraf hidupnya.

99 Peningkatan kekuatan sistem pendanaan (W5, O1) Sistem pendanaan perlu diperkuat untuk mengatasi kontrol pendanaan yang lemah dengan cara pembuatan alokasi anggaran untuk pelaksanaan programprogram pembangunan dan pengawasan terhadap penggunaan alokasi anggaran tersebut yang melibatkan lembaga-lembaga independen demi penegakan akuntabilitas publik Strategi Kelemahan Ancaman: Weakness Threats (W-T) Strategi WT adalah strategi yang ditujukan untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman Perumusan hukum dan peraturan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W6,T2) Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan belum adanya UU yang khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar dan ancaman masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara. Dukungan perangkat hukum dan peraturan sangat diperlukan guna menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara. Perangkat hukum dan peraturan dapat dirumuskan secara terintegrasi yang mencakup keseluruhan aspek pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara baik aspek sumber daya alam dan lingkungan, pertahanan dan keamanan, sosial ekonomi serta budaya dalam bentuk Undang-Undang, peraturan pemerintah pusat dan daerah. Keberadaan perangkat hukum dan peraturan ini akan menjadi pedoman bagi setiap institusi baik di pusat maupun daerah dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara Peningkatan keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulaupulau kecil terluar (W4, T3) Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan koordinasi antar lembaga dan mengatasi ancaman konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Stakeholder perlu dilibatkan pada proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengontrolan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil

100 173 terluar. Dengan keterlibatan semua stakeholder baik dari lembaga pemerintah pusat, daerah, instansi swasta, dan masyarakat dapat mengurangi konflik akibat kepentingan yang berbeda antar stakeholder tersebut Hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir Dalam Analytical Hierarchy Process (AHP), hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir yang sudah di susun (gambar ) menjelaskan bahwa terdapat 3 level di dalamnya, yaitu Level 1 adalah representative dari tujuan penelitian yaitu untuk merancang suatu produk Hukum Pesisir pulau-pulau terluar Indonesia, dan level 2 adalah menunjukan faktor-faktor yang diperlukan dalam merancang produk hukum pesisir dimana faktor tersebut adalah : sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan. Dalam faktor-faktor tersebut terdapat pula sub-sub factor. Sedangkan level 3 adalah menununjukan beberapa alternativ rancangbangun Hukum Pesisir menurut prespetif tiap-tiap bidang pendukung yakni pemerintah, akademisi, perwilayahan, batas wilayah dan budaya. Seperti pada Gambar 20 Rancang Bangun Hukum Pulau-Pulau Kecil Terluar Sumber Daya Alam Sosial Ekonomi Pendanaan @International Rancang Bangun Hukum Menurut Pemerintah Rancang Bangun Hukum Menurut Akademisi Rancang Bangun Hukum Menurut Strategi Perwilayaan Rancang Bangun Hukum Menurut Penataan Batas Wilayah Negara Rancang Bangun Hukum Menurut Budaya Lokal Gambar 19 Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar

101 Kriteria Berdasarkan hirarki yang sudah tersusun, kriteria yang ada di ukur dengan membandingkan dari sisi mana yang merupakan prioritas utama dalam menunjang tujuan (goal) yang di tetapkan, sebagai contoh perbandingan antara level 2 yaitu factor-faktor seperti sumber daya alam, social ekonomi, pendanaan, kelembagaan dan hukum. Untuk menunjang pembuatan rancangabangun hukum pesisir, dibandingkan manakah yang lebih penting, apakah faktor sumber daya alam - sosial ekonomi, atau sosial ekonomi - hukum, atau hukum - pendanaan, atau kelembagaan - pendanaan, dan seterusnya berdasarkan faktor dan sub faktor hirarki Expert Judgment Berdasarkan informasi-informasi di atas dan tujuan dari penelitian ini diperlukan langkah-langkah akurat untuk mencapai tujuan akhir hasil penelitian. Kriteria/faktor dan alternativ tersebut, akan saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan (goal). Penilaian untuk Expert dapat di identifikasikan melalui pengisian matriks dengan angka-angka sebagaimana dalam teori AHP yang ada (1-10), berdasarkan hasil dari interview atau kuisioner yang sudah dijalankan bagi para expert. Penentuan expert didasarkan atas tingkat kepakarannya berdasarkan pendidikan, pengalaman pekerjaan dan pengetahuan lainnya yang mempunyai hubungan erat dengan maksud dan tujuan perolehan informasi dalam penelitian. Pemilihan expert yang berhubungan dengan kebijakan, maka di tentukan dan dipilih individu secara random dari kementerian yang ada kaitan dengan kegiatan penelitian serta memenuhi kriteria-kriteria sebagai expert. Adapun yang dipilih antara yaitu (1)Kementerian Luar Negeri, (2)Kementerian Dalam Negeri (3)Kementerian Kelautan dan Perikanan, (4)Kementerian Pekerjaan Umum, (5)TNI AL, (6)DPR-RI, (7)DPRD SULUT, (8)Pemerintah RI, (9)Pemerintah Filipina, (10)Pemerintah Provinsi SULUT, (11)Pemerintah Kepulauan Sangihe, (12)Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, [13)Akademisi, (14)Investor, (15)Tokoh Masyarakat/Adat, seperti dalam Tabel 15

102 175 Tabel 15 Informasi untuk analisis expert No EXPERT FUNGSI Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan Kementerian Pekerjaan Umum, TNI AL, DPR RI, DPRD SULUT, Pemerintah RI, Pemerintah Filipina, Pemerintah Provinsi SULUT, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, Akademisi, Investor, Tokoh Masyarakat/Adat Penyelesaian Perbatasan Pengelolaan Wilayah Pesisir Daerah Pengelolaan Wilayah Pesisir & PPK Pembangunan Infrastruktur Pertahanan Keamanan Negara Penetapan Kebijakan Nasional Penetapan Kebijakan Daerah Peran Internasional di PBB Peran Internasional di PBB Pelaksanaan tugas pembantuan Pelaksanaan tugas pembantuan Pelaksanaan tugas pembantuan Kajian Akademik Pengembangan Investasi Informasi Sejarah dan Adat Istiadat 5.28 Penilaian Kriteria Faktor/criteria diolah dengan menggunakan software AHP (Expert Choice 2000), penilaian dilakukan dengan membandingkan langsung (more important, preferred or likely), beberapa penilaian akan objektif, warna hitam dalam table matrik menunjukan angka masuk dan warna merah menunjukan 1 dibagi dengan angka masukan. (angka masukan di dapat dari transformasi kuesioner dari para expert). Susunan hirarki penetapan strategi merupakan penggambaran dari analisis AHP yang mengaitkan sasaran, faktor, dan alternatif strategi. Hirarki analisis AHP rancangbangun hukum dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara dapat dilihat pada Gambar 18 Hasil analisis AHP dijelaskan lebih lanjut berikut ini : (1) Prioritas elemen faktor Faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan rancangbangun hukum peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar terdiri 5 faktor. Hasil

103 176 analisis faktor dalam AHP dari beberapa pendapat pakar dengan bantuan pengolah data expert choice 2000 dapat dilihat pada Tabel 16 dan hasil prioritas analisis faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 20 Tabel 16 Hasil analisis faktor AHP Dari kriteria/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu program computer maka dapat di lihat melalui Tabel 17. Faktor hukum memiliki nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain sumber daya alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi (0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah angka 0.1. Tabel 17 Prioritas elemen faktor Gambar 21 Hasil analisis faktor No FAKTOR BOBOT PRIORITAS 1 Hukum Sumber Daya Alam Kelembagaan Pendanaan Sosial Ekonomi Berdasarkan Tabel 17 faktor yang menduduki prioritas pertama yang mempengaruhi pembuatan rancangbangun hukum adalah faktor hukum dengan

