BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polutan Mikro Di Dalam Air Minum Bahaya atau resiko kesehatan yang berhubungan dengan air minum secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni bahaya langsung dan bahaya tak langsung. Bahaya langsung terhadap kesehatan manusia atau masyarakat dapat terjadi akibat mengkonsumsi air yang tercemar atau air dengan kualitas yang buruk, baik secara langsung diminum atau melalui makanan, dan akibat penggunaan air yang tercemar untuk berbagai kegiatan sehari-hari untuk misalnya mencuci peralatan makan dll, atau akibat penggunaan air untuk rekreasi. Bahaya terhadap kesehatan masyarakat dapat juga diakibatkan oleh berbagai dampak kegiatan industri dan pertanian. Sedangkan bahaya tak langsung dapat terjadi misalnya akibat mengkonsumsi hasil perikanan dimana produk-produk tersebut dapat mengakumulasi zat-zat atau polutan berbahaya. Pencemaran air oleh virus, bakteri patogen, dan parasit lainnya, atau oleh zat kimia baik yang berupa senyawa organik maupun anorganik, dapat terjadi pada sumber air bakunya, ataupun terjadi pada saat pengaliran air olahan dari pusat pengolahan ke konsumen. Di beberapa negara yang sedang membangun, termasuk di Indonesia, sungai, danau, kolam (situ) dan kanal masih sering digunakan untuk berbagai kegunaan, misalnya untuk mandi, mencuci pakaian, untuk tempat pembuangan kotoran (tinja), sehingga badan air menjadi tercemar berat oleh virus, bakteri patogen serta parasit lainnya. Disamping hal tersebut di atas, resiko kesehatan juga dapat diakibatkan oleh polusi senyawa kimia yang tidak menimbulkan gejala yang segera (acute), tetapi dapat berpengaruh terhadap kesehatan akibat pemaparan yang terus menerus pada dosis rendah, serta seringkali tidak spesifik dan sulit untuk dideteksi. Pencemaran air minum adalah merupakan salah satu sumber resiko yang cukup dominan terhadap kesehatan masyarakat, khususnya jika mengkonsumsi air minum yang kurang memenuhi syarat kesehatan. Faktor resiko dari air minum tersebut meliputi infeksi penyakit, keracunan oleh 11

2 senyawa kimia baik akut maupun kronis serta resiko terhadap senyawa yang bersifai karsinogen atau penyebab kanker. Kontaminasi air minum yang dipasok untuk keperluan masyarakat umum dapat terjadi akibat pencemaran limbah industri, limbah domestik, limbah bahan berbahaya beracun, korosi dari perpipaannya, dan juga akibat hasil samping dari proses desinfeksi dengan senyawa khlor. Proses kontaminasinya dapat terjadi mulai dari sumber air baku, selama proses pengolahan ataupun pada pipa distribusinya. Sebagai contoh misalnya senyawa trihalomethan (THMs) atau senyawa khlorophenol yang dapat terjadi akibat hasil samping proses khlorinasi pada proses pengolahan air minum. Salah satu problem atau masalah yang sering dijumpai pada air minum di dunia akhir-akhir ini yakni timbulnya senyawa yang dinamakan Trihalomethanes atau disingkat THMs, sebagai akibat samping dari proses desinfeksi dengan gas khlor atau senyawa hipokhlorit. Trihalomethane adalah senyawa organik derivat methan (CH 4 ) yang mana tiga buah atom Hidrogen (H)-nya diganti oleh atom halogen yakni khlor (Cl), Brom (Br), Iodium (I). Beberapa senyawa trihalomethane yang umum dijumpai antara lain yakni khloroform (CHCl 3 ), dibromokhloromethan (CHBr 2 Cl), bromoform (CHBr 3 ). Jumlah total ke empat senyawa tersebut sering disebut total trihalomethan (TTHM). Selain ke empat senyawa tersebut di atas masih ada beberapa senyawa trihalomethan lainnya tetapi biasanya kurang stabil. Adanya senyawa Trihalomethanes dalam air minum diungkapkan pertama kali oleh J. Rook pada sekitar tahun 1972 (JICA:"Water Supply Engineering VOL.I ). Hasil penelitian Rook terhadap kualitas air minum di Roterdam menyatakan bahwa senyawa haloform dalam air minum dengan konsentrasi yang cukup tinggi ditemukan segera setelah proses khlorinasi. Pada tahun 1975 Rook mempresentasikan secara lebih lengkap hasil penelitiannya tentang beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya senyawa Trihalomethane dalam air minum. Rook menyatakan bahwa senyawa THMs terbentuk akibat reaksi antara khlorine dengan senyawa natural seperti humic substance yang ada dalam air baku. Setelah itu Environmental Protection Agency (EPA) mempresentasikan hasil penelitian yang dilakukan oleh National Organics Reconnaissance Survey (NORS) yang menyatakan bahwa THMs ditemukan hampir di seluruh air minum (finished water) dan hanya kadang-kadang saja ditemukan dalam air baku. 12

3 Pada tahun 1976, National Cancer Institute mengumumkan bahwa senyawa khloroform yang merupakan senyawa THMs yang paling umum, dengan dosis yang cukup tinggi dapat menyebabkan kanker terhadap tikus. Sekarang ini, hampir tidak ada keraguan lagi bahwa senyawa THMs khususnya khloroform adalah senyawa yang sangat potensial dapat menyebabkan kanker. Banyak para ahli yang berpendapat bahwa sumber air baku yang tercemar baik secara alami ataupun oleh buangan akibat aktivitas kegiatan manusia misalnya buangan rumah tangga maupun industri adalah penyebab terbentuknya senyawa THMs, baik secara langsung atau tidak langsung. Senyawa precursors trihalomethane adalah Senyawa-senyawa yang secara potensial dapat menyebabkan terjadinya THMs. Salah satu precursor THMs adalah senyawa humus (Humic and Fulvic Substances) yang secara alami terbentuk akibat proses pelapukan daun-daun yang gugur atau sisa tumbuh-tumbuhan yang telah mati oleh aktivitas mikroorganisme. Air limpasan hujan (Run Off) membawa senyawa humus dari daerah hutan atau pertanian, kemudian air limpasan tersebut masuk ke sungai pada bagian hulu, kemudian akan terbawa ke bagian hilir. Di samping itu, air limbah yang berasal dari buangan domestik maupun industri sebagian diolah di pusat pengolahan limbah dan sebagian lagi yang tidak terolah masuk ke badan sungai. Air limbah baik domestik maupun industri mengandung zat organik yang besar. Air sungai yang mengandung precursor THMs ini, kemudian diolah untuk dijadikan air minum masyarakat di daerah hilir. Kemudian Senyawa precursor THMs tersebut bereaksi dengan senyawa khlor yang digunakan untuk proses desinfeksi sehingga terbentuklah senyawa trihalomethanes dan senyawa halogen organik lainnya. Selain itu, dengan semakin besarnya kandungan ammonia dalam air baku maka ammonia akan berekasi dengan khlor membentuk senyawa khloramine yang mempunyai daya desinfeksi yang lebih rendah. Sebagai akibatnya konsumsi senyawa khlor yang digunakan akan bertambah besar, dan dengan semakin besarnya konsentrasi khlor yang digunakan maka kemungkinan akan terbentuknya THMs juga semakin besar. Salah satu hasil penelitian tentang terbentuknya senyawa halogen organik termasuk THMs dilaporkan oleh Lykins, Mose dan DeMacro (1990). Lykins dan kawan melakukan penelitian dengan menggunakan pilot plant di Jeferson Parish, Lousiana, dengan menggunakan air baku di hilir sungai Mississipi, dengan empat macam bahan desinfektan yakni khlorine, khlorine dioksida, ozone dan khloramine. Konsentrasi total rata-rata 13

4 halogen organik (TOX) dalam air olahan yakni sekitar 25 mg/l, 15 mg/l, 85 mg/l, 117 mg/l dan 263 mg/l, masing-masing untuk proses tanpa desinfeksi, desinfeksi dengan ozone, khlorine dioksida, khloramine dan khlorine. Dari hasil percobaan tersebut terlihat dengan jelas bahwa desinfeksi dengan khlorine mengakibatkan terbentuknya TOX dengan konsentrasi yang paling tinggi, sedangkan desinfeksi dengan ozone menghasilkan TOX dengan konsentrasi yang paling rendah. Di negara maju misalnya Amerika, Canada, Eropa dan Jepang, konsentrasi total THMs dalam air minum maksimum yang dibolehkan yakni 0,1 mg/l. Di Jepang misalnya, jika konsentrasi COD (permanganate number) dari air permukaan yang dipakai sebagai air baku lebih besar 12 mg/l atau warna lebih besar skala 20 atau lebih dibanding dengan air tanah, maka perusahaan air minum harus mulai melakukan pemantauan terhadap THMs dalam air minum. Untuk mencegah atau memperkecil resiko akibat senyawa polutan mikro di dalam air minum dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain memperbaiki kualitas air baku yang digunakan untuk air minum dan juga dengan memilih teknologi pengolahan air yang sesuai dengan kualitas air olahan yang diharapkan. Khusus untuk mencegah terbentuknya senyawa mikro polutan akibat proses desinfeksi dengan menggunakan senyawa khlorine misalnya mencegah terbentuknya senyawa THMs dalam air minum, prinsipnya yakni mencegah terjadinya reaksi antara senyawa precursor dengan senyawa desinfektan khususnya khlorine. Untuk menghindari hal tersebut, cara yang paling penting yakni mencegah pencemaran atau pengotoran terhadap air sungai atau air bakunya. Selanjutnya adalah dengan menghilangkan atau memperkecil konsentrasi precursor THMsnya dalam air, sebelum dilakukan proses desinfeksi (khlorinasi). Beberapa cara untuk menghindari atau mengurangi terbentuknya THMs dalam air minum yakni antara lain: Menghilangkan precursor THMs dengan menggunakan proses adsorpsi dengan karbon aktif; oksidasi dengan ozon atau oksidator lainnya sebelum dilakukan pembubuhan khlor. Menghilangkan senyawa THMs yang terbentuk dengan cara aerasi atau proses adsorpsi dengan karbon aktif. Menggunakan disinfektan lainnya misalnya ozon, hidrogen peroksida, khloramine atau khlordioksida. 14

