BAB II PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR"

Transkripsi

1 BAB II PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR A. Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit 1. Syarat-syarat pengajuan permohonan pailit. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, yang berbunyi bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri atau maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Syarat-syarat permohonan pernyataan pailit dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Syarat adanya dua kreditur atau lebih (concursus creditorium). Di dalam Pasal 1 Angka 2 UUK dan PKPU yang dimaksud dengan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Kreditur itu sendiri dapat merupakan kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Apabila kepailitan itu dimohonkan oleh seorang Kreditur, maka ia harus dapat membuktikan bahwa selain dirinya masih 40

2 ada lagi kreditur lain dari debitur. Syarat adanya kreditur lain adalah untuk memenuhi prinsip concursus creditorum dalam kepailitan. 39 Adanya persyaratan concursus creditorium adalah sebagai bentuk konsekuensi berlakunya ketentuan Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek (yang selanjutnya disebut BW) dimana rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitur untuk kemudian setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian atau accoord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda debitur untuk kemudian dibagi-bagikan hasil perolehannya kepada semua kreditur sesuai urutan tingkat Kreditur yang telah diatur oleh undang-undang Jika debitur hanya memiliki satu kreditur, maka eksistensi UUK dan PKPU kehilangan rasio d etre-nya. Bila debitur hanya memiliki satu kreditur, maka seluruh harta kekayaan Debitur otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte, dan terhadap debitur tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditur. UUK dan PKPU tidak mengatur secara tegas mengenai pembuktian bahwa debitur mempunyai 2 (dua) kreditur atau lebih, namun oleh karena di dalam hukum kepailitan berlaku pula hukum acara perdata, maka Pasal 116 HIR berlaku dalam hal ini. Pasal 116 HIR atau Pasal 1865 BW menegaskan bahwa beban wajib bukti (burden of proof) dipakai oleh Suliarto, Op.Cit, hlm Jono, Op.Cit, hlm. 5.

3 pemohon atau penggugat untuk membuktikan diri (posita) gugatannya, 41 maka sesuai dengan prinsip pembebanan wajib bukti di atas, pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitur mempunyai dua atau lebih kreditur sebagaimana telah dipersyaratkan oleh UUK dan PKPU. 42 Ketentuan mengenai adanya syarat dua atau lebih kreditur di dalam permohonan pernyataan pailit mengharuskan kita mengetahui terlebih dahulu mengenai defenisi dari kreditur itu sendiri. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (yang selanjutnya disebut UUK Lama) tidak memberikan definisi yang jelas mengenai kreditur. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, harus dibedakan pengertian kreditur dalam kalimat...mempunyai dua atau lebih kreditur, dan...atas permohonan seorang atau lebih krediturnya. 43 Di dalam kalimat pertama, yang dimaksud kreditur adalah sembarang kreditur, baik kreditur separatis, kreditur preferen, maupun kreditur konkuren. Sedangkan dalam kalimat kedua, kata kreditur disini dimaksudkan untuk kreditur konkuren. Kreditur konkuren berlaku dalam definisi kreditur pada kalimat kedua dikarenakan seorang kreditur separatis tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat kreditur separatis telah terjamin sumber 41 Pasal 116 HIR dan Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek.. 42 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm Jono, Op.Cit, hlm. 8.

4 pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani dengan hak jaminan. 44 Pendapat Sutan Remy Sjahdeini ini diperkuat pula oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 K/N/1999 tanggal 4 Februari 1999 yang mengemukakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa kreditur separatis yang tidak melepaskan haknya terlebih dahulu sebagai kreditur separatis, bukanlah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK Lama. 45 Dengan disahkannya UUK dan PKPU, maka diperoleh pengertian kreditur sebagaimana terdapat di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU. Berkaitan dengan ada tidaknya pelepasan hak agunan kreditur separatis terhadap pengajuan permohonan pailit, terhadap kreditur telah diatur secara jelas di dalam Pasal 138 UUK dan PKPU. Berdasarkan UUK dan PKPU, maka kreditur separatis dan kreditur preferen dapat tampil sebagai kreditur konkuren tanpa harus melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya, tetapi dengan catatan bahwa kreditur separatis dan kreditur preferen dapat membuktikan bahwa benda yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi utangnya debitur pailit. 46 b. Syarat harus adanya utang. 44 Ibid, hlm Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm Jono, Op.Cit, hlm. 10.

5 Berdasarkan Pasal 1 angka (6) UUK, utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia, maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau UU dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi member hak kepada kreditur untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Syarat ini diperlukan karena tanpa adanya utang, maka debitur tidak memiliki kewajiban yang harus dibayar kepada para kreditur, sehingga tidak dapat dimintakan permohonan pailit. c. Syarat cukup satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Seperti dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh tempo adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwanang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Syarat bahwa utang harus telah jatuh tempo dan dapat ditagih menunjukan bahwa Kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya. Penagihan disini diartikan suatu pemberitahuan oleh pihak kreditur bahwa pihak kreditur ingin supaya debitur melaksanakan janjinya, yaitu dengan segera atau pada suatu waktu yang disebut dalam pemberitahuan itu. Faktor waktu adalah penting dalam hal perjanjian,

