MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN"

Transkripsi

1 TTIINJJAUAN PPUSSTTAKA MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN Staf Pengajar Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat ABSTRACT The health policy analysis consists of knowledges which is part of the public health system. The application of health policy analysis is based on the cognitional process which provides information to resolve the complexity of the problem. In addition, the policy making is a political process. The substantive of health policy analysis consists of the understanding of health policy analysis, the formulation of policy problem, purpose, form, approach and the argument of policy. The understanding of the substantial policy analysis is expected to build a minded concept of public policy in the health stakeholders especially for practitioners and health academician. The portion of involment for practitioners and health academician in regions and more increase in the cognition process and the process of designing the health policy. It is accordance with the complexity of health problem and the application of health decentralization in Indonesian health development. Key words: Health policy, Public health system PENDAHULUAN Desentralisasi kesehatan yang dipraktekkan di Indonesia, dilandasi oleh UU No. 22, Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah; dan dirubah menjadi UU No. 32, tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah. Desentralisasi Kesehatan telah menyebabkan meningkatnya porsi kegiatan analisis kebijakan kesehatan pada tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Kewenangan desentralisasi kesehatan untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota, diatur dalam pasal 13 dan Pasal 14, UU No. 32, 2004, tentang Pemerintah daerah (Tim Redaksi Fokusmedia, 2004). Berdasarkan fenomena di atas, maka memahami analisis kebijakan kesehatan menjadi sangat krusial di kalangan stakeholder kesehatan di Indonesia, khususnya untuk para praktisi dan akademisi kesehatan di daerah, selaras meningkatnya kompleksitas masalah kesehatan; dan adanya perubahan tingkat kewenangan dalam pembangunan sektor kesehatan, yaitu dari pendekatan sentralisasi menjadi pendekatan desentralisasi kesehatan. Pemahaman analisis kebijakan kesehatan yang mendalam dan komprehensif, diharapkan dapat memberi input untuk melahirkan kebijakan kesehatan yang mampu mencegah dan mengatasi kompleksitas masalah kesehatan dalam pelaksanaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang di era desentralisasi kesehatan. PENGERTIAN Analisis kebijakan kesehatan, terdiri dari 3 kata yang mengandung arti dan dimensi yang luas, yaitu analisa atau analisis, kebijakan, dan kesehatan. Analisa atau analisis, adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (seperti karangan, perbuatan, kejadian atau peristiwa) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab atau duduk perkaranya (KBBI, 1991). Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksaan suatu pekerjaan kepemimpinan, 135

2 dan cara bertindak (tentang organisasi, atau pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen/administrasi dalam usaha mencapai sasaran tertentu. Contoh: kebijakan kebudayaan, adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar rencana atau aktivitas suatu negaara untuk mengembangkan kebudayaan bangsanya. Kebijakan Kependudukan adalah konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi pertumbuhan penduduk dan dinamika penduduk dalam negaranya (KBBI, 1991). Kebijakan berbeda makna dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan (KBBI, 1991), adalah kepandaian seseorang menggunakan akal budinya (berdasar pengalaman dan pengetahuannya); atau kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan. Menurut UU RI No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Pengertian ini cenderung tidak berbeda dengan yang dikembangkan oleh WHO, yaitu: kesehatan adalah suatu keadaan yang sempurna yang mencakup fisik, mental, kesejahteraan, dan bukan hanya terbebasnya dari penyakit atau kecacatan. Kebijakan negara, adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh rakyat (Lasswel, 1970). Menurut Islamy (1988) yang mengutip glossary administrasi negara, arti kebijakan negara adalah: (a) Susunan rancangan tujuan dan dasar pertimbangan program pemerintah yang berhubungan dengan masalah tertentu yang dihadapi masyarakat; (b) Apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan; dan (c) masalah yang kompleks yang dinyatakan dan dipecahkan oleh pemerintah. Pengertian kebijakan negara di atas mempunyai implikasi, yaitu: (a) kebijakan negara bentuknya berupa penetapan tindakan pemerintah; (b) Kebijakan tidak cukup hanya dinyatakan tetapi harus dilaksanakan dalam bentuk yang nyata; (c) Kebijakan negara baik dilaksanakan atau tidak, hal ini dilandasi dengan maksud tujuan tertentu; (d) Kebijakan negara harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh masyarakat. Hal yang perlu ditegaskan adalah tugas administrator publik bukan membuat kebijakan negara atas nama kepentingan publik, tetapi benar-benar bertujuan untuk mengatasi masalah dan memenuhi keinginan serta tuntutan seluruh masyarakat (Islamy, 1988). Analisis kebijakan negara, adalah penggunaan berbagai metode analisis dari beragam ilmu pengetahuan untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan publik, dalam bentuk rekomendasi (Dunn, 1988). Penggunaan beragam metode analisis dari beragam ilmu pengetahuan, menyebabkan munculnya istilah lain yang dapat dikategorikan sebagai metode analisis kebijakan negara, antara lain: (1) operation research, (2) cost effectiveness analysis, (3) system analysis, (4) management analysis, (5) cost benefit analysis, (6) decision analysis, (7) berbasis program komputer: linier programming, operational gamming, atau computer simulaton (Moekijat, 1995; dan Islamy, 1988). Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pengertian Analisis Kebijakan Negara Bidang Kesehatan, yaitu: Penggunaan metode analisis dari beragam ilmu pengetahuan yang menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik bidang kesehatan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan publik bidang kesehatan. PERUMUSAN MASALAH KEBIJAKAN Masalah kebijakan publik adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum terpenuhi, tetapi dapat diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan publik. Tingkat kepelikan/kompleksitas masalah tergantung pada nilai dan kebutuhan apa yang dipandang paling penting oleh publik. Beberapa karakteristik atau ciri utama masalah kebijakan dapat dirumuskan dari pendapat para ahli (Topatimasang dkk., 2000; Dunn, 1998; Syamsi, 1986), yaitu: 136

3 a. Interdependensi (saling tergantung), yaitu: masalah kebijakan dalam suatu bidang (misalnya, energi listrik) mempengaruhi masalah kebijakan lainnya (misalnya, perawatan kesehatan). Kondisi ini menunjukkan adanya sistem masalah, yang membutuhkan pendekatan holistik, yaitu pendekatan yang memandang satu masalah sebagai bagian dari keseluruhan masalah. b. Subjektif, yaitu suatu kondisi eksternal yang dianalisis dengan menggunakan pendekatan atau disiplin ilmu tertentu, sehingga menghasilkan kesimpulan mengenai kondisi tersebut. Selanjutnya data informasi itu ditafsirkan dengan menggunakan berbagai pendekatan atau ilmu pengetahuan yang berbeda, sehingga menimbulkan kesimpulan lainnya yang berbeda. Contoh, analisis kondisi ekonomi masyarakat di suatu daerah menghasilkan ukuran tingkat pendapatan rata-rata per bulan/kk (misalnya) Rp /bulan. Tingkat penghasilan ini dinyatakan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang utama sehari-hari pada 1 keluarga (4 orang). Kondisi ekonomi ini, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan ilmu kesehatan; dan menghasilkan tafsiran, seperti rendahnya kemampuan membayar pelayanan kesehatan, atau besarnya peluang gangguan gizi. Dalam kasus ini yang dinyatakan sebagai masalah (objektif) adalah: tingkat pendekatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup, ketika masalah ekonomi ini dikaitkan dengan kesehatan yang memunculkan masalah kesehatan, maka keterkaitkan itu disebut dengan situasi problematis. Setiap masalah merupakan elemen dari situasi problematik. Masalah kebijakannya (subjektif) muncul ketika manusia memikirkan dan bertindak untuk mencari jalan keluar terhadap masalah dan situasi problematis tersebut. c. Artifisial (buatan) yaitu: masalah kebijakan hanya mungkin ada jika manusia mempertimbangkan perlunya merubah situasi problematik. Masalah kebijakan pada dasarnya merupakan buah pandangan subjektif manusia yang terkait dengan kondisi sosial yang objektif. d. Dinamis, yaitu masalah dan pemecahannya berada pada suasana perubahan yang terus menerus. Pemecahan masalah justru dapat memunculkan masalah baru, yang membutuhkan pemecahan masalah lanjutan. e. Tidak terduga, yaitu masalah yang muncul di luar jangkauan kebijakan dan sistem masalah kebijakan (Dunn, 1998). Prasyarat perumusan masalah kebijakan adalah pengakuan atau dirasakannya keberadaan suatu Situasi Masalah Kebijakan. Perumusan masalah kebijakan dapat dipandang sebagai proses dengan 4 fase yang saling tergantung, yaitu: a. Pencarian masalah atau problem search. Masalah kebijakan harus dicari dari berbagai pelaku kebijakan. Biasanya, para analis akan menjumpai formulasiformulasi masalah yang saling terkait dan bersaing secara dinamis, yang terbentuk dari oleh situasi sosial, dan terdistribusi pada seluruh proses pembuatan kebijakan. Kondisi yang dihadapi oleh analis ini disebut dengan Meta Problem (kompleksitas masalah). Selanjutnya, analis harus menetapkan mana yang menjadi masalah substantif (masalah pokok yang menjadi pusat perhatian). Contoh: krisis nasional (meta problem atau situasi problematik) sektor ekonomi dan moneter diikuti oleh krisis politik, telah menyebabkan terjadi krisis kesehatan masyarakat. Pilihan masalah substantif adalah bidang kesehatan, yang didukung oleh fakta menurunnya status kesehatan masyarakat secara drastis. b. Pendefinisian masalah atau problem definition. Meta masalah harus didefinisikan dengan jelas untuk mengetahui keterkaitan satu masalah dengan masalah lainnya, dan untuk mempermudah penemuan masalah substantif. Selanjutnya, masalah substantif harus didefinisikan secara mendasar dan umum. Contoh, apakah fenomena itu merupakan masalah kesehatan, jika ya, maka masalah tersebut harus dikonsepkan dan didefinisikan dengan jelas dan memperlakukannya dalam ketentuan faktor-faktor kesehatan. Contoh: Krisis ekonomi, moneter dan politik (meta problem) harus didefinisikan dengan 137