5 Menghilangkan senyawa-senyawa yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan terbentuknya THMs, misalnya senyawa organik (BOD, COD), ammonia dll, dengan cara melakukan pengolahan awal (pretreatment) secara proses biologi (biological process). Dari beberapa alternatif tersebut di atas, salah satu cara yang perlu dikaji yakni pengolahan pendahuluan (pretreatment) dengan proses biologis. Proses ini sebenarnya sangat sederhana tetapi hasilnya cukup baik. 2.2 Senyawa Deterjen Dalam Air Pengertian Deterjen Istilah deterjen digunakan secara luas pada berbagai macam bahan pembersih yang digunakan untuk membersihkan kotoran pada pakaian, perabotan rumah tangga misalnya piring, cawan, panci atau untuk menghilangkan kotoran pada benda-benda lainnya. Bahan dasar deterjen adalah senyawa organik yang mempunyai sifat zat aktif permukaan (surface active) di dalam larutan, yang secara umum disebut surface active agent atau surfactant. Semua zat aktif permukaan atau surfaktan mempunyai molekul berpolar yang agak besar. Salah satu ujung molekul senyawa deterjen terdiri dari gugus molekul yang mempunyai sifat mudah larut dalam air yang disebut gugus hidrophilic, sedangkan pada ujung yang lain terdiri dari gugus molekul yang mudah larut dalam minyak, yang disebut gugus hidrophobic. Konfigurasi dasar zat aktif permukaan dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 : Konfigurasi dasar senyawa surfaktan atau deterjen 15

6 Gugus hidrophobic yang banyak digunakan pada senyawa deterjen sangat bervariasi tergantung pada jenis senyawa zat aktif permukaannya atau surfactannya, tetapi yang paling banyak digunakan adalah radikal hidrokarbon [R] yang mengandung buah atom karbon. Secara komersial gugus radikal hidrokarbon yang sering digunakan antara lain asam lemak (fatty acid), paraffin, olefin, alkylbenzene, alkohol, alkylphenol dll. Gugus hidrophilic yakni gugus yang mudah larut dalam air, yang banyak digunakan pada senyawa deterjen sekarang ini ada dua macam yakni gugus yang terionisasi di dalam air dan gugus yang tak terionisasi. Gugus hidrophilic yang terionisasi dibagi menjadi dua kategori yakni gugus yang terionisai menjadi ion negatip (anion), misalnya (RSO 3 )Na, dan gugus yang terionisasi menjadi ion positip (kation), misalnya (RMe 3 N)Cl. Untuk senyawa surfaktan yang tidak terionisasi biasanya mengandung gugus hidrophilic polyoxyethylene (RCH 2 CH 2 OCH 2 CH 2..OCH 2 CH 2 OH) yang seringkali disingkat RE n, dimana n adalah rata-rata jumlah unit -OCH 2 CH 2 - di dalam gugus hidrophobic. Beberapa gugus hidrophilic yang sering digunakan pada senyawa surfaktan antara lain : Sulfonate : -SO 3 - Sulfate : -OSO 3 - Carboxylate : -CO 2 - Quarternary Ammonium : -R 3 N + Polyoxyethylene (REn) : -O-CH 2 -CH 2 -O-CH 2 -CH CH 2 -CH 2 -OH Sucrose : -O-C 6 H 7 O(OH) 3 -O-C 6 H 7 O(OH) 4 Polypeptide : -NH-CHR-CO-NH-CHR'-CO-... -NH-CHR"-CO 2 H. Empat pertama adalah grup hidrophilic ionik dan tiga terakhir adalah grup hidrophilic nonionik. Zat aktif permukaan dengan grup karboxil, sulfat dan sulfonat digunakan sebagai garam sodium atau potasium. Grup hydrophobic, grup hydrophilic dan jenis ikatan yang mengikatnya dapat dirubah-rubah serta dapat dikombinasikan sehingga dapat menghasilkan berbagai jenis zat aktif permukaan yang tidak terbatas jumlahnya. Namun demikian umumnya ada empat jenis zat aktif 16

7 permukaan yang utama yaitu : anionik, kationik, nonionik dan campuran atau tipe double ionik. Zat aktif permukaan anionik adalah zat yang menghasilkan ion muatan negatif dalam larutan, umumnya grup sulfonat, sulfat atau karboksilat. Secara komersial zat ini sangat penting dan banyak digunakan sebagai zat aktif permukaan pada saat ini. Zat aktif permukaan kationik adalah zat yang menghasilkan ion muatan positif dalam larutan, sebagai contoh turunan amonium quartenary. Zat ini menarik perhatian pada industri deterjen karena sifat baktericidal atau germicidal yang dimilikinya. Sehingga zat ini digunakan sebagai zat cuci hama untuk pencuci alat rumah tangga, manakala tidak tersedia air panas atau pada saat air Zat aktif permukaan anionik adalah zat yang menghasilkan ion muatan negatif dalam larutan, umumnya grup sulfonat, sulfat atau karboksilat. Secara komersial zat ini sangat penting dan banyak digunakan sebagai zat aktif permukaan pada saat ini. Zat aktif permukaan kationik adalah zat yang menghasilkan ion muatan positif dalam larutan, sebagai contoh turunan amonium quartenary. Zat ini menarik perhatian pada industri deterjen karena sifat baktericidal atau germicidal yang dimilikinya. Sehingga zat ini digunakan sebagai zat cuci hama untuk pencuci alat rumah tangga, manakala tidak tersedia air panas atau pada saat air panas tidak dikehendaki. Zat ini sebagai deterjen kurang disukai karena harganya. Zat aktif permukaan nonionik mengandung grup hydrophilic yang tidak terionisasi dalam larutan. Salah satu yang paling komersil adalah yang mengandung grup polyether hydrophobe yang merupakan turunan dari ethylene oxide. Ionik ganda atau zat aktif permukaan campuran adalah zat aktif permukaan yang tidak termasuk dalam tiga katagori utama anionik, kationik atau nonionik ataupun termasuk dalam jenis lebih dari satu sifat katagori tersebut. Zat ini di disain dengan variasi yang mempunyai sifat khusus dan digunakan untuk keperluan khusus, diproduksi dalam jumlah relatif kecil. Konfigurasi dari masing-masing tipe deterjen secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.2. Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) adalah salah satu deterjen anionik, diturunkan dari polimer dan propylene dan grup alkyl, rata-rata mempunyai 12 atom karbon. Struktur molekulnya dapat dilihat pada Gambar 2.3. Tertiary Alkyl Benzene biasa disebut ABS, tahan terhadap gangguan biologi, yang disebabkan struktur rantai cabang dari gugus alkil dan 17

8 dikarenakan juga cincin benzene yang melekat pada atom karbon tertiary dari gugus rantai cabang. ABS biasa disebut deterjen keras, karena tahan terhadap proses biologi, oleh karena itu zat ini tahan terhadap pengolahan air secara biologis sehingga dapat mengakibatkan kontaminasi baik air permukaan maupun air tanah. Anaionic Surfactant (Alkyl Sulfate Ester Natrium) (A) Cationic Surfactant (Alkyl Methyl Ammonium Chloride) (B) Non Ionic Surfactant (Polyoxyethylene Alkyl Ether) (C) Double Ionic Surfactant (Alkyl Dimethyl Ammonium Betaine (D) Figure 2.2 : Configuration of Main Type's Ionic and Nonionic Surfactants. Adapted from Karigome,

9 R1 O R2 C S O Na R3 O Tertiary Alkyl Benzene Sulfonate O CH 2 - (CH 2 )n S O Na O Primarily Alkyl Benzene Sulfonate (LAS) R O H C S O Na R1 O Secondary Alkyl Benzene Sulfonate Gambar 2.3 : Struktur Meolekul Molecule Structure of ABS. Pada saat ini ABS banyak dibuat dari normal (rantai lurus) parafin, sehingga rantai alkane tidak bercabang dan rantai benzene melekat pada atom karbon secondary dan selanjutnya zat ini dinamakan LAS (Linear Alkyl Sulfonate). Disebut juga deterjen lunak karena zat ini mudah didegradasi dengan cara pengolahan air secara biologis. Linear Alkyl Sulfonate (LAS) banyak dikonsumsi sebagai zat aktif permukaan karena sifat pembersihnya yang istimewa, harganya murah dan mudah didegradasi oleh mikroorganisme Dampak Senyawa Deterjen Deterjen atau surfaktan adalah senyawa yang molekulnya mempunyai struktur gugus tertentu yang menyebabkan senyawa tersebut mempunyai sifat-sifat deterjen misalnya sifat dapat menimbulkan busa 19

