M. BISMARK dan RENY SAWITRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "M. BISMARK dan RENY SAWITRI"

Transkripsi

1

2 M. BISMARK dan RENY SAWITRI Penerbit FORDA PRESS 2014

3 NILAI PENTING TAMAN NASIONAL Penulis/Penyusun: M. Bismark dan Reny Sawitri Editor: Adi Susmianto, Pujo Setio, dan Harisetijono Desain Sampul dan Tata Letak: FORDA PRESS Copyright 2014 Penulis Cetakan Pertama, Desember 2014 xx halaman; 175 x 250 mm ISBN: Diterbitkan oleh: FORDA PRESS (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat Telp./Fax , fordapress@yahoo.co.id Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh: PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat Telp , Fax Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan NILAI Penting Taman Nasional / M. Bismark, R. Sawitri ; Editor: A. Susmianto, P. Setio, Harisetijono. -- Cet Bogor : FORDA Press, 2014 xx, 310 hlm. : ill. ; 25 cm. ISBN: Taman Nasional Biodiversitas Konservasi I. Bismark, M. II. Sawitri, R. III. Judul ii M. Bismark dan Reny Sawitri

4 Taman Belantara Nuansa alam menghiasi negeri Indah merona penyejuk sukma nusantara Lantunan irama suara satwa menggema di sela dedaunan pohon Air menderu, mengalir, meresap, menetes, sumber kehidupan Imajinasi menyatu dalam kenyataan... hutan negeriku Ekosistem tersusun dalam hamparan hijau..., membiru Kompak membangun jejaring kehidupan liar yang tertata Ombak menyapa seksama, membelai pantai, hutan dan... Lamun, padang penyusun lantai lautan... Obrolan sunyi saling menyahut, zikir pada Penciptanya Geliat kecantikan, menyibak sela warna-warni bebuahan, kupu-kupu dan burung Impian tenggelam dalam belaian keheningan belantara... Penjelmaan surga di negeri khatulistiwa tercinta Etika, budaya membangun kearifan penyelamat rimba Norma kehidupan ikut meretas nila keindahan yang padu Taman Nasional..., taman belantara penyangga kehidupan Intonasi pujian kekaguman bergema di manca negara... Negeri Ibu Pertiwi, terus membangun mengelola taman, Gunung, sungai, danau, lautan, pelangi dan fatamorgana jadi saksi adanya... Tengah Desember 2014 M. Bismark Nilai Penting Taman Nasional iii

5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp ,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah). iv M. Bismark dan Reny Sawitri

6 KATA PENGANTAR Pembangunan bidang konservasi sumber daya hutan Indonesia telah menunjukkan banyak aspek penyelamatan keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan ekosistemnya. Pembangunan dalam upaya penyelamatan biodiversitas dan ekosistem tersebut dilakukan pada kawasan yang mewakili bioindividuegion melalui penetapan Taman Nasional. Taman nasional yang ada dianggap telah mewakili kawasankawasan dengan ekosistem pegunungan, dataran rendah, lahan basah, dan ekosistem laut. Sesuai dengan karakteristik masing-masing keterwakilan tersebut, pengelolaan biodiversitas dan ekosistem terus dilakukan, termasuk pula bagaimana memanfaatkannya secara lestari. Pembangunan dan pengelolaan taman nasional dilakukan pula untuk memberikan banyak aspek pendukung dalam perlindungan sistem penyangga kehidupan; baik dari segi ekologis, sosial ekonomis, maupun lingkungan. Pembagian dan penetapan zonasi dalam mengelola taman nasional menjadi ciri penting pengelolaannya untuk merealisasikan manfaat dan fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, termasuk penyedia kebutuhan dasar masyarakat di sekitar kawasan terkait kebutuhan air, pangan dan obat-obatan. Jasa lingkungan termasuk salah satu yang dihasilkan taman nasional selama ini dan sudah terbukti dinikmati masyarakat, walaupun tidak dihitung satu persatu komponennya ataupun interaksi antarkomponen tersebut. Keterwakilan kawasan taman nasional dengan berbagai ekosistem dan pengelolaannya menjadi lokus dan aspek penelitian, seperti yang telah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan. Penelitian tersebut telah melibatkan 22 orang peneliti, baik yang bertugas pada Balai Penelitian Kehutanan (Unit Pelaksana Teknis/UPT Badan Litbang Kehutanan) maupun pada Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser). Penelitian dilakukan melalui program dan kegiatan dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) 13, yaitu "Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem". Lokus penelitian telah dilaksanakan pada 16 taman nasional yang mewakili Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Nilai Penting Taman Nasional v

7 Penelitian yang terkait fungsi dan manfaat taman nasional dalam mendukung sistem penyanga kehidupan menunjukkan betapa pentingnya keberadaan kawasan konservasi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai air yang dihasilkan dari kawasan taman nasional lebih dari Rp2,2 trilyun per tahun dan nilainya dalam mencegah banjir dan longsor lebih dari Rp630 milyar per tahun. Hal nyata lain yang diketahui dapat dikembangkan dan memberikan nilai tambah kawasan adalah wisata alam dengan nilai lebih dari Rp3,4 milyar per tahun untuk satu taman nasional. Selain itu, jasa biodiversitas satwa dari potensi yang terdapat dalam kawasan taman nasional dan sekitarnya paling tidak telah memberikan nilai sebesar Rp50 milyar per tahun. Penelitian pada taman nasional juga dilakukan terhadap kajian aspek pengelolaan kawasan, termasuk kepentingan pengelolaan daerah penyangganya. Penelitian tersebut telah memberikan hasil kajian, antara lain kriteria dan parameter dalam menentukan zonasi taman nasional dan daerah penyangganya, upaya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan taman nasional dan daerah penyangga, dan kebutuhan restorasi pada kawasan yang terdegradasi. Dengan demikian, seluruh aspek yang terkait dengan keberadaan taman nasional dapat diketahui nilai pentingnya sehingga menjadi pertimbangan keharusan melestarikan fungsi dan manfaat kawasan konservasi, khususnya taman nasional. Data dan informasi nilai-nilai ekonomis yang disetarakan dan hasil kajian yang dicapai dalam berbagai penelitian tersebut disusun secara sistematik sesuai dengan tujuan dan sasaran dari program penelitian integratif (RPI). Rangkuman, analisis, dan sintesis hasil-hasil penelitian selanjutaman nasionalya menjadi bahan dalam penyusunan buku ini. Oleh karena hasil penelitian banyak mengungkap nilai-nilai penting biodiversitas dan jasa ekosistem, serta upaya dalam melestarikan fungsi dan manfaat taman nasional; buku ini diberi judul "NILAI PENTING TAMAN NASIONAL". Penyusunan buku ini dapat terlaksana atas anugerah Allah SWT yang telah memberikan karunia kearifan dan kemampuan kepada penulis. Atas izinnya pula, penulis dengan dibantu dibantu rekan-rekan peneliti, yang telah bekerja keras melaksanakan kegiatan dalam RPI 13, vi M. Bismark dan Reny Sawitri

8 mencoba melakukan sintesis dan analisis data hasil penelitian untuk menjadi bahan penyusunan buku ini. Oleh sebab itu, penulis sangat bersyukur kepada Allah SWT dan berterima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Pada akhirnya, penulis memohon maaf dan mengharapkan koreksi dari berbagai pihak, mengingat buku ini belum sempurna dan mungkin masih terdapat kesalahan. Penulis menganggap buku ini merupakan hasil kita bersama sebagai karya ilmiah yang dapat memberikan arti nilai penting taman nasional di Indonesia. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan taman nasional, terutama upaya pelestarian dan pemanfaatan biodiversitas beserta ekosistemnya, sehingga dapat mendukung sistem penyangga kehidupan. Bogor, Desember 2014 Penyusun Nilai Penting Taman Nasional vii

9

10 SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI Keberadaan Taman Nasional (TN) merupakan upaya pembangunan di bidang konservasi yang memudahkan pelaksanaan pelestarian dan pemanfaatan biodiversitas (keanekaragaman hayati), serta mendukung berkembangnya kehidupan sosial ekonomi masayarakat. Usulan penunjukkan kawasan taman nasional tetap berlanjut mengingat fungsi, manfaat dan dampak pembangunannya dianggap positif terhadap lingkungan dan biodiversitas. Taman nasional adalah kawasan pelestarian yang penting sebagai pendukung pembangunan berkelanjutan. Saat ini, potensi taman nasional masih banyak yang belum tergali, terutama nilai-nilai penting bagi pelestarian lingkungan dan penyedia sumber daya untuk pengembangan budi daya. Sayangnya; nilai biodiversitas, jasa lingkungan, dan potensi lansekap pada taman nasional belum tergali seluruhnya sehingga pemanfaatannya belum optimal. Berdasarkan hal-hal tersebut, buku ini membahas nilai penting taman nasional, termasuk bagaimana menilai fungsi kawasan. Tulisan dalam buku ini disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian Badan Litbang Kehutanan yang dilakukan oleh para peneliti di bidangnya. Memang, keberadaan taman nasional di Indonesia (50 taman nasional) tidak seluruhnya diulas dalam buku ini. Namun demikian, representasi data dan informasi terkait keberadaan, potensi dan permasalahan taman nasional telah dianalisa dan disintesa oleh penyusun sehingga buku ini mampu memberikan gambaran kepada kita terhadap perkembangan taman nasional. Penyusunan buku ini dinilai sangat penting dan bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan konservasi biodiversitas beserta ekosistemnya. Oleh sebab itu, ucapan terimakasih disampaikan kepada penyusun, para peneliti yang telah memberikan kontribusi data, serta pihak lainnya yang memberikan kemudahan dan aksesibilitas dalam Nilai Penting Taman Nasional ix

11 penelitian dan penyusunan buku ini. Semoga, isi dari buku ini dapat menginspirasi dan memotivasi kita untuk menghargai kekayaan alam, sekaligus melestarikan dan memanfaatkannya secara bijak bagi kehidupan ini. Bogor, Desember 2014 Kepala Pusat, Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP x M. Bismark dan Reny Sawitri

12 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... v SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REAHABILITASI... ix DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... xiii... xvii Bab 1 PENDAHULUAN Lingkup Bahasan Permasalahan Tantangan dan Peluang Pengelolaan Kawasan Konservasi Bab 2 KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL Tipe Vegetasi Hutan Klasifikasi Ekosistem Dominan Keberadaan Biodiversitas Potensial Degradasi Habitat Pemanfaatan Flora-Fauna Konflik Kepentingan Konservasi Sumber Daya Genetik Keberadaan Masyarakat dan Pengaruhnya Bab 3 VALUASI POTENSI TAMAN NASIONAL Identifikasi Potensi Biofisik Manfaat Ekologi dan Ekonomi Dampak Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pengelolaan dan Pemanfaatan Potensi Bab 4 ZONASI TAMAN NASIONAL Dasar Hukum Pengelolaan Kawasan Berbasis Zonasi Kriteria Zonasi Penataan Pengelolaan Zonasi Kajian Kriteria dan Indikator Zonasi Permasalahan Penetapan dan Pemanfaatan Zonasi Bab 5 STRATEGI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL Kebijakan Terkait Pengelolaan Para Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Strategi Pengelolaan Nilai Penting Taman Nasional xi

13 5.4 Teknik Pengelolaan Taman Nasional Potensi Pengembangan Kegiatan Restorasi Bab 6 DAERAH PENYANGGA DAN KORIDOR Daerah Penyangga Koridor Isu-Isu Strategis DAFTAR PUSTAKA xii M. Bismark dan Reny Sawitri

14 DAFTAR TABEL Tabel 1. Biofisik Kawasan Pelestarian Alam dan Daerah Penyangga Jenis ikan dari sungai Sangata yang dikonsumsi dan diperjualbelikan Jenis burung yang dikonsumsi dan diperjualbelikan Pemanfaatan sumber daya hutan TN Gunung Halimun Salak di lima kampung, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten Nilai willingness to pay beberapa jenis satwa liar menurut responden Pendugaan nilai ekonomi satwa liar di TN Batang Gadis Pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati mangrove di TN Wakatobi Rata-rata willingness to pay dan willingness to sell bagi responden di TN Bukit Tigapuluh Nilai ekonomi sumber daya air berdasarkan willingness to pay Nilai ekonomi sumber daya air berdasarkan willingness to sell Hasil analisis ekonomi air yang dimanfaatkan oleh PDAM Tirta, Kabupaten Madina Nilai ekonomi hasil hutan bukan kayu di TN Bukit Tigapuluh Hasil pendugaan nilai ekonomi pencegah erosi di TN Batang Gadis Dampak negatif kegiatan wisata alam terhadap kawasan hutan dan masyarakat sekitarnya Tipologi masyarakat dari beberapa desa contoh yang berbatasan dengan zona rehabilitasi TN Gunung Gede Pangrango Model rehabilitasi di TN Gunung Gede Pangrango Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi Luas lahan yang rehabilitasi di TN Gunung Halimun Salak Kegiatan restorasi di TN Gunung Halimun Salak Model rehabilitasi di TN Gunung Halimun Salak Nilai Penting Taman Nasional xiii

15 21. Pola usaha penduduk dari berbagai etnis di usulan zona khusus, TN Kutai Jenis mata pencaharian masyarakat di zona khusus, TN Kutai Kesuburan tanah di kawasan Prevab dan Sangatta Selatan Pembagian jalur di usulan zona khusus TN Kutai Kelompok kegiatan masyarakat di usulan zona khusus TN Kutai Usulan kriteria dan indikator zona inti TN Bukit Tigapuluh Indikator ekologis pada zona inti TN Batang Gadis bagian Utara Indikator ekologis pada zona inti TN Batang Gadis bagian Selatan Konsep top-down kriteria dan indikator zona inti TN Bantimurung Bulusaraung Usulan kriteria dan indikator zona rimba TN Bukit Tigapuluh Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Utara Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Selatan Usulan kriteria dan indikator zona pemanfaatan intensif TN Bukit Tigapuluh Indikator ekologis pada zona pemanfaatan TN Batang Gadis Set minimum kriteria dan indikator zona pemanfaatan intensif TN Bantimurung Bulusaraung Kategori pengelolaan kawasan konservasi menurut IUCN Matriks tujuan pengelolaan dan kategori kawasan konservasi Usulan kriteria dan indikator zona rehabilitasi TN Bukit Tigapuluh Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi Penilaian katagori prioritas restorasi TN Gunung Gede Pangrango Usulan kriteria dan indikator zona pemanfaatan tradisional TN Bukit Tigapuluh Kriteria dan indikator zonasi taman nasional Persepsi para pemangku kepentingan terkait pengelolaan TN Kutai (Falah, 2012) Analisis SWOT pengelolaan TN Kutai xiv M. Bismark dan Reny Sawitri

16 45. Cara penguatan faktor pendorong pemanfaatan lahan di zona khusus Cara mengurangi faktor penghambat pemanfaatan lahan masyarakat Kegiatan restorasi dan rehabilitasi pada taman nasional secara swadaya dan kemitraan Perbandingan potensi hutan rakyat di beberapa Provinsi (lebih dari ha *) dan lahan kritisnya Pembinaan usaha ekonomi hutan rakyat Komponen dan potensi daerah penyangga TN Gunung Ciremai Proporsi dan komposisi tanaman perhutanan sosial dalam pemanfaatan lahan di daerah penyangga TN Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan Dominansi jenis tanaman pada berbagai zona pengembangan tanam hutan rakyat di daerah penyangga TN Gunung Halimun Salak Bentuk pengelolaan lahan dan rata-rata pendapatan masyarakat per kk di Kecamatan Cibeber, TN Gunung Halimun Salak Nilai ekonomi hutan rakyat di daerah penyangga TN Gunung Halimun Salak Parameter biofisik wilayah konservasi di areal IUPHHK daerah penyangga TN Siberut Identitas penduduk berbagai etnis di daerah penyangga TN Kutai Pola usaha tani penduduk dari berbagai etnis di kawasan dan daerah penyangga TN Kutai Jenis tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan di daerah penyangga TN Kutai Potensi Dipterocarpaceae di kelompok hutan Sungai Subelen- Sungai Saibi, Cagar Biosfer P. Siberut Sebaran kelas diameter dan kerapatan pohon di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi, Cagar Biosfer P. Siberut Lima jenis pohon dengan biomasa dan kandungan karbon tertinggi di Cagar Biosfer Pulau Siberut Potensi necromass di Cagar Biosfer Pulau Siberut Potensi necromass dan kesuburan tanah di Cagar Biosfer Pulau Siberut Nilai Penting Taman Nasional xv

17 64. Dugaan biomassa, kandungan karbon, dan serapan karbondioksida di Cagar Biosfer P. Siberut Keragaman burung di hutan rakyat dan wanatani di daerah penyangga TN Gunung Ciremai Keragaman dan biomassa serangga di hutan rakyat daerah penyangga TN Gunung Ciremai, plot contoh 20x10 m Jenis dan frekuensi perjumpaan dengan satwa liar di hutan rakyat daerah penyangga TN Gunung Ciremai Jenis kelelawar pemakan buah yang dijumpai di kebun agroforestry di Sumatra Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Rawa Bento, daerah penyangga TN Kerinci Seblat Persentase hubungan masyarakat desa di daerah penyangga TN Gunung Ciremai dengan pengelolaan hutan Keragaman jenis pohon di kawasan PHBM, hutan rakyat dan wanatani di daerah penyangga TN Gunung Ciremai Komposisi jenis dan jumlah pohon (50 m x 50 m) di hutan rakyat daerah penyangga TN Gunung Ciremai Pengembangan tanaman PMDH di Desa Subelen, Pulau Siberut Persentase jenis tanaman hutan rakyat daerah penyangga TN Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka Jenis pohon buah dan pohon kayu dominan di daerah penyangga TN Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka Potensi kayu hutan rakyat per hektar di daerah penyangga TN Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka xvi M. Bismark dan Reny Sawitri

18 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Model pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional berbasis ekosistem Peta Kawasan Hutan dan Konservasi perairan di Indonesia sampai dengan tahun Sebaran 50 Taman Nasional menurut biogeografis di Indonesia Grafik persepsi masyarakat Desa Sebangau Permai terhadap pengelolaan TN Sebangau Hasil panen budi daya rumput laut oleh masyarakat Homestay di kawasan wisata P. Hoga yang dikelola masyarakat Lahan garapan masyarakat di Desa Pawenang, Kecamatan Nagrak, Sukabumi Status lahan garapan masyarakat sekitar TN Gunung Gede Pangrango Manfaat kawasan hutan menurut persepsi masyarakat di sekitar TN Gunung Gede Pangrango Usulan batas kawasan dan zonasi TN Bukit Tigapuluh Tanaman perkayaan di zona rehabilitasi, Resort Sarongge, TN Gunung Gede Pangrango Tanaman kopi di bawah tegakan pinus dan kegiatan pembabatan di zona rehabilitasi, Resort Tapos, TN Gunung Gede Pangrango Model adopsi pohon internasional di Blok Los Beca, Resort Cimungkat, TN Gunung Gede Pangrango Tanaman perkayuan di zona rehabilitasi, Resort Gunung Putri, Cianjur Tanah longsor dan genangan air di Desa Sukatani, Cianjur Jenis dan kotoran satwa liar di zona rehabilitasi, Resort Sarongge, Cianjur Lokasi rencana rehabilitasi di TN Gunung Halimun Salak Profil Jorong Tandai Nilai Penting Taman Nasional xvii

19 19. Profil penggunaan lahan di dalam dan di luar kawasan TN yang menjadi bagian wilayah Jorong Sungai Manau Perkebunan karet dan getah karet Banjir yang terjadi di Teluk Pandan akibat luapan anak sungai dan perubahan lansekap kawasan Habitat buaya muara di Telaga Bening Lokasi potensi HHBK di TN Gunung Halimun Salak Tanaman damar di TN Gunung Halimun Salak Kondisi kawasan pascatambang PT Antam di Cikidang Pemetaan stakeholder berdasarkan kepentingan (interest) dan pengaruhnya (power) dalam pengelolaan TN Bantimurung Bulusaraung Pengelompokkan pemangku kepentingan berdasarkan minat dan pengaruh Model daerah penyangga taman nasional (Bismark, 2000) Model daerah penyangga di TN Gunung Ciremai wilayah Kabupaten Kuningan: HP; PHBM; HKm (hutan kemasyarakatan); Ag (agroforestry); Ds (desa); Pm (pemukiman); Pt (Pertanian); Hr (Hutan rakyat); Wa (wisata alam); Wi (wisata air); Pri (perikanan); S (sawah); K (kebun); dan Ht (hutan tanaman) Jalur hijau yang dibangun masyarakat secara swadaya di batas kawasan TN Kerinci Seblat Tengkorak tapir dan satwa simpai dijumpai di sekitar perbatasan di jalur hijau Jorong Bangun Rejo Nipah sebagai sumber pendapatan tambahan masyarakat etnis Bugis Hubungan antara diameter dan tinggi pohon pada hutan primer Hubungan antara diameter dan tinggi pohon pada Log-Over Area <1 tahun Hubungan antara diameter dan tinggi pohon pada Log-Over Area 5 tahun Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan primer di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi, Cagar Biosfer P. Siberut (Bismark & Heriyanto, 2007) Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan bekas tebangan 1 tahun di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi, Cagar Biosfer P. Siberut xviii M. Bismark dan Reny Sawitri

20 38. Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan bekas tebangan 5 tahun di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi, Cagar Biosfer P. Siberut Hubungan antara luas bidang dasar dengan biomassa pada hutan primer Cagar Biosfer Pulau Siberut Hubungan antara luas bidang dasar dengan biomassa pada hutan bekas tebangan 1 tahun Cagar Biosfer Pulau Siberut Hubungan antara luas bidang dasar dengan biomassa pada hutan bekas tebangan 5 tahun di Cagar Biosfer Pulau Siberut Jenis-jenis bahan obat-obatan seperti leangaru, sarang semut, daun bekawa, dan akar kuning Patroli swakarsa masyarakat setiap bulan (Sumber: Abbas, 2010) Tegakan jeunjing di hutan rakyat Pembibitan tanaman aren di kebun masyarakat Kampung Dengkleng, Desa. Sukamulya Stratifikasi dan komposisi jenis tegakan di hutan rakyat pada jarak 1,5 km, 3 km dan 10 km dari TN Gunung Ciremai Pola usaha tani di kebun milik pada etnis Jawa Pola usaha tani di kebun milik pada etnis Kutai Pola usaha tani di kebun milik pada etnis Bugis Lubang penambangan emas rakyat di Kampung Cirotan Atas, Desa Cihambali Kebun agroforestry dan kebun karet rakyat Obyek wisata batu biduak/batu perahu dan jembatan akar di daerah penyangga, TN Kerinci Seblat Nilai Penting Taman Nasional xix

21 xx M. Bismark dan Reny Sawitri

22 Bab 1 PENDAHULUAN 21 M. Bismark dan Reny Sawitri

23 Pengelolaan taman nasional dapat ditentukan dari kondisi kawasan awal, kondisi masyarakat, ataupun kondisi tata guna hutan atau lahan sekitar kawasan. Oleh sebab itu, prioritas penelitian pada kawasan taman nasional didasarkan pada pertimbangan kondisi taman nasional yang mempunyai nilai penting dan manfaat lebih luas dalam pengelolaannya, termasuk yang dapat menunjang pendapatan daerah. Salah satu nilai penting yang sering terlupakan adalah jasa lingkungan, baik nilai ekonomi maupun nilai ekologis, termasuk bagi kawasan sekitarnya sehingga berfungsi sebagai penyangga kehidupan. Perlindungan keanekaragaman hayati atau biodiversitas yang tercakup dalam komunitas hayati yang utuh dalam habitat yang asli merupakan cara yang paling efektif untuk melestarikan seluruh potensi tersebut. Pelestarian habitat dalam kawasan yang luas dengan berbagai tipe ekosistem di dalamnya menjadi dasar penetapan kawasan konservasi, termasuk pelestarian budaya setempat. Selain menetapkan kawasan konservasi yang dikelola secara efektif, perlindungan biodiversitas dapat pula dilakukan dengan memperbaiki habitat melalui restorasi ekosistem. 2 M. Bismark dan Reny Sawitri

24 Perlindungan biodiversitas flora, fauna, dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk tujuan berbagai hal, terutama pemanfaatan jasa lingkungan yang terkait dengan pemanasan global. Pemanfaatan jasa lingkungan tersebut juga terkait dengan obyek dan sumber ekonomi yang memerlukan tingkat pengelolaan dan efisiensi pemanfaatan yang cermat. Hal tersebut menjadi sangat penting karena Indonesia merupakan negara mega biodiversitas sehingga secara ekonomi menjadi keunggulan Indonesia di lingkup Asia Tenggara. Namun demikian, jasa lingkungan yang terbentuk dalam habitat dan komunitas berbagai biodiversitas dengan sistem pengelolaan kawasan konservasi yang ada belum sepenuhnya dapat memberikan nilai ekonomi dan perlindungan secara optimal. Oleh sebab itu, pemanfaatan yang terencana dalam jangka panjang memerlukan 1) dukungan pengembangan ekonomi sumber daya alam, 2) keterlibatan masyarakat sekitar kawasan, dan 3) sistem lingkungan yang mendukung. Ketiga faktor ini saling terkait sebagai bagian dari parameter pengelolaan pemanfaatan biodiversitas dan ekosistemnya sehingga dapat memberikan fungsi suatu kawasan konservasi dalam mendukung sistem penyangga kehidupan. Perkembangan ekonomi global di bidang pemanfaatan biodiversitas dan harapan menjadikan andalan hasil sumber daya hutan Indonesia di masa mendatang, upaya pengelolaan dan bahkan penetapan kawasan konservasi baru telah menambah areal pelestarian biodiversitas. Penurunan populasi satwa langka, keberadaan beragam jenis tumbuhan dan fauna potensial untuk dimanfaatkan sebagai hasil hutan nonkayu, dan jasa lingkungan lainnya yang perlu diatur merupakan dasar-dasar dalam pengusulan penetapan kawasan konservasi, terutama oleh Pemerintah Daerah. Bahkan, penambahan taman nasional dan perkembangan nilai ekonomi satwa liar yang diperdagangkan telah terjadi selama lima tahun terakhir. Hal yang kurang menggembirakan, banyak kawasan konservasi yang ada telah mengalami degradasi habitat. Hal ini tentunya akan berdampak pada tiga faktor pengelolaan pemanfaatan biodiversitas, termasuk manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Adanya degradasi kawasan ini akan memerlukan biaya untuk pengamanan dan restorasi kawasan. Untuk mengatasi hal ini, pengembangan daerah penyangga Nilai Penting Taman Nasional 3

25 (buffer zone) menjadi semakin penting, termasuk keterlibatan dan partisipasi masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholders). Beberapa hasil penelitian yang dapat mendukung penyelesaian masalah pengelolaan kawasan konservasi telah mengidentifikasi cakupan penelitian yang didasarkan pada permasalahannya. Cakupan tersebut, yaitu 1) zonasi taman nasional, 2) pengelolaan secara adaptif kawasan konservasi, 3) jasa lingkungan kawasan, 4) dinamika ekosistem kawasan konservasi, dan 5) pengelolaan daerah penyangga. Penentuan cakupan penelitian untuk menyusun model pengelolaan kawasan konservasi berbasis ekosistem ini diharapkan akan menjadi dasar pengelolaan kawasan konservasi, seperti pengelolaan taman nasional. Pemangku kepentingan pengelolaan kawasan konservasi yang berbentuk taman nasional telah diatur sesuai Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tatakerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Pengelolan taman nasional yang dimaksud, meliputi (1) penataan zonasi, perencanaan pemantauan dan evaluasi kawasan taman nasional; (2) pengelolaan kawasan; (3) perlindungan dan pengamanan taman nasional; (4) pengendalian kebakaran hutan; (5) promosi informasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem; (6) penyuluhan; (7) pengembangan kerjasama dan kemitraan; (8) pemberdayaan masyarakat lokal; (9) pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan pelayanan kepada masyarakat. Walaupun demikian, fungsi yang dijalankan taman nasional belum sepenuhnya dapat menunjukkan nilai manfaat ekonomi ataupun lingkungan sehingga maksud dan tujuan pembentukan taman nasional kurang dapat dipahami oleh masyarakat atau pemerintah daerah. Selain itu, otoritas pengelolaan kawasan konservasi, termasuk taman nasional masih berada di tingkat pusat. Sayangnya, pemerintah pusat belum sepenuhnya berhasil membentuk mekanisme pengelolaan taman nasional secara efektif. Sebaliknya, pemerintah daerah mengharapkan dapat mengelola taman nasional bersama-sama sebagaimana pasal 4 Permenhut Nomor P.19/Menhut- II/2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif. Pengelolaan taman nasional dapat ditentukan dari kondisi kawasan awal, kondisi masyarakat, ataupun kondisi tata guna hutan 4 M. Bismark dan Reny Sawitri

26 atau lahan sekitar kawasan. Sebagai contoh, banyak taman nasional dengan areal kawasan yang sebagian atau seluruhnya berasal dari hutan produksi yang mempunyai nilai konservasi tinggi. Walaupun sudah ada penetapan taman nasional model, kekhasan model tersebut belum diperlihatkan melalui hasil penelitian dengan lima cakupan penelitian di atas. 1.1 Lingkup Bahasan Kawasan konservasi di Indonesia dikelompokkan menjadi Kawasan Suaka Alam (KSA), yaitu Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM); Kawasan Pelestarian Alam (KPA), yaitu Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura), dan Taman Wisata Alam (TWA); dan Taman Buru (TB). Selanjutnya, penulisan buku ini akan diarahkan pada kawasan dengan fungsi di dalam fungsi pokok konservasi, yaitu Taman Nasional. Penulisan ini bersumber dari beberapa hasil penelitian sesuai Rencana Penelitian Integratif (RPI) 13 Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan tahun yang terkait bidang konservasi kawasan. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ciri-ciri khas biodiversitas dan ekosistemnya yang berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan dan dikelola menurut sistem zonasi. Kawasan taman nasional yang relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam khas, dan kepentingan pelestarian tinggi berpotensi untuk pengembangan ekowisata sehingga memberikan manfaat yang besar bagi wilayah sekitarnya. Dalam hal pemanfaatan, sebagian kawasan taman nasional dapat dibuat zona pemanfaatan, meliputi pemanfaatan jasa lingkungan wisata, air, dan karbon. Prioritas penelitian pada kawasan taman nasional didasarkan pada pertimbangan kondisi taman nasional yang mempunyai manfaat lebih luas dalam pengelolaannya, termasuk yang dapat menunjang pendapatan daerah. Selain itu, pertimbangan lainnya adalah terdapatnya perkembangan penetapan taman nasional yang relatif cepat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, kondisi dan perkembangan taman nasional perlu mendapat dukungan penelitian Nilai Penting Taman Nasional 5

27 dalam pengelolaannya, terutama pengelolaan habitat, biodiversitas, dan kolaborasi untuk mencapai tingkat pemanfaatan yang optimal. 1.2 Permasalahan Permasalahan kawasan konservasi saat ini yang mencakup potensi dan pengelolaan berbasis ekosistem meliputi hal-hal sebagai berikut Zonasi Taman Nasional Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi untuk optimalisasi pengelolaan pemanfaatan. Taman nasional yang sudah dikelola dengan baik telah tertata dalam sistem zonasi yang secara umum terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain yang disesuaikan dengan tingkat kepentingannya. Penetapan zonasi ini ditentukan berdasarkan potensi biofisik, sarana prasarana yang tersedia, tata ruang dan fungsi lahan daerah penyangga, serta aspek pengamanan. Untuk melihat seberapa jauh efektifitas pengelolaan dan manfaat zonasi bagi kepentingan pelestarian dan manfaat ekonomi, evaluasi perlu dilakukan terhadap nilai dan manfaat taman nasional melalui indikator yang telah disepakati. Beberapa kawasan taman nasional telah dievaluasi tata ruang zonasinya dan dilakukan perubahan dengan kriteria indikator daerah aliran sungai (DAS). Evaluasi kriteria indikator dan valuasi potensi serta manfaat setiap zonasi taman nasional sesuai dengan model, pengelolaan, luas, biofisik, dan daerah penyangga merupakan hal yang perlu didukung dengan hasil penelitian agar diperoleh peningkatan dan efektifitas pengelolaan taman nasional. Secara umum, hubungan cakupan kegiatan dalam pengelolaan kawasan konservasi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. 6 M. Bismark dan Reny Sawitri

28 Pengelolaan Kolaboratif Model dan Pengelolaan Daerah Penyangga Model Taman Nasional Zonasi Taman Nasional Dinamika Ekosistem Nilai Jasa Lingkungan, Sosial Ekonomi, Pelestarian Biodiversitas dan Perbaikan Lingkungan Gambar 1. Model pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional berbasis ekosistem Pengelolaan Adaptif Pengelolaan adaptif adalah proses penyesuaian terus-menerus di antara badan pengelola yang tergabung dalam pengelolaan kolaboratif pada taman nasional. Model pengelolaan kolaboratif dan penyesuaian di antara pemangku kepentingan dalam proses pencapaian tujuan pengelolaan akan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kondisi sosial masyarakat, tipe pengelolaan lahan dan pemanfaatan hasil hutan di sekitar atau di dalam kawasan, dan proses adaptif para pemangku kepentingan dalam sistem pengelolaan kolaboratif dan kelembagaan yang mendukung. Pada taman nasional yang sebelum penetapannya sudah ada keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan lahan, seperti sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM); peningkatan kelembagaan pengelolaan kolaboratif dan proses adaptif ini sangat diperlukan untuk merubah pola pemanfaatan lahan hutan yang Nilai Penting Taman Nasional 7

29 berorientasi pada ekonomi ke arah pemanfaatan yang berbasis ekosistem. Dalam model pengelolaan kolaboratif, jenis kegiatan yang dikolaborasikan dipengaruhi pula oleh tata guna lahan sekitar kawasan yang menjadi daerah penyangga taman nasional, seperti taman nasional yang berada di sekitar areal pertambangan atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Hal ini terkait dengan populasi penduduk, sosial ekonomi dan budaya masyarakat, terutama masyarakat pendatang yang berpotensi melakukan intervensi ke dalam kawasan Jasa Lingkungan Jasa lingkungan adalah potensi sumber daya kawasan yang dapat dimanfaatkan di taman nasional. Jasa lingkungan yang umum diperbincangkan adalah nilai ekonomi dan ekologi dari fungsi taman nasional sebagai areal ekowisata, sumber air bersih, penyimpan karbon, dan sumber daya genetik fauna dan flora yang mendukung program budi daya untuk peningkatan produksi pangan. Permasalahan umum saat ini adalah pada taman nasional belum diketahui potensi biofisik, keunikan dan kelimpahannya sebagai penghasil jasa lingkungan; dan nilai ekonomi dari hasil pengelolaan kawasan dan jasa lingkungan. Dengan demikian, standar pengelolaan dan parameter nilai biofisik dan ekonomi diperlukan untuk pemanfaatan optimal, terutama pada taman nasional yang baru ditetapkan. Selain nilai ekonomi, jasa lingkungan kawasan taman nasional dapat memberikan nilai ekologis bagi kawasan sekitarnya sehingga berfungsi sebagai penyangga kehidupan. Nilai ekologis bagi kawasan sekitar, antara lain potensi satwa liar sebagai penyerbuk, penyebar biji, penyebar mineral esensial, dan predator hama. Nilai ekologis tersebut juga terkait dengan keberadaan kawasan yang berfungsi dalam mempertahankan tingkat kesuburan lahan dan sumber air bagi kegiatan budi daya di daerah penyangga. Dengan diketahui potensi biofisik kawasan, jasa lingkungan kawasan akan dapat dinilai, antara lain terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat, serta peluang pendapatan daerah. Contohnya, kawasan TN Gunung Gede Pangrango dapat menghasilkan air sekitar 110 juta m 3 per tahun dengan kebutuhan masyarakat 80,3 juta m 3 per tahun. 8 M. Bismark dan Reny Sawitri

30 1.2.4 Dinamika Ekosistem Kawasan Berdasarkan statistik, areal di dalam kawasan konservasi terdapat pula lahan kritis. Proses terbentuknya lahan kritis ini akibat dinamika ekosistem dengan gangguan berat, fragmentasi hutan, terbentuknya hutan sekunder, dan perubahan dari hutan sekunder ke lahan kritis. Kondisi ini dapat mengurangi luas kawasan yang efektif sebagai habitat satwa, penurunan populasi satwa liar, mudahnya intervensi kawasan, dan peningkatan perburuan liar. Keberadaan lahan kritis mudah terlihat pada kawasan taman nasional baru yang ditetapkan berdasarkan alih fungsi hutan produksi bernilai konservasi tinggi menjadi taman nasional, atau kawasan yang dikelilingi oleh kawasan dengan fungsi selain konservasi. Kajian evaluasi fungsi diperlukan pada zona-zona taman nasional untuk mengatasi penurunan kualitas habitat akibat perubahan ekosistem. Selain itu, perbaikan habitat juga memerlukan kajian dan implementasi teknis, seperti kegiatan restorasi. Namun, restorasi pun memerlukan strategi silvikultur yang tepat dengan jenis lokal dan berfungsi sebagai perbaikan habitat satwa liar. Restorasi merupakan hal yang penting dilakukan pada kawasan konservasi yang terdegradasi, terutama yang menjadi habitat satwa liar terancam punah Pengelolaan Daerah Penyangga Penilaian biofisik kawasan taman nasional dapat memberikan dasar terhadap pentingnya program pembangunan di daerah penyangga (Tabel 1). Program tersebut meliputi penataan ruang daerah penyangga, pengelolaan, dan kolaborasi di antara pemangku kepentingan. Hal ini terkait pula dengan pengamanan kawasan taman nasional, penanganan gangguan satwa liar, atau perlindungan taman nasional dari jenis-jenis invasif. Untuk tujuan ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa jalur hijau perlu dibuat di luar batas taman nasional, yaitu berupa kawasan hutan atau areal berhutan selebar meter, tergantung dari fungsi lahan di luar batas taman nasional. Nilai Penting Taman Nasional 9

31 Tabel 1. Biofisik Kawasan Pelestarian Alam dan Daerah Penyangga Tipe ekosistem dominan Areal sekitar Kawasan Pelestarian Alam (Daerah Penyangga) IUPHHK- IUPHHK- Perkebunan Pertambangan HA HT Bioregion Periode penetapan A B C D Lama Baru Pegunungan - - Dataran rendah ~ Rawa air tawar ~ Rawa gambut ~ Hutan dataran rendah Laut dan kepulauan Pulau Keterangan: IUPHHK-HA = Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam; IUPHHK-HT = Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman; A = Sumatera, Jawa, Bali; B = Kalimantan; C = Sulawesi, Nusa Tenggara; D = Maluku dan Papua Pada dasarnya, pengelolaan daerah penyangga dilakukan dalam penataan pemanfaatan lahan dan fungsinya di sekitar taman nasional untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar sesuai dengan tipe ekosistem taman nasional. Peningkatan sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan dari segi pengaturan manfaat dan tata guna lahan yang mendukung pelestarian ekosistem taman nasional. Namun demikian, penetapan dan pengelolaan daerah penyangga saat ini cenderung mengarah pada lansekap pertanian. Perubahan lansekap lahan sekitar kawasan sebelum penetapan menjadi taman nasional pun sudah menimbulkan fragmentasi kawasan hutan. Selain itu, pembukaan lahan hutan akibat berkembangnya desa hutan dan kawasan budi daya menyebabkan terjadinya konflik masyarakat dengan pengelola kawasan. Padahal, persepsi mengenai daerah penyangga dan mekanisme pengelolaannya belum mengarah pada upaya perlindungan kawasan. 10 M. Bismark dan Reny Sawitri

32 1.3 Tantangan dan Peluang Pengelolaan Kawasan Konservasi Menurut Kementerian Kehutanan (2014), kawasan hutan daratan di Indonesia hingga tahun 2013 masih tersisa sekitar ha (Gambar 2). Apabila digabungkan dengan kawasan perairan yang dikelola Kementerian Kehutanan, luas tersebut menjadi ha. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan tersebut meliputi hutan konservasi (KSA, KPA, dan TB) daratan seluas ha, kawasan konservasi perairan seluas ha, Hutan Lindung (HL) seluas ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas ha, Hutan Produksi tetap (HP) seluas ha, dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas ha. Berdasarkan tipe penutupan lahan hasil penafsiran citra satelit sampai dengan tahun 2012 dan Landsat 7 ETM+ 2011; kondisi hutan Indonesia terdiri dari hutan primer sekitar ha, hutan sekunder ha, hutan tanaman ha, non hutan ha dan sisanya tidak ada data. Kawasan hutan yang penutupannya masih merupakan hutan primer, lebih dari 50% hanya tersisa pada kawasan hutan yang statusnya hutan konservasi dan hutan lindung. Sumber: Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan (2014) Gambar 2. Peta Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Indonesia sampai dengan tahun 2013 Nilai Penting Taman Nasional 11

33 Kawasan hutan merupakan bagian penting sebagai tempat hidup jutaan keanekaragaman hayati, baik tumbuhan maupun hewan. Menurut Primark et al. (1998), sedikitnya telah ditemukan sekitar jenis burung, 500 jenis mamalia, jenis ikan, jenis tumbuhan berbunga, jenis paku-pakuan, dan ribuan jenis takson lainnya yang hidup pada kawasan hutan di Indonesia. Beragam tumbuhan dan hewan tersebut telah banyak berperan dan dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti untuk sumber makanan dan obat-obatan. Peranan hutan yang juga sangat penting untuk mendukung kehidupan manusia adalah sebagai pengatur hidroorologis, mencegah banjir, mengatasi kekeringan, tanah longsor dan menjaga kesuburan tanah. Masih tingginya proporsi hutan produksi, yang umumnya diperuntukkan memproduksi kayu, dengan implementasi sistem pengelolaan yang kurang tepat ternyata telah mengakibatkan sebagian besar kawasan hutan mengalami kerusakan. Hal ini didorong pula oleh pertumbuhan penduduk yang cepat sehingga konversi hutan untuk memenuhi kebutuhan lahan budi daya meningkat drastis. Akibatnya, degradasi hutan dan deforestasi tidak dapat dihindari. Luas hutan di Indonesia yang terdegradasi sampai tahun 2007 diperkirakan telah melebihi 50 juta ha ( 2007). Hal ini terbukti dari data di atas yang menunjukkan lebih dari 75% kondisi hutan telah berubah menjadi hutan sekunder dan non hutan. Selain itu, data statistik Kementerian Kehutanan (2014) menunjukkan bahwa angka deforestasi kawasan hutan periode tahun dari tutupan hutan primer seluas ,5 ha/tahun, hutan sekunder seluas ,7 ha/tahun, dan hutan tanaman seluas ,5 ha/tahun. Kerusakan hutan di Indonesia, yang sebagian besar merupakan tipe hutan tropika basah, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, terutama akibat penebangan dan konversi hutan ternyata telah menyebabkan beragam jenis tumbuhan dan satwa terancam punah dan kerusakan tanah, seperti pemadatan dan pencucian hara. Menurut Soemarwoto (1997), tanah yang tidak stabil akibat penebangan hutan akan menaikan hampir lima kali kejadian longsor dan volume tanah yang longsor meningkat tiga kalinya. Dampak negatif yang lebih besar lagi adalah terganggunya ketersediaan sumber kehidupan manusia, 12 M. Bismark dan Reny Sawitri

34 terutama bagi masyarakat sekitar hutan dan semakin meningkatnya frekuensi bencana alam. Saat ini, bencana dan kerusakan lingkungan berupa banjir dan tanah longsor di musim hujan, kekeringan di musim kemarau, penyusutan debit air sungai, penurunan kualitas badan air, dan lain-lainnya hampir terjadi di setiap daerah. Kerusakan hutan yang luas dan dampak negatif yang besar telah dirasakan oleh manusia, dan ternyata secara positif meningkatkan kesadaran untuk mengelola hutan secara berkelanjutan. Hal yang menggembirakan dalam 20 tahun terakhir ini, kesadaran terhadap pelestarian hutan, termasuk perlindungan keragaman hayati beserta ekosistem di dalamnya telah dirasakan banyak pihak. Begitu pula, orientasi kebijakan konservasi yang merupakan upaya menjaga kualitas lingkungan dan keseimbangan ekosistem dalam setiap pengelolaan hutan telah menjadi landasan normatif setiap penentu kebijakan (Marsono, 2004). Kesadaran untuk mengelola hutan yang berkelanjutan telah berkembang secara global. Prinsip standar pengelolaan hutan berkelanjutan yang dikembangkan oleh Majelis Pengurus Hutan (Forest Stewardship Council/FSC) pada tahun 1999 telah memunculkan sebuah konsep yang dikenal dengan HCVF (High Conservation Value Forest) atau Hutan Bernilai Konservasi Tinggi. Konsep HCVF ini mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan kawasan tersebut. Dalam hal ini, pendekatan HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang. Konsep HCV pada awalnya didesain dan diaplikasikan untuk pengelolaan hutan produksi, namun dengan cepat konsep ini banyak digunakan pula dalam pembangunan sektor perkebunan yang banyak mengonversi kawasan hutan, seperti untuk perkebunan kelapa sawit. Di Indonesia, pemikiran dan implementasi untuk menerapkan konsep HCVF sebenarnya sudah ada sejak lama. Hal ini dapat tercermin dari Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan. Pada isi undang-undang tersebut telah ditetapkan sebagian kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi kawasan suaka alam, yaitu Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, dan hutan Nilai Penting Taman Nasional 13

35 lindung. Hutan suaka alam merupakan kawasan hutan yang karena sifatnya khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati dan/atau manfaat-manfaat lainnya secara berkelanjutan. Sementara itu, hutan lindung merupakan kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna mengatur tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan tanah. Begitu pula, pada kawasan hutan untuk produksi ditetapkan pula kawasan yang harus dilindungi, seperti sempadan sungai, daerah pasang surut air laut, area plasma nutfah, area keragaman hayati tinggi, kantong satwa, dan lainnya. Konsep-konsep tersebut yang sebagian besar lebih dijabarkan dalam prinsip penetapan area menjadi HCVF. Dalam perkembangannya, peraturan untuk mengelola hutan secara berkelanjutan terus mengalami perubahan. Amandemen yang mangatur tentang pengelolaan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati pun lebih jelas. Pada tahun 1990, disahkan UU No. 5 tentang Konservasi Keragaman Hayati beserta Ekosistemnya dan tahun 1999 disahkan UU No. 41 tentang Kehutanan sebagai pengganti UU No. 5 Tahun Selanjutnya, berbagai fungsi hutan terus diperbaharui dan saat ini terbagi menjadi tiga fungsi pokok, yaitu hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta ekosistemnya. Penetapan hutan konservasi secara umum berfungsi untuk melestarikan sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, yang dapat dilakukan melalui perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas KSA (CA dan SM) dan KPA (TN, Tahura, dan TWA), serta TB. Kawasan konservasi tersebut pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen [Kementerian] Kehutanan (Departemen Kehutanan, 1990). Berbagai peraturan untuk mendukung pengelolaan hutan konservasi sebagai penjabaran dari undang-undang di atas terus disusun dan disahkan. Peraturan tersebut antara lain adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis 14 M. Bismark dan Reny Sawitri

36 Tumbuhan dan Satwa, PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Jo PP Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pada tingkat Kementerian Kehutanan juga telah ditetapkan berbagai keputusan sebagai landasan dalam pengelolaan hutan konservasi, seperti Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan Permenhut Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Salah satu kawasan hutan konservasi yang menjadi perhatian saat ini adalah taman nasional karena dalam pengelolaannya dapat memadukan kepentingan konservasi dan pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata dan rekreasi (Departemen Kehutanan, 1990). Sebagai kawasan yang dikelola dengan sistem zonasi maka pada taman nasional paling sedikit dibentuk tiga sistem zonasi, yaitu zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Pemerintah Indonesia sampai saat ini sedikitnya telah menetapkan 50 taman nasional yang tersebar di seluruh kepulauan, meliputi 11 taman nasional di Pulau Sumatra, 12 taman nasional di Pulau Jawa, 6 taman nasional di Nusa Tenggara dan Bali, 8 taman nasional di Kalimantan, 8 taman nasional di Sulawesi, dan 5 taman nasional di Maluku dan Papua ( 2012). Riwayat penunjukkan dan asal usul kawasan taman nasional tersebut sangat bervariasi. Namun secara umum, asal usul penunjukan kawasan taman nasional adalah dari kawasan hutan negara, baik hutan produksi (terutama area HCVF), hutan lindung maupun hutan konservasi dengan fungsi di dalam fungsi pokok lainnya (seperti suaka margasatwa yang pengelolaanya ditingkatkan menjadi kawasan taman nasional). Sebagai Nilai Penting Taman Nasional 15

37 contoh adalah pembentukan TN Gunung Leuser. Risalah TN Gunung Leuser pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang Peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia; yaitu TN Gunung Leuser, TN Ujung Kulon, TN Gede Pangrango, TN Baluran, dan TN Komodo. Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, luas TN Gunung Leuser yang ditunjuk adalah ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor 719/Dj/VII/1/80 tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser dengan isi penting yaitu pemberian status kewenangan pengelolaan TN Gunung Leuser kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TN Gunung Leuser seluas ha yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Provinsi Aceh) dan Provinsi Sumatera Utara. Asal usul kawasan TN Gunung Leuser mencakup SM Gunung Leuser, SM Langkat Barat, SM Langkat Selatan, SM Sekundur, SM Kappi, SM Kluet, TW Lawe Gurah, TW Sekundur, HL Serbolangit dan HPT Sembabala. (Wiratno et al., 2007). Pengelolaan taman nasional di Indonesia pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik karena berbagai permasalahan sering timbul setelah terbentuknya suatu kawasan menjadi taman nasional. Setiap taman nasional tentunya memiliki permasalahan masing-masing. Namun permasalah secara umum yang sering terjadi di setiap taman nasional adalah konflik kepentingan lahan karena belum jelasnya tata batas kawasan, degradasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya karena pencurian kayu (illegal logging), eksploitasi bahan tambang dan perambahan (konversi hutan), tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan bukan kayu yang masih tinggi, kepentingan egosektoral antar instansi terkait, kondisi sumber daya manusia yang minim, dan prasarana pendukung yang belum memadai. Solusi mengatasi berbagai ancaman dan permasalahan dalam pengelolaan taman nasional memerlukan berbagai rencana strategis pengelolaan yang tepat dan komprehensif sesuai dengan karakteristik taman nasional itu sendiri. Salah satu konsep strategis yang 16 M. Bismark dan Reny Sawitri

38 berkembang saat ini dalam pengelolaan taman nasional adalah pengelolaan berbasis ekosistem dengan melibatkan berbagai para pihak (stakeholder) terkait [secara kolaboratif]. Menurut Marsono (2004), pengembangan konsep ekosistem harus memerhatikan berbagai komponen hutan dan melihatnya secara terpadu sebagai komponen yang berkaitan dan tergantung satu sama lain dalam suatu sistem. Untuk itu, pendekatan pengelolaan ekosistem mempertimbangkan bagaimana kawasan taman nasional tidak hanya dipandang sebagai tempat pengawetan tumbuhan dan satwa, tetapi harus memasukkan unsur manusia sebagai pemanfaat kawasan dan hasil hutan, baik kayu maupun dan nonkayu, termasuk satwa liar. Mengingat ekosistem hutan [termasuk kawasan taman nasional] merupakan satuan fungsional dasar dalam ekologi yang meliputi mahluk hidup dengan lingkungan organisme (komunitas biotik) dan lingkungan abiotik, masing-masing memengaruhi sifat-sifat lainnya dan keduanya perlu untuk memelihara kehidupan sehingga terjadi keseimbangan, keselarasan, dan keserasian alam di bumi ini (Irwan, 2007). Selain itu, pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem tentunya menuntut adanya kemitraan dan kesepakatan kerjasama pengelolaan yang melibatkan banyak pihak. Hal ini karena kekuatankekuatan di luar yurisdiksi masih cukup kuat memengaruhi kebijakan dan arah pengelolaan suatu taman nasional. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan birokrasi pemerintah; kekuatan sosial ekonomi lokal, regional, nasional dan global; kekuatan sosial politik dan sosial budaya; dan tata nilai masyarakat setempat yang berada di daerah penyangganya. Oleh sebab itu, pengembangan pengelolaan taman nasional saat ini harus mampu mengintegrasikan kepentingan semua pihak dalam mengantisipasi kebijakan sektoral dan antara wilayah administrasi dalam merencanakan dan mengembangkan kawasan hutan secara umum (Kuswanda, 2011). Penyusunan strategi rencana pengelolaan berbasis ekosistem tentunya membutuhkan berbagai kajian dan rangkaian penelitian secara menyeluruh pada berbagai taman nasional di Indonesia. Kebutuhan penelitian untuk dapat mendukung hal tersebut yang telah teridentifikasi, antara lain (a) kriteria dan indikator pengelolaan dan pemanfaatan, (b) model pengelolaan sesuai ekosistem, dan (c) strategi Nilai Penting Taman Nasional 17

39 pengelolaannya. Saat ini, penelitian yang terkait dengan kebutuhan tersebut sedang dilakukan dalam RPI Model Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem lingkup Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser), Badan Litbang Kehutanan. Pelaksanaan penelitian tersebut diharapkan akan menghasilkan berbagai solusi terkait berbagai permasalahan utama untuk mengembangkan model dan strategi pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem, seperti a) dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi yang belum lengkap, b) kelembagaan untuk mendukung pengelolaan yang adaptif yang belum memadai, c) informasi dan pengembangan jasa lingkungan yang masih kurang, d) dinamika ekosistem kawasan yang terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), dan e) pengelolaan daerah penyangga yang kurang optimal. Beberapa taman nasional telah dijadikan contoh penelitian yang mewakili berbagai model pengelolaan berdasarkan tipologi kawasan. Taman nasional Model A mewakili tipologi kawasan dengan ekosistem pegunungan, ekosistem dataran rendah, dan perairan yang meliputi TN Batang Gadis, TN Kerinci Seblat, TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Ceremai, TN Gunung Merapi, TN Gunung Halimun Salak, TN Siberut, TN Alas Purwo, dan usulan TN di Bangka Belitung. Taman nasional Model B mewakili ekosistem dataran rendah yang meliputi TN Kutai dan TN Sebangau. Taman nasional Model C mewakili ekosistem pegunungan yang meliputi TN Bantimurung-Bulusaraung, TN Lore Lindu, TN Bogani Nani Warta Bone, TN Laiwanggi Wanggameti. Taman nasional Model D mewakili ekosistem perairan dan pulau, serta dataran rendah yang meliputi TN Teluk Cendrawasih, TN Aketajawe-Lolobata, dan TN Wasur. Rangkaian penelitian yang telah dilakukan dalam lingkup RPI Model Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem telah menghasilkan berbagai informasi yang dapat disebarluaskan kepada berbagai pengguna dan masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, penyusun buku ini merupakan bentuk publikasi dari RPI tersebut yang di dalamnya berisikan tentang kondisi ekologi dan masyarakat sekitar taman nasional, valuasi nilai ekonomi dan startegi pemanfaatannya, review usulan penetapan kriteria dan indikator zonasi, strategi pengelolaan berbasis ekosistem, dan pengembangan daerah penyangga. 18 M. Bismark dan Reny Sawitri

40 Terpublikasinya buku ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam reevaluasi kebijakan dalam pengelolaan taman nasional beserta daerah penyangganya sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan bagi masyarakat secara umum, khususnya yang berada di sekitar kawasan taman nasional. Nilai Penting Taman Nasional 19

41

42 Bab 2 KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL Nilai Penting Taman Nasional 21

43 Taman nasional yang terdapat di Indonesia memiliki berbagai tipe vegetasi dan ekosistem yang paling lengkap di dunia. Tipologi dan karakteristik tersebut memengaruhi keberadaan biodiversitas dan lingkungan yang sebagian besar potensial dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan potensi tersebut menyebabkan interaksi masyarakat dengan kawasan taman nasional., baik dalam pola subsisten maupun komersial. Tentunya, interaksi tersebut diharapkan bernilai positif, yaitu menjadikan potensi biodiversitas dan lingkungan dalam kawasan taman nasional terus bermanfaat secara berkelanjutan, baik bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Taman nasional merupakan kawasan konservasi yang memiliki keanekaragaman, keunikan, kekhasan dan keindahan flora fauna yang endemik, langka, serta dilindungi; termasuk keindahan dan keajaiban fenomena alam (Departemen Kehutanan, 2003). Kawasan ini dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan/teknologi, pendidikan, menunjang budi daya, kebudayaan dan pariwisata/rekreasi. Beberapa daerah menjadikan jenis flora atau satwa unik sebagai simbol daerah. Simbol atau lambang flora yang berasal dari dalam kawasan antara lain bunga bangkai, anggrek, dan melati; sedangkan fauna yang dijadikan symbol daerah 22 M. Bismark dan Reny Sawitri

44 antara lain badak jawa, cenderawasih, dan elang bondol. Beberapa jenis fauna hanya terdapat di Indonesia (endemik) antara lain komodo, jalak bali, maleo, babirusa, anoa, dan kucing emas. Potensi lainnya yang terdapat di dalam kawasan taman nasional adalah berupa keindahan dan keajaiban alam. Hal ini seperti yang terdapat di Danau Kelimutu (TN Kelimutu) yang merupakan salah satu dari sembilan keajaiban dunia, Danau Gunung Tujuh (TN Kerinci Seblat) yang merupakan danau air tawar tertinggi di Asia, salju abadi di TN Lorentz, dan karang atol terbesar ketiga di dunia yang terdapat di TN Taka Bone Rate. Berdasarkan luasan kawasan taman nasional yang ada di Indonesia, TN Lorentz merupakan taman nasional daratan dengan luasan yang paling besar (± ha); sedangkan TN Kelimutu, TN Merapi, dan TN Merbabu merupakan taman nasional daratan dengan luasan yang paling kecil (±5.000 ha). Sementara itu, TNL Teluk Cendrawasih merupakan taman nasional laut dengan luasan yang paling besar (± ha), sedangkan TNL Bunaken Manado Tua merupakan taman nasional laut dengan luasan yang paling kecil (± ha). 2.1 Tipe Vegetasi Hutan Tipe-tipe vegetasi di wilayah kepulauan Indonesia dibagi ke dalam formasi hutan dengan sistem alami yang didasarkan pada perbedaan iklim basah dan bermusim, perbedaan edafis, dan perbedaan altitudinal (Van steenis, 1967 dalam Soerianegara & Indrawan, 1984). Berdasarkan hal tersebut, perlindungan keragaman hayati Indonesia di dalam kawasan taman nasional atau sebagai HCVF dan ekosistem esensial seyogyanya memerhatikan pula tipe vegetasi dalam ekosistem sehingga kepentingan perlindungannya dapat terwakili di taman nasional dan terdapat kemudahan menentukan areal pengelolaannya. Tipe vegetasi atau formasi hutan tersebut terwakili dalam ekosistem taman nasional yang tersebar pada 50 taman nasional di Indonesia (Gambar 3). Formasi-formasi hutan yang ditentukan dengan sistem alami tersebut dan karakteristiknya adalah sebagai berikut. Nilai Penting Taman Nasional 23

45 1) Hutan mangrove Keberadaannya tidak terpengaruh iklim. Formasi hutan terdapat di pantai berlumpur atau sedikit berpasir, dipengaruhi pasang surut air laut, tidak terkena ombak keras, jenis tanah aluvial, dan berair payau atau asin. Penyebarannya di pantai Timur Sumatra, pantai Utara Jawa, pantai Timur Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Beberapa jenis vegetasi penyusunnya berbuah vivipary dan berakar nafas, yaitu akar pasak (Avicennia spp. dan Sonneratia spp.), akar tunjang (Rhizophora spp.), dan akar lutut (Bruguiera spp.). Jenis-jenis vegetasi yang penting adalah api-api (Avicennia alba), pedada (Sonneratia alba), bakau (Rhizophora spp.), tancang (Bruguiera gymnorhyza), tingi (Ceriop tagal), nyirih (Xylocarpus granatus), dan nipah (Nypa fruticans). 2) Hutan rawa Keberadaannya tidak terpengaruh iklim. Formasi hutan terdapat di sekitar muara atau delta sungai, tergenang air tawar dan sungai sehingga bersifat kaya hara (eutrofik), jenis tanahnya gley humus dan aluvial. Penyebarannya di Sumatra dan Kalimantan (umumnya mengikuti sungai-sungai besar). Jenis-jenis vegetasi penting, yaitu pulai rawa (Alstonia pneumatophora), terentang (Campnosperma macrophylla), jelutung rawa (Dyera lowii), meranti (Shorea balangeran), dan perupuk (Lophopethalum multinervium). 3) Hutan gambut Vegetasi tumbuh pada tanah gambut yang berbentuk lensa cembung dengan ketebalan 1 20 m. Hutan tergenang air gambut yang berasal dari air hujan, bersifat masam dan miskin hara (oligotrofik), serta jenis tanahnya organosol. Penyebarannya di pantai Timur Sumatra, pantai Barat dan Selatan Kalimantan, dan pantai Selatan Papua. Jenis-jenis vegetasi yang penting adalah ramin (Gonistylus bancanus), meranti batu (Shorea uliginoga), gerunggang 24 M. Bismark dan Reny Sawitri

46 (Cratoxylon arborescens), durian (Durio carinatus), punak (Tetramerista glabra), dan perepat (Combretocarpus retundatus). 4) Vegetasi rheofit Kondisi tempat tumbuh kadang-kadang atau selalu tergenang air tawar. Vegetasi tumbuh di tepi sungai yang berarus deras. 5) Hutan pantai Keberadaanya tidak terpengaruh iklim. Hutan ini dijumpai di pantai yang terjal, tanah berpasir, berbatu karang atau lempung. Penyebarannya di pantai Selatan Jawa, pantai Baratdaya Sumatra, dan pantai Sulawesi. Jenis-jenis vegetasi yang penting, antara lain keben (Barritonia asiatica), nyamplung (Calophyllum inophyllum), cemara laut (Casuarian equisetifolia), waru laut (Hibiscus tiliaceus), ketapang (Terminalia cattapa), kelapa (Cocos nucifera), pandan (Pandanus tectorius), dan ubi pantai (Ipomea prescaprae). 6) Vegetasi tanah kuarsa Jenis tanah podsolik dan kuarsa. Penyebarannya di dataran rendah. 7) Vegetasi tanah kapur Formasi hutan terletak pada kawasan tanah berkapur atau karst. Jenis tanah batu gamping atau metamorfosisnya seperti marmer atau metagamping. Penyebarannya di dataran rendah pada seluruh pulau besar dan kecil di Indonesia. Jenis vegetasi yang penting, yaitu jati (Tectona grandis) dan durian (Durio zibethinus). 8) Hutan perbukitan Formasi hutan berada pada daerah beriklim basah. Hutan terletak pada ketinggian mencapai m di atas permukaan laut (dpl). Penyebarannya di daerah perbukitan dan pegunungan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Nilai Penting Taman Nasional 25

47 Jenis jenis vegetasi penting, yaitu puspa (Schima wallichii), rasamala (Altingia excelsa), ki riung anak (Castanopsis acuminatissima), dan sakek (Eurya acuminata). 9) Hutan hujan pegunungan bawah Formasi hutan berada pada daerah beriklim basah. Hutan terletak pada ketinggian m dpl. Penyebarannya di daerah pegunungan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Jenis-jenis vegetasi yang penting, antara lain puspa (Schima wallichii), rasamala (Altingia excelsa) ki seer (Antidesma tetrandum), ki leho (Sauraja pendula), hamerang (Vernonia arborea), dan jirak (Simplocos apicata). 10) Hutan hujan pegunungan atas Formasi hutan berada pada daerah beriklim basah. Hutan terletak pada ketinggian m dpl. Penyebarannya di daerah pegunungan di Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Jenis-jenis vegetasi yang penting, antara lain puspa (Schima wallichii), rasamala (Altingia excelsa), ki putri (Podocarpus neriifolia), huru (Litsea sp), huru leur (Persea rimosa), dan ki endog (Gemostoma haemosparmum). 11) Hutan hujan subalpin Formasi hutan berada pada daerah beriklim basah. Hutan terletak pada ketinggian m dpl. Penyebarannya di daerah pegunungan di Sumatra, Jawa, dan Papua. Jenis-jenis vegetasi yang penting adalah cantigi (Vacinium varingiafolium) dan edelweiss (Anaphalis javanica). 12) Hutan hujan alpin Formasi hutan berada pada daerah beriklim basah. Hutan terletak pada ketinggian m dpl. Penyebarannya di daerah pegunungan di Papua, yaitu TN Lorentz. 26 M. Bismark dan Reny Sawitri

48 13) Hutan musim dataran rendah Formasi hutan berada pada daerah dengan iklim musim (monsoon). Hutan terletak pada ketinggian <1.000 m dpl. Penyebarannya di dataran rendah Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi. Jenis vegetasi yang penting, antara lain akasia (Acacia leucocephala), sonokeling (Dalbergia latifolia), dan jati (Tectona grandis). 14) Hutan musim pegunungan Formasi hutan berada pada daerah dengan iklim musim (monsoon). Hutan terletak pada ketinggian >1.000 m dpl. Penyebarannya di dataran rendah Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi. Jenis vegetasi yang penting, antara lain cemara gunung (Casuarina junghunniana) dan pinus (Pinus merkusii). 15) Savana/sabana Formasi hutan berada pada daerah dengan iklim musim (monsoon). Hutan terletak di dataran rendah. Penyebarannya di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara timur. Jenis vegetasi yang penting adalah asam (Tamarindus indica), akasia (Acacia leucocephala), lontar dan palem-paleman. Secara detil, tipe ekosistem di Indonesia dibagi menjadi 57 tipe vegetasi (Kartawinata, 2005), yaitu: 1) Vegetasi kawasan iklim malar basah (everwet vegetation) a. Vegetasi air masin (saline water vegetation) Vegetasi litoral (littoral vegetation) Hutan mangrove (mangrove forest) b. Vegetasi rawa air tawar pamah (lowland freshwater swamp vegetation) Nilai Penting Taman Nasional 27

49 Vegetasi terna rawa air tawar pamah (lowland herbaceous fresh water swamp vegetation) Vegetasi savana rawa air tawar pamah (lowland freshwater swamp savanna vegetation) Hutan sagu rawa air tawar pamah (lowland freshwater swamp sago palm forest) Hutan pandan rawa air tawar pamah (lowland freshwater swamp screwpine forest) Hutan rawa air tawar pamah (lowland freshwater swamp forest) Hutan tepi sungai pamah (lowland riparian forest) Danau pamah (lowland lake). c. Vegetasi rawa gambut pamah (lowland peat swamp) Vegetasi terna rawa gambut pamah (lowland herbaceous peat swamp vegetation) Hutan rawa gambut pamah (lowland peat swamp forest) d. Vegetasi lahan kering pamah malar basah (everwet lowland vegetation on dryland) Vegetasi terna pantai (herbaceous beach vegetation) Hutan pantai (coastal forest) Hutan hujan dipterokarpa pamah (lowland dipterocarp rain forest) Hutan hujan nondipterokarpa pamah (lowland nondipterocarp rain forest) Hutan kerangas pamah (lowland heath forest) Hutan hujan batu gamping pamah (lowland limestone rain forest) Hutan batuan ultrabasa pamah (lowland ultrabasic forest) e. Vegetasi pegunungan (mountain vegetation) Hutan pegunungan bawah (lower mountain forest) Hutan pegunungan atas (upper mountain forest) Hutan nothofagus (nothofagus forest) Vegetasi rawa dalam lingkungan hutan pegunungan (swamp vegetation in the mountain forest environment) Danau pegunungan (mountain lake) f. Vegetasi subalpin (subalpine Vegetation) 28 M. Bismark dan Reny Sawitri

50 Hutan subalpin bawah (lower subalpine forest) Hutan subalpin atas (upper subalpine forest) Vegetasi semak subalpin Vaccinium varingiaefolium Selliguiea feei (Vaccinium varingiaefolium Selliguiea feei subalpine scrub vegetation) Vegetasi semak subalpin Anaphalis javanica (Anaphalis javanica subalpine scrub vegetation) Padang rumput-semak subalpin Anaphalis javanica (Subalpine grassland scrub Anaphalis javanica) Padang rumput-semak tepi hutan subalpin (subalpine forest edge grassland-shrubland) Padang rumput merumpun dengan pohon paku subalpin (subalpine tussock grassland with tree ferns) Padang rumput merumpun subalpin Coprosma brassii Deschampsia klossii (subalpine tussock grassland Coprosma brassii Deschampsia klossii) Padang rumput merumpun subalpin Gaultheria mundula Poa nivicola (subalpine Gaultheria mundula Poa nivicola tussock grassland) Vegetasi lumut kerak subalpin (subalpine lichenes vegetation) Vegetasi terna subalpin Euphrasia lamii Tetramolopium distichum (Euphrasia lamii Tetramolopium distichum subalpine vegetation) Vegetasi subalpin pada bukit batu gamping terjal (subalpine vegetation on steep limestone hills) Vegetasi rawa perdu subalpin (subalpine swamp shrub vegetation) Padang rumput rawa subalpin Poa lamii Vaccinium amblyandrum (Poa lamii Vaccinium amblyandrum subalpine swampy grassland) Vegetasi rawa subalpin Astelia papuana (subalpine swampy Astelia papuana vegetation) Padang rumput pendek rawa subalpin (subalpine swampy short grassland) Vegetasi subalpin Carpha alpina (Carpha alpina subalpine vegetation) Nilai Penting Taman Nasional 29

51 Vegetasi subalpin Carex gaudichaudiana (Carex gaudichaudiana subalpine vegetation) Padang rumput rawa gambut subalpin (subalpine peat swamp grassland) Vegetasi terna rawa musiman subalpin (subalpine seasonal swamp herbaceous vegetation) g. Vegetasi alpin (alpine vegetation) Padang rumput pendek alpin (alpine short grassland) Padang rumput merumpun alpin (alpine tussock grassland) Vegetasi kerangas alpin Tetramolopium-Rhacomitrium (Tetramolopium-Rhacomitrium alpine heath vegetation) Vegetasi kerangas perdu kerdil alpin (alpine dwarf shrub heath vegetation) Tundra kering alpin (alpine dry tundra) Tundra basah alpin (alpine wet tundra) 2) Vegetasi muson (monsoon vegetation) 3) Vegetasi air masin muson (monsoon vegetation on saline water) a. Vegetasi litoral muson (monsoon littoral vegetation) b. Hutan mangrove muson (monsoon mangrove forest) c. Hutan pamah muson malar hijau (lowland monsoon evergreen forest) d. Hutan pamah muson meranggas (lowland monsoon deciduous forest) e. Hutan pegunungan muson (monsoon montane forest) f. Savana muson (monsoon savanna) g. Padang rumput muson (monsoon grassland) Di Indonesia, semua vegetasi alami pada elevasi m dpl hanya ditemukan di Papua. Pada elevasi ini, terdapat aneka tipe vegetasi dengan biodiversitas tinggi. Tipe-tipe vegetasi tersebut membentuk mosaik dan setiap tipe menjadi bagian habitat yang khas di kawasan ini (Kartawinata & Widjaja, 1988; Hope, 1976, 1980; Johns et al., 2007). Berbagai tipe vegetasi dapat dilihat di dalam satu bentangan di TN Lorentz (Papua), mulai dari vegetasi litoral pada elevasi 0 m dpl hingga vegetasi salju pada elevasi m dpl di Puncak Jaya (Kartawinata & Widjaja, 1988). 30 M. Bismark dan Reny Sawitri

52 Tipe-tipe vegetasi tersebut tidak mempunyai skala ukuran yang sama. Beberapa contoh; hutan dipterokarpa (Dipterocarpaceae), hutan nondipterokarpa (non-dipterocarpaceae), hutan pegunungan bawah, dan hutan pegunungan atas; masing-masing dapat dibagi menjadi unitunit yang lebih kecil sesuai dengan perbedaan kondisi habitatnya. Pembagian lebih lanjut baru dapat dibuat jika data mengenai habitat dan komposisi jenisnya sudah cukup tersedia. Selain vegetasi alami tersebut di atas, di Indonesia juga dijumpai hutan antropogen, yaitu hutan yang tebentuk melalui proses suksesi komunitas tumbuhan dengan campur tangan manusia. Hutan tersebut meliputi hutan tanaman, hutan rakyat, dan hutan kemasyarakatan Nilai Penting Taman Nasional 31

53 Taman Nasional di Pulau Taman Nasional di Pulau Taman Nasional di Bali dan Sumatera Jawa Nusa Tenggara 1. Gunung Leuser *) **) 1. Ujung Kulon **) 1. Bali Barat 2. Siberut *) 2. Kepulauan Seribu 2. Gunung Rinjani 3. Kerinci Seblat **) 3. Gunung Halimun Salak 3. Komodo *) **) 4. Bukit Tigapuluh 4. Gunung Gede Pangrango *) 4. Manupeu Tanah Daru 5. Bukit Duabelas 5. Karimunjawa 5. Laiwangi Wanggameti 6. Berbak ***) 6. Bromo Tengger Semeru 6. Kelimutu 7. Sembilang 7. Meru Betiri 8. Bukit Barisan Selatan **) 8. Baluran 9. Way Kambas 9. Alas Purwo 10. Batang Gadis 10. Gunung Merapi 11. Tesso Nilo 11. Gunung Merbabu 12. Gunung Ciremai Taman Nasional di Pulau Taman Nasional di Pulau Taman Nasional di Maluku Kalimantan Sulawesi dan Papua 1. Gunung Palung 1. Bunaken 1. Manusela 2. Danau Sentarum ***) 2. Bogani Nani Wartabone 2. Aketajawe-Lolobata 3. Betung Kerihun 3. Lore Lindu *) 3. Teluk Cendrawasih 4. Bukit Baka-Bukit Raya 4. Taka Bonerate 4. Lorentz **) 5. Tanjung Puting *) 5. Rawa Aopa Watumohai 5. Wasur 6. Kutai 6. Wakatobi 7. Kayan Mentarang 7. Kepulauan Togean 8. Sebangau 8. Bantimurung-Bulusaraung Keterangan: *) Cagar Biosfer, **) World Heritage Sites, ***) Ramsar Sites, keberadaan masyarakat dan pengaruhnya Gambar 3. Sebaran 50 Taman Nasional menurut biogeografis di Indonesia 32 M. Bismark dan Reny Sawitri

54 2.2 Klasifikasi Ekosistem Dominan Kawasan taman nasional di Indonesia sesuai dengan tipe vegetasi yang terlindungi dalam kawasan secara umum mencakup pegunungan, dataran rendah, perairan. Pengelompokan taman nasional sesuai dengan ekosistem dan tipe vegetasi penyusunnya adalah sebagai berikut Taman Nasional yang Mencakup Hutan Pegunungan Taman nasional yang memiliki ekosistem pegunungan, yaitu TN Gunung Leuser, TN Batang gadis, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Tigapuluh, TN Bukit Duabelas, TN Bukit Barisan Selatan, TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun Salak, TN Gunung Merapi, TN Gunung Merbabu, TN Bromo Tengger Semeru, TN Gunung Palung, TN Bantimurung-Bulusaraung, TN Lore Lindu, TN Kelimutu, dan TN Gunung Rinjani Taman Nasional yang Didominasi Hutan Dataran Rendah Taman nasional yang memiliki ekosistem dominan dataran rendah, yaitu TN Berbak, TN Ujung Kulon, TN Alas Purwo, TN Baluran, TN Meru Betiri, TN Kutai, TN Tanjung Puting, TN Kayan Mentarang, TN Bukit Baka-Bukit Raya, TN Betung Kerihun, TN Bali Barat, TN Komodo, TN Manupeu Tanah Daru, TN Laiwangi Wanggameti, TN Akatajawe- Lolobata, TN Tesso Nillo, TN Wasur, dan TN Way Kambas Taman Nasional yang Didominasi Perairan Taman nasional yang memiliki ekosistem dominan perairan, yaitu TN Karimunjawa, TN Kepulauan Seribu, TN Danau Sentarum, TN Sebangau, TN Teluk Cendrawasih, TN Manusela, TN Bogani Nani Wartabone, TN Bunaken, TN Rawa Aopa Watumohai, TN Kepulauan Togean, TN Wakatobi, dan TN Taka Bonerate. TN Sebangau merupakan perwakilan ekosistem rawa gambut yang relatif masih utuh. Kawasan ini memiliki karakteristik yang unik ditinjau dari struktur dan jenis tanah, topografi, hidrologi, flora, dan fauna. Kedalaman gambut pada kawasan ini berkisar 3 14 m. Nilai Penting Taman Nasional 33

55 2.3 Keberadaan Biodiversitas Potensial Potensi biodiversitas taman nasional menurut tipe vegetasi belum sepenuhnya teridentifikasi. Namun demikian, beberapa taman nasional sudah memiliki daftar jenis flora dan fauna yang potensial. Biodiversitas tersebut antara lain berbagai flora yang berpotensi sebagai sumber genetik pohon komersial atau mengandung bahan baku obat-obatan, serta berbagai fauna yang sebagian merupakan satwa langka Flora Potensi flora yang merupakan pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting di Indonesia sekitar 350 jenis, termasuk di dalamnya dari famili Dipterocarpaceae. Kelompok tersebut juga dijumpai di TN Betung Karihun, yaitu sekitar 115 jenis yang terdiri atas genus Anysoptera (2 jenis), Dipterocarpus (12 jenis), Dryobalanops (5 jenis), Hopea (12 jenis), Shorea (59 jenis), Parashorea (3 jenis), Vatica (17 jenis), dan Upuna (1 jenis) (Soedjito, 1999). Beberapa jenis pohon memiliki populasi yang terbatas, namun pemanfaatannya sudah dilakukan di luar kawasan konservasi, seperti jenis ramin di hutan produksi. Ramin (Gonistylus bancanus) adalah salah satu jenis pohon yang sebarannya terbatas, terutama pada lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan. Kawasan konservasi di Provinsi Riau yang terdapat sebaran ramin yaitu SM Kerumutan, Tasik Belat, Danau Pulau Besar, Tasik Besar dan Tasik Serkap, serta Senepis dengan potensi pohon sekitar individu pada luasan ha dan volume sekitar m 3. Selain itu, sebaran ramin pada kawasan taman nasional di Sumatra antara lain di TN Berbak (Provinsi Jambi) dengan potensi pohon sekitar individu pada luasan ha dan volume sekitar m 3 ; dan di TN Sembilang (Provinsi Sumatera Selatan) dengan potensi pohon sekitar individu pada luasan ha dan volume sekitar m 3. Selanjutnya, sebaran ramin di Kalimantan antara lain di TN Tanjung Puting, TN Sebangau, dan Arboretum Nyaru Menteng (Provinsi Kalimantan Tengah) dengan potensi pohon sekitar individu pada luasan ha dan volume sekitar m 3 ; dan di CA 34 M. Bismark dan Reny Sawitri

56 Mandor, CA Muara Kandawangan, dan TN Danau Sentarum (Provinsi Kalimantan Barat) dengan potensi pohon sekitar individu pada luasan ha dan volume sekitar m3 (Bismark et al., 2005). Kawasan konservasi juga memiliki potensi jenis tumbuhan berkhasiat obat. Sebagai contoh, potensi tumbuhan berkhasiat obat [beberapa jenis di antaranya bernilai komersial] yang dapat dijumpai dan sudah diidentifikasi pada kawasan konservasi di Kalimantan sekitar 25 jenis pohon, yaitu limpasu (Baccaurea lanceolata), ulin (Eusideroxylon zwageri), sahang burung (Brucea javanica), jengkol (Archidendron jiringa), kayu manis (Cinnamomum burmanii), pasak bumi (Eurycoma longifolia), langsat (Lansium domesticum), sungkai (Peronema canescens), gula gundri ( Vitex trifolia), leban (Vitex pinnata), kademba (Mitragyna speciosa), keminting (Aleurites moluccana), sengkuang (Dracontomelon dao), kenanga (Cananga odorata), karatau (Morus alba), mengkudu hutan (Fagraea racemosa), mengkudu (Morinda citrifolia), cermin pelanduk (Omalanthus grandifolius), durian (Durio zibethinus), belimbing tunjuk (Averhoa bilimbi), kupang (Parkia roxburghii), sukun (Artocarpus communis), pulai (Alstonia iwahigensis), kayu serai (Syzygium sp.), dan sirsak (Annona muricata). Keragaman flora lainnya yang terdapat di kawasan konservasi di Kalimantan adalah (Noorcahyati, 2012): - Jenis perdu: kayu kayan (Fordia splendidissima), karamunting (Melastoma malabathricum), kumpai mahung (Eupatorium inulaefolium), kayu kupu (Lepisanthes amoena), kapas rampit (Gossypium acuminate), gulinggang (Senna alata), lirik (Stachiphrynium borneensis), tangkan putih (Bauhinia purpurea) dan bamban (Donax caniformis); - Jenis liana: ulur-ulur (Tetrastigma sp.), cawat palui (Cayratia sp.), kelubut (Passiflora foetida), belimbing bilut (Cnestis platantha), manggarsih (Parameria polyneura), akar kunyit (Fibraurea tinctoria), akar kuning (Coscinium fenestrum), seluang belum (Luvunga eleutheandra), cawat anuman (Bauhinia sp.) dan akar sampai (Tinospora crispa); - Jenis paku-pakuan: litu (Ligodium circinatum), pikajar (Schizaea digitata), kelakai (Stenochlaena palustris), tunjuk langit Nilai Penting Taman Nasional 35

57 (Helminthostachys zeylanica), pakis sarang burung (Asplenium nidus), dan paku atei (Angiopteris evecta); - Jenis epifit: benalu (Scurrula arthropurpurea), buah (Rhizanthes lowii), tabat barito (Ficus detoidea), sarang semut (Hydnophytum sp.); - Jenis rumput-rumputan, herba, dan tanaman pekarangan Fauna Keragaman jenis fauna atau satwa liar yang menjadi satwa kunci dalam taman nasional, adalah satwa mamalia besar dan langka atau endemik. Secara umum, jenis mamalia besar yang mendapat prioritas konservasi dan sebagai besar merupakan spesies prioritas menurut Permenhut No. P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional ; yaitu badak, harimau sumatera, gajah, anoa, banteng, dan primata (orangutan, owa jawa, dan ungko). Badak di Indonesia terdiri atas badak jawa (Rhinoceros sondaicus sondaicus) dan badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) yang saat ini mengalami penurunan populasi akibat perburuan liar dan gangguan habitat. Kawasan hutan yang menjadi habitat badak telah terganggu ataupun hilang karena perambahan kawasan dan intervensi tumbuhan yang cepat berkembang/menyebar (invasive species), seperti langkap. Perkiraan populasi badak jawa yang dijumpai di TN Ujung Kulon sekitar 60 individu, sedangkan badak sumatra sekitar 185 individu yang tersebar di TN Bukit Barisan, TN Way Kambas, dan TN Gunung Leuser (Kementerian Kehutanan, 2007). Populasi harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis) saat ini mengalami penurunan karena beberapa faktor penyebab, antara lain a) menurunnya kualitas dan kuantitas habitat akibat konversi hutan, eksploitasi hutan, penebangan liar, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lain-lain; b) fragmentasi habitat akibat perencanaan tata guna lahan dan penggunaan lahan dan hutan yang kurang memerhatikan aspekaspek konservasi satwa liar, khususnya harimau sumatra; c) perburuan liar, penangkapan dan pemindahan harimau sumatra dari habitat alami ke lembaga konservasi ex situ, dan menurunnya populasi satwa mangsa; d) minimnya kapasitas dan kapabilitas unsur-unsur pengelola 36 M. Bismark dan Reny Sawitri

58 konservasi harimau sumatra, rendahnya kesadaran masyarakat dalam konservasi alam, dan rendahnya penegakan hukum di bidang Wildlife Crime (Hasiholan, 2010). Pada tahun 1978, populasi harimau sumatra diperkirakan sekitar individu, namun populasi tersebut semakin menurun seiring dengan perkembangan pembangunan di Pulau Sumatra yang sangat pesat untuk pemukiman, infrastruktur, dan pengembangan ekonomi (pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan industri). Saat ini, populasi harimau di Sumatera diperkirakan sekitar 500 individu, yaitu sekitar 400 individu tersebar di kawasan konservasi utama dan 100 individu berada di luar kawasan konservasi (termasuk di lembaga konservasi). Berdasarkan data tersebut, laju pengurangan populasi harimau sumatra sekitar 33 individu per tahun. Selain itu, informasi dan pengetahuan di bidang bioekologi harimau sumatera juga masih terbatas sehingga pengelolaannya belum fokus, komprehensif dan terintegrasi. Dengan kondisi seperti ini, apabila tidak dilakukan pengelolaan yang intensif, harimau sumatra diperkirakan akan mengalami kepunahan dalam waktu sepuluh tahun mendatang. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan, data sebaran populasi harimau sumatra di beberapa kawasan konservasi antara lain di TN Way Kambas sekitar individu (telah terpotret 44 individu), TN Bukit Tigapuluh sekitar individu (telah terpotret 7 individu), dan Kawasan Hutan Senepis-Buluhala sekitar individu (telah terpotret 9 individu). Gajah Sumatra (Elephas maximus), yang termasuk ke dalam Appendix I (UNEP-WCMC, 2010), populasinya juga terus menurun, yaitu dari individu (tahun 1996) menjadi individu (Lair, 1997; Azmi & Gunaryadi, 2011). Penurunan populasi tersebut disebabkan beberapa faktor, antara lain degradasi dan fragmentasi habitat akibat pembukaan lahan untuk pertanian, perkebunan, pemukiman dan pembangunan lainnya; perburuan gading gajah secara ilegal (Soehartono et al., 2007), dan konflik gajah dengan manusia karena persaingan pemanfaatan sumber daya alam di kawasan hutan dan sekitarnya. Strategi dan rencana aksi untuk menyelesaikan masalah konflik tersebut sudah disusun dan sebagian telah dilakukan, seperti penggiringan gajah di areal patroli maupun di lokasi yang sering didatangi gajah. Bahkan, pemanfaatan gajah hasil pelatihan di Pusat Latihan Gajah (PLG) juga telah dilakukan untuk proses penggiringan Nilai Penting Taman Nasional 37

59 tersebut, selain keperluan logging dan ekowisata. Rekreasi potensial wisata gajah antara lain menunggang gajah ke hutan dan pantai, mengamati perilaku gajah di berbagai tipe habitat, wisata angon gajah jinak di penangkaran, wisata kampung gajah dan kuliner, patroli gajah, wisata batu gajah dan wisata kopi gajah (Winarno, 2013). Anoa yang terdiri atas dua jenis, yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa dataran tingi (Bubalus quarlesi) (Nawangsari & Hidayat, 1996); populasinya mengalami penurunan akibat meningkatnya deforestasi dan fragmentasi habitat. Untuk meningkatkan populasi anoa, program konservasi ex situ bagi 35 individu dilakukan pada lembaga konservasi di Indonesia, seperti Taman Safari Indonesia (TSI) dan kebun binatang (KB); di luar lembaga konservasi, seperti universitas dan masyarakat; dan pada lembaga konservasi di luar negeri. Perkiraan populasi anoa berdasarkan hasil penelitian di SM Tanjung Amolengo, SM Tanjung Peropa, dan SM Lambusango adalah individu (Mustari, 1995; 2003; 2010). Banteng (Bos javanicus d Alton 1832) merupakan satwa liar yang lebih menyukai habitat terbuka dengan rerumputan sebagai pakan utama (grazer) daripada semak belukar (browser) ( Lekagul & McNeely, 1977). Habitat satwa ini diindikasikan mengalami kerusakan atau gangguan akibat invasive species, seperti kirinyuh (Chromolaena odorata (L.) King R.M. & Rob. H.), cente (Lantana camara), dan putri malu (Mimosa pudica) sehingga menurunkan daya dukung dan keluarnya banteng ke areal budi daya masyarakat, hutan tanaman ataupun perkebunan. Penelitian di TN Meru Betiri dijumpai 74 individu banteng yang terdiri atas 22 individu jantan, 37 individu betina, dan 15 individu anak. Populasi ini tidak dapat hidup dan berkembang baik pada habitat padang perumputan di Pringtali dengan luas 5 ha (daya dukung habitat per tahun hanya cukup untuk sekitar individu banteng betina atau 5 9 individu banteng jantan) sehingga banteng keluar dari kawasan taman nasional ke daerah penyangga, yaitu padang perumputan di Kebun Pantai Bandealit (63 ha) yang dapat menampung individu banteng betina atau individu banteng jantan (Garsetiasih, 2012). Hal ini juga terjadi di padang penggembalaan Cidaon (TN Ujung Kulon) yang mengalami kelebihan daya dukung 38 M. Bismark dan Reny Sawitri

60 karena hanya cukup bagi kehidupan sekitar 22 individu banteng, sedangkan populasi yang ada sekitar 29 individu (Kuswanda, 2005). Orangutan tersebar di Pulau Sumatra (Pongo abelii Lesson) dan Pulau Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus) (Kuswanda, 2014). Di Pulau Kalimantan, satwa ini terbagi menjadi tiga subjenis: Pongo pygmaeus pygmaeus (bagian Utara dan Barat), Pongo pygmaeus wurmbii (bagian Tengah) dan Pongo pygmaeus morio (bagian Utara dan Timur). Perkiraan populasi orangutan pada tahun 2004 di Sumatra sekitar individu dan di Kalimantan sekitar individu, termasuk 600 individu berasal dari TN Kutai (Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007). Populasi satwa ini di TN Kutai pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi individu (Balai TN Kutai, 2013). Owa jawa (Hylobates moloch) merupakan salah satu primata endemik yang penyebarannya meliputi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Penurunan populasi owa jawa disebabkan penebangan liar, perambahan kawasan, gangguan aktivitas pengunjung, perburuan liar, pengambilan kayu bakar dan hasil hutan bukan kayu. Populasi satwa ini di beberapa kawasan konservasi seperti TN Gunung Gede Pangrango adalah 347 individu dalam 105 kelompok (Iskandar et al., 2009). Ungko (Hylobates agilis) termasuk satwa primata Appendix I yang tersebar di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Populasinya juga mengalami penurunan karena habitatnya rusak atau hilang akibat perambahan dan konversi lahan, yaitu dari km 2 tersisa km 2 (Supriatna & Wahyono, 2000). Selain itu, penurunan populasi juga akibat fragmentasi hutan dan berkurangnya daya dukung habitat yang terdapat pohon sumber pakan. Populasi ungko pada tahun 1986 berkisar individu dan di TN Batang Gadis dengan luas habitat ungko 80% dari ha, estimasi populasinya saat ini sekitar individu dalam kelompok (Bangun et al., 2009). Tidak hanya mamalia besar, mamalia kecil seperti tarsius juga mengalami penurunan populasi. Tarsius (Tarsius tarsius) tersebar dari Kepulauan Sangihe sampai ke Pulau Selayar (Sulawesi). Habitat preferensi tarsius di TN Bantimurung-Bulusaraung memiliki kondisi topografi datar hingga berbukit agak curam dengan kemiringan 0 15%. Pemilihan tempat tidur adalah rumpun bambu dan tebing karst, sedangkan habitat tempat mencari pakan dipengaruhi oleh ketersediaan Nilai Penting Taman Nasional 39

61 sumber pakan serangga dan habitat berkembang biak adalah tegakan bambu. Berdasarkan hasil penelitian, populasi tarsius dipengaruhi oleh keberadaan jenis tumbuhan tingkat tiang dengan persamaan Y = 6,287 0,313 x 13, yang mana peningkatan jumlah jenis tumbuhan tingkat tiang sebesar satu unit akan mengakibatkan berkurangnya jumlah tarsius pada suatu habitat sebesar 0,313 (Amnur, 2010). Selanjutnya, satwa liar kecil lainnya yang juga memiliki potensi ekonomi dan ekologi dan memperkaya biodiversitas di kawasan hutan konservasi adalah serangga. Keberadaan serangga pada suatu ekosistem dapat menjadi indikator ekologi, apakah masih baik atau sudah terganggu. Sebagai contoh, keberadaan kupu-kupu dengan jenis dan populasi yang tinggi menunjukkan kualitas kawasan masih baik. Populasi kupu-kupu dan serangga lain akan menurun atau menghilang apabila terjadi degradasi kawasan sehingga membutuhkan pembinaan habitat. Salah satu habitat kupu-kupu Troides helena di TN Bantimurung-Bulusaraung dilakukan pembinaan habitatnya dengan penanaman jenis tumbuhan mali-mali (Leea indica Merr.), Dysoxylum alliaceaum Blume, Passiflora sp., Nauclea orientalis Merr., dan Ficus lepicarpa Blume. Jenis-jenis tumbuhan tersebut digunakan kupu-kupu sebagai media untuk meletakkan telur yang akan menetas dan menjadi larva (ulat), sumber pakan, dan media untuk menempel pupa sampai berubah menjadi imago (kupu-kupu dewasa) (Suryanto et al., 2013). 2.4 Degradasi Habitat Perambahan Hutan Perambahan hutan adalah semua aktivitas yang terjadi di dalam kawasan hutan tanpa izin dari representasi kelembagaan negara. Praktek aktivitas menduduki atau mengonversi lahan pada kawasan hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan terjadi dalam rangka mengembangkan agroindustri sebagai komoditas ekonomi. Dari aspek konservasi, perambahan hutan menurunkan daya dukung atau daya tampung lingkungan sebagai habitat satwa, serta mengancam potensi sumber daya alam lainnya. Perambahan hutan di TN Tesso Nilo (Provinsi Riau) pada tahun telah mencapai luas ,08 ha atau 30% dari luas kawasan sebagai akibat dari perbedaan persepsi 40 M. Bismark dan Reny Sawitri

62 penguasaan dan pengelolaan lahan antar-stakeholder [dalam hal ini pemegang izin konsesi HPH/HTI dan masyarakat di sekitarnya], terbukanya akses ke kawasan hutan (jalan koridor HPH-HTI), dan inkonsistensi kebijakan yang memicu konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat [terbitnya sertifikat perkebunan kelapa sawit yang didukung koperasi dan kelembagaan lokal] (Diantoro, 2011). Sementara itu, perambahan di TN Kutai dilakukan oleh masyarakat lokal maupun pendatang [etnis Dayak, Kutai, Bugis, Jawa dan Madura], yang saat ini, areal yang terdegradasi dikelola dalam bentuk zona khusus. Luas areal yang dirambah tersebut pernah diusulkan untuk dikeluarkan dari status kawasan hutan negara (enclave) pada tahun 2000, yaitu ± ha, namun luasnya [menurut zonasi TN Kutai] pada tahun 2013 bertambah menjadi ha, dan dalam perkembangannya menjadi ha. Pengelolaan lahan pada zona khusus ini telah mengonversi kawasan hutan menjadi permukiman, persawahan, perkebunan (kelapa sawit, gaharu, karet dan buah-buahan), rumah walet, dan fasilitas umum (Sawitri, 2014). Selain itu, masyarakat lokal dengan pertanian ekstensif atau perkebunan lebih memilih status kawasan menjadi enclave karena indikasi kandungan batubara yang berkalori tinggi dengan nilai sumber daya sejumlah 2,5 ton milyar dan diperkirakan berharga sekitar US$92 milyar (Situs resmi TN Kutai, 2008 dalam Arrayun, 2010; Departemen Kehutanan, 2008). Dengan demikian, lahan yang berharga ini merupakan investasi untuk diperjualbelikan Fragmentasi Hutan Fragmentasi hutan adalah proses yang menyebabkan kawasan hutan primer yang semula saling bersambungan berubah menjadi pulau-pulau kecil yang terpencar (Meijaard et al., 1999). Fragmentasi hutan yang menjadi habitat berbagai biodiversitas mewakili perubahan dari habitat yang semula utuh kemudian terpecah menjadi dua atau lebih fragmen yang lebih kecil (Franklin et al., 2000). Fragmen hutan yang tersisa biasanya langsung mencolok di tengah lingkungan yang pada dasarnya merupakan gurun-gurun ekologis, khususnya perkebunan, lahan pertanian dan lahan bera (Meijaard et al., 1999). Nilai Penting Taman Nasional 41

63 Fragmentasi dan pengurangan habitat telah diakui secara luas sebagai penyebab utama terjadinya penurunan spesies di seluruh dunia (Lovejoy et al., 1986). Berkurangnya luasan dan terfragmentasinya kawasan berhutan diduga mengakibatkan penurunan populasi sampai kepunahan lokal satwa liar langka (Gunawan et al., 2010). Kondisi ini sebagai contoh terjadi pada habitat orangutan yang telah mengalami fragmentasi sebagai akibat dari pembukaan hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit (WWF, 2011) Invasi Jenis Eksotik Introduksi jenis tumbuhan eksotik yang pada awalnya ditujukan untuk keperluan penelitian, pengembangan tanaman hias dan tanaman pangan, pengendalian kebakaran hutan/lahan, dan peningkatan produksi kayu di hutan tanaman telah memberikan dampak berupa gangguan terhadap ekosistem hutan alam. Jenis tanaman atau jenis eksotik tumbuhan digolongkan sebagai jenis invasif apabila berpotensi mengancam lingkungan atau ekosistem dan berkompetisi dengan jenis asli, serta mengambil alih menjadi dominan pada lingkungannya yang baru (Wibowo et al., 2010). Beberapa jenis yang termasuk kedalam 100 jenis organisme paling invasif di dunia, antara lain Acacia mearnsii, Ardisia elliptica, Arundo donax, Cecropia peltata, Cinchona pubescens, Clidemia hirta, Euphorbia esula, Fallopian japonica, Hedychium gardneriarium, Hiptage benghalensis, Leucaena leucocephala, Ligustrum robustum, Melaleuca quiquenervia, Micornia calvescens, Mimosa pigra, Morella faya, Opuntia stricta, Pinua pinester, Prosopis glandulosa, Psidium cattleianum, Pueraria montana var. lobata, Rubus ellipticua, Schinus terebinthifolius, Spartina anglica, Spathodea campanulata, Sphgneticola trilobata, Tamarix ramosissima, dan Ulex europaeus ( Jenis tumbuhan invasif yang ditemukan di Indonesia dibedakan menurut habitatnya, yaitu perairan dan daratan. Jenis tumbuhan invasif yang terdapat di perairan, antara lain Eichornia crassipes (Mart.) Solms, Hydrilla verticillata (L.f) Royle, Mimosa pigra L., Pistia stratiotes L., dan Salvinia molesta D.S. Mitchell. Beberapa jenis tumbuhan invasif yang dijumpai di daratan adalah Acasia nilotica (L.) Willd. ex Del., Austroeupatorium inulaefolium (Kunth.) R.M. King & H. Rob., Chromolaena odorata (L.) King & H. Rob, Crystopegia grandiflora R. Br., 42 M. Bismark dan Reny Sawitri

64 Dicranopteris linearis (Burm. F.), Eupathorium sordisum Less., Jatropha gossypifolia L., Lantana camara L., Mekania micrantha Kunth., Melastoma affine D. Don., Mimosa diplotrica C. Wright ex Sauvelle, Panicum maximum Jacq., Passiflora ligularis A. Juss, Pennisetum polystachion (L.) Schult.), Piper aduncum L., Sida rhombifolia L., Stachitarpeta indica (l.) Vahl, Stachitarpeta jamaicensis (L.) Vahl., Themeda arguens (L.), Hack., dan Tribulus terrestris L. (Tjitrosoedirdjo, 2005). Jenis tumbuhan invasif Passiflora ligularis dapat dijumpai di TN Gunung Gede Pangrango pada ketinggian m dpl yang pada awalnya merupakan tanaman buah yang didatangkan dari Amerika Latin dan ditumbuhkembangkan di Kebun Raya Cibodas. Biji dari tanaman ini kemudian dipencarkan oleh tupai tanah [yang memakan buah dan memencarkan biji] ke dalam kawasan taman nasional (Sawitri & Garsetiasih, 2011). Tanaman ini tumbuh merambat dan naik ke pohon hingga menutupi tajuk pohon sehingga menekan pertumbuhan pohon induknya (Tjitrosoedirdjo, 2005). Keberadaan jenis invasif juga telah menginvasi habitat banteng di beberapa taman nasional sehingga mengalami penurunan daya dukungnya. Jenis Acacia nilotica telah menginvasi savanna Bekol, Talpat, Keramat dan Balanan seluas ha di TN Baluran; jenis Crotalaria sp. dan Sesbania sabans menginvasi padang penggembalaan Sadengan di TN Alas Purwo; dan jenis Chromolaena odorata menginvasi padang penggembalaan Pringtali di TN Meru Betiri (Sawitri & Takandjandji, 2007). Sementara itu, vegetasi langkap (Arenga obtusifolia Blumme ex Mart) telah menginvasi TN Ujung Kulon seluas 28,750 ha (Haryanto, 1999). Hingga tahun 2010, vegetasi ini diperkirakan telah menginvasi habitat badak jawa sekitar ha atau 60% dari luas kawasan dan penyebarannya terkonsentrasi di sebelah Barat Semenanjung, yaitu Kalejetan, Cikeusik, Cibandawoh, Gunung Payung dan Cibunar. Selain itu, jenis tumbuhan lainnya adalah bambu cangketreuk (Szhizostachyum zollingeri Kurz) yang menginvasi habitat badak jawa seluas ha (Sawitri & Setyawati, 2011). Nilai Penting Taman Nasional 43

65 2.5 Pemanfaatan Flora-Fauna Pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat sekitar taman nasional dipicu oleh ketergantungan terhadap hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan antara lain penggunaan kayu sebagai konstruksi bangunan, perkakas rumah tangga, kapal dan kayu bakar, serta hasil hutan bukan kayu. Sebagai contoh, masyarakat sekitar TN Aketajawe- Lolobata, Provinsi Maluku Utara, telah memanfaatkan kayu sebagai konstruksi bangunan sebanyak 12 jenis, yaitu hati besi (Instia palembanica Miq.), bintangur (Callophyllum sp.), gofasa (Kleinbosvia hospital L.), binuang (Tetrameles nudiflora R. Brown), jati putih (Gmelina arborea Roxb.), kamaiwa (Nuclea sp.), kayu bugis (Koordersiodendron pinnatum Merr.), lingu (Pterocarpus indicus Willd), mologatu (Dyospyros sp.), nyatoh (Palaquium rostratum Burck.), marpala (Neonauclea calycina Merr.) dan gora bagea (Syzigium sp.); sebagai bahan perkakas rumah tangga, seperti kenari (Canarium vulgare Leenh), Matoa (Pometia pinnata Forst. F), mersawa (Syzigium sp.), wiru (Streblus elongates (Miq.) Corner), kayu telur (Alstonia scholaris (L.) R. Br.), dan kolot kambing (Garuga floribunda Decne); serta sebagai kayu bakar, seperti kayu sirih (Piper sp.), kerikis (Zyzyphus angustifolius Miq.), gusak (Dilenia sp.), laban (Vitex pubescens Vahl), owaha (Litsea glutinosa C.B. Rob) (Nurrani & Tabba, 2013). Hasil hutan bukan kayu berasal dari bagian pohon atau tumbuhtumbuhan yang memiliki sifat khusus yang dapat menjadi suatu barang yang diperlukan masyarakat, diperjual belikan sebagai komoditi ekspor atau bahan baku untuk industri. Beberapa hasil hutan bukan kayu yang umumnya dipungut masyarakat dari dalam kawasan konservasi yaitu getah kayu (damar, kopal, jelutung, perca, kemenyan, pinus); minyak atsiri (kayu putih, minyak lawang, dan nilam); kulit kayu sebagai bahan penyamak kulit (pilang dan bakau), kayu manis, bahan pewarna; buahbuahan dan biji (tengkawang, kemiri, matoa dan asam); serta jenis pohon atau tanaman tertentu (kayu cendana, rotan, bambu dan gaharu) (Djajapertjunda, 2001). Hasil hutan bukan kayu yang sering dimanfaatkan masyarakat sekitar TN Aketajawe-Lolobata sebagai bahan tali, kerajinan anyaman, atap rumah, pembungkus makanan, bahan makanan dan minuman, serta obat-obatan antara lain rotan 44 M. Bismark dan Reny Sawitri

66 (Dracontomelon spp.), panadan (Pandanus sp.), woka (Livistonia rotindufolia (Lamk.), kasbi (Manifot utitillsima Phl), saguer (Arenga pinnata Merr), sagu (Metroxylon sago Rottb.), tapaya (Carica papaya L.), paku-pakuan (Pteridophyta sp.), pisang (Musa sp.), tali kuning (Arcangelsia flava Menisp.), langsat (Lansium domesticum Corr.), rambutan (Nephelium lappaceum L.), dan pala (Myristica lepidota Blume) (Nurrani et al., 2013). Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dilakukan sejak lama oleh masyarakat sekitar hutan yang umumnya sebagai pengumpul, seperti masyarakat sekitar TN Bukit Tigapuluh. Sudah sejak zaman dahulu secara turun-temurun, penduduk mengambil beberapa hasil hutan bukan kayu seperti rotan, jernang, kayu gaharu, damar, petai, jengkol dan madu lebah. Hasil hutan tersebut biasanya mereka konsumsi sendiri dan sebagian lagi mereka jual. Namun, masa pengambilan rotan sangat tidak menentu. Hasil wawancara dengan beberapa responden diketahui bahwa pengambilan rotan dapat berlangsung 4 5 tahun sekali. Masa pengambilan jernang juga cukup lama, yaitu dua tahun sekali, sama dengan masa panen petai. Sementara itu, panen durian dilakukan satu tahun sekali. Selain bahan kerajinan dan makanan, beberapa penduduk tertentu juga memanfaatkan tanaman obat untuk keperluan pengobatan masyarakat. Tanaman obat yang biasa dimanfaatkan yaitu akar kunyit, akar kelobosan, kayu manau, pulai, gawal-gawal, kemenyan, cabai tempala, lese putih, puar gayat, pisang karuk, pasak bumi, kulim, butat, lumpang, palem batang air, dan jenis lainnya. Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di sekitar TN Gunung Gede Pangrango antara lain rasamala (Altingia excelsa) dan puspa (Schima wallichii) sebagai kayu pertukangan, kaliandra (Calliandra sp.) dan bambu (Gigantochloa spp.) sebagai kayu bakar, pakis haji (Dyplazium sp.), tanaman hias, rotan, dan konyal (Passiflora suberosa). Pemanfaatan tumbuhan dari kawasan secara ilegal oleh masyarakat sekitar disebabkan rendahnya tingkat pendidikan (92,2%), tingkat pendapatan (59,9%), dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari (88,2%) (Sudomo & Siarudin, 2008). Pemanfaatan sumber daya alam sesuai potensi yang ada di suatu kawasan konservasi cukup besar, terutama oleh masyarakat sekitarnya. Nilai Penting Taman Nasional 45

67 Masyarakat umumnya sudah memanfaatkan berbagai jenis tanaman lokal yang terdapat di dalam kawasan sekitar tempat tinggalnya, baik untuk pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten) maupun untuk diperjualbelikan. Beberapa jenis pohon buah-buahan lokal banyak dipanen dari hutan, baik dengan mengelola keberadaannya dalam hutan maupun sebagian dibudidayakan di pekarangan atau di kebun masyarakat. Sebagai contoh, TN Kutai memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan buah-buahan khas Kalimantan yang cukup tinggi dan beberapa di antaranya termasuk endemik, yaitu 24 jenis mangga liar seperti kasturi (Mangifera casturi Griff) dan wanyi (Mangifera caesia); 16 jenis (apa?) seperti ramania (Nephelium sp.) dan maritam (Nephelium juglandifolium); durian lai (Durio sp.) dan krantungan (Durio oxleyanus); keledang (Artocarpus lanceifolius); dan manggis hutan (Garcinia celebica) (Michon, 2005; Sawitri et al., 2011). Pemanfaatan keanekaragaman hayati lainnya dari satwa liar juga banyak dilakukan oleh masyarakat, antara lain jenis ikan, burung dan mamalia seperti rusa sambar dan kancil. Penangkapan ikan dilakukan dengan cara memancing, menjaring, meracun ataupun menyetrum. Cara memancing secara tradisional pun beragam; ikan-ikan kecil seperti ikan seluang (Rasbora spp.) dipancing menggunakan umpan kail dari daging buah kelapa; sedangkan jenis ikan lainnya menggunakan umpan seperti ulat bambu, usus ayam dan ikan-ikan kecil. Jumlah orang yang memancing di Sungai Sangata setiap hari sekitar 10 orang per dusun dengan hasil rata-rata 3 5 kg per orang. Hasil tangkapan ikan tersebut umumnya dijual atau dikonsumsi sendiri. Jenis-jenis ikan yang dimanfaatkan tersebut tercantum dalam Tabel 2. Selain memanfaatkan berbagai jenis tanaman yang ada di sekitarnya dan ikan yang ada di sungai tersebut, masyarakat juga memanfaatkan berbagai jenis burung; baik untuk keperluan upacara adat, dikonsumsi sendiri maupun diperjualbelikan (Tabel 3). 46 M. Bismark dan Reny Sawitri

68 Tabel 2. Jenis ikan dari Sungai Sangata yang dikonsumsi dan diperjualbelikan Nama Lokal Nama Latin Harga (Rp/kg) Haruwan/Toman/Gabus Channa melasoma Channa striata Channa cyanospilos Channa melanoptera Channa pleurophithalmus Channa marulioides Sili Macrognathus aculatus Macrognathus maculatus Mastacembelus notophthalmus Sepat Trichogaster leerii Trichogaster trichopteris Trichogaster pectoralis Trichopsis villata Sphaerichthys selatanensis Sphaerichthys vaillanti Sphaerichthys osphromenoides Sphaerichthys acrostoma Sidat Anguilla marmorata Terumpah Cynoglossus puncticeps Pseudothombus arsius Puyu Anabas testudineus Batu Helostoma temminchii Baung Mystus nemurus Mystus gulio Mystus nigriceps Mystus micracanthus Mystus bimaculatus Patin Pangasius nieuwenhuisii Lele Clarias leiacanthus Keting Arius spp Sembilang Brachygobius aggregatus Lumbat Ompok leiacanthus Ompok euganeiatus Ompok sabarus Ompok hypophthalmus Ompok bimaculatus Kryptoptemus parvarialiss Nilai Penting Taman Nasional 47

69 Kryptoptemus palembangensis Kryptoptemus schilbeides Silurichthys hasseltii Silurichthys phaiosoma Julung-julung Hemirlamphodon phaisoma Hemirlamphodon neglectus Kerapu Epinephelus spp Kakap Lutjanus fuscescens Lutjanus maxweberi Lutjanus johnii Mujair Oreochronius mossambicus Belanak Mugil cystachius Ikan Mas Cyprinus carpio Seluang Punctius spp Rasbora spp Karper Osteochilus spp Oxygaster anomalura Parachela hypophthalmus Parachela oxygastroides Sumber: Sawitri et al. (2011) Tabel 3. Jenis burung yang dikonsumsi dan diperjualbelikan Nama Lokal Nama Latin Harga (Rp/individu) Rangkong Rhinoplas vigil Punai/Delimukan Chalcophaps indica Kacer Hemipus hirundinaceus Beo Gracula religiosa Betet Loriculus galgulus Kutilang Pycnonotus goiavier Rangkong Antharacoceros albirostris Sumber: Data primer dan Sawitri et al. (2011) Pemanfaatan sumber daya alam flora dan fauna dari kawasan konservasi tidak hanya dilakukan secara tradisional untuk pemenuhan kebutuhan hidup mendasar bagi masyarakat. Pemanfaatan secara liar juga terjadi dengan tujuan utama komersial dan pola yang tidak 48 M. Bismark dan Reny Sawitri

70 terkendali atau merusak lingkungan. Kegiatan eksploitasi yang tidak sesuai dengan asas kelestarian tersebut adalah illegal logging dan illegal hunting atau illegal fishing. Illegal logging atau pembalakan liar berkaitan dengan aktivitas ilegal yang memungut sumber daya hutan terutama kayu (timber forest product) sebagai komoditas. Kegiatan ini merupakan rangkaian yang dimulai dari penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu tidak sah atau tidak memiliki izin otoritas setempat. Jenis kayu yang diambil umumnya dari jenis komersial seperti famili Dipterocarpaceae, bangkirai, ulin, ramin, pulai, jati, rasamala, laban, puspa, cangcarakan, dan sideung. Illegal fishing adalah pengambilan SDA laut dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti bahan peledak, bahan beracun (alami ataupun buatan), dan tidak memiliki izin tangkap (TN Teluk Cendrawasih, 2009). Kegiatan ini merupakan suatu ancaman terhadap ekosistem dan keberadaan biota laut, terutama terumbu karang. Selain itu, biota laut yang dilindungi juga tidak terlepas dari illegal fishing dengan menggunakan alat bantu bubu, rawai dasar atau compressor. 2.6 Konflik Kepentingan Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan; nilai tindakan atau arah sudah menyatu sejak adanya kehidupan (Mitchell et al., 2000 dalam Alikodra, 2009). Perbedaan dan pertentangan kepentingan muncul apabila terjadi perbedaan pandangan, ideologi dan harapan dalam pengalokasian sumber daya dan pengambilan keputusan. Konflik antara manusia dan satwa liar cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwa liar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwa liar yang dapat mengakibatkan efek detrimental terhadap upaya konservasi (Garsetiasih, 2012). Kerugian yang diakibatkan konflik antara lain kerusakan tanaman pertanian, perkebunan atau perkayuan, pemangsaan ternak oleh satwa, korban jiwa, dan kematian satwa. Konflik antara harimau sumatra dengan masyarakat desa ataupun tenaga kerja dikarenakan adanya pembukaan hutan, eksploitasi hutan, dan konversi vegetasi hutan alam menjadi tanaman monokultur. Konflik tersebut dapat menyebabkan penurunan kuantitas, kualitas dan daya dukung habitat. Akibat selanjutnya adalah penurunan populasi Nilai Penting Taman Nasional 49

71 dan jenis satwa mangsa harimau seperti rusa, babi hutan, kera yang bermigrasi ke tempat yang lebih baik atau mati; hilangnya tempat berlindung dan membesarkan anak; serta perubahan daerah jelajah. Keadaan tersebut telah menekan harimau sumatra untuk mencari teritorial baru dan masuk ke pemukiman untuk mencari mangsa sehingga telah menyebabkan konflik antara harimau dengan manusia. Dalam kurun waktu , tercatat lebih dari 152 kasus konflik harimau dengan masyarakat yang mengakibatkan lebih dari 25 orang meninggal dunia, puluhan orang luka-luka, dan ratusan ternak milik masyarakat desa dimangsa oleh harimau (Hasiholan, 2010). Bentuk konflik lainnya adalah antara manusia dan orangutan yang umumnya berupa perusakan kebun masyarakat, perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri oleh orangutan. Hal ini diduga karena keberadaan orangutan sudah semakin terdesak akibat semakin menyusutnya habitat sehingga orangutan terpaksa memasuki wilayah perkebunan untuk memperoleh makanan (World Wildlife Fund, 2011). Kondisi ini mengidikasikan terdapatnya permasalahan dalam pemanfaatan ruang dan tata kelola kawasan konservasi (Yassir, 2012). Hal yang sangat disayangkan akibat konflik ini adalah timbulnya anggapan bahwa orangutan merupakan satwa hama. Padahal, masalah utamanya adalah adanya pembangunan atau konversi hutan alam yang dilakukan di habitat orangutan. Konflik terkait satwa liar dan kawasan juga terjadi pada beberapa taman nasional. Konflik antara banteng dengan masyarakat dan antara masyarakat dengan pihak pengelola TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo terjadi di daerah penyangga taman nasional yang berupakan areal pertanian masyarakat, kawasan hutan Perum Perhutani dan areal perkebunan swasta di Bandealit. Kondisi ini dicirikan oleh meningkatnya perburuan banteng karena telah menyebabkan kerusakan tanaman pertanian, perkebunan dan perkayuan. Masuknya banteng ke areal pertanian atau perkebunan tersebut telah mengakibatkan kerugian sebesar 30 50% (Garsetiasih, 2012). Konflik kepentingan lahan di beberapa kawasan konservasi juga terjadi, seperti antara Balai TN Gunung Halimun Salak dengan Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi. Konflik ini disebabkan oleh perbedaan persepsi, kepentingan, tata nilai dan pengakuan hak 50 M. Bismark dan Reny Sawitri

72 kepemilikan lahan. Hal ini diindikasikan dengan kondisi tata batas di lapangan tidak jelas, rendahnya apresiasi masyarakat terhadap taman nasional, dan meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam ( Marina & Dharmawan, 2011). 2.7 Konservasi Sumber Daya Genetik Pemanfaatan keragaman hayati untuk memenuhi berbagai kebutuhan bahan makanan, obat-obatan, pakaian, kontruksi rumah maupun estetika memerlukan upaya pelestarian. Pelestarian keragaman hayati merupakan suatu program konservasi sumber daya genetik, yaitu mempertahankan keragaman genetik dan meminimalkan proses yang dapat mengurangi keragaman tersebut (Neel et al., 2001). Aktivitas manusia di dalam pengelolaan hutan secara tidak langsung mengubah keragaman jenis, seperti melalui aktivitas pembalakan. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap jenis-jenis yang kelimpahannya rendah atau terancam punah (Indrioko, 2012). Jenis terancam punah yang dikategorikan menurut IUCN (1996) sebagai rentan (vulnerable), terancam (endangered) dan kritis (critically endangered) memerlukan waktu kepunahan 100 tahun, 20 tahun atau 5 generasi, dan 10 tahun atau 3 generasi dengan kemungkinan terjadinya kepunahan sekitar 10%, 20%, dan 50%. Dengan demikian, upaya pelestarian sumber daya genetik untuk jenis yang terancam punah perlu dilaksanakan melalui konservasi secara in situ maupun ex situ (Indrioko, 2012). Konservasi sumber daya genetik telah dilakukan dengan membangun plot, baik di dalam kawasan konservasi maupun hutan produksi (seperti hutan penelitian dan hutan tanaman). Pembangunan plot konservasi jenis secara in situ telah dilakukan, contohnya terhadap jenis eboni (Diospyros celebica Bakh) seluas 2 ha dengan jarak tanam 5 x 5 m yang terdapat di TN Bantimurung Bulusaraung (Kiding Allo, 2012). Contoh lainnya adalah jenis Shorea leprosula di PT Sari Bumi Kusuma pada petak 3 C (20 ha), sedangkan S. macrophylla, S. parvifolia, S. platycados, S. pinanga, dan S. stenoptera pada petak 7 F (75 ha) dengan jarak tanam 5 x 5 m yang bibitnya merupakan kumpulan dari beberapa HPH (PT Musi Hutan Persada, Perum Perhutani, PT Suka Jaya Makmur, Nilai Penting Taman Nasional 51

73 PT Erna Djuliawati dan PT Sarpatim) (Purnomo & Widiyatno, 2012). Pembangunan plot konservasi secara ex situ di hutan penelitian dan hutan tanaman juga dilakukan untuk jenis yang dilindungi antara lain ulin (Eusideroxylon swageri) dan cempaka (Michelia champaka) (Nugroho, 2012; Murniati, 2012). Dalam rangka meningkatkan kinerja plot diperlukan pertimbangan beberapa hal, yaitu representasi keragaman genetik dari plot yang dibangun, kepastian status taksonomi, keberlanjutan informasi kekerabatan jenis, teknik pengambilan materi sampel untuk bibit, dan desain plot yang mengacu pada keragaman genetik, serta waktu pengambilan materi genetik pada saat puncak musim buah dan pembungaan (Indrioko, 2012). 2.8 Keberadaan Masyarakat dan Pengaruhnya Data Kementerian Kehutanan (2009) dalam Haminjon (2013) menunjukkan terdapat desa yang berinteraksi dengan hutan dan 71,06% dari desa-desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Masyarakat yang tinggal dan hidup di desa-desa tersebut selama ini menerima dampak langsung apabila terjadi kerusakan hutan. Rositah (2006) menyebutkan bahwa 15% dari 48 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat miskin dan tercatat adanya korelasi yang kuat antara tutupan hutan dengan kemiskinan (Sunderlin et al., 2007). Keberadaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar taman nasional memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam. Kebergantungan tersebut juga terjadi pada taman nasional yang memiliki wilayah kepulauan dan di kelilingi oleh pemukiman masyarakat. Pada umumnya, masyarakat tersebut memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dengan keterampilan dan modal yang terbatas, serta memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di perairan laut maupun di pesisir pantai. Masyarakat nelayan memanfaatkan sumber daya alam yang terdiri dari nekton, kerangkerangan, kepiting, udang, dan vegetasi mangrove. Sementara itu, taman nasional dengan ekosistem daratan mendapat ancaman/tekanan penduduk sekitar taman nasional yang bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani dengan kepemilikan luas tanah yang terbatas. 52 M. Bismark dan Reny Sawitri

74 Berdasarkan hasil penelitian Sawitri dan Subiandono (2011), tingkat ketergantungan masyarakat sekitar kawasan ataupun di dalam kawasan terhadap sumber daya hutan dapat diketahui dari kehidupannya. Kegiatan harian mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup dilakukan melalui pemanfaatan hasil hutan, baik berupa keragaman hayati maupun jasa lingkungan, seperti air bersih (Tabel 4). Tabel 4. No. Pemanfaatan sumber daya hutan TN Gunung Halimun Salak di lima kampung, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten Kegiatan (Activities) 1. Intervensi ke hutan (Forest intervention) (kali/bln) 2. Mata air (Water spring) Pelestarian (Sustainability) Pemanfaatan (Utility) Lokasi (Location) (Kampung. Desa/ Kampongs, Villages) ) Lebak Cirotan Ciparay, Naga, Dengkleng, Sembada, Atas, Citorek Citorek Sukamulya Citorek Cihambali Timur Tengah Kidul Menjaga tanaman sekitarnya Air minum, MCK, sawah Menjaga tanaman sekitarnya Air minum, MCK, sawah Menjaga tanaman sekitarnya Air minum, MCK, sawah 3. Pemamfaatan jenis tumbuhan (The use of plant species) Kayu (Woody) Buah-buahan (Fruits) Tanaman obat (Medicinal plant) Kayu bakar (Fire wood) (pikul /bln) Rasamala, mahoni, puspa Rasamala, mahoni, pinus, agathis Rasamala, pinus, mahoni, agathis Menjaga tanaman, 100 m dari mata air Air minum, MCK, sawah Rasamala, mahoni, puspa, pasang saninten, huru Menjaga tanaman sekitarnya Air minum, MCK, sawah Rasamala, mahoni, puspa, huru, pasang saninten Saninten Saninten Ki mendet, ki koneng, cangkorek Jahejahean, kumis kucing, cente, brotowali Jahe Nilai Penting Taman Nasional 53

75 Tingkat intervensi masyarakat masuk ke dalam hutan berhubungan dengan lokasi kampung dan kebutuhan terhadap kayu bakar atau bahan bangunan. Walaupun telah dibagikan alat masak berbahan bakar gas, kebutuhan kayu bakar untuk memasak tidak ditinggalkan dan masih merupakan bahan bakar yang lebih dominan dipergunakan pada setiap rumah tangga. Sementara itu, penggunaan kayu bakar dari hutan hanya 1 2 pikul/bulan di Kampung Dengkleng (Sukamulya), Kampung Lebak Sembada (Citorek Kidul) dan Kampung Naga (Citorek Tengah) karena masyarakat di tiga kampung ini memiliki kebun sendiri sebagai sumber kayu bakar. Mata air merupakan potensi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Sebagian besar sumber mata air terdapat di hutan, walaupun ada juga yang terdapat di sekitar lahan pertanian, misalnya mata air Cirametek dan Cipari (Anonimous, 2005). Kearifan lokal untuk menjaga sumber mata air tersebut dilakukan dengan menjaga pohon-pohon yang ada di sekitar mata air supaya tidak diganggu. Kondisi sumber mata air pada waktu musim hujan airnya menjadi agak keruh dan lebih banyak daripada biasanya sehingga menyebabkan banjir (caah/gundur). Namun, kondisinya relatif stabil pada waktu musim kemarau. Ketergantungan masyarakat terhadap jenis tumbuhan hutan yang diambil kayunya atau manfaat lainnya juga masih tinggi. Jenis kayu rimba seperti rasamala (Altingia excelsa Noronha), pasang (Querqus spp), saninten (Castanopsis argentea A. DC.), dan puspa (Schima wallichii Korth) paling banyak diminati masyarakat untuk kepentingan bahan bangunan perumahan maupun leuit atau bangunan tempat menyimpan padi. Sementara itu, pemanfaatan jenis tanaman obatobatan dan jamur masih terbatas pada penyakit yang umum diderita masyarakat seperti sakit perut, kuning dan mata. Beberapa taman nasional juga merupakan tempat hunian masyarakat dengan adat istiadat dan budaya yang masih sangat tradisional. Taman Nasional Bukit Tigapuluh dihuni oleh Suku Anak Dalam, Suku Talang Mamak dan lain-lain, sedangkan TN Gunung Halimun Salak dijumpai masyarakat Kasepuhan Banten Kidul yang terdiri dari Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Ciptamulya, Cicarucup, Cisitu, Cisungsang, Citorek dan Urug (TN Bukit Tigapuluh, 2008 dan TN 54 M. Bismark dan Reny Sawitri