104 177 bobot Bobot ini menunjukkan bahwa faktor hukum memiliki peranan yang sangat besar dalam pembuatan rancangbangun hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya permasalahan hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, baik dari sisi eksternal ataupun internal (dalam negeri). Dari sisi ekternal, permasalahan hukum yang terkait dengan negara tetangga adalah belum adanya penetapan batas negara antara Indonesia dengan Filipina khususnya untuk pemanfaatan potensi pulaupulau kecil terluar. Permasalahan hukum dari sisi internal (dalam negeri) adalah masih kurangnya dukungan perangkat hukum dan peraturan dalam penyelenggaraan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara. Aspek Hukum menjadi titik tolak dari keseluruhan faktor pembuatan rancangbangun hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Provinsi Sulawesi Utara baik aspek sumber daya alam, kelembagaan, pendanaan dan sosial ekonomi. Penegakan hukum merupakan salah satu pilar utama untuk menegakkan kedudukan dan kewenangan kelembagaan. Penegakan hukum yang efektif juga akan menjamin sistem dan mekanisme hubungan kelembagaan yang efektif. (2) Prioritas elemen strategi Alternatif strategi perumusan rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara terdiri dari 5, yaitu [1]rancangbangun hukum menurut pemerintah, [2]rancangbangun hukum menurut akademisi, [3]rancangbangun hukum menurut strategi perwilayahan, [4]rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara, dan [5]rancangbangun hukum menurut budaya lokal. Kelima strategi tersebut dianalisis dan hasil analisis strategi dalam AHP dari beberapa pendapat pakar dengan bantuan pengolah data expert choice dapat dilihat pada Tabel 15 dan hasil prioritas elemen alternatif strategi tersebut dapat dilihat pada Tabel 18 dan analisis alternatif strategi pada Gambar 22

105 178 Tabel 18 Prioritas elemen alternatif strategi No STRATEGI RANCANGBANGUN BOBOT PRIORITAS 1 Rancangbangun Hukum Menurut Penataan Batas Wilayah Negara 2 Rancangbangun Hukum Menurut Pemerintah Rancangbangun Hukum Menurut Strategi Perwilayahan Rancangbangun Hukum Menurut Akademisi Rancangbangun Hukum Menurut Budaya Lokal Gambar 22 Hasil analisis alternatif strategi Berdasarkan Tabel 18 strategi prioritas yang harus pertama kali dilakukan adalah pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara. Implementasi rancangbangun hukum tersebut adalah dengan cara penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina serta peningkatan kerjasama bilateral dan internasional. Penetapan batas wilayah ini menjadi prioritas pertama karena penetapan batas laut negara di daerah perbatasan akan menjamin kepastian hukum untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di bidang sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan akan lebih efektif jika penetapan batas negara jelas dan diakui oleh negara tetangga. Oleh karena itu batas laut zona ekonomi eksklusif negara antara Indonesia dan Filipina segera diselesaikan melalui pertemuan dan pembahasan internasional bilateral maupun multilateral dan mendapat pengakuan masyarakat internasional terhadap batas pengelolaan negara di wilayah laut, demi kepentingan pengelolaan negara pantai di wilayah pesisir dan laut, keberlanjutan sumber daya, kesejahteraan sosial ekonomi

106 179 masyarakat, keamanan pangan di laut, keamanan dan pertahanan, serta kesatuan wilayah negara Republik Indonesia. Kedua negara sepakat membahas permasalahan perbatasan negara dalam forum bilateral, yaitu Joint Border Committee (JBC) RI-Filipina. Indonesia diketuai oleh Pangdam VII Wirabuana dan Filipina diketuai oleh Philippines South Commander. Forum ini melakukan pertemuan setiap tahun guna membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di perbatasan kedua negara. Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan, komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas lebih tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi pembangunan (prosperity/ development approach). Reorientasi ini, pada kasus kawasan perbatasan di Provinsi Sulawesi Utara, dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut: Pendekatan keamanan (security approach) yang diterapkan Mabes ABRI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun berbeda namun diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan pembangunan (prosperity/ development approach). Terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan kawasan perbatasan antar negara, diperlukan pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan kawasan perbataan tersebut melalui penanganan yang bersifat lintas sektor dan lintas pendanaan.

