Theresia Olivia, Rosa Agustina. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jalan Lingkar Kampus Raya, Kampus FHUI, 16424, Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Theresia Olivia, Rosa Agustina. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jalan Lingkar Kampus Raya, Kampus FHUI, 16424, Indonesia"

Transkripsi

1 PEMBATASAN PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA MAJIKAN TERHADAP KESALAHAN YANG DILAKUKAN OLEH BAWAHANNYA BERDASARKAN PASAL 1367 KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA INDONESIA (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1696 K/PDT/2012) Theresia Olivia, Rosa Agustina Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jalan Lingkar Kampus Raya, Kampus FHUI, 16424, Indonesia Abstrak Fokus utama dari penelitian adalah menyajikan suatu pembahasan mengenai sejauh mana pertanggungjawaban perdata dari seorang majikan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya berdasarkan ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Seringkali ditemukan suatu permasalahan mengenai ketidakpastian sumber hukum mengenai hal ini. Belum ada suatu peraturan atau dasar hukum yang secara jelas dan tegas memberikan pengaturan pembatasan pertanggungjawaban majikan atas kesalahan bawahannya. Dengan kata lain, telah terjadi suatu ketidakpastian hukum yang akhirnya memunculkan anggapan timbul suatu ketidakadilan karena ketiadaan dasar hukum ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami sejauh mana pertanggungjawaban perdata dari majikan atas kesalahan bawahannya berdasarkan hukum yang ada. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan metode penulisan adalah deskriptif eksplanatoris. Hasil penelitian menyarankankan bahwa Pemerintah hendaknya membentuk suatu peraturan yang dapat dijadikan dasar hukum perihal pembatasan pertanggungjawaban majikan terhadap bawahannya mengingat sampai saat ini belum ada sumber hukum tertulis yang memberikan penjelasan secara lengkap. The Restriction of Civil Responsibility of The Employer towards the Fault of the Employee Regarding Article 1367 Indonesian Civil Code (Analyze on Indonesia Supreme Court Ruling No K/PDT/2012) Abstract The focus of this study is the restriction of civil responsibility of the employer towards the fault which had been done by the employee regarding Article 1367 Indonesian Civil Code. It has usually found the problem about the legal uncertainty in this problem in Indonesia. There is no strict regulation that regulates about the restriction of civil responsibility of the employer towards the fault which had been done by his employee It can be said that there is a law uncertainty that can cause the unfairness because there is no strict law. The pupose of this study is to understand the restriction of civil responsibility of the employer regarding law in Indonesia. This research is descriptive explanatory. The researcher suggests that Government should make regulation that can give clear explanation about the civil responsibility of the employer toward the fault of the employee because so far there is no written regulation that give the clear explanation about this problem. Key words: civil responsibility; employee; employer; restriction Pendahuluan

2 Perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain karena dilakukan dengan kesalahan dalam hukum perdata disebut sebagai perbuatan melawan hukum. 1 Perbuatan melawan hukum yang didalamnya terdapat unsur kesalahan ini menimbulkan pertanggungjawaban perdata atau disebut juga dengan civil liability. Pertanggungjawaban perdata pada dasarnya memerlukan unsur kesalahan dari pelanggarnya. 2 Pertanggungjawaban perdata mengacu pada ketentuan dalam pasal 1365 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata ( KUHPerdata ) yang menyebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut. 3 Perbuatan melawan hukum pada awalnya selalu menggunakan pengertian sempit. Hoge Raad sebelum tahun 1919 mengartikan perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undangundang. Namun, pada tanggal 31 Januari 1919, terdapat putusan Hoge Raad yang menjadi permulaan munculnya pengertian perbuatan melawan hukum yang lebih luas. Hal itu terdapat dalam putusan perkara Lindebaum vs Cohen. 4 Putusan lain yang dapat dilihat sehubungan dengan hal ini adalah putusan-putusan Hoge Raad dalam kasus Singer Naaimachine dan Zutphense Juffrow. 5 Pertanggungjawaban perdata ternyata tidak hanya terhadap kesalahan yang dilakukan oleh diri sendiri saja melainkan dapat dibebankan kepada seseorang atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain dengan ketentuan tertentu. Hal ini diatur pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata versi terjemahan dari Prof. Subekti S.H., menyatakan bahwa: 1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1980), hlm Ibid, hlm Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), Pasal M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hlm Ibid, hlm 5-7

3 Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orangorang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah penguasaannya. 6 Ketentuan dalam pasal 1367 KUHPerdata, mengenai perbuatan melawan hukum, disebutkan oleh M. A. Moegni Djojodirdjo S.H, dengan istilah Tanggung Gugat atau pertanggungan jawab atau dalam bahasa belandanya disebut sebagai aansprakelijkheid. Tanggung gugat dibedakan menjadi tanggung gugat untuk perbuatan orang lain dan tanggung gugat yang disebabkan karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya. 7 Dalam Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa seseorang bertanggung jawab secara perdata atas kerugian akibat pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain yang menjadi tanggungannya. Ketentuan lebih lanjut dalam pasal 1367 ayat (2), (3), dan (4) mengatur mengenai pihak-pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban yaitu orang tua orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang berada dibawah penguasaan mereka, majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka bertanggung jawab atas bawahannya, guru-guru sekolah dan kepalakepala tukang bertanggung jawab terhadap murid-murid dan tukang-tukang di bawah pengawasan mereka. Terdapat pengecualian yang membatasi sejauh mana seseorang dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kerugian dari perbuatan orang lain yang diatur dalam Pasal 1367 ayat (5) KUHPerdata dimana orang-orang atau pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 1367 KUHPerdata tidak dapat dimintai pertanggungjawaban apabila mereka dapat membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab. Dari perumusan tersebut, terlihat bahwa pertanggungjawaban seseorang atas tindakan yang menjadi tanggungannya adalah tidak tak terbatas. Namun, rumusan dari ayat ini tidak memberikan batasan mengenai sejauh mana majikan harus bertanggung jawab jika bawahannya melakukan kesalahan. Ketiadaan rumusan mengenai batasan 6 Ibid. 7 M. A. Moegni Djojodirdjo, Op.Cit., hlm. 114.