10 (Sawyer & Mc.Carty, 1967). Deterjen mempunyai kemampuan untuk menghilangkan kotoran pada pakaian, sehingga banyak digunakan sebagai bahan pembersih. Untuk mengaktifkan sifat pembersihnya itu, deterjen dilengkapi zat kimia yang mampu mengurangi tegangan permukaan air, sehingga dapat menimbulkan busa. Permasalahan yang timbul kemudian adalah karena zat pengaktif tersebut yang disebut sebagai surfactant agents misalnya ABS (Alkyl Benzene Sulfonate), sulit diuraikan secara biologis (non-biodegradable). ABS ini ternyata masih banyak digunakan sebagai bahan baku deterjen di Indonesia dan membawa dampak dari pemakaiannya. Menurut Ainsworth (1996) dampak tersebut antara lain: 1. Terbentuknya film/lapisan pada permukaan badan air yang akan menghalangi transfer oksigen dari udara ke dalam air. 2. Bila konsentrasi deterjen melebihi konsentrasi 3 ppm akan menyebabkan terbentuknya busa yang stabil. 3. Kombinasi antara polyphosphate dengan surfactant akan dapat mempertinggi kandungan nutrien dalam air sehingga menyebabkan proses eutrofikasi, yang akan mempercepat laju pertumbuhan gulma air, seperti enceng gondok. 4. Penelitian yang telah dilakukan oleh seorang ahli embriologi Unair, memperlihatkan potensi toksisitas deterjen terhadap janin mencit (Mus musculus, tikus besar) bahwa tikus yang mengkonsumsi air yang mengandung deterjen akan melahirkan janin-janin dalam kondisi cacat dan mati, sementara tikus yang mengkonsumsi air tanpa deterjen dapat melahirkan janin normal. Pada permukaan air, mikroorganisme diharapkan berperan untuk menguraikan deterjen secara biologis. Namun, perilaku mikroorganisme dalam penurunan deterjen di perairan tergantung dari struktur kimia penyusun deterjen. Umumnya materi penyusun yang berasal dari sabun dan alkohol sulfat mudah diurai bakteri, sedangkan sebagian unsur lain perlu dihidrolisa dahulu oleh air sebelum diuraikan bakteri, misalnya: synthetic detergent dengan gugus ester atau amide. ABS yang berasal dari propylene yang resisten terhadap serangan bakteri sehingga potensial dapat mencemari permukaan air. Konsentrasi pada air permukaan berkisar pada 0,05 0,6 mg/l (Ainsworth, 1996). Deterjen hingga kini merupakan sumber utama phosphor karbonat dalam air limbah dan badan air yang menerimanya. Polyphosphate digunakan sebagai agen pembentuk senyawa kompleks sedangkan 20

11 karbonat digunakan untuk menghilangkan Ca 2+ melalui proses presipitasi. Karakteristik deterjen yang dibuat oleh pembentuk PO 4 3+ dan CO 3 2- dapat dilihat pada Tabel 2.1. Oleh karena itu peraturan yang ketat tentang kandungan phosphat dalam deterjen akan mengurangi deterjen pada badan air dalam jumlah yang besar. Hal ini pernah dilakukan di negara bagian Virginia, Amerika Serikat, yang mencekal penggunaan deterjen yang mengandung phosphate secara menyeluruh sehingga mampu mengurangi kontribusi pencemaran phosphat sampai seperlima dari sebelumnya (Hoffman & Bishop, 1994). Tabel 2.1 Komposisi Deterjen yang Terbentuk oleh PO 4 3+ dan CO 3 2- Komponen Surfactants Linier alkylbenzene sulfonate (LAS) Tallow alcohol sulfats Ethyloctyl sulfosuccinates Sodium sulfosuccinates Builders Sodium tripolyphosphate Sodium carbonates Corrosion inhibitors Sodium silicates (SiO 2 : Na 2 O 2 ) Suspending agents Carboxylmethylcellulose Whitening (fluorescent) agents Optical brightners Coloring matter and fragrance Perfume Dye Fillers Sodium sulfates Water Polyethylene glycol Prosentase berat dalam deterjen PO ,0 5,5 5, (1,6) 0,30 0,13 0,15 0, ,0 0,90 CO ,0 2, (2,4) - 0,17 0,20 0, ,0 0,90 Sumber: Alhajjar, Harkin and Chesters (1989) 21

12 2.2.3 Biodegradasi Deterjen Biodegradasi dapat di definisikan sebagai penghancuran senyawa kimia oleh aksi biologis dari organisme hidup. Mikroorganisme berperan penting dalam siklus biokimia, terutama siklus karbon. Mereka mendegradasi senyawa asli dan anthropogenic kemudian melepaskan CO 2, CO atau CH 4. Diperkirakan mikroorganisme dapat mendegradasi semua senyawa organik alam walaupun beberapa senyawa sangat tahan terhadap biodegradasi dan telah terbentuk sebagai hasil dari kondisi yang tidak sesuai untuk biodegradasi. Proses secara keseluruhan adalah oksidasi, dan sebagian besar zat organik di alam ini terurai menjadi komponen yang lebih sederhana dan kemudian kembali dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup. Oleh karena itu yang menjadi perhatian utama pada proses degradasi adalah oksidasi zat aktif permukaan oleh bakteri. Sejauh ini organisme yang paling penting adalah bakteri, karena dapat menggunakan zat organik sebagai makanannya dan dapat mendegradasi berbagai jenis senyawa organik. Zat aktif permukaan adalah zat yang molekulnya mempunyai elemen struktur tertentu yang menentukan sifat aktif permukaannya, sehingga dalam studi biodegradasi zat aktif permukaan terdapat tiga jenis definisi biodegradasi yaitu : (1) primary biodegradation, (2) environmentally acceptable biodegradation dan (3) ultimate biodegradation (Karigome,1987; Fisher,1970). Primary biodegradation didefinisikan apabila molekul yang telah teroksidasi, atau dirubah oleh bakteri dapat berubah karakteristiknya sehingga tidak lagi memberikan respon terhadap prosedur analitik dalam mendeteksi keaslian zat aktif permukaan sebelumnya. Environmentally acceptable biodegradation didefinisikan apabila zat tersebut telah didegradasi secara biologis sehingga lingkungan dapat menerimanya atau tidak memperlihatkan sifat-sifat yang tidak dikehendaki (merusak lingkungan) seperti berbusa, beracun, merusak keindahan pemandangan dan seterusnya. Dalam beberapa kasus definisi (1) dan (2) adalah sama. The ultimate biodegradation didefinisikan sebagai konversi total dari molekul zat aktif permukaan menjadi karbon dioksida, air, garam inorganik dan produk yang berhubungan dengan proses metabolisme normal dari bakteri. 22

13 Studi saat ini hanya terbatas pada primary biodegradation terutama yang tidak memberikan respon terhadap methylene blue atau metoda analitik MBAS 2.3 Mekanisme Penguraian Senyawa Polutan Pada Proses Biofiltrasi Di dalam reaktor biofilter, mikroorganisme tumbuh melapisi keseluruhan permukaan media. Pada saat operasi, air yang mengandung senyawa polutan mengalir melalui celah media dan kontak langsung dengan lapisan massa mikroba (biofilm). Biofilm yang terbentuk pada lapisan atas media dinamakan zoogleal film, yang terdiri dari bakteri, fungi, alga, protozoa (Eighmy,1983 di dalam Bitton 1994). Metcalf dan Edy mengatakan bahwa sel bakterilah yang paling berperan dan banyak dipakai secara luas di dalam proses pengolahan air buangan, sehingga struktur sel mikroorganisme lainnya dapat dianggap sama dengan bakteri. Proses yang terjadi pada pembentukan biofilm pada air limbah sama dengan yang terjadi di lingkungan alami. Mikroorganisme yang ada pada biofilm akan mendegradasi senyawa organik yang ada di dalam air. Lapisan biofilm yang semakin tebal akan mengakibatkan berkurangnya difusi oksigen ke lapisan biofilm yang dibawahnya, hal ini mengakibatkan terciptanya lingkungan anaerob pada lapisan biofilm bagian atas (Metcalf and Eddy, 1991). Mekanisme yang terjadi pada reaktor melekat diam terendam adalah (Lim dan Grady, 1980) : Transportasi dan adsopsi zat organik dan nutrien dari fasa liquid ke fasa biofilm Transportasi mikroorganisme dari fasa liquid ke fasa biofilm Adsorpsi mikroorganisme yang terjadi dalam lapisan biofilm Reaksi metabolisme mikroorganisme yang terjadi dalam lapisan biofilm, memungkinkan terjadinya mekanisme pertumbuhan, pemeliharaan, kematian dan lysis sel. Attachment dari sel, yaitu pada saat lapisan biofilm mulai terbentuk dan terakumulasi secara kontinu dan gradual pada lapisan biofilm. Mekanisme pelepasan (detachment biofilm) dan produk lainnya (by product). Pertumbuhan mikrooorganisme akan terus berlangsung pada lapisan biofilm yang sudah terbentuk sehingga ketebalan biofilm bertambah. Difusi makanan dan O 2 akan berlangsung sampai ketebalan 23

14 maksimum. Pada kondisi ini, makanan dan O 2 tidak mampu lagi mencapai permukaan padat atau bagian terjauh dari fase cair. Hal ini menyebabkan lapisan biomassa akan terbagi menjadi dua bagian, yaitu lapisan aerob dan lapisan anaerob. Jika lapisan biofilm bertambah tebal maka daya lekat mikroorganisme terhadap media penyangga tidak akan kuat menahan gaya berat lapisan biofilm dan akan terjadi pengelupasan lapisan biomassa. Koloni mikroorganisme yang baru sebagai proses pembentukan lapisan biofilm akan terbentuk pada bagian yang terkelupas ini. Pengelupasan dapat juga terjadi karena pengikisan berlebihan cairan yang mengalir melalui biofilm. Mekanisme proses yang terjadi pada sistem biofilter secara sederhana dapat ditunjukkan seperti pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 : Mekanisme Proses Metabolisme Di Dalam Sistem Biofilm. Disesuaikan dari Viessman and Hamer, (1985), Hikami, (1992) Gambar 2.4 tersebut menunjukkan suatu sistem biofilm yang terdiri dari medium penyangga, lapisan biofilm yang melekat pada medium, lapisan alir limbah dan lapisan udara yang terletak diluar. Senyawa polutan yang ada di dalam air limbah misalnya senyawa organik (BOD, COD), amoniak, phospor dan lainnya akan terdifusi ke dalam lapisan atau film 24