107 180 Sas Rancangbangun Hukum dalam rangka Fa Sumber - Perika nan Sosial Penda Hukum Kelem - Pendidi kan - Transp - APB N - Nasi onal - Nasi onal Alter Rancang bangun Hukum Ranca ngban gun Rancan gbangu n Rancangba ngun Hukum Rancan gbangu n Gambar 23 RBH

108 Skenario Strategi Peningkatan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Strategi pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara (hasil analisis AHP) merupakan prioritas utama yang dipertimbangkan untuk pencapaian tujuan, namun bukan berarti strategi tersebut menjadi strategi tunggal dalam pencapain tujuan, karena masih ada prioritas rancangbangun hukum lain yang memiliki unsur-unsur strategi yang juga menjadi pertimbangan dalam pencapaian tujuan. Penggunaan metode analisis prospektif diperlukan untuk memprediksi kejadian di masa depan, sehingga dapat disusun alternatif skenario untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Faktor dalam menganalisis alternatif skenario adalah unsur strategi dari kelima rancangbangun hukum yang dihasilkan dari analisis AHP karena setiap unsur strategi merupakan kumpulan usaha yang komprehensif untuk mencapai tujuan dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara. Unsur strategi yang sama dari kelima rancangbangun digabungkan sehingga menghasilkan 9 unsur strategi yang menjadi faktor dalam menganalisis alternatif skenario. Berdasarkan pendapat pakar, prediksi kejadian di masa depan untuk kurun waktu 5 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 19 Tabel 19 Analisis skenario FAKTOR Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina Kerjasama bilateral dan Internasional SKENARIO 1A 1B 1C Penetapan batas wilayah masih berbelit-belit dan tidak menghasilkan sebuah kesepakatan Penetapan batas wilayah justru akan merugikan Indonesia 2A Tetap dan kurang memiliki pengaruh dalam memperkuat posisi geografis Indonesia 2B Semakin berkembang dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam memperkuat posisi geografis Indonesia Batas Wilayah laut antara Indonesia dan Filipina menjadi semakin jelas dan menghasilkan kesepakatan yang win-win solution

109 182 Program Pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan Sinergi kelembagaan Sistem pendanaan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Penataan ruang wilayah Sarana dan Prasarana Wilayah Keterpaduan antar stakeholder 3A 3B 3C Pelaksanaan program tetap atau statis Pelaksanaan program kurang mendukung kelestarian sumber daya alam 4A Tetap dalam arti masih adanya tumpang tindih wewenang dan antar lembaga kurang bersinergi dalam mencapai tujuan 4B Semakin kuat dan efektif dalam menjalankan masing-masing perannya Pelaksanaan program berjalan efektif dan efisien 5A 5B 5C Tetap Semakin kuat Semakin lemah karena tidak adanya keseriusan dalam pengontrolan dana Gagal karena kesadaran hukum masih rendah Tetap 6A 6B 6C Tetap Memberikan dampak negatif terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat karena ketidakbijakan dalam pemanfaatan sarana dan prasarana tersebut Mendukung dalam penyelenggaraan pengelolaan 7A 7B Mendukung dalam penyelenggaraan pengelolaan 8A 8B 8C Tetap dalam arti tidak berpengaruh Semakin meningkatkan aksesbilitas yang memberikan dampak positif terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat 9A 9B 9C Tetap Semakin buruk karena tidak adanya prinsip keterbukaan dan tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap pemerintah Semakin terpadu karena adanya prinsip keterbukaan dan peran serta antar stake holder dalam pengelolaan

110 183 Berdasarkan alternatif kejadian pada masing-masing faktor, responden pakar menyusun alternatif skenario yang mungkin terjadi dalam kurun waktu 5 tahun kaitannya dengan penyusunan dasar rekomendasi yang harus dilakukan. Alternatif skenario yang mungkin terjadi terhadap peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara. Tabel 20 Alternatif skenario No Skenario Uraian Keadaan 1 Sangat Optimistik Penyusunan Rancangbangun hukum di wilayah perbatasan negara dan penetapan batas negara termasuk ZEE 2 Cukup Optimisrtik Penyusunan Rancangbangun hukum dan menyelesaikan perundingan bilateral batas negara dan ZEE 3 Optimistik dengan syarat pertama Penyelesaian Perundingan Bilateral mengenai Batas Negara dan Nota kesepakatan ZEE 4 Optimistik dengan syarat kedua Perundingan Bilateral penetapan ZEE 5 Pesimistik Penyelesaian Mahkamah Internasional Dari kriteia/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu program computer maka dapat di lihat melalui Tabel 17, faktor hukum memiliki nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain yaitu sumber daya alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi (0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah angka 0.1. Bertitik tolak dari hasil kuisioner yang dijalankan dalam penelitian ini maka dapat dilihat hasilnya yang sudah dimasukan dalam program expert choice Sebagai contoh dapat di jelaskan dengan mengambil responden dari pihak Kementerian Luar Negeri RI Tabel 21 dan Tabel 22 Sosial Ekonomi.