4 pertanggungjawaban majikan terhadap bawahannya ini menimbulkan persepsi bahwa tanggung jawab majikan tersebut sifatnya tidak terbatas. Dalam pelaksanaannya, ketiadaan pengaturan mengenai batasan pertanggungjawaban majikan terhadap tindakan buruhnya memunculkan persepsi bahwa majikan bertanggung jawab atas tindakan buruhnya walaupun tidak ada unsur kesalahan. Persepsi demikian dirasa kurang tepat dan dirasa perlu untuk diatur secara lebih jelas demi mencegah ketidakpastian hukum. Pada dasarnya majikan bertanggung jawab atas tindakan buruh sesuai dengan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya. Majikan berkewajiban untuk mengawasi segala tindakan buruh sehubungan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki masing-masing. Namun, apabila buruh tersebut ternyata melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak menjalankan sesuai tugas dan wewenangnya, atau bahkan melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya, maka kerugian yang ditimbulkan dirasa bukan menjadi tanggung jawab majikan. Pertanggungjawaban majikan terhadap bawahannya sebaiknya diberikan pembatasan. Hal ini dikarenakan tidak semua perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahan juga merupakan tindakan yang diperbolehkan atau sesuai kewenangan yang diberikan kepada bawahannya. Bawahan dapat melakukan suatu tindakan diluar kewenangannya. Antara tanggung jawab pribadi bawahan dengan tangung jawab majikan tidaklah dapat disatukan. Dalam pelaksanaannya, terdapat salah satu contoh nyata dari kebutuhan akan kepastian hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1696K/Pdt/2012. Dalam putusan tersebut, seorang majikan dinyatakan juga bertanggungjawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya walaupun telah terdapat putusan pidana yang memutuskan bahwa bawahan tersebut telah melakukan tindakan pidana yang melampaui kewenangan yang diberikan kepadanya. Putusan ini dinilai belum sepenuhnya sejalan dengan teori-teori yang ada sebagaimana diuraikan secara singkat sebelumnya. Terdapat dua permasalahan yang akan di bahas dalam tulisan ini yaitu bagaimana pembatasan pertanggungjawaban dari majikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya menurut ketentuan Pasal 1367 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan bagaimana pertanggungjawaban perdata majikan atas perbuatan melawan hukum bawahannya menurut Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah Agung Republik

5 Indonesia Nomor 1696 K/Pdt/2012 sehubungan dengan pertanggungjawaban majikan terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya. Tujuan umum dari penelitian ini adalah agar pembaca dapat memperoleh informasi dan penjelasan mengenai sebagian kecil lingkup dari hukum perdata, khususnya mengenai pembatasan pertanggungjawaban majikan atas tindakan bawahannya. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam proposal penelitan ini, yaitu: untuk memahami batasan pertanggungjawaban dari majikan atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya menurut ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan untuk memahami bagaimana pandangan dari Mahkamah Agung mengenai pertanggungjawaban majikan terhadap tindakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1696 K/Pdt/2012. Tinjauan Teoritis Pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum diatur dalam Buku III tentang Perikatan yakni diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut. 8 Sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, maka terdapat beberapa unsur dari suatu tindakan agar dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum yaitu: 1. Adanya perbuatan; Lingkup dari unsur perbuatan ini terdiri dari perbuatan yang diartikan dengan berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu yang menjadi kewajiban hukum dari orang tersebut (dalam arti pasif). 9 Pengertian aktif dan pasif ini dapat pula dipahami bahwa perbuatan melawan hukum dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja, yang mana seharusnya orang tersebut diketahui seharusnya melakukan suatu perbuatan. 2. Perbuatan tersebut melawan hukum; 8 Ibid., hlm Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm.2.

6 Sejak tahun 1919, arti dari melawan hukum memiliki pengertian luas yang meliputi halhal sebagai berikut: a. Melanggar undang-undang yang berlaku (hukum tertulis); b. Melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum (hak subjektif orang lain); Yang dimaksud dengan hak subjektif orang lain berarti telah terjadi pelanggaran wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang, termasuk hak perorangan dan/atau hak atas harta kekayaan. c. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; Diartikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis. d. Bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden); dan e. Bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (atau dikenal dengan istilah asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian/ PATIHA) Adanya kesalahan dari pelaku; Unsur-unsur dari kesalahan itu sendiri meliputi: a. Adanya unsur kesengajaan; atau b. Adanya unsur kelalaian (negligence, culpa); dan c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain. 11 Menurut Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M., ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan dalam perbuatan melawan hukum. Dikatakan bahwa tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk dalam tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Keberlakuan mengenai strict liability tidak didasarkan atas Pasal 1365 KUHPerdata tetapi didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang lain. 12 Terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikategorikan sebagai kesengajaan ataupun kelalaian. 10 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, cet.iii, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), hlm Ibid., hlm Ibid., hlm.12.

7 a. Unsur kesengajaan: i. Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan; ii. Adanya konsekuensi dari perbuatan; iii. Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya menimbulkan konsekuensi, melainkan kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut pasti dapat menimbulkan konsekuensi tersebut. 13 b. Unsur kelalaian: i. Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan; ii. Adanya kewajiban kehati-hatian (duty of care); iii. Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut; iv. Ada kerugian bagi orang lain; v. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul Adanya kerugian bagi korban; Kerugian dalam perbuatan melawan hukum mencakup baik kerugian materiil maupun kerugian immateriil (kerugian yang menyebabkan pengurangan kenyamanan hidup seseorang, contoh: penghinaan dan cacat badan). Tidak ada pengaturan yang secara tegas mengatur kerugian materiil dalam perbuatan melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pembayaran ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum dapat mengikuti ketentuan dalam Pasal 1246 KUHPerdata yang mengatur mengenai ganti rugi dalam wanprestasi. Kerugian materiil tersebut terdiri dari kerugian yang secara nyara diderita oleh korban dan keuntungan yang sedianya dapat diperoleh apabila tidak terjadi perbuatan melawan hukum yang bersangkutan. Dengan adanya penggantian kerugian tersebut diharapkan agar sedemikian rupa keadaan yang diderita korban dapat dikembalikan seperti sebelum perbuatan melawan hukum terjadi. Sedangkan pengaturan mengenai kerugian immateriil dapat dilihat dalam Pasal 1372 KUHPerdata mengenai penghinaan. Dikatakan bahwa dengan penggantian kerugian 13 Ibid, hlm Ibid, hlm.73.

8 immateriil, sedapat mungkin kondisi yang ada dapat dikembalikan seperti semula, yaitu selain ganti rugi yang berbentuk uang, juga pemulihan nama baik dan kehormatannya Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian. 16 Terdapat 2 (dua) teori tentang hubungan kausalitas yaitu: a. Conditio sine qua non; Menurut teori ini, yang menjadi sebab dari suatu akibat adalah tiap-tiap masalah yang merupakan syarat timbulnya suatu akibat. Menurut teori ini, setiap syarat merupakan sebab yang merupakan syarat mutlak untuk timbulnya suatu akibat. 17 Tokoh yang mendukung teori ini adalah Von Buri. Teori ini tidak dipergunakan lagi karena pertanggungjawaban pelaku menjadi sangat luas yang akan mempersulit penentuan seberapa jauh pertanggungjawaban perdata dapat dimintakan terhadap seseorang. b. Adequate veroorzaking. Menurut teori ini, sebab dari suatu perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat dengan menggunakan perhitungan yang layak. 18 Dasar pertimbangan untuk dapat menentukan sebab yang layak adalah berdasarkan perhitungan yang layak (adalah masalah-masalah yang diketahui atau seharusnya diketahui oleh si pelaku) dan masuk akal sehat (reasonable). Setelah membahas perbuatan melawan hukum secara umum, perlu diketahui pula bahwa terdapat beberapa bentuk pertanggungjawaban perdata yang dikenal dalam KUHPerdata. Salah satunya adalah pertanggungjawaban terhadap perbuatan orang lain yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata. Disebutkan dalam Pasal 1367 ayat (1) KUPerdata bahwa: Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang- 15 J. Satrio, Gugat Perdata atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum, cet.1, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm Ibid., hlm Rachmat Setiawan, Op.Cit., hlm M.A. Moegni Djojodirdjo, Op.Cit., hlm.88.

9 orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah penguasaannya Tanggung gugat salah satunya ditemukan dalam hubungan antara majikan dan bawahan sebagaimana diatur dalam pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Majikan atau orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu. Dari rumusan pasal ini ditegaskan kata-kata mengangkat orang lain untuk mewakili urusanurusan mereka harus diartikan secara terbatas, tidak termasuk di dalamnya tukang yang mengangkat pembantunya atau pengusaha pabrik yang mengangkat buruhnya. 19 Sehubungan dengan hubungan majikan bawahan ini, terdapat beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai sejauh mana seorang majikan dapat bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya. Menurut Dr. Yetty Komalasari, S.H., M.LI., setidaknya terdapat 2 (dua) kriteria agar majikan dapat bertanggungjawab atas tindakan bawahannya yaitu bawahannya harus adalah pekerja yang bekerja pada majikan tersebut dan bawahan tersebut harus menjalankan kegiatan yang masuk dalam lingkup pekerjaannya di saat bawahan yang bersangkutan melakukan kesalahan. 20 Menurut Dr.H.M. Ridwan Indra, S.H., majikan juga bertanggung jawab atas tindakan bawahannya bila orang yang mendapat perintah (dalam hal ini bawahan) harus tidak menyimpang dari tugas yang diberikan kepadanya dan ia hanya melakukan perbuatan yang betul-betul diperintahkan kepadanya M.A. Moegni, Op.Cit., hlm Yetty Komalasari Dewi, Liability of Legal Person in Indonesia: A Statutory and Practical Review, Indonesia Law Review, No.1 (November, 2013), hlm Ridwan Indra, Asas-Asas Hukum Perdata Indonesia, cet.1, (Jakarta: Trisula, 1997), hlm.79.

10 Pendapat lain dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, S.H. Pertanggungjawaban majikan terhadap kesalahan perdata yang dilakukan bawahannya tergantung pada 2 (dua) syarat yaitu karyawan harus sudah berbuat berdasarkan perjanjian kerja dan kesalahan perdata harus sudah dilakukan dalam menjalankan pekerjaan. 22 Itikad baik juga menjadi salah satu dasar pertimbangan pertanggunggugatan. Selama dan sepanjang buruh tersebut melaksanakan perintah yang diberikan oleh majikan dengan itikad baik, sesuai dengan perintah yang diberikan, maka majikan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh buruhnya tersebut. 23 Pendapat lainnya juga disampaikan oleh Rutten. Menurutnya, perlu dipersyaratkan pula bahwa pertanggungan-gugat menurut Pasal 1367 KUHPerdata baru dapat dikenakan di saat bawahan melakukan perbuatan melawan hukumnya pada saat jam kerja. 24 Jadi dengan kata lain, disaat bawahan tersebut melakukan perbuatan melawan hukum di luar jam kerja, maka kerugian yang ditimbulkan bukanlah tanggung jawab majikan. Menurut Dr.H.M. Ridwan Indra, S.H., batasan pertanggungjawaban harus dilihat tergantung dari isi dan maksud hubungan hukum yang bersangkutan atau dengan kata lain melhat kasus per kasus. 25 Dalam hubungan antara majikan dan buruh, timbul suatu nilai ekonomi dan lingkup yang berbeda-beda dari lapangan pekerjaan yang terbatas pada bidang tertentu. Selain pendapat para ahli, terdapat juga beberapa yurisprudensi sehubungan dengan tanggung gugat majikan terhadap bawahannya. Yurisprudensi ditemukan dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan Nomor Register 558 K/SIP/1971 yang diputuskan pada 4 Juni Dinyatakan bahwa juga harus bertanggung jawab atas kelalaian bawahan karena kesalahan dilakukan dalam melakukan pekerjaannya Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op.Cit., hlm Ibid., hlm Ridwan Indra,Op.Ci.t., hlm Mahkamah Agung Republik Indonesia, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Jakarta: PT Pilar Yuris Ultima, 2009), hlm

11 Yurisprudensi lainnya ditemukan dalam Putusan Nomor 367K/Sip/1972 pada tanggal 24 Januari Diputuskan bahwa majikan bertanggung jawab atas kesalahan bawahannya dengan memperhatikan perihal paksaan dan tipu muslihat dimana selama bawahan melakukan pekerjaannya tanpa paksaan dan tipu muslihat maka majikan bertanggung jawab. 27 Permasalahan tanggung gugat antara majikan dan bawahan ini juga menjadi permasalahan yang dialami di negara-negara penganut sistem hukum common law. Terdapat beberapa yurisprudensi yang dapat dijadikan referensi perihal pembatasan pertanggungjawaban majikan terhadap bawahannya. Dikatakan bahwa majikan bertanggung jawab: 1. Apabila perbuatan melawan hukum itu dikuasakan dengan tegas atau diam-diam oleh majikannya. Kekuasaan diam-diam saat seorang bawahannya bertindak dalam keadaan darurat untuk melindungi majikan. Yurisprudensi ditemukan dalam perkara Poland v. John Parr & Sons (1927); 2. Apabila kesalahan perdata itu adalah cara yang melawan hukum bagi pelaksanaan suatu perbuatan yang dikuasakan. Yurisprudensi dalam perkara Ricketts v. Thos Tilling (1915), Beard v. London General Omnibus Co. (1990), dan Limpus v. London General Omnibus (1862); 3. Untuk perbuatan salah yang disengaja dalam hal perbuatan-perbuatan yang ditugaskan kepada bawahannya itu selama bawahan melaksanakan kewajibannya. Yurisprudensi dalam perkara Lloyd v. Grace, Smith & Co (1912) dan perkara Morris v. C.W. Martin & Sons Ltd (1965) 28 ; 4. Apabila bawahannya tidak menyimpang dari jalannya pekerjaan dan dikatakan sebagai berbuat seenaknya sendiri. Yurisprudensi terdapat dalam oerkara Hilton v. Thomas Burton Ltd (1961); 5. Apabila perbuatan tersebut ada hubungannya dengan pekerjaan itu walaupun terjadi sementara orang yang bersalah itu sedang bekerja. Yurisprudensi ditemukan dalam perkara Warren v. Henlys Ltd (1948). 27 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun , (Jakarta: Perpustakaan dan Layanan Informasi Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010), hlm Ibid., hlm

12 Selain penjelasan di atas, perlu diketahui juga perihal unsur pengawasan dalam hubungan majikan dengan bawahan yang dapat dijadikan pertimbangan mengenai tanggung gugat. Seseorang yang memberikan perintah pada dasarnya memiliki kewajiban untuk mengawasi tindakan orang yang diperintahkannya. Namun, pengawasan yang dilakukan akan berbeda antara satu subjek dengan subjek lainnya karena tergantung pada penentuan sejauh mana seseorang tersebut bertanggung jawab. Pengawasan yang dilakukan oleh majikan juga bergantung pada sifat dari masing-masing perjanjian perburuhan. Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. berpendapat bahwa walaupun sulit untuk membuat suatu indikator umum dalam menentukan batas pengawasan majikan, terdapat satu persamaan prinsip sehubungan dengan pengawasan dan tanggung jawab majikan yaitu terbatas pada lingkungan perburuhan masing-masing. 29 Penentuan sejauh mana pengawasan majikan tersebut akan dapat dijadikan indikator apakah majikan telah lalai atau tidak dalam melakukan pengawasan tersebut. Menurut Abdulkadir Muhammad, S.H., terdapat 3 (tiga) unsur penting suatu tindakan dikatakan sebagai kelalaian: 1. Bahwa tergugat dibebankan kewajiban berhati-hati dalam melakukan kewajiban hukumnya; 2. Kewajiban hukum itu dilanggar; 3. Timbul kerugian dari pelanggaran tersebut. 30 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian kepustakaan (library research). Sedangkan jenis data yang dipergunakan dalam penulisan adalah data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, buku-buku, maupun pustaka lainnya. Untu mendapatkan data sekunder tersebut maka alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah studi dokumen atau bahan pustaka dengan metode penulisan deskriptif eksplanatoris. Hasil Penelitian 29 Ibid., hlm Ibid., hlm. 212.

