BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76) sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, sebagai pedoman umum dalam penanganan perkara tindak pidana secara garis besar telah mengatur mengenai tugas dan kewajiban aparat penegak hukum serta hak-hak bagi warga negara yang terlibat masalah hukum pidana, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur mengenai tahapan penanganan perkara yang dibagi dalam tahap Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Persidangan, Upaya Hukum dan tahap Eksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenang dibagi secara tegas dalam KUHAP, antara lain Penyidik diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, Jaksa/Penuntut Umum diberi wewenang untuk melakukan pra penuntutan dan penuntutan, melaksanakan penetapan serta melaksanakan putusan pengadilan, Hakim diberi wewenang untuk mengadili/ memeriksa dan memutus perkara, sedangkan Lembaga Pemasyarakatan diberi wewenang melakukan pembinaan terhadap para nara pidana. Kemudian dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara tahun 2003 Nomor 49), selain adanya aparat penegak hukum seperti tersebut dalam KUHAP maka berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 Avokat berstatus sebagai penegak hukum bebas dan sehinga lembaga penegak hukum bertambah satu lagi yaitu Advokat/Penasehat Hukum yang mempunyai tugas dan wewenang memberi bantuan hukum terhadap tersangka/terdakwa. 1

2 Tujuan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah untuk memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial menjadi sistem peradilan yang berjiwa dan bersumber kepada sendi-sendi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengkodifikasi hukum acara pidana yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan. Bahwa hukum acara pidana yang berlaku sebelum disahkanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 adalah hukum acara pidana peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda yaitu Herzien Indlandsch Reglement (HIR) yang diadopsi berdasarkan asas konkordansi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar , kemudian ditetapkan berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun Dalam hukum acara pidana peninggalan pemerintah kolonial tersebut walaupun telah dilakukan perubahan-perubahan secara parsial, namun pengaturan hakhak tersangka/ tertuduh belum mendapat tempat yang layak, karena prinsip dari HIR adalah menempatkan tertuduh sebagai obyek pemeriksaan dan mengejar pengakuan atas kejahatan yang dituduhkan, sehingga aparat penyidik dapat berlaku dengan sewenang-wenang untuk mendapat pengakuan atas kesalahan yang dilakukan oleh tertuduh sehingga upaya paksa, seperti penyiksaan, penekan fisik maupun fisikis seolaholah adalah tindakan yang legal untuk memperoleh pengakuan tertuduh. Dalam HIR pengakuan dan perlindungan tehadap-hak-hak tertuduh pemeriksaan permulaan hampir tidak ada. terutama dalam tahap Penanggulangan tindak pidana (kejahatan) dengan Sistem Peradilan Pidana yang bertumpu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). sebagai pengganti HIR yang telah membagi tugas dan wewenang aparatur penegak hukum secara tegas, namun dalam menjalankan fungsi tugasnya masing-masing aparat pengak hukum tetap melakukan koordinasi (kerja sama) yang berkelanjutan, sebagai satu kesatuan sistem peradilan. Adapun tujuan utama penanggulangan kejahatan dengan Sistem Peradilan Pidana adalah : a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. 1 Dimyati, Khudzaifah, 2004,, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia , Muhamadyah University Pers, Surakarta, hal. 4

3 c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan 2. Dilihat dari tata cara (hukum formil) penanganan pekara tindak pidana praktek dibedakan atas : dalam 1. Perkara Tindak Pidana umum, yaitu jenis perkara tindak pidana yang proses pemeriksaanya semata-mata berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diatur dalam Kitab 2. Perkara Tindak Pidana Khusus, yaitu jenis perkara tindak pidana yang dalam perundang-undangannya didsamping mengatur ketentuan hukum materiil juga mengatur hukum acara pidana secara khusus disamping juga secara umum tetap berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti penanganan perkara tindak pidana korupsi, penanganan perkara tindak pidana HAM berat, tindak pidana perikanan dan lain-lain. Pelaksanaan penanggulangan kejahatan yang berlandaskan kepada Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentu tidak boleh mengabaikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya bagi warga negara yang terlibat masalah hukum pidana, secara garis besar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur mengenai perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 74 KUHAP. yang pada pokoknya menentukan : hak-hak tersangka seperti hak segera diperiksa (diambil keterangan) oleh penyidik, hak mengetahui atas tindak pidana yang disangkakan kepada dirinya, hak memberikan keterangan secara bebas, hak mendapat bantuan hukum, hak mendapat bantuan juru bahasa,hak menghubungi penasehat hukum, menerima kunjungan dokter, hak menerima kunjungan keluarga, hak mengirim dan menerima surat dari penasehat hukum dan keluarga, hak menerima kunjungan rohaniwan, hak mengajukan saksi ahli yang menguntungkan, hak menuntut ganti rugi, hak dihubungi oleh penasehat hukum dan pendampingan, pemeriksaan. hak mendapat turunan berita acara Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai karya besar Bangsa Indonesia yang merupakan pedoman umum dalam penanganan perkara tindak pidana secara teori maupun praktek ternyata masih banyak terdapat kekurangan dan 2 Ibid, hal 74-75