6 terutama dikalangan bisnis. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa dalam suatu perjanjian kedua belah pihak ada keinginan supaya selekas mungkin tujuan dari perjanjian terlaksana, yaitu pihak kreditur supaya lekas merasakan kenikmatan yang terletak pada pelaksanaan janji, sedang pihak debitur supaya lekas terlepas dari suatu ikatan, yang dampaknya akan sedikit menekan jiwanya. 47 Suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut bukan utang yang timbul dari perikatan alami (natuurlijke verbintensis). Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat dituntut di muka pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan pailit. Perikatan alami adalah semisal perikatan yang oleh ketentuan perundang-undangan dinyatakan tidak dapat dituntut pemenuhannya karena perjudian atau pertaruhan (Pasal 1788 KUH Perdata), maupun sesudahnya sebagai akibat telah terjadinya kadaluwarsa (pasal 1967 KUH Perdata). 48 d. Debitur berada dalam keadaan insolvent, yaitu keadaan dimana debitur tidak lagi mampu membayar utang-utangnya kepada para kreditur. Keadaan insolvent atau keadaan dimana debitur tidak mampu membayar utang-utangnya pada para kreditur, menunjukkan bahwa debitur tidak lagi mampu untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan kreditur terancam tidak dapat menerima hak berupa pembayaran utang dari debiturnya. Ketidakmampuan debitur tersebut merupakan hak yang sangat 47 Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, (Bandung : Mandar Maju, 1999), hlm Emmy Yuhassrie (ed), Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat pengkajian Hukum 2004), hlm

7 penting didalam kepailitan karena dengan adanya ketidakmampuan tersebut kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap kekayaan debitur melalui putusan pengadilan sehingga kreditur dapat menerima haknya. 2. Prosedur permohonan pailit. A) Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit UUK dan PKPU telah menentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu: Debitur sendiri Debitur dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri (voluntary petition), yang biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh kewajibannya, terutama dalam melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap para krediturnya. Dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan pailit terhadap debitur itu sendiri (voluntary petition). Ketentuan tentang voluntary petition ini dianut oleh banyak negara, meskipun terhadap suatu kekhawatiran bahwa debitur dapat beritikad buruk dengan mengajukan permohonan pailit sebagai alasan untuk menghindarkan pembayaran utang-utangnya kepada krediturnya. 49 Sunarmi, Op.Cit., hlm

8 Berkaitan dengan voluntary petition ini, Retno Wulan Sutantio mengemukakan kemungkinan terjadinya masalah-masalah sebagai berikut: a. Permohonan pailit yang diajukan oleh debitur yang dilakukan dengan sengaja setelah membuat utang kanan kiri dengan maksud untuk tidak membayar, maka permohonan tersebut akan ditolak oleh Pengadilan Niaga. Perbuatan tersebut dalam bahasa Belanda disebut knevelarij dan diancam dengan Pasal 79 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan hukuman penjara 4 tahun. b. Permohonan pailit diajukan oleh teman baik atau keluarga debitur dengan alasan yang tidak kuat, sehingga permohonan itu tidak akan diterima atau ditolak oleh Pengadilan Niaga. Tindakan ini dilakukan dengan maksud untuk menghambat agar kreditur lain tidak mengajukan permohonan pailit terhadap debitur tersebut atau setidak-tidaknya akan menghambat kreditur lain mengajukan permohonan pailit. 2. Satu atau lebih kreditur 50 Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU dengan tegas menyatakan bahwa satu atau lebih kreditur pailit dapat mengajukan permohonan pailit. UUK dan PKPU pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) mengenal hukum.html (diakses tanggal 31 Maret 2015).

9 (tiga) jenis kreditur yaitu kreditur konkuren, kreditur separatis dan kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Pembagian kreditur dalam kepailitan sesuai dengan prinsip structured creditors atau prinsip structured prorata yang diartikan sebagai prinsip yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing antara lain kreditur separatis, preferen, dan konkruen. Pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditur yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditur lain yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata (pari passu prorata parte). Kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak jaminan terhadap hipotek, gadai, hak tanggungan, dan jaminan fidusia. Kreditur preferen adalah kreditur yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditur preferen terdiri dari kreditur preferen khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata, dan kreditur preferen umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata.

10 Kreditur konkuren adalah kreditur yang mempunyai hak mendapatkan pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh harta kekayaan debitur. Kreditur konkruen merupakan kreditur yang biasa yang tidak dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hipotik, dan hak tanggungan dan pembayarannya dilakukan secara berimbang. Kreditur inilah yang umum melaksanakan prinsip pari passu prorata parte, pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh kekayaan debitur 3. Kejaksaan 51 Undang-undang kepailitan telah memberikan kewenangan kepada kejaksaan dalam kepailitan yaitu : pertama, Pasal 2 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000, bahwa: kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum. kedua, Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa: kejaksaan dapat mengajukan permohonan agar pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap sebagianatau seluruh kekayaan debitur dalam perkara kepailitan. ketiga, Pasal 93 ayat (1) dan Pasal 93 ayat (2) yang menentukan bahwa: pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih setelah mendengarkan 51 Sunarmi, Op.Cit., hlm

11 keterangan hakim pengawas dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan, baik ditempatkan di rumah tahanan maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan Jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Perintah penahanan dilaksanakan oleh Kejaksaan yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU menyebutkan: Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit. Yang dimaksud kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, misalnya: a. Debitur melarikan diri b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan c. Debitur mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu atau f. Dalam hal lainnya menurut Kejaksaan merupakan kepentingan umum.