4 jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, krisis kesehatan (substantif) sebagai akibat dari meta problem, harus didefinisikan menurut ukuran kesehatan. Misalnya, menurunnya status kesehatan masyarakat ditandai oleh meningkatnya jumlah anak-anak dengan status gizi buruk sekian persen. c. Spesifikasi masalah atau problem specification. Jika masalah substantif sudah didefinisikan, maka masalah yang lebih rinci dan spesifik dapat dirumuskan; dan menghasilkan masalah formal. Rumusan masalah formal ini yang akan menjadi pusat perhatian analis. Contoh, Masalah formal bidang kesehatan sektor Gizi pada situasi krisis nasional, yang meliputi sediaan bahan pangan, daya beli masyarakat, program pelayanan gizi di sarana pelayanan kesehatan. d. Pengenalan masalah atau problem sensing. Masalah formal harus disampaikan kepada para pelaku kebijakan, untuk mendapat umpan balik, yaitu apakah sesuatu itu sudah benarbenar menjadi masalah kebijakan. Jika para pelaku kebijakan menyatakan bahwa masalah formal tersebut benarbenar dapat menjadi masalah kebijakan; maka seorang analis dapat melanjutkan tugasnya untuk melakukan analisis dengan benar, dalam rangka menghasilkan informasi dan argumen sebagai input pembuatan kebijakan publik sektor kesehatan (Dunn, 1998; Moekijat, 1995). Analis harus mampu untuk merumuskan masalah kebijakan dengan benar, yaitu merumuskan masalah substantif dan masalah formal yang sesuai dengan kondisi masalah yang sebenarnya. TUJUAN Secara umum tujuan analisis kebijakan negara adalah: menyediakan informasi untuk para pengambilan kebijakan yang digunakan sebagai pedoman pemecahan masalah kebijakan secara praktis. Tujuan analisa kebijakan juga meliputi evaluasi kebijakan dan anjuran kebijakan (Dunn, 1988). Selaras tujuan di atas, dapat disimpulkan analisis kebijakan tidak hanya sekedar menghasilkan fakta, tetapi juga menghasilkan informasi mengenai nilai dan arah tindakan yang lebih baik. BENTUK ANALISIS KEBIJAKAN Analisis kebijakan terdiri dari beberapa bentuk, yang dapat dipilih dan digunakan. Pilihan bentuk analisis yang tepat, menghendaki pemahaman masalah secara mendalam, sebab kondisi masalah yang cenderung menentukan bentuk analisis yang digunakan. Berdasarkan pendapat para ahli (Dunn, 1988; Moekijat, 1995; Wahab, 1999), dapat diketahui bentuk analisis kebijakan, yang terdriri darai 3 kategori berdasarkan periode waktu, yaitu: 1. Analisis Kebijakan Prospektif. Bentuk analisis ini berupa penciptaan dan pemindahan informasi sebelum tindakan kebijakan ditentukan dan dilaksanakan. Ciri analisis adalah: (a) Mengabungkan informasi dari berbagai alternatif yang tersedia yang dapat dipilih dan dibandingkan; (b) Diramalkan secara kuantitatif dan kualitatif untuk pedoman pembuatan keputusan kebijakan; dan (c) Secara konseptual tidak termasuk pengumpulan informasi. 2. Analisis Kebijakan Retrospektif (AKR). Tujuan bentuk analisis adalah penciptaan dan pemindahan informasi setelah tindakan kebijakan diambil. Beberapa analisis kebijakan retrospektif, adalah: a. Analisis berorientasi disiplin, lebih terfokus pada pengembangan dan pengujian teori dasar dalam disiplin keilmuan, dan menjelaskan sebab akibat kebijakan. Contoh: Upaya pencarian teori dan konsep kebutuhan serta kepuasan tenaga kesehatan di Indonesia, dapat memberi kontribusi pada pengembangan manajemen SDM berciri Indonesia (kultural). Orientasi pada tujuan dan sasaran kebijakan tidak terlalu dominan. Dengan demikian, jika ditetapkan untuk dasar kebijakan memerlukan kajian tambahan agar lebih operasional. b. Analisis berorientasi masalah, menitikberatkan pada aspek 138

5 hubungan kebijakan, bersifat terapan, namun masih bersifat umum. Contoh: Pendidikan dapat meningkatkan cakupan layanan kesehatan. Orientasi tujuan bersifat umum, namun dapat memberi variabel kebijakan yang mungkin dapat dimanipulasikan untuk mencapai sasaran yang khusus, seperi meningkatkan kualitas kesehatan anak sekolah secara umum dan kesehatan gigi melalui program UKS/UKGS oleh puskesmas. c. Analisis berorientasi terapan, menjelaskan hubungan kausal, lebih tajam untuk mengindentifikasi tujuan dan sasaran dari kebijakan dan para pelakunya. Informasi yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil kebijakan khusus, merumuskan masalah kebijakan, membangun alternatif kebijakan yang baru, dan mengarah pada pemecahan masalah praktis. Contoh: analisis dapat memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pelayanan KIA di puskesmas. Informasi dapat digunakan sebagai dasar pemecahan masalah kebijakan KIA di puskesmas. 3. Analisis Kebijakan Terpadu. Bentuk analisis ini bersifat konprehensif dan kontinyu, menghasilkan dan memindahkan informasi gabungan baik sebelum maupun sesudah tindakan kebijakan dilakukan. Menggabungkan bentuk prospektif dan retrospektif, serta secara ajeg menghasilkan informasi dari waktu ke waktu dan bersifat multidispliner. Bentuk analisis kebijakan di atas, menghasilkan jenis keputusan yang berbeda, bila ditinjau dari pendekatan teori keputusan, yaitu: a. Teori Keputusan Deskriptif, bagian dari analisis retrospektif, mendeskripsikan tindakan dengan fokus menjelaskan hubungan kausal tindakan kebijakan, setelah kebijakan terjadi. Tujuan utama keputusan adalah memahami problem kebijakan dan kurang kurang pada usaha pemecahan masalah. b. Teori Keputusan Normatif, memberi dasar untuk memperbaiki akibat tindakan, menjadi bagian dari metode prospektif (peramalan atau rekomendasi), lebih ditujukan pada usaha pemecahan masalah yang bersifat praktis dan langsung. PENDEKATAN ANALISIS KEBIJAKAN Upaya untuk menghasilkan informasi dan argumen, dapat menggunakan beberapa pendekatan, yaitu: pendekatan empiris, evaluatif, normatif (Dunn, 1988); yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pendekatan Empiris, memusatkan perhatian pada tujuan menjelaskan sebab dan akibat dari kebijakan publik. Contoh, analisis dapat menjelaskan sebab akibat dari pelaksanaan belanja negara untuk sektor kesehatan dalam suatu periode tertentu; dan meramalkan pembelanjaan di masa depan serta akibat yang ditimbulkannya. Modus atau prosedur kerja analisis, untuk menghasilkan informasi dan argumennya, dapat dilakukan melalui 4 tahapan: (1) perumusan masalah, (2) peliputan atau monitoring, (3) pembahasan, (4) peramalan, sebagai hasil akhir kegiatan analisis. 2. Pendekatan evaluatif, memusatkan perhatian pada tujuan menemukan nilai dari berbagai kebijakan publik yang dilaksanakan. Contoh: setelah menerima informasi tentang pelaksanaan program KIA-KB, analis dapat mengevaluasi pelaksanaan program tersebut; dan analis dapat merumuskan atau memilih cara yang terbaik untuk mendistribusikan biaya, alat, atau obatobatan dalam program KB, sesuai etika dan konsekuensinya. Penekanan pada pendekatan evaluatif, adalah tersusunnya prioritas model atau prosedur terbaik dari beragam input dengan pertimbangan plus-minus jika dibuat kebijakan. Modus atau prosedur kerja analisis, untuk menghasilkan informasi dan argumennya, dapat dilakukan melalui 5 tahapan, yaitu: (1) perumusan masalah, (2) peliputan/monitoring, (3) pembahasan, (4) peramalan, (5) dan rekomendasi. 3. Pendekatan Anjuran memusatkan perhatian pada tujuan mengusulkan 139

6 tindakan apa yang semestinya dilakukan. Inti pendekatan normatif adalah pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah. Contoh: peningkatan pembayaran pasien puskesmas,dari Rp. 300 menjadi Rp. 1000, merupakan jawaban untuk mengatasi rendahnya kualitas pelayanan di puskesmas. Peningkatan ini tidak memberatkan dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Penekanan pada pendekatan normatif adalah anjuran yang semestinya dilakukan. Prosedur kerja analisis, untuk menghasilkan informasi dan argumennya, dapat dilakukan melalui 6 tahapan, yaitu: (1) perumusan masalah, (2) peliputan atau monitoring, (3) peramalan, (4) pembahasan, (5) rekomendasi, dan (6) penyimpulan praktis. Penyimpulan praktis, ditujukan untuk mencapai kesimpulan yang lebih atau sangat dekat agar masalah kebijakan dapat dipecahkan. Kata praktis, lebih ditekankan pada dekatnya hubungan kesimpulan yang diambil dengan nilai dan norma sosial atau masalah kebijakan yang akan ditangulangi. Pengertian ini lebih ditujukan untuk menjawab kesalahpahaman mengenai makna Rekomendasi yang sering diartikan pada informasi yang kurang operasional atau kurang praktis, masih relatif jauh dari fenomena yang sesungguhnya. ARGUMEN KEBIJAKAN Informasi merupakan kata kunci dalam kegiatan analisis kebijakan, sebab untuk menghasilkan informasi yang relevan dengan masalah dan solusi kebijakan publik, maka kegiatan analisis kebijakan itu dilakukan. Unsur penting dalam informasi yang dihasilkan dari kegiatan analisis kebijakan adalah, Argumen atau alasan yang digunakan. Kata argumen mendapat perhatian khusus, untuk menghindari suatu usulan yang tidak benar, tidak berdasar, atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Dunn (1988) Argumen kebijakan meliputi 6 elemen penting, yaitu: 1. Informasi yang relevan dengan kebijakan; dihasilkan oleh penggunaan metode analisis yang dipakai oleh analis. Contoh: Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) oleh Puskesmas Sangat Efektif untuk mengurangi kasus gizi buruk pada balita. Informasi ini dapat diarahkan menjadi Tuntutan Kebijakan, tetapi harus melalui proses persyaratan atau kualifikasi, yang meliputi aspek pembenaran, dukungan, dan bantahan. 2. Persyaratan, merupakan proses pertimbangan apakah Informasi yang relevan akan diteruskan menjadi tuntutan kebijakan. Secara ringkas, dapat disebutkan, pada fase ini terjadi pergulatan antara pembenaran dan dukungan versus bantahan. Seorang analisi harus mengperhitungkan dengan cermat dan logis aspek pembenaran, dukungan, dan bantahan. Ketika analis yakin pada pembenaran dan dukungan yang leboih kuiat dan benar, maka tuntutan dapat dilakukan. Sebagai catatan: dalam banyak pembuatan kebijakan, bantahan acapkali muncul tidak saja pada tahap analisis kebijakan, tetapi juga pada tahap pengambilan keputusan kebijakan publik. 3. Pembenaran, merupakan sekumpulan fakta yang dapat menunjukkan benarnya informasi yang relevan dengan kebijakan dan menjadi pendorong munculnya tuntutan kebijakan. Contoh: Tersedianya fakta bahwa PMT secara umum mampu mengurangi tingkat rata-rata 50% kasus gizi buruk pada balita secara nasional; dan ada perkiraan atau asumsi tentang tingginya efektivitas Program PMT dalam menurunkan kasus gizi buruk pada balita, jika PMT dikembangkan. 4. Dukungan, merupakan sekumpulan alasan tambahan yang berasal dari berbagai sumber (seperti aspek hukum, pendapat para ahli, teori, hasil penelitian, norma masyarakat, agama, dll) yang berfungsi sebagai faktor penguat pembenaran. 5. Bantahan, merupakan sekumpulan informasi berupa fakta, asumsi, pendapat para, ketentuan hukum, teori, norma asyarakat, agama, dan lain-lain (Note: nama komponen atau variabelnya sama dengan komponen pembenaran dan dukungan, tetapi dalam dimensi yang berlawanan); yang berfungsi memperlemah atau menolak Tuntutan Kebijakan. 140

7 6. Tuntutan Kebijakan; merupakan kesimpulan dari argumen kebijakan, setelah Informasi yang relevan mendapat ujian dalam proses persyaratan atau kualifikasi, yang meliputi aspek pembenaran, dukungan, dan bantahan. Jika informasi yang relevan dengan kebijakan sudah teruji, dan analis yakin dengan informasi tersebut, maka informasi yang relevan dapat diarahkan menjadi Tuntutan Kebijakan; atau diusulkkan pada pembuat kebijakan publik untuk diproses pada tingkat politik menjadi kebijakan publik. Contoh Tuntutan: Pemerintah harus mengembangkan program PMT di Puskesmas, dengan meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga, variasi dan pengolahan makanan, waktu pemberian, sistem pengawasan atau monitoring, dan peningkatan biaya operasional. Berdasarkan struktur argumen di atas, dapat diketahui bahwa seorang analis kebijakan dapat menempuh langkah yang benar, dengan memanfaatkan informasi dan berbagai metode menuju kepada pemecahan masalah kebijakan; dan tidak sekedar membenarkan alternatif kebijakan yang disukai (misalnya oleh pemerintah); tetapi tingkat bantahan jauh lebih banyak dan logis dibanding pembenaran dan dukungan. PENUTUP Manfaat terbesar memahami analisis kebijakan kesehatan adalah terbentuknya kerangka berfikir (Frame of reference) tentang dinamika kebijakan kesehatan, yang menjadi dasar pelaksanaan pembangunan kesehatan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Setiap stakeholders kesehatan, terutama para praktisi dan akademisi kesehatan, diharapkan memiliki kerangka berpikir yang komprehensif tentang analisis kebijakan, sehingga mampu mengikuti perkembangan situasional pembangunan kesehatan yang sangat kompleks. Pemahaman analisis kebijakan yang komprehensif dan mendalam, cenderung dapat membantu melahirkan kebijakan kesehatan yang dapat mencegah dan mengatasi kompleksitas masalah kesehatan. Tuntutan cenderung semakin meningkat pada praktisi dan akademisi kesehatan di daerah untuk memahami analisis kebijakan kesehatan, selaras diberlakukannya pendekatan desentralisasi kesehatan sebagai salah satu landasan pembangunan kesehatan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Dun WN, 1998, Analisis Kebijakan Publik, Penerjemah Wibawa S, dkk, Gadjah Mada University Press, Jogyakarta. Islamy MI, 1988, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bina Aksara, Jakarta Lasswell HD,1971, A Preview of Policy Sciences, American Elsevier Publishing Co, New York. Moekijat, 1995, Analisis Kebijaksanaan Publik, Mandar Maju, Bandung. Syamsy I, 1986, Pokok-Pokok Kebijaksanaan, Perencanaan, Pemrograman, Dan Penganggaran Pembangunan Tingkat Nasional dan Regional, Rajawali, Jakarta. Tim Redaksi Fokus Media, 2004, Undang- Undang Otonomi Daerah, Fokus Media, Bandung. Topatimasang R, Fakih F, Raharjo T, 2000, Merubah Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Jogyakarta. Wahab SA, 1991, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. 141

Dasar Dasar Analisis Kebijaksanaan Kesehatan SURYA UTAMA. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara 1. PENDAHULUAN

Dasar Dasar Analisis Kebijaksanaan Kesehatan SURYA UTAMA. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara 1. PENDAHULUAN Dasar Dasar Analisis Kebijaksanaan Kesehatan SURYA UTAMA Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara 1. PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Analisis Kebijakan Kesehatan, terdiri dari 3 kata yang mengandung

Lebih terperinci

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR I. Pendahuluan Banyaknya kebijakan yang tidak sinkron, tumpang tindih serta overlapping masih jadi permasalahan negara ini yang entah sampai kapan bisa diatasi. Dan ketika

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN Tujuan Instruksional Umum 0 Membahas tentang ilmu kebijakan dan manajemen yang diterapkan di sektor kesehatan Reference 0 Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009

Lebih terperinci

D I S U S U N O L E H : I D A Y U S T I N A

D I S U S U N O L E H : I D A Y U S T I N A KEBIJAK AN DAN MANA JEMEN PEL AYANAN KESEHATAN D I S U S U N O L E H : I D A Y U S T I N A TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Membahas tentang ilmu kebijakan dan manajemen yang diterapkan di sektor kesehatan REFERENCE

Lebih terperinci

Kuliah-1 KONSEP DASAR ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK. 3/7/2016 Marlan Hutahaean

Kuliah-1 KONSEP DASAR ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK. 3/7/2016 Marlan Hutahaean Kuliah-1 KONSEP DASAR ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK 1 KNOWLEDGE POLICY - ACTION SCIENTIFIC RESEARCH SCIENTIFIC INFORMATION POLICY ANALYSIS POLICY ACTION POLICY INFORMATION 2 Rational Policy Making Process

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi yang memberikan kebebasan dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi yang memberikan kebebasan dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia menganut asas desentralisasi yang memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan melalui Otonomi Daerah.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK. Mada Sutapa *) Abstract

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK. Mada Sutapa *) Abstract KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK Mada Sutapa *) Abstract In the context of public goods, education is publicly owned goods and services, which the public has a right to get education

Lebih terperinci

Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan

Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan Kuliah 4 Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan 1 Pengantar Hubungan antara komponen-komponen informasi yang relevan dengan kebijakan dan metode-metode analisis kebijakan memberikan landasan untuk membedakan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK Mada Sutapa *) Abstract In the context of public goods, education is publicly owned goods and services, which the public has a right to get education

Lebih terperinci

Outline 0 PENDAHULUAN 0 TAHAPAN PENGEMBANGAN MODEL 0 SISTEM ASUMSI 0 PENDEKATAN SISTEM

Outline 0 PENDAHULUAN 0 TAHAPAN PENGEMBANGAN MODEL 0 SISTEM ASUMSI 0 PENDEKATAN SISTEM Outline 0 PENDAHULUAN 0 TAHAPAN PENGEMBANGAN MODEL 0 SISTEM ASUMSI 0 PENDEKATAN SISTEM Pendahuluan 0 Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting

Lebih terperinci

Perumusan Masalah Dalam Analisis Kebijakan : Lanjutan

Perumusan Masalah Dalam Analisis Kebijakan : Lanjutan Kuliah 5 Perumusan Masalah Dalam Analisis Kebijakan : Lanjutan 1 Pendahuluan Syarat untuk memecahkan masalah yang rumit tidak sama dengan syarat untuk memecahkan masalah yang sederhana. Masalah yang sederhana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi saat ini telah menghantarkan bangsa Indonesia memasuki suasana kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah perbaikan

Lebih terperinci

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG Rifka S. Akibu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari organisasi tingkat atas kepada tingkat bawahnya

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK PROGRAM MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK UNIVERSITAS GADJAH MADA INSTITUT ILMU PEMERINTAHAN Jakarta KEBIJAKAN PUBLIK Hubungan antara unit-unit pemerintah dengan lingkungannya (Anderson)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada awal abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Proses Pengambilan Keputusan mengungkapkan bahwa analisis didefinisikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Proses Pengambilan Keputusan mengungkapkan bahwa analisis didefinisikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Kebijakan 2.1.1 Pengertian Analisis Bernadus Luankali dalam bukunya Analisis Kebijakan Publik dalam Proses Pengambilan Keputusan mengungkapkan bahwa analisis didefinisikan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PUBLIK Kuliah 4

KEBIJAKAN PUBLIK Kuliah 4 KEBIJAKAN PUBLIK Kuliah 4 Perumusan Kebijakan 1. Perumusan Kebijakan 2. Penyusunan Agenda Kebijakan 3. Perumusan Usulan Kebijakan 4. Tahap-tahap dalam Perumusan Kebijakan Bahan Bacaan: Agustino: 113, Islamy:

Lebih terperinci

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011 DINAMIKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH HUBUNGANNYA DENGAN PENETAPAN KEBIJAKAN STRATEGIS Oleh: Prof. Dr. Deden Mulyana, SE.,M.Si. Disampaikan Pada Focus Group Discussion Kantor Litbang I. Pendahuluan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja pemerintah merupakan salah satu isu yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja pemerintah merupakan salah satu isu yang terdapat dalam 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, manfaat penelitian, proses penelitian, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam satu dekade terakhir ini, bangsa Indonesia sedang berupaya memperbaiki kinerja pemerintahannya melalui berbagai agenda reformasi birokrasi dalam berbagai sektor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perhatian terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam proses pembangunan terus berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan

Lebih terperinci

Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat Permasalahan muncul ketika banyak

Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat Permasalahan muncul ketika banyak Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat Permasalahan muncul ketika banyak model telah terbentuk. Banyak model yang tersedia yang

Lebih terperinci

II. Kajian Teoritis 2.1. Manajemen Sumber Daya Manusia.

II. Kajian Teoritis 2.1. Manajemen Sumber Daya Manusia. II. Kajian Teoritis 2.1. Manajemen Sumber Daya Manusia. Manajemen sumber daya manusia berkaitan dengan penggunaan secara efektif sumber daya manusia dalam mencapai tujuan organisasi dan meningkatkan harkat

Lebih terperinci

GARIS-GARIS BESAR POKOK PERKULIAHAN/SILLABUS

GARIS-GARIS BESAR POKOK PERKULIAHAN/SILLABUS GARIS-GARIS BESAR POKOK PERKULIAHAN/SILLABUS Mata Kuliah : Publik Dosen Pengampu Penguji : Dr. Marlan Hutahaean, M.Si. Kode Mata Kuliah : B330936 Mata Kuliah Pendukung : Pengantar Ilmu Adm. Negara, Publik

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK DIKLAT TEHNIK DAN MANAJEMEN KEBIJAKAN PUBLIK

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK DIKLAT TEHNIK DAN MANAJEMEN KEBIJAKAN PUBLIK ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK DIKLAT TEHNIK DAN MANAJEMEN KEBIJAKAN PUBLIK Jakarta, 18 November - 3 Desember 1998 KEBIJAKAN PUBLIK Hubungan antara unit-unit pemerintah dengan lingkungannya (Anderson) Apa yang

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian deskriptifkualitatif,

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian deskriptifkualitatif, BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Metode untuk penyusunan perencanaan partisipatif berbasis kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian deskriptifkualitatif, yaitu suatu metode

Lebih terperinci

TEORI AKUNTANSI PENGERTIAN TEORI AKUNTANSI

TEORI AKUNTANSI PENGERTIAN TEORI AKUNTANSI TEORI AKUNTANSI PENGERTIAN TEORI AKUNTANSI DISUSUN OLEH : TARADIPA NUR ANGGRAENI (12 312 232) JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2014 / 2015 Akuntansi yang dipraktikan di suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi 2.1.1 Pengertian Evaluasi Evaluasi adalah suatu proses yang teratur dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolak ukur atau kriteria yang telah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan industri yang bergantung pada kepuasan pelanggan atau konsumen,

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan industri yang bergantung pada kepuasan pelanggan atau konsumen, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep mutu telah menjadi suatu kenyataan dan fenomena dalam seluruh aspek dan dinamika masyarakat global memasuki persaingan pasar bebas dewasa ini. Jika sebelumnya

Lebih terperinci

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : )

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) PERAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN (SIM) DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN Anastasia Lipursari Dosen Tetap ASM Semarang Abstrak Sistem informasi mutlak diperlukan dalam pengambilan keputusan yang logis sehingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa perangkat pemerintahan daerah dengan kewenangan-kewenangan otonominya harus mampu menyediakan pelayanan

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya 1. Pendahuluan - Pengantar - Tujuan - Definisi 2. Perencanaan

Lebih terperinci

KINERJA ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA. Frian Gar. Andea

KINERJA ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA. Frian Gar. Andea KINERJA ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA Frian Gar. Andea PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan adanya Otonomi dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Dubnick (2005), akuntabilitas publik secara tradisional dipahami sebagai alat yang digunakan untuk mengawasi dan mengarahkan perilaku administrasi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan

BAB I PENDAHULUAN. suatu upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah sakit adalah salah satu organisasi sektor publik yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa kesehatan yang mempunyai tugas melaksanakan suatu upaya kesehatan

Lebih terperinci

!"#!$%!&'&()!(*!!(!(''&!!*!)+,!-!'./

!#!$%!&'&()!(*!!(!(''&!!*!)+,!-!'./ !"#!$%!&'&()!(*!!(!(''&!!*!)+,!-!'./ 0!"10!" 223!$&, ''!" 3'!$!!3!$ 0!!*!)!-!'.4/ 0!"1 0!"2235!$&''!"!!! 20!) 63)& '!6(! 3!'&3! 3'!$ ''!"!"! 3&*! 3'!$!!'!3! 3'!$ 3'!$!!3!$ 327* 0! 3'!$!!3!$! &6!'2'!8 ""!'#

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang didasarkan kepada Undang-Undang. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Derah, menekankan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang didasarkan kepada Undang-Undang. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Derah, menekankan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah yang didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Derah, menekankan adanya perubahan prinsip di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dipenuhi oleh kota-kota yang sedang berkembang. Salah satu fungsi

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dipenuhi oleh kota-kota yang sedang berkembang. Salah satu fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan pendudukan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi berkembangnya suatu perkotaan. Kecenderungan meningkatnya jumlah penduduk di daerah perkotaan disebabkan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 telah menimbulkan tuntutan yang

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 telah menimbulkan tuntutan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan sistem politik, sosial, dan kemasyarakatan serta ekonomi yang terjadi di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 telah menimbulkan tuntutan yang beragam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penataan SDM perlu terus diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan

BAB I PENDAHULUAN. Penataan SDM perlu terus diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan masalah mendasar yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional. Penataan SDM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengurusan maupun pengelolaan pemerintahan daerah, termasuk didalamnya pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

BAB I PENDAHULUAN. Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), menyebutkan bahwa RPJMD merupakan rencana pembangunan suatu daerah untuk jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas tentang latar belakang dari dilakukan penelitian ini,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas tentang latar belakang dari dilakukan penelitian ini, BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas tentang latar belakang dari dilakukan penelitian ini, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi dari penelitian ini dan kontribusi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggaran merupakan suatu rencana jangka pendek yang disusun berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. anggaran merupakan suatu rencana jangka pendek yang disusun berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran merupakan salah satu bagian dari proses pengendalian manajemen yang berisi rencana tahunan yang dinyatakan secara kuantitatif, diukur dalam satuan moneter.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

MAKALAH AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK JENIS JENIS ANGGARAN SEKTOR PUBLIK

MAKALAH AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK JENIS JENIS ANGGARAN SEKTOR PUBLIK MAKALAH AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK JENIS JENIS ANGGARAN SEKTOR PUBLIK Oleh : Erinta Tria Yulianda Akuntansi 4 B 201410170311101 PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N 19 BAB I P E N D A H U L U A N 1.1.Latar Belakang Penyelenggaraan Otonomi Daerah sebagaimana telah diamanatkan secara jelas di dalam Undang-Undang Dasar 1945, ditujukan untuk menata Sistem Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang-orang yang terdapat dalam instansi tersebut. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. orang-orang yang terdapat dalam instansi tersebut. Oleh karena itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu instansi didirikan karena mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Dalam mencapai tujuannya setiap instansi dipengaruhi oleh perilaku dan sikap orang-orang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi di beberapa daerah kota/kabupaten di Indonesia diharapkan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi di beberapa daerah kota/kabupaten di Indonesia diharapkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan otonomi di beberapa daerah kota/kabupaten di Indonesia diharapkan menghasilkan hasil yang baik dalam bidang apapun. Sehubungan dengan fungsi organisasi sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan akan adanya perubahan pada organisasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan akan adanya perubahan pada organisasi sektor publik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuntutan akan adanya perubahan pada organisasi sektor publik yang selama ini digambarkan tidak produktif, tidak efisien, selalu rugi, rendah kualitas, kurang inovatif,

Lebih terperinci

ANALISA & PERANCANGAN SISTEM

ANALISA & PERANCANGAN SISTEM ANALISA & PERANCANGAN SISTEM Pengembangan Sistem Informasi Mulyadi, S.Kom, M.S.I Proses dalam Pengembangan Sistem Proses pengembangan sistem - serangkaian kegiatan, metode, praktik, dan alat-alat terotomatisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sering terjadi pada perekonomian suatu negara. Gejala-gejala inflasi pada perekonomian ditandai dengan kenaikan harga-harga secara

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang- Undang No.33 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Oleh : AHMAD NURDIN L2D

TUGAS AKHIR. Oleh : AHMAD NURDIN L2D EFEKTIVITAS BELANJA DAERAH TERHADAP PELAYANAN PUBLIK (Studi Kasus : Pelayanan Publik Bidang Pendidikan, Kesehatan, dan Prasarana Jalan di Kota Magelang) TUGAS AKHIR Oleh : AHMAD NURDIN L2D 001 396 JURUSAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAUR PROGRAM DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN

PERENCANAAN DAUR PROGRAM DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN PERENCANAAN DAUR PROGRAM DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN OLEH : ROBERT SIREGAR Dept. Urban Studies and Planning Program robert_rppp@yahoo.com A. Pendahuluan Pembangunan adalah sebuah kegiatan yang kolosal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin penting, sebagai lembaga pelayanan publik menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin penting, sebagai lembaga pelayanan publik menjamin 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam negara modern, pelayanan publik menjadi lembaga dan profesi yang semakin penting, sebagai lembaga pelayanan publik menjamin keberlangsungan administrasi negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan atau berkembangnya suatu daerah adalah tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan atau berkembangnya suatu daerah adalah tidak terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan atau berkembangnya suatu daerah adalah tidak terlepas dari kinerja pemerintah dan dukungan masyarakat daerah tersebut dalam mengembangkan daerahnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak diberlakukannya otonomi daerah pemerintah diberikan kewenangan yang luas untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintah. Perubahan pada sistem pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN pada alinea ke empat yang dijadikan sebagai landasan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN pada alinea ke empat yang dijadikan sebagai landasan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara yang menerapkan konsep welfare state, sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada alinea

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN DAN PENETAPAN CAPAIAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Anggaran merupakan salah satu bagian dari proses pengendalian manajemen yang berisi rencana tahunan yang dinyatakan secara kuantitatif, diukur dalam satuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hilir tahun adalah Indragiri Hilir berjaya dan gemilang Pada

BAB I PENDAHULUAN. Hilir tahun adalah Indragiri Hilir berjaya dan gemilang Pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi pembangunan jangka panjang dalam dokumen Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2005 2025 adalah Indragiri Hilir berjaya dan gemilang 2025. Pada perencanaan jangka menengah,

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEHUMASAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya perjalanan peradaban manusia dari zaman ke zaman di berbagai negara mana pun di dunia menuju suatu tujuan yang ingin dicapai yaitu kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

II._TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses

II._TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses 6 II._TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Keterampilan Proses Sains Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses yang diaplikasikan pada proses pembelajaran. Pembentukan

Lebih terperinci

B. Maksud dan Tujuan Maksud

B. Maksud dan Tujuan Maksud RINGKASAN EKSEKUTIF STUDI IDENTIFIKASI PERMASALAHAN OTONOMI DAERAH DAN PENANGANANNYA DI KOTA BANDUNG (Kantor Litbang dengan Pusat Kajian dan Diklat Aparatur I LAN-RI ) Tahun 2002 A. Latar belakang Hakekat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Penelitian. Dalam penyelengaraan otonomi daerah, pemerintah diberikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Penelitian. Dalam penyelengaraan otonomi daerah, pemerintah diberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Dalam penyelengaraan otonomi daerah, pemerintah diberikan kewenangan yang luas untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintah, hal itu tidak terlepas dari

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK. Kebijakan Pangan TIP FTP UB

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK. Kebijakan Pangan TIP FTP UB ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Kebijakan Pangan TIP FTP UB Pergeseran Paradigma Kebijakan Publik ASPEK GOVERNMENT GOVERNANCE Proses Perumusan Pemerintah Pemerintah Stakeholder Analis Kebijakan Pemikir Independen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di indonesia semakin pesat dan banyak membawa perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

Keberadaan ED dalam AIPT

Keberadaan ED dalam AIPT BAN-PT Evaluasi Diri: Berupa dokumen khusus yang disusun sebagai analisis kondisi dan kesimpulan capaian PT sampai saat ini Borang: Berupa dokumen yang mengandung isian, data, dan informasi lengkap tentang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah

Lebih terperinci

isu kebijakan dan dinamikanya. Kemudian pada bagian kedua kita akan Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah

isu kebijakan dan dinamikanya. Kemudian pada bagian kedua kita akan Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah 4 Isu Kebijakan Publik A. Pendahuluan Pada bagian ini, anda akan mempelajari konsep isu kebijakan publik dan dinamikanya dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu, kita akan membagi uraian ini menjadi tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir 123 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Tantangan organisasi saat ini dan ke depan adalah situasi perubahan yang semakin terbuka dan kadang tak terduga terjadinya. Disamping itu, sistem informasi

Lebih terperinci

pengelolaan sekolah dasar yang bermutu, merupakan profit

pengelolaan sekolah dasar yang bermutu, merupakan profit 179 BABV KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berikut disajikan beberapa kesimpulan yang dihimpun dari deskripsi data sebagaimana yang dipaparkan daiam Bab IV. Beberapa kesimpulan yang disajikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah menuntut adanya partisipasi masyarakat dan. transparansi anggaran sehingga akan memperkuat pengawasan dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah menuntut adanya partisipasi masyarakat dan. transparansi anggaran sehingga akan memperkuat pengawasan dalam proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terjadinya perubahan paradigma sesuai dengan amanat undangundang otonomi daerah menuntut adanya partisipasi masyarakat dan transparansi anggaran sehingga akan

Lebih terperinci

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PENDAHULUAN Bantuan luar negeri dapat berupa pinjaman maupun hibah luar negeri. Pinjaman luar negeri lebih mendesak dibahas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance (Bappenas,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance (Bappenas, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia pada akhir abad 20 tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pemerintah dalam mengembangkan sistem manajemen pemerintahan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEHUMASAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

Penelitian penting bagi upaya perbaikan pembelajaran dan pengembangan ilmu. Guru bertanggung jawab dalam mengembangkan keterampilan pembelajaran.

Penelitian penting bagi upaya perbaikan pembelajaran dan pengembangan ilmu. Guru bertanggung jawab dalam mengembangkan keterampilan pembelajaran. Penelitian penting bagi upaya perbaikan pembelajaran dan pengembangan ilmu. Guru bertanggung jawab dalam mengembangkan keterampilan pembelajaran. Penelitian pada umumnya dilakukan oleh pakar pendidikan,

Lebih terperinci

: Prof. Said Zainal Abidin, Ph.D., MPIA

: Prof. Said Zainal Abidin, Ph.D., MPIA MATA KULIAH DOSEN : KEBIJAKAN PUBLIK : Prof. Said Zainal Abidin, Ph.D., MPIA Soal Ujian Tengah Semester Gasal STIA-LAN RI 1. Apa yang menentukan suatu kebijakan dianggap berkualitas dan mampu diimplementasikan,

Lebih terperinci

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang 10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan

Lebih terperinci

Ringkasan Chapter 12 Developing Business/ IT Solution

Ringkasan Chapter 12 Developing Business/ IT Solution TUGAS SISTEM INFORMASI MANAJEMEN Dosen : Dr. Ir. Arif Imam Suroso, M.Sc Ringkasan Chapter 12 Developing Business/ IT Solution Oleh : Shelly Atriani Iskandar P056121981.50 KELAS R50 PROGRAM PASCA SARJANA

Lebih terperinci

PERENCANAAN. By Eti Rimawati,SKM 12

PERENCANAAN. By Eti Rimawati,SKM 12 PERENCANAAN Batasan Perencanaan adalah proses merumuskan masalah-masalah di masyarakat, menentukan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia, menetapkan tujuan program yang paling pokok dan menyusun langkah-langkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kualitatif yaitu pengumpulan dan penyajian datanya dituangkan dalam kata-kata dan

BAB III METODE PENELITIAN. kualitatif yaitu pengumpulan dan penyajian datanya dituangkan dalam kata-kata dan 72 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yaitu pengumpulan dan penyajian datanya dituangkan dalam kata-kata dan

Lebih terperinci

MENETAPKAN PERMASALAHAN PENELITIAN KESEHATAN MASYARAKAT

MENETAPKAN PERMASALAHAN PENELITIAN KESEHATAN MASYARAKAT TTIINJJAUAN PPUSSTTAKA MENETAPKAN PERMASALAHAN PENELITIAN KESEHATAN MASYARAKAT Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat - USU ABSTRACT Based on the scope, the public

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang no 22 tahun 1999 dan Undang-Undang no 25

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang no 22 tahun 1999 dan Undang-Undang no 25 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berlakunya Undang-Undang no 22 tahun 1999 dan Undang-Undang no 25 tahun 1999 merupakan titik awal berjalannya otonomi daerah (reformasi pemerintahan daerah dan reformasi

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Gambaran Umum Tentang Anggaran Pengertian Anggaran

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Gambaran Umum Tentang Anggaran Pengertian Anggaran BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Gambaran Umum Tentang Anggaran Secara sederhana anggaran didefinisikan sebagai rencana keuangan yaitu suatu rencana tertulis mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan dalam jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa yang telah ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran sebagai salah satu alat bantu manajemen memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran sebagai salah satu alat bantu manajemen memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Anggaran sebagai salah satu alat bantu manajemen memegang peranan cukup penting karena dengan anggaran manajemen dapat merencanakan, mengatur dan mengevaluasi jalannya

Lebih terperinci