15 biologis yang melekat pada permukaan medium. Pada saat yang bersamaan dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air limbah senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam lapisan biofilm dan energi yang dihasilkan akan diubah menjadi biomasa. Suplai oksigen pada lapisan biofilm dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya dengan cara kontak dengan udara luar dengan aliran balik udara, atau dengan menggunakan blower udara atau pompa sirkulasi. Jika lapiasan mikrobiologis cukup tebal, maka pada bagian luar lapisan mikrobiologis akan berada dalam kondisi aerobik sedangkan pada bagian dalam biofilm yang melekat pada medium akan berada dalam kondisi anaerobik. Pada kondisi anaerobik akan terbentuk gas H 2 S, dan jika konsentrasi oksigen terlarut cukup besar maka gas H 2 S yang terbentuk tersebut akan diubah menjadi sulfat (SO 4 ) oleh bakteri sulfat yang ada di dalam biofilm. Selain itu pada zona aerobik nitrogen amoniak akan diubah menjadi nitrit dan nitrat dan selanjutnya pada zona anaerobik nitrat yang terbentuk mengalami proses denitrifikasi menjadi gas nitrogen. Oleh karena di dalam sistem biofilm terjadi kondisi anaerobik dan aerobik pada saat yang bersamaan maka dengan sistem tersebut proses penghilangan senyawa nitrogen menjadi lebih mudah. Pada proses aerobik efisiensi akan menurun dengan bertambahnya ketebalan lapisan biofilm dan semakin tebalnya lapisan anaerob. Walaupun lapisan biomassa mempunyai ketebalan beberapa milimeter tetapi hanya lapisan luar setebal 0,05 15 mm yang merupakan lapisan aerob. Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menegaskan bahwa penghilangan substrat oleh lapisan mikroba akan bertambah secara linier dengan bertambahnya ketebalan film sampai dengan ketebalan maksimum, dan penghilangan tetap konstan dengan bertambahnya ketebalan lebih lanjut (Winkler,1981). Ketebalan lapisan aerob diperkirakan antara 0,06 2 mm, sedangkan ketebalan kritis berkisar antara 0,07 0,15 mm yang tergantung pada konsentrasi substrat (Winkler, 1981). Fenomena modeling biofilm umumnya diasumsikan sebagai biofilm homogen dengan ketebalan dan kerapatan masa mikroorganisme yang homogen dan konstan. Hal ini di dalam kenyataannya tidak selalu demikian (Christensen,1988). Umumnya observasi dimana waktu dikaitkan dengan penambahan luas permukaan biofilm dan di beberapa kasus meskipun bentuk media dikembangkan. Sampai saat sedikit sekali 25

16 informasi tentang faktor yang dapat mempengaruhi bentuk biofilm seperti kerapatan dari biomasa. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ketebalan biofilm antara lain adalah: Pertumbuhan dari biomasa yang aktif akibat dari aliran substrat. Kerusakan biomasa aktif. Akumulasi material organik inert akibat dari bakteri yang aktif yang mati. Akumulasi polimer dari metabolisme substrat. Polimer dapat dipecah atau didegradasi dengan sangat lambat. Penumpukan atau flokulasi dari partikel yang tersuspensi ke dalam biofilm. Erosi permukaan biofilm dari partikel-partikel kecil. Pelepasan bagian-bagian besar dari biofilm akibat beban hidrolik yang terlalu besar. Sampai saat ini kemampuan untuk memperkirakan ketebalan biofilm adalah masih sangat terbatas. Sebagai konsekuensinya kontrol ketebalan dalam reaktor biofilm masih berdasarkan pada penelitian murni secara empiris (Arvin and Harremoes, 1990). 2.4 Proses Biologis Untuk Menghilangkan Senyawa Organik Dan Amoniak Penghilangan Zat Organik Pengolahan air secara biologis merupakan suatu proses penguraian bahan-bahan pencemar, baik yang terlarut maupun yang tidak terlarut menjadi bentuk yang lain berupa gas atau padatan (N.J. Horran, 1990). Hasil dari transformasi tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pada saat proses berlangsung yaitu kondisi aerobik dan anaerobik (Roswell, 1983). Proses pengolahan biologis secara aerobik merupakan suatu proses yang membutuhkan oksigen untuk menunjang berlangsungnya proses metabolisme biokimia oleh bakteri dalam penguraian bahan-bahan organik menjadi bentuk yang lebih sederhana yaitu CO 2, H 2 O, senyawa-senyawa oksida seperti nitrat, sulfat, phosphat dan terbentuknya massa sel yang baru. 26

17 Pada pengolahan secara biologis, pertumbuhan mikroorganisme dapat dilakukan secara melekat pada permukaan media penyangga (attached growth), yakni suatu proses pengolahan dimana senyawasenyawa organik atau senyawa-senyawa lainnya yang terdapat dalam air diuraikan oleh mikroorganisme yang melekat pada permukaan media penyangga menjadi senyawa yang lebih sederhana serta membentuk biomasa atau sel-sel baru. Kondisi lingkungan biokimia yang sangat mempengaruhi berlangsungnya proses transformasi adalah kondisi lingkungan aerob dan kondisi lingkungan anaerob. Jika lingkungan tersebut mengandung cukup oksigen terlarut maka dinamakan lingkungan aerob. Pada kondisi lingkungan anaerob kadar oksigen terlarut tidak ada. Selain kedua lingkungan tersebut ada lingkungan yang dinamakan lingkungan anoksik, yaitu bila kadar oksigen terlarut dalam konsentrasi yang rendah. Zat Organik dapat disisihkan secara biologi yang tergantung dari jumlah oksigen terlarut, jenis mikroorganisme dan jumlah zat pengurai. Adanya O 2 menyebabkan proses oksidasi aerob dapat berlangsung, bahan bahan organik akan diubah menjadi produk produk akhir yang relatif stabil dan sisanya akan disintesis menjadi mikroba baru. Secara umum dapat dilihat pada persamaan di bawah ini : Mikroba Senyawa OrganiK + O 2 CO 2 + H 2 O + Sel sel baru + Energi (1) Mikroorganisme mengalami proses metabolisme yang terdiri dari proses katabolisme dan anabolisme. Proses anabolisme memerlukan energi (reaksi endergonik) dan terjadi pada proses sintesa mikroorganisme, sedangkan proses katabolisme yang terjadi pada proses oksidasi dan respirasi merupakan reaksi eksergonik karena melepaskan energi (Reynolds,1985). Proses transformasi substrat berlangsung dalam suatu kelompok protein yang berperan sangat penting dalam proses biologis, yaitu enzim yang bersifat katalis. Proses metabolisme pada mikroorganisme menurut Metcalf dan Eddy (1991) dapat dilihat dibawah ini: Oksidasi COHNS + O 2 + bakteri (Materi organik) CO 2 + NH 3 + produk + energi akhir 27 (2)

18 Sintesa COHNS + O 2 + bakteri + energi C 5 H 7 NO 2 (Materi Organik) (Sel Bakteri Baru) (3) Respirasi C 5 H 7 NO O 2 5 CO 2 + NH 3 + 2H 2 O + energi (4) Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi reaksi penghilangan substrat organik di dalam air secara biologis antara lain yakni : Beban Organik (Organic Loading) Beban organik didefinisikan sebagai jumlah senyawa organik di dalam air limbah yang dihilangkan atau didegradasi di dalam biofilter per unit volume per hari. Beban organik yang sangat tinggi dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme, dan pada konsentrasi tertentu dapat mengakibatkan kematian mikroorganisme. Beban Hidrolis (Hydraulic Loading) Beban hidrolis dinyatakan sebagai volume air buangan yang dapat diolah per-satuan waktu per-satuan luas permukaan media. Beban hidrolis yang tinggi dapat menyebabkan pengelupasan lapisan biofilm yang menempel pada media, sehingga efisiensi pengolahan menjadi turun. Temperatur Jenis mikroorganisme yang sesuai dengan kondisi temperatur akan menjadi dominan dalam sistem. Temperatur dalam pengolahan air buangan secara aerob bukan merupakan faktor yang dikondisikan karena temperatur sangat dipengaruhi oleh iklim yang ada. Keasaman Air (ph) Setiap jenis bakteri membutuhkan ph tertentu untuk dapat tumbuh dengan baik. Pada umumnya semua bakteri mempunyai kondisi pertumbuhan antara 4 9,5 dengan ph optimum 6,5 7,5. Secara 28

19 keseluruhan Reynold (1982) menyatakan bahwa mikroorganisme perlu ph 6,5 9. Bakteri akan tumbuh dengan baik pada kondisi sedikit basa yaitu berkisar antara 7 8 (Flathman,1994). Kebutuhan Oksigen (DO) Flathman (1994) menyatakan bahwa oksigen terlarut dalam reaktor melekat diam terendam harus dijaga antara 2 4 mg/l. Oksigen berperan dalam proses oksidasi, sintesa dan respirasi dari sel. Logam berat Logam-logam berat seperti Hg, Ag, Cu, Au, Zn, Li dan Pb walaupun dalam konsetrasi yang rendah akan bersifat racun terhadap mikroorganisme. Daya bunuh logam berat pada kadar rendah ini disebut daya oligodinamik Penghilangan Amoniak Di dalam proses biofiltrasi, senyawa amoniak akan diubah menjadi nitrit, kemudian senyawa nitrit akan diubah menjadi nitrat. Mekanisme proses penguraian senyawa amoniak yang terjadi pada lapisan biofilm secara sederhana dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 2.5. Gambar 2.5 : Ilustrasi Dari Mekanisme Proses Penguraian Amoniak Di Dalam Biofilm. 29