13 Ikut bertanggungjawabnya majikan atas kesalahan bawahannya pada awalnya didasarkan pada kekuranghati-hatiannya majikan dalam mengangkat bawahannya (culpa in eligendo) dengan beberapa batasan dimana majikan tidak bertanggung jawab apabila: 1. Bawahan bukan merupakan pekerja yang bekerja pada majikan tersebut; 2. Bawahan tersebut tidak menjalankan kegiatan yang masuk dalam lingkup pekerjaannya di saat bawahan yang bersangkutan melakukan kesalahan; 3. Bawahannya, sebagai orang yang mendapat perintah dari majikannya, menyimpang dari tugas yang diberikan kepadanya dan ia tidak melakukan perbuatan yang betul-betul diperintahkan kepadanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dr.H.M. Ridwan Indra, S.H. 31 ; 4. Bawahan tidak berbuat berdasarkan perjanjian kerja, dengan kata lain ia bentindak sebagai pihak yang berdiri sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, S.H. 32 ; 5. Kesalahan perdata dilakukan saat tidak menjalankan pekerjaan. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, S.H Bawahan tidak melaksanakan perintah yang diberikan oleh majikan dengan itikad baik dan tidak sesuai dengan perintah yang diberikan kepadanya. 34 Itikad baik ini juga termasuk tanpa paksaan dan tipu muslihat; Perbuatan melawan hukum itu tidak dikuasakan dengan tegas atau diam-diam oleh majikannya. Kekuasaan diam-diam timbul saat seorang bawahannya bertindak dalam keadaan darurat untuk melindungi majikan; 8. Perbuatan yang dikuasakan kepada bawahannya bukan merupakan perbuatan melawan hukum; 9. Perbuatan melawan hukum tersebut tidak ada hubungannya dengan jalannya pekerjaan; 10. Perbuatan karyawannya sekalipun tugas tersebut berada di luar tugas yang diberikan kepada bawahan tersebut, namun tidak memiliki hubungan sedemikian rupa dengan 31 Ridwan Indra, Op.Cit., hlm Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm Ibid. 34 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op.Cit., hlm Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun , (Jakarta: Perpustakaan dan Layanan Informasi Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010), hlm

14 tugas bawahan tersebut sehingga dapat dianggap dilakukan keluar dari lingkup pekerjaan dimana bawahan tersebut dipekerjakan; 11. Bawahan melakukan perbuatan melawan hukum di luar jam kerja. Pendapat ini dikemukakan oleh Rutten Bawahan itu diizinkan melakukan sesuatu untuk keperluannya sendiri, tetapi tidak dipekerjakan untuk kepentingan majikannya; 13. Suatu perbuatan yang betul-betul tidak ada hubungannya dengan pekerjaan itu walaupun terjadi sementara orang yang bersalah itu sedang bekerja. Pembahasan Pembahasan akan menganalisa lebih lanjut putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1696K/PDT/2012 dimana pihak-pihak dalam perkara ini adalah 1. PT Internasional Nickel Indonesia (Tergugat I/ Pembanding/ Pemohon Kasasi I/ Termohon Kasasi II); 2. Raden Agus Setiawan Bin Raden Muhammad Rusdi (Tergugat II/ Turut Terbanding/ Turut Termohon Kasasi); 3. Wardiansyah, ST Bin Salahuddin (Tergugat III/ Turut Terbanding/ Turut Termohon Kasasi); 4. Safril (Tergugat IV/ Turut Terbanding/ Turut Termohon Kasasi); dan 5. Alamsyah Bin H. Alimuddin (Tergugat V/ Turut Terbanding/ Turut Termohon Kasasi). Hubungan hukum terjadi antara Penggugat dengan Tergugat I lewat perjanjian sewa menyewa Excavator Caterpillar type 375 Serial Nomor 8XG00271, Engine Nomor 11NO2853 tahun 1998 milik Penggugat yang akan dipergunakan oleh Tergugat I dalam proses pengerukan Sungai Larona. Dalam perjanjian sewa menyewa tersebut diatur bahwa Penggugat berkewajiban untuk menyerahkan excavator kepada Tergugat I. Namun, dalam pelaksanaan Penggugat tidak memiliki alat angkut yang memadai untuk dapat mengantarkan excavator tersebut ke Tergugat I. Kemudian Tergugat I sendiri yang mengambil excavator tersebut sampai ke wilayah pertambangan Tergugat I. Setelah perjanjian sewa menyewa berakhir, ternyata Penggugat tidak langsung mengambil kembali excavator tersebut selama kurang lebih dua tahun sejak perjanjian berakhir. Excavator tersebut diletakkan oleh Tergugat I di 36 Ibid., hlm.134.

15 luar pagar wilayah Tergugat I namun masih berada dalam kawasan tambang Tergugat I. Tergugat II yang merupakan pegawai dengan jabatan superintended dari Tergugat I kemudian melakukan pencurian. Pencurian tersebut sudah diputus secara pidana dengan putusan bahwa Tergugat II secara melawan hukum melakukan pencurian dan telah melanggar kewenangannya. Pencurian dilakukan oleh Tergugat II dengan mengeluarkan gate pass sebagai surat tanda lewat suatu alat tambang dan surat jual beli dimana keduanya ternyata palsu. Tergugat II melakukan tipu muslihat kepada petugas keamanan yang sengaja ditempatkan oleh Tergugat I untuk menjaga excavator tersebut dengan mengatakan bahwa excavator tersebut telah dijual oleh pemiliknya yaitu Penggugat kepada pihak lain lewat surat jual beli yang dimiliki oleh Tergugat II. Kemudian Tergugat II menjual excavator tersebut kepada Tergugat III, Tergugat III menjual kembali kepada Tergugat IV, dan Tergugat IV menjual excavator tersebut kepada Tergugat V. Dalam putusan Mahkamah Agung diputuskan bahwa Tergugat I selaku majikan dari Tergugat II juga bertanggung jawab atas tindakan Tergugat II dengan pertimbangan telah lalai karena tidak melaksanakan pengawasan dengan baik. Berdasarkan penjabaran singkat dari kasus posisi di atas maka akan dianalisis terlebih dahulu perihal unsur perbuatan melawan hukum dari Tergugat II dimana terdapat lima unsur perbuatan melawan hukum yaitu: 1. Adanya perbuatan Dalam kasus ini, tindakan yang dilakukan oleh Tergugat II merupakan perbuatan secara aktif yaitu mengambil barang milik orang lain (Penggugat) tanpa persetujuan dari Penggugat untuk kepentingan pribadinya. 2. Perbuatan tersebut melawan hukum a. Melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum/ bertentangan dengan hak subjektif orang lain; Dalam kasus ini, hak subjektif yang terlanggar adalah hak dari Penggugat yang berupa hak kebendaan. Penggugat memiliki excavator tersebut melalui jual beli secara sah, dimana hal ini diperkuat oleh Mahkamah Agung dalam putusannya yang menyatakan bahwa Penggugat adalah pemilik sah dari excavator tersebut. Tindakan Tergugat II yang mencuri excavator tersebut mengakibatkan hak kebendaan Penggugat atas excavator tersebut terlanggar. Sehingga dengan kata lain, unsur melanggar hak subjektif orang lain dari tindakan Tergugat II terpenuhi. b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