76 Gunung Halimun Salak, 2008). Masyarakat tradisional tersebut memiliki keterikatan yang sangat erat dengan lingkungannya. Masyarakat Suku Talang Mamak percaya bahwa bukit dan tumbuhan yang terdapat di taman nasional memiliki kekuatan magis dalam kehidupan, sedangkan masyarakat kasepuhan melakukan kegiatan seren taun setiap tahun sebagai rasa syukur terhadap keberhasilan dalam pertanian, khususnya padi sebagai makanan pokok. Dengan demikian, masyarakat tradisional tersebut dengan kearifan tradisionalnya secara tidak langsung turut berpartisipasi aktif dalam menjaga dan melindungi sumber daya alam hayati di taman nasional. Pengaruh keberadaan masyarakat terhadap kawasan hutan konservasi terkait pula dengan karakteristik sosialnya. Sebagai contoh, masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan TN Bantimurung- Bulusaraung (TN Babul) di Kecamatan Camba, Mallawa, dan Cenrana (Kabupaten Maros) pada umumnya adalah suku Bugis. Dari segi umur, masyarakat yang menggarap lahan di dalam dan sekitar TN Babul berkisar antara tahun dengan rata-rata umur 47,44 tahun yang masih tergolong usia produktif. Tingkat pendidikan masyarakat sekitar TN Babul umumnya masih rendah karena sebagian besar berpendidikan sekolah dasar, dan hanya sebagian kecil saja yang melanjutkan ke sekolah menengah dan perguruan tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut dapat berimplikasi terhadap terbatasnya wawasan berpikir dan kemampuan mengadosi teknologi baru sehingga tingkat produktivitas dalam menggarap lahan juga rendah. Pekerjaan pokok masyarakat sekitar TN Babul umumnya adalah petani sawah dan kebun. Hanya sebagian kecil yang bekerja di bidang jasa dan sebagai pegawai. Pekerjaaan sampingan mereka adalah petani kebun, wiraswasta, buruh sawah, pembuat gula aren, dan pemburu lebah madu. Selain itu, masyarakat juga memiliki tanggungan keluarga berkisar antara 1 9 orang (rata-rata 4 orang). Hal ini mengindikasikan potensi untuk menggarap lahan cukup tersedia. Jika kemampuan masyarakat dalam bertani dan tenaga kerja yang tersedia dapat dimaksimalkan, serta didukung dengan pembinaan yang tepat; peluang peningkatan produktivitas dalam menggarap lahan terbuka lebar. Pola pemanfaatan sumber daya hutan yang terus-menerus tanpa diimbangi dengan upaya pelestarian menyebabkan potensi hasil hutan Nilai Penting Taman Nasional 55

77 (kayu dan bukan kayu) dan kesuburan lantai hutan menjadi terbatas. Hal ini juga terjadi di dalam dan sekitar taman nasional, seperti di TN Sebangau. Masyarakat daerah penyangga taman nasional tersebut memiliki pola pemanfaatan sumber daya yang diambil di dalam maupun di luar kawasan yang terkait pada perikanan (5%), pertanian dan agroforestry (85%), kehutanan (3%), dan budi daya walet (1%) (Yuwati & Robby, 2013). Pemanfaatan sumber daya hutan di dalam kawasan berupa pengambilan getah jelutung, gemor, rotan dan kayu galam. Akibat pemanenan yang berjalan terus-menerus, pohon yang tersisa berukuran kecil-kecil dan lokasi pengambilannya menjadi cukup jauh. Hal lainnya adalah masalah yang dihadapi masyarakat di luar kawasan, seperti sulitnya mendapatkan ikan pada musim penghujan dan rendahnya harga jual, serta terjadinya banjir. Oleh sebab itu, kebijakan pengelolaan taman nasional telah melarang masyarakat memanfaatkan hasil hutan, seperti penebangan kayu, pengambilan kayu bakar, ikan kecil dan gamor. Kebijakan pengelolaan TN Sebangau tersebut menimbulkan persepsi yang berbeda bagi masyarakat terhadap pihak pengelola dan WWF [LSM yang terlibat dalam kolaborasi pengelolaan TN Sebangau] sehingga membutuhkan kegiatan konkret agar interaksi masyarakat dan taman nasional semakin baik (Gambar 4). Berdasarkan kondisi tersebut, pendekatan pengelolaan dan pengembangan daerah penyangga TN Sebangau hendaknya memprioritaskan kesempatan berusaha dan tingkat pendapatan ekonomi. Kegiatan konkret antara lain melalui pengembangan ekonomi alternatif dan perluasan pemasaran komoditas terutama perikanan; pengadaan sumber daya alternatif, seperti kayu bakar, kayu pertukangan, tumbuhan obat, dan tanaman pangan; peningkatan dukungan dan kesadartahuan masyarakat tentang konservasi; serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan daerah penyangga, komunikasi, kapasitas kelembagaan ekonomi dan pengembangan daerah penyangga. 56 M. Bismark dan Reny Sawitri

78 Gambar 4. Grafik persepsi masyarakat Desa Sebangau Permai terhadap pengelolaan TN Sebangau Nilai Penting Taman Nasional 57

79

80 Bab 3 VALUASI POTENSI TAMAN NASIONAL Nilai Penting Taman Nasional 59

81 Indonesia memiliki potensi biodiversitas dan lingkungan yang sangat tinggi sehingga disebut sebagai negara mega biodiversitas. Taman nasional merupakan salah satu sumber dan habitat berbagai biodiversitas yang potensinya bernilai ekonomi tinggi, termasuk pula nilai jasa lingkungan. Sumber daya ini baru sebagian saja yang sudah diidentifikasi dan divaluasi nilainya. Namun, hal yang tidak dapat dipungkiri adalah keberadaan suatu kawasan taman nasional pasti memiliki nilai ekonomi dan sangat penting artinya dalam sistem penyangga kehidupan. Oleh sebab itu, potensi tersebut harus dapat dikelola dan dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan. 3.1 Identifikasi Potensi Biofisik Taman Nasional Taman nasional di Indonesia memiliki keunikan, kekhasan, keindahan, dan keajaiban fenomena alam, serta kekayaan tumbuhan dan satwa liar dengan tingkat keragaman yang tinggi. Kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia sebanyak ±6.000 jenis tumbuhan dan satwa liar yang sebagian telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan, obat-obatan, kosmetik, pewarna, kertas, dan lainnya. Sementara itu, keanekaragam ekosistem alam telah diidentifikasi sebanyak 57 tipe, sedangkan pengetahuan keanekaragaman genetika masih sangat terbatas. 60 M. Bismark dan Reny Sawitri

82 Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi di dunia (mega-biodiversity country). Keanekaragaman jenis tumbuhan di dunia sekitar jenis dan sekitar 15,3% atau jenis berada di Indonesia. Sejumlah keragaman tumbuhan tersebut merupakan jenis endemik (sekitar 55%). Potensi keragaman tumbuhan tersebut salah satunya sebagai tumbuhan berkhasiat obat sebanyak jenis yang mana jenis telah diidentifikasi dan 283 jenis telah dieksplorasi bahan aktifnya (Bahtera, 2010). Bahkan, paten obat yang bersifat herbal per tahun sebanyak buah, namun aplikasi lokal hanya 117,3 buah sehingga jenis tumbuhan berkhasiat obat yang dimanfaatkan masih kurang dari 5%. Keanekaragaman tumbuhan lainnya antara lain kelompok palem yang mencapai 477 jenis (225 jenis endemik dan menduduki urutan pertama di dunia) dan penghasil produk kayu sebanyak 350 jenis, terutama Dipterocarpaceae. Sementara itu, keragaman jenis satwa liar di Indonesia meliputi mamalia 515 jenis (200 jenis endemik), reptilia 511 jenis (150 jenis endemik), burung jenis (397 jenis endemik), amfibi 270 jenis (100 jenis endemik), binatang tidak bertulang belakang jenis, ikan air tawar jenis, dan kupu-kupu 121 jenis (53 jenis endemik) (BAPPENAS, 2003). 3.2 Manfaat Ekologi dan Ekonomi Potensi sumber daya hutan tidak selalu dalam bentuk komoditas fisik, baik produk kayu maupun bukan kayu, tetapi juga potensi lainnya, seperti jasa lingkungan. Dari aspek ekologi dan ekonomi, jasa lingkungan hutan merupakan potensi sumber daya hutan yang sering dipertimbangkan pemanfaatannya setelah potensi fisik tidak dapat dikelola dengan optimal. Sebagai hasil atau implikasi dari dinamika hutan, jasa lingkungan mempunyai nilai manfaat atau memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia, baik manfaat langsung (tangible benefit) maupun manfaat tidak langsung (intangible benefit) (Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, 2009). Pengelolaan jasa lingkungan menurut Pgiola et al. (2004) dan Lemona et al. dalam Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam (2009) dibagi ke dalam 4 kategori: 1) Perlindungan dan pengaturan tata air (jasa lingkungan air), 2) Konservasi keanekaragaman hayati (jasa Nilai Penting Taman Nasional 61

83 lingkungan keanekaragaman hayati), 3) Penyediaan keindahan bentang alam (jasa lingkungan ekowisata), dan 4) Penyerapan dan penyimpanan karbon (jasa lingkungan karbon). Salah satu cara untuk melakukan valuasi ekonomi jasa lingkungan adalah dengan menghitung nilai ekonomi total (NET). Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumber daya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional, yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan dengan benar dan mengenai sasaran (Bakosurtanal, 2004). Penilaian ekonomi tidak saja ditujukan pada nilai yang langsung dapat dihitung, tetapi termasuk juga yang tidak memiliki nilai pasar (non-market value), nilai fungsi ekologism, dan keuntungan yang tidak langsung lainnya. Selanjutnya, Djijono (2002) menyatakan bahwa nilai (value) merupakan harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Penilaian (valuasi) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa, yang mana valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi terhadap sumber daya yang digunakan sesuai dengan nilai riil menurut sudut pandang masyarakat [contoh yang tidak dapat dinilai dengan riil adalah nilai keberadaan]. Nilai keberadaan (exsistence value) erat hubungannya dengan nilai religius atau kebiasaan masyarakat terhadap sumber daya tersebut, misalnya budaya masyarakat suatu daerah yang mempunyai pandangan religius tentang hutan mangrove yang diyakini sebagai tempat sakral atau keramat sehingga sumber daya mangrove tersebut tidak dimanfaatkan secara rutin dan akan digunakan bilamana ada kegiatan yang menyangkut adat istiadat di masyarakat tersebut Nilai Ekonomi Biodiversitas Nilai ekonomi biodiversitas di suatu taman nasional dapat dihitung dengan berbagai pendekatan. Sebagai contoh, nilai ekonomi biodiversitas di TN Bukit Tigapuluh (TNBT) diperoleh dengan menggunakan pendekatan menurut Pesarce dan Moran, yaitu dengan mengetahui nilai keragaman jenis kayu komersial yang ada di kawasan. Jumlah pohon yang terdapat pada petak ukur (0, 25 ha) adalah M. Bismark dan Reny Sawitri

84 pohon yang tergolong dalam 60 jenis, 35 marga dan 20 suku. Jenis yang dominan adalah meranti, yaitu Shorea abovodea (INP=30,36%, K=16 batang/ha) dan Shorea accuminata (INP=24,71%, K=20 batang/ha), keduanya anggota suku Dipterocarpaceae. Suku lainnya yang cukup dominan dari banyaknya jenis adalah Euphorbiaceae (12 jenis) dan Burseraceae (9 jenis). Indeks keanekaragaman (H ) sebesar 3,46. Hal ini menandakan kemantapan ekosistem yang tergolong tinggi (nilai H >3,0). Pengelolaan nilai ekonomi biodiversitas membutuhkan beberapa parameter, antara lain komponen biaya dari pengelolaan, harga jual jenis-jenis kayu komersial, dan keuntungan normal dari usaha tersebut. Hasil perhitungan nilai ekonomi biodiversitas yang ada di TNBT adalah sekitar Rp ,09/ha. Hasil perhitungan yang telah dilakukan tersebut, secara garis besar dapat dikatakan bahwa biodiversitas yang ada di TNBT mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Bila dilihat dari luas keseluruhannya ( ha), total nilai ekonomi biodiversitas yang ada di TNBT diperkirakan sebesar Rp ; suatu angka yang sangat besar dan semua itu merupakan aset negara yang sangat berharga. Selain potensi tumbuhan yang lebih banyak dimanfaatkan kayunya, biodiversitas dari taman nasional yang juga bernilai ekonomi adalah tumbuhan berkhasiat obat. Jenis tumbuhan obat yang terdapat di TN Lore Lindu sekitar 138 jenis yang termasuk ke dalam 80 suku, dengan perincian 33 jenis tingkat pohon, 23 jenis perdu/pohon kecil, 70 jenis herba tingkat semak, 8 jenis herba tingkat rumput, 3 jenis epifit, dan 1 jenis liana. Tumbuhan obat tersebut umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat lokal secara tradisional di daerah penyangga taman nasional sehinga nilai komersialnya jarang dihitung. Kondisi potensi tumbuhan berkhasiat obat berdasarkan hasil inventarisasi di kawasan TN Lore Lindu dapat dibedakan menurut ketinggian lokasi. Potensi yang terdapat di pegunungan di kelompok hutan Kaduaha (ketinggian m dpl) memiliki nilai H sebesar 2,156. Kondisi keragaman jenis tersebut tergolong stabil atau masih terpelihara dengan sangat baik kelestariannya bila dibandingkan dengan kelompok hutan Simoro (ketinggian m dpl) yang memiliki nilai H sebesar 0,29 (Kiding Allo et al., 2009). Nilai Penting Taman Nasional 63

85 Tabel 5. Nilai willingness to pay beberapa jenis satwa liar menurut responden No. Jenis Satwa Status konservasi Rata-rata PP RI No. 7 CITES nilai WTP Nama Lokal Nama ilmiah IUCN list** Tahun 1999 list * (Rp/tahun) 1. Rusa Cervus unicolor (Kerr, 1792) 2. Ajak Cuon alpinus (Pallas, 1811) 3. Beruang madu Helarctos malayanus (Raffles, 1821) 4. Landak Hystrix brachyura Linnaeus, Trenggiling Manis javanica Desmarest, Kijang Muntiacus muntjak (Zimmermann, 1780) 7. Kambing hutan 8. Macan dahan 9. Harimau sumatra Naemorhedus sumatraensis (Bechstein, 1799) Neofelis nebulosa Griffith 1821 Panthera tigris sumatrae Pocock, Tapir Tapirus indicus (Desmarest, 1819) 11. Kancil Tragulus javanicus (Osbeck, 1765) Dilindungi Dilindungi Dilindungi Appendix II Appendix I Vulnerable Data Deficient Dilindungi - Least Concern Dilindungi Appendix II Lower Risk Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Appendix I Appendix I Appendix I Appendix I Endangere d Vulnerable Critically Endangered Endangered Dilindungi Jasa lingkungan yang berasal dari taman nasional juga memiliki nilai ekonomi sebagai habitat satwa liar dan tumbuhan langka, baik jenis yang dilindungi maupun yang memiliki nilai perdagangan tinggi. Studi kasus penilaian pelestarian dan ekosistem telah dilakukan di TN Batang Gadis (TNBG) dengan asumsi kesediaan masyarakat sekitar untuk membayar pelestarian satwa liar yang berjumlah 47 jenis mamalia dan 247 jenis burung (Kuswanda, 2011). Hasil analisis penyebaran kuesioner pada masyarakat di daerah penyangga untuk 64 M. Bismark dan Reny Sawitri

86 mengetahui kesediaan membayar (willingness to pay/wtp) terhadap kawasan TNBG sebagai habitat satwa liar yang termasuk kategori langka dan dilindungi (IUCN, 2009) ataupun dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber protein, disajikan pada Tabel 5. Nilai pelestarian kawasan TNBG sebagai habitat satwa liar yang didekati dengan analisis kesediaan membayar (WTP) dengan metode CVM (Contingency Valuation Method) ternyata memberikan penilaian yang beragam, bahkan melebihi pendapatan yang diperolehnya. Hal ini menunjukkan terdapatnya penghargaan masyarakat yang cukup tinggi terhadap keberadaan satwa liar langka dan dilindungi; seperti harimau, tapir, beruang madu, macan dahan, dan trenggiling; selain satwa liar yang sering diburu dan dimanfaatkan daging atau tenaganya, seperti rusa, kijang dan beruk (Kuswanda, 2011). Perhitungan nilai ekonomi satwa liar di kawasan ini dihitung dari rata-rata nilai WTP untuk semua responden di tujuh desa penelitian, kemudian dikalikan rata-rata jumlah penduduk per desa dan seluruh desa penyangga di TNBG (71 desa) (Balai KSDA Sumut II, 2006) (Tabel 6). Desa Tabel 6. Pendugaan nilai ekonomi satwa liar di TN Batang Gadis Rata-rata WTP (Rp/tahun) Penduduk (jiwa) Total (Rp/tahun) Longat ,18 Lumban Dolok ,06 Sopotinjak ,00 Humbang I ,24 Hutabariingin Julu ,82 Pastap julu ,12 Huta Padang ,24 Total ,65 Rata-rata ,00 Total Desa Penyangga 71 desa (BKSDA Sumut II, 2006) NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) ,00 NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) ,00 Berdasarkan tabel di atas, nilai ekonomi TNBG sebagai kawasan pelestarian satwa liar melalui kesediaan membayar didapatkan nilai Nilai Penting Taman Nasional 65

87 sebesar Rp28 milyar per tahun. Apabila kawasan TNBG dengan potensi satwa liar yang terjaga dalam 25 tahun mendatang, nilai satwa liar meningkat mencapai Rp4,53 triliun. Perdagangan satwa dan tumbuhan liar ke luar negeri/ekspor yang berasal dari alam serta hasil penangkaran seperti ikan arwana dan budaya telah menghasilkan penerimaan negara dengan jumlah yang cukup besar. Selama tahun 2002, perkiraan penerimaan negara dari ekspor tumbuhan dan satwa liar sebesar US$2.12 juta, terbesar dihasilkan dari ekspor ikan arwana sebesar US$1.32 juta. Nilai ekonomi jasa lingkungan lainnya adalah dari keanekaragaman hayati mangrove. Potensi ini terdapat di TN Wakatobi yang meliputi pemanfaatan kayu untuk bangunan rumah, kayu bakar untuk memasak, ikan, kepiting dan udang yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk dijual maupun dikonsumsi sendiri. Keberadaan jasa lingkungan mangrove sangat membantu dalam peningkatan taraf hidup masyarakat, terutama bila dilihat dari persentase nilai jualnya per tahun (Tabel 7) (La Ode Ahyar, 2009). Kepiting dan udang yang ditangkap menggunakan bubu dan jaring dari areal bermangrove memberikan sumbangan yang sangat besar karena nilai jualnya yang cukup tinggi dan pemasarannya sampai keluar daerah. Apabila dilihat berdasarkan hasil kepiting dan udang yang cukup tinggi, kondisi vegetasi mangrove dan perairan di sekitarnya cukup baik dengan tingkat pencemaran yang cukup rendah. Selain itu, sebagian masyarakat yang kehidupannya dari usaha laut juga menanam agar-agar pada zona pemanfaatan tradisional yang disepakati bersama pihak pengelola taman nasional. Sebagai petani agar-agar masyarakat dapat memanen 1 5 kwintal agar-agar basah per 4 bulan. Agar-agar kering dijual dengan harga Rp5.000/kg. 66 M. Bismark dan Reny Sawitri

88 Tabel 7. Pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati mangrove di TN Wakatobi No. Jenis Pemanfaatan Hasil ratarata/ha Nilai (Rp/tahun) Persentase (%) 1. Kayu (m 3 ) 2, ,01 2. Kayu bakar (ikat) ,44 3. Ikan (kg) ,80 4. Udang (kg) ,28 5. Kepiting (individu) ,48 Sumber: La Ode Ahyar (2009) Gambar 5. Hasil panen budi daya rumput laut oleh masyarakat Taman nasional perairan lainnya yang diketahui memiliki nilai ekonomi tinggi adalah TN Karimunjawa. Kawasan taman nasional ini memiliki keterwakilan ekosistem hutan tropis dataran rendah, hutan mangrove, hutan pantai, padang lamun, dan terumbu karang. TN Karimunjawa memiliki nilai ekonomi biodiversitas sebesar Rp /tahun, sedangkan manfaat yang didapatkan oleh masyarakat dari perikanan tangkap sebesar Rp /tahun dan budi daya rumput laut menghasilkan Rp /tahun (TN Karimunjawa, 2012). Nilai Penting Taman Nasional 67

89 3.2.2 Nilai Ekonomi Sumber Daya Air Nilai ekonomi sumber daya air dinilai berdasarkan kesediaan membayar dan dibayar (willingness to pay/wtp dan willingness to sell/wts), seperti dari air sungai yang ada di sekitar TN Bukit Tigapuluh. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat di sekitar kawasan taman nasional ini diketahui nilai kesediaan membayar dan dibayar responden, sebagaimana tercantum pada Tabel 8. Tabel 8. Rata-rata willingness to pay dan willingness to sell bagi responden di TN Bukit Tigapuluh No Komsumsi air (m 3 ) Jumlah responden WTP (Rp/m 3 ) 62, WTS (Rp/m 3 ) ,55 645, Rata-rata 52,5 =33 295, ,595 Sumber: Data primer tahun 2002 Untuk mengetahui nilai ekonomi sumber daya air yang ada di TNBT, data yang ada pada Tabel 8 di atas kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis regresi sederhana. Persamaan regresi yang diperoleh untuk nilai ekonomi sumber daya air berdasarkan WTP adalah Y = 42, ,969 Q. Hasil perhitungan nilai ekonomi sumber daya air berdasarkan WTP di sekitar TNBT sebagaimana terdapat pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai ekonomi sumber daya air berdasarkan willingness to pay No Konsumsi air (m 3 ) Jumlah responden WTP (Rp/m 3 ) 62, Nilai Ekonomi (Rp/m 3 ) 416, , , ,248 Rata-rata 52,5 =33 295, , M. Bismark dan Reny Sawitri

90 Selanjutnya, persamaan regresi yang diperoleh untuk nilai ekonomi sumber daya air berdasarkan WTS adalah Y = 88, ,75 Q. Hasil perhitungan nilai ekonomi sumber daya air berdasarkan WTS di sekitar TNBT sebagaimana Tabel 10. Tabel 10. Nilai ekonomi sumber daya air berdasarkan willingness to sell No Komsumsi air (m 3 ) Jumlah responden WTS (Rp/m 3 ) ,55 645, Nilai Ekonomi (Rp/m 3 ) 4.275, , , ,011 Rata-rata 52,5 =33 295, ,228 Berdasarkan Tabel 9 dan Tabel 10 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai ekonomi berdasarkan kesediaan membayar dan dibayar responden terhadap sumber daya air berupa sungai adalah sebesar Rp1.815,045/m 3 dan Rp18.305,228/m 3. Bila dibandingkan dengan nilai ekonomi sumber daya air sungai yang sesungguhnya, nilai tersebut tentu tidak sebanding (terlalu kecil) karena selain untuk keperluan hidup sehari-hari (seperti mandi, mencuci, memasak, dan air minum), sumber daya air sungai tersebut juga dapat memenuhi kebutuhankebutuhan lainnya (antara lain berupa hasil tangkapan ikan dan wisata). Pada kedua tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa masing-masing tingkat konsumsi air menunjukkan nilai ekonomi sumber daya air yang tidak stabil. Hal ini tidak relevan terhadap beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa semakin banyak konsumsi air maka kesediaan membayar akan semakin kecil. Jasa lingkungan air dalam bentuk lainnya terdapat di TN Bantimurung-Bulusaraung (TN Babul), meliputi nilai ekonomi air untuk irigasi, mikrohidro, usaha perikanan, dan usaha cuci mobil. Pemanfaatan tersebut melibatkan beberapa pihak yang sangat terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan air, yaitu Balai TN Babul, Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Pertambangan, dan Dinas Pariwisata), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), industri, usaha cuci mobil, dan masyarakat (sebagai Lembaga Nilai Penting Taman Nasional 69

91 Pengelola Air). Nilai ekonomi sumber daya air tersebut sangat besar berkisar, yaitu antara Rp2,066 trilyun sampai Rp2,2 trilyun per tahun (Hayati, 2011). Nilai ekonomi air dari kawasan taman nasional juga telah dilakukan penelitiannya di TN Batang Gadis. Sumber air berasal dari Danau Siombun (luas sekitar 4 ha dengan debit 100 liter/detik) dan Sungai Simandolang (anak Sungai Batang Gadis) yang dimanfaatkan sebagai air bersih oleh PDAM Tirta Kabupaten Madina. Nilai ekonomi air yang didistribusikan kepada konsumen PDAM (air bak) tersebut dilakukan analisis berdasarkan rata-rata nilai ekonomi air bersih sesuai WTP (ketersediaan membayar). Hal ini dikarenakan nilai tersebut lebih mencerminkan nilai sebenarnya dibandingkan nilai WTS (kesediaan menerima kompensasi atau dibayar). Nilai ekonomi air rata-rata pada tingkat konsumen sebesar Rp1.107,33/m 3 dan bila dikalikan dengan nilai produksi air sebesar m 3 /tahun maka diperoleh nilai air bersih yang dimanfaatkan PDAM sebesar Rp ,06/tahun (Kuswanda, 2011). Namun, berdasarkan nilai bahan baku yang dimanfaatkan oleh PDAM dikurangi biaya distribusi, nilai air bersih saat ini masih sekitar Rp331, ,06/tahun. Nilai air ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk sektor pertanian dan perikanan karena pelanggan PDAM di Kabupaten Madina masih terbatas (sekitar 4,6%). Apabila diasumsikan masyarakat di Kabupaten Madina untuk waktu yang akan datang menggunakan air PDAM, nilai air diprediksi sekitar Rp / tahun (Tabel 11) Tabel 11. Hasil analisis ekonomi air yang dimanfaatkan oleh PDAM Tirta, Kabupaten Madina No Uraian Hasil Sumber data 1. Total produksi air (m 3 ) PDAM tahun LK (2009) 2. Total air terjual (m 3 /tahun) LK (2009) 3. Kehilangan atau kebocoran air (m 3 /tahun) 197 LK (2009) 4. Jumlah pelanggan (orang) LK (2009) 70 M. Bismark dan Reny Sawitri

92 5. Harga air baku (Rp/m 3 ) berdasarkan análisis nilai fungsi WTP pada tingkat konsumen 6. Nilai ekonomi air pada tingkat konsumen (Rp./tahun) 7. Biaya transmisi/distribusi air (Rp./tahun) 8. Nilai ekonomi air baku PDAM (siap didistribusikan) (Rp./tahun) 9. NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) merujuk Kurniawan (2006) 10. NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) merujuk Antoko (2011) 11. Tingkat pelayanan kebutuhan terhadap jumlah penduduk (%) 12. Asumsi: Penduduk terlayani 100% 1.107,33 Analisis data primer (2011) , ,00 LK (2009) ,06 Analisis data primer (2011) ,00 Analisis data primer (2011) ,00 4,6 LK (2009) ,00 Analisis data primer (2011) Perhitungan nilai ekonomi air lainnya telah dilakukan untuk keperluan rumah tangga di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Semitau, TN Danau Sentarum. Perhitungan ini diperoleh dari persamaan Y = 63,512-0,005 X1 + 67,911 X3 + 2,296 X4 dengan faktor peubah yang berpengaruh adalah biaya pengadaan air (X1), jumlah anggota keluarga (X3), dan umur kepala keluarga (X4); sedangkan faktor yang tidak berpengaruh antara lain pendapatan, pendidikan kepala keluarga, dan jarak sumber air. Dengan demikian, biaya pengadaan air yang kecil akan memperbesar konsumsi air karena ketersediaan air di Danau Sentarum berlimpah. Kesediaan membayar air rata-rata sebesar Rp ,29 jiwa/tahun, sedangkan nilai yang dibayarkan sebesar Rp ,82 jiwa/tahun sehingga nilai surplus konsumen sebesar Rp ,47. Total nilai ekonomi air untuk kebutuhan rumah tangga di TN Danau Sentarum sebesar Rp ,00, namun nilai yang dibayarkan oleh masyarakat yang berjumlah 948 jiwa hanya sekitar Rp ,00 sehingga Nilai Penting Taman Nasional 71

93 nilai manfaat hidrologis yang ada belum optimal (Anggraeni et al., 2013). Perbedaan penghitungan nila hidrologis juga terjadi di beberapa lokasi taman nasional lainnya. seperti. Nilai ekonomi air total di TN Gunung Gede Pangrango sebesar Rp ,00/tahun, sedangkan nilai surplus penggunaan air oleh konsumen sebesar Rp ,00 (Darusman, 1993). Nilai ekonomi air total di TN Gunung Halimun Salak sebesar Rp ,00, sedangkan nilai surplus konsumen sebesar Rp ,00 (Widada & Darusman, 2004). Demikian pula dengan nilai ekonomi sumber daya air di TN Ujung Kulon yang diwakili Gunung Honje sebesar Rp ,29. Perbedaan penghitungan nilai hidrologis tersebut disebabkan perbedaan kondisi lokasi, cakupan wilayah, jumlah penduduk, dan ketersediaan air. Perhitungan nilai ekonomi air juga dilakukan terhadap konsumsi air untuk keramba di TN Danau Sentarum dengan persamaan Y = 0,970-0, X1 + 1,601 X3 + 1,109 X4. Faktor peubah yang berpengaruh adalah biaya pengadaan air (X1), jumlah keramba (X3), dan luas keramba (X4) sehingga meningkatnya biaya pengadaan air menyebabkan konsumsi air akan menurun. Total kesediaan membayar air untuk keramba sebesar Rp ,85/periode, sedangkan nilai yang dibayarkan oleh masyarakat hanya sebesar Rp ,71/ periode sehingga surplus konsumen yang didapatkan sebesar Rp ,14 m 3 /periode. Apabila konsumsi air secara keseluruhan sebesar 1190,31 m 3 maka total nilai kesediaan membayar adalah sebesar Rp ,15/periode. Padahal, nilai yang dibayarkan hanya sebesar Rp ,35 sehingga terdapat nilai surplus sebesar Rp ,80/periode. Sementara itu, pemanfaatan air untuk ikan keramba oleh masyarakat di sekitar TN Danau Sentarum memberikan konstribusi pendapatan sekitar 39% dari pendapatan total masyarakat sebesar Rp70, ,33/tahun (Anggraeni et al., 2013). Jasa lingkungan air di kawasan TN Gunung Ceremai dari 119 mata air memiliki debit sekitar liter/detik. PDAM Kuningan telah memanfaatkan mata air Paniis yang debit airnya sekitar 860 liter/detik untuk memasok Kabupaten Cirebon sekitar m 3 /bulan dan memberikan kontribusi pendapatan sekitar Rp /bulan 72 M. Bismark dan Reny Sawitri

94 (Widodo, 2012). Nilai ekonomi air yang dimanfaatkan oleh rumah tangga sebesar Rp10.216,-/jiwa atau setara Rp /tahun/KK, sedangkan nilai ekonomi air yang digunakan oleh PDAM sekitar Rp ,630 (Ramdhani, 2011). Demikian pula halnya dengan jasa air yang dihasilkan oleh TN Kutai dengan luas hutan sekitar ha. Simpanan air tanah yang bersumber di TN Kutai sekitar 900 m 3 ha/tahun atau sekitar m 3 /tahun. Apabila kawasan hutan taman nasional ini dikonversi maka ditinjau dari aspek jasa air akan kehilangan Rp ,-/tahun (Jalil, 2013) Nilai Ekonomi Hasil Hutan Bukan Kayu Nilai ekonomi hasil hutan bukan kayu di TN Bukit Tigapuluh (TNBT) dihitung berdasarkan harga jual hasil hutan bukan kayu yang dipungut oleh masyarakat, dikurangi dengan seluruh biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka memperoleh hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, jernang, dan petai. Selain itu, terdapat beberapa hasil hutan bukan kayu yang juga dimanfaatkan masyarakat, seperti madu lebah, damar, durian, tumbuhan obat dan sebagainya. Namun demikian, hasil hutan bukan kayu tersebut tidak dapat dihitung nilai ekonominya karena produk-produk tersebut belum mempunyai harga pasar yang pasti. Pemanfaatan tersebut sangat terbatas dan cenderung hanya untuk dikonsumsi sendiri karena keberadaan hasil hutan tersebut sudah sangat jarang ditemui sehingga kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Nilai ekonomi dari hasil hutan bukan kayu yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TNBT sebagai mana terdapat pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai ekonomi hasil hutan bukan kayu di TN Bukit Tigapuluh No Jenis Rotan Jernang Petai Harga jual (Rp) 5.000/btg /kg 3.000/ikat Biaya Operasional (Rp) 2.916, Nilai Ekonomi (Rp) 2.083,33/btg /kg 200/ikat Nilai Penting Taman Nasional 73

95 Pada Tabel 12 di atas dapat dilihat bahwa nilai ekonomi hasil hutan bukan kayu yang paling tinggi adalah jernang, kemudian rotan dan petai. Namun, keberadaan jernang di TNBT saat ini sudah sangat jarang ditemui. Untuk mendapatkan satu kilogram saja, masyarakat harus mencari sampai jauh ke dalam hutan dan memakan waktu yang cukup lama. Kondisi tersebut sering menyebabkan hasil hutan berupa jernang menjadi tidak ekonomis. Demikian pula halnya dengan rotan, keberadaannya sudah mulai jarang ditemui akibat eksploitasi secara besar-besaran yang dilakukan oleh para pemilik modal untuk kepentingan ekspor. Hasil hutan yang sampai saat ini masih banyak dijumpai adalah petai. Walaupun nilai ekonominya cukup rendah, masyarakat sekitar TNBT sangat banyak yang memanfaatkannya. Selain hasil yang berlimpah, pangsa pasar untuk petai tersebut cukup mudah. Para tengkulak atau agen sudah secara kontinu dan periodik datang ke desa-desa mereka untuk membeli hasil pungutan mereka. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dari taman nasional juga terjadi di TN Gunung Halimun Salak, terutama pada areal ex hutan produksi. Hasil hutan tersebut antara lain getah pinus (Pinus merkusii), kopal (Agathis damara), karet dan daun pok-pohan yang memberikan kontribusi tambahan pendapatan kepada masyarakat sekitar kawasan. Hutan tanaman pinus yang berbatasan dengan Desa Taman Sari luasnya sekitar 5 ha dengan potensi pohon berumur 25 tahun. Apabila diteres pohon/hari dapat menghasilkan getah kg/bulan yang setara dengan pendapatan sebesar Rp /bulan. Hal yang serupa juga dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Purwabakti dengan meneres getah pinus sebanyak kg/bulan yang memberikan tambahan pendapatan sekitar Rp (Adalina & Sawitri, 2013a; Adalina et al., 2014). Sementara itu, petani pengambil getah kopal sebanyak 24 orang di Desa Sukagalih mampu memungut sekitar 200 kg/bulan dengan harga Rp3.000/kg yang memberikan tambahan penghasilan sekitar Rp Selanjutnya, petani karet yang terdapat di dalam kawasan seluas 75 ha di Desa Pangradin mendapatkan getahnya sekitar 7 15 kg/dua hari dengan harga Rp5.000/kg sehingga memberikan tambahan pendapatan sekitar Rp /bulan (Adalina et al., 2014). Kemudian, penghasilan petani di Desa Taman Sari yang menanam pok-pohan (Pilea melastomaides) di bawah tegakan pinus seluas <0,25 ha hingga 74 M. Bismark dan Reny Sawitri

96 0,5 ha memperoleh penghasilan tambahan sekitar Rp /orang/bulan (Adalina & Sawitri, 2013b) Nilai Ekonomi Wisata Alam Bentuk daya tarik wisata dan pengelolaannya telah diatur di dalam Pasal 4 UU No. 9 Tahun Obyek dan daya tarik wisata terdiri atas 1) obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna; 2) obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan. Kepariwisataan yang termasuk ke dalam obyek dan daya tarik wisata alam adalah taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya dan taman laut. Nilai jasa lingkungan wisata merupakan kesediaan pengunjung membayar yang dipengaruhi oleh preferensi terhadap jasa lingkungan alami serta lokasi dan infrastrukturnya. Hasil studi Siswantinah Wibowo (2003) dalam Hayati (2011) menyatakan bahwa nilai ekonomi jasa lingkungan ekowisata di TN Gunung Gede Pangrango sebesar Rp131 milyar pada tahun 2000/2001. Valuasi ekonomi jasa lingkungan dari kawasan taman nasional juga dilakukan di TN Bantimurung-Bulusaraung. Valuasi atau penilaian ini dilakukan dengan menggunakan analisis regresi untuk melihat hubungan antara variabel kesediaan membayar (WTP) responden terhadap perubahan kualitas lingkungan dengan variabel-variabel yang memengaruhinya, seperti karakteristik responden (jenis kelamin, umur, pendidikan, penghasilan) dan konservasi (kesediaannya menyisihkan penghasilannya untuk peningkatan kualitas lingkungan di TN Babul). Valuasi ekonomi jasa wisata di TN Babul ditinjau melalui persamaan matematika sebagai berikut: WTP = β 0 + β 1 S x + β 2 U mur + β 3 P dkkn + β 4 P h + β 5 K ons + β 6 K p + β 7 W s + β 8 L pkj + β 9 r a + e i Di mana: WTP : kesediaan membayar dari responden ke-i (dalam rupiah) β 0, β 1. Β x : koefisien regresi S x : jenis kelamin responden Nilai Penting Taman Nasional 75

97 U mur P ddkn P h K ons K p W s L pkj r a e i : umur responden : tingkat pendidikan responden : tingkat penghasilan responden per tahun : Kesediaan responden menyisihkan pendapatan rumah tangga untuk kegiatan konservasi : persepsi atau penilaian responden terhadap fasilitas atau sarana prasarana dan kualitas produk obyek wisata : Persepsi responden tentang TN Babul sebagai tempat wisata : Persepsi responden tentang TN Babul sebagai sumber mata pencaharian : Persepsi responden tentang Babul sebagai daerah resapan air : Kesalahan pengganggu Penaksiran berdasarkan persamaan matematika di atas, yaitu: WTP = 1.034,597 55, , , , , , , ,923 = 5.557,143 Apabila total pengunjung di TN Babul pada tahun 2010 sebanyak orang dengan rata-rata WTP sebesar Rp5.557,143; nilai manfaat ekonomi jasa wisata di TN Babul sebesar Rp ,43. Perhitungan nilai ekonomi wisata dari beberapa taman nasional lainnya menunjukkan hasil yang bervariasi. Tentunya, besaran nilai ekonomi tersebut tergantung model yang digunakan, potensi daya tarik wisata dan asal pengunjung. Beberapa data nilai ekonomi wisata tersebut dapat diuraikan sebagi berikut. Nilai ekonomi wisata TN Bunaken pada tahun 2013 dengan jumlah pengunjung sekitar individu dihitung menggunakan model fungsi permintaan VISIT = COST. Estimasi kesediaan membayar dari wisatawan nusantara sebesar Rp sehingga nilai surplus konsumen sebesar Rp atau sebesar Rp / orang, sedangkan kesediaan membayar dari wisatawan mancanegara sebesar US$13,054,000 dengan nilai surplus konsumen sebesar US$8.36/orang (Samsudin et al., 2013). 76 M. Bismark dan Reny Sawitri

98 Nilai ekonomi wisata yang diperoleh dari pengunjung TN Bromo Tengger Semeru pada tahun 2010 sebesar Rp , sedangkan kesediaan membayar sekitar Rp13.077/orang (Bernadi, 2012). Nilai ekonomi wisata TN Ujung Kulon menunjukkan pengunjung bersedia membayar sebesar Rp15.667/orang dengan nilai surplus konsumen sebesar Rp3.016/orang sehingga nilai ekonomi wisata alam sebesar Rp (Prayoga, 2013). Nilai ekonomi wisata TN Danau Sentarum yang mendapatkan jumlah kunjungan relatif sedikit (sekitar 302 orang/tahun pada tahun ) menunjukkan kesediaan membayar dai pengunjung untuk menikmati keindahan danau sebesar Rp , sedangkan nilai yang dibayarkan adalah sebesar Rp , sehingga surplus konsumen sebesar Rp (Maria et al., 2013). Nilai ekonomi wisata TN Gunung Rinjani memberikan kontribusi kesediaan membayar bagi pengunjung sebesar Rp4.100/orang sehingga pendapatan dari kegiatan ini sebesar Rp / tahun (Ramdhani, 2011). Nilai ekonomi wisata TN Karimunjawa memberikan nilai ekonomi wisata alam sebesar Rp dengan rata-rata pertahun sebesar Rp (TN Karimunjawa, 2012) Nilai Ekonomi Kawasan Sebagai Sistem Penyangga Nilai ekonomi kawasan taman nasional sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan hal yang sangat penting, walaupun jarang diperhitungkan. Sebagai contoh, TN Batang Gadis merupakan kawasan hutan yang berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, iklim, dan mencegah erosi. Keberadaan TNBG sangat penting mengingat rata-rata kawasan di daerah penyangga memiliki kelerengan tanah >40% dan jenis tanah di kawasan termasuk andosol, kompleks podsolik merah kuning latosol, kompleks podsolik coklat podsolik latosol, dan latasol yang peka terhadap erosi (Kuswanda et al., 2009). Nilai ekonomi erosi taman nasional ini dihitung berdasarkan rata-rata nilai WTP dari semua responden pada setiap desa penelitian. Nilai Penting Taman Nasional 77