20 Lapisan terluar media penyangga adalah lapisan tipis zona aerobik, senyawa amoniak dioksidasi dan diubah ke dalam bentuk nitrit. Sebagian senyawa nitrit ada yang diubah menjadi gas dinitrogen oksida (N 2 O) dan ada yang diubah menjadi nitrat. Proses yang terjadi tersebut dinamakan proses nitrifikasi. Semakin lama, lapisan biofilm yang tumbuh pada media penyangga tersebut semakin tebal sehingga menyebabkan oksigen tidak dapat masuk ke dalam lapisan biofilm yang mengakibatkan terbentuknya zona anaerobik. Pada zona anaerobik ini, senyawa nitrat yang terbentuk diubah ke dalam bentuk nitrit yang kemudian dilepaskan menjadi gas nitrogen (N 2 ). Proses demikian tersebut dinamakan proses denitrifikasi. Proses nitrifikasi menurut Gardy & Lim (1980) didefinisikan sebagai konversi nitrogen ammonium (NH 4 -N) menjadi nitrit (NO 2 -N) yang kemudian menjadi nitrat (NO 3 -N) yang dilakukan oleh bakteri autotropik dan heterotropik. Proses nitrifikasi ini dapat dilihat dalam dua tahap yaitu : Tahap nitritasi, merupakan tahap oksidasi ion ammonium (NH 4 + ) menjadi ion nitrit (NO 2 - ) yang dilaksanakan oleh bakteri nitrosomonas menurut reaksi berikut : NH ½O 2 + OH - NO H + + 2H 2 O + 59,4 Kcal Nitrosomonas (5) Reaksi ini memerlukan 3,43 gr O 2 untuk mengoksidasi 1 gr nitrogen menjadi nitrit. Tahap nitrasi, merupakan tahap oksidasi ion nitrit menjadi ion nitrat (NO 3 - ) yang dilaksanakan oleh bakteri nitrobacter menurut reaksi berikut : NO /2O 2 NO Kcal Nitrobacter (6) Reaksi ini memerlukan 1,14 gr O 2 untuk mengoksidasi 1 gr nitrogen menjadi nitrat. Secara keseluruhan proses nitrifikasi dapat dilihat dari persamaan berikut : NH O 2 NO H + + H 2 O (7) Kedua reaksi di atas disebut dengan reaksi eksotermik (reaksi yang menghasilkan energi). Jika kedua jenis bakteri tersebut ada, baik di tanah 30

21 maupun di perairan, maka konsentrasi nitrit akan menjadi berkurang karena nitrit dibentuk oleh bakteri nitrosomonas yang akan dioksidasi oleh bakteri nitrobacter menjadi nitrat. Kedua bakteri ini dikenal sebagai bakteri autotropik yaitu bakteri yang dapat mensuplai karbon dan nitrogen dari bahan-bahan anorganik dengan sendirinya. Bakteri ini menggunakan energi dari proses nitrifikasi untuk membentuk sel sintesa yang baru. Sedangkan bakteri heterotropik merupakan bakteri yang membutuhkan bahan-bahan organik untuk membangun protoplasma. Walaupun bakteri nitrifikasi autotropik keberadaannya di alam lebih banyak, proses nitrifikasi dapat juga dilakukan oleh bakteri jenis heterotropik (Arthobacter) dan jamur (Aspergillus) (Verstraete and Alexander, 1972). Disamping itu dengan oksigen yang ada, maka senyawa NH 4 -N yang ada diperairan akan dioksidasi menjadi nitrat. Tetapi mengingat kebutuhan O 2 yang cukup besar, maka akan terjadi penurunan oksigen di dalam perairan tersebut sehingga akan terjadi kondisi septik. Pada proses pengolahan senyawa NH 4 -N secara biologis kebutuhan O 2 cukup besar, sehingga kebutuhan O 2 yang tinggi dapat dipenuhi dengan cara memperbesar transfer O 2 ke dalam instalasi pengolahan. Pada reaktor lekat ini, transfer O 2 yang besar dapat diperoleh dengan cara menginjeksikan udara ke dalam reaktor. Dengan adanya injeksi udara diharapkan kontak antara gelembung udara dan air yang akan diolah dapat terjadi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses nitrifikasi dalam pengolahan air adalah : Konsentrasi Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Proses nitrifikasi merupakan proses aerob, maka keberadaan oksigen sangat penting dalam proses ini. Benefield & Randal (1980) mengatakan bahwa proses nitrifikasi akan berjalan dengan baik jika DO minimum 1 mg/l. Bitton (1994) mengatakan agar proses nitrifikasi dapat berjalan dengan baik maka konsentrasi oksigen terlarut di dalam air tidak boleh kurang dari 2 mg/l. Temperatur Kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi dipengaruhi oleh temperatur antara 8 30 C, sedangkan temperatur optimumnya sekitar 30 C (Hitdlebaugh and Miler, 1981). 31

22 ph Pada proses biologi, nitrifikasi dipengaruhi oleh ph. ph optimum untuk bakteri nitrosomonas dan nitrobacter antara 7,5 8,5 (U.S. EPA, 1975). Proses ini akan terhenti pada ph dibawah 6,0 (Painter, 1970; Painter and Loveless, 1983). Alkalinitas air akan berkurang sebagai akibat oksidasi amoniak oleh bakteri nitrifikasi. Secara teori alkalinitas akan berkurang 7,14 mg/l sebagai CaCO 3 setiap 1 mg/l NH 4 + (amoniak) yang diokasidasi (U.S. EPA, 1975). Oleh karena itu untuk proses nitrifikasi alkalinitas air harus cukup untuk menyeimbangkan keasaman yang dihasilkan oleh proses nitrifikasi. Rasio Organik dan Total Nitrogen (BOD/T-N) Fraksi bakteria nitrifikasi di dalam biofilm akan berkurang sebanding dengan meningkatnya rasio organik terhadap total nitrogen di dalam air (BOD/T-N) Di dalam proses gabungan oksidasi karbon dan nitrifikasi, proses nitrifikasi akan berjalan dengan baik dengan rasio BOD/T-N lebih besar (Metcalf and Addy, 1991). Senyawa Inhibitor Yang Bersifat Racun Beberapa senyawa di dalam air yang bersifat racun sangat sensitif terhadap proses nitrifikasi. Beberapa senyawa racun yang dapat menghambat proses nitrifikasi antara lain: cianida, thiourea, phenol, aniline dan logam berat seperti perak (Ag), merkuri (Hg), Nikel (Ni), Krom (Cr), Tembaga (Cu) dan Seng (Zn). Konsentrasi Logam berat di dalam air tidak boleh melebihi 5 mg/l (Bitton, 1994). Senyawa organik tidak secara langsung dapat menghambat proses nitrifikasi, tetapi secara tidak langsung dapat menyebabkan berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut di dalam air oleh mikroorganisme heterotroph sehingga dapat menghambat proses nitrifikasi. 2.5 Reaktor Biologis Dengan Tumpukan Media Isian Tetap (Fixed Bed Biofilter) Struktur reaktor biofilter menyerupai saringan (filter) yang terdiri atas susunan atau tumpukan bahan penyangga yang disebut dengan media penyangga yang disusun baik secara teratur maupun acak di dalam suatu 32

23 bejana. Fungsi media penyangga adalah sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme yang akan melapisi permukaan media membentuk lapisan massa yang tipis (biofilm). Mikroorganisme ini menguraikan bahan organik yang ada dalam air. Ketebalan lapisan biofilm menyebabkan difusi oksigen berkurang terhadap lapisan terdalam biofilm tersebut sehingga dapat menyebabkan terjadinya kondisi anaerobik pada lapisan permukaan media (Metcalf & Eddy, 1991). Air yang diolah akan dikontakkan dengan sejumlah mikroba dalam bentuk lapisan film (slime) yang melekat pada permukaan media. Media penyangga merupakan salah satu kunci pada proses biofilter. Efektivitas dari suatu media tergantung pada: Luas permukaan, semakin luas permukaan media maka semakin besar jumlah biomassa per unit volume. Volume rongga, semakin besar volume rongga/ruang kosong maka semakin besar kontak antara substrat dalam air buangan dengan biomassa yang menempel. Faktor terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada media penyangga adalah kecepatan aliran serta bentuk dan jenis konfigurasi media. Media yang digunakan dapat berupa kerikil, batu pecah (split), media plastik (polivinil chlorida), dan partikel karbon aktif dan lainnya. Media yang sering digunakan pada proses biologis khususnya biofiter adalah media plastik yang terbuat dari PVC (Gabriel Bitton, 1994). Kelebihan dalam penggunaan media plastik ini antara lain: Ringan serta mempunyai luas permukaan spesifik besar (luas permukaan per satuan volume) berkisar antara m 2 /m 3. Volume rongga yang besar dibanding media lainnya (hingga 95%) sehingga resiko kebuntuan kecil. Di dalam reaktor biofilter, mikroorganisme tumbuh melapisi keseluruhan permukaan media dan pada saat beroperasi air mengalir melalui celah-celah media dan berhubungan langsung dengan lapisan massa mikroba (biofilm). Mekanisme perpindahan massa yang terjadi pada permukaan suatu media dinyatakan sebagai berikut: Difusi substansi air buangan dari cairan induk ke dalam massa mikroba yang melapisi media. Reaksi penguraian bahan organik maupun anorganik oleh mikroba. Difusi produk penguraian keluar ke cairan induk limbah. 33

24 Permukaan media yang kontak dengan nutrisi yang terdapat dalam air buangan ini mengandung mikroorganisme yang akan membentuk lapisan aktif biologis. Disamping itu oksigen terlarut juga merupakan faktor pembentukan lapisan film. Proses awal pertumbuhan mikroba dan pembentukan lapisan film pada media membutuhkan waktu beberapa minggu, yang dikenal dengan proses pematangan. Pada awalnya tingkat efisiensi penjernihan sangat rendah yang kemudian akan mengalami peningkatan dengan terbentuknya lapisan film (N.J. Horan, 1990). 2.6 Lapisan Biomassa Lapisan biomassa atau biofilm menurut Madigan 2006 didefinisikan sebagai lapisan sel mikroba yang berkaitan dengan penguraian zat organik yang melekat pada suatu permukaan media. Kecepatan pertumbuhan lapisan biofilm pada permukaan akan bertambah akibat perkembangbiakan dan adsorpsi yang terus berlanjut sehingga terjadi proses akumulasi lapisan biomassa yang berbentuk biofilm (slime). Pertumbuhan mikroorganisme akan terus berlangsung pada biofilm yang sudah terbentuk sehingga ketebalan biofilm bertambah. Difusi makanan dan oksigen akan terus berlangsung sampai tercapai ketebalan maksimum sehingga pada kondisi ini difusi makanan dan oksigen ini tidak mampu lagi mencapai permukaan padatan yang akibatnya lapisan biomassa ini akan terbagi menjadi dua zona yaitu zona aerob dan zona anaerob. Pada kondisi ini mulai terjadi pengelupasan lapisan biomassa yang selanjutnya segera terbentuk koloni mikroorganisme yang baru sehingga pembentukan biofilm akan terus berlangsung. Proses pengelupasan ini juga disebabkan oleh pengikisan cairan yang berlebih yang mengalir melalui biofilm (Winkler, 1981). Efisiensi penghilangan amoniak pada proses biofilter oleh lapisan biomassa dapat mencapai maksimum bila lapisan tipis di sebelah luar lapisan biomassa telah mencapai ketebalan maksimum untuk kondisi aerobik. 2.7 Suplai Oksigen Atau Udara Proses pengolahan air limbah dengan proses biofilm atau biofilter tercelup dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke dalam reaktor biologis yang di dalamnya diisi dengan media penyangga untuk pengembangbiakan mikroorganisme dengan atau tanpa aerasi. Untuk 34

25 proses anaerobik dilakukan tanpa pemberian udara atau oksigen. Posisi media biofilter tercelup di bawah permukaan air. Media biofilter yang digunakan secara umum dapat berupa bahan material organik atau bahan material anorganik. Untuk media biofilter dari bahan organik misalnya dalam bentuk tali, bentuk jaring, bentuk butiran tak teratur (random packing), bentuk papan (plate), bentuk sarang tawon dan lain-lain. Sedangkan untuk media dari bahan anorganik misalnya batu pecah (split), kerikil, batu marmer, batu tembikar, batu bara (kokas) dan lainnya. Di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilter tercelup aerobik, sistem suplai udara dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi yang sering digunakan adalah seperti yang tertera pada Gambar 2.6 (Hikami, 1992). Gambar 2.6 : Beberapa metoda aerasi untuk proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilter tercelup. Beberapa cara yang sering digunakan antara lain aerasi samping, aerasi tengah (pusat), aerasi merata seluruh permukaan, aerasi eksternal, aerasi dengan air lift pump, dan aerasi dengan sistem mekanik. Masingmasing cara mempunyai keuntungan dan kekurangan. Sistem aerasi juga tergantung dari jenis media maupun efisiensi yang diharapkan. Penyerapan oksigen dapat terjadi disebabkan terutama karena aliran sirkulasi atau aliran putar kecuali pada sistem aerasi merata seluruh permukaan media. Di dalam proses biofilter dengan sistem aerasi merata, lapisan mikroorganisme yang melekat pada permukaan media mudah terlepas, 35

26 sehingga seringkali proses menjadi tidak stabil. Tetapi di dalam sistem aerasi melalui aliran putar, kemampuan penyerapan oksigen hampir sama dengan sistem aerasi dengan menggunakan difuser, oleh karena itu untuk penambahan jumlah beban yang besar sulit dilakukan. Berdasarkan hal tersebut diatas belakangan ini penggunaan sistem aerasi merata banyak dilakukan karena mempunyai kemampuan penyerapan oksigen yang besar. Jika kemampuan penyerapan oksigen besar maka dapat digunakan untuk mengolah air limbah dengan beban organik (organic loading) yang besar pula. Oleh karena itu diperlukan juga media biofilter yang dapat melekatkan mikroorganisme dalam jumlah yang besar. Biasanya untuk media biofilter dari bahan anorganik, semakin kecil diameternya luas permukaannya semakin besar, sehingga jumlah mikroorganisme yang dapat dibiakkan juga menjadi besar. Jika sistem aliran dilakukan dari atas ke bawah (down flow) maka sedikit banyak terjadi efek filtrasi sehingga terjadi proses penumpukan lumpur organik pada bagian atas media yang dapat mengakibatkan penyumbatan. Oleh karena itu perlu proses pencucian secukupnya. Jika terjadi penyumbatan maka dapat terjadi aliran singkat (Short pass) dan juga terjadi penurunan jumlah aliran sehingga kapasitas pengolahan dapat menurun secara drastis. Untuk media biofilter dari bahan organik banyak yang dibuat dengan cara dicetak dari bahan tahan karat dan ringan misalnya PVC dan lainnya, dengan luas permukaan spesifik yang besar dan volume rongga (porositas) yang besar, sehingga dapat melekatkan mikroorganisme dalam jumlah yang besar dengan resiko kebuntuan yang sangat kecil. Dengan demikian memungkinkan untuk pengolahan air limbah dengan beban konsentrasi yang tinggi serta efisiensi pengolahan yang cukup besar. Salah satu contoh media biofilter yang banyak digunakan yakni media dalam bentuk sarang tawon (honeycomb tube) dari bahan PVC. 2.8 Efisiensi Penghilangan Substrat Di Dalam Biofilm Kinner (1983) menggambarkan model reaksi biokimia (reaksi redoks) yang terjadi di dalam biofilm sebagai fungsi beban substrat (Arvin and Harremoes, 1990), seperti pada Gambar 2.7. Gambar yang paling atas adalah menggambarkan reaksi di dalam biofilm di dalam kondisi yang paling kompleks dimana beban substrat organik tinggi. Di dalam lapisan biofilm tersebut terdapat empat zona atau lapisan yang menggambarkan kondisi reaksi redoks yang ada di dalam 36

27 biofilm, yaitu zona aerobik, zona micro-aerophilic, zona fakultatif anaerobik serta zona anaerobik. Gambar 2.7 : Model Reaksi Bokimia di dalam Biofilm dengan Beban Air Limbah yang berbeda (Arvin and Harremoes, 1990). Lapisan yang paling luar adalah zona aerobik dimana terjadi reaksi oksidasi heterotrophik terhadap zat organik, reaksi nitrifikasi dan oksidasi sulfida. Dibawah lapisan aerobik terdapat lapisan atau zona micro- 37

28 aerophilic dimana terjadi reaksi denitrifikasi dan reaksi fermentasi zat organik. Dibawah lapisan micro-aerophilic terdapat zona atau lapisan fakultatif anaerobik dimana didalam zona tersebut terjadi reaksi reduksi sulfat dan reaksi fermentasi organik. Lapisan yang paling bawah yang berbatasan dengan media penyangga adalah zona anaerobik dimana terjadi reaksi fermentasi zat organik dan reaksi metanogenesis. Di dalam tiap lapisan biofilm tersebut terdapat beberapa grup mikroorganisme yang berbeda tergantung dari tingkat kompetisi pertumbuhannya di dalam lapisan biofilm. Selain itu ketebalan lapisan biofilm serta kondisi di dalam lapisan biofilm tergantung dari konsentrasi substrat yang ada di dalam air. Untuk konsentrasi substrat yang rendah misalnya konsentrasi zat organik rendah, maka ketebalan lapisan biofilm pada permukaan media sangat tipis dan zona yang ada di dalam biofilm hanya terdapat zona aerobik dan reaksi yang terjadi didominasi oleh reaksi nitrifikasi. Walaupun prosesnya secara aerobik, ketebalan lapisan atau zona aerobik di dalam biofilm hanya sekitar 0,1 0,2 mm (Viessman and Hamer, 1985). Efisiensi penghilangan substrat di dalam reaktor biofilter dipengaruhi oleh beberapa parameter, yang paling utama adalah waktu tinggal air di dalam reaktor (hydraulic retention time, HRT). Waktu kontak rata-rata antara air dengan permukaan media di dalam reaktor dapat dikaitkan dengan kedalaman biofilter, beban hidrolik dan jenis atau tipe media penyangga. Hubungan antara waktu tinggal rata-rata dengan beban hidrolik serta kedalaman biofilter ditunjukkan seperti persamaan: C D t = ( 8 ) Q n Dimana : t = Waktu tinggal rata-rata, (menit atau jam). D = Kedalaman Biofilter (m). Q = Beban hidrolik atau hydraulic loading (m 3 /m 2. jam). C,n = Konstata yang berhubungan dengan luas spesifik permukaan media dan bentuk atau tipe media. Eckenfelder dan Ford (1970) mengembangkan model reaksi penghilangan substrat organik di dalam reaktor biofilter yang ditunjukkan seperti persamaan berikut: 38

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Limbah merupakan sisa suatu kegiatan atau proses produksi yang antara lain dihasilkan dari kegiatan rumah tangga, industri, pertambangan dan rumah sakit. Menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 5 PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN PROSES FILM MIKROBIOLOGIS (BIOFILM)

BAB 5 PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN PROSES FILM MIKROBIOLOGIS (BIOFILM) BAB 5 PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN PROSES FILM MIKROBIOLOGIS (BIOFILM) 90 5.1 Klasifikasi Proses Film Mikrobiologis (Biofilm) Proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm atau biofilter secara garis

Lebih terperinci

FORUM IPTEK Vol 13 No. 03. PENGGUNAAN KAPORIT PADA PENGOLAHAN AIR BERSIH DAPAT MENYEBABKAN PENYAKIT KANKER Oleh : Mulyono, ST *)