4 kelemahan, baik karena rumusan pasal yang kurang jelas, terjadinya tumpang tindih ketentuan maupun adanya kekosongan norma, sehingga memerlukan berbagai penafsiran dalam pelaksanaanya baik oleh kaum praktisi, akademisi serta kalangan penegak hukum. Keadaan yang demikian itu memberi peluang kepada aparat penegak hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk dapat bertindak sewenang-wenang, dan masyarakat mulai merasa tidak puas atas jalannya penegakan hukum di negeri kita yang dipandang tidak memberi kepastian hukum, rasa keadilan, optimal. serta manfaat yang Mhd.Shiddiq Tgk Armia menyatakan memang akhir-akhir ini banyak komentar dari pakar, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan juga para birokrat, bertalian dengan kondisi bagian-bagian dari sistem peradilan pidana. bahkan juga semakin gencar dan tajam suara-suara yang mengatakan, penegakan hukum dewasa ini sudah sampai pada titik terendah 3. Pernyataan pesimistis masyarakat pada dasarnya menghendaki segera dilakukannya perbaikan / penyempurnaan dari pada sistem peradilan pidana termasuk substansi hukumnya disamping juga masalah struktur hukumnya 4. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang moder dan komplek, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin mutakhir dan tuntutan akan pemajuan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia dalam bidang hukum, sosial maupun ekonomi, sangat mudah diucapkan dan sulit untuk dilaksanakan yang disebabkan ketidaksempurnaan dari hukum acara pidana dan sikap mental dari aparatur penegak hukum itu sendiri. Aparatur penegakan hukum dalam praktek sampai saat ini masih menunjukan sikap arogansi dan fragmentaris atas kewenangan yang dimiliki masing-masing, dalam tahap penyidikan perkara sering terjadi tarik menarik antara kewenangan penyidik Polri dengan penyidik PPNS yang pada ujungnya menjadi korban adalah masyarakat pencari keadilan termasuk di dalamnya tersangka. Keadaan prilaku aparat penegak hukum tersebut disoroti oleh Ronald D. Dworkin, yang menyatakan: ada sejumlah besar fenomena, maka hati kecil kita, apakah itu hati kecil penyidik, hati kecil jaksa atau hati kecil pengacara, sulit mengakui bahwa sejak sejumlah tahun terakhir ini yang namanya proses penegakan hukum telah 3 Armia, Mhd. Sidiq Tgk., Op.Cit, hal Sujata, Antonoius, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, hal.39.

5 kehilangan fondasinya yaitu prinsip moral, sehingga sah kiranya, apabila disimpulkan bahwa sejak sejumlah tahun terakhir ini profesi hukum dan proses penegakan hukum dilanda demoralisasi. Dalam proses demoralisasi itu, maka tidak heran bilamana pepatah kuno China yang berbunyi It s better to enter the mounth of tiger then a court of law kian lama kian dirasakan kebenaranya 5 Penyidikan suatu perkara dihitung sejak mulai penyidik memberitahukan tindakan penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum banyak yang belum/tidak ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkara tahap pertama dalam waktu lebih dari 6 (enam) bulan bahkan 1(satu) tahun, penyelesaian perkara tidak berdasarkan urutan masuknya laporan /pengaduan atau kejadian, marak terjadi mafia peradilan. Atas tindakan penyidik tersebut masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja penyidik melakukan upayaupaya seperti membuat laporan/pengaduan kepada atasan penyidik, kepada Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas) mengenai kinerja penyidik dalam penanganan perkara. Keadaan tersebut juga bisa memicu masyarakat ingin menyelesaikan kasus dengan cara-cara diluar hukum (main hakim sendiri) bila menjadi korban atau menemui suatu tindak pidana, karena ketidak percayaanya tehadap kinerja aparat penyidik. Diwilayah hukum Kejaksaan Tinggi Bali ditemukan permasalahan penanganan perkara pada tahap penyidikan yang berlarut-larut dan berakibat tidak memberikan kepastian hukum, rasa keadilan sehingga pihak-pihak terkait dalam perkara tersebut merasa tidak puas atas kinerja penyidik, seperti : 1. SURYATIN LIJAYA, SH selaku kuasa dari H MADRAIS dkk berdasarkan surat pengaduan Nomor 04/SL/XI/2013 tanggal 25 Nopember 2013 telah melaporkan kinerja aparat penegak hukum dalam penangan perkara dugaan tindak pidana penggelapan dan penipuan atas nama tersangka Putu Surya Jaya, dkk. bahwa laporan tentang dugaan tindak pidana penipuan tersebut sudah dilaporkan sejak tahun 2012 ke penyidik Polda Bali, namun sampai tahun 2014 penyidikan perkara tersebut belum selesai. (SPDP) Nomor :B/41/II/2012/Dit. Reskrimum tangal 21 Pebruari 2012 tanggal 30 Oktober 2012 atas nama tersangka Putu Surya Jaya, dkk. diterima di Kejati Bali 2. JACOB ANTOLIS, SH. MH.MM adalah kuasa dari RITA KISHORE KUMAR PRIDHANI, melaporkan mengenai penanganan perkara pada tahap penyidikan yaitu 5 D.Dworkin, Ronald, dalam Buletin KHN, 2002, Demokrrasi dan Rekruitmen serta Pembinaan Profesi Hukum, Edisi Juni, Jakarta, hal. 14

6 klien pelapor telah melaporkan permasalah hukum tersebut ke pihak Kepolisian Polda Bali sejak tanggal 25 Juni 2011 yang diterima di Polda Bali tanggal 25 Juni 2011 sesuai Bukti Surat Laporan Polisi Nomor : Pol. LP/233/VI/2011/Bali/Dit.Reskrim tanggal 25 Juni 2011, namun sampai tahun 2014 belum ada tindak lanjut penyelesaian kasusnya. SPDP perkara tersebut telah dikirim oleh Penyidik Polda Bali sesuai surat Nomor B/242/XII/2011/Dit.Reskrimum tanggal 15 Desember H.R.Abdussalam (mantan penyidik) menyajikan data penyelesaian penanganan beberapa perkara sebagai berikut : a. Perkara pencurian kendaraan bermotor penyelesaian melalui proses hukum sampai memperoleh kekuatan hukum tetap hanya mencapai 5(lima) persen, sedangkan selebihnya banyak yang dilaporkan oleh masyarakat namun penyelesaianya tidak ada kepastian. b. Kasus tindak pidana penggelapan penyelesaian perkara dalam proses hukum hanya mencapai 30% (tiga puluh) persen sedangkan sisanya ada yang dihentikan dan ada juga yang berlarut-larut tanpa kepastian hukum 6. Penanganan penyidikan perkara tindak pidana umum diawal tahun 2015 kembali memperlihatkan ketidak pastianya, antara lain dalam penyidikan perkara: 1. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka B.W..(Wakil Ketua KPK non aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 KUHP, BW telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik sejak bulan Januari 2015, setelah proses penyidikan berlangsung kurang lebih 2 bulan, pihak penyidik menyatakan penyidikan kasus tersebut ditunda penanganannya sampai waktu yang tidak ditentukan. 2. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka A.S.(Ketua KPK non aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP, A.S. ditetapkan sebagai tersangka sejak bulan Pebruari 2015 setelah penyidikan berlangsung kurang lebih satu bulan penyidik menyatakan penyidikan perkara tersebut ditunda sampai bataas waktu yang tidak ditentukan Bahwa penundaan proses penyidikan perkara atas nama tersangka B.W. maupun tersangka A.S. tidak ditentukan batas waktunya oleh penyidik dan tidak pernah disampaikan alasan penundaan perkara tersebut apakah kurang alat bukti atau karena sebab lain. 6 Ibid. hal