99 Selanjutnya, nilai tersebut dikalikan rata-rata jumlah penduduk per desa dan seluruh desa penyangga di TNBG sebanyak 71 desa (Tabel 13). Tabel 13. Hasil pendugaan nilai ekonomi pencegah erosi di TN Batang Gadis Desa Rerata WTP (Rp/tahun/ responden) Penduduk (jiwa) Luas (ha) Nilai erosi (Rp/tahun) Longat , Lumban Dolok , Sopotinjak , Humbang I , Hutabariingin Julu , Pastap Julu , Huta Padang , Total Rata-rata Total Desa Penyangga 71 desa (BKSDA Sumut II, 2006) NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) Masyarakat sekitar TNBG bersedia membayar dengan nilai ekonomi erosi yang cukup tinggi. Hal ini terkait dengan kesadaran masyarakat terhadap bahaya erosi/longsor yang mereka alami akibat kerusakan hutan. Nilai kesediaan membayar seluruh masyarakat di daerah penyangga TNBG tersebut mencapai Rp131,23 milyar per tahun. Apabila fungsi kawasan masih berlangsung, nilai tersebut dalam 25 tahun mendatang mencapai Rp1,19 trilyun dengan asumsi suku bunga tetap 10% per tahun atau mencapai Rp1,53 trilyun dengan asumsi suku bunga 7% (Antoko, 2011). Nilai ekonomi kawasan yang mempunyai fungsi sistem penyangga kehidupan juga dipengaruhi kondisi tutupan hutannya. Sebagai contoh, nilai ekonomi yang didapatkan dari fungsi TN Nasional Leuser sebagai penyangga kehidupan dengan perkiraan waktu selama 30 tahun ke depan dibedakan menurut kondisi hutan, yaitu US$7,000,000,000 apabila kawasan digunakan secara lestari; US$9,100,000,000 apabila hutan dalam keadaan terdeforestasi; dan nilainya menjadi tinggi, yaitu 78 M. Bismark dan Reny Sawitri

100 US$9,500,000,000 apabila dikonversi (Balai Taman Nasional Leuser, 2010) Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Karbon Jasa lingkungan karbon diketahui dari hasil-hasil penelitian mitigasi karbon di hutan alam dataran rendah, hutan mangrove, dan hutan alam dataran tinggi. Mitigasi karbon di hutan dataran rendah diwakili oleh Cagar Biosfer (CB) Pulau Siberut (Bismark et al., 2008). Kawasan ini dapat dijumpai 10 jenis mangrove, yaitu Rhizophora apiculata Blume, R. mucronata Blume, Bruguiera cylindrica W. et A., B. gymnorrhiza (L.) Savigny, Xylocarpus granatum Koen, Barringtonia racemosa Blume, Ceriops tagal C.B.Rob., Aegyceras corniculatum Blanco, Luminitzera littorea Voigl., dan Avicennia alba L. Jenis yang mendominasi tegakan hutan mangrove adalah R. apiculata dengan kerapatan 80 pohon/ha, R. mucronata dengan kerapatan 28 pohon/ha, dan B. gymnorrhiza dengan kerapatan 12 pohon/ha. Biomassa tegakan di atas tanah dan kandungan karbon hutan mangrove yang terdiri atas jenis R. apiculata, R. mucronata, dan jenis B. gymnorrhiza cukup rendah, yaitu sebesar 49,13 ton/ha atau 24,56 ton C/ha, setara dengan 90,16 ton CO 2/ha. Beberapa penelitian lainnya telah pula menghitung nilai ekonomi jasa lingkungan karbon dari kawasan taman nasional, termasuk daerah penyangganya. Data dan informasi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Penelitian di daerah penyangga TN Siberut dengan tipe hutan alam dataran rendah Pulau Siberut (Sumatera Barat) menunjukkan bahwa biomassa tegakan hutan yang berdiameter 5 cm di hutan primer, hutan bekas tebangan (log over area/loa) satu tahun dan LOA lima tahun, masing-masing sebesar 131,92 ton/ha; 70,39 ton/ha; dan 97,55 ton/ha. Kandungan karbon dan serapan karbondioksida berturut-turut sebesar 65,96 ton C/ha dan 242,07 ton CO 2/ha; 35,19 ton C/ha dan 129,15 ton CO 2/ha; 48,77 ton C/ha dan 178,99 ton CO 2/ha. Jenis pohon yang memiliki potensi biomassa, kandungan karbon, dan serapan karbondioksida tertinggi adalah koka (Dipterocarpus elongatus Korth.) sebesar 132,28 ton/ha; 66,14 ton C/ha; dan 242,73 ton CO 2/ha. Potensi necromass pada tapak tegakan Nilai Penting Taman Nasional 79

101 (hutan primer, LOA satu tahun, dan LOA lima tahun) berturut-turut sebesar 0,65 ton/ha; 0,78 ton/ha; dan 0,73 ton/ha (Bismark et al., 2008). Potensi karbon yang terdapat di TN Kelimutu dibedakan menurut zonasi. Zona inti taman nasional yang didominasi oleh tumbuhan Vaccinium varingiefolium dan Rhododendron renchianum memiliki jumlah karbon sebesar 69,29 ton/ha, sedangkan zona rehabilitasi yang ditanami jenis tumbuhan Eucalyptus urophylum memiliki kandungan karbon sebesar 107,04 ton/ ha (Fauzi, 2012). TN Berbak mengandung cadangan karbon sebesar ton karbon dari rata-rata C/ha serta emisi karbon ton CO 2. Apabila tingkat laju deforestasi TN Berbak -1,14% atau kehilangan hutan seluas ha, emisi bersih karbon (Balai Taman Nasional Berbak, 2012). Jasa karbon yang dihasilkan TN Kutai berdasarkan luas tutupan hutan primer sekitar ha dan hutan sekunder sekitar ha memiliki nilai serapan karbon masing-masing sekitar 263 ton/ha dan 95 ton/ha sehingga nilai karbon yang dihasilkan sekitar ton. Apabila asumsi harga karbon US$5/ton, nilai karbon keseluruhan diperkirakan sebesar US$77,106,850 atau setara Rp (US$1 = Rp9.000) (Jalil, 2013). Jasa lingkungan karbon juga terdapat di lahan gambut. Berdasarkan atlas Gambut Indonesia (Wahyunto et al., 2003, 2004, dan 2007), Papua mempunyai lahan gambut terluas di Indonesia. Namun, gambut di Papua pada umumnya lebih tipis sehingga cadangan (stock) karbonnya hanya sekitar Mega ton (Mt) atau 3,6 Giga ton (Gt). Sebaliknya, gambut di Sumatra mempunyai kedalaman antara 0,5 sampai lebih dari 12 m sehingga cadangan karbonnya mencapai 22,3 Gt. Sementara itu, cadangan karbon lahan gambut di Kalimantan sekitar 11,3 Gt. Menurut penelitian Rahayu el al. (2005), hutan gambut di Nunukan (Kalimantan Timur) mengandung biomassa sekitar 200 ton C/ha, sedangkan Page et al. (2002) menyatakan bahwa hutan gambut bekas terbakar tahun 1997 di Kalimantan Timur memiliki kandungan karbon sekitar 600 ton/ha. Selanjutnya, Wasis dan Mulyana (2010) menyatakan bahwa kandungan karbon pada lahan gambut ex PLG sejuta 80 M. Bismark dan Reny Sawitri

102 hektar di Kalimantan Tengah setelah 10 tahun terbakar sebesar 262,2 ton C/ha. Sementara itu, nilai ekonomi karbon di TN Tesso Nillo dengan total biomassa hutan 2013 sebanyak ,67 ton telah dihitung dengan model pendugaan biomassa Y = 1048, ,848 ln(x) sehingga stok karbon (asumsi 50% dari biomassa) yang diketahui adalah ,835 ton (Jati, 2014). 3.3 Dampak Pemanfaatan Jasa Lingkungan Dinamika Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan dan perilaku yang tidak bertanggung jawab telah menimbulkan dampak yang lebih luas terhadap kerusakan sumber kehidupan di bumi sehingga mengakibatkan pemanasan global. Selain itu, ancaman seperti kebakaran hutan dan lahan, baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun oleh kegiatan manusia seperti pembukaan lahan perkebunan dan penggundulan hutan, telah menimbulkan berbagai dampak lanjutan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan pencemaran lingkungan. Kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan hidup tersebut sebagai dampak dari pola, sikap, dan cara umat manusia yang seringkali mengabaikan keseimbangan dan keselarasan ekosistem alam. Pemanfaatan sumber daya alam dengan cara-cara yang melampaui potensi pemulihan alami akan menentukan ketersediaan jasa lingkungan di masa mendatang (Soenarso, 2012). Berbagai dampak pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan telah terjadi hampir di seluruh kawasan hutan, termasuk taman nasional. Sebagai contoh, dampak pemanfaatan ekosistem mangrove di TN Wakatobi dapat dilihat dari perubahan luas hutan mangrove dari sekitar 3.521,05 ha (dihitung berdasarkan simulasi dengan menggunakan metode sistem dinamik) pada tahun 2003 (Dinas Kehutanan Kab. Buton, 2003) menjadi sekitar ha (dihitung berdasarkan citra landsat) pada tahun 2008 (Rasman, 2007). Dengan demikian, tingkat kerusakan hutan mangrove dari tahun 2003 sampai tahun 2008 sebesar 2.321,05 ha dan laju degradasinya sebesar 464,21 ha/tahun. Nilai Penting Taman Nasional 81

103 Untuk mendapatkan nilai manfaat yang berkelanjutan dari suatu kawasan taman nasional, sumber daya ini membutuhkan pengelolaan yang bijak sehingga memberikan dampak positif dan mengurangi atau menghindari dampak negatif. Tentunya, pengelolaan ini harus melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat sekitar kawasan. Contoh pemanfaatan jasa lingkungan (wisata) yang melibatkan masyarakat untuk memperoleh dampak sosial dan ekonomi seperti yang dilakukan di TN Kutai. Kegiatan responsible tourism dalam bentuk ekowisata yang terdiri atas wisata agro, wisata alam, dan wisata budaya yang ditawarkan kepada masyarakat di Dusun Kabo Jaya, Desa Swargabara di daerah penyangga TN Kutai telah memberikan dampak sosial dan ekonomi. Persepsi masyarakat terhadap kegiatan ekowisata ini dapat dibedakan menjadi dua: masyarakat yang terlibat dalam kegiatan dan masyarakat yang tidak ikut terlibat. Pada umumnya, masyarakat menyatakan bahwa mereka perlu dilibatkan dalam kegiatan ekowisata ini agar memberikan dampak positif, baik terhadap individu sebagai usaha sampingan maupun desa sebagai ajang promosi sumber daya desa. Namun demikian, mekanisme pengelolaannya masih memerlukan perbaikan, termasuk sarana prasarana pendukungnya. Penghitungan dampak tersebut dilakukan berdasarkan analisis regresi berganda sehingga diperoleh persamaan Y = 22,010 1,051X 1 0,799X 2 + 0,698X 3. Hasil analisis ragam (anova) menyatakan bahwa persepsi masyarakat dipengaruhi oleh parameter umur, tingkat pendidikan formal, dan lama tinggal dengan nilai signifikansi sebesar 0,0331 pada α = 5%. Selanjutnya, kegiatan ekowisata tersebut akan memberikan manfaat sosial yang dibedakan menurut tahapan partisipasi dan bentuk partisipasi, sedangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat adalah memberikan peluang usaha dan kerja di bidang wisata alam dan wisata agro, seperti homestay, pemandu wisata, usaha kerajinan tangan, pemanfaatan dan penjualan hasil kebun dan kuliner (Sayektiningsih et al., 2010). Dampak negatif dari kegiatan wisata alam dan kawasan dapat bersumber dari perilaku pengunjung dan interaksi dengan masyarakat lokal, selain pengelolaan yang tidak tepat. Dampak negatif tersebut antara lain sampah, vandalisme, introduksi jenis, dan commofication atau tererosinya budaya dan struktur masyarakat, serta ketimpangan 82 M. Bismark dan Reny Sawitri

104 ekonomi dan mekanisme benefit sharing yang tidak berkeadilan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunawan et al. (2007) dan Gunawan & Sibagariang (2007) yang menyatakan bahwa dampak kegiatan wisata alam terhadap kawasan hutan dan masyarakat sekitarnya dapat dibedakan menjadi lingkungan, masyarakat dan ekonomi (Tabel 14). Tabel 14. Dampak negatif kegiatan wisata alam terhadap kawasan hutan dan masyarakat sekitarnya Dampak terhadap lingkungan Sampah Terganggunya habitat satwa liar Pemadatan tanah Pencemaran air Pencemaran udara Introduksi jenis Vandalisme Dampak terhadap masyarakat terjadinya perubahan perilaku/gaya hidup masyarakat Tererosinya kebudayaan dan struktur masyarakat lokal Komersialisasi kebudayaan Dampak terhadap ekonomi Ketimpangan ekonomi di dalam masyarakat lokal atau antara masyarakat lokal dengan pelaku usaha ekowisata Mekanisme benefit sharing tidak berjalan atau berkeadilan Kondisi pemanfaatan jasa lingkungan [wisata] yang terjadi saat ini masih terdapat ketimpangan antara nilai manfaat dan dampaknya. Nilai manfaat jasa lingkungan yang diberikan kepada wisatawan tidak sebanding dengan nilai penerimaan oleh pengelola dan dampak negatif yang ditimbulkan. Sebagai contoh, nilai manfaat ekonomi jasa lingkungan wisata yang diperoleh di TN Bantimurung-Bulusaraung masih kecil dari total penerimaan yang diperoleh dari karcis masuk dan parker, yaitu sebesar Rp Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan obyek wisata di TN Babul secara keseluruhan masih belum optimal. Kondisi ini diperparah dengan minimnya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan wisata, serta terbatasnya variasi obyek wisata yang dapat dinikmati oleh pengunjung (Hayati et al., 2011). Nilai Penting Taman Nasional 83

105 Kondisi yang demikian terjadi hampir di semua taman nasional yang mana pengunjung selalu mendapatkan surplus konsumen sehingga nilai yang dibayarkan (karcis masuk kawasan taman nasional, biaya perjalanan, kuliner, souvenir, dan lain-lain) selalu lebih kecil dari kesediaan membayar (WTP) oleh pengunjung. Namun demikian, sebagian kecil masyarakat masih mendapatkan nilai manfaat secara langsung berupa penambahan pendapatan keluarga. Usaha masyarakat yang berhubungan dengan jasa, seperti pengelolaan homestay bagi wisatawan dengan harga sewa satu rumah sekitar Rp dengan fasilitas kamar mandi dan kamar tidur memberikan tambahan pendapatan sekitar Rp Gambar 6. Homestay di kawasan wisata P. Hoga yang dikelola masyarakat Upaya Pengurangan Dampak Pemanfaatan jasa lingkungan adalah upaya pemanfaatan potensi jasa (baik berupa jasa penyediaan, jasa pengaturan, jasa budaya maupun jasa pendukung) yang diberikan oleh fungsi ekosistem dengan tidak merusak dan mengurangi fungsi pokok ekosistem tersebut (Soenarso, 2012). Jasa lingkungan dihasilkan dari berbagai penggunaan lahan (hutan atau pertanian) dan perairan yang meliputi air tawar (sungai, danau dan rawa) maupun air laut untuk menghasilkan perpaduan aset alami, kualitas manusia, kondisi sosial yang kondusif, serta modifikasi teknik sehingga menghasilkan nilai ekonomi berupa manfaat langsung 84 M. Bismark dan Reny Sawitri

106 ataupun tidak langsung. Untuk melindungi lingkungan dan memberantas kemiskinan diperlukan pembayaran jasa lingkungan dalam bentuk kesediaan membayar (WTP) karena berkurangnya penyediaan jasa lingkungan akibat terus bertambahnya penduduk, peningkatan kebutuhan ekonomi, dan perubahan iklim yang berdampak pada cuaca ekstrim, banjir, longsor, badai, dan kekeringan sehingga dibutuhkan biaya untuk memperbaiki lingkungan yang rusak. Penyediaan jasa lingkungan membutuhkan pembiayaan yang berkelanjutan dan upaya mitigasi dampak perubahan iklim akibat deforestasi sehingga diperlukan mekanisme REDD yang merupakan pasar penyimpanan karbon (UN-ESCAP, 2009). Permintaan ekowisata merupakan akumulasi dari biaya perjalanan, sarana dan prasarana, serta keindahan atau keunikan obyek wisata yang ditawarkan. Apabila suatu kawasan memiliki keunikan yang spesifik, masyarakat akan bersedia membayar (WTP) berapa pun harga yang ditetapkan pemerintah, asal konsumen dapat menikmati atau melihat obyek wisata di kawasan tersebut (Maria et al., 2013). Namun demikian, tingkat kunjungan yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan pada kawasan sehingga perlu diketahui daya tampung optimum kawasan dan memberlakukan sistem kuota pengunjung (Fandeli, 2002). Kondisi ini telah diberlakukan oleh pengelola TN Gunung Gede Pangrango yang membatasi jumlah pengunjung sebanyak orang/hari. Oleh sebab itu, upaya mengurangi dampak negatif adalah memberikan penyuluhan dan memberlakukan tata tertib atau peraturan bagi para pengunjung. Pengurangan dampak negatif pemanfaatan jasa lingkungan tidak hanya dilakukan oleh pengelola atau pemangku kawasan dan masyarakat, tetapi juga melibatkan pemerintah daerah. Menurut Sylviani (2013), langkah yang dilakukan dalam rangka pengelolaan jasa lingkungan antara lain pembentukan Peraturan Daerah Sumber Daya Hutan, baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Selain itu, lembaga yang bersifat non-struktural dapat dibentuk di bawah gubernur, seperti Badan Pengelola Jasa Lingkungan yang memenuhi syarat akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi untuk melakukan fasilitasi pengumpulan dan penyaluran dana jasa lingkungan. Selanjutnya, pengguna jasa lingkungan dalam bentuk BUMN, BUMD, Nilai Penting Taman Nasional 85

107 lembaga, perusahaan/sektor swasta yang mendapatkan keuntungan dari jasa lingkungan harus mengalokasikan keuntungannya sebesar 2,5% untuk kelestarian sumber daya hutan. 3.4 Pengelolaan dan Pemanfaatan Potensi Pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya hutan dari suatu kawasan konservasi, seperti taman nasional, membutuhkan keterlibatan berbagai pihak sesuai tugas dan tanggung jawab masingmasing. Model pengelolaan kolaboratif ini diatur dalam Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004 dan telah diimplementasikan oleh pengelola taman nasional di Indonesia. Pengelolaan yang diterapkan di TN Wakatobi adalah salah satu pengelolaan kolaboratif yang saat ini banyak diterapkan di taman nasional, kawasan lindung dan kawasan hutan lainnya (Coonley & Moote, 2001 dalam Beny & Dwi, 2004). Pengelolaan kolaboratif merupakan suatu alat pemecahan masalah (resolusi konflik) yang mencakup sikap kerjasama (kooperatif) dan penegasan (asertif) dari berbagai pihak yang berkepentingan secara efektif dan adil untuk mencapai tujuan bersama. Bentuk pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumber daya, lembaga non pemerintah dan kelompok lain yang berkepentingan secara bersama-sama bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawabnya. Keberadaan kawasan taman nasional sangat berpengaruh langsung terhadap masyarakat di sekitarnya. Terdapatnya potensi sumber daya hutan dan lingkungan di dalam dan sekitar taman nasional menjadi faktor terjadinya keterikatan dan kebergantungan masyarakat terhadap alam. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat sekitar hutan sudah turun-temurun memanfaatkan sumber daya yang berada di hutan. Pada awalnya, pemanfaatan tersebut bersifat subsisten. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan, pemanfaatan tersebut meluas dan bersifat ekonomis. Kasus interaksi masyarakat sekitar [pemukim di daerah penyangga] dengan kawasan taman nasional yang menyebabkan kebergantungan pada sumber daya hutan dan lingkungannya tersebut dapat dicontohkan seperti yang terjadi di TN Bukit Tigapuluh dan TN Gunung Gede Pangrango sebagai berikut. 86 M. Bismark dan Reny Sawitri

108 3.4.1 Interaksi dan Pemanfaatan Potensi di TN Bukit Tigapuluh Interaksi dan pemanfaatan potensi sumber daya hutan dan lingkungan dari taman nasional telah terjadi dalam kehidupan masyarakat di sekitar TN Bukit Tigapuluh (TNBT). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat sekitar TNBT (Desa Siambul, Desa Rantau Langsat, dan Desa Talang Lakat) diketahui memanfaatkan kawasan tersebut untuk menunjang keperluan hidup sehari-hari sudah sejak lama. Sebagian besar responden adalah petani ladang berpindah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya (63,6%) setiap kepala keluarga mengelola lahan seluas 2 5 ha. Mereka membabat pohon di sekitar areal penyangga untuk keperluan tersebut. Hasil dari pembukaan lahan biasanya dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari, seperti kayu bakar dan kayu pertukangan lainnya. Pada awal pembukaan lahan, biasanya mereka menanam padi ladang. Selain itu, mereka juga menanami lahan dengan jagung, cabe, pisang, dan tanaman palawija lainnya. Penanaman dilakukan selama dua tahun dan selama pengelolaan tersebut, mereka menanami tanaman tahunan seperti tanaman karet di sela-sela tanaman padi. Setelah dua tahun, lahan tersebut mereka tinggalkan dan kembali lagi setelah empat tahun untuk memungut hasil dari tanaman karet. Sebagian penduduk juga memanfaatkan hasil hutan berupa kayukayu komersil untuk mereka jual. Jenis kayu yang biasa mereka ambil yaitu dari jenis meranti, kulin, kompas, mersana, kuranji, dan lain-lain. Usaha sampingan lainnya yang biasa dilakukan penduduk yaitu berburu. Satwa yang biasa diburu antara lain rusa, kijang, kancil, babi hutan, beberapa jenis burung, ikan, dan labi-labi. Perburuan terhadap beberapa jenis satwa yang mempunyai nilai jual yang tinggi, seperti harimau sumatra, juga pernah terjadi di kawasan TNBT. Namun, perburuan harimau sumatra berkurang setelah diberlakukannya undang-undang/hukum yang melarang kegiatan tersebut dan juga kegiatan partisipatif yang dilakukan oleh pihak pengelola dan beberapa lembaga yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian satwa dimaksud. Penduduk sekitar TNBT sampai saat ini masih bergantung pada sungai sebagai sumber air bersih mereka. Untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci, air minum, memasak dan lain sebagainya, Nilai Penting Taman Nasional 87

109 semuanya mereka dapatkan dari sungai dan anak-anak sungai yang ada di sekitar tempat tinggal mereka yang jaraknya tidak lebih dari 500 m. Masyarakat yang menjadi responden penelitian sebanyak 54,5% menyatakan bahwa kebutuhan air setiap hari tergantung sepenuhnya dari air sungai, 30% responden mengambil air dari sungai dan sumur, dan sisanya (0,9%) sudah sepenuhnya mengambil air dari sumur. Dalam kehidupan mereka terdapat anggapan bahwa air sungai merupakan sumber berbagai obat sehingga menyebabkan masyarakat enggan untuk beralih menggunakan sumber-sumber air bersih lainnya. Selain potensi sumber daya hutan dan lingkungan dinikmati masyarakat sekitar, kawasan TNBT juga mendapatkan kunjungan wisata alam. Jumlah kunjungan ke TNBT selama tahun 2002 sebanyak 637 orang wisatawan nusantara dan 38 orang wisatawan mancanegara (Noprianto et al., 2002). Namun, hanya sebagian kecil masyarakat yang ikut memanfaatkan potensi wisata yang ada di kawasan TNBT. Hal tersebut dikarenakan pengelolaan pariwisata di TNBT lebih banyak dilakukan oleh aparat atau lembaga-lembaga lainnya. Masyarakat hanya terlibat sebagai pendamping yang memperoleh sedikit uang dari kegiatan wisata tersebut. Hal ini juga tidak terlepas dari tingkat pengetahuan masyarakat yang masih relatif rendah terhadap bidang kepariwisataan. Pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan yang ada di TNBT dapat dikatakan masih dalam kondisi yang normal. Hanya karena semakin bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan terhadap sumber daya tersebut semakin meningkat. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa meningkatnya kebutuhan menyebabkan sumber daya yang ada di TNBT semakin berkurang. Hal tersebut dinyatakan beberapa responden sesuai pengalaman mereka bahwa hasil hutan; terutama hasil hutan bukan kayu seperti rotan, jernang, kayu gaharu dan yang lainnya; semakin jarang didapatkan. Namun, secara umum hampir semua responden menyatakan bahwa keadaan TNBT sampai saat ini masih tetap seperti dahulu atau tidak mengalami banyak perubahan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari petugas pengelola TNBT yang menyatakan bahwa sampai saat ini aktivitas masyarakat sekitar TNBT masih dalam areal penyangga sehingga aktivitas tersebut tidak begitu memengaruhi keadaan TNBT. Hanya saja yang perlu diperhatikan yaitu 88 M. Bismark dan Reny Sawitri

110 tata batas TNBT yang sampai saat ini belum begitu jelas bagi masyarakat sekitar. Sebagian besar responden (66,6%) menyatakan tidak mengetahui tata batas tersebut. Hal ini tentu saja akan berdampak terhadap pengelolaan TNBT ke depan. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat, kebutuhan terhadap lahan juga terus meningkat sehingga bila tata batas belum jelas maka secara langsung atau tidak langsung dapat mengancam keberadaan TNBT. Ancaman menurunnya potensi dan fungsi kawasan TNBT sudah mulai dirasakan masyarakat sekitar kawasan. Di daerah penyangga, perladangan berpindah telah menyebabkan vegetasi yang ada di sekitar TNBT berubah dari yang semula beragam jenis menjadi monokultur. Setiap tahun, masyarakat membuka lahan sekitar 2 5 ha per kepala keluarga. Hal ini dapat menyebabkan lahan di sekitar TNBT akan cepat berkurang dan berdampak negatif, tidak hanya bagi keanekaragaman tumbuhan, tetapi juga terhadap kondisi fisik lahan dan habitat satwa. Dampak lain yang mulai dirasakan oleh masyarakat di sekitar TNBT yaitu mulai berubahnya kondisi air sungai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 25% responden sudah mulai mengeluh karena kondisi air sungai mulai keruh. Akibatnya, masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, masyarakat yang biasa menangkap ikan juga terkena dampaknya; mereka yang biasa menangkap ikan dengan menggunakan tombak (karena air sungai jernih) menjadi semakin sulit. Pada musim kemarau, beberapa aliran Anak Sungai Batang Gangsal mengalami kekeringan. Hal ini dikarenakan aktivitas penebangan kayu di daerah hulu sungai yang sebelumnya sering dilakukan sehingga fungsi hutan sebagai penangkap resapan air menjadi kecil. Namun, aktivitas penebangan kayu di hulu sungai saat ini sudah dihentikan. Hal ini tentu memberi harapan yang baik bagi kelestarian sungai-sungai yang ada di sekitar TNBT Interaksi dan Pemanfaatan Potensi di TN Gunung Gede Pangango Interaksi dan pemanfaatan potensi sumber daya hutan dan lingkungan dari kawasan taman nasional sangat terkait dengan tipologi masyarakat sekitar, terutama di daerah penyangga. Gambaran tipologi Nilai Penting Taman Nasional 89

111 masyarakat di daerah penyangga TN Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang diwakili oleh beberapa desa yang disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15. Tipologi masyarakat dari beberapa desa contoh yang berbatasan dengan zona rehabilitasi TN Gunung Gede Pangrango No. Parameter 1. Asal-usul: - Masyarakat asli - Masyarakat pendatang 2. Jumlah anggota keluarga (orang) Kabupaten Sukabumi Desa Pasir Datar Desa Pawenang Lokasi Kabupaten Bogor Desa Tangkil Kabupaten Cianjur Desa Sukatani Desa Gekbrong 90% 98% 95% 57,14% 83,33% 10% 2% 5% 42,86% 16,67% Mata pencaharian: - Petani 90% 40% 35% 93,33% 75% - Buruh tani 8% 53% 45% - 20% - Pedagang % - - Lain-lain 2% 7% 20% 1,67% 5% 4. Kondisi perumahan: - Permanen 90% 30% 80% 70% 87,5% - Semipermanen 10% 70% 20% 30% 12,5% 6. Luas rumah (m 2 ) 7. Luas pekarangan (m 2 ) 8, Jarak rumah ke hutan (m) 9. Frekuensi ke hutan kali/ minggu Setiap hari 1 kali/ bulan Setiap hari Setiap hari 10. Kepemilikan lahan: - Sawah (m 2 ) Garapan (m 2 ) Jenis tanaman di hutan - sayuran, singkong dan jagung singkong sayuran sayuran 12. Kepemilikan ternak: - Sapi (individu) Kambing (individu) M. Bismark dan Reny Sawitri

112 13. Rata-rata pendapatan (Rp/bln/kk) Berdasarkan frekuensi masuk ke dalam kawasan hutan dapat diasumsikan bahwa petani di dua desa yang disebutkan dalam Tabel 15 memiliki interaksi yang relatif kecil terhadap kawasan taman nasional. Dalam kehidupan kesehariannya, petani di Desa Pasir Datar (Kecamatan Cimungkat, Kabupaten Sukabumi) sebanyak 600 kk lebih banyak menggarap lahan di daerah penyangga TNGGP milik PT Surya Nusa Nadi Cipta seluas 320 ha. Alokasi lahan garapan tersebut seluas 800 m 2 hingga 2 ha per kepala keluarga yang ditanami palawija, sayuran, dan padi sawah dengan irigasi yang mencukupi. Kondisi ini juga dijumpai pada masyarakat Desa Tangkil (Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor) yang memiliki lahan garapan dari PT Agro seluas 0,5 2 ha per kepala keluarga yang ditanami singkong. Hal yang berbeda dilakukan oleh masyarakat di desa lain yang interaksinya terhadap kawasan taman nasional sangat tinggi dilihat dari frekuensi setiap hari masuk ke dalam hutan. Masyarakat Desa Pawenang (Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi) yang bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani masih menggarap lahan di dalam kawasan hutan. Hal ini terjadi karena mereka masih menganggap pola pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) tetap berlaku [sebagaimana pola yang diterapkan oleh pemangku kawasan sebelumnya]. Mereka umumnya menanam jagung, singkong, sayuran, dan kacang-kacangan. Sayangnya, pola penggarapan lahan di kawasan ini kurang memerhatikan konservasi tanah. Hal ini terlihat dari tidak adanya sistem terasering yang baik pada lahan yang memiliki kemiringan 15 25% (Gambar 7). Selain itu, mata pencaharian tambahan mereka adalah sebagai penyadap getah damar di dalam kawasan TNGGP yang saat ini mulai diberhentikan. Ketergantungan masyarakat terhadap lahan garapan dalam kawasan TNGGP sangat tinggi dilihat dari tingkat keseringan masyarakat ke hutan. Setiap hari, mereka juga bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan Rp /hari karena kepemilikan lahan yang sangat rendah dan terbatasnya ketrampilan. Oleh sebab itu, upaya mengurangi ketergantungan pada lahan garapan di dalam kawasan perlu dilakukan, Nilai Penting Taman Nasional 91

113 Gambar 7. Lahan garapan masyarakat di Desa Pawenang (Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi) yang cukup bagus. terutama bagi masyarakat yang bermukim dekat dengan kawasan hutan (50 m). Pola rehabilitasi kawasan di jalur batas dapat dilakukan dengan mengembangkan tanaman pohon buah-buahan yang diminati masyarakat, seperti manggis (Garcinia mangostana L.) dan duku (Lansium domesticum Corr). Jenis-jenis ini memiliki kesesuaian tempat tumbuh yang baik dan pemasaran Masyarakat di sekitar TNGGP tersebut umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani atau buruh tani sehingga kebutuhan lahan garapan juga tinggi. Minimnya kepemilikan lahan sendiri yang dapat dikelola menyebabkan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya lahan di dalam kawasan taman nasional. Hal ini dapat dilihat dari status lahan garapan masyarakat yang menjadi milik sendiri hanya 8,33%, sedangkan sebagian besar menggarap lahan sebagai anggota PHBM (33,33%) dan memanfaatkan lahan dalam taman nasional (58,33%) (Gambar 8). Terjadinya interaksi dan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan di TNGGP juga disebabkan oleh persepsi yang berkembang di masyarakat. Sebenarnya, secara budaya lokal masyarakat telah memanfaatkan lahan pekarangan sendiri secara intensif sebagai sumber ekonomi, namun persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan fungsi taman nasional masih menganggapnya sebagai kawasan yang dapat dimanfaatkan secara langsung. Mereka memanfaatkan lahan dan potensi kawasan berupa lahan garapan (36,76%), sumber air (36,76%), dan tempat wisata (26,47%) (Gambar 9). Pemanfaatan kawasan hutan sebagai lahan garapan dilakukan 92 M. Bismark dan Reny Sawitri

114 masyarakat lokal di taman nasional dengan berbagai alasan seperti tidak memiliki kebun di tanah marga, untuk perluasan areal kebun atau alasan kemiskinan (Pasha & Susanto, 2009; Harwanto, 2012). Gambar 8. Status lahan garapan masyarakat sekitar TN Gunung Gede Pangrango Gambar 9. Manfaat kawasan hutan menurut persepsi masyarakat di sekitar TN Gunung Gede Pangrango Nilai Penting Taman Nasional 93

115 Selain pemanfaatan lahan, pemanfaatan potensi dan sumber daya berupa air dari TNGGP juga dilakukan oleh masyarakat, bahkan dengan cakupan yang lebih luas. Potensi TNGGP adalah sebagai daerah tangkapan air bagi 30 juta warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) dan penyedia air bersih sebanyak 213 milyar liter dalam satu tahun (Anton, 2012). Selain sumber pasokan air bersih, masyarakat sekitar kawasan juga menggunakan arus air sungai untuk pembangkit listrik tenaga air (mikrohidro) di beberapa Model Desa Konservasi, seperti Desa Nagrak, Desa Ciderum, Desa Tangkil, dan Desa Cinagara (Wulandari, 2009). 94 M. Bismark dan Reny Sawitri

116 Bab 4 ZONASI TAMAN NASIONAL Nilai Penting Taman Nasional 95

117 Penataan ruang zonasi taman nasional sangat dibutuhkan terutama bila terjadi perubahan luas kawasan dan dilakukan berdasarkan potensi penting taman nasional. Zonasi dalam taman nasional terdiri atas zona inti; zona rimba; zona pemanfaatan; dan zona lainnya ( zona tradisional; zona rehabilitasi; zona religi, budaya dan sejarah; serta zona khusus). Keberadaan spesies tertentu dapat menjadi parameter penting untuk menentukan indikator suatu zonasi dan harus ditindaklanjuti melalui pengelolaan kawasan yang sesuai dengan karakteristik zonasi. Selain itu, zonasi juga mempertimbangkan aspek biofisik dan interaksi masyarakat terhadap kawasan taman nasional. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup tahapan kegiatan persiapan, pengumpulan dan analisis data, dan penyusunan draf rancangan zonasi. Kemudian, draf rancangan tersebut dilakukan konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Zonasi di dalam kawasan taman nasional sekurang-kurangnya terdiri atas zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan. Penentuan zona lain pada setiap kawasan taman nasional dilakukan secara variatif sesuai kondisi setempat. Masing-masing zona dalam setiap kawasan taman nasional dapat lebih dari satu tergantung 96 M. Bismark dan Reny Sawitri

118 pada potensi kawasan, kondisi kawasan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar taman nasional. Zona tersebut ditata dalam bentuk 1) zona inti, 2) zona rimba atau zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan, 3) zona pemanfaatan, dan 4) zona lainnya, yaitu zona tradisional; zona rehabilitasi; zona religi, budaya dan sejarah; dan zona khusus. 4.1 Dasar Hukum Pengelolaan Kawasan Berbasis Zonasi Pengelolaan taman nasional di Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut. 1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5. Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. 4) Permenhut No. 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional; yang memungkinkan penataan ruang atau zonasi berdasarkan potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tingkat interaksi dengan masyarakat sekitar, dan efektivitas pengelolaan kawasan. 5) Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; yang memungkinkan keterlibatan pihak lain dalam pengelolaan kawasan konservasi, baik bersama masyarakat maupun pemangku kepentingan lainnya. 6) Permenhut No. P.8/Menhut-II/2013 tentang Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi; yang ditujukan untuk perbaikan DAS, sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan dan pendapatan kelompok masyarakat melalui kegiatan aneka usaha perhutanan konservasi dalam suatu kelembagaan. Kegiatan kelompok masyarakat dalam bentuk wanatani, wanamina, wanafarma, dan wanahijauan pakan ternak. Nilai Penting Taman Nasional 97

119 4.2 Kriteria Zonasi Kriteria zonasi taman nasional dijelaskan dalam Permenhut Nomor 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. 1) Kriteria Zona Inti a. Bagian taman nasional yang mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; b. Mewakili formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya yang merupakan ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia; c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia; d. Mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; e. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya yang langka yang keberadaannya terancam punah; g. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan khas/endemik; h. Merupakan tempat aktivitas satwa migran. Indikator variabel dari penetapan ketujuh kriteria di atas adalah 1) parameter derajat keanekaragaman yang tinggi, 2) terdapat tumbuhan dan atau satwa langka/endemik, 3) ketinggian tempat di atas permukaan laut, 4) kemiringan lereng, 5) kerapatan vegetasi, 6) penutupan/penggunaan lahan, 7) bentuk lahan, dan 8) jenis tanah (Sune, 2012). Selain itu, indikator ekologis zona inti juga dapat didasarkan pada hasil penelitian (Kwatrina & Kuswanda, 2011), antara lain keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa tinggi, tipe ekosistem khas, tipe vegetasi hutan primer, potensi satwa tinggi, jenis penting ada, dan tingkat kelangkaan (nyaris punah, genting 98 M. Bismark dan Reny Sawitri

120 dan/atau jarang, jarang, terbatas dan/atau penurunan pesat, rawan dan/atau terancam punah, terkikis). 2) Kriteria Zona Rimba a. Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi dan mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa liar; b. Memiliki ekosistem dan/atau keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan; c. Merupakan tempat kehidupan bagi jenis satwa migran. Indikator ekologis zona rimba antara lain kondisi vegetasi masih baik, potensi keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan sedang sampai tinggi, serta sebagai bagian habitat atau ruang jelajah satwa langka dilindungi (Kwatrina & Kuswanda, 2011). 3) Kriteria Zona Pemanfaatan a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu, serta formasi geologinya yang indah dan unik; b. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensl dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; c. Kondisi Iingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, penelitian dan pendidikan; d. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan; e. Tidak berbatasan langsung dengan zona inti. Indikator ekologis zona pemanfaatan antara lain potensi biotik sedang sampai tinggi, potensi wisata tinggi, dan bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting (Kwatrina & Kuswanda, 2011). Nilai Penting Taman Nasional 99

121 4) Kriteria Zona Tradisional a. Adanya potensi dan kondisi sumber daya alam hayati bukan kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya; b. Di wilayah perairan, terdapat potensi dan kondisi sumber daya alam hayati tertentu yang telah dimanfaatkan melalui kegiatan pengembangbiakan, perbanyakan dan pembesaran oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Indikator zona tradisional ditetapkan untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan oleh masyarakat adat yang karena kesejarahan telah mengelola kawasan tersebut, serta masih mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam (Balai Taman Nasional Kayan Mentarang, 2010). 5) Kriteria Zona Rehabilitasi a. Adanya perubahan fisik, sifat fisik, dan hayati yang secara ekologi berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia; b. Adanya spesies invasif yang mengganggu jenis atau spesies asli dalam kawasan; c. Pemulihan kawasan pada huruf a dan b sekurang-kurangnya memerlukan waktu 5 (lima) tahun. Indikator ekologis zona rehabilitasi adalah kondisi hutan yang telah mengalami penurunan kualitas dan fungsi, dengan menanam tumbuhan aslinya, dan bila kawasan ini sudah mengalami suksesi sempurna atau sudah menjadi hutan primer kembali maka zona ini dapat diperuntukkan bagi fungsi lain (Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2009). 6) Kriteria Zona Religi, Budaya, dan Sejarah a. Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara dan dipergunakan oleh masyarakat; 100 M. Bismark dan Reny Sawitri

122 b. Adanya situs budaya dan sejarah, baik yang dilindungi undangundang maupun tidak Indikator zona religi adalah keberadaan situs religi, peninggalan warisan budaya dan/atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan religi sebagai identitas budaya tradisional masyarakat komunitas lokal (Teguh, 2012). 7) Kriteria Zona Khusus a. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ ditetapkan sebagai taman nasional; b. Telah terdapat sarana prasarana antara lain: telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik, sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional; c. Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti. Indikator zona khusus adalah terdapat kelompok masyarakat yang telah bermukim sebelum taman nasional ditetapkan, fasilitas umum untuk kepentingan masyarakat, pola pemanfaatan tradisional seperti pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dengan tidak merubah bentang alam dan merusak tegakan, melalui pengaturan pemanfaatan untuk kebutuhan hidupnya (Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2009). 4.3 Penataan Pengelolaan Zonasi Penataan ruang zonasi taman nasional sangat dibutuhkan terutama bila terjadi perubahan luas kawasan dan dilakukan berdasarkan potensi penting taman nasional. Penataan zonasi harus memerhatikan jenis zona yang dibutuhkan, luasan, dan tata letak zona. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan efisiensi pengelolaan dan kelestarian kawasan, serta mempertimbangkan keperluan dasar masyarakat sekitar. Nilai Penting Taman Nasional 101

123 4.3.1 Zona Inti Rasionalisasi luas atau perluasan kawasan taman nasional mencerminkan suatu lansekap yang mampu mengakomodir pelestarian habitat dan ruang jelajah (home range) hidupan liar, serta bentuk kawasan yang lebih kompak. Hal ini merupakan prasyarat penting untuk efisiensi dan efektivitas pengamanan dan perlindungan kawasan. Kriteria dan indikator zonasi menjadi parameter penataan zonasi, antara lain didasarkan pada tingkat sensitivitas ekologi dalam kategori sensitif dan sangat sensitif, topografi kawasan yang termasuk dalam kategori curam dan sangat curam, dan bagian habitat jenis langka/penting. Sebagai contoh, implikasi dari rasionalisasi luas dan parameter penataan zonasi yang mempertimbangkan kawasan yang tergolong curam dan sangat curam terjadi di TN Bukit Tigapuluh (Antoko & Kwatrina, 2007). Secara ekologis, perubahan ini akan berdampak positif bagi keutuhan habitat harimau sumatra dan tapir karena penambahan kawasan berhutan akan memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi kedua jenis satwa tersebut. Selain itu, kawasan berhutan tersebut dapat berfungsi sebagai koridor biologi atau penghubung bagi harimau sumatra dan tapir dengan kawasan hutan lainnya di luar kawasan taman nasional. Dengan status harimau sumatera yang terancam punah maka keberadaan habitat yang lebih luas dan tidak terfragmentasi akan memberikan peluang hidup dan berkembangbiak yang lebih baik bagi satwa tersebut. Selain itu pula, penambahan kawasan di wilayah Selatan TNBT juga memberikan dampak positif bagi kelangsungan orangutan di kawasan tersebut yang merupakan kawasan hutan yang dijadikan daerah introduksi orang utan di Provinsi Jambi. Zona inti sebagai kawasan yang rawan ancaman dan memiliki sensitivitas ekologi yang tinggi ditata arealnya hanya berbatasan dengan zona rimba yang berfungsi sebagai penghalang (barrier) bagi zona inti. Selain berfungi sebagai barrier, zona rimba merupakan wilayah transisi bagi zona inti dengan zona-zona lainnya, seperti zona pemanfaatan intensif dan zona pemanfaatan tradisional, sehingga berbagai aktivitas pemanfaatan di kedua zona pemanfaatan tersebut tidak berpengaruh secara langsung pada zona inti. Contoh hasil penelitian perubahan batas dan zonasi TNBT dengan luas ± ha telah membagi kawasan 102 M. Bismark dan Reny Sawitri

124 konservasi ini menjadi zona inti seluas ± ha, zona rimba seluas ± ha, zona pemanfaatan intensif seluas ±2.637 ha, zona pemanfaatan tradisional seluas ±6.205 ha, zona rehabilitasi seluas ±1.094 ha, dan enclave seluas ±1.235 ha (Gambar 10). Gambar 10. Usulan batas kawasan dan zonasi TN Bukit Tigapuluh Implikasi dari rasionalisasi penataan zonasi terjadi pula pada kawasan taman nasional perairan. Sebagai contoh, kawasan TN Teluk Cendrawasih yang memiliki zona inti dengan potensi dan keterwakilan ekosistem penting berupa ekosistem mangrove, habitat berbagai jenis burung yang dilindungi, ekosistem terumbu karang, vegetasi pantai, dan pantai peneluran penyu. Selain itu, TN Teluk Cenderawasih juga merupakan ekosistem berbagai jenis biota laut yang dilindungi, seperti kima dan penyu, serta tempat kegiatan religi dan budaya yang masih Nilai Penting Taman Nasional 103

125 dilestarikan oleh masyarakat (Balai Besar TN Teluk Cendrawasih dan World Wide Fund-Indonesia, 2009) Zona Rimba Penelitian intensif tentang zona rimba telah dilakukan pada beberapa taman nasional di Indonesia. TN Bantimurung-Bulusaraung memiliki zona rimba yang terdiri atas beberapa tipe ekosistem, antara lain ekosistem karst, hutan dataran rendah nondipterokarpa pamah, dan hutan pegunungan bawah. Kondisi kawasan pada zona rimba ini sebagian besar berupa hutan sekunder, berbatasan langsung dengan zona pemanfaatan, zona pemanfaatan tradisional, zona religi sejarah dan budaya, serta zona khusus sehingga mendapat banyak gangguan. Mengingat fungsinya, zona ini memiliki tingkat sensitivitas ekologi kurang sensitif, sebagai habitat satwa liar, dan terdapat jenis tumbuhan eksotik terbatas sehingga kawasan ini menjadi barrier bagi zona inti (Indra et al., 2011). Untuk mengakomodir pemanfaatan potensi wisata alam dalam kawasan taman nasional yang merupakan bagian dari home range satwa, zona rimba dapat dijadikan sebagai alternatif karena pada zona rimba dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan berupa wisata alam terbatas (Noprianto et al., 2003). Sementara itu, beberapa taman nasional di Pulau Jawa memiliki karaktersitik zona rimba yang sebagian berbeda karena perubahan luas kawasan lebuh banyak berasal dari hutan produksi yang vegetasinya ditanam [Perum Perhutani]. Sebagai contoh, TN Alas Purwo dan TN Gunung Halimun Salak memiliki zona rimba yang sebagian masih berupa hutan tanaman (jati, pinus, atau rasamala) sebagai hasil perluasan kawasan. Zona rimba di taman nasional perairan juga ditata berbatasan dengan zona inti. Zona rimba atau zona perlindungan bahari di TN Teluk Cendrawasih adalah wilayah darat yang karena letak dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan. Perairan zona perlindungan bahari di kawasan TN Teluk Cendrawasih berada pada ±500 m dari ujung reef dalam untuk melindungi terumbu karang dan ekosistem yang terdapat di dalamnya (Balai Besar TN Teluk Cendrawasih dan World Wide Fund-Indonesia, 2009) 104 M. Bismark dan Reny Sawitri

126 4.3.3 Zona Pemanfaatan Penempatan zona pemanfaatan [intensif] hendaknya berada di tepi kawasan. Hal ini dilakukan untuk mengakomodir kepentingan pelestarian dan kepentingan pemanfaatan. Zona pemanfaatan intensif karena potensi pemandangan yang indah tetapi terletak di tengah kawasan dan tersebar dapat menimbulkan risiko kelestarian kawasan. Pengembangan zona pemanfaatan sebagai kawasan wisata alam ini berpeluang menjadi permasalahan dan ancaman bagi kelestarian sumber daya alam maupun habitat satwa liar. Hal ini mengingat pada zona pemanfaatan [sesuai dengan fungsinya] memungkinkan adanya aktivitas manusia sehingga terbukanya sebagian tutupan dan lantai hutan. Kondisi ini akan memengaruhi pertumbuhan permudaan alam dan menyebabkan pertumbuhan yang cepat bagi jenis pionir, termasuk semak, antara lain dari famili Euphorbiaceae yang didominasi oleh jenis Antidesma cf. phaneroplebium (kayu tulang) dan Macaranga tanarius (mahang). Dengan demikian, tingkat gangguan akibat pengelolaan zona pemanfaatan menjadi cukup tinggi, baik terhadap zona itu sendiri maupun seluruh potensi biodiversitas dan ekosistem kawasan taman nasional. Apabila gangguan tersebut terus berlanjut, bukan tidak mungkin semua vegetasi asli dan habitat satwa liar pada zona tersebut akan terkendala dan terancam oleh jenis invasif. Terbukanya tutupan dan lantai hutan memang tidak selalu menyebabkan seluruh taksa dan/atau jenis biodiversitas akan hilang. Pada kasus tertentu sesuai preferensi habitat, beberapa kelompok taksa satwa liar dapat memanfaatkan perubahan ini. Beberapa jenis satwa dari taksa mamalia kecil, herpetofauna, dan burung mungkin akan lebih terakumulasi pada kawasan ini karena tersedianya sumber pakan. Selain itu, kondisi ini juga dapat menyebabkan pergeseran habitat mencari makan untuk kelompok taksa lainnya pada periode waktu tertentu. Penelitian yang dilakukan di TN Bukit Tigapuluh menunjukkan fakta bahwa beberapa jenis satwa liar lebih mudah diketahui keberadaannya (melalui perjumpaan langsung, pengenalan jejak, suara/bunyi-bunyian, dan sarang) dalam waktu terbatas, yaitu tercatat 44 individu satwa liar yang terdiri dari 7 jenis mamalia dan 17 jenis aves (burung). Bahkan, zona pemanfaatan merupakan zona yang didominasi jenis burung. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan habitat Nilai Penting Taman Nasional 105

127 sebagian besar jenis burung yang menyukai kondisi seperti hutan sekunder atau hutan bekas tebangan sehingga terdapat areal terbuka dan kawasan-kawasan hutan berbatasan dengan pemukiman penduduk. Berbagai pihak dan kepentingan menggunakan zona pemanfaatan dalam aktivitas dan pengembangan ekonomi terbatas. Zona pemanfaatan intensif dengan luas ha di TNBT merupakan zona yang di dalamnya dapat dilakukan kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian, serta diperuntukkan bagi pusat pembangunan sarana/prasarana dalam rangka pengembangan kepariwisataan alam dan rekreasi. Untuk mendukung pengembangan daerah wisata tersebut, pembangunan prasarana jalan telah dikembangkan pihak pengelola bersama pemerintah daerah setempat. Areal air terjun khas yang berasal dari batu granit pada zona pemanfaatan di TNBT menjadi andalan pengembangan wisata alam. Selain itu, zona ini mempunyai potensi flora dan fauna yang menarik, langka dan dilindungi, seperti rangkong kuning, rangkong gading, dan rangkong putih. Pada lokasi air terjun terdapat 42 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 15 famili dengan strata vegetasi tingkat semai sebanyak 14 jenis, tingkat belta sebanyak 26 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 29 jenis. Pada zona tersebut, masyarakat juga memanfaatkan tumbuhan yang termasuk HHBK, yaitu rotan (Calamus sp.), pasak bumi (Erycoma longifolia), dan aren (Arenga piñata) Zona Tradisional Zona tradisional pada umumnya masih memungkinkan dimanfaatkan dalam batas-batas tertentu oleh masyarakat sekitar taman nasional dengan tidak merubah bentang alam dan merusak tegakan. Hal tersebut seperti yang terjadi di TN Gunung Gede Pangrango. Zona ini merupakan bekas areal Perum Perhutani yang oleh masyarakat dilakukan pola pemanfaatan tradisional seperti pemanfaatan HHBK sebagai bahan makanan, obat-obatan, dan bahan baku kerajinan (Balai TN Gunung Gede Pangrango, 2009). Beberapa areal di dalam kawasan taman nasional yang telah terdapat pemukiman sebagian juga telah ditetapkan sebagai enclave dan zona pemanfaatan tradisional. Kondisi ini terjadi di TN Bukit Tigapuluh yang pada sebagian kawasan tersebut terdapat desa suku-suku asli dan 106 M. Bismark dan Reny Sawitri

128 masyarakat lokal. Pengelolaan zona pemanfaatan tradisional yang terkonsentrasi pada desa dan perkampungan penduduk diharapkan akan mengurangi dampak negatif pemanfaatan lahan di luar zona pemanfaatan tradisional tersebut. Pengembangan zona pemanfaatan tradisional yang berdekatan dengan zona pemanfaatan intensif juga dimaksudkan untuk memberikan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan mengurangi ketergantungan pada pemanfaatan sumber daya alam di dalam kawasan, salah satunya melalui kegiatan wisata alam (Noprianto et al., 2003) Zona Rehabilitasi Keberadaan zona rehabilitasi menunjukkan bahwa kawasan taman nasional cenderung berubah dalam setiap periode waktu tertentu, tergantung pada perubahan penutupan lahan. Dengan demikian, zona rehabilitasi bersifat temporer sehingga tidak memerlukan pengelolaan secara khusus sebagaimana zona-zona lainnya. Pihak taman nasional dapat menggunakan citra landsat secara berkala untuk mengetahui perubahan penutupan lahan dan menentukan kawasan-kawasan mana yang perlu direhabilitasi. Kebijakan rehabilitasi taman nasional dilakukan dengan menetapkan zonasi yang perlu direhabilitasi sesuai peraturan yang ada dan pelaksanaannya memerhatikan kondisi lahan, sosial ekonomi masyarakat, dan kesesuaian jenis yang juga dapat berfungsi sebagai pengembangan habitat satwa liar. Kriteria penilaian prioritas rehabilitasi dan restorasi kawasan dilakukan berdasarkan aspek tingkat kepentingan dan aspek tingkat kemendesakan (Gunawan, 2012). Zona rehabilitasi umumnya berada pada bagian yang berbatasan langsung dengan keberadaan masyarakat sekitar yang memiliki lahan garapan atau memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan di dalam kawasan sehingga teknis pengelolaannya harus dapat mengantisipasi dan meredam tekanan masyarakat terhadap kawasan (Sawitri & Bismark, 2013). Tekanan masyarakat di daerah penyangga terhadap kawasan merupakan dampak dari beberapa faktor, seperti kepentingan dalam menyediakan mata pencarian, pendidikan, tingkat kepadatan penduduk, dan kepemilikan lahan. Sebagai contoh, masyarakat di daerah penyangga TN Gunung Gede Pangrango yang Nilai Penting Taman Nasional 107

129 bermukim di 66 desa di Kabupaten Bogor sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani (80 98%) dengan luas lahan 0,1 0,3 ha/kk, berpendidikan rendah, dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi (Arshanti, 2001). Selain itu, luas lahan untuk usaha pertanian setiap tahun semakin berkurang akibat pengembangan areal pemukiman, industri, pertokoan, dan prasarana umum (Wahyudi, 2012). Dengan demikian, model rehabilitasi atau restorasi ekosistem taman nasional pada zona ini perlu diselaraskan dengan pengembangan pembangunan daerah penyangga. Dalam hal ini, termasuk upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi para pihak dalam kegiatan di zona rehabilitasi dalam bentuk pengelolaan kolaborasi agar fungsi dan manfaat kawasan taman nasional dapat dioptimalkan (Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1986 dalam Arshanti, 2001). Perubahan dan peningkatan fungsi taman nasional yang berasal dari tipologi hutan produksi perlu direhabilitasi atau direstorasi agar sesuai dengan fungsi taman nasional. Hal ini dikarenakan kawasan taman nasional ex areal hutan produksi [terutama di Pulau Jawa sebagai ex areal Perum Perhutani] umumnya berupa hutan tanaman monokultur. Oleh sebab itu, penetapan zona rehabilitasi di TNGGP bertujuan untuk pemulihan fungsi ekosistem kawasan yang berasal dari hutan produksi tanaman monokultur, seperti pinus (Pinus merkusii), damar (Agathis lorantifolia), ekaliptus (Eucalyptus alba), dan tanaman budi daya. Luasan zona rehabilitasi adalah 4.367,192 ha (19%), yang terbagi ke dalam wilayah Cianjur seluas 1.298,54 ha, wilayah Sukabumi 1.823,575 ha, dan wilayah Bogor seluas 1.245,077 ha (Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2009). Luas zona rehabilitasi dalam satu hamparan sangat bervariasi dengan kisaran 3, ,359 ha. Untuk mengefektifkan pengelolaan dan kegiatan rehabilitasi, zona rehabilitasi dengan luas yang relatif kecil dilakukan perkayaan dengan jenis pohon lokal, seperti kegiatan penanaman di Resort Sarongge (Gambar 11). Sementara itu, zona rehabilitasi yang berasal dari tanaman perkebunan kopi (Coffea sp.), seperti yang terdapat di Megamendung (Resort Tapos), dilakukan kegiatan awal dengan pembabatan tanaman. Kegiatan tersebut dilakukan bekerja sama dengan masyarakat dan aparat desa setempat, kemudian dilakukan rehabilitasi kawasan dengan penanaman pohon buahbuahan dan tumbuhan jenis asli (Gambar 12). 108 M. Bismark dan Reny Sawitri

130 Gambar 11. Tanaman perkayaan di zona rehabilitasi, Resort Sarongge, TN Gunung Gede Pangrango Gambar 12. Tanaman kopi di bawah tegakan pinus dan kegiatan pembabatan di zona rehabilitasi, Resort Tapos, TN Gunung Gede Pangrango Rehabilitasi lahan di kawasan konservasi ditujukan untuk memulihkan, meningkatkan, dan mempertahankan kondisi lahan sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi tersebut termasuk pula fungsi produksi [aspek ekologi dan sosial ekonomi masyarakat] yang terkait dengan kesuburan tanah, media pengatur tata air, dan perlindungan lingkungan dari erosi dan banjir melalui pemberdayaan masyarakat (Pamulardi, 1995 dalam Tumanggor, 2008). Model Nilai Penting Taman Nasional 109

131 rehabilitasi atau restorasi di zona rehabilitasi TNGGP bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk dan mengeluarkan perambah dari dalam kawasan (±2.763 kk) melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dan alih mata pencaharian. Hal tersebut juga dikuatkan oleh suatu kesepakatan (memory of understanding/mou) dalam batasan waktu tertentu (Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2009). Kegiatan rehabilitasi dilaksanakan dalam lima model yaitu adopsi pohon internasional, adopsi pohon, gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (gerhan) partisipatif, gerhan [selain partisipatif], dan pengelolaan batas kawasan berbasis masyarakat (Tabel 16). Keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi program Gerhan partisipatif atau pengelolaan batas luar berbasis masyarakat dapat dilihat dari tingkat persepsi masyarakat terhadap model rehabilitasi. Persepsi ini dapat dipengaruhi oleh tipologi masyarakat yang terlibat langsung ataupun tidak langsung, serta kelembagaan model rehabilitasi yang dibangun oleh para pemangku kepentingan. Kegiatan rehabilyasi sampai dengan tahun 2012 yang telah dilakukan di kawasan TNGGP seluas 2.265,5 ha atau 52% dari zona rehabilitasi. Tabel 16. Model rehabilitasi di TN Gunung Gede Pangrango No. 1. Adopsi pohon internasional 2. Adopsi pohon Luas (ha) Jumlah jenis pohon Jarak tanam (m) Model Rehabilitasi Pertumbuhan (%) Biaya (Rp/ha) (x 1.000) Waktu Pemberdayaan (tahun) masyarakat ,7 x 0, Persiapan lahan - Pembibitan - Penanaman - Pemeliharaan - Pembersihan gulma - Penyulaman - Pengukuran pohon x Penanaman - Pemeliharaan - Pembersihan gulma - Penyulaman - Pengukuran pohon 110 M. Bismark dan Reny Sawitri

132 3. Gerhan Partisipasif x Pembibitan - Penanaman - Pemeliharaan - Pembersihan gulma - Penyulaman 4. Gerhan tidak teratur/ 4 x 5 5. Batas kawasan hutan 1,5 2 tidak teratur Penanaman - Penyulaman - Pemeliharaan Penanaman - Pemeliharaan 1) Model Adopsi Pohon Pola Internasional Gambar 13. Model adopsi pohon internasional di Blok Los Beca, Resort Cimungkat, TN Gunung Gede Pangrango Pelaksanaan model ini telah dilaksanakan dengan Sistem Miyawaki pada bulan Januari 2012 di Blok Los Beca, Cimungkat, seluas 1 ha dengan 33 jenis tanaman dan jarak tanam (0,7 x 0,7) m (Gambar 13). Hal ini dimaksudkan untuk memperpendek suksesi tanaman seperti di hutan alam. Pelaksanaan kegiatan dimulai dari persiapan lahan, pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan yang dilakukan oleh Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement (OISCA) dengan dana dari Mitsubishi Corporation dan melibatkan Kelompok Tani Cipanas, Desa Kadudampit dan Baru Geulis, Desa Caringin, dan pengamanan (pam) swakarsa yang beranggotakan 40 orang. 2) Model Adopsi Pohon Adopsi pohon dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan kondisi hutan yang semula hutan produksi menjadi hutan konservasi dengan fungsi konservasi dengan mengikutsertakan masyarakat, organisasi, Nilai Penting Taman Nasional 111

133 pemerintah daerah, perwakilan negara asing, perusahaan lokal ataupun asing untuk berpartisipasi dalam model ini (Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2012). Biaya yang dikenakan dalam kegiatan penanaman ini adalah Rp /pohon dalam jangka waktu tiga tahun, dengan perincian alokasi dana: Rp (35%) untuk penanaman, Rp (15%) untuk manajemen, dan Rp (50%) untuk pemberdayaan masyarakat [diserahkan tunai kepada masyarakat]. Untuk mengefektifkan pemberdayaan masyarakat maka dibentuk kelompok tani yang akan menerima uang adopsi secara tunai atau diserahkan dalam bentuk ternak kambing, domba, kelinci, lebah madu, pertanian organik, dan pembinaan pemandu wisata alam (Soemarto, 2013). 3) Model Gerhan Partisipatif Gerakan rehabilitasi hutan dan lahan partisipasif dilaksanakan di Blok Ramusa, Blok Eucalyptus, dan Blok Lambau (Resort Gunung Putri) seluas 50 ha. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dalam KTH Puspa Lestari, tokoh masyarakat, serta didampingi oleh pihak TNGGP, Dinas PKT, Tim Pakar Institut Pertanian Bogor (IPB), dan LSM ESP USAID dalam bentuk Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat (PKBM) (Sumardiani, 2008). Bibit tanaman pokok dan pohon buah-buahan disediakan oleh TNGGP sebanyak bibit. Sayangnya, tingkat keberhasilan pertumbuhan masih rendah (±43%) karena kualitas bibit yang kurang baik dan kurangnya pemeliharaan (Tumanggor, 2008). 4) Model Gerhan Gerhan yang dilaksanakan di kawasan TNGGP berlokasi di lahanlahan kritis, berupa semak belukar yang telah ditinggalkan oleh perambah hutan ataupun di kawasan yang memerlukan perkayaan jenis. Jenis pohon yang ditanam terbatas pada tumbuhan asli, seperti rasamala (Altingia excelsa Noronha) di Resort Cimungkat, yang dilakukan oleh masyarakat terutama anggota pam swakarsa, didampingi petugas TNGGP. Sayangnya, tingkat keberhasilan sangat bervariasi sekitar 40 80% karena kegiatan penanaman dan pemeliharaan terbatas hanya satu tahun. 112 M. Bismark dan Reny Sawitri

134 5) Model Pengelolaan Batas Pengelolaan batas kawasan dilakukan dengan tanaman bambu (Bambusa vulgaris) dan aren (Arenga pinnata). Namun, tingkat keberhasilan ini juga sangat rendah karena kurang pemeliharaan, kekeringan, dan kekurangsesuaian lokasi. Evaluasi keberhasilan implementasi restorasi dilakukan dengan mengkaji beberapa aspek yang saling terkait. Beberapa aspek tersebut adalah aspek sosial ekonomi (seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat), aspek tanaman pokok yang ditanam (meliputi jenis asli, kesesuaian tempat tumbuh, dan perbaikan lingkungan), dan aspek ekologi (sebagai habitat satwa liar). Model merehabilitasi lahan dalam kawasan diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup majemuk, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup, mengalokasikan pengadaan sarana, dan mewujudkan lingkungan hidup yang sehat; kegiatan dilakukan pula melalui bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat (Kotijah, 2006). Pemberdayaan masyarakat dalam model rehabilitasi lahan merupakan bentuk kompensasi terhadap masyarakat yang kehilangan lahan garapannya. Hal ini disebutkan dalam UU No. 41 tentang Kehutanan yang menyebutkan bahwa masyarakat di dalam dan sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan fungsi kawasan hutan (Sumardiani, 2008). Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi TNGGP dilakukan dengan mengevaluasi keberhasilannya melalui beberapa aspek penentu sebagaimana Tabel 17. Model adopsi pohon internasional Sistem Miyawaki ataupun adopsi pohon yang mendapat dukungan dari masyarakat secara perorangan atau lembaga, LSM, dan Konsorsium Gedepahala diharapkan mampu menjadi salah satu model solusi konflik lahan hutan melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat (Tabel 17). Partisipasi dan pemberdayaan petani dan buruh tani yang memiliki garapan lahan dilakukan dengan diversifikasi pekerjaan sebagai peternak. Masyarakat yang telah meninggalkan lahan garapan di Resort Sarongge (Kabupaten Cianjur) dan beralih menjadi peternak kelinci mampu meningkatkan penghasilannya dari Rp /bulan menjadi Rp /bulan (Soemarto, 2013). Masyarakat yang tergabung Nilai Penting Taman Nasional 113

135 dalam kelompok tani hutan di Resort Tapos dan Bodogol (Kabupaten Bogor) diberi bantuan berupa ternak domba dan kambing (Tangguh, 2012; komunikasi pribadi). Masyarakat di Resort Cimungkat yang tergabung dalam kelompok tani hutan yang mengikuti adopsi pohon diberi pelatihan tentang pertanian organik, peternakan, dan outbond oleh OISCA (Hidayat, 2012; komunikasi pribadi). Sementara itu, model rehabilitasi lainnya; seperti Gerhan Partisipasif dalam bentuk PKBM dengan rencana kegiatan di luar kawasan berupa budi daya jamur, tanaman hias, pembuatan kompos dan pupuk organik, serta pemanenan dari pohon buah-buahan; tidak dapat berjalan dengan baik karena masyarakat masih sangat intensif mengolah lahan garapannya berupa tanaman sayur-sayuran (Mulyani, 2007). No. Tabel 17. Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi Aspek Penentu Adopsi pohon internasional Adopsi pohon Model Restorasi Gerhan partisipatif Gerhan Pengelolaan batas kawasan 1. Pembagian dan letak zonasi 2. Aturan pendukung Tipologi masyarakat Persepsi masyarakat Para pihak terkait: - Balai Taman Nasional Perhutani Masyarakat LSM Kelembagaan Desa Perguruan Tinggi Dinas Kehutanan Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat 7. Keberhasilan pertumbuhan tanaman Pendampingan masyarakat Nilai total Keterangan: 3 = tinggi, 2 = sedang, dan 1 = rendah 114 M. Bismark dan Reny Sawitri

136 Ditinjau dari aspek tanaman pokok berupa jenis asli kawasan TNGGP, Model Gerhan Partisipasif yang menanam tanaman pokok berupa pohon dan buah-buahan pertumbuhannya cukup bagus, tetapi jaraknya tidak teratur dan berada di pinggir lahan garapan (Gambar 14). Kondisi ini dianggap tidak terlalu baik ditinjau dari aspek perbaikan lingkungan karena pada musim hujan aliran air masih sangat deras dan menggenangi lahan pertanian dan Gambar 14. Tanaman perkayuan di zona rehabilitasi, Resort Gunung Putri, Cianjur menyebabkan tanah longsor (Gambar 15). Gambar 15. Tanah longsor dan genangan air di Desa Sukatani, Cianjur Beberapa jenis tanaman pokok berupa jenis asli kawasan TNGGP yang ditanam dalam model adopsi pohon tidak sesuai dengan tempat tumbuhnya, seperti ki putri (Podocarpus neriifolius D.Don) yang tumbuh di submontana (bagian subzona atas) pada ketinggian m dpl (Arriyani et al., 2006). Sementara itu, pohon buah-buahan yang ditanam bersamaan dengan sayur-sayuran memiliki pertumbuhan yang sangat bagus bila dilihat dari rimbunnya dedaunan, tetapi buah yang Nilai Penting Taman Nasional 115

137 dihasilkan sangat sedikit sehingga diperlukan alternatif jenis pohon buah-buahan yang lebih cocok (Sumardiani, 2008). Ditinjau dari aspek ekologi; lokasi adopsi pohon di Resort Sarongge (Kabupaten Cianjur), yang penanamannya dimulai pada tahun 2008 dan telah ditinggalkan oleh 51 kk dari 155 kk penggarap lahan, dapat dijumpai satwa liar. Beberapa jenis satwa liar tersebut termasuk pula mamalia kecil, seperti musang (Paradoxurus hermapropditus) dan meong congkok (Felis bengalensis); dan primate, seperti lutung (Trachypithecus auratus E Geoffroy, 1812) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) (Gambar 16). Gambar 16. Jenis dan kotoran satwa liar di zona rehabilitasi Resort Sarongge, Cianjur Zona rehabilitasi dalam kawasan taman nasional yang dilakukan kegiatan rehabilitasi atau restorasi juga terdapat di TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) [hampir sebagian kawasan taman nasional di Pulau Jawa merupakan ex hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani]. Luas kawasan yang telah direstorasi di TNGHS dari tahun dengan dana DIPA seluas ±4.213 ha atau 14,95% dari luas areal yang akan direhabilitasi dengan pelaksana Balai TNGHS bekerjasama dengan Masyarakat Desa Konservasi, masyarakat penyadap getah, dan personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagaimana Tabel 18, sedangkan lokasi zona rehabilitasi sebagaimana Gambar M. Bismark dan Reny Sawitri

138 Lokasi Tabel 18. Luas lahan yang rehabilitasi di TN Gunung Halimun Salak Luas (ha) Pelaksanaan Kegiatan Sukabumi TNGHS, TNI, Bogor Masyarakat Lebak Jumlah Gambar 17. Lokasi rencana rehabilitasi di TN Gunung Halimun Salak Kegiatan restorasi di TNGHS ditunjang oleh program adopsi pohon yang telah dilakukan bersama dengan 14 adopter dan masyarakat (Tabel 19). Program adopsi pohon didampingi dengan penanaman pohon prestasi yang ditanam oleh masyarakat bersamaan dengan pohon wajib dari adopter dengan perbandingan 1 : 4 sejumlah batang dengan jarak tanam rata-rata sekitar 4 x 5 m sehingga Nilai Penting Taman Nasional 117

139 luas keseluruhan lahan yang telah direhabilitasi oleh masyarakat sekitar 302,88 ha. Tabel 19. Kegiatan restorasi di TN Gunung Halimun Salak No. Adopter Jumlah bibit (batang) Luas (ha) 1. Mitra TNGHS PT KMI PT Satria Dharma Pusaka Crawford Yamaha Jelajah Alam PT Grace Special Chemicals Indonesia 200 0,5 6. Yamaha Green United Kagoshima University Universitas Pakuan 190 0,5 9. PILI Network 100 0, PT AIA Gunma Safari Park PT Cevron PT Amerta Indah Otsuka (Pocari) Kaukus Outdoor Advanture and Nature Club 150 0,5 Jumlah ,75 Beberapa mitra TNGHS lainnya juga melakukan penanaman pohon, antara lain Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (1.000 batang), Kelompok Pencinta Alam Wanadri (1.000 batang), ANC (150 batang), dan Universitas Pakuan (1.000 batang). Penanaman per pohon seharga Rp12.000; biaya ini termasuk harga bibit yang berasal dari cabutan, ajir, pupuk, dan pembuatan lubang taman (Tabel 20). Tabel 20. Model rehabilitasi di TN Gunung Halimun Salak No. 1. Adopsi pohon Luas (ha) Jumlah jenis pohon Jarak tanam (m) 93, x 5 atau 5 x 4 Model Rehabilitasi Pertumbuhan (%) Biaya (Rp/ha) (x 1.000) Waktu Pemberdayaan (tahun) masyarakat 5 - Penanaman - Pemeliharaan - Pembersihan gulma - Penyulaman - Pengukuran pohon 118 M. Bismark dan Reny Sawitri

140 2. Pohon Prestasi x Pembibitan - Penanaman - Pemeliharaan - Pembersihan gulma - Penyulaman 3. Gerhan tidak teratur/ 4 x 5 4. Restorasi mandiri 1,5 2 tidak teratur Pembibitan - Penanaman - Penyulaman - Pemeliharaan Penanaman - Pemeliharaan - Penyulaman Kegiatan rehabilitasi di taman nasional mengacu pada Permenhut No. P.14/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun Kegiatan ini untuk mendukung peningkatan fungsi dan daya dukung DAS berbasis pemberdayaan masyarakat melalui pembuatan persemaian permanen, penanaman bibit hasil Kebun Bibit Rakyat (KBR) dan Kegiatan Bantuan Langsung Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-PPMPBK). Sejalan dengan Permenhut di atas, keberhasilan restorasi di taman nasional didukung oleh tersedianya pembibitan yang baik. Hal ini menuntut kesadaran pihak pengelola dan masyarakat untuk menyediakan bibit yang baik, yang diutamakan dari jenis lokal dan bermanfaat mendukung fungsi tangkapan air dan sebagai pakan satwa liar. Namun demikian, kondisi ini belum sepenuhnya terwujud Zona Religi, Budaya, dan Sejarah Kegiatan religi yang masih dipelihara dan dipergunakan masyarakat berupa situs budaya dan sejarah (Moeliono et al., 2010). Pada beberapa taman nasional; zona religi, budaya, dan sejarah merupakan bagian kawasan yang masih dipelihara dan dipergunakan oleh masyarakat sekitar ataupun masyarakat yang yang berwisata ziarah, khususnya pada bulan-bulan tertentu. lokasi wisata ziarah di TN Ujung Kulon seluas 160 ha, antara lain Sang Hyang Sirah di Semenanjung Ujung Kulon, Gunung raksa di Pulau Panaitan dan Nilai Penting Taman Nasional 119

141 Kutalang, Cimahi, Gunung Tilu dan Cipaniis (TN Ujung Kulon). Sementara itu, TN Lore Lindu memiliki obyek wisata budaya etnik lokal yang masih kaya dengan adat istiadat serta peninggalan patung megalithic berumur sebelum Masehi yang tersebar di Lembah Napu, Bada, dan Besoa. Patung tersebut berasal dari batuan padat (patung granit) yang dikerjakan dengan baik dan sederhana, jauh sebelum masyarakat etnik ada, yaitu terdiri atas Patung batu, Kalamba, Tutu na, Batu Dakon, dan lainnya (TN Lore Lindu, 2001). Demikian pula di TN Bromo Tengger, zona religi seluas ha meliputi Gunung Bromo dan Gunung Tengger termasuk Segoro Wedhi, Pananjakan, dan gunung-gunung sekitarnya yang terdapat situs-situs keramat dan wilayah adat, serta merupakan kosmos kehidupan Wong Tengger (Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, 2013) Zona Khusus Zona khusus taman nasional mengakomodasi kepentingan para pihak secara proporsional melalui pengelolaan kolaboratif untuk mencapai tujuan konservasi kawasan hutan dan ekonomi sosial masyarakat (Sabar et al., 2011). Beberapa taman nasional yang memiliki zona khusus dan berpotensi konflik antara taman nasional dengan masyarakat yang umumnya telah ada sebelum penetapan sebagai taman nasional salah satunya di TN Bantimurung-Bulusaraung. Masyarakat di TN Babul melakukan berbagai aktivitas, seperti usaha tani tanaman semusim, ladang berpindah, kebun, hutan rakyat pola agroforestry, bahkan pemukiman. Analisis existing land use, analisis kompatibilitas, dan analisis kekuatan medan menemukan tujuh bentuk pemanfaatan lahan oleh masyarakat yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan zona khusus taman nasional, antara lain sawah dan ladang dengan kompatibilitas sangat rendah, pemanfaatan jati dengan kompatibilitas rendah, pemanfaatan aren dengan kompatibilitas sedang, serta pemungutan kayu dan pemanfaatan aren dan getah pinus dengan tingkat kompatibilitas cukup. Dalam rangka mengoptimalkan kolaborasi pengelolaan zona khusus taman nasional, beberapa kegiatan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas produktivitas tanaman aren, merehabilitasi semak belukar; menata dan memberi pal batas, membangun aturan pemanfaatan kawasan taman nasional oleh 120 M. Bismark dan Reny Sawitri

142 masyarakat, membangun sistem kompensasi, melakukan pengayaan tanaman di bawah tegakan jati tanaman masyarakat, dan menggunakan pupuk organik (Sabar et al., 2011). Contoh zona khusus lainnya seperti di TN Kerinci Seblat, antara lain Jorong Tandai dan Sungai Manau. Secara administratif, Jorong Tandai termasuk dalam Nagari Lubuak Gadang Timur dengan luas ±2.458 ha, dimana penduduk pertama bermukim sekitar tahun 1972 dan terdapat 333 unit rumah papan. Jalan dalam lingkungan Jorong merupakan jalan dengan pengerasan batu yang dibuat dan dipelihara oleh Pemda Kab. Solok Selatan sepanjang 3 km, dan jalan tembus Teluk Air Putih-Simpang BB sepanjang 12 km yang dibuat dan dipelihara oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatra Barat. Pemanfaatan lahan masyarakat umumnya berupa coklat, karet, durian, dan kayu manis, selain itu masyarakat juga mengandalkan kehidupan pada padi ladang, namun hasilnya tidak mencukupi karena panen padi 1 kali/per tahun dengan hasil 10 karung beras atau 200 kg/ha (Bismark et al., 2012). Tanamam karet rakyat berumur 5 tahun, menghasilkan 1 kg karet dan dijual dengan harga Rp7.000/kg. Untuk coklat dijual dengan harga Rp16.000/kg. Untuk menambah penghasilan, masyarakat juga bekerja sebagai buruh tani dengan upah Rp50.000/hari. Gambar 18. Profil Jorong Tandai Nilai Penting Taman Nasional 121

143 Jorong Sungai Manau (±338 Ha), wilayahnya sebagian besar berada di dalam kawasan taman nasional (75%) yang disebut Sungai Manau Atas, dan sebagian lainnya ada di luar kawasan yang disebut Sungai Manau Bawah. Sejak awal, pada zaman Belanda, Sungai Manau Atas sudah ditetapkan sebagai hutan lindung. Jumlah penduduk 71 kk, yang mana 48 kk di antaranya berada di dalam kawasan taman nasional menyebar sampai sekitar 5,5 km kearah perbukitan dan memanfaatkan lahan TNKS sebagai lahan mata pencaharian yang dikelola sebagai kebun dan sawah. Gambar 19. Profil penggunaan lahan di dalam dan di luar kawasan TN Kerinci Seblat yang menjadi bagian wilayah Jorong Sungai Manau Usulan zona khusus di TN Kutai merupakan kawasan hutan yang telah dirambah masyarakat dan terletak disepanjang jalan Bontang- Sangatta, seluas ± ha (tahun 2000), sedangkan tahun 2013 menurut zonasi TN Kutai ± ha (9,48%), tetapi dalam perkembangannya menurut Pemda luasnya menjadi ± ha (9,57%)(Balai Taman Nasional Kutai, 2013). Pengelolaan lahan oleh masyarakat tergantung landskap dan jaraknya dari rumah (Sawitri dan Karlina, 2013). Lahan garapan yang merupakan pekarangan rumah ditanami tanaman buah-buahan seperti mangga (Mangifera sp.), ceremai (Phyllathus acidus), jambu air (Syzygium aqueum), jambu biji (Psidium guajava), rambutan (Nephelium lappaceum), durian (Durio zibethinus), coklat (Cacao spp.), nangka (Artocarpus heterophylla), 122 M. Bismark dan Reny Sawitri

144 papaya (Carica papaya), jeruk (Citrus sp.), alpuket (Persea americana), pisang (Musa sp.) dan kemiri (Aleurites mollucana). Disamping pekarangan rumah adalah daerah berawa yang dijadikan daerah persawahan dengan tanaman padi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Selanjutnya, kawasan yang memiliki kelerengan 5 10% atau berjarak >0,5 km dari rumah ditanami dengan jenis tanaman perkayuan, seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), jabon (Anthocephalus cadamba), mahoni (Swietenia macrophylla), gmelina (Gmelina arborea), dan ketapang (Terminalia cattapa); serta tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit (Elaeis guineensis) dan karet (Hevea brasilliensis). Tabel 21. Pola usaha penduduk dari berbagai etnis di usulan zona khusus, TN Kutai Parameter Asal Etnis (Etnic Origin) Kutai Dayak Jawa Bugis Madura Luas Garapan 2 5 ha 3 >10 ha 2 5 ha 4 10 ha 2 4 ha Jarak tempat tinggal ke lahan garapan Jarak tempat tinggal ke sungai Frekuensi interaksi Tujuan berinteraksi dengan TNK Teknik pembukaan lahan yang diterapkan Pola tanam yang 15 km 0 5 km 0,25 2 km 0,5 5 km 0,1 2 km m m 2 km 6 km 2 km Enam bulan setahun sekali Mendapatkan lahan garapan untuk kebun pisang dan karet Sistem tebang habis dan bakar Tanaman semusim Enam bulan - setahun sekali Mendapatkan lahan garapan untuk budi daya tanaman pangan semusim dan karet Sistem tebang habis dan bakar Tanaman pangan Setiap hari/ saat musim tanam Mendapatkan lahan untuk budi daya tanaman pangan semusim Sistem tebang habis dan bakar -Tanaman pangan 2 kali/ bulan Mendapatkan lahan garapan untuk budi daya tanaman pangan, buahbuahan, HHBK dan kelapa sawit Sistim tebang pilih dan bakar Tanaman pangan Setiap hari Mendapatkan lahan garapan untuk usaha batu bata dan ternak Sistem tebang habis - Nilai Penting Taman Nasional 123