FORUM IPTEK Vol 13 No. 03. PENGGUNAAN KAPORIT PADA PENGOLAHAN AIR BERSIH DAPAT MENYEBABKAN PENYAKIT KANKER Oleh : Mulyono, ST *) Intisari PENGGUNAAN KAPORIT PADA PENGOLAHAN AIR BERSIH DAPAT MENYEBABKAN PENYAKIT KANKER Oleh : Mulyono, ST *) Salah satu penyebab penyakit kanker adalah senyawa trihalomethan senyawa ini bisa terbentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Limbah Limbah deidefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai yang berdampak negatif jika

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

PROSES NITRIFIKASI DENGAN SISTEM BIOFILTER UNTUK PENGOLAHAN AIR LIMBAH YANG MENGANDUNG AMONIAK KONSENTRASI TINGGI

PROSES NITRIFIKASI DENGAN SISTEM BIOFILTER UNTUK PENGOLAHAN AIR LIMBAH YANG MENGANDUNG AMONIAK KONSENTRASI TINGGI PROSES NITRIFIKASI DENGAN SISTEM BIOFILTER UNTUK PENGOLAHAN AIR LIMBAH YANG MENGANDUNG AMONIAK KONSENTRASI TINGGI Oleh : Ruliasih Marsidi dan Arie Herlambang Abstrak Limbah cair yang mengandung amoniak

Lebih terperinci

II. PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK GEDUNG SOPHIE PARIS INDONESIA

II. PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK GEDUNG SOPHIE PARIS INDONESIA II. PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK GEDUNG SOPHIE PARIS INDONESIA 2. 1 Pengumpulan Air Limbah Air limbah gedung PT. Sophie Paris Indonesia adalah air limbah domestik karyawan yang berasal dari toilet,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencuci pakaian, untuk tempat pembuangan kotoran (tinja), sehingga badan air

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencuci pakaian, untuk tempat pembuangan kotoran (tinja), sehingga badan air 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran air minum oleh virus, bakteri patogen, dan parasit lainnya, atau oleh zat kimia, dapat terjadi pada sumber air bakunya, ataupun terjadi pada saat pengaliran air olahan

Lebih terperinci

BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL

BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL 34 3.1. Uraian Proses Pengolahan Air limbah dari masing-masing unit produksi mula-mula dialirkan ke dalam bak kontrol yang dilengkapi saringan kasar (bar screen) untuk menyaring

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumber Air Minum

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumber Air Minum 9 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumber Air Minum Winarni (2003) mengatakan secara umum sumber air minum dan air bersih dibagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu: mata air, air permukaan (surface water), dan air

Lebih terperinci

BAB 13 UJI COBA IPAL DOMESTIK INDIVIDUAL BIOFILTER ANAEROB -AEROB DENGAN MEDIA BATU SPLIT

BAB 13 UJI COBA IPAL DOMESTIK INDIVIDUAL BIOFILTER ANAEROB -AEROB DENGAN MEDIA BATU SPLIT BAB 13 UJI COBA IPAL DOMESTIK INDIVIDUAL BIOFILTER ANAEROB -AEROB DENGAN MEDIA BATU SPLIT 304 13.1 PENDAHULUAN 13.1.1 Latar Belakang Masalah Masalah pencemaran lingkungan di kota besar, khususnya di Jakarta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB 3 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK

BAB 3 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK BAB 3 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK 52 3.1 Karakteristik Air Limbah Domestik Air limbah perkotaan adalah seluruh buangan cair yang berasal dari hasil proses seluruh kegiatan yang meliputi limbah

Lebih terperinci

INSTALASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH (IPAL)

INSTALASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH (IPAL) INSTALASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH (IPAL) Proses Pengelolaan Air Limbah secara Biologis (Biofilm): Trickling Filter dan Rotating Biological Contactor (RBC) Afid Nurkholis 1, Amalya Suci W 1, Ardian Abdillah

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian Penelitian biofiltrasi ini targetnya adalah dapat meningkatkan kualitas air baku IPA Taman Kota Sehingga masuk baku mutu Pergub 582 tahun 1995 golongan B yakni

Lebih terperinci

Petunjuk Operasional IPAL Domestik PT. UCC BAB 2 PROSES PENGOLAHAN AIR LIMBAH

Petunjuk Operasional IPAL Domestik PT. UCC BAB 2 PROSES PENGOLAHAN AIR LIMBAH BAB 2 PROSES PENGOLAHAN AIR LIMBAH 5 2.1 Proses Pengolahan Air Limbah Domestik Air limbah domestik yang akan diolah di IPAL adalah berasal dari kamar mandi, wastavel, toilet karyawan, limpasan septik tank

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

BAB 12 UJI COBA PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK INDIVIDUAL DENGAN PROSES BIOFILTER ANAEROBIK

BAB 12 UJI COBA PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK INDIVIDUAL DENGAN PROSES BIOFILTER ANAEROBIK BAB 12 UJI COBA PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK INDIVIDUAL DENGAN PROSES BIOFILTER ANAEROBIK 286 12.1 PENDAHULUAN 12.1.1 Permasalahan Masalah pencemaran lingkungan di kota besar misalnya di Jakarta, telah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Definisi secara umum, limbah adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Definisi secara umum, limbah adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Limbah Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), definisi limbah adalah sisa suatu usaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir-hampir 0,1% dari padanya berupa benda-benda

Lebih terperinci

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS 13.1. Pendahuluan Tepung beras merupakan bahan baku makanan yang sangat luas sekali penggunaannya. Tepung beras dipakai sebagai bahan pembuat roti, mie dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Air adalah sumber dasar

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Air adalah sumber dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan, baik itu kehidupan manusia maupun kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Air adalah sumber dasar untuk kelangsungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan penduduk dikarenakan tempat tinggal mereka telah tercemar. Salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan penduduk dikarenakan tempat tinggal mereka telah tercemar. Salah satu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi dewasa ini dibeberapa negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, isu kualitas lingkungan menjadi permasalahan yang perlu dicari pemecahannya.

Lebih terperinci

MAKALAH KIMIA ANALITIK

MAKALAH KIMIA ANALITIK MAKALAH KIMIA ANALITIK Aplikasi COD dalam Pengolahan Limbah Cair Industri Disusun oleh : Ulinnahiyatul Wachidah ( 412014003 ) Ayundhai Elantra ( 412014017 ) Rut Christine ( 4120140 ) Universitas Kristen

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. IV.1 Karakteristik Air Limbah

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. IV.1 Karakteristik Air Limbah 49 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1 Karakteristik Air Limbah Air limbah dalam penelitian ini adalah air limbah Rumah Sakit Makna yang berlokasi di Jalan Ciledug Raya, Tangerang dan tergolong rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

PERBAIKAN KUALITAS AIR BAKU PERUSAHAAN AIR MINUM (PAM) DENGAN BIOFILTRASI

PERBAIKAN KUALITAS AIR BAKU PERUSAHAAN AIR MINUM (PAM) DENGAN BIOFILTRASI J. Tek. Ling Vol. 12 No. 2 Hal. 121-129 Jakarta, Mei 2011 ISSN 1441-318X PERBAIKAN KUALITAS AIR BAKU PERUSAHAAN AIR MINUM (PAM) DENGAN BIOFILTRASI Rudi Nugroho dan Nusa Idaman Said Pusat Teknologi Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik

Lebih terperinci

PENGHILANGAN AMONIAK DI DALAM AIR BAKU AIR MINUM DENGAN PROSES BIOFILTER TERCELUP MENGGUNAKAN MEDIA PLASTIK SARANG TAWON

PENGHILANGAN AMONIAK DI DALAM AIR BAKU AIR MINUM DENGAN PROSES BIOFILTER TERCELUP MENGGUNAKAN MEDIA PLASTIK SARANG TAWON PENGHILANGAN AMONIAK DI DALAM AIR BAKU AIR MINUM DENGAN PROSES BIOFILTER TERCELUP MENGGUNAKAN MEDIA PLASTIK SARANG TAWON Oleh : Nusa Idaman Said *) dan Rina Tresnawaty **) Abstract Masalah air baku air

Lebih terperinci

Penyakit Kanker Dapat disebabkan Oleh Air Minum Anda BAB II PENYAKIT KANKER DAPAT DISEBABKAN OLEH AIR MINUM ANDA

Penyakit Kanker Dapat disebabkan Oleh Air Minum Anda BAB II PENYAKIT KANKER DAPAT DISEBABKAN OLEH AIR MINUM ANDA Penyakit Kanker Dapat disebabkan Oleh Air Minum Anda BAB PENYAKT KANKER DAPAT DSEBABKAN OLE AR MNUM ANDA 37 Nusa daman Said.1 PENDAULUAN Air adalah merupakan kebutuhan yang sangat pokok bagi manusia, terutama

Lebih terperinci

BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL

BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL 5.1 Masalah Air Limbah Layanan Kesehatan Air limbah yang berasal dari unit layanan kesehatan misalnya air limbah rumah sakit,

Lebih terperinci

DETERGEN FILTER Menuju Keseimbangan Biota Air Oleh: Benny Chandra Monacho

DETERGEN FILTER Menuju Keseimbangan Biota Air Oleh: Benny Chandra Monacho Latar Belakang Masalah DETERGEN FILTER Menuju Keseimbangan Biota Air Oleh: Benny Chandra Monacho Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki populasi penduduk yang sangat pesat. Pada tahun 2005,

Lebih terperinci

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)  HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri 11 didinginkan. absorbansi diukur pada panjang gelombang 410 nm. Setelah kalibrasi sampel disaring dengan milipore dan ditambahkan 1 ml natrium arsenit. Selanjutnya 5 ml sampel dipipet ke dalam tabung

Lebih terperinci

BAB II UNIT INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL)

BAB II UNIT INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) BAB II UNIT INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) 5 2.1. Unit Instalasi Pengolahan Air Limbah Instalasi pengolahan air limbah PT. Kinocare Era Kosmetindo terdiri dari unit pemisah lemak 2 ruang, unit

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air buangan merupakan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Jenis limbah cair ini dibedakan lagi atas sumber aktifitasnya,

Lebih terperinci

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya.

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. BAB I PENDAHULUAN I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. Sumber pencemaran lingkungan diantaranya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya proses industrialisasi jasa di DKI Jakarta, kualitas lingkungan hidup juga menurun akibat pencemaran. Pemukiman yang padat,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 85 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisa Karakteristik Limbah Pemeriksaan karakteristik limbah cair dilakukan untuk mengetahui parameter apa saja yang terdapat dalam sampel dan menentukan pengaruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang seksama

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang seksama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang seksama dan cermat. Karena untuk mendapatkan air yang bersih, sesuai dengan standar tertentu, saat

Lebih terperinci

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI SIRUP, KECAP DAN SAOS

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI SIRUP, KECAP DAN SAOS BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI SIRUP, KECAP DAN SAOS 12.1. Pendahuluan Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya proses industrialisasi, kwalitas lingkungan hidup juga menurun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota besar, semakin banyak didirikan Rumah Sakit (RS). 1 Rumah Sakit sebagai sarana upaya perbaikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Air Baku Aliran Sungai Cihideung Air baku merupakan sumber air bersih yang dapat berasal dari air hujan, air tanah, air danau, dan air sungai. Air sungai merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laboratorium merupakan salah satu penghasil air limbah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Laboratorium merupakan salah satu penghasil air limbah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laboratorium merupakan salah satu penghasil air limbah dengan kandungan bahan-bahan berbahaya yang cukup tinggi, sehingga diperlukan suatu pengolahan sebelum dibuang

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan Bab IV Data dan Hasil Pembahasan IV.1. Seeding dan Aklimatisasi Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Limbah berbahaya adalah limbah yang mempunyai sifat-sifat antara lain

I. PENDAHULUAN. Limbah berbahaya adalah limbah yang mempunyai sifat-sifat antara lain I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aktivitas manusia yang semakin beragam di berbagai sektor sekarang ini sehingga menimbulkan dampak positif dan dampak negatif, salah satu dampak negatif dari aktivitas

Lebih terperinci

Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) BOD (Biochemical Oxygen Demand) Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) COD atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat

Lebih terperinci

: Limbah Cair dan Cara Pengelolaannya

: Limbah Cair dan Cara Pengelolaannya Topik : Limbah Cair dan Cara Pengelolaannya Tujuan : 1. Mahasiswa memahami sumber-sumber dan macam-macam limbah cair 2. Mahasiswa memahami karakteristik limbah cair 3. Mahasiswa memahami teknologi pengolahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan-bahan kimia sintetis pada umumnya digunakan oleh kegiatan industri dan domestik untuk menghasilkan suatu produk yang bernilai ekonomis. Salah satu produk yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gugus amino yang bersifat basa dan memiliki inti benzen. Rhodamin B termasuk

BAB I PENDAHULUAN. gugus amino yang bersifat basa dan memiliki inti benzen. Rhodamin B termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Rhodamin B adalah zat warna sintetik berbentuk serbuk kristal bewarna kehijauan, bewarna merah keunguan dalam bentuk terlarut pada konsentrasi tinggi dan bewarna merah

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Resirkulasi Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang sudah digunakan dengan cara memutar air secara terus-menerus melalui perantara sebuah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Status Mutu Air Sungai adalah salah satu dari sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga pemanfaatan air di hulu akan menghilangkan peluang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA II.

TINJAUAN PUSTAKA II. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Lumpur Water Treatment Plant Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang dari aktifitas manusia maupun proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis.

Lebih terperinci

MODUL 2-1 NUTRISI MINERAL TUMBUHAN

MODUL 2-1 NUTRISI MINERAL TUMBUHAN MODUL 2-1 NUTRISI MINERAL TUMBUHAN Elemen esensial: Fungsi, absorbsi dari tanah oleh akar, mobilitas, dan defisiensi Oleh : Retno Mastuti 1 N u t r i s i M i n e r a l Jurusan Biologi, FMIPA Universitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah cair atau yang biasa disebut air limbah merupakan salah satu jenis limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Sifatnya yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. hidup lebih dari 4 5 hari tanpa minum. Selain itu, air juga diperlukan untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. hidup lebih dari 4 5 hari tanpa minum. Selain itu, air juga diperlukan untuk BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Sekitar tiga perempat dari bagian tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorang pun dapat bertahan hidup

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan pada penelitian ini secara garis besar terbagi atas 6 bagian, yaitu : 1. Analisa karakteristik air limbah yang diolah. 2.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit Pencemaran air limbah sebagai salah satu dampak pembangunan di berbagai bidang disamping memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Selain itu peningkatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Bakteri Penitrifikasi Sumber isolat yang digunakan dalam penelitian ini berupa sampel tanah yang berada di sekitar kandang ternak dengan jenis ternak berupa sapi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini pencemaran air merupakan permasalahan yang cukup serius. Aktivitas manusia dalam pemenuhan kegiatan sehari-hari, secara tidak sengaja telah menambah jumlah

Lebih terperinci

BAB 3 METODA PENELITIAN

BAB 3 METODA PENELITIAN BAB 3 METODA PENELITIAN 3.1 Peralatan Yang Digunakan Penelitian dilakukan dengan menggunakan suatu reaktor berskala pilot plant. Reaktor ini mempunyai ukuran panjang 3,4 m, lebar 1,5 m, dan kedalaman air

Lebih terperinci

Karakteristik Air Limbah

Karakteristik Air Limbah Karakteristik Air Limbah Prof. Tjandra Setiadi, Ph.D. Program Studi Teknik Kimia FTI Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Institut Teknologi Bandung Email: tjandra@che.itb.ac.id Fisik Karakteristik Air

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Sektor perikanan memang unik beberapa karakter yang melekat di dalamnya tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian penanganan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara yang cukup banyak. Sumber daya alam yang melimpah dapat dijadikan alternatif sebagai pemanfaatan

Lebih terperinci

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan kuantitas konstituen seluler dan struktur organisme yang dapat dinyatakan dengan ukuran, diikuti pertambahan jumlah, pertambahan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang BAB II TINJAUAN PUSATAKA 2.1 Air 2.1.1 Air Bersih Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang dinamakan siklus hidrologi. Air yang berada di permukaan menguap ke langit, kemudian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Air Kualitas air secara biologis ditentukan oleh banyak parameter, yaitu parameter mikroba pencemar, patogen dan penghasil toksin. Banyak mikroba yang sering bercampur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. salju. Air tawar terutama terdapat di sungai, danau, air tanah (ground water), dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. salju. Air tawar terutama terdapat di sungai, danau, air tanah (ground water), dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi, dengan jumlah sekitar 2.368 juta km 3. Air terdapat dalam berbagai bentuk, misalnya uap air, es, cairan, dan salju. Air tawar terutama

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Denpasar dengan kondisi awal lumpur berwarna hitam pekat dan sangat berbau. Air

BAB VI PEMBAHASAN. Denpasar dengan kondisi awal lumpur berwarna hitam pekat dan sangat berbau. Air BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pembibitan (Seeding) Lumpur Aktif Pembibitan (seeding) lumpur aktif dilakukan dengan mengambil sedimen lumpur dari tiga sumber (lokasi). Sumber lumpur pertama adalah IPAL Suwung Denpasar

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN J. Tek. Ling Edisi Khusus Hal. 58-63 Jakarta Juli 2008 ISSN 1441-318X PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN Indriyati dan Joko Prayitno Susanto Peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah senyawa kimia yang terdiri dari dua atom hydrogen (H) dan satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah senyawa kimia yang terdiri dari dua atom hydrogen (H) dan satu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Air Air adalah senyawa kimia yang terdiri dari dua atom hydrogen (H) dan satu atom oksigen (O) yang berikatan secara kovalen yang sangat penting fungsinya. Dengan adanya penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua makhluk hidup. Maka, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN AIR LIMBAH PENCUCIAN JEAN DENGAN PROSES BIOFILTER TERCELUP ANAEROB-AEROB UJI COBA SKALA LABORATORIUM

BAB III PENGOLAHAN AIR LIMBAH PENCUCIAN JEAN DENGAN PROSES BIOFILTER TERCELUP ANAEROB-AEROB UJI COBA SKALA LABORATORIUM BAB III PENGOLAHAN AIR LIMBAH PENCUCIAN JEAN DENGAN PROSES BIOFILTER TERCELUP ANAEROB-AEROB UJI COBA SKALA LABORATORIUM 37 III.1 Proses Pengolahan Air Limbah Secara Biologis Pengolahan air buangan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, menjelaskan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber pendapatan, juga memiliki sisi negatif yaitu berupa limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mandi, mencuci, dan sebagainya. Di sisi lain, air mudah sekali terkontaminasi oleh

I. PENDAHULUAN. mandi, mencuci, dan sebagainya. Di sisi lain, air mudah sekali terkontaminasi oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan yang sangat pokok bagi kehidupan, karena selain dikonsumsi, juga digunakan dalam berbagai aktivitas kehidupan seperti memasak, mandi, mencuci, dan

Lebih terperinci

Proses Nitrifikasi Dan Denitrifikasi Dalam Pengolahan Limbah

Proses Nitrifikasi Dan Denitrifikasi Dalam Pengolahan Limbah Proses Nitrifikasi Dan Denitrifikasi Dalam Pengolahan Limbah Salmah Fakultas Teknik Program Studi Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara BAB I 1.1 Nitrifikasi yang Menggunakan Proses Lumpur Aktif Dua

Lebih terperinci