16 Tindakan pencurian yang dilakukan oleh Tergugat II selaku bawahan merupakan salah satu bentuk pelanggaran dari hukum tertulis, yang merupakan tindak pidana. 3. Adanya kesalahan dari pelaku Dalam kasus ini, tindakan pencurian yang dilakukan oleh Tergugat II merupakan suatu bentuk kesengajaan, dimana secara sadar Tergugat II mempersiapkan dan membuat dokumen pendukung tindak pencuriannya yaitu dengan Gate Pass. Pembuatan dokumen ini tentunya tidak dapat terjadi secara tiba-tiba. Tergugat II juga secara sadar melakukan jual beli dengan Tergugat II. Akibat dari tindakannya tersebut, Tergugat II menyadari betul akibat yang ditimbulkan yaitu bahwa Penggugat sebagai pemilik dari excavator tersebut tidak dapat memiliki lagi secara utuh excavator yang bersangkutan dan juga menyadari bahwa akan ada kemungkinan tindakannya dapat diketahui mengingat excavator tersebut merupakan benda yang sangat besar. 4. Adanya kerugian bagi korban Kerugian yang dialami oleh korban dapat berupa kerugian materiil yang mencakup biaya pembelian excavator serta biaya sewa yang seharusnya dapat diterima oleh Penggugat apabila excavator tersebut dikembalikan. Sedangkan ganti rugi immateriil yang didalilkan Penggugat dikarenakan perasaan tertekan yang teramat sangat dan juga Penggugat tidak dapat lagi dipercaya atau hilang kepercayan dari pihak lain atas usahanya. 5. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian Dalam kasus ini, teori kausalitas yang dianggap lebih sesuai untuk diterapkan apabila dilihat antara perbuatan dengan kerugian yang dialami oleh Penggugat adalah teori adequate veroorzaking sebagaimana yang dikemukakan oleh Von Kries dimana Tergugat II merupakan penyebab utama dari hilangnya hak milik Penggugat atas excavator tersebut. Dengan terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum dari bawahan maka dapat dianalisis lebih lanjut apakah majikan bertanggung jawab atas kesalahan bawahannya. Apabila dikaitkan dengan teori-teori dari pendapat para ahli, terdapat beberapa kondisi yang tidak terpenuhi agar majikan dapat dimintakan pertanggungjawabannya yang meliputi: 1. Bawahan tersebut harus merupakan pekerja yang bekerja pada majikan tersebut; Tergugat II memang merupakan pekerja dari Tergugat I tetapi tindakan yang dilakukannya yaitu mengeluarkan gate pass tanpa sepengetahuan Tergugat I bukan merupakan kewenangan dalam perjanjian kerja yang ada. Tergugat I secara jelas menyatakan bahwa tindakan pencurian yang dilakukan oleh Tergugat II merupakan tindakan yang sangat dilarang di dalam perusahaan.

17 2. Bawahan tersebut harus sedang menjalankan kegiatan yang masuk ke dalam lingkup pekerjaannya saat yang bersangkutan melakukan kesalahan; Dari penjabaran kasus posisi di atas, dapat dikatakan bahwa tindakan dari Tergugat II yang dimulai dengan mengeluarkan gate pass dan berusaha membohongi petugas keamanan untuk dapat mengeluarkan excavator dan kemudian dijual sehingga ia mendapatnya uang merupakan tindakan yang dilakukan tanpa itikad baik. 3. Menurut Dr.H.M. Ridwan Indra, S.H., majikan juga bertanggung jawab atas tindakan bawahannya bila orang yang mendapat perintah (dalam hal ini bawahan) harus tidak menyimpang dari tugas yang diberikan kepadanya 37 ; Dalam kasus ini, Tergugat I tidak memberikan perintah yang menyatakan Tergugat II untuk memindahkan excavator tersebut. 4. Bawahan melakukan perbuatan yang berada di luar tugas yang diberikan kepadanya namun memiliki hubungan sedemikian rupa dengan tugas bawahan tersebut sehingga dapat dianggap dilakukan dalam lingkup pekerjaan dimana ia dipekerjakan Dalam kasus ini, tidak ditemukan adanya hubungan tingkah laku dengan tugas yang diberikan oleh majikannya. Tergugat II melakukan tindakan tersebut dengan tipu muslihat dan pada akhirnya hanya bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri. Hubungan yang sedemikian rupa antara perbuatan dan tugas yang diberikan kepada Tergugat II juga tidak ditemukan dalam kasus ini. 5. Tindakan pelaku dilakukan di dalam jam kerja Dalam kasus ini tidak diperjelas mengenai waktu kejadian yang bisa saja terjadi pada saat jam kerja ataupun di luar jam kerja. Apabila tindakan yang dilakukan oleh Tergugat II adalah masih dalam jangka waktu jam kerja perusahaan tersebut, maka terdapat kemungkinan majikan bertanggung jawab karena tidak dapat menjalankan kehati-hatian dan pengawasan selama kegiatan perusahaan berlangsung. Sehubungan dengan pengawasan dari majikan maka perlu dilihat terlebih dahulu sejauh mana tingkat pengawasan dari sebuah perusahaan pertambangan yaitu sebuah perusahaan besar terhadap tiap-tiap karyawannya. Upaya pengawasan dari perusahaan berupa penempatan petugas keamanan di area yang bersangkutan dan pengaturan mengenai peraturan perusahaan sudah dapat dikatakan merupakan bentuk pengawasan yang cukup ketat untuk ukuran perusahaan besar. 37 Ridwan Indra, Op.Cit., hlm.79.

18 Kesimpulan Tidak terdapat pembatasan pertanggungjawaban majikan atas kesalahan bawahannya secara langsung dalam Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata, namun terdapat beberapa pendapat ahli yang menyatakan majikan tidak bertanggung jawab apabila: 1. Bawahan bukan merupakan pekerja yang bekerja pada majikan tersebut; 2. Bawahan tersebut tidak menjalankan kegiatan yang masuk dalam lingkup pekerjaannya di saat bawahan yang bersangkutan melakukan kesalahan; 3. Bawahannya, sebagai orang yang mendapat perintah dari majikannya, menyimpang dari tugas yang diberikan kepadanya dan ia tidak melakukan perbuatan yang betul-betul diperintahkan kepadanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dr.H.M. Ridwan Indra, S.H.; 4. Bawahan tidak berbuat berdasarkan perjanjian kerja, dengan kata lain ia bentindak sebagai pihak yang berdiri sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, S.H.; 5. Kesalahan perdata dilakukan saat tidak menjalankan pekerjaan. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, S.H.; 6. Bawahan tidak melaksanakan perintah yang diberikan oleh majikan dengan itikad baik dan tidak sesuai dengan perintah yang diberikan kepadanya. Itikad baik ini juga termasuk tanpa paksaan dan tipu muslihat; 7. Perbuatan melawan hukum itu tidak dikuasakan dengan tegas atau diam-diam oleh majikannya. Kekuasaan diam-diam timbul saat seorang bawahannya bertindak dalam keadaan darurat untuk melindungi majikan; 8. Perbuatan yang dikuasakan kepada bawahannya bukan merupakan perbuatan melawan hukum; 9. Perbuatan melawan hukum tersebut tidak ada hubungannya dengan jalannya pekerjaan; 10. Perbuatan karyawannya sekalipun tugas tersebut berada di luar tugas yang diberikan kepada bawahan tersebut, namun tidak memiliki hubungan sedemikian rupa dengan tugas bawahan tersebut sehingga dapat dianggap dilakukan keluar dari lingkup pekerjaan dimana bawahan tersebut dipekerjakan; 11. Bawahan melakukan perbuatan melawan hukum di luar jam kerja. Pendapat ini dikemukakan oleh Rutten; 12. Bawahan itu diizinkan melakukan sesuatu untuk keperluannya sendiri, tetapi tidak dipekerjakan untuk kepentingan majikannya;

19 13. Suatu perbuatan yang betul-betul tidak ada hubungannya dengan pekerjaan itu walaupun terjadi sementara orang yang bersalah itu sedang bekerja. Mahkamah Agung juga memberikan pandangannya mengenai seberapa jauh seorang majikan harus bertanggung jawab secara perdata atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya. dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1696 K/Pdt/2012. Unsur kelalaian menjadi salah satu hal pokok yang dijadikan pertimbangan Majelis Hakim dalam hal majikan harus ikut bertanggung jawab. Majikan bertanggungjawab apabila telah lalai dengan tidak melakukan pengawasan terhadap bawahannya. Namun, pertimbangan yang diberikn masih kurang jelas. Majelis Hakim belum memberikan penjelasan yang memadai akan hal ini. Saran Berdasarkan kesimpulan karya ilmiah ini, Penulis memberikan saran agar dibentuk suatu peraturan yang dapat menjadi suatu dasar hukum jelas dalam memberikan batasan perihal pertanggungjawaban majikan terhadap bawahannya. Dasar hukum tersebut dapat berupa Undang-Undang yang mengubah pengaturan dalam KUHPerdata dengan menyesuaikan pada kondisi pada masa sekarang ini atau dapat pula berupa Peraturan Mahkamah Agung yang dapat dijadikan pedoman bagi para hakim dalam memutus perkara perihal tanggung jawab majikan terhadap bawahan. Kepustakaan BUKU (1993). Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang. Bandung: Citra Aditya Bakti. (2008). Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa. Agustina, Rosa (2003). Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ahmad, Z. Ansori Ahmad (1986). Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia (cet.1, ed.1). Jakarta: CV Rajawali. Badrulzaman, Mariam Darus (1996). KUHPerdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan (cet.1, ed.2). Bandung: Alumni. Djojodirdjo, M.A. Moegni (1982). Perbuatan Melawan Hukum (cet.2). Jakarta: Pradnya Paramita.

20 Fuady, Munir (2005). Perbandingan Hukum Perdata (cet.1). Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Fuady, Munir (2002). Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hamzah, Andi (1991). Asas-Asas Hukum Pidana (cet.1). Jakarta: PT Rineka Cipta. Muhammad, Abdulkadir (2000). Hukum Perdata Indonesia (cet.3). Bandung: Citra Aditya Bakti. Muhammad, Abdulkadir (1980). Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja (2004). Perikatan pada Umumnya. Jakarta: Balai Pustaka. Prodjodikoro, Wirjono. Perbuatan Melanggar Hukum (cet. 9). Bandung: Sumur Bandung. Prodjodikorno, Wirjono (2000). Perbuatan Melanggar Hukum: Dipandang dari Sudut Hukum Perdata. Bandung: Mandar Maju. Setiawan, R.(1979). Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta. Simajuntak, P.N.H.(1999). Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan. Soekanto, Soerjono (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Subekti (2003). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi (2005). Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang (ed.1). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. JURNAL Best, Eli K. Dan John J. Donohue III (2012). Jury Nullification in Modified Comparative Negligence Regimes. The University of Chicago Law Review. Vol.79. No.3. Diakses 20 September 2014 dari Dewi, Yetty Komalasari Dewi (2013). Liability of Legal Person in Indonesia: A Statutory and Practical Review. Indonesia Law Review. Vol.3. No.1. Diakses 19 September dari Dias, R.W.M Dias (1995). The Duty Problem in Negligence.The Cambridge Law Journal. No.12. Diakses 20 September dari Terry, Henry T. (1995). Negligence. Harvard Law Review. No.1. Diakses 16 September 2014 dari Y., H.E. (1952). Negligence in the Civil Law by F.H. Lawson. Vol.1. No.3. Diakses 20 September 2014 dari

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM Oleh : Ni Made Astika Yuni I Gede Pasek Eka Wisanjaya Bagian

Lebih terperinci

Andria Luhur Prakoso Universitas Muhammadiyah Surakarta

Andria Luhur Prakoso Universitas Muhammadiyah Surakarta Prosiding Seminar Nasional ISBN: 978-602-361-036-5 PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Ahmad Amiruddin, Rosa Agustina, Ahmad Budi Cahyono. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 16424, Indonesia. Abstrak

Ahmad Amiruddin, Rosa Agustina, Ahmad Budi Cahyono. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 16424, Indonesia. Abstrak Tanggung Gugat Majikan dan Orang yang Memberi Perintah Kerja Atas Perbuatan Melawan Hukum Bawahannya (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 1807 K/Pdt/2006) Ahmad Amiruddin, Rosa Agustina, Ahmad Budi

Lebih terperinci

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA (PMHP/OOD) disampaikan oleh: Marianna Sutadi, SH Pada Acara Bimbingan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI Tanggal 9 Januari 2009 Keputusan Badan/Pejabat

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang

Lebih terperinci

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum keperdataan yang adil dan koheren kiranya penting bagi kelancaran lalu lintas hukum dan sebab itu pula menjadi prasyarat utama bagi tumbuhkembangnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GANTI RUGI. (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.522/Pdt.G/2013/PN.Dps )

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GANTI RUGI. (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.522/Pdt.G/2013/PN.Dps ) WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GANTI RUGI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.522/Pdt.G/2013/PN.Dps ) Oleh: Ayu Septiari Ni Gst. Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan Direksi sebagai organ yang bertugas melakukan pengurusan terhadap jalannya kegiatan usaha perseroan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233.

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat terlepas dari hubungan dengan manusia lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan tersebut

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kita sadari atau tidak, perjanjian sering kita lakukan dalam kehidupan seharihari. Baik perjanjian dalam bentuk sederhana atau kompleks, lisan atau tulisan, dalam jangka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Jasa Konstruksi 1. Pengertian Jasa Konstruksi Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dijelaskan, Jasa Konstruksi adalah layanan jasa

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)

KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten) KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten) I WANPRESTRASI 1. Prestasi adalah pelaksanaan sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

PENERAPAN UNSUR-UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP KREDITUR YANG TIDAK MENDAFTARKAN JAMINAN FIDUCIA

PENERAPAN UNSUR-UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP KREDITUR YANG TIDAK MENDAFTARKAN JAMINAN FIDUCIA Prihati Yuniarlin Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ring Road Barat, Tamantirto, Kasihan, Yogyakarta, 55183, Telp: +62-274-387 656 220, Fax: +62-274-387 646 PENERAPAN UNSUR-UNSUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang sedang dialami negara Indonesia sekarang ini, tidak semua orang mampu memiliki sebuah rumah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : I Made Aditia Warmadewa I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Chidir, 2005, Badan Hukum, cet ke 3, Alumni, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Chidir, 2005, Badan Hukum, cet ke 3, Alumni, Bandung. DAFTAR PUSTAKA A.Buku Ali, Chidir, 2005, Badan Hukum, cet ke 3, Alumni, Bandung. Agustina, Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pascasarjana Fakultas Hukum Univeritas Indonesia, Aminuddin dan Zainal Asikin,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian dan Syarat Sahya Perjanjian Sebelum membahas lebih jauh mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, maka manusia mengingkari kodratnya sendiri. Manusia dengan

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, maka manusia mengingkari kodratnya sendiri. Manusia dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada prinsipnya manusia adalah mahluk sosial, yaitu mahluk yang hidup bermasyarakat, sebagai mahluk sosial, manusia selalu mempunyai naluri untuk hidup bersama

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

(Suyadi & Susilo Wardani, 2001: 47).

(Suyadi & Susilo Wardani, 2001: 47). 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan Satrio dalam bukunya berpendapat bahwa perikatan adalah perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan pihak

Lebih terperinci

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. KUHPerdata, termasuk ke dalam perikatan yang timbul dari undang-undang.

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. KUHPerdata, termasuk ke dalam perikatan yang timbul dari undang-undang. BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum diatur dalam Buku III Titel 3 Pasal 1365-1380 KUHPerdata, termasuk ke dalam perikatan yang timbul dari undang-undang.

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta

DAFTAR PUSTAKA. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, RajaGrafindo Persada, Jakarta Ahmad Ali dan Djohari Santoso, 1989, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK, PERLINDUNGAN KONSUMEN, DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK, PERLINDUNGAN KONSUMEN, DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK, PERLINDUNGAN KONSUMEN, DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM 2.1. Bank 2.1.1. Pengertian bank Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank adalah

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Buku. Badrulzaman, Darus Mariam, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung

DAFTAR PUSTAKA. Buku. Badrulzaman, Darus Mariam, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung DAFTAR PUSTAKA Buku Badrulzaman, Darus Mariam, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.Citra Aditya Bakti, Djindang, Saleh Mohammad/E, Utrecht, 1989, Pengantar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS A. Kedudukan Direksi Sebagai Pengurus dalam PT Pengaturan mengenai direksi diatur dalam Bab VII dari Pasal 92 sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI MENGENAI PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN JUAL BELI

BAB II KAJIAN TEORI MENGENAI PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN JUAL BELI BAB II KAJIAN TEORI MENGENAI PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN JUAL BELI A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Dasar hukum mengenai perjanjan diatur dalam buku III KUHPerdata tentang perikatan. Didalam KUHPerdata

Lebih terperinci

Perbuatan Melanggar Hukum Oleh: Parwoto Wingjosumarto, SH*

Perbuatan Melanggar Hukum Oleh: Parwoto Wingjosumarto, SH* Perbuatan Melanggar Hukum Oleh: Parwoto Wingjosumarto, SH* Dalam arti Formil: Perbuatan melanggar hukum (PMH) adalah salah satu jenis kualifikasi gugatan dalam hukum perdata berdasarkan Rangkuman Jurisprudensi

Lebih terperinci

Rayhana S dan Abdul Salam. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok Abstrak

Rayhana S dan Abdul Salam. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok Abstrak Pertanggungjawaban atas Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Tubuh dan Jiwa Manusia dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus Putusan Nomor: 04/Pdt.G/2013/PN/Psr) Rayhana S dan Abdul Salam Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN APABILA TERJADI PEMBATALAN PERJANJIAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN APABILA TERJADI PEMBATALAN PERJANJIAN AKIBAT HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN APABILA TERJADI PEMBATALAN PERJANJIAN Oleh: Yulia Dewitasari Putu Tuni Cakabawa L. Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya adalah usaha jasa pencucian pakaian atau yang lebih dikenal dengan jasa laundry. Usaha ini banyak

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM DARI SEBUAH AKTA DI BAWAH TANGAN

KEKUATAN HUKUM DARI SEBUAH AKTA DI BAWAH TANGAN KEKUATAN HUKUM DARI SEBUAH AKTA DI BAWAH TANGAN Oleh : Avina Rismadewi Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Many contracts are in writing so as to make it

Lebih terperinci

KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI

KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI Harumi Chandraresmi (haharumi18@yahoo.com) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Pranoto (maspran7@gmail.com) Dosen Fakultas

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak

Lebih terperinci

Putu Krisna Yutatama dan Abdul Salam. Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat,

Putu Krisna Yutatama dan Abdul Salam. Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat, GANGGUAN (HINDER) TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI DASAR GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (STUDI KASUS : PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 1829/K/PDT/2010). Putu Krisna Yutatama dan Abdul Salam Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup dengan saling berdampingan satu dengan yang lainnya, saling membutuhkan dan saling

Lebih terperinci

PEMBATALAN PERJANJIAN MAATSCHAP YANG DIDIRIKAN TANPA JANGKA WAKTU DAN ATAS DASAR WANPRESTASI

PEMBATALAN PERJANJIAN MAATSCHAP YANG DIDIRIKAN TANPA JANGKA WAKTU DAN ATAS DASAR WANPRESTASI PEMBATALAN PERJANJIAN MAATSCHAP YANG DIDIRIKAN TANPA JANGKA WAKTU DAN ATAS DASAR WANPRESTASI Oleh : Ni Luh Putri Santika I G A A Ari Krisnawati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Lebih terperinci

BATALNYA PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN KARENA PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PT. SRIKANDI

BATALNYA PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN KARENA PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PT. SRIKANDI BATALNYA PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN KARENA PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PT. SRIKANDI Oleh : Ni Made Utami Jayanti I Nyoman Darmadha A.A. Sri Indrawati Bagian Hukum

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN BAKU DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI PERUSAHAAN ANGKUTAN DARAT PADA PT ARVIERA DENPASAR

PELAKSANAAN PERJANJIAN BAKU DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI PERUSAHAAN ANGKUTAN DARAT PADA PT ARVIERA DENPASAR PELAKSANAAN PERJANJIAN BAKU DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI PERUSAHAAN ANGKUTAN DARAT PADA PT ARVIERA DENPASAR Oleh: I Gusti Agung Lina Verawati Ngakan Ketut Dunia A.A Ketut Sukranatha Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum merupakan rangkaian peraturan mengenai tingkah laku manusia

BAB I PENDAHULUAN. Hukum merupakan rangkaian peraturan mengenai tingkah laku manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum merupakan rangkaian peraturan mengenai tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat yang memiliki sifat tegas dan memaksa. Hukum memiliki tujuan yaitu agar

Lebih terperinci

WANPRESTASI VERSUS PERBUATAN MELANGGAR HUKUM MENURUT BURGERLIJK WETBOEK

WANPRESTASI VERSUS PERBUATAN MELANGGAR HUKUM MENURUT BURGERLIJK WETBOEK MEDIA BISNIS ISSN: 2085-3106 Vol. 8, No. 1, Edisi Maret 2016, Hlm. 1-7 http: //www.tsm.ac.id/mb WANPRESTASI VERSUS PERBUATAN MELANGGAR HUKUM MENURUT BURGERLIJK WETBOEK NURTI WIDAYATI IAN NURPATRIA SURYAWAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

SAHNYA HIBAH DIBAWAH TANGAN BERDASARKAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO.335 PK/Pdt 1987 DI PENGADILAN NEGERI GIANYAR

SAHNYA HIBAH DIBAWAH TANGAN BERDASARKAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO.335 PK/Pdt 1987 DI PENGADILAN NEGERI GIANYAR SAHNYA HIBAH DIBAWAH TANGAN BERDASARKAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO.335 PK/Pdt 1987 DI PENGADILAN NEGERI GIANYAR Oleh : Putu Ayu Ratih Tribuana I Dewa Gde Rudy Bagian

Lebih terperinci

GUGAT PERDATA ATAS DASAR PENGHINAAN. Aulia Susantri Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (B )

GUGAT PERDATA ATAS DASAR PENGHINAAN. Aulia Susantri Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (B ) GUGAT PERDATA ATAS DASAR PENGHINAAN Aulia Susantri Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (B111 09 428) ABSTRAK (1) Untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atas dasar penghinaan, terlebih dahulu

Lebih terperinci

BAB III KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN

BAB III KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN BAB III KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN LIKUIDATOR SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 148 AYAT (2) UU PT 3.1. Kerugian Dalam Hukum Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perseroan Terbatas ( PT ) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

Lebih terperinci

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM (ONRECHTMATIGE DAAD) A. Sejarah dan Perkembangan Perbuatan Melawan Hukum

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM (ONRECHTMATIGE DAAD) A. Sejarah dan Perkembangan Perbuatan Melawan Hukum BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM (ONRECHTMATIGE DAAD) A. Sejarah dan Perkembangan Perbuatan Melawan Hukum Perkembangan sejarah hukum tentang perbuatan melawan hukum di negeri Belanda sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

DAFTAR REFERENSI. Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Cet.1. Bandung: Alumni, 1994.

DAFTAR REFERENSI. Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Cet.1. Bandung: Alumni, 1994. 107 DAFTAR REFERENSI Asshiddiqie, Jimly. Beberapa Pendekatan Ekonomi Dalam Hukum. Cet.1. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, 2003. Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Cet.1.

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung , 1993, Hukum Perdata Indonesia, Citra

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung , 1993, Hukum Perdata Indonesia, Citra DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, -------------------------------, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, -------------------------------, 2001,

Lebih terperinci

GANTI RUGI KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS AKIBAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM PENGEMUDI

GANTI RUGI KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS AKIBAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM PENGEMUDI GANTI RUGI KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS AKIBAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM PENGEMUDI ISKANDAR T / D 101 10 525 Abstrak Permasalahan lalu lintas jalan raya yang timbul dewasa ini khususnya pelanggaran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Didalam masyarakat yang sedang berkembang seperti sekarang ini, kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Didalam masyarakat yang sedang berkembang seperti sekarang ini, kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Didalam masyarakat yang sedang berkembang seperti sekarang ini, kebutuhan manusia akan semakin kompleks jika dibandingkan dengan kebutuhan manusia pada zaman dahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

ARTIKEL PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DARI PERUSAHAAN YANG MENGHILANGKAN IJAZAH MANTAN PEKERJA

ARTIKEL PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DARI PERUSAHAAN YANG MENGHILANGKAN IJAZAH MANTAN PEKERJA ARTIKEL PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DARI PERUSAHAAN YANG MENGHILANGKAN IJAZAH MANTAN PEKERJA Diajukan oleh : W. Fritz Giovanni Eldi Anggasta NPM : 100510276 Program Studi : Ilmu Hukum Program kekhususan :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan,

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENGADILAN (The Environmental Dispute Settlement Through Ligitation) Oleh : Cut Era Fitriyeni

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENGADILAN (The Environmental Dispute Settlement Through Ligitation) Oleh : Cut Era Fitriyeni PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENGADILAN (The Environmental Dispute Settlement Through Ligitation) Oleh : Cut Era Fitriyeni ABSTRACT Kata Kunci : Sengketa Lingkungan hidup, Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB KOPERASI SIMPAN PINJAM ATAS HILANGNYA SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN

TANGGUNG JAWAB KOPERASI SIMPAN PINJAM ATAS HILANGNYA SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN TANGGUNG JAWAB KOPERASI SIMPAN PINJAM ATAS HILANGNYA SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN Oleh : I Gusti Agung Manik Juliantari I Gusti Nyoman Agung I Nyoman Mudana Program

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017. TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017. TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2 TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep Perjanjian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Jual-Beli 1. Pengertian Jual Beli Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2 AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah akibat hukum yang timbul dari kelalaian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu persetujuan tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran

BAB I PENDAHULUAN. Suatu persetujuan tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Suatu persetujuan tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran dari suatu perhubungan antara kedua belah pihak. Seperti halnya dengan semua buah perbuatan manusia,

Lebih terperinci

PENGALIHAN HAK MILIK ATAS BENDA MELALUI PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA. Oleh : Deasy Soeikromo 1

PENGALIHAN HAK MILIK ATAS BENDA MELALUI PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA. Oleh : Deasy Soeikromo 1 PENGALIHAN HAK MILIK ATAS BENDA MELALUI PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Oleh : Deasy Soeikromo 1 A. PENDAHULUAN Jual beli bagi manusia sudah merupakan bagian dari aktivitas keseharian untuk memenuhi

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KURATOR DALAM MENJALANKAN TUGAS PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KURATOR DALAM MENJALANKAN TUGAS PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT 1 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KURATOR DALAM MENJALANKAN TUGAS PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT Oleh: I Made Darma Adi Putra Marwanto Ida Ayu Sukihana Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara) 0 TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB, KERUGIAN DAN PENGGUNA JALAN. tanggung jawab dapat dikelompokkan menjadi tiga dalam arti accountability,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB, KERUGIAN DAN PENGGUNA JALAN. tanggung jawab dapat dikelompokkan menjadi tiga dalam arti accountability, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB, KERUGIAN DAN PENGGUNA JALAN 2.1. Tanggung Jawab 2.1.1. Pengertian tanggung jawab Pengertian tanggung jawab sangat luas, menurut Peter Salim, pengertian tanggung

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan

Lebih terperinci