111 184 Tabel 21 Hasil kuesioner responden Tabel 22 Sosial ekonomi Dengan kriteria sosial ekonomi berdasarkan alternatif rancangbangun produk hukum menurut pemerintah, akademisi, strategi perwilayahan, penataan batas wilayah dan budaya lokal, setalah diisii nilai yang didapat dari para expert dan dengan mengkalkulsikan angka-angka yang ada dalam matrik maka di dapat : berdasarkan kriteria sumber daya alam, nilai terbesar yang didapat adalah rancangbangun hukum menurut pemerintah (0.232), diikuti rancangbangun hukum menurut strategy perwilayahan (0.223), rancangbangun menurut penataan batas wilayah (0.200), rancangbangun hukum menurut akademisi (0.193) dan rancangbangun hukum menurut budaya dengan nilai yang terkecil 0.154). Untuk rasio inkonsistensi adalah Gambar 24 Hasil analisis faktor sosial ekonomi

112 185 Secara total, hasil kuisioner dari semua expert yang sudah dimasukan dalam expert choice 2000 dapat dilihat dalam Table 23 Tabel 23 Hasil analisis AHP total No PAKAR (RESPONDEN) KEMENTERI AN LUAR NEGERI KEMENTERI AN DALAM NEGERI KEMENTERI AN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERI AN PEKERJAAN UMUM 5 TNI AL KRITERIA PEME RINTA H RANCANG HUKUM MENURUT AKAD EMISI STRATEGI PERWILAY AHAN PENATAA N BATAS WILAYAH BUD AYA LOK AL SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN INSKON SISTENS I

113 186 6 DPR - RI DPRD SULUT PEMERINTAH INDONESIA PEMERINTAH FILIPINA PEMERINTAH SULAWESI UTARA PEMERINTAH KAB. KEPULAUAN SANGIHE SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN

114 PEMERINTAH KAB. KEPULAUAN TALAUD 13 AKADEMISI 14 INVESTOR 15 TOKOH ADAT / MASYARAKAT SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N HUKUM KELEMBAG AAN SUMBER DAYA ALAM SOSIAL EKONOMI PENDANAA N 0, HUKUM , KELEMBAG AAN Dalam Table 23 di atas terlihat bahwa Rancangbangun Hukum menurut Pemerintah dan Penataaan Batas Wilayah merupakan pilihan mayoritas dari sejumlah expert yang di minta pendapatnya, dengan kriteria hukum dan sumber daya alam merupakan kriteria dominan dalam pengambilan keputusan untuk menunjang pencapaian tujuan untuk merancang suatu Rancangbangun Hukum Pulau-Pulau Terluar di wilayah perbatasan Indonesia bagian Utara Sintesis Sistesis adalah merupakan proses dari pembobotan dan kombinasi prioritas dari model setelah dibuatnya penilaian dengan tujuan akhir yang sudah

115 188 ditetapkan. Penilaian dikombinasikan terhadap model dengan menggunakan pembobotan dan proses dalam mencapai tujuan menggunakan semua nilai untuk alternativ-alternatif rancangbangun produk hukum pesisir. Alternativ yang terbaik adalah merupakan prioritas tertinggi yang dihasilkan dari Tabel 18 sintesis yang dihasilkan menunjukan bahwa rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah mendapatkan prioritas tertinggi untuk di pilih dalam menghasilkan produk rancangbangun hukum pesisir. Rancangbangun hukum menurut penataan wilayah mendapatkan nilai 0.226, diikuti oleh RH menurut pemerintah (0.222), RH strategi perwilayahan (0.211), RH menurut akademisi (180), dan rancangbangun menurut biaya (0.161), sedangkan rasio inskonsitensi adalah 0.04 yang masih dalam batas rasio normal. Gambar 25 Sintesis rancangbangun hukum penataan wilayah 5.31 Sensitivitas Analisis Tujuan dari analisis sensitive adalah menujukan secara grafis bagaimana perubahan-perubahan alternativ terhadap besarnya kepentingan dari tujuan yang ingin di capai. Setiap analisa sensitiv bisa dihasilkan melalui tujuan atau criteria/faktor yang ada dan dapat di bandingkan satu sama lainnya. Dalam merancang produk rancangbangun hukum pesisir digunakan beberapa analisa sensitif diantaranya adalah Sytem Dinamik dan System Head to Head Sensitivitas dinamis Dalam analisis dari sisi akademisi dengan mengacu pada tujuan yang hendak dicapai maka sensitive dinamik berdasarkan kriteria/faktor yang ada didapat nilai presentasi tertinggi (sisi kiri graph) yaitu criteria Hukum (28.9%),

116 189 Sumber Daya Alam (25.5%), Kelembagaan (23.1%), Pendanaan (14.4%). Sensitive dinamik berdasarkan alternatif rancangbangun (sisi kanan graphic) yaitu nilai tertinggi yang merupakan prioritas utama adalah RH. Menurut penataan batas wilayah (23.9%), diikuti oleh RH menurut strategi perwilayahan (22%), RH menurut pemerintah (20.9%), RH menurut akademisi (19.4%), RH menurut budaya (13.8%) Gambar 26 Dinamik sensitive 5.33 Analisis head to head Sensitifitas Head to Head menunjukan perbandingan yang objektif dari setiap alternativ yang ada dalam mencapai tujuan penelitian dalam hal ini membandingkan semua produk Rancang Hukum yang di siapkan. Perbandingan ini lebih fair karena membandingkan satu per satu alternativ pilihan, sehingga keuntungan dan kekurangan alternativ bisa dilihat melalui score yang ada. Analisis head to head RH menurut penataan batas wilayah negara dengan RH menurut Pemerintah maka dengan membandingkan bobot-bobot dari kriteria yang ada di dapat hasil secara keseluruhan RH menurut penataan wilayah negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Undang Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang : Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia

Undang Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang : Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Undang Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang : Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 5 TAHUN 1983 (5/1983) Tanggal : 18 OKTOBER 1983 (JAKARTA) Sumber : LN 1983/44; TLN NO.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1983 (5/1983) Tanggal: 18 OKTOBER 1983 (JAKARTA) Sumber: LN 1983/44; TLN NO. 3260 Tentang: ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Indeks:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

MASALAH PERBATASAN NKRI

MASALAH PERBATASAN NKRI MASALAH PERBATASAN NKRI Disusun oleh: Nama : Muhammad Hasbi NIM : 11.02.7997 Kelompok Jurusan Dosen : A : D3 MI : Kalis Purwanto STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Jl. Ring Road Utara, Condong Catur Yogyakarta ABSTRAK

Lebih terperinci

Undang Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang : Landas Kontinen Indonesia

Undang Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang : Landas Kontinen Indonesia Undang Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang : Landas Kontinen Indonesia Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 1 TAHUN 1973 (1/1973) Tanggal : 6 JANUARI 1973 (JAKARTA) Sumber : LN 1973/1; TLN NO. 2994 Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. 243 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan menentukan batas wilayah

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat internasional, pasti tidak lepas dari masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum internasional yang sering muncul

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR NO. 5 TAHUN 1983 ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR NO. 5 TAHUN 1983 ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR NO. 5 TAHUN 1983 ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa pada

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Illegal fishing merupakan masalah klasik yang sering dihadapi oleh negara yang memiliki banyak pantai karena masalah tersebut sudah ada sejak dulu. Namun hingga

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT

PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT Suparman A. Diraputra,, SH., LL.M. Fakultas Hukum. Universitas Padjadjaran Bandung 1 PERMASALAHAN Sebagai Negara Kepulauan, Indonesia mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim terbesar ketiga di dunia yang memiliki luas laut mencapai 7.827.087 km 2 dengan jumlah pulau sekitar 17.504 pulau. Garis pantainya

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1973 (1/1973) 6 JANUARI 1973 (JAKARTA) Sumber: LN 1973/1; TLN NO.

Bentuk: UNDANG-UNDANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1973 (1/1973) 6 JANUARI 1973 (JAKARTA) Sumber: LN 1973/1; TLN NO. Bentuk: UNDANG-UNDANG Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1973 (1/1973) Tanggal: 6 JANUARI 1973 (JAKARTA) Sumber: LN 1973/1; TLN NO. 2994 Tentang: LANDAS KONTINEN INDONESIA Indeks: LANDAS

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamb

2017, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamb No.580, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Pengamanan Perbatasan. Pengerahan Tentara Nasional Indonesia. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGERAHAN

Lebih terperinci

UU 1/1973, LANDAS KONTINEN INDONESIA. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:1 TAHUN 1973 (1/1973) Tanggal:6 JANUARI 1973 (JAKARTA)

UU 1/1973, LANDAS KONTINEN INDONESIA. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:1 TAHUN 1973 (1/1973) Tanggal:6 JANUARI 1973 (JAKARTA) UU 1/1973, LANDAS KONTINEN INDONESIA Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:1 TAHUN 1973 (1/1973) Tanggal:6 JANUARI 1973 (JAKARTA) Tentang:LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang : Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang : Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang : Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 15 TAHUN 1984 (15/1984) Tanggal : 29

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1973 TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1973 TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1973 TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a bahwa Negara

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA Oleh : Dr. Dina Sunyowati,SH.,MHum Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum-Universitas Airlangga Email : dinasunyowati@gmail.com ; dina@fh.unair.ac.id Disampaikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) A. Pendahuluan Wilayah perairan Indonesia yang mencapai 72,5% menjadi tantangan besar bagi TNI

Lebih terperinci

luas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan

luas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laut sebagai anugerah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, harus senantiasa terjaga sumber daya alam kelautannya. Keberhasilan Indonesia untuk menetapkan identitasnya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahirnya komitmen pemerintah Indonesia untuk mengelola pulau-pulau kecil berdasarkan fakta bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) berdasarkan Konvensi

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

Kerangka Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Izin Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut

Kerangka Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Izin Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut Kerangka Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Izin Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI BAB VII BAB VIII BAB IX BAB X BAB XI KETENTUAN UMUM KEWENANGAN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG TUNJANGAN OPERASI PENGAMANAN BAGI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG TUNJANGAN OPERASI PENGAMANAN BAGI PERATURAN PRESIDEN NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG TUNJANGAN OPERASI PENGAMANAN BAGI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DAN PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG BERTUGAS DALAM OPERASI PENGAMANAN PADA PULAU-PULAU KECIL

Lebih terperinci

BAB III ISU DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN

BAB III ISU DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN BAB III ISU DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN Pada bagian ini dipaparkan berbagai isu dan permasalahan yang dihadapi kawasan perbatasan, baik perbatasan darat maupun laut. Agar penyelesaian

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Illegal Fishing Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian ikan (illegal fishing), namun juga penangkapan

Lebih terperinci

UNCLOS I dan II : gagal menentukan lebar laut territorial dan konsepsi negara kepulauan yang diajukan Indonesia

UNCLOS I dan II : gagal menentukan lebar laut territorial dan konsepsi negara kepulauan yang diajukan Indonesia Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 (United Nations Conference on the Law of the Sea - UNCLOS I) yang menghasilkan 4(empat) Konvensi yaitu : Konvensi tentang laut territorial dan jalur tambahan,

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut dan Wilayah Perairan Indonesia

Perkembangan Hukum Laut dan Wilayah Perairan Indonesia Modul 1 Perkembangan Hukum Laut dan Wilayah Perairan Indonesia Dr. Budi Sulistiyo M PENDAHULUAN odul 1 ini berisi penjelasan tentang perkembangan hukum laut dan wilayah perairan Indonesia, wilayah laut

Lebih terperinci

RENCANA KERJA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TAHUN 2011

RENCANA KERJA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TAHUN 2011 LAMPIRAN : PERATURAN KEPALA BNPP NOMOR : 4 TAHUN 2011 TANGGAL : 7 JANUARI 2011 RENCANA KERJA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TAHUN 2011 A. LATAR BELAKANG Penyusunan Rencana Kerja (Renja) Badan Nasional

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia Sejarah Peraturan Perikanan Indonesia Peranan Hukum Laut dalam Kedaulatan RI Laut Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim yg menetapkan laut

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 7 2012, No.54 LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2012 NOMOR : 2 TAHUN 2012 TANGGAL : 6 JANUARI 2012 RENCANA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga,

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI KEMENTERIAN PERTAHANAN, KEMENTERIAN LUAR NEGERI, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, TENTARA NASIONAL INDONESIA, BADAN INTELIJEN NEGARA, DEWAN KETAHANAN NASIONAL, LEMBAGA

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1 ABSTRAK KAJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH INDONESIA, MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN DI SELAT MALAKA Selat Malaka merupakan jalur pelayaran yang masuk dalam wilayah teritorial

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

URGENSI UNDANG-UNDANG BATAS WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

URGENSI UNDANG-UNDANG BATAS WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Urgensi UU Balas Wi/ayah NKRI 121 URGENSI UNDANG-UNDANG BATAS WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Nukila Evanty' Urgency of Law on Bordes of The Republic of Indonesia is the focus of this essay.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2000 TANGGAL 21 DESEMBER 2000 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2000 TANGGAL 21 DESEMBER 2000 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2000 TANGGAL 21 DESEMBER 2000 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT

Lebih terperinci

memajukan kescjahteraan umum sebagaimana Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk

memajukan kescjahteraan umum sebagaimana Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk Fl EP I-IBL IK IND ONES IA UNDANG.UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

LAMPIRAN II RENCANA KERJA PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KEAMANAN NASIONAL (PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN)

LAMPIRAN II RENCANA KERJA PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KEAMANAN NASIONAL (PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN) LAMPIRAN II RENCANA KERJA PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KEAMANAN NASIONAL (PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN) 1 2 3 4 5 1. INDONESIA MALAYSIA. Garis batas laut dan 1. Departemen Pertahanan (Action - Anggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut

Lebih terperinci

Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN : e-issn : Vol. 2, No 2 Februari 2017

Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN : e-issn : Vol. 2, No 2 Februari 2017 Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN : 2541-0849 e-issn : 2548-1398 Vol. 2, No 2 Februari 2017 HUKUM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DAN HAK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 5 TAHUN 1983 Parihutantua

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.294, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA WILAYAH. Kelautan. Pengelolaan. Pengembangan. Kawasan. Pencabutan.(Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

MEMBANGUN KEMITRAAN DENGAN PERGURUAN TINGGI DALAM KAWASAN PERBATASAN KAWASAN NEGARA 1) Dr. Bambang Istijono, ME 2)

MEMBANGUN KEMITRAAN DENGAN PERGURUAN TINGGI DALAM KAWASAN PERBATASAN KAWASAN NEGARA 1) Dr. Bambang Istijono, ME 2) MEMBANGUN KEMITRAAN DENGAN PERGURUAN TINGGI DALAM KAWASAN PERBATASAN KAWASAN NEGARA 1) Dr. Bambang Istijono, ME 2) ABSTRAK Pengelolaan wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar, selama ini

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1985 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENYELARASAN NASKAH AKADEMIK

LAPORAN AKHIR PENYELARASAN NASKAH AKADEMIK LAPORAN AKHIR PENYELARASAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Setelah Mahkamah Hukum Internasional menjatuhkan putusan kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada tanggal 17 Desember 2002, Indonesia memasuki suatu

Lebih terperinci

UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT)

UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber: LN 1985/76; TLN NO. 3319 Tentang: PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI WILAYAH. Kelautan. Pengelolaan. Pengembangan. Kawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294)

Lebih terperinci