145 diusahakan di lahan garapan Tanaman pisang dan karet semusim Padi dan Karet semusim semusim Padi, buahbuahan, gaharu, kelapa sawit Sistim budi daya Kurang intensif Kurang intensif Sangat intensif Intensif Sangat intensif Penggunaan Jenis Pohon Ulin, meranti, kapur Ulin, meranti, kapur Ulin, meranti, kapur Ulin, meranti, kapur Semua jenis Pemanfaatan satwa Jenis satwa yang sering dijumpai Ikan, punai, payau dan pelanduk Orang utan, monyet,bua ya, berbagai jenis ikan Babi, ikan, punai, pelanduk Orang utan, monyet, buaya, berbagai jenis ikan Ikan Monyet, dan berbagai jenis burung Payau, pelanduk, punai, ikan Monyet dan berbagai jenis ikan Sumber: Analisis Data Primer 2013 dan Data sekunder, Sawitri el al., 2011 Burung Monyet, dan berbagai jenis burung Pengamatan asal-usul masyarakat ini berkaitan dengan perilaku dan tipologi masyarakat yang merupakan konsep sangat penting terkait dengan seluruh segmen perbedaan sosial dan biologis secara signifikan termasuk aspek jender dan etnik seperti kesejahteraan, profesi, status, usia dan kelas (Mc Dougall, 2001). Pemanfaatan usulan zona khusus oleh masyarakat di gunakan sebagai lokasi pemukiman dan lahan usaha yang bersifat ekonomis minimal dua hektar. Penguasaan lahan usaha tersebut telah mengalami peningkatan, karena pada tahun 2001 setiap keluarga menguasai sekitar 1,25 ha dengan jenis tanaman berupa kemiri, pisang, kakao dan tanaman buah-buahan (Subarudi, 2001). Cara mendapatkan lahan untuk pemukiman di usulan zona khusus ini diantaranya adalah bedol desa pada masyarakat sekitar seperti Suku Dayak dan Kutai, mendapatkan kavling pemukiman dan lahan usaha seperti suku Bugis dan Jawa, membeli dari penduduk yang telah terlebih dulu bermukim dilakukan oleh suku Jawa dan pemberian saudara ditemui pada suku Bugis. Semntara itu, lahan usaha diperoleh dari pembagian kapling sekitar dua ha, membeli dari penduduk lainnya, membuka lahan secara bergotong royong sekitar 50 orang, dan membayar upah rintis sekitar Rp M. Bismark dan Reny Sawitri

146 Suku Dayak dan Kutai yang terdapat di usulan zona khusus TNK berasal dari daerah sekitar Kalimatan Timur, mayoritas merupakan petani yang berladang berpindah, sehingga pembukaan hutan yang dilakukan secara bersama-sama sekitar 50 orang dengan sistem tebang habis dan pembakaran, menguasai lahan rata-rata lebih dari 5 ha, tetapi pengelolaan lahan yang dilakukan kurang intensif, karena hanya dua ha yang ditanami padi ladang selama dua periode tanam atau dua tahun, setelah itu lahan akan ditanami karet atau dibiarkan dan menunggu pembeli untuk diperjual belikan. Kedua etnis ini tidak mendiami rumah di kawasan karena lokasi hutan dan sungai yang menjadi bagian dari sumber kehidupan untuk keperluan rumah tangga dan menangkap ikan agak jauh atau sekitar 1 2 km dari rumah (Uluk et al., 2001; Wibowo, 2008). Keberadaan suku Dayak dan Kutai di zona khusus TNK merupakan salah satu bentuk kecemburuan sosial terhadap pendatang dari suku lainnya yang telah terlebih dahulu mendiami kawasan, hal ini juga terjadi juga pada masyarakat lokal Serampas di TN Kerinci Seblat (Sirait, 2014). Masyarakat dari Sulawesi yang umumnya termasuk Suku Bugis, merupakan masyarakat yang cukup mudah dalam mengadopsi teknologi dan merupakan masyarakat yang dapat berkegiatan di darat maupun di laut. Pengembangan kegiatan masyarakat di darat adalah mengelola lahan garapan untuk usaha pertanian padi ladang, pohon buah-buahan, pohon HHBK seperti gaharu (Aqularia sp.), tanaman umbi-umbian dan obat-obatan, disamping usaha sampingan berupa kegiatan warung dan berjualan bahan bakar. Kegiatan alternatif di laut juga dilakukan masyarakat yaitu budi daya rumput laut, perikanan laut dan ekowisata pantai yang masih direncanakan oleh masyarakat di Teluk Kaba dengan membentuk koperasi ekowisata Teluk Kaba (Sawitri dan Karlina, 2013). Masyarakat yang berasal dari Jawa terdiri dari Suku Jawa yang bermukim di zona khusus dan memiliki pekerjaan tetap, kepemilikan lahan garapan berupa sawah maupun ladang dilakukan sebagai investasi maupun lahan garapan yang diusahakan secara intensif ratarata seluas dua hektar dengan menanam karet, kelapa sawit serta padi sawah. Nilai Penting Taman Nasional 125

147 Masyarakat Madura yang berasal dari Pulau Madura memasuki kawasan TNK dengan berbekal ketrampilan pembuatan batu bata dan usaha sambilan berupa warung dan ternak jenis unggas maupun berbagai jenis burung seperti anis cacing ( Zoothera interpres), anis merah (Zoothera citrine), jalak (Sturnus sp.), murai batu (Copsychus malabaricus) dan kucica (Saxicola caprata) sebagai satwa peliharaan. Pemanfaatan kayu hutan untuk kayu bangunan seperti ulin, bangkirai, meranti dan kapur telah berkurang karena sudah semakin sulit karena patrol petugas TN Kutai yang semakin intensif, sedangkan untuk pembakaran batu bata digunakan kayu dari berbagai jenis yang ditemukan seperti laban (Vitex pubescens) dan makaranga (Macaranga triloba). Mata pencaharian masyarakat di zona khusus dan tingkat pendapatannya disajikan pada Tabel 22. No. Tabel 22. Jenis mata pencaharian masyarakat di zona khusus TN Kutai Mata Pencaharian Jenis komoditi Pemanenan Pendapatan (Rp/bulan) 1 Petani Kelapa sawit/ha 1 kali/2 minggu Karet/ha 1 kali/2 hari Padi sawah/ha 1 kali/6 bulan Padi lading/ha 1 kali/6 bulan Buah-buahan - Pisang - Nangka dan sukun setiap saat 5 pohon/tahun Nelayan Rumput laut 1 kali/bulan Pengusaha Batu bata 1 kali/2 bulan Rumah walet 1 kali/3 bulan Warung Setiap hari Salon Setiap hari Sumber: Analisis Data Primer, 2013 Jenis komoditi yang diusahakan oleh masyarakat merupakan tanaman budi daya pertanian maupun hasil kelautan. Tanaman budi daya berupa kelapa sawit, karet, padi sawah, padi ladang serta buahbuahan telah dibudi dayakan melalui pembelian bibit yang berkualitas dan bersertifikat, agar waktu panen lebih dapat dipercepat. Demikian juga dengan pengolahan lahan yang dilakukan terutama pada waktu 126 M. Bismark dan Reny Sawitri

148 penanaman padi sawah telah dilakukan dengan bantuan traktor tangan. Budi daya tanaman buah-buahan juga diarahkan untuk dapat diperjual belikan, bukan lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Buahbuahan tersebut bernilai ekonomis, diantaranya adalah pisang, durian, rambutan, alpuket, nangka, sukun, pepaya dan nanas. Hasil buahbuahan tersebut dipasarkan ke luar kawasan maupun di jalan raya Bontang-Sangatta. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan saat ini terjadi pergeseran jenis mata pencaharian dan tingkat ketergantungan. Kegiatan masyarakat saat ini telah mengalami perkembangan tingkat ekonomi dengan investasi modal yang cukup besar. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Gunawan dan Jinarto (2007) yang menyatakan bahwa kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam di TNK diantaranya adalah pemanfaatan tumbuhan obat, tumbuhan hias, kayu bakar, kayu bangunan, buah-buahan, bahan makanan, bahan kerajinan, pakan ternak, dengan waktu tempuh untuk mendapatkannya sekitar 2 45 menit. Pemanfaatan tumbuhan obat terdiri dari pasak bumi (Eurycoma longifolia), akar kuning (Coscinium fenestratum Gaertn), daun jambu mete (Annacardium occidentale), dan buah baru (Osbornia octodonta F.v. Muell) tumbuhan hias terdiri jenis-jenis anggrek;bahan makanan seperti umbut rotan dan buah-buahan hutan serta bahan kerajinan seperti rotan sudah tidak dilakukan lagi karena sumber daya yang ada semakin jauh ke dalam hutan, kawasan hutan telah dikonversi menjadi lahan usaha berupa perkebunan karet dan kelapa sawit dan waktu tempuh ke hutan saat ini 2 3 jam perjalanan (Sawitri & Karlina, 2013). Pemanfaatan usulan zona khusus TNK sebagai lahan usaha dapat dibagi menjadi pertanian/perkebunan, persawahan, pembuatan batu bata, investasi rumah walet, perdagangan dan ekowisata. Kesuburan lahan di kawasan ini memiliki kesuburan yang lebih rendah dari hutan alam di kawasan Prevab. Hal ini diindikasikan dengan rasio antara C/N, nilai kation-kation yang dapat ditukar, dan tekstur tanah yang lebih banyak mengandung sebaran butiran tanah liat (Tabel 23). Nilai Penting Taman Nasional 127

149 No. Tabel 23. Kesuburan tanah di kawasan Prevab dan Sangatta Selatan Parameter Pengujian Satuan (Unit) Prevab Sangatta Selatan 1. ph C organik % 0,93 0,25 3. N total % 0,15 0,08 4. Rasio C/N - 6,2 3,1 5. P 2O 5 tersedia Ppm 1,2 2,0 Kation-kation dapat ditukar (Cations can be changed) 6. Ca cmol/kg 6,61 0,30 7. Mg cmol/kg 2,37 0,29 8. K cmol/kg 0,18 0,21 9. Na cmol/kg 0,25 0, Total cmol/kg 9,41 1, KTK cmol/kg 17,82 14, KB % 52,81 6, Al 3+ me/100g 0,00 10, H + me/100g 0,24 2,85 Sebaran butir (Distribution of grain) (Tekstur 3 fraksi, three fraction tecture) 15. Pasir % 38,7 22,8 16. Debu % 28,5 18,3 17. Liat % 32,8 58,9 Berdasarkan data kesuburan tanah, kedua jenis tanah diatas termasuk pada kelas S1 dan S2 cocok digunakan sebagai tanah perkebunan dan kebun buah-buahan walaupun C organiknya termasuk rendah (0,25 0,93%) karena tanaman pisang menhendaki C organik 1,12% dan kelapa 1,7 2,1 % (Ritung et al., 2007) Perkebunan kelapa sawit sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena harga jual buah kelapa sawit yang cukup rendah dan mahalnya ongkos angkut, berganti menjadi perkebunan karet. Pemilihan tanaman karet didasarkan pada pendapatan harian dan salah satu mata pencaharian suku Dayak (Maryati, 2011). Tanaman karet saat ini telah berumur 3-5 tahun dan telah dapat diteres untuk diambil getahnya (Gambar 20). 128 M. Bismark dan Reny Sawitri

150 Gambar 20. Perkebunan karet dan getah karet Usaha perkebunan karet rakyat di usulan zona khusus TN Kutai telah memberikan dampak terhadap pengelolaan lahan, antara lain sebagai berikut. a. Perubahan lansekap dan keragaman jenis dari ekosistem hutan alam menjadi lahan perkebunan. b. Intensifikasi pengelolaan lahan dan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. c. Penghasilan meningkat karena harga jual karet lebih baik dan dapat disimpan menunggu harga jual yang lebih baik. d. Daerah jelajah satwa liar, khususnya satwa arboreal akan semakin meluas karena daun karet memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi sebagai sumber pakan satwa (Garsetiasih, 2012): bahan kering (91,27%), abu (6,32%), protein (18%), serat kasar (44,05%), lemak kasar (2,04%), Beta-N (23,14%), Ca (0,15%), P (0,36%), Cu (3,61%), Zn (26,76%) dan Energi (3264); serta sebagai pohon sarang seperti yang telah dilakukan oleh orang utan di perkebunan karet pada areal pasca tambang KPC (Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, 2009). e. Memicu konflik antara satwa dengan manusia apabila satwa liar dianggap sebagai hama tanaman sehingga kepadatan sarang orangutan termasuk rendah, yaitu di kawasan sebelah Timur jalan Propinsi Bontang-Sangata adalah 1,044 individu/km 2 dan 1,606 Nilai Penting Taman Nasional 129

151 individu/km 2 dan di sebelah Barat adalah 0,08 individu/km 2 dan 0,13 individu/km 2 (TN Kutai, 2008). Persawahan dilakukan pada lahan basah yang berawa ataupun lahan kering dengan jenis tanaman padi darat dan padi sawah. Pengolahan lahan telah menggunakan traktor tangan bantuan Dinas Pertanian dan swadaya, seperti di kelompok tani masyarakat Setuju Jaya beranggotakan 21 orang yang telah memiliki 3 traktor tangan. Hasil padi sawah untuk satu ha sekitar 3-3,5 ton gabah, dengan harga jual beras Rp8.000/kg, sedangkan padi darat yang ditanam di bawah tanaman karet sampai umur 3 tahun dengan luas lahan satu ha menghasilkan 2 3 ton dengan harga jual beras Rp /kg. Perubahan lansekap hutan rawa menjadi areal persawahan menyebabkan konflik satwa liar dengan manusia, hal ini ditemukan beberapa buaya di pemukiman masyarakat seperti di Kecamatan Teluk Pandan (Bina Kelola Lingkungan, 2007). Selain itu, perubahan lansekap tersebut mengakibatkan banjir dari luapan anak sungai (Gambar 21). Gambar 21. Banjir yang terjadi di Teluk Pandan akibat luapan anak sungai dan perubahan lansekap kawasan Mengacu pada penataan ruang di usulan zona khusus yang meliputi areal pemukiman, areal pemanfaatan dan areal lindung (Balai TN Kutai, 2010), maka usulan zona ini dibagi ke dalan zona atau jalur budi daya, jalur interaksi atau jalur hijau disepanjang jalan Poros Bontang Sangatta sepanjang 68 km (Balai TN Kutai, 2010), (Tabel 24). Lokasi pemukiman atau kawasan budi daya, apabila diplotkan pada lahan di kiri kanan jalan sepanjang Bontang-Sangatta selebar 250 m, 130 M. Bismark dan Reny Sawitri

152 akan menempati luas ha atau 18,06% dari usulan zona khusus seluas ha. Tabel 24. Pembagian jalur di usulan zona khusus TN Kutai Zonasi Jalur Budi daya Lebar kirikanan Jalan Komponen 250 m Areal budi daya, pemukiman, fasilitas umum Potensi 1.Hortikultur 2.Perikanan 3.Sayuran 4.Buah-buahan 5.Peternakan 6. Pohon kayu Manfaat Ekonomi 1.Pendapatan masyarakat 2.Sumber gizi 3.Pendapatan daerah Manfaat Ekologi Pelestarian Insitu Jalur Interaksi m Kebun rakyat, Hutan produksi, perkebunan Jalur Hijau >751 m Hutan alam, sungai dan anak sungai 1.Habitat satwa 2.Buah-buahan 3.Budi daya pohon 4.Agrowisata 5.Herbal 6.Penangkaran anggrek, rotan 7.Kelapa sawit, karet dan gaharu 1.Habitat satwa 2. Sumber air 3.Wisata alam 1.Pendapatan masyarakat 2.Sumber gizi 3.Industri kayu 4.Industri pertanian 5.Industri tanaman obat 6.Budi daya tanaman hias 7.Jasa lingkungan 8.Wisata budaya 1.Sumber pendapatan 2.Jasa lingkngan: air 3.Wisatawan dan lapangan pekerjaan 1.Biodivesitas fauna dan flora 2.Pelestarian sumber air 3.Habitat satwa 4.Pelestarian insitu Konservasi lahan 5.Kearifan tradisional 1.Biodiversitas perairan 2.Pelestarian sumber air 3.Nilai lingkungan 4.Konservasi DAS Zona interaksi selebar m yang merupakan areal pemanfaatan. Hal ini berdasarkan kemampuan masyarakat dalam mengolah lahan garapan seluas dua ha sedangkan sisanya dibiarkan dalam bentuk lahan tidur, dibedakan antara persawahan; perkebunan karet, gaharu dan kelapa sawit; rumah walet dan pembuatan batu bata, akan mencakup luasan ha atau 36,11% dari luas usulan zona khusus. Di dalam kawasan ini dapat disisipkan kantong-kantong habitat satwa/hcvf sebagai daerah pengungsian satwa liar dengan jenis Nilai Penting Taman Nasional 131

153 tanaman perkayuan lokal dan tanaman pakan satwa liar marga Ficus (Ancrenaz, 2013). Kawasan lindung atau green belt lebih dari 751 m atau 45,83% dari usulan zona khusus diplotkan sepanjang batas antara usulan zona khusus dan zona rehabilitasi difungsikan sebagai habitat satwa liar perairan terutama buaya (Crocodylus porosus) sebanyak 27 individu yang terdapat di Telaga Bening seluas 300 ha (Gambar 22) yang dapat dikembangkan sebagai pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata atraksi buaya. Kegiatan ini dapat melibatkan masyarakat dan mitra Kutai seperti PT Badak LNG, PT Kaltim Prima Coal, PT Pupuk Kaltim dan Pertamina dalam konservasi dan membangun ekonomi alternative berbasis konservasi (Archive, Gambar 22. Habitat buaya muara di Telaga Bening 2007) Pembinaan dan pendampingan masyarakat di usulan zona khusus perlu dilakukan, walaupun status pengelolaan kawasan ini masih dalam usulan, untuk mengantisipasi perambahan dan kerusakan kawasan. Kegiatan tersebut diantaranya adalah sosialisasi tentang zonasi terutama usulan zona rehabilitasi, zona pemanfaatan dan zona khusus yang kegiatannya dapat melibatkan masyarakat di secara langsung untuk berpartisipasi aktif dalam konservasi. Masyarakat di usulan zona rehabilitasi dapat ikut serta dalam kegiatan restorasi, seperti pembibitan, penanaman dan pemeliharaan tanaman. Masyarakat di usulan zona pemanfaatan dapat membentuk koperasi yang bergerak dalam pengembangan wisata alam, sedangkan masyarakat yang telah membentuk kelompok kegiatan di usulan zona khusus memerlukan pembinaan kelembagaan dan pendampingan pengembangan kegiatannya (Tabel 25). 132 M. Bismark dan Reny Sawitri

154 Tabel 25. Kelompok kegiatan masyarakat di usulan zona khusus TN Kutai No. Kelompok Lokasi Keterangan 1. Nyiur Desa Kondolo, Pembuatan gula aren Kecamatan Teluk Pandan 2. Setuju Desa Sangatta Lama, Pertanian Kecamatan Sangatta Utara 3. Teluk Kaba Desa Teluk Kaba, Rumput laut dan ekowisata Kecamatan Teluk Pandan 4. Pangkang Lestari Desa Sangkima, Kecamatan Sangatta Selatan Pembibitan bakau dan tambak kepiting bakau 4.4 Kajian Kriteria dan Indikator Zonasi Kriteria adalah titik tengah dari informasi yang disediakan dan diintegrasikan oleh indikator sehingga dapat digunakan sebagai standar penilaian (CIFOR, 1999; Purnomo, 2005). Indikator merupakan parameter kualitatif maupun kuantitatif yang dapat diukur dan diuji keabsahannya dalam menguji suatu unit manajemen untuk mencapai kriteria pengelolaan (Setyadi et al., 2006; Gunawan, 2012). Pentingnya indikator ekologis dalam pengelolaan suatu ekosistem dan kawasan dinyatakan oleh Carignan dan Villard (2002) bahwa sangat sulit untuk mengukur semua komponen pada suatu ekosistem untuk kepentingan pengelolaan sehingga indikator ekologis sangat penting diketahui. Lebih lanjut, De Leo dan Levin (1997) menyatakan bahwa satu indikator tunggal saja tidak cukup untuk mengukur suatu ekosistem atau kawasan, namun diperlukan satu set indikator. Keberadaan spesies tertentu dapat menjadi parameter penting untuk menentukan indikator suatu zonasi. Spesies-spesies tersebut ada yang tergolong spesies payung (umbrella species), flagship species, spesies endemik, spesies langka, dan spesies dilindungi. Sebagaimana dinyatakan Lambeck (1997) dan Noss (1999) dalam Carignan dan Villard (2002) bahwa pada level spesies ada beberapa indikator ekologis yang dapat digunakan, diantaranya adalah keystone species, area-limited umbrella species, dispersal-limited species, resource-limited Nilai Penting Taman Nasional 133

155 species, process-limited species, dan flagship species. Untuk TNBG, beberapa diantaranya adalah harimau sumatera (P. tigris) dan macan (N. nebulosa) sebagai spesies payung (umbrella species); kucing emas (C. temmincki) sebagai spesies langka; orang utan (P. abelli Lesson) sebagai flagship spesies dengan status konservasi kritis terancam punah; trenggiling (M. javanica), siamang (S. Syndactylus Raffles), kelompok elang, kelompok rangkong, damar (H. beccariana), meranti (Hopea spp.), dan S. acuminata sebagai spesies dengan beberapa status konservasi langka dan dilindungi; serta A. argus sebagai spesies endemik. Keberadaan spesies pada suatu zonasi harus ditindaklanjuti melalui pengelolaan kawasan yang sesuai dengan karakteristik zonasi. Sebagai contoh adalah tingginya potensi satwa pada kawasan terbuka bekas tebangan zona rimba. Kondisi ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut merupakan bagian dari habitat dan ruang jelajah satwa-satwa tersebut. Dengan demikian, pengelolaan selanjutnya pada kawasan hutan bekas tebangan perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi, pemulihan, dan pengayaan habitat. Areal ini dapat ditunjuk sebagai zona rehabilitasi dan selanjutnya ditetapkan kembali sebagai zona rimba. Pada zona pemanfaatan, selain adanya potensi alam dan wisata alam yang tinggi, juga adanya tempat minum beberapa jenis mamalia dan habitat beberapa jenis burung srigunting (Dicrurus spp.) merupakan obyek penelitian dan pendidikan yang cukup penting. Selain itu, keberadaan lintasan rusa (C. unicolor) dan macan dahan (N. nebulosa) memerlukan identifikasi ruang jelajah kedua spesies tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kawasan hutan yang sering dikunjungi manusia. Hal ini untuk mengurangi dampak akibat tingginya intensitas kontak satwa dengan manusia. Indikator ekologis menunjukkan bahwa potensi ekosistem zona pemanfaatan masih cukup baik. Oleh sebab itu, konsep pengembangan wisata alam yang mendukung kelestarian obyek wisata alam dan potensi biotik yang terdapat di dalamnya perlu disusun. Beberapa kawasan yang sangat potensial untuk pengembangan wisata alam tersebut adalah Danau Saba Begu dan Puncak Sorek Merapi Zona Inti Berdasarkan kriteria PP No 68 Tahun 1998, indikator untuk masing-masing kriteria zona inti di TN Bukit Tiga puluh perlu disusun 134 M. Bismark dan Reny Sawitri

156 sebagaimana disajikan dalam Tabel 26. Mengacu pada kriteria zona inti dalam PP. No. 68 Tahun 1998; potensi dan keanekaragaman tumbuhan, satwa, dan fisik pada zona inti di TNBT ternyata masih tinggi yang terlihat dari salah satu indikator, yaitu tingginya indeks keanekaragaman jenis tumbuhan yang berkisar 3,25 3,71, terdapat berbagai jenis satwa, dan bentuk fisik wilayah yang unik berupa kelompok perbukitan. Sebagian besar kawasan memiliki topografi yang curam dengan kelerengan 25%. Kondisi tersebut cukup rawan secara ekologis sehingga perlu ditetapkan sebagai salah satu indikator zona inti. Selain itu, bentang alam TNBT juga khas yang merupakan hutan hujan dataran rendah sehingga memerlukan upaya konservasi. Tabel 26. Usulan kriteria dan indikator zona inti TN Bukit Tigapuluh Kriteria menurut PP No. 68 Th 1998 (1) Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya (2) Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya (3) Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia (4) Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami (5) Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi Usulan Indikator* (1) Keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa tinggi (2) Tipe ekosistem khas (3) Tipe vegetasi hutan primer (4) Pemanfaatan sumber daya alam tidak ada (5) Dibatasi oleh zona rimba (6) Luas optimal (7) Bentuk cenderung melingkar (8) Kelerengan 25% (9) Potensi tumbuhan tinggi (10) Potensi satwa tinggi (11) Potensi fisik wilayah unik Hasil pada Lokasi Pengamatan* - Tinggi (H tumbuhan = 3,25-3,71) - Bagian dari hutan hujan tropika dataran rendah - Hutan primer & hutan sekunder - Beberapa kawasan berbatasan dengan zona pemanfaatan - Bentuk cenderung tidak radial/melingkar - Kelerengan 25% - Beruang madu, harimau sumatera - Bagian dari kelompok perbukitan Nilai Penting Taman Nasional 135

157 (6) Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah Keterangan: * = Usulan (proposal) (12) Spesies penting ada (13) Tingkat kelangkaan nyaris punah, genting (endangered), dan atau jarang, terbatas (restricted), dan atau penurunan pesat, rawan (Depleted/vulnere ble), dan atau terancam punah, terkikis (indeterminate) - Beruang madu, harimau sumatra - Terancam punah (indeterminate) Salah satu kriteria zona inti yang penting adalah keaslian kondisi alamnya. Indikator yang semestinya mewakili untuk kriteria ini adalah hutan primer, namun demikian telah terjadi perubahan penutupan lahan yang cukup signifikan dalam kurun waktu tiga tahun (2000 sampai dengan 2003) di TNBT, dimana sebagian hutan primer telah berubah menjadi hutan sekunder. Dengan kondisi tersebut, penetapan zona inti berdasarkan indikator hutan primer saja tidak akan mewakili. Untuk itu perlu penambahan indikator hutan sekunder selain hutan primer sehingga zona inti yang ditetapkan memiliki luasan yang cukup bagi kelangsungan biota penting di dalamnya. Kriteria selanjutnya menyatakan bahwa zona inti mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah. Berdasarkan kriteria tersebut, indikator zona inti yang dapat mengindikasikan kondisi tersebut adalah terdapatnya jenis langka dan tingkat kelangkaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TNBT merupakan bagian dari habitat beberapa jenis satwa penting seperti harimau sumatera dan beruang madu. Status kelangkaan satwa ini bahkan ada pada tingkat terancam punah atau indeterminate. Mengingat tingginya kepentingan terhadap perlindungan beberapa jenis satwa penting seperti harimau sumatera, beruang madu dan tapir maka dalam pengelolaannya perlu dievaluasi batas-batas zona inti saat ini, terutama pada kawasan yang 136 M. Bismark dan Reny Sawitri

158 menjadi ruang jelajah (home range) satwa, sehingga dapat memberikan ruang yang cukup bagi satwa untuk hidup dan berkembangbiak. Dalam rencana penataan zona seperti yang terdapat dalam zonasi Taman Nasional Batang Gadis (Balai KSDA II Sumut, 2006) disebutkan beberapa alasan ekologis yang mendasari penunjukan kawasan zona inti. Berdasarkan alasan tersebut, zona inti ditunjuk berupa dua fragmen besar, yaitu sebagian di bagian Utara (± ha) dan bagian lainnya di bagian Selatan dengan luas ± ha sehingga total luas zona inti ± ha. Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional; alasan-alasan yang terkait dengan ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan dasar dalam penunjukan zona inti TNBG sudah memenuhi kriteria zona inti. Namun demikian, kriteria tersebut belum dijabarkan dalam indikator yang mencirikan kondisi zona inti TNBG. Mengacu pada hasil penelitian Kwatrina & Mukhtar (2006) mengenai indikator zonasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), maka indikator ekologis zona inti yang digunakan adalah sebagai berikut: a) keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa tinggi, b) tipe ekosistem khas, c) tipe vegetasi hutan primer, d) potensi tumbuhan tinggi, e) potensi satwa tinggi, f) spesies penting ada, dan g) tingkat kelangkaan nyaris punah, genting (endangered), dan atau jarang, terbatas (restricted), dan atau penurunan pesat, rawan (depleted/vulnereble), dan atau terancam punah, terkikis (indeterminate). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan; parameter ekosistem, satwa, dan tumbuhan sebagai dasar penetapan indikator ekologis zona inti TNBG disajikan pada Tabel 27 dan Tabel 28. Tabel 27. Indikator ekologis pada zona inti TN Batang Gadis bagian Utara Indikator ekologis zona inti ** (1) Keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa tinggi Indikator ekologis zona inti TNBG Keanekaragaman jenis tumbuhan, tinggi dengan nilai H pada tingkat pohon sebesar 3,51, pada tingkat belta sebesar 3,48 dan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah sebesar 3,41. Nilai Penting Taman Nasional 137

159 (2) Tipe ekosistem khas (3) Tipe vegetasi hutan primer (4) Potensi tumbuhan tinggi (5) Potensi satwa tinggi (6) Spesies penting ada (7) Tingkat kelangkaan (Scarcity level) nyaris punah, genting (endangered), dan atau jarang, terbatas (restricted), dan atau penurunan pesat, rawan (Depleted/vulnere ble), dan atau terancam punah, terkikis (indeterminate) Keanekaragaman jenis satwa beragam dengan nilai H tertinggi pada klas Aves sebesar 3,94. Untuk klas Mamalia darat sebesar 2,53, Primata sebesar 1,99 dan Reptil sebesar 1,03 Merupakan perwakilan hutan dataran rendah hingga dataran tinggi Tipe vegetasi Formasi Bukit Barisan di atas 1000 m dpl. Sub tipe vegetasi Formasi Air Bangis - Singkil ( m dpl) dan sub tipe vegetasi Formasi Hutan Montana ( m dpl) Tipe vegetasi hutan primer dengan kerapatan tumbuhan sebesar 662,5 ind./ha. Terdapat berbagai jenis hoting, medang, damar dan meranti. Terdapat jenis-jenis endemik yaitu Hopea beccariana Burck dan Shorea acuminata Dyer yang status keterancamannya berdasarkan IUCN adalah kritis untuk punah. Terdapat jenis-jenis satwa dilindungi yaitu ungko (H. agilis F. Cuvier), jelarang (Ratufa affinis Raffles), binturong (Arctictis binturong Raffles), trengggiling (M. javanica Desmarest), rangkong (Buceros spp.) dan berbagai jenis dari Klas Aves. Terdapat indikasi adanya orang utan (Pongo abelii Lesson) dan ajak (Cuon alpinus Pallas). Terdapat beruang madu (Helarctos malayanus Raffles) dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock) dengan status kelangkaan terancam punah. Terdapat kambing hutan (Naemorhedus sumatraensis Bechstein) dan kucing mas (C.temminckii) yang tergolong satwa langka Terdapat orang utan (P. abelii) dengan status kritis Terdapat damar (H.beccariana) dan meranti (Hopea spp.) dengan status kritis untuk punah Terdapat sikatan bubik (Muscicapa dauurica Pallas) dengan status data deficient/ kekurangan data Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006) Kondisi zona inti yang tergambar dari indikator tumbuhan dan satwa dalam Tabel 28 menunjukkan bahwa kondisi vegetasi dan satwa di zona inti bagian Utara masih sangat baik. Hasil ini mendukung hasil 138 M. Bismark dan Reny Sawitri

160 penelitian yang dilakukan oleh dan Conservation International- Indonesia (2004) dan Balai KSDA II Sumatera Utara (2005) yang mendapatkan potensi tumbuhan dan satwa yang tinggi di wilayah TNBG. Pada zona inti juga dijumpai beberapa jenis satwa yang keberadaannya masih berupa dugaan, yaitu adanya keberadaan kambing hutan (N. sumatraensis Bechstein), kucing mas (C. Temminckii Vigors & Horsfield), dan ajak (C. alpinus) yang terindikasi berdasarkan jejak dan suara. Selain itu, terdapat pula indikasi keberadaan orangutan pada zona inti yang diindikasikan dengan ditemukannya sarang orangutan, serta dijumpainya berbagai jenis satwa dilindungi dan satwa terancam punah, seperti harimau sumatra (P. tigris Pocock) dan beruang madu (H. malayanus Raffles). Kondisi ekosistem dan vegetasi pada zona inti juga menunjukkan potensi yang tinggi dan perlu dilindungi. Zona inti bagian Utara ini memiliki perwakilan hutan dataran rendah sampai hutan dataran tinggi dengan dua sub tipe vegetasi, yang mewakili ketinggi m dpl. Penutupan lahan pada zona inti hampir semuanya terdiri dari hutan primer dalam kondisi yang masih sangat baik. Hal ini terlihat dari tingginya indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada ketiga tingkat vegetasi yang diamati yaitu 3,41 3,51, dan kerapatan pohon sebesar 662,5 individu/ha. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan habitat bagi burung migran, seperti cekakak cina (Halcyon pileata Linnaeus) dan berbagai jenis elang yang juga ditemukan pada zona rimba. Selain itu, terdapat empat jenis dari kelompok rangkong (Famili Bucerotidae), dua jenis pelatuk (Picidae), dan satu jenis luntur putri (Trogonidae) yang keberadaannya sangat tergantung pada keberadaan hutan, terutama hutan primer. Tabel 28. Indikator ekologis pada zona inti TN Batang Gadis bagian Selatan Indikator ekologis zona inti ** (1) Keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa tinggi Indikator ekologis zona inti TNBG Keanekaragaman jenis tumbuhan, tinggi dengan nilai H pada tingkat pohon sebesar 3,15, pada tingkat belta sebesar 3,25 dan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah sebesar 3,37. Keanekaragaman jenis satwa beragam dengan nilai H tertinggi pada klas aves sebesar 3,10; kemudian mamalia darat sebesar 1,68; dan primata sebesar 1,06. Nilai Penting Taman Nasional 139

161 (2) Tipe ekosistem khas Merupakan perwakilan hutan dataran rendah hingga dataran tinggi Tipe vegetasi Formasi Bukit Barisan di atas m dpl. Sub tipe vegetasi Formasi Air Bangis-Singkil ( m dpl) dan sub tipe vegetasi Formasi Hutan Montana ( m dpl) (3) Tipe vegetasi hutan primer Tipe vegetasi hutan primer dengan kerapatan tumbuhan pada tingkat pohon sebesar 445 individu/ha., pada tingkat belta sebesar individu/ha dan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah sebesar individu/ha. (4) Potensi tumbuhan tinggi Terdapat berbagai jenis hoteng, medang, damar dan meranti. Terdapat jenis-jenis endemik yaitu Hopea beccariana Burck dan Shorea acuminata Dyer yang status keterancamannya berdasarkan IUCN adalah kritis untuk punah. (5) Potensi satwa tinggi Terdapat jenis-jenis satwa dilindungi yaitu ungko (H. agilis), siamang (S. syndactylus), beruang (H. malayanus), trengggiling (M. javanica), rangkong (Buceros spp.) dan berbagai jenis dari kelas aves. (6) Spesies penting ada Terdapat beruang madu (H. malayanus) dengan status kelangkaan terancam punah. (7) Tingkat kelangkaan (Scarcity level) nyaris punah, genting (endangered), dan atau jarang, terbatas (restricted), dan atau penurunan pesat, rawan (Depleted/vulnereble), dan atau terancam punah, terkikis (indeterminate) Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006) Terdapat damar dan meranti dengan status kritis untuk punah Terdapat jenis burung endemik sumatera, seperti kuau (Argusianus argus Linnaeus) dan beberapa jenis burung yang dilindungi. Zona inti bagian Selatan ini secara umum termasuk hutan dataran tinggi dengan ketinggian rata-rata diatas m dpl. Penutupan lahan pada zona inti hampir semuanya terdiri dari hutan primer dengan kondisi yang masih sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari tingginya indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada ketiga tingkat vegetasi yang diamati di atas 3,0. Kondisi hutan yang demikian merupakan habitat yang baik bagi beberapa jenis satwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan habitat bagi burung migran terutama berbagai jenis elang. Dilihat dari parameter satwa, 140 M. Bismark dan Reny Sawitri

162 maka zona inti wilayah Selatan memiliki potensi biotik yang sangat tinggi. Berdasarkan prinsip tersebut dikembangkan perangkat top-down (konsep kelestarian yang ideal) kerangka kerja kriteria dan indikator zona inti terdiri dari 1 prinsip, 7 kriteria dan 18 indikator (Indra et al., 2010) sebagai berikut. Tabel 29. Konsep top-down kriteria dan indikator zona inti TN Bantimurung- Bulusaraung Prinsip Kriteria Indikator Pengukur Konservasi keanekaragaman ekosistem Bagian taman nasional yang mempunyai keanekaragaman ekosistem beserta jenis tumbuhan dan satwa Keanekaragaman ekosistem yang dijadikan zona inti Kekayaan jumlah jenis flora yang lebih tinggi dibanding zona lain Kekayaan jumlah jenis fauna yang lebih tinggi dibanding zona lain Kekayaan jenis yang bergantung pada hutan (forestdependent species) Tetap dipertahankannya species flora dan fauna pada tingkat keanekaragaman yang tinggi Memiliki kekayaan jumlah jenis flora dan fauna endemik, langka, terancam punah dan dilindungi Tidak terganggu oleh jenis invasive atau jenis eksotik Zona inti mencakup dan dapat dijumpai pada setiap tipe ekosistem Daftar jenis flora Daftar jenis flora fauna monitoring populasi,status komposisi flora keberadaan pohon sarang Daftar jenis fauna yang bergantung pada hutan inventarisasi, monitoring tren populasi Monitoring Daftar jenis flora endemic inventarisasi monitoring Monitoring Nilai Penting Taman Nasional 141

163 Ciri khas setiap ekosistem yang diwakili oleh formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang kondisi fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia; Setiap ekosistem memiliki kondisi alam baik biota maupun fisiknya, yang masih dan tidak atau belum diganggu manusia Formasi vegetasi karst yang belum terganggu Fauna khas dan ergantung pada kawasan karst Formasi vegetasi hutan pegunungan bawah yang belum terganggu Fauna khas dan bergantung pada kawasan hutan pegunungan bawah Formasi vegetasi hutan dataran rendah yang belum terganggu Fauna khas dan bergantung pada kawasan karst Bebas dari gangguan masyarakat Jauh dari pedesaan Berbatasan dengan Kondisi formasi Daftar jenis flo-fa inventarisasi monitoring Kondisi formasi Daftar jenis flo-fa inventarisasi monitoring Kondisi formasi Daftar jenis flo-fa inventarisasi monitoring Kondisi formasi Daftar jenis flo-fa inventarisasi monitoring Kondisi formasi daftar jenis flo-fa inventarisasi monitoring Kondisi formasi daftar jenis flo-fa inventarisasi monitoring Masyarakat menghormati keberadaan zona inti, survey Masyarakat menghormati keberadaan zona inti, survey Monitoring secara rutin terhadap aktivitas masyarakat Jarak dengan pedesaan dan batas tempat masyarakat beraktivitas posisi zona inti 142 M. Bismark dan Reny Sawitri

164 Setiap eosistem mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi zona rimba Tidak terjadi perubahan pada ekosistem alami akibat aktivitas manusia Perlindungan terhadap zona inti benar-benar diterapkan Luas total setiap ekosistem yang dijadikan zona inti disbanding luas zona lain Luas zona inti berdasarkan daerah jelajah satwa liar khas, endemik & penting dari setiap ekosistem Luas zona inti representative bagi perlindungan secara mutlak setiap tipe ekosistem Kondisi cover hutan tidak fragmentasi/kontinyu Bentang alam karst menara yang unik Sensitif terhadap perubahan sehingga tidak terjadi perubahan keseimbangan kadar dip eta zonasi Monitoring, inventarisasi, kondisi ekosistem Zona inti dapat dipetakan dengan jelas Sanksi terhadap pelanggaran SIG, Luas pada peta Survey jelajah satwa liar Survey SIG Survey ph, temperature, kadar berbagai unsure penting Nilai Penting Taman Nasional 143

165 Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya yang langka dan keberadaannya terancam punah Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan khas/endemik Merupakan tempat aktivitas satwa migran berbagai unsur pada tanah, air dan karst Proses asidifikasi tidak menggangu keberadaan kawasan karst Tetap lestarinya sumber mata air karst Terpeliharanya kelangsungan fungsi resapan air Kekayaan jumlah jenis flora dan fauna endemik, langka, terancam punah dan dilindungi pada setiap tipe ekosistem Kehadiran jenis flora dan fauna tertentu (misal jenis khas dan endemik) Tempat hidup dan berkembang biak jenis flora dan fauna endemik Keberadaan satwa migran secara rutin dalam periode tertentu Survey monitoring Survey, monitoring volume aliran air dari kawasan karst Survey, monitoring kualitas air dari kawasan karst Luasan kawasan hutan diatas bukit karst yang dijadikan sebagai daerah tangkapan air Survey monitoring Survey, monitoring Survey, monitoring Monitoring Berdasarkan pertimbangan aspek biofisik dan interaksi masyarakat yang dijumpai di lapangan, telah disusun set minimum kriteria dan indikator zona inti yang sesuai dengan kondisi TN Bantimurung-Bulusaraung. Set minimum kriteria dan indikator zona inti TN Batimurung Bulusaraung berdasarkan hasil penilaian di lapangan adalah sebagai berikut. 144 M. Bismark dan Reny Sawitri

166 Zona inti TN Bantimurung-Bulusaraung memiliki keanekaragaman tipe ekosistem antara lain ekosistem karst, hutan dataran rendah no dipterokarpa pamah serta hutan pegunungan bawah, dengan kondisi kawasan hutan primer yang masih asli, memiliki keanekaragaman jenis flora 157 dengan kisaran jenis tumbuhan cukup luas dan dijumpai di berbagai ekosistem antara lain kalo-kaloro, bayur, baru, bera-berasa, danggang-danggang, dao, kaleleng didi, angsana, karangko, kayu ara, lambu-lambu, langoting, mawai, polo salak-salak dan tera-terasa, dimana indeks keanekaragaman jenis pohon (H = 2,848 3,375), tiang (2,806 2,900), pancang (1,927 3,556), dan semai (3,004 3,580). Keanekaragaman hayati yang dijumpai antara lain mamalia 5 jenis, burung 83 jenis dan kupu-kupu 96 jenis dengan indeks keanekaragaman jenis (H ) mamalia (0,94 1,36), burung (3,32 3,93), dan kupu-kupu (1,53 4,38) Zona Rimba Kriteria zona rimba telah diatur dalam PP. No. 68 Tahun Dalam peraturan tersebut kriteria zona rimba adalah sebagai berikut: a. Kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi; b. Kawasan yang memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan pemanfaatan; c. Kawasan yang merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing kriteria zona rimba sebagaimana disajikan dalam Tabel 30. Nilai Penting Taman Nasional 145

167 Tabel 30. Usulan kriteria dan indikator zona rimba TN Bukit Tigapuluh Kriteria menurut PP No. 68 Th 1998 (1) Kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi (2) Kawasan yang memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan pemanfaatan (3) Kawasan yang merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu Usulan Indikator* (1) Kondisi vegetasi rapat (2) Terdapat sumbersumber air (2) Keanekaragaman jenis tumbuhan sedang - tinggi (3) Mempunyai potensi wisata alam (5) Bagian habitat dan atau ruang jelajah (home range) satwa langka Keterangan: * = Usulan (proposal) Hasil pada Lokasi Pengamatan* - Vegetasi rapat - Bagian dari DAS - H sedang - tinggi, yaitu 2,72-3,32 - Memiliki panorama alam - Habitat harimau sumatra dan tapir Zona rimba berfungsi sebagai penyangga zona inti. Dengan demikian indikator yang mencirikan zona rimba semestinya merupakan suatu kawasan yang memiliki potensi alam masih relatif baik, seperti penutupan vegetasi yang masih rapat, keanakaragaman tumbuhan yang masih tinggi dan terdapatnya sumber-sumber air. Indikator indikator tersebut penting karena zona rimba juga merupakan bagian dari habitat satwa migran tertentu sehingga memerlukan kawasan yang memiliki sumber-sumber pakan, tempat berlindung dan berkembang biak. Sebagian kawasan zona rimba merupakan hutan sekunder dengan kondisi lahan landai, agak curam dan curam, serta menjadi bagian dari Daerah Aliran Sungai. Kondisi ini mendukung bagi kehidupan satwasatwa penting yang perlu dikonservasi seperti harimau sumatera dan tapir. Sebagai kawasan penyangga dan peralihan dari zona inti ke zona pemanfaatan maka zona rimba semestinya memiliki indikator potensi wisata alam yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan wisata alam terbatas. Dalam rencana penataan zonasi TN Batang Gadis (BKSDA II Sumatera Utara, 2006) disebutkan bahwa zona rimba TNBG yang ditunjuk berbatasan langsung dengan batas fungsi luar kawasan TNBG 146 M. Bismark dan Reny Sawitri

168 dengan luas total ± ha. Mengacu pada PP No. 68 Tahun 1998 tentang KSA dan KPA, dan Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, alasan-alasan yang terkait dengan ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan dasar dalam penunjukan zona rimba TNBG sudah memenuhi kriteria zona rimba sebagaimana yang dimaksud oleh peraturan tersebut. Mengacu pada Kwatrina dan Mukhtar (2006), indikator-indikator yang mencirikan kondisi zona rimba TNBG adalah a) kondisi vegetasi rapat (baik), b) keanekaragaman jenis tumbuhan tinggi, c) bagian habitat dan atau ruang jelajah satwa langka. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, indikator ekologis zona rimba TNBG disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Utara Indikator ekologis zona rimba ** (1) Kondisi vegetasi masih baik (2) Potensi dan keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan sedang tinggi (3) Bagian habitat dan/ atau ruang jelajah (home range) satwa langka/dilindungi Indikator ekologis zona rimba TN Batang Gadis Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina & Mukhtar (2006) Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe ekosistem. Penutupan lahan berupa hutan primer, sekunder dan areal bekas tebangan. Kerapatan pohon 550 individu/ha di hutan primer, 430 individu/ha di hutan sekunder dan 235 individu/ha di lahan bekas tebangan Potensi dan keanekaragaman jenis satwa tinggi dengan H tertinggi pada klas Aves, yaitu 2,93 pada hutan areal bekas tebangan, 3,37 pada hutan sekunder dan 3,19 pada hutan primer. Potensi dan keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat pohon sedang - tinggi dengan H yaitu 3,4 pada hutan primer, 3,13 pada hutan sekunder dan 2,77 pada areal bekas tebangan. Jenis-jenis tumbuhan utama pada tingkat pohon dengan INP tertinggi adalah Shorea gibbosa Brandis dan H. beccariana yang status keterancaman berdasarkan daftar merah IUCN adalah kritis untuk punah. Terdapat 4 jenis satwa langka yaitu beruang (H. malayanus), harimau (P.tigris), macan (Neofelis nebulosa Griffith), kucing emas (C.temminckii), dan rangkong (Buceros spp.)yang termasuk satwa dilindungi. Terdapat 29 jenis satwa dilindungi: 17 jenis aves, 3 jenis primata dan 9 jenis mamalia darat Daerah persinggahan burung migran, seperti jenisjenis elang (Accipitridae) dan cekakak cina (Halcyon pileata Boddaert). Nilai Penting Taman Nasional 147

169 Secara umum kondisi vegetasi pada zona rimba di bagian Utara masih utuh dan alami. Parameter satwa menunjukkan bahwa zona rimba pada bagian Utara memiliki potensi yang tinggi antara lain dengan dijumpainya lima jenis satwa langka dan dua puluh sembilan jenis satwa dilindungi yang tersebar di hutan primer, hutan sekunder bahkan pada areal bekas tebangan. Tabel 32. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Selatan Indikator ekologis zona rimba ** (1) Kondisi vegetasi masih baik (2) Potensi dan keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan sedang tinggi (3) Bagian habitat dan atau ruang jelajah (home range) satwa langka/dilindungi Indikator ekologis zona rimba TN Batang Gadis Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina & Mukhtar (2006) Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe ekosistem. Penutupan lahan berupa hutan primer dan sedikit sekunder. Kerapatan tumbuhan pada tingkat pohon 497,5 individu/ha, tingkat belta 2330 individu/ha, dan semai dam tumbuhan bawah individu/ha. Potensi dan keanekaragaman jenis satwa tinggi dengan H tertinggi pada klas aves, yaitu 3,51, klas primata 1,45; dan klas mamalia darat 2,24. Potensi dan keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat pohon tinggi dengan H yaitu pada tingkat pohon sebesar 3,29, pada tingkat belta sebesar 3,15 dan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah sebesar 3,46. Jenis-jenis tumbuhan utama pada tingkat pohon dengan INP tertinggi adalah Cinnamomum parthenoxylon Meissn. dan Dracontomelon dao Err.&Rolfe Terdapat beberapa jenis satwa langka seperti 4 jenis satwa langka yaitu ungko, harimau, dan rangkong yang termasuk satwa dilindungi. Daerah persinggahan burung migran, seperti jenisjenis elang. Kondisi vegetasi pada zona rimba bagian Selatan merupakan hutan primer. Apabila dibandingkan dengan zona rimba TNBT yang sebagian besar penutupan lahannya berupa hutan sekunder, maka zona rimba TNBG jauh lebih baik. Penafsiran citralandsat wilayah TNBG tahun 2005 menunjukkan keberadaan hutan primer yang masih cukup luas di wilayah utara TNBG. Hasil pengamatan lapangan juga menunjukkan bahwa hutan primer kawasan Utara ini masih baik 148 M. Bismark dan Reny Sawitri

170 kondisinya. Selain itu, juga diindikasikan dari masih banyaknya ditemukan jenis meranti (S. gibbosa) dan damar (H. beccariana) yang memiliki status keterancaman kritis untuk punah pada zona rimba. Keberadaan hutan primer di zona rimba ini penting artinya bagi kehidupan dan perkembangan beberapa jenis satwa yang tergantung pada keberadaan hutan terutama hutan primer, seperti rangkong (Buceros rhinoceros Linnaeus) Zona Pemanfaatan Intensif Zona pemanfaatan dalam PP No. 68 Tahun 1998 mempunyai kriteria sebagai berikut: a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik; b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; c. Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Kriteria tersebut di atas mengandung pengertian yang sama dengan zona pemanfaatan intensif sebagaimana yang terdapat dalam Petunjuk Pengusulan Rencana Zonasi Taman Nasional yang dikeluarkan oleh Direktur Bina Kawasan Pelestarian Alam, No. 706/VI/BKPA- 2/1998 Tanggal 21 Juli 1998, yaitu zona yang ditujukan untuk pemanfaatan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem taman nasional untuk kepentingan pariwisata alam. Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing kriteria zona pemanfaatan intensif sebagaimana disajikan dalam Tabel 33. Zona pemanfaatan intensif merupakan kawasan yang diperuntukkan khusus bagi kegiatan pemanfaatan secara intensif. Zona pemanfaatan intensif di TNBT merupakan zona untuk pengembangan wisata alam secara intensif. Berdasarkan kriteria dalam PP. No. 68 tahun 1998, maka indikator yang mengindikasikan kawasan tersebut adalah tingginya potensi biotik dan wisata, lokasi yang Nilai Penting Taman Nasional 149

171 strategis, aksesibilitas yang mudah dan bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting. Tabel 33. Usulan kriteria dan indikator zona pemanfaatan intensif TN Bukit Tigapuluh Kriteria menurut PP No. 68 Th 1998 (1) Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik (2) Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam (3) Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam Usulan Indikator* Keterangan: * = Usulan (proposal) (1) Potensi biotik sedang tinggi (2) Potensi wisata tinggi (3) Bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting (4) Lokasi strategis (5) Aksesibilitas mudah Hasil pada Lokasi Pengamatan* - Sedang tinggi (H = 2,17 3,08) didominasi oleh jenis S. leprosula, Dyospyros bantamensis dan Litsea sp. - Terdapat beruang madu, harimau sumatera, kuaw, rangkong, ungko tangan hitam, owa dan siamang - Terdapat air terjun, kolam air dan wisata Bukit Lancang - Bagian dari ruang jelajah harimau sumatera dan tapir - Berbatasan dengan daerah penyangga - Dilewati jalur lintas sumatera Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan potensi wisata alam TNBT cukup banyak, dan sebagian besar belum dikelola dengan baik. Sebagian kawasan tersebut ada yang dapat dijadikan kawasan pariwisata alam dan rekreasi serta kawasan wisata alam terbatas tergantung pada potensi biofisik dan fungsi kawasannya. Beberapa lokasi perlu ditinjau kembali karena terdapat kawasan yang menjadi bagian dari ruang jelajah harimau sumatera. Peninjauan ini bertujuan agar kegiatan wisata alam tidak mengganggu kelangsungan hidup jenis satwa. 150 M. Bismark dan Reny Sawitri

172 Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi, dan potensi alamnya dimanfaatkan terutama untuk kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya. Berdasarkan peta peruntukan zonasi yang dikeluarkan oleh Balai KSDA Sumatera Utara (2006), zona pemanfaatan di bagian selatan TNBG meliputi tujuh lokasi dengan luas keseluruhan ±2.022 ha. Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka alasan-alasan yang terkait dengan ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan dasar dalam penunjukan zona pemanfaatan TNBG seperti yang disusun oleh BKSDA Sumatera Utara II (2006) sebagian besar sudah memenuhi kriteria zona pemanfaatan sebagaimana yang dimaksud oleh peraturan tersebut. Dalam menjabarkan kriteria zona pemanfaatan, maka digunakan indikator zonasi TNBT (Kwatrina dan Mukhtar, 2006), yaitu a) potensi biotik sedang- tinggi, b) potensi wisata tinggi, c) bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka parameter ekologis yang dapat dijadikan indikator ekologis zona pemanfaatan TNBG disajikan pada Tabel 34. Nilai Penting Taman Nasional 151

173 Tabel 34. Indikator ekologis pada zona pemanfaatan TN Batang Gadis Indikator ekologis zona pemanfaatan** Indikator ekologis zona pemanfaatan TN Batang Gadis (1) Potensi biotik sedang tinggi (2) Potensi wisata tinggi (3) Bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe ekosistem, seperti danau dan hutan pegunungan diatas m dpl. Penutupan lahan sebagian besar masih berupa hutan primer. Ditemukan sekitar 24 jenis tumbuhan tingkat pohon. Ditemukan sekitar 33 jenis burung, 5 jenis primata, dan 8 jenis mamalia darat Habitat beberapa satwa langka dan dilindungi, seperti ungko, siamang, dan macan dahan Terdapat danau tempat minum beberapa jenis mamalia, seperti rusa (Cervus unicolor Kerr) dan kambing hutan (N.sumatraensis) Beragam jenis tumbuhan khas dataran tinggi yang unik dan menarik. Habitat beragam jenis burung srigunting (Dicrurus spp.). Lintasan rusa (C.unicolor) dan macan dahan (N.nebulosa) Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006) Tabel 35. Set minimum kriteria dan indikator zona pemanfaatan intensif TN Bantimurung Bulusaraung Kriteria Indikator Pengukur 1. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa 2. Merupakan perwakilan tipe ekosistem alami dan formasi biota tertentu yang menjadi ciri khas ekosistem a. Kekayaan jenis flora Daftar jenis berdasarkan Taksonomi b. Kekayaan jenis fauna c. Kekayaan jenis yang bergantung pada hutan a. Adanya zona inti pada setiap tipe ekosistem Daftar jenis berdasarkan Taksonomi Daftar jenis flora dan fauna lokal yang bergantung pada hutan Perwakilan tipe ekosistem karst, dan atau hutan pegunungan bawah, dan atau hujan non dipterocarpaceae pamah Keterangan/ Kegiatan Inventarisasi identifikasi Inventarisasi identifikasi Inventarisasi identifikasi Peta sebaran tipe ekosistem 152 M. Bismark dan Reny Sawitri

174 a.1. Karst a.1.1. Keberadaan formasi vegetasi karst yang belum terganggu aa.1.2. Keberadaan fauna karst ekosistem karst a.2. Hutan peg. bawah a.2.1. Keberadaan formasi hutan lumut a.3. Hutan hujan non dipterocarpaceae pamah a.3.1. Keberadaan jenis Ficus spp Sebaran formasi vegetasi karst Sebaran karst Sebaran formasi hutan lumut Sebarahn jenis Ficus spp fauna Survey Monitoring Survey Monitoring Survey Monitoring Survey Monitoring 3. Mempunyai kondisi alam yang masih asri 4. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; a. Merupakan hutan primer b. Bebas dari gangguan masyarakat c. Tidak berbatasan langsung dengan zona pemanfaatan dan zona lainnya (pemanfaatan tradisional, khusus, budaya/religi) a. Mampu mendukung daerah jelajah satwa b. Tidak ada fragmentasi habitat Vegetasi asli bukan eksotik atau yang ditanam oleh masyarakat Masyarakat mengetahui letak lokasi zona inti Masyarakat memahai fungsi zona inti Masyarakat memahami peruntukan zona inti Tidak ada perubahan akibat aktivitas manusia Terdapat zona rimba yang mampu menyangga zona inti Luasan daerah jelajah satwa sangat penting Tutupan vegetasi yang kontinyu Survey Monitoring Sosialisasi peta kawasan sampai ketingkat desa Sosialisai dokumen zonasi sampai ke tingkat desa Sosialisasi dokumen zonasi sampai ke tingkat desa Tidak ada tanda aktivitas masyarakat PATROLI Buffer dari zona pemanfaatan tradisional, khusu, budaya/religi, jalan Survey daerah jelajah satwa Peta tutupan vegetasi hasil penafsiran citra satelit terbaru Nilai Penting Taman Nasional 153

175 minimal 2 tahun terakhir 5. Mempunyai ciri khas potensi yang memerlukan upaya konservasi 6. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar yang langka 7. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas (focal species) dan/atau endemik c. Terpeliharanya kelangsungan fungsi resapan air d. Produktivitas ekosistem tetap Tidak terjadinya perubahan kondisi fisik habitat Efek tepi minimal Kualitas dan kuantitas air Stabilitas iklim mikro terjaga a. Bentang alam karst Kenampakan eksokarst dan endokarst b. Fungsi reservoir air pada kawasan karst tetap terjaga c. Proses karstifikasi tetap berlangsung a. Kekayaan jenis flora dan fauna langka b. Kekayaan jenis flora dan fauna langka a. Keberadaan satwa atau tumbuhan yang prioritas (focal species) b. Keberadaan satwa atau tumbuhan endemik Kriteria = 7 Indikator = 18 adanya aliran sungai bawah tanah dan atau danau bawah tanah Memiliki karst yang masih berkembang dengan baik Proses perkembangan ornament gua tetap berlangsung Daftar jenis berdasarkan status konservasi (IUCN) Daftar jenis berdasarkan perlindungan ( UU Indonesia, CITES) Daftar jenis satwa atau tumbuhan prioritas Daftar jenis satwa atau tumbuhan endemik Monitoring Monitoring Monitoring Uji laboratorium Monitoring Analisis special pemetaan gua Interpretasi citra Survey Monitoring Survey Monitoring Survey Monitoring Survey Monitoring Survey Monitoring Survey Monitoring International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) telah mengembangkan enam kategori kawasan konservasi yang ditetapkan berdasarkan tujuan utama pengelolaan 154 M. Bismark dan Reny Sawitri

176 kawasan tersebut (Tabel 36). Selanjutnya Tabel 37 memperlihatkan penggunaan tujuan pengelolaan untuk mengidentifikasi kategori yang paling tepat pada kawasan tersebut. Tabel 36. Kategori pengelolaan kawasan konservasi menurut IUCN No Kategori Deskripsi 1 I Kawasan konservasi untuk tujuan ilmu pengetahuan atau perlindungan hidupan liar 2 Ia Cagar alam : kawasan konservasi untuk tujuan ilmu pengetahuan 3 Ib Hutan lindung : kawasan konservasi untuk tujuan perlindungan hidup-an liar 4 II Taman nasional : kawasan konservasi untuk tujuan perlindungan eko-sistem dan rekreasi 5 III Kawasan konservasi untuk tujuan konservasi pemandangan alam yang spesifik 6 IV Kawasan konservasi untuk tujuan konservasi melalui intervensi penge-lolaan oleh manusia 7 V Kawasan konservasi untuk tujuan konservasi lansekap atau bentang laut dan rekreasi 8 VI Kawasan konservasi untuk tujuan pemanfaatan yang lestari terhadap ekosistem alam Sumber: IUCN, 1994 Tabel 37. Matriks tujuan pengelolaan dan kategori kawasan konservasi Tujuan pengelolaan Ia Ib II III IV V VI Penelitian ilmu pengetahuan Perlindungan hidupan liar Perlindungan spesies dan keanekaragaman hayati Pemanfaatan jasa lingkungan Perlindungan pemandangan alam spesifik/warisan budaya Kegiatan wisata dan rekreasi Pendidikan Pemanfaatan sumber daya alam secara lestari Perlindungan budaya tradisional Sumber: IUCN, 1994 Keterangan: 1 = Tujuan utama; 2 = Tujuan sekunder; 3 = Tujuan yang berpotensi untuk diterapkan; - = Tidak dapat dilakukan Nilai Penting Taman Nasional 155

177 Berdasarkan Tabel 37 maka dapat diketahui bahwa kegiatan wisata dan rekreasi menjadi tujuan pengelolaan (baik tujuan utama, sekunder, dan tujuan yang berpotensi untuk diterapkan) pada semua kategori kawasan konservasi kecuali kawasan cagar alam (kategori Ia). Jika dilihat lebih spesifik, maka kegiatan wisata dan rekreasi merupakan tujuan pengelolaan yang utama (primary objective) pada kawasan taman nasional khususnya di zona pemanfaatan. Sehingga berdasarkan regulasi yang berlaku, baik di dunia maupun di Indonesia, pengembangan kawasan GTC sebagai kawasan wisata alam sudah sesuai dan memenuhi persyaratan. Jenis kegiatan wisata yang dapat dikembangkan di kawasan GTC dapat berupa tracking, bird watching, wildlife watching, sightseeing, climbing, fishing, camping, swimming, sport tourism, dan educational tourism (Sularso, 2006) Zona Rehabilitasi Kriteria zona rehabilitsi belum diatur dalam PP. No. 68 Tahun Pada prinsipnya zona ini ditujukan untuk memulihkan kondisi kawasan yang telah terdegradasi atau rusak. Berdasarkan hasil penelitian maka diusulkan kriteria zona rehabilitasi sebagai berikut: a. Kawasan yang ditetapkan mengalami perubahan atau penurunan kualitas fisik dan atau biotik; b. Kawasan mengalami gangguan alami dan atau aktifitas manusia. Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing kriteria zona rehabilitasi sebagaimana disajikan dalam Tabel 38. Indikator yang mengindikasikan kondisi seperti yang tersebut pada kriteria yang diusulkan adalah penutupan lahan tidak rapat, terdapat jenis-jenis bukan asli kawasan (exotic), penurunan potensi aliran sungai dan degradasi tanah. Kondisi lahan dapat berupa lahan bekas longsor, kebakaran, bekas pemanfaatan seperti, tebangan HPH, jalur transportasi, lahan pertanian/ladang, tambang. Untuk menetapkan zona rehabilitasi tidak semua indikator harus ditemui di lapangan. Apabila salah satu indikator tersebut ditemukan dan diperkirakan akan menimbulkan dampak negatif yang lebih buruk, maka suatu kawasan dapat ditetapkan sebagai zona rehabilitasi. Tindakan pemulihan dan 156 M. Bismark dan Reny Sawitri

178 revegetasi yang dilakukan pada zona rehabilitasi dapat saja berbedabeda untuk setiap lokasi, tergantung pada tujuan pemulihan kawasannya. Zona rehabilitasi dapat ditujukan sebagai zona inti, rimba atau zona pemanfaatan. Tabel 38. Usulan kriteria dan indikator zona rehabilitasi TN Bukit Tigapuluh Usulan kriteria (1) Kawasan yang ditetapkan mengalami perubahan atau penurunan kualitas fisik dan atau biotik; (2) Kawasan mengalami gangguan alami dan atau aktifitas manusia Keterangan: * = Usulan (proposal) Usulan Indikator (1) Penutupan lahan tidak rapat (2) Terdapat jenis-jenis bukan asli kawasan (exotic) (3) Penurunan potensi aliran sungai (4) Degradasi tanah (5) Lahan bekas longsor, kebakaran, bekas pemanfaatan seperti, tebangan HPH, jalur transportasi, lahan pertanian/ladang, tambang, dll Hasil pada Lokasi Pengamatan - Vegetasi ada yang rapat dan ada yang tidak rapat, berupa semak - Terdapat jenis tanaman bukan asli kawasan TNBT - Bekas jalur transportasi HPH, areal bekas pertambangan batu granit, areal bekas tebangan HPH, areal bekas perladangan masyarakat yang penutupan vegetasinya kurang Kawasan yang termasuk zona rehabilitasi dapat berubah setiap periode waktu tertentu, tergantung pada perubahan penutupan lahannya. Dengan demikian zona rehabilitasi bersifat temporer sehingga dapat saja tidak ditetapkan secara khusus sebagaimana zona-zona lainnya. Pihak taman nasional dapat menggunakan penafsiran citra landsat secara berkala, misalnya tiga tahun sekali, untuk mengetahui perubahan penutupan lahan dan menentukan kawasan yang perlu direhabilitasi. Lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi yang terpenting adalah luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kekayaan jenis tumbuhan, sebaran satwalliar langka dan Nilai Penting Taman Nasional 157

179 dilindungi, penutupan lahan dan lereng (Gunawan, 2012). Kriteria prioritas kawasan hutan yang segera direstorasi dengan variabel penilaian dan skala intensitas tercantum pada Tabel 39. Tabel 39. Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi No. Kriteria Bobot 1. Luas kerusakan kawasan hutan konservasi 2. Kekayaan jenis tumbuhan 3. Sebaran satwa liar langka atau dilindungi 4. Penutupan lahan 5. Lereng (slope) *) 6. Intensitas hujan *) 7. Kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi Persyaratan yang harus dipenuhi 0,219 Besarnya/luas nya kerusakan kawasan hutan konservasi 0,151 Jumlah jenis tumbuhan di kawasan hutan konservasi 0,128 Jumlah beserta sebaran (wilayah jelajah) satwa liar langka atau dilindungi di kawasan hutan konservasi 0,117 Tipe penutupan lahan di kawasan konservasi 0,110 Tipe kelas lereng (slope) di kawasan hutan konservasi 0,065 Curah hujan tahunan ratarata/hari hujan dalam satu tahun di kawasan hutan konservasi 0,063 Jumlah kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan hutan konservasi Variabel Penilaian Skala intensitas <0, ,5 ha 2 >0,5-0,75 ha 3 >0,75-1 ha 4 >1ha 5 < >119 1 <2 jenis 5 2 jenis 4 3 jenis 3 4 jenis 2 >4jenis 1 Hutan primer 1 Hutan sekunder 2 Hutan tanaman 3 Semak/belukar 4 Lahan terbuka 5 0-8% 1 >8-15% 2 >15-25% 3 >25-45% 4 >45% 5 <13,6mm/hari 1 13,6-20,7 mm/hari 2 >20,7-27,7 3 mm/hari >27,7-34,8 4 mm/hari >34,8 mm/hari 5 <125 jiwa/km jiwa/km jiwa/km jiwa/km 2 4 >499 jiwa/km M. Bismark dan Reny Sawitri

180 8. Jenis tanah *)**) 0,054 Tipe kelas jenis tanah berdasarkan kepekaan terhadap erosi di kawasan hutan konservasi 9. Elevasi/ ketinggian 10. Luas pemilikan/pen guasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar 0,051 Tipe kelas elevasi/ketingg ian di kawasan hutan konservasi 0,041 Ukuran/luas pemilikan/pen guasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi Entisol, aquic, 1 alfisol/aqualf, aquult Ultisol 2 Inceptisol, alfisol 3 Andisol,oxisol,verti 4 sol, spodosol Entisol, histosol, 5 rendoll <1.000 mdpl m dpl 2 > m 3 dpl > mdpl >2.500 dpl 5 >1 ha 1 Keterangan: *) Diadopsi dari SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung **) Nama tanah menurit USDA Soil taxonomy 1975 (Hardjowigeno, 2003) Tabel 40. Penilaian katagori prioritas restorasi TN Gunung Gede Pangrango No. Kriteria kawasan yang perlu segera direstorasi Bobot Skala intensitas Skor I. Aspek tingkat kepentingan suatu kawasan hutan konservasi: 1. Keberhasilan jenis langka dan dilindungi 0, , Keanekaragaman tipe ekosistem 0, , Potensi keanekaragaman jenis 0, , Ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir 0, , Pemanfaatan SDA secara lestari oleh para pemangku kepentingan 0, , Lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam 0, , Tempat peninggalan budaya 0, , Logistik bagi penelitian dan pendidikan 0, ,132 Total skor aspek tingkat kepentingan 1 4,270 Nilai Penting Taman Nasional 159

181 II. Aspek tingkat kemendesakan suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi: 1. Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi 0, , Besarnya kepedulian para pemangku kepentingan sebagai penerima manfaat 0, ,910 kawasan hutan konservasi 3. Bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi 0, , Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi 0, , Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan konservasi 0, , Luasan suatu kawasan hutan konservasi 0, , Keberadaan hutan miskin jenis di suatu kawasan hutan konservasi 0, ,186 Total skor aspek tingkat kemendesakan 1 2,546 Berdasarkan hasil penilaian prioritas restorasi kawasan hutan konservasi, diindikasikan bahwa tingkat kepentingan TNGGP untuk di restorasi termasuk tinggi (4,427), sedangkan tingkat kemendesakannya untuk segera di restorasi tergolong rendah (2,546) (Tabel 40). Hal ini sesuai dengan fungsi dan manfaat kawasan yang memiliki peran sangat penting sebagai pengatur tata air, habitat satwa liar dan penghasil jasa lingkungan untuk lingkungan sekitarnya. Tingkat kemendesakan yang tergolong rendah disebabkan fungsi kawasan konservasi telah berjalan walaupun komponen ekosistemnya masih merupakan hutan tanaman monokultur atau tanaman budi daya Zona Tradisional Dalam Petunjuk Pengusulan Rencana Zonasi Taman Nasional yang dikeluarkan oleh Direktur Bina Kawasan Pelestarian Alam, No. 706/VI/BKPA-2/1998 Tanggal 21 Juli 1998, zona pemanfaatan tradisional ditujukan untuk mempertahankan hubungan tradisional dan adanya ketergantungan tradisional terhadap potensi sumber daya alam taman nasional. Sementara PP No. 68 Tahun 1998 tidak secara khusus mengatur mengenai zona pemanfaatan tradisional. Berdasarkan data potensi, maka usulan kriteria pemanfaatan tradisional untuk TNBT adalah sebagai berikut. 160 M. Bismark dan Reny Sawitri

182 a. Secara geografis berada dalam wilayah taman nasional; b. Merupakan kawasan berpenduduk yang telah ditempati oleh masyarakat sebelum ditetapkannya wilayah taman nasional; c. Memiliki potensi sumber daya alam yang mendukung kehidupan masyarakat lokal; d. Secara fisik ekologis tidak berpengaruh negatif terhadap potensi sumber daya alam. Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing kriteria zona pemanfaatan tradisional sebagaimana disajikan dalam Tabel 41. Tabel 41. Usulan kriteria dan indikator zona pemanfaatan tradisional TN Bukit Tigapuluh Usulan kriteria* (1) Secara geografis berada dalam wilayah taman nasional (2) Merupakan kawasan berpenduduk yang telah ditempati oleh masyarakat sebelum ditetapkannya wilayah taman nasional (3) Memiliki potensi sumber daya alam yang mendukung kehidupan masyarakat lokal (4) Secara fisik ekologis tidak berpengaruh negatif terhadap potensi sumber daya alam Usulan Indikator* (1) Suku asli dan atau pendatang (2) Potensi biotik (HHBK), kayu dan satwa sedang - tinggi (3) Topografi datar-landai (4) Kelerengan 0-8% dan atau 8-15% (5) Tanah lempung, pasir, liat (6) Vegetasi umum bukan hutan primer (7) Pemanfaatan sumber daya alam dan lahan rendah-sedang (8) Pengetahuan tata batas sedang-tinggi (9) Interaksi dan ancaman rendah Hasil pada Lokasi Pengamatan* - Suku Talang Mamak, Anak dalam - Buah-buahan, madu, petai, jerenang, kayu sialang, murai, rangkong, simpai, beruk, babi, rusa - Tanah lempung, pasir, liat, batuan - Hutan lindung dan hutan produksi terbatas (hutan primer dan sekunder) - Sedang - tinggi, berupa kepemilikan hutan, ladang, kebun dan sawah - Rendah; 12-46,3% - Sedang Nilai Penting Taman Nasional 161

183 Keterangan: * = Usulan (proposal) (10) Kepentingan untuk mengakomodir keberadaan suku asli dan masyarakat lokal Zona pemanfaatan tradisional dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk kawasan penyangga. Zona ini ditujukan untuk mengurangi dampak pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia terhadap taman nasional. Zona pemanfaatan tradisional secara spesifik berada di dalam kawasan taman nasional, apabila kawasan penyangga ini berada di luar taman nasional maka akan berfungsi sebagai daerah penyangga. Oleh sebab itu kriteria yang pertama mengenai letak, akan membedakan antara zona pemanfaatan tradisional dengan daerah penyangga. Untuk TNBT adanya zona pemanfaatan tradisional juga tidak dapat dilepaskan dari keberadaan suku-suku asli dan pendatang yang telah lama mendiami kawasan sebelum dibentuknya taman nasional seperti: suku asli Talang Mamak, Anak Dalam dan Melayu Tua serta suku pendatang seperti: Batak, Jawa dan Minang. Kriteria selanjutnya adalah ketersediaan sumber daya alam yang akan mendukung kehidupan masyarakat. Indikator yang mendukung kriteria tersebut adalah potensi biotik (HHBK), kayu dan satwa yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Potensi HHBK lebih diutamakan dibanding potensi kayu dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pemanfaatan kayu secara berlebihan oleh masyarakat. Untuk TNBT, jerenang (Daemonorops draco) merupakan tanaman HHBK yang telah dimanfaatkan dan dibudi dayakan oleh masyarakat. Penetapan indikator-indikator seperti; topografi yang datar dan atau landai, kelerengan 0 8% dan atau 8 15%, sifat fisik tanah (lempung, pasir, dan liat) serta vegetasi umum selain hutan primer, bertujuan agar zona pemanfaatan tradisional bukan merupakan kawasan yang rawan secara ekologis melainkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang mendukung kehidupan masyarakat. Sementara itu indikator-indikator pemanfaatan, pengetahuan, interaksi dan kepentingan, ditetapkan untuk mengindikasikan kondisi masyarakat yang diinginkan dalam upaya mencegah timbulnya pengaruh negatif 162 M. Bismark dan Reny Sawitri

184 secara fisik dan ekologis terhadap potensi sumber daya alam. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan dan interaksi terhadap sumber daya alam sedang, dan sebagian besar masih dilakukan secara tradisional, seperti menangkap ikan dengan memancing dan melakukan seleksi dalam penebangan pohon. Pengelolaan zona pemanfaatan tradisional di TNBT sangat strategis dan perlu mendapat perhatian karena keberadaan suku-suku asli di kawasan tersebut. Sebagian besar mereka mendiami kawasan sempadan sungai, untuk itu perlu pengawasan terhadap pemanfaatan lahan yang cenderung meningkat dan pengawasan terhadap kelestarian kawasan sempadan sungai. Berdasarkan penafsiran citra landsat tahun 2003, diketahui bahwa penutupan lahan pada kawasan zona pemanfaatan tradisional sebagian besar berupa semak. Kondisi ini perlu mendapat perhatian mengingat kecenderungan perubahan lahan tersebut. Untuk itu perlu sosialiasi yang lebih intensif kepada masyarakat lokal mengenai batas kawasannya dan penggunaan lahan yang lebih baik. Selain itu, peningkatan keragaman dan kuantitas jenisjenis HHBK (seperti madu, tanaman obat, rotan dan lain-lain) perlu dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya alam dalam kawasan taman nasional. Gambar 23. Lokasi potensi HHBK di TN Gunung Halimun Salak Nilai Penting Taman Nasional 163

185 Pengelolaan zona tradisional (Gambar 23) dilakukan dengan adanya kegiatan masyarakat memanfaatkan HHBK berupa perkebunan rakyat yang telah ada sebelum penetapan taman nasional seperti karet dan hutan tanaman damar dan pinus serta hasil hutan lainnya yaitu bambu, madu, tumbuhan obat-obatan, buah-buahan hutan (saninten) dan rotan (umbut dan batangnya). Pemanfaatan HHBK berupa getah damar dan pinus dilakukan masyarakat bekerja sama dengan Yayasan Pemerhati Pengembangan Sukabumi (YPPS) yang diketahui oleh pihak kepolisian dan kepala desa, serta dimonitor oleh Balai TN Gunung Halimun Salak. Hasil getah damar dalam 1 tahun telah menghasilkan ±1 ton, dibeli dari masyarakat dengan harga Rp /kg. Masyarakat di wilayah Kawah Ratu, Sukabumi (Gambar 24) (meliputi Parakan Salak, Tenjo laya, Manglid, dan Cidahu) tergabung dalam Kelompok Tani Mandiri sebanyak 8 kelompok dengan anggota 31 orang dengan tambahan pendapatan Rp /bulan. Selanjutnya, hasil getah pinus yang terdapat di sekitar Seksi Wilayah Bogor meliputi Gunung Bodas, Gunung Buthak, dan Gunung Bunder telah menghasilkan ton dengan harga Rp2.500/kg. Kondisi ini tidak sejalan dengan hasil penelitian di Desa Purwabakti, Kabupaten Bogor, yaitu masyarakat yang memiliki ketrampilan masih terbatas dalam meneres getah pinus hanya mendapatkan hasil 56 kg/orang/bulan dan tambahan pendapatan sekitar Rp /bulan (Adelina & Sawitri, 2013a). Dengan demikian, hasil yang begitu banyak dalam satu tahun dari getah pinus kemungkinan dilakukan oleh pendatang yang telah memiliki ketrampilan dalam kegiatan ini, yang bukan merupakan masyarakat lokal. Sehingga tujuan memberdayakan masyarakat sekitar untuk meningkatkan pendapatan, berkurangnya tingkat ketergantungan masyarakat dan intervensi masyarakat terhadap kawasan tidak tercapai. 164 M. Bismark dan Reny Sawitri

186 Gambar 24. Tanaman damar di TN Gunung Halimun Salak Zona khusus Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional. Peruntukkan zona khusus untuk mengakomodir kepentingan konservasi dan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut sebelum ditunjuk/ ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari (sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik) dengan tata guna lahan diarahkan penggunaannya sebagai tempat tinggal, interaksi sosial dan sistem pewarisan tradisi serta pelestarian tumbuhan dan satwa berguna dengan kondisi lanskap kampung, dusun atau desa (Koesmaryandi et al., 2012) Kriteria zona khusus menurut Arrayun (2010) adalah sebagai berikut. 1. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ ditetapkan sebagai taman nasional; 2. Telah terdapat sarana prasarana antara lain telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik, sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ ditetapkan sebagai taman nasional; 3. Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti. Nilai Penting Taman Nasional 165

187 Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus meliputi perlindungan dan pengamanan, pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat, rehabilitasi, monitoring populasi dan aktivitas masyarakat, serta daya dukung wilayah. Prinsip pengelolaan usulan zona khusus TN Kutai yang diajukan oleh Moelyono et al. (2010) terkait dengan keberadaan masyarakat di antaranya izin memanfaatkan dan hak mengelola kawasan secara ramah lingkungan namun tidak mempunyai hak memiliki, melalui peraturan yang mengikat berdasarkan kriteria yang terkait tentang kriteria lingkungan (kesehatan ekosistem), ekonomi (tingkat penghidupan yang layak), sosial (kesetaraan antar kelompok), budaya (keutuhan dan identitas) serta politik (proses pengambilan keputusan yang adil dan transparan). Pengelolaan zona khusus yang dikembangkan oleh Balai TN Kutai (2010) sebagai berikut. 1. Status kawasan tetap dipertahankan sebagai kawasan TN Kutai. 2. Letak zona khusus berada pada wilayah yang telah disepakati sebelumnya untuk ditata batas pengamanan. 3. Pemanfaatan lahan diberikan kepada penduduk yang telah tinggal, memiliki lahan dan hidupnya tergantung pada lahan tersebut sebelum TN Kutai ditunjuk. 4. Tidak mengakomodir kepemilikan lahan oleh masyarakat yang tinggal di dalam zona khusus. 5. Pengelolaan akan dilaksanakan oleh lembaga khusus yang bertanggung jawab kepada Balai TN Kutai. 6. Zona khusus akan terbagi menjadi areal pemukiman, areal pemanfaatan dan areal lindung. 7. Pengelolaan di dalam zona khusus akan diarahkan menjamin kehidupan yang ramah lingkungan dan berupaya untuk mempersiapkan generasi mendatang untuk mendapatkan kehidupan yang layak di luar zona khusus. 8. Secara prinsip peraturan perundangan yang diacu adalah peraturan perundangan yang berlaku pada kawasan konservasi dan peraturanperaturan lain yang disepakati sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. 166 M. Bismark dan Reny Sawitri

188 Evaluasi zonasi dilakukan dengan menganalisis usulan perubahan kawasan, peraturan rundangan yang berlaku, serta membandingkan zonasi TN Kutai dengan matrik evaluasi zonasi yang ada, antara lain berdasarkan Bismark et al. (2012) (Tabel 42). Nilai Penting Taman Nasional 167

189 168 M. Bismark dan Reny Sawitri

190 Nilai Penting Taman Nasional 169

191 170 M. Bismark dan Reny Sawitri

192 Nilai Penting Taman Nasional 171

193 172 M. Bismark dan Reny Sawitri

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), SINTESIS . Dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi TN belum lengkap,. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), 3. Informasi dan pengembangan jasa lingkungan belum

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 11. Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem

KODEFIKASI RPI 11. Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem KODEFIKASI RPI 11 Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN 2010 2014 MODEL PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI BERBASIS EKOSISTEM

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ... itj). tt'ii;,i)ifir.l flni:l l,*:rr:tililiiii; i:.l'11, l,.,it: I lrl : SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI DAFTAR SINGKATAN viii tx xt xii... xviii BAB

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku Resensi Buku Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p.33-38 Judul Buku: : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 Penyunting Akhir : Ir. Basoeki Karyaatmadja, M.Sc., Ir. Kustanta Budi Prihatno,

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN EVALUASI KESESUAIAN FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

PENATAAN KORIDOR RIMBA

PENATAAN KORIDOR RIMBA PENATAAN KORIDOR RIMBA Disampaikan Oleh: Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Dalam acara Peluncuran Sustainable Rural and Regional Development-Forum Indonesia DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar http://blog.unila.ac.id/janter PENGERTIAN Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar perlindungan populasi satwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS

RENCANA STRATEGIS TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2015 DEFORESTASI INDONESIA TAHUN 2013-2014

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN Ministry of Forestry 2008 KATA PENGANTAR Penyusunan Buku Eksekutif Data Strategis Kehutanan Tahun 2008 ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan data

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) Mendefinisikan restorasi ekosistem (di hutan alam produksi)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013

NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013 NERACA SUMBER DAYA HUTAN NASIONAL TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN 2014 Penyusun Penanggung Jawab : Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan

Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007 Kerja sama Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik Jakarta, 2007 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci