NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA DI MASA KINI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA DI MASA KINI"

Transkripsi

1 NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA DI MASA KINI Oleh: ENUNG SOLIHAH NIM JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M

2 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji dan syukur hanya pada-nya atas segala kasih dan sayang-nya yang tiada terhenti. Penulis mengucapkan syukur karena dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA DI MASA KINI. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Junjungan Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, keluarga dan semua sahabatnya. Dalam penyusunan Skripsi ini, Penulis mengalami berbagai macam rintangan dan hambatan. Namun berkat adanya bantuan dari berbagai pihak, semuanya itu dapat diatasi, sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan. Perkenankanlah Penulis dalam kesempatan ini menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu Penulis, kepada : 1. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA. beserta seluruh para Pembantu Dekan Fak. Ushuluddin dan jajarannya. 2. Drs. M. Nuh Hasan, MA dan Bapak Maulana, M.Ag selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama. 3. Bapak Drs. Roswen Dja far sebagai dosen pembimbing Penulis. Atas segala bimbingan, arahan, bantuan, motivasinya, serta kesempatan dan waktu yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini. i

3 4. Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu Penulis dalam menyediakan bukubuku yang dibutuhkan Penulis semasa kuliah dan penulisan Skripsi ini. 5. Kepada seluruh dosen Perbandingan Agama yang telah memberikan ilmunya dan mendidik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama. 6. Bapak I Ketut Bantas, S.Ag, M.Fil., H (Ketua Parisada Hindu Dharma DKI Jakarta), Bapak Dewa Ketut Suratnaya (Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara) dan Bapak Firdaus (Konselor PHDI) yang telah membantu Penulis dan bersedia menyediakan waktunya untuk melakukan wawancara sebagai bahan Penulis dalam penulisan Skripsi ini. 7. Kedua orang tua saya, Bapak Hamim (Alm.) dan Ibunda Siti Julaeha, serta abangku, Rahmat Syukur, M.Pd.I, Dadan Hermanto dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan doa, arahan, motivasi, selama kuliah dan penyusunan Skripsi. 8. Kepada Wasil dan kawan-kawan perberoan dan seperjuangan yang telah memberikan arahan dan motivasinya yang terus menerus kepada Penulis. 9. Keluarga Besar Mahasiswa Perbandingan Agama Angkatan 2006 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. 10. Seluruh teman-teman anak kosan Balance yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 11. Seluruh teman-teman di kantor ESQ yang selalu memberikan semangat kepada penulis. ii

4 Terakhir, Penulis mengucapkan terima kasih atas semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah membantu Penulis dalam menyusun dan menyelesaikan Skripsi ini. Semoga jasa baik yang telah diberikan kepada Penulis, Tuhan dengan Maha Kasihnya membalas dengan sebaik-baik balasan. Amiin. Jakarta, 04 Maret 2011 Penulis iii

5 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iv BAB I : PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 2 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6 C. Tujuan Penulisan... 7 D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan... 8 E. Sistematika Penulisan BAB II : NGABEN DALAM AJARAN HINDU A. Pengertian dan Tingkatan Ngaben B. Landasan Umum C. Landasan Khusus BAB III : NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA A. Pengertian, Jenis dan Maksud Ngaben Sarat B. Landasan Filosofis Ngaben Sarat C. Upakara dan Upacara Ngaben Sarat iv

6 D. Relevansi Ngaben Sarat di Masa Kini BAB IV : PENUTUP A.Kesimpulan B.Saran-saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN v

7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Epilog dari drama kehidupan manusia atau sebagai penutup perjalanan hidup manusia adalah soal kematian. Sebagaimana halnya dengan kehidupan, sejak jasad mulai bernyawa di dalam rahim, telah diadakan ritual pranatal dan dilanjutkan dengan ritual-ritual sesudah lahir. Begitupun dengan bagian akhir perjalanan kehidupan manusia memiliki ritual setelah mati. Tata cara atau semua peraturan yang mengatur upacara (baca: ritual) kematian (petrime-dha-yajna) terhimpun dalam sebuah kitab Weda Smrti yang dikenal dengan nama kitab Petrimedha Sutra, dikumpulkan oleh Maha Resi Budhayana. Lebih lanjut, sejak Agama Hindu mulai tersebar ke Asia Tenggara, pokok-pokok tata cara ritual penyelesaian mayat orang mati telah digubah kembali dan disesuaikan berdasarkan kebiasaan dan fasilitas setempat. Tentunya, hal ini juga tertulis dalam rontal-rontal yang masih tersimpan sebagai warisan kebudayaan bagi masyarakat Hindu di Indonesia. 1 Disebabkan tata cara ritual penyelesaian mayat telah berkembang dan mengikuti kebiasaan tradisi setempat, penting kemudian sedikit banyak mengetahui nama atau istilah dari ritual penyelesaian mayat itu sendiri. Ritual penyelenggaraan atau penyelesaian mayat, dalam kepercayaan umat Hindu di Bali, disebut dengan istilah Ngaben atau dalam istilah pada umumnya 1 Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), (Jakarta: Majlis Pertimbangan Kesehatan Dan Syara Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1973), h. 23 1

8 dikenal dengan istilah Kremasi atau pembakaran mayat. Pada dasarnya, ritual Kremasi (baca: pembakaran mayat) yang dikenal familiar dalam dunia modern saat ini, merupakan ritual yang dapat ditemukan dalam praktek pra-sejarah, jaman Sutra dan permulaan sejarah, atau telah dilakukan oleh sebagian bangsa di dunia sejak zaman sebelum Masehi dan juga pada masa Romawi. Berdasarkan dengan bukti arkeologis yang dijelaskan oleh ahli Antropologi Inggris V. Gordon Childe, pembakaran mayat atau kremasi telah dijalankan oleh masyarakat neolitik di kepulauan Inggris, Brittany, Switzerland, dan Jerman Tengah. Kremasi menjadi cara yang disukai di Inggris dan Eropa Utara dan Tengah pada abad pertengahan sampai abad perunggu (dari 1400 SM) dan di Spanyol dan Itali Atas sejak permulaan abad besi (dari 1000 SM). Juga dijalankan di Troy Dardonelles, Carchenish dekat Euphratus dan kadang di Creta dan Yunani: antara 1400 dan 1000 SM. Kemudian kremasi atau pembakaran mayat menjadi populer di India di kalangan Hindu. 2 Dalam kebudayaan primitif yang telah sampai saat modern ini, kremasi dijalankan secara luas. Pembakaran itu tidak hanya dimaksudkan untuk menghancurkan jasmani mayat secara lebih efektif, dan karenanya untuk mencegah kembalinya hantu itu yang mungkin, tetapi sejak api menyala juga sebagai suatu fungsi pensucian, pembakaran itu sering dianggap sebagai kebaikan untuk melindungi roh jahat. Tetapi, jangan diartikan, bahwa tujuan kebiasaan kremasi itu sama dalam semua keadaan. Di samping itu, untuk mengurangi keberanian roh dari 2 Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h

9 mendatangi bangkai (mayat) dan tempatnya semula, dan untuk memberikan semacam pengertian pensucian dari roh jahat, maka kremasi itu juga dalam beberapa contoh, di kalangan orang Hindu dan Chukchi Siberia, telah dihubungkan dengan kepercayaan tentang suatu tempat tinggi bagi roh dari orang yang meninggal. Nyala dari timbunan kayu pembakaran mayat itu, menjulang ke atas, dianggap dapat memudahkan naiknya roh. 3 Sementara kremasi masih merupakan cara pembebasan mayat yang lebih disukai dikalangan bangsa-bangsa primitif, kekurangan bahan bakar sering membawa orang untuk menggunakan cara-cara lain. Contohnya, orang-orang Chukchi sering menggunakan cara membiarkan mayat itu, sedangkan orang-orang Koryak, yang hidup lebih jauh ke daerah selatan, mengambil kremasi bila dapat dilakukan, tetapi melemparkan mayat mereka itu ke dalam lautan dari sebuah batu yang curam apabila kekurangan bahan bakar. Dalam zaman sutra pun, acara penyelesaian jenazah sebagaimana dalam kitab-kitab Aranyaka dan kitab Yajur Weda, acara itu disebut dengan istilah Pitrimedha atau upacara untuk membahagiakan orang-orang yang telah meninggal. Mantra-mantra umumnya diambil dengan ayat Rg Weda. Acaranya lebih mendetail dan lebih sistematik dengan berbagai bentuk rituil sebagai pelengkap acara. Diantara kitab-kitab yang memuat acara itu, kitab Hiranyakesi Grhiyasutra adalah kitab yang paling banyak dianut dan tersebar pemakaiannya, 3 Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h. 13 3

10 sampai ke Indonesia dalam bentuk gubahan sastra. Acara inilah yang kemudian disistimatisir disesuaikan menurut tradisi tempat setempat. 4 Kremasi dalam perkembangan selanjutnya telah menjadi cara penyelesaian mayat yang paling populer, 5 bahkan dengan perkembangan sifat dan sosial ekonomi masyarakat, upacara pembakaran mayat tidak lagi merupakan satu tradisi rutin tetapi merupakan proyek prestise dengan segala kemegahannya. Kejadiankejadian yang dapat kita amati seperti yang terjadi di kalangan umat Hindu di Bali. 6 Lebih dari itu, pembakaran mayat menjadi tradisi dan diizinkan dalam hukum positif, bahkan merupakan sebuah kewajiban dalam hukum agama sebagaimana halnya yang membudaya dalam agama Hindu. Hal ini mempunyai arti kejiwaan yang mendalam di samping mempercepat proses pemulangan atau penyelesaiannya. Secara ekonomipun acara ini akan lebih menguntungkan dari acara lainnya dan karena itu oleh masyarakat Hindu di Bali telah dikeluarkan anjuran kepada masyarakat Hindu untuk menempuh acara pembakaran seketika (Swastha). Dari aspek kejiwaan, pembakaran lebih mempercepat proses penyelesaian ikatan batin yang ditinggal, sehingga baik yang ditinggal maupun yang meninggal tidak merasakan adanya rintangan batiniah misalnya karena merasa punya kuburan, terpaksa pula hari-hari tertentu harus pergi berkunjung untuk melakukan terpana. Inilah yang disebut ikatan batin yang dapat mengganggu itu. Lain halnya 4 Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h. 26. Uraian tentang acara pembakaran ini dijelaskan pula dalam kitab Grhya sutra. Kebiasaan ini bersifat wajib dijaman Weda. 6 Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h

11 dengan mayat dibakar, begitu habis dibakar dan dibuang abunya ke laut, selang beberapa hari kemudian pikiran kita sudah terbebaskan oleh ikatan-ikatan itu. Berdasarkan analisa itu, secara ilmiah perlu pula diusahakan pembuktian tentang kebaikan pembakaran mayat itu didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan agama. Dalam perkembangan agama Hindu selanjutnya dengan mengikuti kebiasaan-kebiasaan setempat, penyelesaian mayat orang meninggal kremasi dalam sebutan lainnya, dalam tradisi umat Hindu di Bali lebih populer dan biasa disebut dengan istilah Ngaben. Bagi umat Hindu khususnya di Bali Ngaben atau pembakaran mayat kemudian berkembang dengan pelbagai sajen dan alat-alat upakara sebagai sarananya. Ini pun tidak hanya menggambarkan sebagai sebuah kebutuhan mutlak untuk mengantar arwah ke tempat yang membahagiakan yakni tatkala bersekutu dengan Sang Hyang Widi. Lebih dari itu, tradisi atau ritual Ngaben di Bali dengan aneka upakara dan upacaranya bukan hanya sebagai ritual keagamaan, melainkan juga menjadi proyek prestise dengan segala kemegahannya. Ngaben sebagai ritual keagamaan di Bali merupakan bagian dari Pitra Yadnya 7, yakni sebagai upacara keagamaan yang diadakan untuk menyelenggarakan jenazah keluarga yang meninggal dengan menggunakan 7 Pitra Yadnya terdiri dari dua kata, yakni pitra dan yadnya. Pitra yang berarti orang tua (bapak, ibu atau leluhur). Sedangkan yadnya berarti berkorban atau pengorbanan dengan hati tulus ihlas nan suci. Pitra Yadnya juga menjadi bagian dari Panca Yadnya: Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya, Butha Yadnya dan Pitra Yadnya itu sendiri. 5

12 berbagai sesajen dan upakara di dalamnya. Melakukan Pitra Yadnya ini merupakan sebuah kebutuhan mutlak dan kewajiban (swadharma). 8 Tegasnya, Ngaben yang merupakan salah satu bentuk upacara Pitra Yadnya memiliki sasaran yang cukup luas yang tidak hanya bagi roh orang tua atau leluhur, melainkan untuk segenap roh keluarga yang meninggal. Namun ada pula maknanya yang sempit, yakni hanya bermaksud pengorbanan dalam bentuk upacara-upakara yang tidak merangkum pengorbanan dalam wujud lainnya. Jadi, Ngaben dalam kepercayaan umat Hindu di Bali disebut sebagai upacara pembakaran mayat yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya yang diyakini sebagai salah satu sarana untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Bhuta 9 kepada asalnya. Artinya, setiap manusia terdiri dari unsur atau elemen pratiwi (zat tanah, serba keras atau padat), apah (zat air atau yang cair), teja (zat panas dan cahaya), bayu (udara), dan akasa (ether). Kendatipun demikian, Ngaben yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya terdiri dari beberapa jenis yang pelaksanaannya beranekaragam berdasarkan tempat, tradisi dan kemampuan yang ada dalam pelaksanaannya. Jadi, ada tiga jalan yang bisa ditempuh untuk menggelar yadnya, yakni Ngaben Nista (kecil/biasa), Madya (sederhana) dan ngaben Sarat (utama). B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dengan melihat dan membaca latar belakang masalah di atas, maka Penulis akan berusaha membatasi penulisan skripsi ini pada Ngaben Sarat tidak terkait 8 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama, (Surabaya: Paramita, 2002), h Penjelasan lebih lanjut tentang Panca Mahabhuta bisa juga dibaca dalam bukunya I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h

13 dengan tingkatan ngaben lainnya (nista dan madya) dan Relevansinya Di Masa Kini. Hal ini dimaksud demi menjaga fokus utama dari pokok pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Lebih dari itu, pada prinsipnya agar tidak menyimpang dari tujuan pokok penulisan skripsi ini sendiri. Pembakaran mayat (baca: ngaben) dalam kepercayaan agama Hindu di Bali merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan secepat mungkin. Sekaligus juga memiliki beberapa tingkatan ataupun jenis-jenis ngaben yang memerlukan penjelasan tersendiri dan memiliki keunikan yang menarik perhatian. Maka, untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas atau dikaji dalam penulisan skiripsi ini, maka kemudian Penulis dirasa perlu untuk merumuskan permasalahan yang akan dieksplorasi secara komprehensif dan elaboratif kedalam pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan Ngaben Sarat dan Adakah Relevansinya Terhadap perkembangan Umat Hindu di Bali Masa Kini? C. Tujuan Penelitian Penulisan skripsi yang dilakukan secara sungguh-sungguh, elaboratif dan diharapkan sesuai standar keilmiahan ini memiliki beberapa tujuan. Tujuan utama penulisan skripsi ini untuk mengeksplorasi sebaik mungkin judul skripsi ini agar kemudian para Pembaca bisa dengan mudah dan benar mengetahui dan memahami apa dan bagaimana yang dimaksud dengan Ngaben Sarat dalam kepercayaan umat Hindu di Bali. Selain itu, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendukung terselenggaranya upacara Ngaben Sarat, khususnya yang berkenaan dengan upacara dan upakaranya yang begitu unik dan khas 7

14 apalagi memiliki kaitan yang mendalam dalam kepercayaan keberagamaan masyarakat Hindu di Bali. Dan adakah relevansinya bagi umat Hindu di Bali masa kini yang mulai memiliki kehidupan modern dan disibukkan dengan kegiatan individu yang begitu padat. Bagi para penggiat dan pengkaji agama khususnya dalam hal tema-tema perbandingan agama, penulisan dan penelitian skripsi ini bisa dijadikan pijakan awal atau bahan dasar untuk pengembangan lebih lanjut dan jauh. Sekaligus juga penulis berharap dapat menyumbangkan pemikiran dalam rangka menambah wacana dan memperkaya horizon Ilmu Perbandingan Agama itu sendiri. Secara akademis penulisan skripsi ini memiliki tujuan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah studi kepustakaan (library research). Artinya, penelitian yang dilakukan oleh Penulis hanya dengan cara membaca, mempelajari, membedah dan meneliti bukubuku dan ensiklopedi semaksimal mungkin sesuai dengan data yang dibutuhkan. Sekaligus juga menggunakan sumber lain yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, semisal majalah-majalah ataupun sejenisnya. Hal ini dimaksud demi membantu atau mempertajam pembahasan yang Penulis lakukan, kendatipun metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan, yang artinya penulis hanya mengkaji dan membahas berdasarkan buku-buku yang ada dan yang dibutuhkan. 8

15 Di samping itu, selain menggunakan metode studi kepustakaan, penulis juga melakukan atau menambahkan wawancara (interview), yaitu mengumpulkan data dengan wawancara langsung tiga tokoh Hindu di Pura Aditya Jaya Rawamangun yaitu pada tanggal 26 Oktober 2011dengan Bapak Dewa Ketut Suratnaya (Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara) dan pada tanggal 30 Oktober 2011 dengan Bapak I Ketut Bantas (Ketua Persatuan Hindu Dharma Indonesia) dan Bapak Firdaus (konselor PHDI) yang ada hubungannya dengan masalahmasalah yang akan penulis kemukakan. Keilmiahan dalam penulisan skripsi dan demi hasil yang akurat dan baik sangat bergantung pada metode dan tehnik yang digunakannya. Jadi, metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptifanalitis. Deskriptif yang dimaksud oleh penulis yaitu metode penulisan yang (berusaha) menggambarkan atau menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan judul skripsi ini menurut apa adanya secara jelas dan detail tanpa mengurangi ataupun menambahkannya. Kemudian dilanjutkan dengan metode analitis kritis yang artinya memberikan uraian-uraian kritis dan sistematis terhadap pokok-pokok pembahasan dan permasalahan tanpa adanya upaya untuk memberikan penilaian tertentu terhadap pembahasan skripsi ini. Hal ini dimaksud demi menghasilkan alur yang jelas dan sistematis. Sedangkan tehnik penulisan skripsi ini, Penulis berpedoman pada buku Pedoman Akademik bagian teknik Penulisan Karya Tulis Ilmiah 9

16 (Makalah, Skripsi, Tesis,dan Disertasi) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dan pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab. Masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab sebagaimana berikut: Bab Pertama berisi Pendahuluan antara lain: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Bab Kedua menjelaskan tentang Ngaben Dalam Ajaran Hindu antara lain: Pengertian dan Tingkatan Ngaben, Landasan Umum dan Landasan Khusus. Bab Ketiga adalah Bab yang akan menjelaskan secara elaboratif, eksploratif-komprehensif mengenai Ngaben Sarat dan Relevansinya yang meliputi: Pengertian, Jenis dan Maksud Ngaben Sarat, Landasan Filosofis Ngaben Sarat, Upakara dan Upacara Ngaben Sarat, sekaligus Relevansi Ngaben Sarat di Masa Kini. Bab keempat adalah bab terakhir yang membahas tentang Kesimpulan dan Saran-Saran. 10

17 BAB II NGABEN DALAM AJARAN HINDU A. Pengertian dan Tingkatan Ngaben Ada yang mengira perkataan Ngaben yang kita kenal di Bali berasal dari kata ngaba+in yang menurut bahasa Bali berarti, membekali atau memberi bekal. Sudah tentu dalam hal ini bekal yang dimaksud dapat berbentuk materi yang diwujudkan dalam upakara-upakara dan benda-benda materi lainnya, dan juga bekal immateriil yang berwujud puja Mantra dari Ida Pedanda serta doa-doa dari sanak saudaranya. 10 Dari kata Ngaben yang berarti membekali inilah mungkin timbul anggapan yang mengarah kepada pembuatan upacara besar-besaran sebagai perwujudan rasa terima kasih dan hormatnya kepada alamarhum. Disamping itu terselip suatu anggapan atau pandangan yang seolah-olah orang yang meninggal itu memerlukan bekal sebanyak-banyaknya dalam perjalanannya kedunia sana. Perkiraan yang lebih tepat asal kata mengenai Ngaben itu dikira dari kata abu. Dari kata abu lalu menjadi ngabu-in dan disingkat menjadi Ngabon. Kata Ngabon ini mengandung arti bahwa mayat itu justru dibakar agar mnenjadi abu. Kemudian kata Ngabon ini berubah menjadi kata Ngaben. Bagi masyarakat Jawa dan Bali yang mengenal kromo inggil, yaitu bahasa kasar dan halus, bila mereka merubah kata-kata dari kasar ke halus cukup dengan cara mengubah beberapa 10 Cudamani, Arti Simbul Dalam Upacara Ngaben (Jakarta: Hanuman Sakti, 1993), h

18 huruf saja contohnya: ngonkon (kasar) ngenken (halus), metakon (kasar) metaken (halus), ngabon (kasar) Ngaben (halus). 11 Dalam istilah lain disebutkan bahwa Ngaben berasal dari kata beya 12 artinya biaya atau bekal. Beya berarti bekal ini berupa jenis upakara yang diperlukan dalam sebuah upacara Ngaben. Kata Beya yang berarti bekal, kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi biaya atau prabeya dalam bahasa Bali. Orang yang menyelenggarakan beya dalam bahasa Bali disebut meyanin. Kata Ngaben, meyanin, sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wedhana. 13 Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya 14 yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa atau Malebuang. 15 Kata atiwa ini pun belum dapat dicari asal usulnya. Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia). Upacara sejenis ini (baca: atiwa-atiwa) juga bisa dijumpai pada suku Dayak, di Kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak dikenal dengan sebuthan tibal, untuk menyebutkan upacara setelah kematian. Upacara Ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok Ngaben di Bali. Yakni tirta pangentas yang berfungsi 11 Cudamani, Arti Simbul Dalam Upacara Ngaben, h Lebih lanjut Cudamani menjelaskan bahwa dalam lontar-lontar penyelesaian mayat itu dikenal dengan istilah atiwa-atiwa. Pengertian atiwa-atiwa sudah mencakup pengertian apakah upacara itu berbentuk utama (besarbesaran), madya (sedang) ataupun nista (sederhana). 12 Kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. 13 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h

19 untuk memutuskan hubungan kecintaan sang Atman (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atman ke alam Pitra. Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, Ngaben itu disebut Palebon, yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat. Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini. Dalam literatur lain disebutkan bahwa Ngaben berasal dari bahasa Bali dari asal kata api. Kata api ini mendapat prefek sengau ng dan suffik an, dari kata api menjadi Ngapian. Setelah disandhikan menjadi kata: Ngapen. Aksara P, B dan W adalah aksara satu warga. Dengan demikian hurup p berubah menjadi huruf b. Dari perubahan itu kata Ngapen menjadi kata Ngaben, yang artinya menuju api. 16 Dalam ajaran Hindu api itu lambang kekuatan Dewa Brahma. Dengan demikian Ngaben berarti menuju Brahma. Jadinya maksud dan tujuan upacara Ngaben adalah mengantarkan Sanghyang Atman menuju alam Brahman. Karena 16 Drs. I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2002), h

20 kita berasal dari Brahman. Atman yang berasal dari Brahman ini dilambangkan dalam upacara Nyambutin oleh umat Hindu di Bali. Berbagai pengertian Ngaben yang Penulis kemukakan di atas tidak berbeda dengan penjelasan salah satu Pandita yang Penulis wawancarai langsung bahwa: Ngaben itu istilahnya muncul hanya di Bali yang lain itu tidak dikenal Ngaben, bahkan Hindu di India, di Jawa juga tidak dikenal Ngaben. Biasanya ada beberapa persepsi, yang pertama itu Ngaben bisa dikaitkan dengan api ngapen, ngapen itu menggunakan api untuk mengembalikan lima unsur, lima unsur itu yang membentuk tubuh manusia sewaktu hidup. Selama mati dia menjadi jenazah, jadi mayat, dia harus dikembalikan pada alamnya. Jadi unsur air dikembalikan kepada air, unsur tanah dikembalikan kepada tanah, unsur api dikembalikan kepada api, kemudian apa lagi, unsur udara dikembalikan kepada udara, dan unsur either dikembalikan kepada either. Nah, proses tercepat untuk mengembalikan lima unsur pembentuk manusia ya dengan pembakaran jenazah sehingga menjadi abu, nanti abunya dibuang ke laut. Itu dianggap sudah kembali ke semua unsurnya. Unsur kembali ke alam. Yang kedua, Ngaben itu diartikan sebagai ngabehin. Ngabehin itu biaya jadi menggunakan dan membutuhkan biaya atau banyak dana atau uang untuk proses itu dan Ngaben ini dikaitkan dengan Pitra Yajna. Pitra itu leluhur, Yajna upacara, jadi sebentuk penghormatan untuk leluhur itu sebetulnya. Dengan mempercepat mengembalikan lima unsur. Kemudian itu terkait dengan pembakaran jenazahnya, ya kremasinya sampai pembuangan abunya kelaut disebut Sawa Wedana. Itu proses untuk sawanya (badan kasar). Nanti setelah itu ada proses yang namanya Atma Wedana. Atma Wedana itu terkait bagaimana kita menuntun si roh supaya pertama hubungan dengan dunianya putus. Jadi tidak ada hubungan dengan dunia lagi sehingga dia terpisah dengan kehidupan di dunia ini bahwa dia sekarang menuju sana menuju ke cahaya yang kita anggap sebagai cahaya Tuhan. Kesana arahnya untuk itu roh itu harus dituntun. Nah ini yang namanya atma wedana. Ini dilakukan oleh keturunan dari yang meninggal sebagai wujud bakti Dan penghormatan bahwa leluhur itu banyak membuat jasa kepada yang hidup. Sehingga ini dianggap kewajiban moral, kewajiban sebetulnya bahasa kasarnya utang padahal kewajiban sebetulnya bukan utang kalau saya bilang. Nah itu pemahaman Ngaben. Tapi Ngaben itu tidak semuanya menggunakan api atau dibakar dan sesungguhnya kalau kita bicara Ngaben. Ngaben itu bisa lewat api, udara, tanah, air. Nah jadi itu semua namanya Ngaben hanya walaupun perlakuannya berbeda-beda tetapi upacaranya sarana upacara tetep sarana upacara Ngaben karena di Bali pun tidak semua yang meninggal itu diaben, 14

21 dibakar jenazahnya. Ada berapa daerah seperti Tabanan di dekat gunung Batu. Nah, itu secara keseluruhan Ngaben bisa dipahami seperti itu. Secara umum ya Ngaben bisa dipahami. Ah tentu berbeda kalau misalnya di Jawa Ngaben itu tidak harus di bakar Karena orang Jawa katakanlah belum tega dia melihat orang tuanya, kakeknya dibakar utuhutuh, secara seperti itu sehingga Ngaben di Jawa itu hanya menggunakan puspalingga. Jadi tidak dibongkar kalau di Jawa tidak dibongkar tapi kemudian ada ritual langsung pada Atman Wedana yang namanya entasentas. itu Ngaben persi Jawa. Kalau di India ga dikenal istilah Ngaben walaupun jenazah di bakar kremasi disana malah di India itu kelihatan lebih ekstrim. Jadi kewajiban moral sebetulnya Ngaben itu jadi seperti itu. Nah caranya berbeda-beda kalau yang dikremasi ini mempercepat proses, ada yang dikubur namanya Ngaben juga. Di trunyan itu pake angin Ngabennya dibiarin aja sampai abis sendiri. Nah itu Ngaben lewat angin mengembalikan lima unsur pada pokoknya yang tanah kembali ke tanah, yang api balik ke api, yang angin Balik ke angin. Pancamahabuta lima unsur kekuatan alam semesta itu aja sebetulnya. Tidak ada yang istimewa logik aja. Ketika kita mau lahir lima unsur kan membentuk kita dan kita menerima lima unsur itu lewat kelahiran sebagai sesuatu yang suci sebetulnya. Nah kita harus kembalikan dengan status yang sama dengan suci juga kita kembalikan, ga bisa kita kemballikan dalam kondisi yang kotor. 17 Jadi pada prinsipnya, Ngaben atau meyanin adalah penyelenggaraan upacara untuk sawa (mayat) orang yang sudah meninggal. Selain itu, Ngaben merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara pitra yajna yang diyakini sebagai salah satu sarana untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Mahabutha kepada asalnya. Melaksanakan pitra yadnya merupakan sebuah kewajiban atau swadharma bagi umat Hindu. Begitu pula dengan upacara Ngaben yang merupakan bagian dari pitra yadnya, maka upacara Ngaben juga merupakan sebuah kewajiban untuk dilakukan. Ngaben ini merupakan langkah untuk menghormati leluhur dan merupakan suatu pembayaran utang kepada leluhur. 17 Hasil wawancara langsung dengan bapak Dewa Ketut Suratnaya, Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara pada tanggal 26 Oktober Lihat lampiran II. 15

22 Dalam melakukan upacara Ngaben ada perbedaan tingkatan tergantung tempat, tradisi dan kemampuan dari segi penyelenggaraan dengan tujuan agar semua orang bisa menikmati dan memakai dengan pas sesuai dengan seleranya, dengan catatan harus sesuai dengan etika yang berlaku dan esensinya tidak berubah. Jadi, ada tiga jalan yang bisa ditempuh untuk menggelar yadnya, yakni Ngaben Nista/Alit (kecil/biasa), Madya (sederhana) dan Ngaben Sarat (utama). 18 Perbedaan ini muncul juga dikarenakan ada tuntutan dalam melaksanakan yadnya sebagaimana tertulis dalam lontar-lontar. Bahwa umat boleh memilih satu di antara tiga jalan pokok yang ditempuh, yakni nista, madya dan utama/sarat. Aneka sesajen dan upakara yang jumlahnya paling sedikit adalah yadnya pada tingkat nista. Yang lebih banyak ada pada tingkat madya dan yang paling banyak ada pada tingkat utama/sarat. Artinya, tingkatan-tingkatan Ngaben yang muncul dalam realitas kehidupan masyarakat seperti halnya Ngaben pada tingkat Ngaben Ngirit/Ngelanus/Metandang Mantri, Ngaben Maprenawa/madya/sederhana, Ngaben Ngewangun/utama/sarat 19 muncul di lapangan dari Pandita yang muput atau dari tukang Banten yang membuat Bantennya. Bahkan tiap-tiap Pandita memiliki pegangan Lontar tersendiri dan penafsiran sendiri tentang Upacara Pitra Yajna tersebut. Ada yang menggunakan Lontar Yama Tattwa dan sejenisnya, ada juga yang menggunakan Lontar Sunari Gama PeNgabenan. 18 Kata pengantar Wayan Supartha. S.H. dalam bukunya I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. xv-xvii. 19 Istilah-istilah Ngaben Ngerit (sederhana), Ngaben Maprenawa (menengah) dan Ngaben Ngewangun (besar) bisa diperjelas dalam bukunya Drs. I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2002), h

23 Ngaben merupakan salah satu yadnya yang paling banyak ragamnya, baik dari besar-kecilnya biaya dan wibawa/prestis lahiriahnya. Dari segi banyaknya sesajen, ada Ngaben yang hanya menggunakan sesajen tiga sampai empat nyiru. Itu bagi yang ekonominya lemah atau orang yang ingin hemat-hematan. Tapi bagi mereka yang cukup berada atau yang ekonominya pas-pasan namun ingin hebathebatan, sesajennya bisa empat sampai lima truk. Dari segi biaya, ada yang hanya cukup mengeluarkan ratusan ribu sampai yang ratusan juta rupiah. Perbedaan tingkatan Ngaben ini demi menjawab beranekaragamnya penjelmaan manusia atau keadaan umat manusia selaku subyek yang akan beryadnya. Tidak saja bermacam-macam dalam hal bakat, kecerdasan, selera dan lainnya, melainkan pula dalam hal kedudukan dan kemampuan materian/ekonomi dalam masyarakat. Ada yang raja, menteri, punggawa, rakyat jelata dan ada pula yang kaya, setengah kaya, sedang-sedang saja, sampai yang gelandangan. 20 Artinya, tingkatan ini diadakan agar umat manusia dapat menempuh jalan yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya masing-masing. Perbedaan itu bisa muncul dalam melaksanakan yadnya sebagaimana tertulis dalam lontar-lontar. Bahwa umat boleh memilih satu di antara tiga jalan pokok yang ditempuh, yakni nista, madya dan utama. Dalam bahasa Indonesia, istilah-istilah ini lebih diartikan kecil, menengah dan besar. 21 Bahkan tiga macam jalan itu bisa dirinci menjadi sembilan macam, dengan mengadakan tiga jenis jalan pula bagi setiap macamnya. Jadi dalam kelompok nista ada jenis nistaning nista, madyaning nista dan utamaning nista. Begitu pula 20 Lontar Wrehaspati Tatwa yang dikutip oleh I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar?, h I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar?, h

24 pada kelompok madya, mempunyai nistaning madya, madyaning madya dan utamaning madya. Begitu pula bagi kelompok utama ada nistaning utama, madyaning utama dan utamaning utama. 22 Hal ini kemudian mudah dibayangkan, bahwa macam sajen dan upakara yang jumlahnya paling sedikit adalah yadnya pada tingkat nista. Yang lebih banyak ada pada tingkat madya dan yang paling banyak ada pada tingkat utama. Kendatipun demikian, sukses atau gagalnya suatu Pitra Yadnya tidak bisa diukur dari penampilan luarnya. Misalnya jumlah bantennya yang besar dan banyak, badenya yang tinggi bagaikan menara pencakar langit, jumlah orang yang terlibat di dalamnya, jumlah dan kualitas tamu-tamu yang hadir. Upacara yang memakan biaya mahal, tanpa dilandasi pikiran bersih bisa digolongkan gagal. Kualitas manusia itu sendiri yang menentukan dalam sebuah upacara tersebut, bukan sekedar kuantitas alat-alat yang dipakainya. Namun, sebuah yadnya besar dengan dana besar tidak salah bila betul-betul dilandasi ketulusan suci dan kesungguhan. Bahkan perlu dikecam bila orangorang yang hidupnya kaya raya tapi menggelar Pitra Yadnya dengan upacara kecil dengan maksud menghemat. Pitra yadnya harus dirasakan sebagai sebuah pengorbanan. Orang yang punya deposito beratus-ratus juta rupiah, tentu akan tidak merasa menanggung beban, bila upacara Pitra Yadnya-nya hanya menghabiskan ratusan ribu rupiah. Dengan demikian, jelas tidak perlu adanya keseragaman dalam hal besar kecilnya bentuk upacara Pitra Yadnya. Bisa dicontohkan dengan sebuah baju yang 22 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Harus Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h

25 ukuran dan warnanya sama tentu tidak pas bila dipakai oleh semua orang. Jadi, memang harus ada perbedaan agar semua orang bisa memakai dengan pas sesuai dengan seleranya. Tentunya saja harus sesuai dengan etika yang berlaku dan esensinya tidak berubah. Artinya, keanekaragaman kemampuan ekonomi, serta yadnya itu agar terasa sebagai beban, tetapi beban yang dapat dipikul. Para maha resi kemudian mengadakan jenis nista, madya, utama. Jenis itu diadakan, agar semua umat dapat menempuh jalan yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya masing-masing. Maka dari itu, upacara pitra yadnya (baca: Ngaben) yang merupakan sebagai sebuah kewajiban haruslah dirasakan sebagai beban (yang dapat dipikul). Beban dalam arti ada rasa pengorbanan, bukan dalam arti menyiksa diri. Bukanlah melakukan yadnya atau pengorbanan namanya bagi mereka yang standar pengeluarannya perhari ala tarif hotel internasional kalau upacara yang dipikulnya hanya menghabiskan dana senilai dua kuintal beras. Pengeluaran sekecil itu, tentu tidak terasa sebagai beban di pundak mereka. Jumlah biaya atau besarnya sesajen bukan ukuran untuk tuntasnya sebuah yadnya. Bila bernama Ngaben dan telah memenuhi syarat esensial, maka upacara Mretaka Sawa itu sudah boleh dikatakan tuntas dalam arti puput. Tinggal hanya melanjutkan ke upacara Atman Wedana. Jadi, sebuah upacara Ngaben bisa dikatakan tuntas (puput) dan sukses tidak ditentukan oleh kecil-besarnya sesajen, material dan wibawa lahiriah dalam tingkatan Ngaben, melainkan tergantung syarat essensialnya dan kualitas manusia 19

26 itu sendiri. Kendatipun berbeda-beda dalam tingkatannya, upacara Ngaben itu tetap punya nilai yang sama dari segi spritual religius. B. Landasan Umum Landasan umum ini merupakan landasan pokok Ngaben yang terangkai dalam lima kerangka agama Hindu, yang disebut Panca Sradha atau lima keyakinan, antara lain: 1. Ketuhanan/Brahman Brahman adalah salah satu sebutan yang digunakan dalam upanisad untuk menamakan Tuhan Yang Maha Esa atau Pencipta Alam Semesta. Dalam kepercayaan Hindu, Brahman ini merupakan asal muasal terciptanya alam semesta beserta isinya. Alam semesta ini seperti; planet, bintang tumbuhtumbuhan, manusia, serta benda mati yang disebut benda mati, yang berasal dari tuhan dan akan kembali kepada tuhan bila saatnya tiba. Cepat atau lambat alam semesta beserta isinya akan lebur menjadi satu dengan tuhan (amor ing acintyaa). Dengan kata lain, Brahman ini merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan. Kebahagiaan terakhir umat Hindu adalah bersatunya jiwa (atman) dengan Brahman yang disebut moksa. Berdasarkan keyakinan inilah, upacara Ngaben dilakukan dengan maksud untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan alam semesta termasuk manusia ke asalnya yaitu Brahman. 23 Landasan ini juga diperjelas oleh Bapak I Ketut Bantas, Beliau mengatakan bahwa: 23 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h

27 Ada yang perlu diketahui dulu yaitu pokok-pokok ajaran Hindu. Pertama Hindu yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa disebutnya Brahman. Brahman ini sumber dari segala yang ada di alam semesta ini termasuk adanya manusia ini. Itu keyakinan yang pertama. Yang kedua Hindu yakin yang namanya atman. Atman itu adalah kalau kita menggunakan istilah kekuatan yang menghidupkan setiap mahkhluk hidup termasuk manusia. Manusia hidup karena ada atman di dalam dirinya. Atman ini sumbernya adalah dari Tuhan. Dalam Hindu Tuhan itu adalah Brahman. Atman itu sumbernya dari Brahman, jadi sumbernya dari Brahman. Jadi begitu terjadi pembuahan dalam janin Brahman masuk ke dalam atman sehingga embrio itu hidup. Nah kalau sudah hidup kenyataannya kita tidak bisa mengelak kita pasti berbuat sesuatu bekerja action gitu ya. Nah dalam keyakinan Hindu hidup adalah bekerja, berbuat. Setiap perbuatan itu membawakan pahala membawa hasil, hasilnya dua macam baik dan buruk. Baik atau buruk ini yang mengantarkan kita ke surga atau neraka, kalau baik dan buruk ini bisa diatasi artinya dia bisa menjadi pintar atau manusia yang mempunyai keyakinan kuat kepada Yang Maha Esa dan dia sadar bahwa Atmanya sendiri bersumber dari Brahman dia akan berbuat begitu rupa, menghindari hal-hal yang bersifat keburukan kalau bisa dia capai, dia akan bisa kembali ke Brahman. Kita akan kembali ke Brahman yang kembali kepada Brahman ini adalah atman. Di kala orang mati badan jasmani tertinggal di dunia ini dia kembali kepada tanah itu adalah Atmanya saja atau roh itu. Yang berasal dari bumi kembali kepada bumi yang berasal dari Brahman itu ya harus kembali ke Brahman. Untuk kembali kepada Brahman dalam proses yang cepat itulah diadakan upacara Ngaben. Jadi dalam proses yang cepat, proses yang cepat maksudnya badan yang tertinggal itu begitu Atmanya mati manusia mati Atmanya lepas dia lihat badannya tergeletak begitu, tapi dia masih sayang dengan badannya, masih muda ko mati sayang terikat badannya itu mau pergi masih ada, supaya dia bebas badannya, badan inilah yang di aben. Jenazahnya ini dikremasi untuk kembali kepada sumbernya lagi. Badan ini menurut keyakinan Hindu berasal dari unsur tanah, unsur air, unsur angin, unsur api, unsur either. Dengan dibakar lima unsur ini kembali kepada sumbernya secara cepat, nah kalau itu sudah kembali secara cepat atman ini bebas dia tidak lagi tertikat dengan dunia waduh badan saya masih di kuburan apakah dia akan ke neraka karma-karmanya nanti akan menghadap ke pencipta karena karmanya. Jadi dia mendapat kebebasan setelah badan jasmani kembali ke unsurnya. Jadi prinsip daripada Ngaben adalah mengembalikan unsur jasad badan jasmani kepada sumbernya yang disebut panca mahabuta. Pancamahabuta itu tanah, api, angin, air, dan either. Jadi prisnsip Ngaben itu mengembalikan itu tentu saja melalui proses upacara walaupun sebenarnya kalau tidak di kremasi, dikubur aja dalam tanah dalam kurun waktu tertentu dia akan hancur juga dia akan kembali juga tapi lama. Selama itu Atmanya akan terikat ya mungkin saja dia muncul ke kuburan 21

28 Karena ia masih menungguin badannya tapi kalau itu tidak ada dia bebas pergi kemana. Nah jadi itu prinsipnya dari Ngaben mengembalikan unsur badan ini secara cepat kepada asalnya. Jadi secara kilat prinsip pemahaman Ngaben itu mengembalikan unsur jasad seperti itu Atman Atman berada pada masing-masing badan manusia. Ialah yang menghidupkan manusia. Dan Atman ini merupakan serpihan atau setetes kecil (atum) dari Brahman. Suatu saat setelah tiba waktunya, Ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci, maka dari itu atman perlu disucikan. Berkenaan dengan hal ini maka diperlukan upacara Ngaben. Dalam ajaran Weda itu mengatakan begini, manusia diciptakan dari tidak ada menjadi ada maka dia harus kembali lagi ke tidak ada. Nah untuk kembali ke tidak ada itulah supaya atman itu bisa kembali dengan cepat dilakukan upacara Ngaben. Nah, jadi weda itu mengajarkan begitu sumbernya dari tidak ada kembali ke tidak ada seperti itu. Hanya saja kalau dalam Hindu proses kembali cepat itu dengan Ngaben kalau tidak di aben gimana gitu ada yang terlupakan nah itu pasti ada kan itu nah nanti itu akan hancur sendiri akan kembali kepada sumbernya. Nah, kalau di Bali ada tradisi begini untuk hal-hal seperti itu pake aja istilahnya pengeluatan terus diangkat harus diangkat gitu ya setiap periode mungkin lima tahun sekali di areal yang ada kuburan yang ada diadakan upacara pembersihan. Kalau kita berbicara diangkat itu sama entas-entas model di jawa. Jawa itu ga dibakar jenazahnya, tapi yang diupacari Atmanya/rohnya itu yang diangkat setelah seribu hari namanya entas-entas biasanya itu Ngaben juga namanya. Karena sudah mengangkat dari katakanlah asalnya mereka tidak tau kan mereka di alam kubur ya dari kubur walaupun tidak tau pasti mati dalam kubur apa tidak matinya pasti yang menghidupkan belum tentu. Sebab kalau di Hindu tuh gini manusia itu dua unsur saya kan bilang badan jasmani dan roh. Tapi ada istilah lain itulah nama dan rupa. Kalau rupa tuh keliatan ada yang jangkung, ada yang cebol, ada yang pendek, cakep tapi nama yang mana namanya itu ini kepala, ini dada, ini perut nah namanya yang mananya itu. Itulah nama yang menghidupkan dia itu yang ada dianggap sebagai nama karena nama ga bisa keliatan badannya yang ke liat. Nah nama dan rupa itu menyatu hidup nah makanya kalau dalam istilah militer ada latihan-latihan serius jangan sampe diadakan juga tempat pulang nama 24 Hasil wawancara langsung dengan Bapak I Ketut Bantas selaku Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia pada tanggal 30 Oktober Lihat lampiran II. 22

29 penyatuan nama yang dibilang gagal berhasil tapi ya namanya aja yang terlihat badan ini dan ga terlihat namanya itu. Yang dikasih nama itu ya rohnya itu Karma Upanishad mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk dan takluk pada karma, baik manusia, binatang, maupun tumbuhan-tumbuhan. Karma meliputi kehidupan dahulu, sekarang dan yang akan datang. Karma berarti kehidupan atau perbuatan berikutnya sebagai akibat dari perbuatan sebelumnya. Menurut Harun Hadiwijono, ajaran karma ini berakar pada ajaran rta dalam agama weda purba. Pada agama Brahmana, yang memusatkan perhatian pada korban, rta mempunyai arti yang sama dengan korban atau yajna. Tiap-tiap upacara korban membawa berkahnya sendiri. Karena itu dapatlah dikatakan ajaran tentang rta dan yajna ini memberi isyarat ajaran tentang karma. Atau, kalau dikaitkan dengan ajaran tentang kelahiran kembali maka kelahiran kembali itu ditentukan oleh keseimbangan relatif yang ditentukan oleh amal perbuatan baik atau buruk pada masa-masa sebelumnya. Orang akan menjadi baik atau buruk hanyalah karena karmanya sendiri. Hubungan antara ajaran tentang karma dengan ajaran tentang penjelmaan atau perpindahan jiwa merupakan hal yang penting dalam ajaran upanisad. Vamadewa telah mengembangkan ajaran ini. Manusia harus menanggung akibat perbuatan atau karmanya. Setelah ia mati pengetahuan dan amal perbuatannya akan membimbing dia. Barang siapa berbuat baik ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia yang baik, dan sebaliknya, barang siapa 25 Hasil wawancara langsung dengan Bapak I Ketut Bantas selaku Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia pada tanggal 30 Oktober Lihat Lampirann II. 23

30 berbuat jelek atau jahat ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia yang jahat. Karena itu manusia itu perlu dilahirkan kembali berulang kali di dunia supaya perbuatan-perbuatan buruknya dapat tertebus. Hanya atman yang mulia dan tinggi yang sudah tahu akan maya saja mampu mengatasi hukum karma dan mencapai kebebasan serta lepas dari samsara. 26 Manusia hidup tidak lepas dari kerja. Kerja itu atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (Subha Karma), akan mandapatkan pahala yang baik pula. Sebaliknya apabila kerja buruk (Asubha Karma), maka akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan merupakan beban bagi atman yang akan kembali asalnya. Lebih-lebih karma yang buruk. Ia merupakan beban atman yang akan menghempaskan ke alam bawah (neraka). Oleh Karena itu, manusia perlu membebaskannya. Hal inilah yang menyebabkan perlunya diadakan upacara Ngaben yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu 4. Samsara Upanishad juga mengajarkan tentang samsara, yaitu bahwa kehidupan bukan saja akan berakhir dengan kematian, tetapi kematian pun akan berakhir dengan kehidupan. Artinya, yang hidup akan mati dan yang mati akan hidup lagi, demikian seterusnya. Tinggi rendahnya kehidupan yang kemudian tergantung pada karma. Perbuatan baik yang lebih banyak daripada perbuatan buruk akan 26 Alef Theria Wasim, Agama Hindu dalam Agama-Agama Di Dunia (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h

31 mengakibatkan karma yang baik sehingga kehidupan baru itu pun akan lebih baik daripada kehidupan yang sebelumnya. Samsara adalah perputaran kelahiran kembali. Hanya manusia yang telah mencapai Atman yang mulia dan yang tahu akan maya saja yang dapat mengatasi hukum karma dan mencapai moksa. Orang semacam ini akan terlepas dari keterikatannya dengan proses ulang kelahiran kembali atau samsara. Untuk dapat lepas dari samsara ia harus menghancurkan dan menumpas keinginan-keinginannya, yaitu dengan mengetahui bahwa Atman dan Brahman sehingga dapat sampai pada pengetahuan yang sejati (jnana). Barang siapa mencapai tingkatan ini ia akan mencapai moksa, yaitu kelepasan, dan sadar bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia akan mencapai kesatuan dengan Brahman, dan berhak disebut sebagai jiwanmukti. 27 Samsara artinya penderitaan. Atman lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi manusia. Akan menjadi sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara Ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk melepaskan atman supaya dapat kembali ke asalnya. 5. Moksa Moksa merupakan tujuan ahkhir dari agama Hindu atau bisa dikatakan bahwa moksa ini adalah kebahagiaan abadi yang menjadi tumpuan harapan semua umat Hindu. Moksa diartikan sebagai suatu istilah untuk menyebutkan kalau 27 Alef Theria Wasim, Agama Hindu dalam Agama-Agama di Dunia, h

32 roh manusia telah kembali dan menjadi satu dengan tuhan. 28 Jadi, Atman rindu kembali kepada Brahman atau bisa dikatakan manusia itu selalu rindu dan ingin kembali kepada asalnya, yaitu Tuhan. Di mana roh tidak mengalami kelahiran kembali, artinya bebas dari inkarnasi serta mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yaitu kebahagiaan tanpa wali duka. Demi tercapainya moksa itu, maka atman harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah yang menjadi konsep dasar upacara Ngaben, memukur dan terakhir ngalinggihing dewa hyang sanggah kamulan atau ibu dengen. Hal ini mengandung arti Atman bersatu dengan sumbernya (kamulan kawitan) atau dengan kata lain mencapai moksa. selain itu juga Ngaben ini merupakan langkah untuk mempercepat proses moksa. Meskipun adanya, namun moksa belum tentu bisa dicapai dengan Ngaben. Hal ini sesuai dengan penjelasan Bapak Dewa Ketut Suratnaya: kalau berbicara moksa tanpa dibakar pun orang akan bisa moksa. Moksa itu kan kembali dikaitkan dengan karma dan kemudian ini juga kalau kita membicarakan moksa maka kaitannya dengan reinkarnasi. Reinkarnasi itu katakanlah orang jawa mengatakan itu menitis, penitisan orang Bali bilang mesurye, meteje kemudian reinkarnasi purnabawa seolah-olah kalau orang itu mati sebetulnya dia justru pada saat mati. Setelah mati ia mulai kehidupan baru hanya dia akan ganti badan sesuai dengan karmanya gitu. Kalau dia masih punya katakanlah karma baiknya masih karma buruknya lebih besar daripada karma baiknya maka dia harus menuntaskan dengan kehidupan yang berikutnya dan karma-karma ini hanya bisa diselesaikan kalau dia hidup lagi dia punya badan baru lagi dimulai lagi dari nol dia seperti itu. Nah, kalau moksa ini kan pelepasan artinya kalau orang udah nol karmanya maka dia tidak ada alasan untuk lahir lagi. Maka dia di sana ia akan berada di alam Tuhan moksa itu sebetulnya. Tidak bisa diartikan 28 Cudamani, Pengantar Agama Hindu: Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Yayasan Wisma Karya, 1987), h

33 sebagai penyatuan seperti air dengan api seperti kita misalnya 2 atau 3 orang menyatu blek. Kita bayangkan moksa seperti air sungai yang mengalir ke laut ketika mengalir di laut kita tidak akan bisa memisahkan lagi tapi ada di sana seperti itu. Dan orang yang diaben itu belum tentu semua moksa. Tergantung karmanya dan pengabenan itu tidak mutlak bisa membebaskan semua rohroh itu menjadi moksa. Tidak bisa Belum tentu, tergantung karma yang menentukan dan upacara itu kan sekedar sebuah upaya dan dianggap sebagai kewajiban dari keturunannya untuk menyelesaikan membantu. Karena bagiamana pun juga roh itu bodoh dia membutuhkan tuntunan butuh seperti itu. Jadi, moksa sebetulnya bukan karena diaben, tidak bisa kita katakan bahwa orang yang di aben pasti moksa walaupun tujuan agama Hindu akhirnya adalah moksa. Ya moksa itu artinya kita tidak terbatas ruang dan waktu dan kita tidak kena proses di alam manapun artinya kita tidak kena proses misalkan kalau panas tidak kepanasan, dingin tidak kedinginan dan kita bisa berada di mana saja si roh ini jadi tidak ada lagi ruang dan waktu yang membatasi dia, itu yang kita maksudkan dengan moksa. Walaupun istilahnya roh penyatuan dengan Tuhan. Demikian juga konsep moksa ini penyatuan atman dengan Brahman, atman dengan Tuhan jangan diartikan lalu luluh lebur menyatu bisa saja kita menyatu. bisa saja kita menemukan sesuatu kebesaran pelepasan itu juga sudah termasuk moksa. Dan bahkan dalam Hindu dikenal moksa sewaktu masih hidup. Ketika orang ini tidak terikat lagi dengan dunia, alam dunia kebutuhan dunia walaupun dia masih hidup. Masih makan masih minun tapi kalau dia mampu melepaskan ikatan-ikatan duniawi ini keterikatan duniawi ini dia termasuk moksa di dunia namanya Diwan Mukti, nah ini juga moksa. Kalau di Hindu itu konsep diwan mukti ini umumnya ada pada orangorang yang sudah memiliki tingkat kesucian yang tinggi seperti misalnya para Bhiku, para Rsi kemudian para Pandita-pandita karena mereka waktu menapak dari orang biasa menjadi orang suci ini mereka sudah harus mampu melepaskan ikatan-ikatan duniawi ini. Ya termasuk hubungan dengan istri, hubungan dengan keluarga, hubungan dengan anak cucu itu gak ada. Secara spiritual nah ini diwan mukti mereka ini, sehingga waktu prosesi dari orang biasa menjadi orang suci mereka sama seperti orang menaik haji mereka itu tidak pakai pakaian dalem jadi pundala namanya hanya dipakai baju putih dilipatkan kedalem tubuh seperti itu. Ada proses seperti itu. Ya ini diwan mukti sewaktu masih hidup nah ini juga moksa namanya. Tidak ada jaminan setiap upacara dalam Hindu itu hanya merupakan sebuah upaya dan pelaksanaan sebuah kewajiban, karena kewajiban moral tadi orang mengatakan hutang kepada leluhurnya utang 27

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama Hindu adalah agama yang telah menciptakan kebudayaan yang sangat kompleks di bidang astronomi, ilmu pengetahuan, filsafat dan lain-lain sehingga timbul

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya BAB V ANALISA DATA A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya Upacara kematian ini bersifat wajib bagi keluarga yang telah ditinggal mati. Dalam proses upacara kematian, ada yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan Negara yang penuh dengan keanekaragaman Suku Bangsa, Bahasa, Agama, dan Kebudayaan. Keberagaman budaya bangsa Indonesia bukan berarti untuk

Lebih terperinci

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA TUGAS AGAMA DEWA YADNYA NAMA ANGGOTA KELOMPOK 7 KETUT ALIT WIRA ADI KUSUMA (05) ( KETUA ) NI LUH LINA ANGGRENI (27) ( SEKETARIS ) NI LUH DIAH CITRA URMILA DEWI (14) I PUTU PARWATA (33) SMP N 2 RENDANG

Lebih terperinci

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar henysari74@gmail.com ABSTRAK Dalam pengenalan ajaran agama tidak luput dari

Lebih terperinci

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar UPACARA NILAPATI BAGI WARGA MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI DI BANJAR ROBAN DESA TULIKUP KECAMATAN GIANYAR KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA I GUSTI NGURAH WIRAWAN, S.Sn., M.Sn NIP : 198204012014041001 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2016 ABSTRAK Saradpulagembal, seperti halnya sesajen

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Sebagai salah satu pulau di Indonesia, Bali memiliki daya tarik yang luar biasa. Keindahan alam dan budayanya menjadikan pulau ini terkenal dan banyak

Lebih terperinci

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan)

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan) Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar Kelas 1 Kompetensi Inti KD Lama KD Baru 1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya Menunjukkan contoh-contoh ciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB IV PENYAJIAN DATA. 1. Gambaran Umum Pura Krematorium Jala Pralaya. terhitung baru beroperasi bagi warga Sidoarjo dan Surabaya, yakni sejak

BAB IV PENYAJIAN DATA. 1. Gambaran Umum Pura Krematorium Jala Pralaya. terhitung baru beroperasi bagi warga Sidoarjo dan Surabaya, yakni sejak BAB IV PENYAJIAN DATA A. Lokasi Penelitian 1. Gambaran Umum Pura Krematorium Jala Pralaya Pura krematorium Jala Pralaya adalah di bawah naungan perkumpulan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Jatim

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA AJARAN AWATARA DALAM AGAMA HINDU DAN TASHAWUF ISLAM

BAB IV ANALISA DATA PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA AJARAN AWATARA DALAM AGAMA HINDU DAN TASHAWUF ISLAM BAB IV ANALISA DATA PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA AJARAN AWATARA DALAM AGAMA HINDU DAN TASHAWUF ISLAM A. Konsep Ketuhanan Ajaran Awatara dalam Agama Hindu Konsepsi Ajaran Awatara dalam Agama Hindu mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kematian atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah putus, ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali telah terkenal dengan kebudayaannya yang unik, khas, dan tumbuh dari jiwa Agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang berciri

Lebih terperinci

Nirwana dan Cara Pencapaiannya dalam Agama Hindu

Nirwana dan Cara Pencapaiannya dalam Agama Hindu Oleh : Hj. A. Nirawana Abstract Menggapai nirwanan adalah sebuah tujuan spiritual dalam agama hindu. Tulisan berikut ingin menelusuri sejauhmana makna nirwana dan langkahlangkah pencapaiannya bagi penganut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah sebagai upacara peniadaan jenazah secara terhormat.

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah sebagai upacara peniadaan jenazah secara terhormat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kematian adalah akhir dari kehidupan. Dalam kematian manusia ada ritual kematian yang disebut dengan pemakaman. Pemakaman dianggap sebagai akhir dari ritual kematian.

Lebih terperinci

EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Dewa Ayu Putu Warsiniasih Institut Hindu Dharma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi terhadap semua ciptaan-nya baik dari segi yang terkecil hingga ciptaan-

BAB I PENDAHULUAN. terjadi terhadap semua ciptaan-nya baik dari segi yang terkecil hingga ciptaan- 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Alam semesta jagat raya dengan seisinya bergerak berputar tiada hentinya dengan perputaran yang teratur sesuai dengan hukumnya. Hukum perputaran terjadi terhadap semua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku, ras, budaya, dan agama. Salah satu di antaranya adalah suku Bali yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa, didalamnya memiliki keragaman budaya yang mencerminkan kekayaan bangsa yang luar biasa. Kebudayaan

Lebih terperinci

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK Dosen : Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H OLEH: I PUTU CANDRA SATRYASTINA 15.1.2.5.2.0800 PRODI

Lebih terperinci

Jadi keenam unsur kepercayaan (keimanan) tersebut di atas merupakan kerangka isi Dharma (kerangka isi Agama Hindu). Bab 4 Dasar Kepercayaan Hindu

Jadi keenam unsur kepercayaan (keimanan) tersebut di atas merupakan kerangka isi Dharma (kerangka isi Agama Hindu). Bab 4 Dasar Kepercayaan Hindu Bab 4 Dasar Kepercayaan Hindu 4.1 Dasar Kepercayaan Hindu Bersumber Pada Atharwa Weda Dasar kepercayaan (keimanan) dalam agama Hindu disebut Sraddha, yang dinyatakan di dalam ayat suci Atharwa Weda berikut.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti

I. PENDAHULUAN. sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata Tahlil secara etimologi dalam tata bahasa Arab membahasnya sebagai sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti mengucapkan

Lebih terperinci

BAB III PENYAJIAN DATA. A. Pelaksanaan Kenduri Arwah sebagai rangkaian dari ritual kematian dalam

BAB III PENYAJIAN DATA. A. Pelaksanaan Kenduri Arwah sebagai rangkaian dari ritual kematian dalam 40 BAB III PENYAJIAN DATA A. Pelaksanaan Kenduri Arwah sebagai rangkaian dari ritual kematian dalam masyarakat Pujud Data yang disajikan adalah data yang diperoleh dari lapangan yang dihimpun melalui observasi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tidak mungkin ada kebudayaan jika tidak ada manusia. Setiap kebudayaan adalah hasil dari ciptaan

Lebih terperinci

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD)

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD) 16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Manusia pada zaman modern ini mungkin patut berbangga atas pencapaian yang telah diraih manusia hingga sampai pada saat ini dan kemajuan dalam segala

Lebih terperinci

Menapak Jalan Kehidupan. Penciptaan Alam Semesta

Menapak Jalan Kehidupan. Penciptaan Alam Semesta Menapak Jalan Kehidupan Hidup dapat diibaratkan suatu perjalanan, yaitu perjalanan lahiriah maupun perjalanan batiniah. Sebagai suatu perjalanan tentu ada awal dan ada akhir. Perjalanan lahiriah berawal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan serta memiliki keturunan, dimana keturunan merupakan salah satu tujuan seseorang melangsungkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai

BAB II LANDASAN TEORI. keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Ritual Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai dengan adanya berbagai macam

Lebih terperinci

Judul Buku : Keagungan Sapi Menurut Weda

Judul Buku : Keagungan Sapi Menurut Weda Judul Buku : Keagungan Sapi Menurut Weda Penulis : Made Darmayasa Pengantar Buku : Drs. Ketut Wiana Penerbit : Pustaka Manikgeni, 1993 viii + 135 hlm. 19cm Bibliografi Indeks. ISBN 979-8506-01-4 Sapi Binatang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan,

Lebih terperinci

Mengenai mayat Musa ini iblis sempat berdebat dengan malaikat Tuhan yang bernama Mikhael (Yudas 1 : 9).

Mengenai mayat Musa ini iblis sempat berdebat dengan malaikat Tuhan yang bernama Mikhael (Yudas 1 : 9). Berbahagialah Orang yang Mati dalam Tuhan (Wahyu 14 : 13) Alkitab mencatat Henokh adalah orang yang hidupnya bergaul dengan Tuhan selama ± 365 Tahun (Kejadian 5 : 23-24). Henokh tidak melalui proses kematian

Lebih terperinci

Kajian Perhiasan Tradisional

Kajian Perhiasan Tradisional Kajian Perhiasan Tradisional Oleh : Kiki Indrianti Program Studi Kriya Tekstil dan Mode, Universitas Telkom ABSTRAK Kekayaan budaya Indonesia sangat berlimpah dan beragam macam. Dengan keanekaragaman budaya

Lebih terperinci

PERSEPSI UMAT HINDU TERHADAP KEBERDAAN KREMATORIUM SANTAYANA DENPASAR BALI. Oleh Putu Wiwik Rismayanti Sari Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

PERSEPSI UMAT HINDU TERHADAP KEBERDAAN KREMATORIUM SANTAYANA DENPASAR BALI. Oleh Putu Wiwik Rismayanti Sari Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar PERSEPSI UMAT HINDU TERHADAP KEBERDAAN KREMATORIUM SANTAYANA DENPASAR BALI Oleh Putu Wiwik Rismayanti Sari Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Abstract Every human being is obliged to pay the debt

Lebih terperinci

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM TRADISI NGAYAH DI TENGAH AKSI DAN INTERAKSI UMAT HINDU DI DESA ADAT ANGGUNGAN KELURAHAN LUKLUK KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua. BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Kematian bagi masyarakat Tionghoa (yang tetap berpegang pada tradisi) masih sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber malapetaka

Lebih terperinci

TRADISI MEMBANGUN RUMAH DI DESA SUNGAI RANGAS ULU KECAMATAN MARTAPURA BARAT KABUPATEN BANJAR

TRADISI MEMBANGUN RUMAH DI DESA SUNGAI RANGAS ULU KECAMATAN MARTAPURA BARAT KABUPATEN BANJAR TRADISI MEMBANGUN RUMAH DI DESA SUNGAI RANGAS ULU KECAMATAN MARTAPURA BARAT KABUPATEN BANJAR SKRIPSI Oleh: SITI NAJIROH NIM: 1201411300 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

Lebih terperinci

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #26 oleh Chris McCann

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #26 oleh Chris McCann Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #26 oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pembahasan Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu. Malam ini adalah pembahasan #26 tentang Wahyu, pasal

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan, yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang kaya akan kebudayaan serta adat istiadat, bahasa, kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan

Lebih terperinci

I Ketut Sudarsana. > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari

I Ketut Sudarsana. > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari I Ketut Sudarsana > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari Ajaran Tri Kaya Parisudha dapat dilaksanakan dengan cara memberikan arahan

Lebih terperinci

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD 27. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD KELAS: I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan

Lebih terperinci

Mengapa memberitakan Injil? Kis.14:15-18 Ev. Jimmy Pardede, M.A.

Mengapa memberitakan Injil? Kis.14:15-18 Ev. Jimmy Pardede, M.A. Mengapa memberitakan Injil? Kis.14:15-18 Ev. Jimmy Pardede, M.A. Hari ini kita akan melihat mengapa kita harus memberitakan Injil Tuhan? Mengapa harus repot-repot mengadakan kebaktian penginjilan atau

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PASTI PAS! SPBU PADA KUALITAS PELAYANAN JASA TERHADAP PELANGGAN MENURUT PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

PELAKSANAAN PASTI PAS! SPBU PADA KUALITAS PELAYANAN JASA TERHADAP PELANGGAN MENURUT PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM PELAKSANAAN PASTI PAS! SPBU PADA KUALITAS PELAYANAN JASA TERHADAP PELANGGAN MENURUT PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Kasus pada SPBU ABABIL Sukajadi Pekanbaru) SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang merupakan daerah yang memiliki potensi budaya yang masih berkembang secara optimal. Keanekaragaman budaya mencerminkan kepercayaan dan kebudayaan masyarakat setempat

Lebih terperinci

MIMAMSA DARSANA. Oleh: IGN. Suardeyasa, S.Ag dkk

MIMAMSA DARSANA. Oleh: IGN. Suardeyasa, S.Ag dkk 1 MIMAMSA DARSANA Oleh: IGN. Suardeyasa, S.Ag dkk 1. Pendahuluan Agama Hindu berkembang ke seluruh dunia dengan kitab sucinya Weda, disesuaikan dengan budaya lokal (local genius). Sebagai payung dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA : Pelebon PENCIPTA : I Kadek Puriartha, S.Sn., M.Sn PAMERAN : Pameran Seni Rupa Truly Bagus II Harmony in Diversity Cullity Gallery, Faculty of Architecture,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang diungkapkan dalam bentuk cara bertindak, berbicara, berfikir, dan hidup. Daerah kebudayaan Kalimantan

Lebih terperinci

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN. Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru)

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN. Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru) BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru) Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang

Lebih terperinci

UPACARA KIDUNG DALAM PERKAWINAN ADAT JAWA TIMUR DI KELURAHAN PEKAPURAN RAYA KOTA BANJARMASIN

UPACARA KIDUNG DALAM PERKAWINAN ADAT JAWA TIMUR DI KELURAHAN PEKAPURAN RAYA KOTA BANJARMASIN UPACARA KIDUNG DALAM PERKAWINAN ADAT JAWA TIMUR DI KELURAHAN PEKAPURAN RAYA KOTA BANJARMASIN SKRIPSI Oleh: DESSY RABIATUL KURNIA NIM: 1201411296 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI FAKULTAS USHULUDDIN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Upacara adat Belian merupakan suatu bentuk kebudayaan asli Indonesia yang sampai saat ini masih ada dan terlaksana di masyarakat Dayak Paser, Kalimantan Timur. Sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 1

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali sebuah pulau kecil dengan beribu keajaiban di dalamnya. Memiliki keanekaragaman yang tak terhitung jumlahnya. Juga merupakan sebuah pulau dengan beribu kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Berdoa dan sembahyang merupakan kewajiban yang utama bagi manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, Do a atau sembahyang merupakan wujud rasa syukur, memohon perlindungan,

Lebih terperinci

KONSEP KEADILAN MENURUT IBNU KHALDUN DAN RELEVANSINYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL MODERN SKRIPSI

KONSEP KEADILAN MENURUT IBNU KHALDUN DAN RELEVANSINYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL MODERN SKRIPSI KONSEP KEADILAN MENURUT IBNU KHALDUN DAN RELEVANSINYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL MODERN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) Dalam Ilmu Aqidah

Lebih terperinci

PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI TERHADAP ISTRI MUALLAF DI DESA ASAM JAYA KECAMATAN JORONG

PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI TERHADAP ISTRI MUALLAF DI DESA ASAM JAYA KECAMATAN JORONG PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI TERHADAP ISTRI MUALLAF DI DESA ASAM JAYA KECAMATAN JORONG SKRIPSI OLEH RULLY M. KUSRIYANTI NIM 1201110018 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN 2016 M/ 1437

Lebih terperinci

3. Pengertian Hukum Karmaphala dalam Ajaran Agama Hindu adalah

3. Pengertian Hukum Karmaphala dalam Ajaran Agama Hindu adalah 1. Pengertian Atman adalah. a. Percikan terkecil dari Sang Hyang Widhi Wasa b. Tidak terlukai oleh api c. Tidak terlukai oleh senjata d. Tidak bergerak e. Subha Karma Wasa 2. Fungsi Atman dalam mahluk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan dan tumbuh kembangnya sangat diperhatikan. Tak heran banyak sekali orang yang menunggu-nunggu

Lebih terperinci

PENGAKUAN IMAN RASULI. Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi

PENGAKUAN IMAN RASULI. Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi PENGAKUAN IMAN RASULI Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi Dan kepada Yesus Kristus, AnakNya yang tunggal,tuhan kita Yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam. 1 Masyarakat Kalimantan

BAB I PENDAHULUAN. yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam. 1 Masyarakat Kalimantan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kalimantan Selatan, merupakan salah satu Provinsi yang ada di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam. 1 Masyarakat Kalimantan Selatan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekompleksitasan Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan

BAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suku bangsa Tionghoa merupakan salah satu etnik di Indonesia. Mereka menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan leluhur orang Tionghoa

Lebih terperinci

SAMADHI MENURUT AGAMA HINDU DAN BUDHA

SAMADHI MENURUT AGAMA HINDU DAN BUDHA SAMADHI MENURUT AGAMA HINDU DAN BUDHA SKRIPSI Oleh: MUHAMMAD ABDUL MALIK NIM: 0901410705 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA BANJARMASIN 2016 SAMADHI MENURUT AGAMA HINDU

Lebih terperinci

17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama

Lebih terperinci

DI DESA PAKRAMAN CEKENG, KECAMATAN SUSUT, KABUPATEN BANGLI : PERSFEKTIF PENDIDIKAN AGAMA HINDU

DI DESA PAKRAMAN CEKENG, KECAMATAN SUSUT, KABUPATEN BANGLI : PERSFEKTIF PENDIDIKAN AGAMA HINDU TRADISI METUUN DI DESA PAKRAMAN CEKENG, KECAMATAN SUSUT, KABUPATEN BANGLI : PERSFEKTIF PENDIDIKAN AGAMA HINDU Oleh : I Nengah Pande Bawa Yasa Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar ABSTRAK Yajna pada hakekatnya

Lebih terperinci

KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI

KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI Oleh : DEWA AYU EKA PUTRI 1101605007 PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

FATHOR, NIM. B ,

FATHOR, NIM. B , ABSTRAKSI FATHOR, NIM. B05208022, 2012. Mempertahankan Tradisi di Tengah Industrialisasi (Studi Kasus Pelestarian Tradisi Haul Mbah Sayyid Mahmud di Desa Karangbong Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo).

Lebih terperinci

INISIATIF GURU AGAMA DALAM MENUMBUHKAN KREATIVITAS BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KELAS XI DI SMA NEGERI 1 KEBOMAS GRESIK

INISIATIF GURU AGAMA DALAM MENUMBUHKAN KREATIVITAS BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KELAS XI DI SMA NEGERI 1 KEBOMAS GRESIK 1 INISIATIF GURU AGAMA DALAM MENUMBUHKAN KREATIVITAS BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KELAS XI DI SMA NEGERI 1 KEBOMAS GRESIK Skripsi Oleh: RIRIN CHOTIMAH NIM: D01304100 INSTITUT

Lebih terperinci

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E)

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E) 21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi

Lebih terperinci

Kain Sebagai Kebutuhan Manusia

Kain Sebagai Kebutuhan Manusia KAIN SEBAGAI KEBUTUHAN MANUSIA 1 Kain Sebagai Kebutuhan Manusia A. RINGKASAN Pada bab ini kita akan mempelajari kain sebagai kebutuhan manusia. Manusia sebagai salah satu makhluk penghuni alam semesta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai berbagai macam suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai berbagai macam suku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai berbagai macam suku bangsa atau kelompok etnik dan ras yang tersebar diseluruh bagian penjuru Indonesia. Banyaknya suku bangsa

Lebih terperinci

PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu)

PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu) PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu) Oleh I Wayan Agus Gunada Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Abstrak Ngaben merupakan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Oleh:

SKRIPSI. Diajukan Oleh: TANGGUNG JAWAB ANAK PEREMPUAN DALAM KELUARGA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP SISTEM KEWARISAN (Kajian Terhadap Adat Perpatih Masyarakat Rembau, Negeri Sembilan) SKRIPSI Diajukan Oleh: SITI AMINAH BINTI MOHD

Lebih terperinci

Gereja untuk Apa? Ef.1:1-14. Pdt. Andi Halim, S.Th.

Gereja untuk Apa? Ef.1:1-14. Pdt. Andi Halim, S.Th. Gereja untuk Apa? Ef.1:1-14 Pdt. Andi Halim, S.Th. Ayat 1. Orang-orang kudus bukan orang yang sama sekali tidak ada cacatnya. Di dunia ini semua orang berdosa, tanpa kecuali, temasuk bunda Maria, santo-santa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung

Lebih terperinci

Sumber: Islam4Kids.com Berdasarkan Kisah Para Nabi oleh Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Katsir

Sumber: Islam4Kids.com Berdasarkan Kisah Para Nabi oleh Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Katsir Kisah Pembangunan Ka bah Sumber: Islam4Kids.com Berdasarkan Kisah Para Nabi oleh Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Katsir Alih Bahasa: Ummu Abdullah Desain Sampul: Ummu Zaidaan Disebarluaskan melalui: Maktabah

Lebih terperinci

STUDI ANALISIS PENDAPAT AHMAD HASSAN TENTANG KEBOLEHAN MENIKAH TANPA WALI DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMIKIRAN MADZHAB HANAFI

STUDI ANALISIS PENDAPAT AHMAD HASSAN TENTANG KEBOLEHAN MENIKAH TANPA WALI DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMIKIRAN MADZHAB HANAFI STUDI ANALISIS PENDAPAT AHMAD HASSAN TENTANG KEBOLEHAN MENIKAH TANPA WALI DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMIKIRAN MADZHAB HANAFI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008 Oleh: I Gede Oka Surya Negara, SST.,MSn JURUSAN SENI TARI

Lebih terperinci

ADAB MURID TERHADAP GURU DALAM PERSPEKTIF KITAB BIDAYATUL HIDAYAH KARANGAN IMAM GHAZALI

ADAB MURID TERHADAP GURU DALAM PERSPEKTIF KITAB BIDAYATUL HIDAYAH KARANGAN IMAM GHAZALI ADAB MURID TERHADAP GURU DALAM PERSPEKTIF KITAB BIDAYATUL HIDAYAH KARANGAN IMAM GHAZALI Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana

Lebih terperinci

KONSEP KURBAN DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM DAN HINDU (Sebuah Studi Perbandingan) SKRIPSI

KONSEP KURBAN DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM DAN HINDU (Sebuah Studi Perbandingan) SKRIPSI KONSEP KURBAN DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM DAN HINDU (Sebuah Studi Perbandingan) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada Program Studi

Lebih terperinci

Sumber: Islam4Kids.com Berdasarkan Kisah Para Nabi oleh Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Katsir. Disebarluaskan melalui:

Sumber: Islam4Kids.com Berdasarkan Kisah Para Nabi oleh Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Katsir. Disebarluaskan melalui: Kisah Pembangunan Ka bah Sumber: Islam4Kids.com Berdasarkan Kisah Para Nabi oleh Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Katsir Alih Bahasa: Ummu Abdullah al-buthoniyah Desain Sampul: Ummu Tsaqiif al-atsariyah Disebarluaskan

Lebih terperinci

Revelation 11, Study No. 37 in Indonesian Langguage. Seri kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No. 37, oleh Chris McCann

Revelation 11, Study No. 37 in Indonesian Langguage. Seri kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No. 37, oleh Chris McCann Revelation 11, Study No. 37 in Indonesian Langguage Seri kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No. 37, oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pemahaman Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik individu maupun kolektif. Agama memberi sumbangan bagi sistem sosial,

BAB I PENDAHULUAN. baik individu maupun kolektif. Agama memberi sumbangan bagi sistem sosial, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama merupakan realitas yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan, baik individu maupun kolektif. Agama memberi sumbangan bagi sistem sosial, dalam arti

Lebih terperinci

SKRIPSI. OLEH: Syahrani

SKRIPSI. OLEH: Syahrani PELAKSANAAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI DI PENGADILAN (Studi Terhadap Beberapa Pendapat Hakim di Pengadilan Agama Barabai) SKRIPSI OLEH: Syahrani INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

Lebih terperinci

NILAI-NILAI HINDUISTIK DALAM TRADISI KENDURI ARWAH DI DESA PUJUD KECAMATAN PUJUD KABUPATEN ROKAN HILIR SKRIPSI

NILAI-NILAI HINDUISTIK DALAM TRADISI KENDURI ARWAH DI DESA PUJUD KECAMATAN PUJUD KABUPATEN ROKAN HILIR SKRIPSI NILAI-NILAI HINDUISTIK DALAM TRADISI KENDURI ARWAH DI DESA PUJUD KECAMATAN PUJUD KABUPATEN ROKAN HILIR SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Dalam

Lebih terperinci

Yang penting di sini ialah ketekunan orang-orang kudus, yang menuruti perintah Allah dan iman kepada Yesus.

Yang penting di sini ialah ketekunan orang-orang kudus, yang menuruti perintah Allah dan iman kepada Yesus. Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #31 oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pembahasan Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu. Malam ini adalah pembahasan #31 tentang Wahyu, pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara menjamin setiap warga untuk memeluk agama masing-masing dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara menjamin setiap warga untuk memeluk agama masing-masing dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama Hindu merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Negara menjamin setiap warga untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan

Lebih terperinci

GEGURITAN SUMAGUNA ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI OLEH PUTU WIRA SETYABUDI NIM

GEGURITAN SUMAGUNA ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI OLEH PUTU WIRA SETYABUDI NIM GEGURITAN SUMAGUNA ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI OLEH PUTU WIRA SETYABUDI NIM 0501215003 PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BALI JURUSAN SASTRA DAERAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2009 GEGURITAN

Lebih terperinci

KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja

KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja Upacara pemakaman yang dilangsungkan saat matahari tergelincir ke barat. Jenazah dimakamkan di gua atau rongga di puncak tebing batu. Sebagai tanda

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI MEDIA BLOG DALAM MENINGKATKAN KREATIVITAS GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI ) DI MADRASAH ALIYAH KANJENG SEPUH SIDAYU - GRESIK

IMPLEMENTASI MEDIA BLOG DALAM MENINGKATKAN KREATIVITAS GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI ) DI MADRASAH ALIYAH KANJENG SEPUH SIDAYU - GRESIK IMPLEMENTASI MEDIA BLOG DALAM MENINGKATKAN KREATIVITAS GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI ) DI MADRASAH ALIYAH KANJENG SEPUH SIDAYU - GRESIK Skripsi Diajukan kepada Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel

Lebih terperinci

DITEBUS OLEH PENGORBANAN BESAR

DITEBUS OLEH PENGORBANAN BESAR DITEBUS OLEH PENGORBANAN BESAR As-Saffat 37:107 Assalamu alaikum! Kitab Suci Al-Qur an memberikan deskripsi ilustrasi mengenai kepatuhan kepada Firman dari Allah di dalam hidup Ibrahim. Kita harus mempertimbangkan

Lebih terperinci

VOLUME PENJUALAN PADA PT BATIK SINUN REJEKI DI SURAKARTA

VOLUME PENJUALAN PADA PT BATIK SINUN REJEKI DI SURAKARTA ANALISIS PENGARUH PROMOTIONAL MIX TERHADAP VOLUME PENJUALAN PADA PT BATIK SINUN REJEKI DI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas

Lebih terperinci

PERAN GURU PAI DALAM MEMBENTUK AKHLAK SISWA DI MTS MUHAMMADIYAH 2 KELAYAN BANJARMASIN

PERAN GURU PAI DALAM MEMBENTUK AKHLAK SISWA DI MTS MUHAMMADIYAH 2 KELAYAN BANJARMASIN PERAN GURU PAI DALAM MEMBENTUK AKHLAK SISWA DI MTS MUHAMMADIYAH 2 KELAYAN BANJARMASIN OLEH FEBRIYANTI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN 2017 M/1438 H i PERAN GURU PAI DALAM MEMBENTUK AKHLAK

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF PADA MATA PELAJARAN FIQIH DI MADRASAH ALIYAH NEGERI SRONO BANYUWANGI TAHUN PELAJARAN 2016/2017 SKRIPSI

IMPLEMENTASI STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF PADA MATA PELAJARAN FIQIH DI MADRASAH ALIYAH NEGERI SRONO BANYUWANGI TAHUN PELAJARAN 2016/2017 SKRIPSI IMPLEMENTASI STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF PADA MATA PELAJARAN FIQIH DI MADRASAH ALIYAH NEGERI SRONO BANYUWANGI TAHUN PELAJARAN 2016/2017 SKRIPSI Oleh: Ellys Wahyu Ningsih NIM. 084 121 004 INSTITUT AGAMA

Lebih terperinci

Asal Usul Alam Semesta

Asal Usul Alam Semesta Kontroversi Islam dan Sains? Asal Usul Alam Semesta Pernahkah Anda merenung tentang asal usul alam semesta, bagaimanakah alam semesta dapat terbentuk. Pertanyaan tersebut yang mendorong ilmuwan di setiap

Lebih terperinci

KAWIN MIS-YAR MENURUT HUKUM ISLAM (Kajian Fatwa Kontemporer Yusuf Qardhawi)

KAWIN MIS-YAR MENURUT HUKUM ISLAM (Kajian Fatwa Kontemporer Yusuf Qardhawi) KAWIN MIS-YAR MENURUT HUKUM ISLAM (Kajian Fatwa Kontemporer Yusuf Qardhawi) SKRIPSI Diajukan Oleh: NABILAH BINTI ISMAIL Mahasiswi Fakultas Syariah Jurusan: Ahwal Syahsiyah Nim: 110 807 796 FAKULTAS SYARI

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI AKAD AL-QARD WAL MURABAHAH PADA PRODUK PEMBIAYAAN MIKRO DI BANK SYARIAH MANDIRI KC. BANYUMANIK SEMARANG

IMPLEMENTASI AKAD AL-QARD WAL MURABAHAH PADA PRODUK PEMBIAYAAN MIKRO DI BANK SYARIAH MANDIRI KC. BANYUMANIK SEMARANG IMPLEMENTASI AKAD AL-QARD WAL MURABAHAH PADA PRODUK PEMBIAYAAN MIKRO DI BANK SYARIAH MANDIRI KC. BANYUMANIK SEMARANG TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu persyaratan Guna memperoleh gelar Ahli Madya

Lebih terperinci