12 Penjelasan Pasal 2 menyebutkan bahwa, dalam permohonan pernyataan pailit tersebut, Kejaksaan dapat melaksanakannya atas inisiatif sendiri atau berdasarkan masukan dari masyarakat atau lembaga (instansi pemerintah atau badan lain yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan). 4. Bank Indonesia. Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan memberikan keputusan untuk dinyatakan pailit suatu bank, haruslah terdapat keterlibatan Bank Indonesia. Sebab Bank Indonesia merupakan bank sentral yang menentukan kebijakan perbankan Indonesia, yang mempunyai kewenangan untuk memberi izin usaha. 52 Pasal 1 angka 1 UU OJK menyatakan otoritas jasa keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Otoritas jasa keuangan berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Pasal 6 UU OJK mengatur tugas otoritas jasa keuangan, yaitu: otoritas jasa keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan b. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal 52 Sutan Remy Sjahdeini, Undang-Undang Kepailitan: Dalam Perspektif Hukum, Politik dan Ekonomi Makalah ini disajikan pada tanggal 7 Mei 1998 di Jakarta.

13 c. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Sebelum adanya OJK, tugas-tugas di atas dilaksanakan oleh Menteri Keuangan, BAPEPAM dan Lembaga Keuangan dan Bank Indonesia. 5. BAPEPAM Debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh BAPEPAM. Akan tetapi setelah dikeluarkannya UU OJK, otoritas jasa keuangan menggantikan kedudukan BAPEPAM. 6. Menteri keuangan. Debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri keuangan. Mengacu kepada ketentuan Pasal 55 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (2) UU OJK hanya BAPEPAM yang mengalihkan seluruh fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan keuangan di sektor pasar modal kepada otoritas jasa keuangan, sedangkan terhadap bank indonesia dan menteri keuangan masih menjalankan tugas dan wewenang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Oleh sebab itu dengan adanya otoritas jasa keuangan, otomatis telah mengubah prosedur permohonan pailit terbatas

14 pada perusahaan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang dahulu menjadi kewenangan BAPEPAM, kemudian kewenangan tersebut beralih ke otoritas jasa keuangan. B)Prosedur pemgajuan permohonan pailit Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap debitur yang diajukan oleh satu atau lebih krediturnya ke pengadilan yang selanjutnya mengeluarkan putusan yang menyatakan debitur tersebut dalam keadaan pailit. Pengadilan yang berwenang untuk memproses, memeriksa dan mengadili perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga, yaitu pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Berdasarkan Pasal 306 UUK, Pengadilan Niaga yang dibentuk berdasarkan Pasal 281 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi UUK Lama dinyatakan tetap berwenang dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden (keppres) Republik Indonesia Nomor 97 tahun 1999, Pemerintah telah membentuk Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang. Berdasarkan Pasal 6 dan 7 UUK dan PKPU, mekanisme dalam mengajukan permohonan pailit pada Pengadilan Niaga adalah sebagai berikut: 1. Surat permohonan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga (Pasal 6 ayat (1) UUK dan PKPU).

15 2. Permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitur sendiri atau oleh kreditur, dilakukan oleh seorang advokat (Pasal 7 ayat (1) UUK dan PKPU). 3. Panitera mendaftar permohonan pernyataan pailit tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan (Pasal 6 ayat (2) UUK dan PKPU). 4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 6 ayat (4) UUK dan PKPU). 5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari permohonan tersebut dan menetapkan hari sidang (Pasal 6 ayat (5) UUK dan PKPU). 6. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 6 ayat (6) UUK dan PKPU). 7. Persidangan terhadap permohonan kepailitan itu dapat ditunda paling lambat 25 hari apabila ada permohonan dari debitur dan adanya alasan-alasan yang cukup mendasar. Pada sidang itulah hakim akan mendengar keterangan pemohon, termohon, saksi-saksi dan

16 memeriksa alat-alat bukti yang relevan (Pasal 6 ayat (7) UUK dan PKPU). 8. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah dipenuhi (Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU). 9. Putusan permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) UUK dan PKPU). Adanya batasan jangka waktu dalam proses pemeriksaan memberikan kepastian bagi para pihak menyangkut waktu yang dibutuhkan dan estimasi biayabiaya termasuk biaya pengacara dalam rangka permohonan kepailitan ini. Pembatasan itu juga dapat mempersempit atau memperkecil kemungkinan rusaknya aset atau dilarikan oleh debitur. C) Akibat hukum pailit Putusan pailit yang ditetapkan Pengadilan Niaga kepada debitur didasarkan pada Pasal 21 UUK dan PKPU yang menyebutkan bahwa, kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Adapun akibat dijatuhkannya pailit kepada debitur adalah: Debitur kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas kekayaan harta bendanya (asetnya), baik menjual, menggadai, dan lain 53 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 134

17 sebagainya, serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan; 2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya; 3. Untuk melindungi kepentingan kreditur, selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, kreditur dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk: a. Meletakkan sita jaminan sebagian atau seluruh kekayaan debitur; b. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur, menerima pembayaran kreditur, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitur; c. Harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar. Adapun ketentuan pasal 21 UUK dan PKPU di atas tidak berlaku terhadap: 1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; 2. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau 3. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut UU.

18 Adapun akibat-akibat yuridis dari putusan pailit terhadap harta kekayaan debitur terhadap kreditur adalah sebagai berikut antara lain: a. Putusan pailit dapat dijalankan terlebih dahulu Putusan pengadilan merupakan serta merta dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan pailit dan dilakukan suatu upaya hukum lanjut. Apabila putusan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya upaya hukum tersebut, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, maka tetap sah dan mengikat bagi debitur. b. Sita umum Harta kekayaan debitur yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum (public attachement, gerechtelijk beslag) beserta apa yang diperoleh selama kepailitan. Dalam Pasal 21 UUK dan PKPU dijelaskan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Sita umum terhadap harta kepailitan tidak memerlukan suatu tindakan khusus untuk melakukan sitaan tersebut. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta pailit dalam status dihentikan dari segala transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator. Dalam sitaan hukum perdata yang secara khusus dilakukan dengan suatu tindakan hukum tertentu. Dengan demikian sitaan umum terhadap harta pailit adalah terjadi demi hukum. c. Kehilangan wewenang dalam harta pailit

19 Debitur pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus dan melakukan perbuatan kepemiikan terhadap harta kekayaan yang termasuk dalam pailit. 54 Kehilangan hak bebasnya tersebut hanya terbatas pada harta kekayaan dan tidak terhadap status pribadinya. Debitur yang dalam status pailit, tidak hilang hak-hak keperdataannya serta hak-hak selaku warga negara seperti hak politik dan hak privat lainnya d. Perikatan setelah pailit Segala perikatan debitur yang telah mendapatkan putusan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit. Apabila dilanggar oleh yang pailit, maka perbuatan tidak mengikat kekayaannya tersebut, kecuali perikatan tersebut mendatangkan keuntungan terhadap harta pailit. Ketentuan ini sering sekali diselundupi dengan membuat perikatan yang di-antedateer (ditanggali mundur ke belakang) dan bahkan sering terjadi adanya kreditur fiktif untuk kepentingan si debitur pailit. 55 e. Penetapan putusan pengadilan sebelumnya Pernyataan pailit juga berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus diberhentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk juga dengan menyandera debitur. 56 Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi 54 Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.. 55 Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 56 Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

20 hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya. 57 B. Pengurusan Harta Pailit 1) Debitur pailit sebagai wajib pajak Debitur dikatakan sebagai wajib pajak dikarenakan Pasal 1 angka 3 UUK dan PKPU menyatakan bahwa, debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau UU yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan. Pasal 1 angka 4 UUK dan PKPU menyatakan, debitur pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. Berdasarkan pengertian pada pasal 1 angka 3 dan angka 4 UUK dan PKPU tersebut dapat kita ketahui bahwa debitur pailit adalah orang yang mempunyai utang, yang didalam pasal 1 angka 6 dikatakan bahwa utang adalah kewajiban yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau UU dan yang wajib dipenuhi oleh debitur, yang berarti termasuk didalamnya utang pajak. Utang pajak sendiri merupakan utang yang wajib dipenuhi oleh debitur, karena pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU (Pasal 1 angka 1 UU KUP). Debitur pailit dikatakan sebagai wajib pajak juga dipertegas dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 3 UU KUP, yang menyatakan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan yang dimaksud dalam hal ini adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang 57 Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

21 merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, dan sebagainya. Wajib pajak yang dalam hal ini adalah debitur pailit, dalam menjalankan hak dan kewajibannya akan diwakili oleh kurator (Pasal 32 ayat (1b) UU KUP), yang termasuk pengurusan harta pailit debitur pailit tersebut. 2) Pengurusan harta pailit Sejak kepailitan diputuskan, debitur tidak berhak lagi melakukan pengurusan atas harta kekayaannya, dan satu-satunya yang berhak melakukan hal tersebut adalah kurator. Hal tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan kreditur maupun debitur pailit. Dalam menjalankan tugasnya, Kurator diangkat oleh pengadilan yang ditentukan dalam putusan pernyataan pailit. Apabila debitur atau kreditur tidak mengajukan usul pengangkatan kurator, maka BHP akan bertindak sebagai kurator. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 15 UUK dan PKPU yang menyatakan bahwa: 1. Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk oleh hakim pengadilan; 2. Dalam hal debitur, kreditur, atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada pengadilan, maka BHP diangkat selaku kurator;

22 3. Kurator yang diangkat harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitur atau kreditur, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan PKPU, lebih dari 3 (tiga) perkara. 4. Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas, kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas, mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. Nama, alamat, dan pekerjaan debitur; b. Nama hakim pengawas; c. Nama, alamat, dan pekerjaan kurator; d. Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia kreditur sementara apabila telah ditunjuk; e. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama. Tindakan pengurusan yang dilakukan kurator dalam suatu kepailitan dapat diperinci atas: 58 a. Mengumumkan ikhwal kepailitan. Dalam jangka waktu paling lambat 5 ( lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas, kurator mengumumkan dalam Berita Negara Repunlik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim 58 Sunarmi, Op.Cit, hlm

23 Pengawas, megenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat halhal sebagai berikut: 1) Nama, alamat, dan pekerjaan debitur; 2) Nama hakim pengawas; 3) Nama, alamat, dan pekerjaan kurator; 4) Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia kreditur sementara apabila telah ditunjuk;dan 5) Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditur. b. Melakukan penyegelan harta pailit. Kurator dapat meminta penyegelan harta pailit kepada pengadilan, berdasarkan alasan untuk mengamankan harta pailit, melalui hakim pengawas. Penyegelan dilakukan oleh jurusita di tempat harta tersebut berada dengan dihadiri oleh 2 (dua) saksi yang salah satu diantaranya adalah wakil dari pemerintah daerah setempat (Pasal 99 UUK dan PKPU). Yang dimaksud dengan wakil dari pemerintah daerah setempat adalah lurah atau kepala desa, atau yang disebut dengan nama lain (Penejelasan Pasal 99 ayat (2) UUK dan PKPU). c. Pencatatan/pendaftaran harta pailit. Kurator harus mebuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai kurator. Pencatatan dapat dilakukan di bawah tangan oleh kurator dengan persetujuan hakim pengawas. Anggota panitia kreditur sementara berhak menghadiri pembuatan pencatatan tersebut (Pasal 100 UUK dan PKPU).

24 Mengingat bahwa debitur lebih mengetahui tentang seluruh harta kekayaannya, maka dalam prakteknya kehadiran debitur akan sangat membantu pelaksanaan pendaftaran harta kekayan ini. Untuk itu kurator perlu memanggil debitur pailit untuk memberikan keterangan-keterangan dan melibatkannya memberikan petunjuk dalam pendaftaran harta tersebut. Bahwa informasi pertama yang akan diperoleh tentang harta kekayaan debitur adalah dari putusan/penetapan Pengadilan Niaga, karena dalam pertimbangan hukumnya Pengadilan Niaga akan menyebutkan, baik harta kekayaan maupun utang debitur dan siapa-siapa yang menjadi krediturnya. Selain itu, informasi tentang harta kekayaan debitur dapat juga diketahui dari kantor Badan Pertahanan Nasional, kantor-kantor bank, baik bank pemerintah maupun bank swasta untuk mengetahui adanya simpanan debitur. Setelah pencatatan harta pailit, kurator harus membuat daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan utang harta pailit, nama dan tempat tinggal kreditur beserta jumlah piutang masing-masing kreditur. Pencatatan dan pendaftaran tersebut diletakkan di kepaniteraan pengadilan untuk dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma (Pasal 102 dan Pasal 103 UUK dan PKPU). d. Melanjutkan usaha debitur. Melanjutkan usaha debitur pailit atas persetujuan panitia kreditur sementara walaupun ada kasasi atau peninjauan kembali. Bila tidak ada

25 panitia kreditur sementara maka diperlukan izin dari hakim pengawas (Pasal 104 UUK dan PKPU). e. Membuka surat-surat dan telegram debitur pailit. Kurator berwenang untuk membuka surat dan telegram yang dialamatkan kepada debitur pailit. Surat dan telegram yang tidak berkaitan dengan harta pailit, harus segera diserahkan kepada debitur pailit. Perusahaan pengirim surat dan telegram memberikan kepada kurator, surat dan telegram yang dialamatkan kepada debitur pailit. Semua surat pengaduan dan keberatan yang berkaitan dengan harta pailit ditujukan kepada kurator (Pasal 105 UUK dan PKPU). Berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 69 UUK dan PKPU, sejak putusan pailit diucapkan semua wewenang debitur untuk menguasai dan mengurus harta pailit termasuk memperoleh keterangan mengenai pembukuan, catatan, rekening bank, dan simpanan debitur dari bank yang bersangkutan beralih kepada kurator (Penjelasan Pasal 105 UUK dan PKPU). f. Mengalihkan harta pailit. Pengalihan harta pailit dapat dilakukan sepanjang itu diperlukan untuk menutup biaya kepailitan atau apabila penahanannya akan mengakibatkan kerugian kepada harta pailit meskipun ada kasasi dan peninjauan kembali. g. Melakukan penyimpanan.

26 Uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya wajib disimpan oleh kurator kecuali ditentukan lain oleh hakim pengawas. Uang tunai wajib disimpan di bank (Pasal 108 UUK dan PKPU). Yang dimaksud dengan disimpan oleh kurator sendiri adalah dalam pengertian tidak mengurangi kemungkinan efek atau surat berharga tersebut dismpan oleh kustodian, tetapi tanggungjawab tetap atas nama debitur pailit. isalnya, deposito atas nama kurator, qq debitur pailit (Penjelasan Pasal 108 UUK dan PKPU). h. Mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 109 UUK dan PKPU). Yang dimaksud dengan perdamaian dalam Pasal ini adalah perkara yang sedang berjalan di pengadilan. i. Melakukan pemanggilan kepada kreditur. Pemanggilan terhadap kreditur ini diperlukan untuk memasukkan bukti-bukti tagihan kepada kurator. Dalam hal ini hakim pengawas akan menentukan batas ajhir pengajuan tagihan, batas akhir verifikasi pajak, hari, tanggal, waktu, dan temapat rapat kreditur untuk mengadakan pencocokan piutang. Pemanggilan tersebut dapat dilakukan dengan surat kabar umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) UUK dan PKPU. Tenggang waktu batas akhir pengajuan rapat pencocokan piutang harus ada selisihnya paling sedikit 14 (empat belas) hari (Pasal 113 dan Pasal 114 UUK dan PKPU). j. Mendaftarkan tagihan para kreditur.

27 Setelah para kreditur memasukkan tagihan-tagihannya, maka kurator akan mencocokkan dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan debitur pailit, dan kemudian berunding dengan kreditur jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima. Tagihantagihan yang disetujui dimasukkan dalam sebuah daftar yang disebut dengan Daftar piutang yang sementara diakui, sedangkan untuk tagihan yang dibantah oleh kurator akan dimasukkan kedalam daftr tersendiri disertai dengan alasan-alasannya. dalam daftar tagihan tersebut dibubuhkan pula catatan apakah termasuk piutang yang diistimewakan atau dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya atau hak untuk menahan benda bagi tagihan yang bersangkutan dapat dilaksanakan. Daftar tagihan oleh kurator diletakkan dipapan pengumuman selama 7 (tujuh) hari untuk dapat dilihat oleh yang berkepentingan atau siapapun yang menghendakinya, Peletakan daftar-daftar tagihan tersebut diberitahukan oleh kurator kepada semua kreditur yang dikenal dan juga untuk menghadiri rapat pencocokan piutang serta pemberitahuan jika debitur ada memasukkan rencana perdamaian kepada kurator (Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, dan Pasal 119 UUK dan PKPU). k. Menghadiri rapat pencocokan piutang Tugas kurator selanjutnya adalah menghadiri rapat pencocokan piutang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh hakim pengawas. Hakim pengawas hadir dalam rapat tersebut dan bertindak