7 Penetapan B.W. maupun A.S. sebagai tersangka oleh penyidik telah menimbulkan perampasan sejumlah hak dari tersangka, diantaranya menduduki jabatan tertentu (mencari pekerjaan). Selanjutnya dengan dilakukan penundaan proses penyidikan yang tidak dibatasi waktu tersebut sudah dipastikan juga merampas sejumlah hak-hak tersangka seperti, hak untuk segera diajukan ke penuntut umum, untuk selanjutnya oleh penuntut umum segera diajukan ke persidangan, hak melakukan pembelaan. Dengan status tersangka yang disandang oleh B.W. maupun A.S. maka hak yang bersangkutan untuk maju ke panggung politik juga terampas. Terjadinya penanganan perkara pidana (umum) yang berlarut-larut khususnya pada tahap penyidikan disebabkan karena dalam ketentuan hukum acara pidana ( KUHAP) terjadi kekosongan hukum ( vacuum of law) yaitu tidak adanya ketentuan batas waktu berapa lama proses penyidikan perkara tindak pidana (umum) harus diselesaikan dan oleh karena itu KUHAP harus segera direvisi atau diperbaharui dan dalam hukum acara pidana yang akan datang ( Ius Constituendum) diatur secara tegas mengenai batas waktu penyidikan perkara tindak pidana umum serta lebih memperhatikan masalah perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi tersangka, saksi korban maupun saksi-saksi pada umumnya. Memperhatikan berbagai permasalahan hukum yang terjadi dalam proses penanganan perkara tindak pidana pada tahap penyidikan, cukup menarik perhatian penulis untuk mengangkat judul tesis, KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA (IUS CONSTITUENDUM) 1.2. Rumusan masalah Dari uraian latar belakang masalah seperti tersebut diatas penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)?

8 b. Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Dalam setiap penulisan tesis diperlukan adanya suatu ketegasan tentang materi yang diuraikan, hal ini dimaksudkan untuk membatasi agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka ruang lingkup yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: Dalam hubungannya dengan permasalahan pertama, dibahas mengenai pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam KUHAP; Sedangkan dalam permasalahan kedua, membahas mengenai bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang Tujuan Penelitian Tujuan umum (het doel van onderhoek) berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process ilmu sebagai proses. Adapun tujuan umum dari tulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam KUHAP maupun dalam pembaharuan hukum acara pidana. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk meneliti dan menganalisa ketentuan waktu penyidikan perkara tindak pidana umum dalam KUHAP serta kaitannya dengan perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi tersangka, serta bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan perkara tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang.

9 1.5. Manfaat Penelitian Bahwa dalam setiap penelitian ilmiah sudah pasti ada hal-hal yang bermanfaat yang ingin dicapai baik oleh peneliti sendiri maupun bagi masyarakat umum, khususnya yang bersinggungan dengan hal-hal yang diteliti, adapun manfaat penelitian meliputi : Manfaat teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, berkaitan dengan penyempurnaan perundang-undangan hukum pidana formil sehingga lebih mencerminkan kepasian hukum dan penghargaan terhadap hak-hak asasi tersangka termasuk saksi (korban) Manfaat praktis. Manfaat praktis dari tulisan ini adalah dalam rangka memberi masukan kepada pihak-pihak terkait (lembaga legislatif) dalam rangka penyempurnaan ketentuan undang-undang hukum acara pidana yang berlaku saat ini, karena dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum ada ketentuan yang membatasi waktu penyidikan sehingga penanganan perkara pada tahap penyidikan banyak berlarut-larut sehingga tidak mencerminkan asas penanganan perkara secara cepat sederhana dan biaya ringan Orisinalitas Penelitian Keasilian tulisan sebagai salah satu persyaratan dalam tulisan ilmiah ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penjiplakan (plagiatism) karya tulis orang lain, karena setiap karya tulis dilindungi oleh undang-undang. Penulis yakin bahwa

10 tulisan ini benar-benar asli/original, karena penulis telah melakukan penelitian terhadap beberapa karya tulis ilmiah khususnya tesis dan ternyata tidak ada karya tulis ilmiah (tesis) yang membahas mengenai kekosongan hukum (norma) dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya masalah tidak adanya batas waktu penyidikan tindak pidana (umum). Setelah penulis melakukan perbandingan dengan karya tulis lain, penulis tidak menemukan adanya karya tulis ilmiah (tesis) yang mirip dengan karya tulis ini yang memadai untuk dijadikan perbandingan. Dengan demikian maka tulisan ini dapat disebutkan sebagai tulisan asli /orisinal 1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir Teori hukum senantiasa tidak dapat dilepaskan dari kontek zamanya karena sarat dengan penjelasan-penjelasan hukum secara dialektis, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Teori hukum juga sering dijadikan sebagai landasan teori untuk mencari suatu jawaban terhadap permasalahan hukum yang dominan pada suatu jaman. Dalam landasan teoritis diuraikan mengenai segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sistem aneka theorema atau ajaran 7. Dalam landasan teoritis diuraikan secara singkat mengenai asas hukum, konsep hukum, dan teori-teori hukum. Landasan hukum pembangunan nasional dibidang hukum adalah Pancasila yang memberikan landasan filosopi, landasan sosiologi, sedangkan landasan konstitusional adalah Undang-Undang Dsasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945 beserta peraturan perundang-undangan terkait lainnya, salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 206) telah merumuskan visi dan misi pembangunan bidang hukum yang berbunyi Terwujudnya sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia 7 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2003,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke enam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7.

11 berlandaskan keadilan dan kebenaran 8. Berlandaskan pada misi tersebut, pembangunan bidang hukum dan hak asasi manusia mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan segera dilakukan perubahan/ revisi baik yang bersifat menyeluruh maupun bersifat parsial, agar ketentuan hukum yang berlaku benar-benar mencerminkan nilai filosifis Pancasila, kaedah-kaedah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Asas Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Tindakan Penyidikan Dalam Tindak Pidana Menurut C.W. Paton, dalam bukunya A Textbook of Jurisprudence ; A principles is the broad reason, wich lies at the base of a rule of law, diterjemahkan menjadi asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum 9. Asas hukum yang dianut dalam suatu undang-undang ada yang bersifat universal serta ada asas yang bersifat nasional. Bellefroid menyatakan bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum posistif dan yang oleh hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum 10 Roeslan Saleh menyatakan asas hukum adalah aturan hukum tertinggi yang berfungsi sebagai ratio legis dari aturan perundang-undangan yang ada 11, bliau juga menyatakan bahwa terdapat tiga ciri asas-asas hukum, yakni : 1. Asas hukum adalah fundamen dari sistem hukum, oleh karena itu dia adalah pikiran-pikiran dasar dari sistem-sistem hukum; 8 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, Kebijakan Reformasi Hukum (suatu Rekomendasi), Partnership Government Reform in Indoensia, Jakarta, hal.2. 9 Arrasjid, Chainur, 2000, Op. Cit. hal. 36. Jakarta, hal Ali Zaidan., M, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, 11 Ibid, hal. 53

12 2. Asas-asas hukum bersifat lebih umum dari pada ketentuan undang-undang dan keputusan-keputusan hukum oleh karena ketentuan undang-undang dan keputusan-keputusan hukum adalah penjabaran asas-asas hukum; 3. Akhirnya difinisi ini menunjukan bahwa beberapa asas hukum berada sebagai dasar dari sistem hukum; beberapa lagi dibelakangnya, jadi di luar sistem hukum itu sendiri, sungguhpun demikian mempunyai pengaruh terhadap sistem hukum tersebut 12 Asas hukum adalah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, merupakan kelengkapan vital dalam legislasi, asas hukum merupakan bagian integral dari suatu undang-undang dan sistem hukum keseluruhan. Setiap undang-undang yang dibentuk dalam suatu negara selalu memiliki asas-asas hukum yang kuat sehingga undang-undang tersebut dapat bertahan dalam waktu yang lama, demikian halnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai ketentuan hukum positif dalam bidang penegakan hukum pidana, menganut asas-asas hukum antara lain : 1. Asas legalitas, memberi pedoman bahwa tidak seorangpun dapat dihukum atas suatu kejahatan jika tidak ada peraturan yang mengatur mengenai kejahatan tersebut sebelum kejahatan dilakukan tidak ada perbuatan yang boleh dihukum selain atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang diadakan pada waktu sebelum perbuatan itu terjadi, Pasal 1 KUHP (SV) Nederland berbunyi Strafvordering helf alleen plaats op de wijze bij de wett voozien ( acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang diatur oleh undang-undang) 13. Proses penyidikan tidak akan dilakukan jika penyidik tidak/belum menemukan peraturan perundang-undangan yang diduga dilanggar oleh terlapor. 2. Prinsip /Asas keseimbangan antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat Prinsip /Asas praduga tidak bersalah, bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap sebagai orang yang tidak bersalah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang 12 Loc. Cit hal Sunarso Siswanto H., 2012, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta 14 Harahap, M. Yahya, 2004, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi 2, Cetakan ke-6, Sinar Grafika Jakarta, hal. 38

13 berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa terdakwa adalah orang yang bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya. Diharapkan semua pihak mengesampingkan asas praduga bersalah (presumtion of guil), karena dalam proses pembuktian tidak menutup kemungkinan hakim akan memutus bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum baik putusan bebas (vrijspraak) maupun pelepasan dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging) Prinsip /Asas Akusator, dimana dalam setiap perkara tersangka harus diajukan ke muka pengadilan dengan tidak memihak, dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh haknya secara penuh untuk mengajukan pembelaan. 5. Prinsip / deferensiasi fungsional, yaitu setiap badan atau sub sistem telah ditetapkan fungsi dan wewenangnya masing-masing tetapi saling ketergantungan antara subsistem penyidik, penuntut umum, hakim, lembaga pemasyarakatan, serta advokat/penasehat hukum. 6. Prinsip /Asas peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak; dimana dengan adanya batas waktu yang pasti pada setiap tahap penangan perkara tidak ada lagi orang-orang (tersangka/terdakwa) menyandang status tersangka dalam waktu yang lama/ berlarut-larut tanpa adanya kepastian hukum. Proses penanganan perkara tidak ribet dalam arti tidak lagi terjadi proses pra penuntutan yang memakan waktu lama karena petunjuk penuntut umum (peneliti) tidak bisa dipenuhi oleh penyidik, atau penyidik sengaja berlama-lama tidak mengirimkan kembali berkas perkara kepada penuntut umum (Kejaksaan). Tidak ada lagi laporan masyarakat dalam waktu yang lama tidak ada kejelasanya. Tidak ada lagi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dalam waktu lama tidak ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkara tahap I (pertama). Tidak ada lagi berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap oleh penuntut umum tidak ditindak lanjuti dengan penyerahan perkara tahap kedua / penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti oleh penyidik kepada penuntut umum. 15 Hamzah Andi, 2007, Terminologi Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan pertama, Sinar Grafika Offset, Jakarta hal. 126

14 Tidak ada lagi penanganan perkara pada tahap penuntutan dan upaya hukum yang memakan waktu cukup lama, bertahun-tahun (upaya hukum). Bagi warga negara yang tersangkut suatu tindak pidana tidak lagi mengeluarkan biaya yang banyak untuk keperluan mengurus perkara, tidak ada mafia hukum yang menguras uang para pesakitan dan mereka cukup mengeluarkan biaya untuk membayar ongkos/biaya perkara. Tindakan penyidik yang tidak kunjung mengirimkan berkas perkara kepada penuntut umum dan/atau hasil penyidikan yang sering kali dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik untuk dilengkapi akan berpengaruh kepada kepercayaan masyarakat kepada instansi penyidik Prinsip /Asas perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa. Aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum (law inforcement) baik disengaja maupun tidak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersangka / terdakwa baik hak didampingi penasehat hukum, hak diam, hak mendapat pemeriksaan yang cepat, hak mengajukan saksi/ahli yang menguntungkan, hak mendapat bentuan juru bahasa dan lain sebagainya. Memberikan perlindungan terhadap para saksi / korban. Memberikan penghargaan bagi warga yang berjasa mengungkap suatu peristiwa pidana. 8. Prinsip /Asas pemeriksan dipersidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang Teori Sistem Peradilan Pidana Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang didasarkan kepada Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai landasan bertindak bagi aparat penegak hukum, merupakan satu kesatuan sistem, karena pelaksanaan pidana tersebut tidak terlepas dari sub-subsistem yang saling mendukung antara subsistem struktur hukum, subsistem substansi hukum maupun subsistem kultur hukum. Adapun ciri pendekatan sistem dalam hukum acara pidana menurut Romli Atmasasmita adalah : 16 Yahya Harahap, M. Op.Cit. hal 357

15 a. Titik berat pada kondisi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga Pemasyarakatan). b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara d. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memanfaatkan The administration of justice 17 Pendekaan dalam sistem peradilan pidana indonesia adalah pendekatan yang menggunakan segenap unsur (struktur hukum) yang terlibat didalamnya sebagai satu kesatuan dan saling berhubungan, saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan 18. Dalam sistem peradilan pidana dikenal ada dua model pendekatan dikotomi, yaitu pendekatan Crime Control Model (CCM) dan pendekatan Due Process Model (DPM); 19, pendekatan Crime Control Model mengutamakan pemberantasan kejahatan dengan tindakan represif terhadap suatu kriminal dan efisiensi dengan penekanan efektivitas kecepatan dan kepastian. Sedangkan pendekatan Due Process Model menekankan proses peradilan yang mengutamakan prosedur formal yang sudah ditetapkan dalam undangundang, setiap prosedur adalah penting dan harus dilaksanakan secara ketat Sistem Peradilan Pidana secara umum bertujuan untuk melaksanakan proses hukum yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (due process model), dalam proses hukum yang baik memiliki persyaratan antara lain: adanya ketentuan hukum yang jelas, tiap-tiap komponen penegak hukum memiliki tugas dan fungsi yang jelas, memiliki koordinasi dan kerjasama secara berkelanjutan, dan adanya pengawasan internal maupun eksternal dalam pelaksanaan tugas masing-masing. Konsep due process model sangat menjunjung tinggi adanya supremasi hukum. Penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus sesuai dengan 17 Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem peradilan Pidana Persefektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Cetakan 2, Putra Abardin, Bandung, hal Fachmi,2011, Kepastian hukum mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Perddilan Pidana Indonesia, PT. Ghalia Indonesia Publishing, Jakarta, hal Packer,Herbert L , The Limits of The Criminal Santion, West Publishing, New York London, hal.24.

16 persyaratan konstitusionil dan harus mentaati hukum, serta menghormati hal sebagai berikut : berikut: a. The right of self incrimination, tidak seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana. b. Dilarang mencabut, menghilangkan hak hidup, kemerdekaan atau harta benda tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara. c. Setiap orang harus terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan. d. Hak konfrontasi dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang menuduh atau melaporkan. e. Hak memperoleh pemeriksaan yang cepat. f. Hak perlindungan yang sama dan perlakuan yang sama dalam hukum. g. Hak mendapat bantuan penasehat hukum 20. Sistem Peradilan Pidana dapat diuraikan pengertianya kata demi kata sebagai sistem berarti suatu susunan ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem, hubungan antara beberapa unsur yang satu tergantung pada unsur yang lain. Peradilan merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak memihak, tidak berat sebelah ataupun keseimbangan dan secara keseluruhan, peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu proses, yaitu proses untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan dan kata Pidana yang dalam ilmu hukum pidana (criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi, dan ataupun penderitaan yang diberikan yang dapat mengganggu keberadaan fisik maupun fsikis dari orang yang terkena pidana itu 21. Sistem Peradilan Pidana Indonesia menggunakan pendekatan Due Process Model yaitu melaksanakan proses peradilan pidana sesuai prosedur hukum yang telah diatur dan ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang prosesnya dimulai dari tahap penyidikan, pra penuntutan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan dipersidangan termasuk upaya hukum dan putusan pengadilan. berakhir pada pelaksanaan Pemahaman mengenai sistem peradilan pidana di Indonesia diperkenalkan oleh ahli hukum Mardjono Reksodiputro, yang memberikan batasan tentang Sistem Perailan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada 20 Harahap, M. Yahya, Op.Cit. hal Fachmi. Op.Cit. hal 49-50

17 dalam batas toleransi masyarakat 22. Disadari atau tidak bahwa kejahatan itu ada seiring dengan berkembangnya peradaban hidup manusia, oleh karena itu adanya kejahatan harus ditekan seminimal mungkin. Pendapat ahli hukum Remington dan Ohlin mengenai adalah sebagai berikut : Sistem Peradilan Pidana Sistem Peradilan Pidana (Criminal justice system) dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya 23 Melalui Sistem Peradilan Pidana ini akan diperoleh cara penyelesaian perkara atau penanggulangan kejahatan yang baik dan adil (doe process of law). Muladi menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan kerja (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana 24. Reformasi dibidang hukum idealnya harus dilakukan melalui pendekatan sistem hukum 25. Pendekatan sistem yang dimaksud adalah adanya hubungan kerjasama/ koordinasi antara unsur-unsur aparat hukum yang terkait satu dengan yang lain. Sudikno Mertokusumo mengartikan sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut 26. Tujuan yang ingin dicapai dalam sistem hukum adalah terpenuhinya rasa keadilan masyarakat, adanya kepastian hukum dalam rangka kesejahteraan masyarakat. 22 Reksodiputro, Mardjono, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peranan penegak Hukum Melawan Kejahatan, FHUI, Jakarta, hal Susanto, Anton F. 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana,PT. Refika Aditama, Bandung, hal Ibid, hal Basrief Arief, 2013, Menata Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Kumpulan Makalah Jaksa Agung Republik Indonesia Tahun 2012, Gaung Persada Press, Jakarta, hal Lok.Cit.

18 Proses penanggulangan kejahatan, diimplementasikan dalam hukum acara pidana Indonesia dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integreted Criminal Justice System). Keterpaduan sistem peradilan pidana tersebut memiliki ciri tersendiri dibanding dengan sistem pradilan pidana di negara lain, dimana tiap-tiap aparat penegak hukum memiliki wadah/lembaga tersendiri namun dalam pelaksanaan tugas mereka tetap melakukan kerja sama dan saling membantu demi kelancaran penanganan perkara. Pengertian dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) menurut Muladi dinyatakan : Sinkronisasi/keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan, pertama Sinkronisasi Struktural yaitu keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum, kedua Sinkronisasi Substansial yaitu keserempakan dalam keselarasan yang sifatnya fertikal dan hirisontal dalam kaitannya dengan hukum positif, dan ketiga Sinkronisasi Kultural yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikapsikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana 27 Antara aparat penyidik dengan penuntut umum senantiasa ada koordinasi dalam tahap prapenuntutan, penyidik penuntut umum dengan pengadilan terjadi koordinasi dalam pertanggung jawaban hasil penyidikan, penuntut umum dengan Pemasyarakatan terjadi koordinasi dalam hal penitipan penahanan serta pelaksanaan putusan pengadilan dan lain sebagainya. Tujuan akhir dari sistem peradilan pidana dalam jangka panjang, yakni mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan kebijakan sosial, dalam jangka pendek yakni mengurangi terjadinya kejahatan dan residivisme 28, pada prinsipnya sistem peradilan pidana merupakan sarana untuk mencegah sekaligus menanggulangi kejahatan Teori Pembentukan Hukum (Perundang- undangan). hal.4 27 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 28 Ali Zaidan.,M. 2015, Op. Cit, hal.116

19 Sebagai Negara hukum yang mengedepankan asas legalitas formal, maka hukum yang diberlakukan cenderung dalam bentuknya yang tertulis, namun masih tetap memberi peluang berlakunya hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hukum dalam bentuk tertulis perwujudannya berupa peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pejabat/lembaga yang berwenang untuk itu. Dalam pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan) tidak bisa terlepas dari asas hukum, teori hukum maupun doktrin hukum. Salah satu teori hukum yang dikenal dengan teori penjenjangan yang dikebangkan oleh Hans Nawiasky menerangkan bahwa suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni mulai dari norma yang paling bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi dan seterusnya sampai pada norma tertinggi yang disebut norma dasar 29 yang merupakan pengembangan teori penjenjangan dari Hans Kelsen. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, disamping harus memperhatikan penjenjangan hukum, maka menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) harus juga berpedoman pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. Kejelasan tujuan b. Kelembagaan atau pembentuk yang tepat c. Kesesuain atara jenis, hirarki dan materi muatan d. Dapat dilaksanakan e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan f. Kejelasan rumusan, dan g. keterbukaan Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 menyatakan materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman, b. kemanusiaan, c. kebangsaan, d. kekeluargaan, e. kenusantaraan, f. bhineka tunggal ika, 29 Rais Rozali, 2013 Teori Pembenttukan perundang-undangan, birohukum.pu.go.id/component/content/article/101.html diunggah tanggal 23 September 2013

20 g. keadilan, h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, i. ketertiban dan kepastian hukum, dan /atau, j. keseimbangan, keserasian dan keselarasan Dan ayat (2) memberi peluang dalam penerapan asas-asas lain sesuai kebutuhan perundang-undangan yang bersangkutan. Reformasi menghendaki terjadinya perubahan hukum kearah yang lebih baik, mewujudkan tujuan hukum seperti keadilan, kepastian hukum, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat, masyarakat membutuhkan ketertiban serta keteraturan sehingga membutuhkan hukum, hukum sudah ada di negeri ini sehingga cara-cara untuk mengadilkan, membenarkan, meluruskan serta membumikan hukum menjadi pekerjaan yang tidak dapat ditawar-tawar 30 untuk segera dilakukan, perubahan maupun pembentukan peraturan perundang-undangan baru saat ini mengarah kepada tipe hukum responsif. Mochtar Kusumaatmadja, mengajarkan konsep pembangunan bidang hukum Indonesia yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sebagai sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum 31, hukum dipandang sebagai sarana pembangunan sosial dalam rangka mewujudkan kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat. Salah satu konsep dasar yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang memandang hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat, yang diilhami oleh pemikiran Rosco Pound yang mengintroduksikan bahwa law as a tool of social engineering 32, hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat serta menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Upaya membuat peraturan perundang-undangan yang baik, maka dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, 30 Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Prograsip sebuah sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising, Materam, hal Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia , Cetakan pertama, Muhamadyah University Press, Surakarta, hal Ibid, hal

21 pembuatan peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan secara serta merta mengadopsi hukum-hukum yang berkembang dari negara lain. Proses pembaharuan hukum acara pidana yang saat ini masih dalam proses pembahasan tingkat legislatif bersama eksekutif terhadap Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) secara konseptual telah mengikuti tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam teori pembentukan hukum, sehingga bila RUU-KUHAP tersebut nantinya disahkan menjadi undang-undang mudah diterapkan, ditaati oleh masyarakat serta mampu bertahan untuk waktu yang lama Teori Penemuan Hukum. Reformasi pembangunan bidang hukum, meliputi reformasi struktur hukum, substansi hukum serta kultur hukum, reformasi struktur hukum dilakukan dengan memperbaiki dan mengontrol sistem penegakan hukum (law enforcement) perbaikan serta kontrol tersebut dilakukan baik secara internal maupun eksternal yang ditandai dengan dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Yudiasial, Komisi Kejaksaan, Komisi Ombusman, Komisi Pemberantasan Korupsi dan lain sebagainya, dibentuknya berbagai komisi tersebut dilatar belakangi kurang efektifnya kinerja serta pengawasan internal lembaga-lembaga penegak hukum. Sedangkan reformasi substansi hukum dilakukan dengan penciptaan/pembuatan peraturan perundang-undangan (hukum) baru serta perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada yang dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara dinamis. Reformasi budaya hukum dilakukan dengan cara menanamkan nilai-nilai moral serta ketaatan terhadap norma-norma yang berlaku serta memberi teladan yang baik dan benar kepada masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengawasi kinerja aparatur penegak hukum. Reformasi bidang hukum menghendaki terjadinya perubahan perilaku aparat penegak hukum serta perilaku masyarakat yang semakin sadar dan taat hukum, mewujudkan kepastian hukum, keadilan, ketentraman dan keteraturan. Hukum sudah ada di negeri ini tinggal bagaimana cara-cara untuk mengadilkan, membenarkan,

22 meluruskan serta membumikan hukum menjadi pekerjaan yang tidak dapat ditawartawar 33 untuk segera dilakukan, perubahan maupun pembentukan peraturan perundangundangan yang baru mengarah kepada tipe hukum responsif. Tipe hukum responsif dipandang cocok untuk dikembangkan saat ini dengan pertimbangan: Pertama, proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Kedua, dilihat dari fungsinga maka, hukum yang bersifat responsif lebih aspiratif. Ketiga, dilihat dari segi penafsiran maka hukum yang berkarakter responsif biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan, dan peluang yang sempit itupun hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-betul bersifat teknis 34. Konsep dasar penciptaan / penemuan hukum yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja salah satunya memandang hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat, yang diilhami oleh pemikiran Rosco Pound yang mengintroduksikan bahwa law as a tool of social engineering 35, hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat serta menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Upaya penemuan hukum oleh hakim dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan, Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Rumusan pasal ini diilhami oleh asas hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, setiap perkara yang masuk ke lembaga pengadilan wajib diperiksa, diadili dan diputus. Jika suatu perkara yang diterima hakim belum/tidak ada undang-undang yang mengaturnya maka hakim diwajibkan menggali hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, karena hukum yang demikian akan lebih mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat 33 Satjipto Rahardjo, Hukum Prograsip Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising, Mataram 2009, hal Khudzaifah Dimyati,Op Cit hal Ibid hal

23 setempat, untuk selanjutnya dapat diikuti dan ditaati oleh masyarakat, tindakan seperti inilah yang disebut penemuan hukum. Pandapat ahli (doktrin) hukum mengenai difinis dari penemuan hukum (rechtvinding), diantaranya diungkapkan oleh Paul Scholten yang menyatakan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya 36. Penemuan hukum semacam ini dilakukan oleh hakim, dalam penanganan suatu perkara. D.H.M. Meuwissen mengatakan penemuan hukum adalah proses kegiatan pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan sebagainya) 37, Meuwissen melihat hukum sebagai suatu kenyataan aktivitas yang menimbulkan akibat hukum. Secara garis besar dikenal ada dua metode penemuan hukum, yakni : (1) Metode interpretasi, yaitu penemuan yang dilakukan dengan cara melakukan penafsiran terhadap teks undang-undang yang sudah ada, masih tetap berpegang pada bunyi teks itu, metode interprestasi ini terdiri dari gramatikal, historis, sistematis, teleologis, komparatif, futuristic, restriktif, ekstensif, autentik, interdisipliner. (2) Metode konstruksi, dalam metode ini hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, Hakim dalam melakukan penemuan hukum tidak lagi berpegang pada bunyi teks peraturan perundangundangan, tapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Jenis metode ini terdiri dari : analogi (Argumentum Per Analogiam), Argumentum a Contrario, Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning), Fiksi hukum. Di Indonesia penemuan hukum banyak dilakukan oleh hakim pada Mahkamah Konstitusi (MK) seperti diantaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU- XII/2014 tanggal 28 April 2015 yang menetapkan bahwa penetapan sebagai tersangka 36 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009, halaman Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, halaman

24 dan adalah merupakan obyek dari Gugatan Pra peradilan padahal dalam Pasal 77 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ditetapkan yang menjai obyek praperadilan adalah mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dst... namun oleh Hakim Mahkamah Konstitusi tindakan penetapan sebagai tersangka telah ditetapkan untuk dijadikan obyek gugatan Pra peradilan dan hal tersebut telah diterapkan oleh beberapa hakim pengadilan negeri di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ketentuan batas waktu penyidikan dapat dijadikan temuan hakim dalam rangka mengissi kekosongan hukum ( judge made law) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pengisian kekosongan hukum juga dapat dilakukan lembaga legislatif bersamasama lembaga eksekutif atau lembaga eksekutif sendiri, sesuai kewenangan yang dimiliki masing-masing, sebagaimana diatur alam konstitusi Negara R.I. UUDNRI 1945 ) Pasal 5 dan Pasal 20, 21 dan 22. Bentuk pengisian kekosongan hukum dapat berupa perubahan atau penambahan pasal atau ayat baru dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, atau penemuan peraturan yang baru Teori Hak Asasi Manusia (HAM) Bidang Hukum Pengakuan, perlindungan serta pemenuhan terhadap hak-hak asasi manusia di Negara Indonesia secara konstitusi telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 beserta perubahan (amandemen) baik hak asasi bidang sosial, politik, hukum maupun budaya, kemudian secara substansial juga telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat organik. Namun demikian awal mula pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia secara formil oleh negara pada mulanya berkembang di negara-negara eropah, salah satu contoh dalam sistem hukum eropah yang mengatur mengenai perlindugan terhadap hak-hak asasi pelaku kejahatan dapat dilihat dalam ketentuan European Convention on Human Rights (ECHR), dimana pada Pasal 6 (3) (e) dari ECHR tersebut menyatakan Everyone charge with a criminal offence [.] has the rights to free assistance of an interpreter if he cannot understand or speak the language used court, terjemahan bebasnya Setiap

25 orang yang dituduh melakukan kejahatan [ ] punya hak mendapatkan bantuan dalam bentuk penerjemah gratis jika orang itu tidak bisa mengerti atau tidak bisa bahasa yang digunakan di pengadilan. 38, (ECHR) berkembang jauh sebelum lahirnya Decleration of Human Rights, hal ini menandakan bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka telah diatur dalam konvensi (Convention) di Eropah. C de Rover memberi pengertian hak asasi manusia adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Sedangkan John Locke menyatakan hak asasi adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sejak tahun 1948 mulai mendapat perhatian secara internasional yang ditandai dengan dideklarasikannya Piagam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak- Hak Asasi Manusia 1948, yang diikuti dengan deklarasi hak-hak asasi manusia bidang sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1966, deklarasi tersebut mewajibkan tiap-tiap negara anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk memberi perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia bidang sipil dan politik dalam keadaan apapun. Ciri-cii khusus dari hak asasi manusia antara lain : ham tidak dpat dilaksanakan secara mutlah karena dapat merugikannhak orang lain; tidak dapat dicabut artinya tidak dapat dihilangkan atau diserahkan kepada pihak lain; dan tidak dapqt dibagi aartinya semua orang berhak mendaptkan semua haknya. Perkembangan konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga mewarnai perkembangan hukum baik dalam tataran internasional dan domestik, HAM dapat dijadikan sebagai acuan bagi hukum pidana di masing-masing negara untuk menerapkan konsepsi humanisasi dan sivilisasi agar sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan pertanggung jawaban pidana 39 Pengaturan hak-hak asasi manusia bidang hukum dalam konstitusi negara R.I. dapat di temukan dalam rumusan Pasal 27 UUDNRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, sedangkan dalam 38 Ida Elisabeth Koch, 2009, Human Rights as Indivisible Rights, The Protection of Socio- Economic Demands under the European Convention on Human Rights, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden.Boston, Page 7 Capter Ali Zaidan.M. Op. Cit.hal 123

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara

Lebih terperinci

TESIS KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI TUTUM

TESIS KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI TUTUM TESIS KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI TUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA (IUS CONSTITUENDUM) I DEWA

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alih hak dan kewajiban individu dalam lintas hubungan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. alih hak dan kewajiban individu dalam lintas hubungan masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk mengintegritaskan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain,

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA TERHADAP PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Di Polresta Palu)

PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA TERHADAP PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Di Polresta Palu) PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA TERHADAP PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Di Polresta Palu) PRASETYO DARMANSYAH PUTRA DJAMAN / D 101 10 310 ABSTRAK Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA Oleh: Hafrida 1 Abstrak Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan diperhatikan harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya. Hak yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Hak atas kemerdekaan, keamanan dan juga hak untuk memperoleh keadilan merupakan hak asasi bagi setiap orang sebagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan 1. Pengertian Penahanan Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) 1. Konsekuensi dalam suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penyidikan penting untuk menentukan keberhasilan penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang

BAB I PENGANTAR. Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang terjadi di Indonesia sebagai dampak negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan baik sosial, budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini hukum di Indonesia mengalami suatu perubahan dan perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang direncanakan tersebut jelas

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah memeriksa dan memutus permohonan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERSANGKA/TERDAKWA

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERSANGKA/TERDAKWA PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERSANGKA/TERDAKWA Didi Sunardi Endra Wijaya Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP) i Judul: Perlindungan Hak Asasi Manusia Tersangka/Terdakwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat

Lebih terperinci

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN Oleh Maya Diah Safitri Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The right to obtain legal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip Negara hukum menjamin kepastian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara dan kegiatan penyelenggaraan negara harus berlandaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB II HAK-HAK TERSANGKA DALAM HUKUM ACARA PIDANA. seseorang yang menjalani pemeriksaan permulaan, dimana salah atau tidaknya

BAB II HAK-HAK TERSANGKA DALAM HUKUM ACARA PIDANA. seseorang yang menjalani pemeriksaan permulaan, dimana salah atau tidaknya BAB II HAK-HAK TERSANGKA DALAM HUKUM ACARA PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Tersangka 1. Pengertian Tersangka Tersangka menurut Pasal 1 ayat (14) KUHAP, adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara, yakni: supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di depan hukum. mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Negara, yakni: supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di depan hukum. mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, ada tiga prinsip dasar yang wajib dijunjung tinggi oleh aparat pemerintahan maupun oleh setiap warga Negara, yakni:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh : Iman Hidayat, SH.MH Abstrak Fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan HAM. Dalam rangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN NAMA KELOMPOK : 1. I Gede Sudiarsa (26) 2. Putu Agus Adi Guna (16) 3. I Made Setiawan Jodi (27) 4. M Alfin Gustian morzan (09) 1 DAFTAR

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA Sapto Budoyo* Abstrak. Prinsip-prinsip dasar yang melandasi eksistensi bantuan hukum di Indonesia secara yuridis konstitusional

Lebih terperinci