28 selaku pemimpin rapat yang dihadiri oleh kurator, para kreditur, dan oleh debitur. Kehadiran debitur dalam rapat pencocokam piutang sangat penting, karena debitur dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaaan harta pailit. Debitur lebih mengetahui dan dapat memberikan keteranganketerangan tentang kebenaran dari piutang-piutang kreditur kepadanya, siapa-siapa yang menjadi kreditur dalam kepilitan dan besarnya tagihan dari masing-masing kreditur. Hakim pengawas membacakan daftar piutang yang diakui sementara, dan daftar tagihan yang dibantah, sedangkan kurator akan memberikan keterangan-keterangan tentang status dari para kreditur, apakah sebagai kreditur separatis, kreditur preferens, ataupun kreditur konkuren. Daftar terakhir dari tagihan-tagihan ini selanjutnya harus disetujui dan disahkan oleh hakim pengawas yang dilakukan dalam rapat pencocokan tagihan tersebut diatas. l. Memberitahukan hasil rapat pencocokan piutang kepada kreditur. Setelah berakhirnya pencocokan piutang, kurator wajib memberikan laporan mengenai keadaan harta pailit, dan selanjutnya kepada kreditur, wajib diberikan semua keterangan yang diminta oleh mereka. Laporan mengenai harta pailit beserta berita acara pencocokan piutang wajib disediakan di kepaniteraan dan kantor kurator agar dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 3) Pemberesan harta pailit

29 Pasal 16 ayat (1) UUK dan PKPU menyatakan bahwa kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kata pemberesan dalam pasal tersebut berarti penguangan aktiva untuk membayar atau melunasi utang sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan pasal 16 ayat (1) UUK dan PKPU. Tahap-tahap dalam pemberesan tersebut dapat diperinci atas: 59 a) Mengusulkan dan melaksanakan penjualan harta pailit. Dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 15 ayat (1) UUK dan PKPU, kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitur, apabila: i. Usul untuk mengurus perusahaan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak; atau ii. Pengurusan terhadap perusahaan debitur dihentikan (Pasal 184 UUK dan PKPU). Dalam rangka membiayai tindakan-tindakan pengurusan dan pemberesan termasuk jasa kurator diperlukan dana, dan dana tersebut diperoleh dari hasil penjualan harta kekayaan pailit, baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak. 59 Ibid, hlm. 140.

30 Semua benda harus dijual dimuka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Bila penjualan dimuka umum tidak tercapai, maka dapat dilakukan penjualan dibawah tangan dengan izin hakim pengawas (Pasal 185 UUK dan PKPU). Untuk semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan, maka kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin pengawas. Dalam melaksanakan penjualan harta pailit ini, kurator harus terlebih dahulu meminta izin dari hakim pengawas. Izin dari hakim pengawas ini dituangkan dalam suatu penetapan. Izin penetapan ini diperoleh setelah kurator terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk melakukan penjualan harta pailit dan dapat dilakukan secara lelang didepan umum maupun secara dibawah tangan. Sebelum berlakunya UUK dan PKPU dan UUK Lama, ketika BHP merupakan satu-satunya kurator dalam kepailitan, BHP akan melaksanakan penjualan harta pailit dengan cara dibawah tangan, alasannya adalah penjualan secara lelang akan menyita banyak waktu dan memerlukan dana yang akan dibebankan kepada harta pailit. Kurator berkewajiban membayar piutang kreditur yang mempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga benda itu masuk kembali dan menguntungkan harta pailit. b) Membuat daftar pembagian

31 Kurator wajib menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan kepada hakim pengawas. Daftar pembagian memuat rincian penerimaan dan pengeluaran termasuk di dalamnya upah kurator, nama kreditur, jumlah yang dicocokkan dari tiap-tiap piutang dan bagian yang wajib diterima diberikan kepada kreditur. Daftar pembagian yang telah disetujui oleh hakim pengawas wajib disediakan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat oleh kreditur selama tenggang waktu yang ditetapkan oleh hakim pengawas pada waktu daftar tersebut disetujui dan diumumkan oleh kurator dalam surat kabar. Daftar pembagian ini dapat dilawan oleh kreditur dengan mengajukan surat keberatan disertai alasan kepada panitera pengadilan dengan menerima tanda bukti penerimaan. Hakim pengawas akan menetapkan hari untuk memeriksa perlawanan di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Dalam sidang tersebut, hakim pengawas memberi laporan tertulis, sedang kurator dan setiap kreditur atau kuasanya dapat mendukung atau membantah daftar pembagian tersebut dengan mengemukakan alasannya dan pengadilan paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari wajib memberikan putusan yang disertai dengan pertimbangan hukum yang cukup. Terhadap putusan pengadilan ini dapat diajukan permohonan kasasi. Setelah berakhirnya tenggang waktu untuk melihat daftar pembagian atau setelah putusan akibat diajukan perlawanan diucapkan, kurator wajib segera membayar pembagian yang telah ditetapkan. Setelah

32 kurator selesai melaksanakan pembayaran kepada masing- masing kreditur berdasarkan daftar pembagian, maka berakhirlah kepailitan. Kurator melakukan pengumuman mengenai berakhirnya kepailitan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan surat kabar (Pasal 201 dan Pasal 202 UUK dan PKPU). c) Membuat daftar perhitungan dan pertanggungjawaban pengurusan dan pemberesan kepailitan kepada hakim pengawas Kurator wajib memberikan pertanggungjawaban mengenai pengurusan dan pemberesan yang telah dilakukannya kepada hakim pengawas paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya kepailitan. Semua buku dan dokumen mengenai harta pailit wajib diserahkan kepada debitur dengan tanda bukti penerimaannya (Pasal 202 ayat (3) dan ayat (4) UUK dan PKPU). Bila sesudah diadakan pembagian penutup, ada pembagian yang tadinya dicadangkan jatuh kembali dalam harta pailit atau apabila ternyata masih terdapat bagian harta pailit yang sewaktu diadakan pemberesan tidak diketahui, maka atas peritah pengadilan, kurator membereskan dan membaginya berdasarkan pembagian yang dahulu (Pasal 203 UUK dan PKPU). Pemberesan dan pembagian harta pailit tersebut menjadi tanggung jawab kurator. Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit (Pasal 72 UUK dan PKPU).

33 C. Pembagian Harta Pailit Apabila hakim pengawas berpendapat terdapat cukup uang tunai, kurator diperintahkan untuk melakukan pembagian kepada kreditur yang piutangnya telah dicocokkan (Pasal 188 UUK dan PKPU). Kurator wajib menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan kepada hakim pengawas. Daftar pembagian memuat rincian penerimaan dan pengeluaran termasuk didalamnya upah kurator, nama kreditur, jumlah yang dicocokkan dari tiap-tiap piutang, dan bagian yang wajib diterimakan kepada kreditur. Kreditur konkuren harus diberikan bagian yang ditentukan oleh hakim pengawas. Pembayaran kepada kreditur: Yang mempunyai hak yang diistimewakan, termasuk didalamnya yang hak istimewanya dibantah;dan 2. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak dapat dibayar menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UUK dan PKPU, dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka. Apabila hasil penjualan benda jaminan tidak mencukupi untuk membayar seluruh piutang kreditur yang didahulukan maka untuk kekurangannya mereka berkedudukan sebagai kreditur konkuren (Pasal 189 UUK dan PKPU). Ketentuan Pasal 189 UUK dan PKPU ini secara tegas mengatur tentang pembagian harta pailit, terutama terhadap keistimewaan kreditur pemegang hak 60 Sunarmi, Op.Cit, hlm. 179.

34 jaminan yang berbeda dengan kreditur konkuren. Bahkan, bila nilai benda jaminan yang telah dijual, hasilnya tidak cukup untuk membayar utang, maka kreditur yang dijamin ini akan memperoleh hak sebagai kreditur konkuren. Khusus untuk kreditur yang piutangnya diterima dengan bersyarat, maka besarnya jumlah bagian kreditur tersebut dalam daftar pembagian dihitung berdasarkan presentase dari seluruh jumlah piutang (Pasal 190 UUK dan PKPU). Semua biaya kepailitan dibebankan kepada setiap benda yang merupakan bagian harta pailit, kecuali benda tersebut telah dijual sendiri oleh kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya (Pasal 191 UUK dan PKPU). Pasal 21 ayat (3) UU KUP menyatakan bahwa, hak mendahului untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap: 1. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak; 2. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau 3. Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan". Berdasarkan ketentuan di atas maka kedudukan utang pajak merupakan sesuatu yang istimewa, yang mana sesuatu tersebut merupakan hak yang hanya

35 dimiliki oleh Negara. Dengan hak tersebut negara mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik wajib pajak/penanggung pajak. 61 Selanjutnya di dalam Pasal 21 Ayat (1) UU KUP disebutkan mengenai posisi negara terkait utang pajak, yaitu Menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi". 62 Posisi tersebut juga dipertegas didalam Pasal 21 Ayat (3a) UU KUP, yakni: "Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib pajak tersebut". Termasuk dalam hal ini penjelasan yang ada di dalam Pasal 19 ayat (6) UU PPSP yang menyatakan sebagai berikut: "Menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. 61 Irwan Ariwibowo, Kreditur Preferen Dalam Pajak, Apakah Sama Dalam Versi Kepailitan?, dalam kreditur-preferen-dalam-pajak,-apakah-sama-dalam-versi-kepailitan. Diunduh pada tanggal 12 Desember Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

36 Hasil penjualan barang-barang milik penanggung pajak terlebih dahulu untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas dan sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak". 63 D. Tanggung Jawab Kurator Pasal 1 angka 5 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan UU ini. Tugas kurator diatur pada Pasal 69 ayat (1) UUK dan PKPU yang menyebutkan bahwa Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Menurut Jerry Hoft, tujuan kepailitan adalah untuk membayar hak para kreditur yang seharusnya mereka peroleh sesuai dengan tingkat urutan tuntutan mereka. 64 Kurator wajib memastikan bahwa semua tindakan yang dilakukan adalah untuk kepentingan harta pailit. Banyak hambatan yang ditemui kurator, antara lain terkait dengan kepastian hukum terhadap profesi ini, yaitu belum adanya jaminan hukum yang jelas untuk melindungi tugas kurator yang terkadang dipersulit pelaksanaan tugasnya, diantaranya : Seorang kurator seringkali menghadapi permasalahan dalam proses pelaksanaan putusan pailit, dimana debitur pailit tersebut tidak tunduk pada putusan pengadilan, dan bahkan terus 63 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 64 Jerry Hoft, Hukum Kepailitan Di Indonesia (Indonesian Bankrupcty Law), Diterjemahkan oleh Kartini Muljadi, (Jakarta: Tata Nusa, 2000), hlm.66.

37 melakukan transaksi bila kurator datang, kurator tersebut bahkan diusir dan terhadap debitur ini tidak ada akibat atau sanksi apa-apa dari pengadilan. 65 Kurator mempunyai kewajiban untuk melakukan penetapan dan pengumuman mengenai daftar harta pailit, yang secara serta merta bertanggung jawab atas penetapan tersebut, karena kurator bertugas untuk menginventerisasi keseluruhan harta pailit beserta kepengurusan lainnya. Oleh karena itu apabila ada suatu keberatan terkait dengan penetapan tersebut, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan permohonan kepada hakim pengawas dengan menyerahkan surat keberatan terkait ketidaksetujuan terhadap daftar pembagian harta pailit yang telah dibuat oleh kurator, yang dalam hal ini akan bertindak sebagai pihak yang bertanggung jawab. 65 Imaran Nating, Op.Cit, hlm. 11.

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

II. Tinjauan Pustaka. 1. PKPU sebagai upaya untuk menghindari kepailitan. PKPU diatur dalam Bab II dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 298 UUK PKPU.

II. Tinjauan Pustaka. 1. PKPU sebagai upaya untuk menghindari kepailitan. PKPU diatur dalam Bab II dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 298 UUK PKPU. II. Tinjauan Pustaka A. Tinjauan Umum Terhadap Permohonan PKPU 1. PKPU sebagai upaya untuk menghindari kepailitan PKPU diatur dalam Bab II dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 298 UUK PKPU. Lembaga PKPU

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU 21 BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya berada dalam kesulitan sehingga

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya Lahirnya Undang-Undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Utang-piutang 1. Pengertian utang Pengertian utang pada dasarnya dapat diartikan secara luas maupun secara sempit. Pengertian utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 68-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 1999 PERBANKAN. LIKUIDASI. IZIN USAHA. PEMBUBARAN. LEMBAGA KEUANGAN. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

BAB II TUGAS DAN KEWENANGAN KURATOR DALAM KEPAILITAN

BAB II TUGAS DAN KEWENANGAN KURATOR DALAM KEPAILITAN BAB II TUGAS DAN KEWENANGAN KURATOR DALAM KEPAILITAN A. Pengertian dan Syarat Kurator Tidak semua orang dapat menjadi kurator.menurut Undang-Undang Kepailitan yang lama, kewajiban ini secara khusus dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT 3.1. Klasifikasi Pemegang Jaminan Fidusia Atas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Bilamana Debitor Pailit 3.1.1. Prosedur Pengajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN 27 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN A. Persyaratan Permohonan Pernyataan Pailit Dalam mengajukan permohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Apabila ditelusuri kembali mengenai sejarah kepailitan, diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Apabila ditelusuri kembali mengenai sejarah kepailitan, diketahui bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila ditelusuri kembali mengenai sejarah kepailitan, diketahui bahwa hukum kepailitan itu sudah ada sejak zaman Romawi tepatnya pada abad ke-19. Kata bankrut, yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

PERSYARATAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT

PERSYARATAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT PERSYARATAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Dalam UUK dan PKPU disebutkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bentuk Hukum Perusahaan Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang perekonomian secara terus menerus, bersifat tetap dan terang-terangan dengan tujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perbankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN Dhevi Nayasari Sastradinata *) *) Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan ABSTRAK Berlatar belakang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA 20 BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK Menimbang: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1003, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Penagihan. Bea Masuk. Cukai. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PMK 111/PMK.04/2013 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1998 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1998 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1998 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN MENJADI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI. - 2 - e. bahwa dalam rangka penagihan bea masuk dan/atau cukai perlu pengaturan khusus dengan berdasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

HUKUM DAGANG. Panji Susilo ( ) 03 HUKMD 417 KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

HUKUM DAGANG. Panji Susilo ( ) 03 HUKMD 417 KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG HUKUM DAGANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Panji Susilo (2012020338) 03 HUKMD 417 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAMULANG TANGERANG SELATAN 2013 Kata pengantar

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat 27 BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Kurator Dalam Proses Kepailitan Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau membayar utangnya kepada kreditor, maka telah disiapkan suatu pintu darurat untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Maia P U T U S A N Nomor 511 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus permohonan tentang Keberatan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 120 PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Surat Ketetapan Pajak (SKP) Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (SKP) hanya terbatas kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III HAK MENDAHULU DALAM PERPAJAKAN DAN ATURAN DALAM KEPAILITAN

BAB III HAK MENDAHULU DALAM PERPAJAKAN DAN ATURAN DALAM KEPAILITAN BAB III HAK MENDAHULU DALAM PERPAJAKAN DAN ATURAN DALAM KEPAILITAN A. Perkembangan Hak Mendahulu Hak mendahulu pada penagihan pajak dalam perkembangannya didasarkan pada suatu dasar pemikiran bahwa seorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN. 2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan. failite yang artinya kemacetan pembayaran.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN. 2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan. failite yang artinya kemacetan pembayaran. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN 2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan Menurut Peter Mahmud, kata Pailit berasal dari bahasa Perancis yaitu failite yang artinya kemacetan pembayaran.

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Ma

2017, No Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Ma No.1656, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 169/PMK.04/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan hidup financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang (orang perseorangan dan badan hukum) yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 51 BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 3.1 Kepailitan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci