BAB VI PERUBAHAN YANG DITIMBULKAN DARI INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS MASYARAKAT MUARA ANGKE DI SEKITAR HUTAN MANGROVE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI PERUBAHAN YANG DITIMBULKAN DARI INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS MASYARAKAT MUARA ANGKE DI SEKITAR HUTAN MANGROVE"

Transkripsi

1 BAB VI PERUBAHAN YANG DITIMBULKAN DARI INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS MASYARAKAT MUARA ANGKE DI SEKITAR HUTAN MANGROVE 6.1 Dimensi Perubahan Sosial pada Masyarakat Pesisir Muara Angke Interaksi antar elemen masyarakat pesisir Muara Angke tidak hanya meninggalkan konsekuensi pada kualitas dan daya dukung lingkungan hidup. Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya mengenai bentuk interaksi sosialekologi, terdapat beberapa perubahan sosial yang saling beriringan dan berhubungan timbal balik dengan perubahan ekosistem pesisir. Menurut Usman (2002), perubahan sosial di lingkungan pesisir didasarkan pada lingkungan alam sekitar yang membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu terjadinya perubahan sosial Sistem Norma, Nilai, dan Tata Aturan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Hutan Mangrove Pada kasus konflik yang melibatkan berbagai pihak di Muara Angke terkait pola pengelolaan kawasan hutan mangrove dan meyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ideologi yang melatarbelakanginya. Masing-masing aktor memiliki pemahaman dan pola pikir yang berbeda terkait pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Perbedaan ini tentu berkaitan erat dengan pola interaksi dan perubahan sosialekologi di lingkungan pesisir Muara Angke. Ideologi pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dianut masing-masing aktor adalah sebagai berikut: 1) Masyarakat nelayan menganut ideologi welfare orientation yaitu pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove untuk tujuan pemenuhan kesejahteraan (pola nafkah). Masyarakat nelayan pada umumnya sangat bergantung pada kualitas dan kelimpahan sumberdaya pesisir (termasuk hutan mangrove), mengingat mangrove memiliki banyak fungsi pemijahan ikan.

2 79 Sehingga kondisi ini sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas perikanan tangkap di wilayah Muara Angke, apalagi bagi lingkup nelayan tradisional yang jarak melaut relatif lebih dekat dengan tepi pantai. Ekosistem mangrove yang rusak tentu menjadi salah satu faktor menurunnya hasil tangkapan ikan dan penguranan pendapatan bagi nelayan. Pola pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove yang dianut oleh nelayan tradisional Muara Angke memiliki tata kelola dan sistem nilai berupa kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut berupa mitos-mitos yang diciptakan dari generasi ke generasi mengenai hutan mangrove yang dianggap keramat. Masyarakat secara sadar, bahkan tidak berani melakukan kerusakan dan mengganggu satwa yang terdapat di dalam hutan. Kepercayaan yang dianut masyarakat inilah yang secara tidak langsung mengatur interaksi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. 2) Pengelola Kawasan SMMA sebagai dari Pemerintah pusat menganut ideologi konservasi. Ideologi ini erat dengan konsep perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, dan penyelamatan sumberdaya hutan mangrove dari laju pengerusakan. Status pengelolaan hutan yang dimiliki negara (state property) menyebabkan masyarakat sekitar tidak dapat leluasa memasuki dan memanfaatkan potensi sumberdaya alam di dalamnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak ditetapkannya kawasan hutan menjadi Cagar Alam hingga kini berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke. 3) Swasta (diwakili oleh PIK) berpegang pada ideologi kapitalisme dan profitifisme yang tercermin pada ekspansi usaha dan peningkatan laju reklamasi pantai utara Jakarta untuk digunakan kawasan bisnis. Pengembangan bisnis di sektor properti dan pemukiman merangsang para investor untuk berlomba-lomba melakukan reklamasi wilayah pantai utara Jakarta guna memperoleh laba sebesar-besarnya. Kondisi ini membuat pihak swasta memiliki kuasa dan otoritas lebih besar untuk memanfaatkan sumberdaya dibandingkan dengan nelayan Muara Angke. Pembangunan dalam skala besar dalam kawasan reklamasi tersebut kini justru mendatangkan petaka bagi sebagian besar masyarakat pesisir Muara Angke yang juga memiliki ikatan dengan sumberdaya pesisir. Tumpang tindih wewenang dan kepentingan antara swasta dengan masyarakat nelayan yang pada akhirnya menyebabkan konflik.

3 80 4) Pemerintah daerah di level Provinsi DKI Jakarta dan Kotamadya Jakarta Utara yang menganut ideologi integralisme, yaitu pola pikir untuk penyatuan atau penggabungan serta penyelarasan kepentingan berbagai elemen masyarakat demi terwujudnya stabilitas di tingkat lokal. Pemerintah daerah dituntut dapat mewadahi dan mengatur pengembangan wilayah dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik, dll. Hanya saja, dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah pesisir, pemerintah masih cenderung berpihak kepada swasta dengan keluarnya kebijakan reklamasi pantai utara Jakarta untuk dijadikan kawasan bisnis dan pemukiman elit. Hal tersebut juga yang mendorong terjadinya konflik (bentrokan) antara masyarakat nelayan Muara Angke dengan pemerintah daerah sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disarikan bahwa beberapa bentuk interaksi yang bersifat disosiatif antar elemen masyarakat Muara Angke bermuara pada sistem nilai dan norma yang dianut oleh masing-masing aktor. Perubahan sosial yang terjadi tidak hanya berupa konflik dan interaksi disosiatif lainnya. Seiring semakin maraknya ideologi kapitalisme di kalangan elit swasta dan pemerintah yang high consumption dan rakus terhadap sumberdaya alam, ternyata mengakibatkan pengikisan nilai, norma, dan tata aturan Ketidakjelasan Aturan Main dan Pengikisan Nilai-Nilai Sosial sebagai Akar Konflik Pemanfaatan Hutan Mangrove Moda produksi dan konsumsi di sektor perikanan yang berubah seiring perkembangan zaman, membuat perubahan tata nilai dan sikap masyarakat terkait pengelolaan sumberdaya pesisir. Fenomena ini juga ditambah dengan dominasi pemerintah dan swasta yang terlalu besar dalam penentuan kebijakan pemanfaatan kawasan pesisir dan hutan mangrove. Sebagaimana yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai konflik antara berbagai elemen masyarakat Muara Angke, peristiwa ini berawal dari buramnya aturan main dan tidak ada ketegasan regulasi dari pemerintah. Selain itu, persaingan terbuka antar sesama nelayan (tradisonal dan pendatang) juga disebabkan karena tidak ada sistem aturan pembatasan wilayah yang jelas di kawasan pesisir Jakarta.

4 81 Kasus konflik pengelolaan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove antara Masyarakat Kali Adem dengan PIK dan pemerintah (SMMA dan pemerintah daerah) memiliki akar konflik sebagai berikut: 1) Perbenturan ideologi atau mazhab pemanfaatan kawasan pesisir antar kedua belah pihak. Nelayan yang menganut mazhab welfare orientation berhadapan dengan mazhab profitisme pihak PIK. Sebagaimana yang dikemukakan Dharmawan (2007), ideologi profit-maximizing economy yang dianut oleh para pelaku ekonomi yang selalu melakukan kalkulasi benefit and cost analysis dalam operasionalisasi praktik ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) turut mengukuhkan proses kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan. Kondisi tersebut yang memicu ketegangan sosial antar kedua pihak sehingga pecah mencadi konflik yang berekskalasi. 2) Tumpang tindih kewenangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang didominasi swasta (PIK) dan pemerintah. Konflik warga kampung Kali Adem dengan PIK mengacu pada pergeseran etika lingkungan ke arah etika antroposentrisme yang dianut oleh PIK. Etika ini menitikberatkan pada eksploitasi kawasan pesisir (hutan mangrove) secara besar-besaran yang mengabaikan masalah krisis lingkungan. Selain itu, akar konflik juga berasal dari perbedaan status sosial dam ekonomi yang sangat timpang antara warga PIK dengan masyarakat nelayan (timbul prasangka dan kecemburuan sosial), perbedaan suku dan budaya yaitu PIK didominasi oleh suku Tionghoa dan nelayan (suku Jawa, Madura, Bugis, dll). 3) Sedangkan akar konflik masyarakat kali Adem dengan pemerintah lebih pada ketidakjelasan kebijakan yang diambil pemerintah, sehingga membuat bingung masyarakat sekaligus mempersempit ruang akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya hutan mangrove. Hal tersebut mengarah pada masalah pokok yaitu terbenturnya ideologi konservasi (pemerintah) dengan welfare orientation (masyarakat nelayan). Sementara itu, pemerintah daerah juga cenderung memihak PIK dalam operasionalisasi kebijakan yang menimbulkan perlawanan dari nelayan Kampung Kali Adem. 4) Tidak ada aturan yang jelas mengenai batas-batas wilayah konservasi hutan mangrove milik negara (state property) dengan wilayah privat hutan mangrove

5 82 milik swasta (private property). Sehingga nelayan kerap mengalami pengusiran oleh PIK saat merapat untuk singgah di tepi hutan mangrove yang dianggap nelayan adalah kawasan konservasi. Sedangkan konflik yang melibatkan sesama nelayan (nelayan lokal tradisional dengan nelayan pendatang) Muara Angke juga berkaitan dengan perubahan dan ketidakjelasan tatanan nilai sosial yang diuraikan sebagai berikut: 1) Terjadi tabrakan nilai dan norma antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal tradisional Muara Angke. Nelayan pendatang dari hampir seluruh wilayah nusantara tentu membawa norma dan kebiasaan yang berbeda-beda. Banyak nelayan pendatang yang belum paham aturan konservasi hutan mangrove Muara Angke, sehingga sering terjadi ketegangan dengan nelayan tradisional. Pengusiran terhadap nelayan pendatang oleh nelayan lokal kerap terjadi ketika nelayan pendatang memasuki kawasan hutang mangrove. Mereka biasanya singgah atau melakukan aktivitas penangkapan di perairan Jakarta. Nelayan pendatang rata-rata merupakan nelayan modern, dicirikan dari besarnya kapal dan kelengkapan alat tangkap yang mereka gunakan. 2) Perbedaan alat tangkap antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal juga memicu ketegangan antar kedua pihak. Nelayan pendatang yang menggunakan jaring arad menimbulkan perlawanan dari nelayan lokal. Pengoperasian jaring arad dianggap nelayan lokal dapat merusak lingkungan, padahal nelayan lokal sangat bergantung pada kelestarian lingkungan pesisir untuk menunjang kelangsungan hidupnya. 3) Persaingan wilayah tangkap (fishing ground) antara kedua kelompok nelayan mengingat pantai adalah sumberdaya yang sifatnya open access. 4) Jalur pelayaran yang sangat padat di perairan Jakarta membuat wilayah ini sering terjadi overfshing atau aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan, sehingga menyebabkan kelangkaan sumberdaya hayati pesisir. Kelangkaan tersebut kemudian menyebabkan persaingan antar nelayan menjadi semakin ketat.

6 Dimensi Perubahan Lingkungan Perubahan lingkungan selalu menyertai suatu sistem hubungan sosial yang terjalin dalam sebuah ekosistem seperti yang terjadi pada lingkungan pesisir Muara Angke. Masalah-masalah sosial yang terjadi akibat ketimpangan relasi dan kekuasaan antar aktor pada interaksi sosial maupun ekologis di Muara Angke menambah deret masalah baru berupa degradasi lingkungan. Konflik antara warga dengan pemerintah dan swasta selain mengakibatkan penurunan kualitas hubungan sosial, juga menurunkan daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang selama ini ditopang oleh kelestarian ekosistem hutan mangrove. Akses dan kontrol masyarakat timpang dengan akses dan kontrol pihak pemerintah dan swasta yang memiliki kuasa lebih besar atas sumber daya mangrove. Adapun perubahan yang terjadi adalah terjadinya bencana banjir, penurunan hasil tangkapan nelayan dan intensitas gangguan satwa ke pemukiman penduduk Bencana Banjir Hutan mangrove yang berfungsi sebagai lahan resapan dan penahan intrusi (masuknya air laut ke darat) serta erosi/abrasi pantai tampaknya sudah kurang mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini memang karena tingginya laju pertumbuhan penduduk yang memaksa pembangunan semakin digalakkan terutama oleh pihak swasta guna menyediakan kebutuhan warga akan perumahan dan industri di Muara Angke. Lokasi yang strategis dan akses dekat dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta menarik minat swasta untuk mereklamasi kawasan pesisir Muara Angke menjadi kawasan perumahan dan industri. Frekuensi terjadinya banjir di Muara Angke mengalami perubahan setelah maraknya kegiatan ekspansi usaha oleh swasta yang menggunakan lahan pesisir bermangrove sebagai komoditasnya.

7 84 Gambar 14. Perubahan Frekuensi Terjadinya Bencana Banjir di Muara Angke Sebelum dan Pasca Reklamasi Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Berdasarkan data pada Gambar 14 (dengan responden yang berjumlah 50 orang) terjadi kenaikan frekuensi bencana banjir harian saat sebelum dan sesudah marak dilakukan reklamasi lahan mangrove di pesisir Muara Angke. Responden yang mengaku menjadi korban bencana banjir harian sebelum reklamasi sebesar 22 persen (11 orang) mengalami kenaikan sebesar 82 persen (41 orang) saat setelah reklamasi. Sementara jumlah responden yang merasakan bencana banjir mingguann menurun dari sebelum reklamasi yaitu 78 persen (39 orang) menjadi 18 persen (9 orang) setelah reklamasi lahan mangrove. Fenomena ini selain karena banjir rob (naiknya permukaan air laut) juga ditambah dengan banjir kiriman yang bersumberr dari hulu Sungai Angke. Dahulu, banjir terjadi 5-10 tahun sekali. Nah, sekarang banjir kok setiap hari. Hanya saja warga yang tinggal di perumahan nelayan (dekat dengan pasar Muara Angke) itu banjirnya tidak separah warga yang tinggal di pinggir kali Angke. Tetapi tetap saja becek karena banjirnya setiap hari (Bapak Nim, 55 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke) Pemerintah dan swasta sudah bekerjasama membantu masyarakat pesisir Muara Angke dengan membangun tanggul untuk mencegah masuknya air dari luapan Sungai Angke dan naiknya permukaan air laut. Namun hal ini belum mampu mengatasi bencana banjir yang dirasakan oleh masyarakat pesisir. Faktor lain yang memicu terjadinya banjir adalah pendangkalan dasar sungai dan pantai akibat penumpukan sampah di Sungai Angke. Interaksi yang timpang dan pembanguan dengan merambah hutan mangrove dapat membuat pesisir menjadi kawasan yang rentan dilanda banjir dan kerugian besar lainnya.

8 85 Faktor penyebab banjir di Jakarta tidak hanya menyangkut persoalan reklamasi pantai utara, namun juga pada segi teknis maupun non teknis. Menurut Susmarkanto (2002), penyebab banjir dari segi teknis menyangkut buruknya sistem pengairan atau drainase di hampir seluruh wilayah Jakarta. Buruknya sistem pengairan ini tercermin pada tersendatnya proyek Banjir Kanal Timur sebagai bagian penting dari masterplan pengendalian banjir. Sedangkan dari segi non teknis, banjir Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sebagai berikut: 1. Perubahan iklim global (climate change) yang menyebabkan tingginya curah hujan, ketidakjelasan cuaca, dan tingginya gelombang air laut sehingga banjir rob di kawasan pesisir tidak dapat dihindari.. 2. Rusaknya kawasan hutan konservasi dan konversi lahan di daerah hulu seperti Bogor, Puncak dan Cianjur (BOPONJUR) untuk kepentingan pembangunan vila, hotel, pusat rekreasi dan pemukiman yang tidak terkendali. Hal ini merupakan cerminan meningkatnya luasan lahan kritis di hulu yang berdampak pada peristiwa banjir kiriman ke daerah Ibukota. 3. Penyelewengan aturan mengenai peruntukan lahan rawa-rawa menjadi pemukiman yang sebagian dilakukan oleh PIK. Penyerobotan kawasan hutan mangrove dan rawa-rawa oleh pihak swasta ini menyebabkan hilangnya daerah resapan intrusi air laut, sehingga sering terjadi banjir rob. 4. Buruknya pengelolaan 13 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang melewati Jakarta, yang kadar polusi limbah rumah tangga sudah melampaui batas ambang dengan kadar limbah semakin tinggi ke arah hilir dan muara. Hal ini lambat laun mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan sungai. Pendangkalan tersebut yang sering menimbulkan banjir karena daya tampung sungai untuk mengalirkan air hujan ke laut menjadi berkurang Penurunan Hasil Tangkapan Nelayan Perubahan lingkungan yang terjadi di kawasan pesisir dan muara Sungai Angke berdampak nyata pada kehidupan nelayan Muara Angke. Kondisi perairan laut yang tidak lagi bagus karena penumpukan sampah serta polusi dari limbah industri menyebabkan matinya beberapa biota laut terutama ikan. Kebutuhan

9 86 hidup yang semakin meningkat mendorong nelayan untuk menambah jumlah tangkapan guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Berikut adalah persentase nalayan yang mengalami penurunan hasil tangkapan % 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 66.67% 33.33% 0% 0% 0% berkurang >0.5 berkurang < 0.5 tetap bertambah > 0.5 bertambah < 0.5 Gambar 15. Persentase Nelayan Muara Angke yang Mengalami Penurunan Hasil Tangkapan Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Penurunan hasil tangkapan nelayan bervariasi jumlah besarannya mulai dari penguranagan tangkapan kurang dari setengah hasil tangkapan biasanya hingga lebih dari hasil tangkapan. Responden yang diambil datanya adalah sejumlah 39 orang yang berprofesi sebagai nelayan. Persentase nelayan yang mengalami mengurangan hasil tangkapan lebih dari setengahnya adalah sebesar persen (26 orang) dan responden yang hasil tangkapannya berkurang tidak sampai setengahnya sejumlah persen (13 orang). Berkurangnya tangkapan sejauh ini belum dapat diatasi oleh nelayan karena nelayan Muara Angke merupakan nelayan kecil yang kapalnya bukanlah kapal besar dengan peralatan yang lengkap. Nelayan hanya mengandalkan peralatan tangkap dan terknologi seadanya saat melaut. Sekarang hasil tangkapan sudah jauh berkurang, mbak. Dulu setelah melaut bisa dapat ikan macam-macam, sekarang ikan sudah jarang lagi. Misalnya, dulu saya bisa dapat 20 sampai 30 kg sekarang paling cuma 10 kg. Selain itu, dulu kami melaut tidak perlu jauh-jauh, ya di dekat sinisini saja saya sudah dapat ikan. Tetapi sekarang kami pergi melaut harus jauh sekali sampai jarak 5 mil dari sini tepatnya di perairan Ancol. Belum lagi harga solar yang naik terus. Nelayan kan jadi repot. (Bapak War, 38 tahun, warga Kampung Kali Adem) Data yang didapat dari keterangan Bapak War (38 tahun) menggambarkan kondisi yang sulit sedang dihadapi nelayan Muara Angke. Tidak hanya masalah penurunan hasil tangkapan, tetapi juga rusaknya ekosistem pesisir terdekat

10 87 sehingga membuat nelayan semakin jauh melaut untuk mendapatkan tangkapan. Dengan peralatan yang terbatas, jarak terjauh yang ditempuh nelayan hanya sebatas perairan utara Jakarta. Cuaca buruk dan gelombang tinggi juga terkadang menghambat nelayan untuk melaut sehingga hasil tangkapan dan pendapatan nelayan pun berkurang. Menurunnya hasil tangkapan juga bisa berdampak pada menurunnya tingkat pendapatan bahkan berlanjut pada tingginya tingkat kemiskinan pada rumah tangga nelayan, khususnya nelayan tradisional. Selain disebabkan oleh rusaknya hutan mangrove, fenomena ini juga disebabkan oleh beberapa faktor yang kompleks yaitu sebagai berikut: 1. Perubahan iklim (climate change) yang dicirikan fenomena pemanasan global (global warming) juga melanda Indonesia. Peristiwa ini menimbulkan naiknya permukaan air laut yang disertai tingginya gelombang pasang. Nelayan adalah salah satu pihak yang dirugikan akibat global warming, karena mereka menggantungkan pendapatan hasil tangkapan ikan pada kondisi alam. Kini, nelayan sudah tidak dapat leluasa melaut karena mereka lebih mengutamakan keselamatan dari pada terus menerjang tingginya ombak untuk mencari ikan. Jarak melaut nelayan pun yang dahulu bisa melaut jauh dari bibir pantai, kini menjadi terbatasi oleh tingginya ombak dan cuaca buruk. Penurunan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan akhirnya tidak dapat dihindari 2. Rusaknya terumbu karang di perairan pesisir utara Jakarta akibat eksploitasi secara berlebihan. Padahal, terumbu karang tidak terpisahkan fungsinya dengan ekosistem mangrove yang juga merupakan tempat beberapa biota laut berkembang biak. Kerusakan ekosistem pesisir secara nyata berpengaruh pada jumlah ikan yang semakin berkurang. Prodiktivitas nelayan dalam hal hasil tangkapan menurun drastis dari masa ke masa, terlebih pasca reklamasi pantai utara Jakarta. 3. Polusi di perairan Jakarta yang bersumber dari limbah industri dan limbah rumah tangga, juga merupakan salah satu penyebab menurunnya jumlah ikan. Nelayan pun kembali menjadi korban karena hasil tangkapan ikan yang semakin berkurang. Tingkat polusi di perairan Muara angke sudah terbilang

11 88 tinggi mengingat daerah ini sebagai kawasan pesisir yang dikelilingi oleh kawasan industri dan lalu lintas kapal di Teluk Jakarta. 4. Overfishing yaitu aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan tanpa mempedulikan ekosistem dan kelestarian biota pesisir, mengingat perairan Jakarta adalah perairan dengan jalur pelayaran yang sangat padat. Kegiatan ini berdampak pada punahnya beberapa spesies ikan dan biota laut lainnya, sehingga kelimpahan sumberdaya hayati pesisir semakin langka. Peningkatan persaingan antar nelayan pun tidak dapat dihindari lagi. Fenomena tersebut pada akhirnya menjadi salah satu faktor penurunan hasil tangkapan ikan nelayan tradisional Muara Angke Gangguan Satwa Liar ke Pemukiman Masyarakat Berkurangnya luasan hutan mangrove juga berarti membuat satwa kehilangan habitatnya. Hutan mangrove yang menutupi pantai utara Jakarta semakin terdesak dengan maraknya ambisi pembangunan perumahan mewah, pusat industri dan pusat aktivitas ekonomi lainnya. Padahal tidak hanya biota laut, spesies satwa di udara dan di darat juga sangat tergantung pada keberadaan hutan mangrove. Hal ini berakibat spesies satwa tersebut mencari habitat baru yang menambah persoalan manusia. Fenomena perpindahan satwa dari hutan mangrove ke pemukiman masyarakat dapat tergambar pada Gambar % 50% 40% 30% 20% 10% 0% 52% 34% 12% 0% 0% harian mingguan bulanan tahunan tidak pernah Gambar 16. Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke yang Mengalami Gangguan Satwa di Lingkungan Pemukimannya Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Interpretasi Gambar 16 di atas adalah bahwa dari 50 responden masyarakat Muara Angke, terdapat 52 persen responden yang hampir setiap bulannya menjumpai satwa dari hutan mangrove yang berada di lingkungan pemukimannya. Responden yang mengalami gangguan satwa pada setiap

12 89 minggunya berjumlah 34 persen dan responden yang terganggu oleh satwa yang mengungsi ke pemukiman setiap harinya sebesar 12 persen. Satwa yang kerap kali ditemui warga adalah utamanya monyet, ular, burung, buaya, biawak dan sebagainya. Satwa yang hampir setiap hari berkunjung ke pemukiman warga pada umumnya adalah monyet. Monyet sebagai satwa yang hidupnya berkoloni berpindah menuju pemukiman warga untuk mencari makanan dengan mengacakacak tempat sampah. Penyempitan luasan hutan mangrove di Muara Angke untuk dijadikan sentra bisnis dan pemukiman, membuat habitat bagi biota laut juga semakin sempit. Hutan mangrove juga menjadi habitat biota darat dan tempat singgah bagi satwa yg hidup di udara. Perambahan hutan mangrove membuat beberapa spesies satwa tersebut bermigrasi mencari habitat baru dan pada akhirnya dapat mengganggu ketentraman manusia yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Berdasarkan kondisi yang dialami masyarakat Muara Angke dapat disimpulkan bahwa kerusakan hutan mangrove dan penyempitan luasan lahan mangrove akibat tekanan pembangunan, dapat berimbas pada hilangnya habitat satwa, sehingga tidak heran apabila sering terjadi serbuan koloni satwa di pemukiman warga. 6.3 Ikhtisar Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu terjadinya perubahan sosial. Konflik sebagai pengantar pada terjadinya perubahan sosial di Muara Angke, memiliki aspek keterkaitan dengan sistem nilai dan norma (etika ekosentrisme) yang mulai luntur serta ketidakjelasan tata aturan (kelembagaan) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Kondisi ini sangat terlihat pada perbenturan ideologi pengelolaan sumberdaya alam dari masing-masing aktor. Kerusakan lingkungan di Muara Angke menjadi sebuah keniscayaan selama interaksi pihak-pihak yang menggunakan sumberdaya alam hutan mangrove masih timpang dalam hal penguasaan lahan, pemanfaatan dan konservasi hutan mangrove. Perubahan lingkungan dari serangkaian interaksi sosial dan ekologi yang terjadi pada masyarakat pesisir Muara Angke dilihat dari fenomena bencana banjir, tingkat hasil tangkapan nelayan dan migrasi swasta ke

13 90 perumahan penduduk yang dapat mengganggu kenyamanan. Ketiga fenomena ini adalah peristiwa yang sering dialami oleh masyarakat seiring dengan laju pembagunan yang berkembang pesat di Jakarta khususnya di kawasan pesisir Muara Angke. Masyarakat Muara Angke kini dapat dilanda banjir (baik banjir rob maupun banjir kiriman) dengan frekuensi yang sangat sering yaitu banjir harian (setiap hari). Masyarakat nelayan juga mengalami penurunan hasil tangkapan dengan kisaran kurang dari setengah hasil tangkapan hingga lebih dari setengah hasil tangkapan. Kemudian, masyarakat juga mengalami gangguan dari satwa akibat migrasi satwa yang habitatnya terdesak dengan pembangunan yang dilakukan swasta. Konsekuensi yang dirasakan masyarakat Muara Angke ini juga ada pengaruh dari perubahan iklim (cuaca buruk, ketidakjelasan iklim, naiknya permukaan air laut dan gelombang tinggi) yang berakibat pada terjadinya banjir dan penurunan hasil tangkapan pada nelayan. Berkurangnya luasan lahan mangrove membuat satwa kehilangan habitatnya sehingga mengungsi ke wilayah pemukiman warga dan jika hal ini sering terjadi maka akan merugikan keamanan serta kenyamanan lingkungan rumah warga. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah interaksi sosial-ekologi yang tidak seimbang dan terjadi kontestasi kepentingan dapat menimbulkan dampak sosialekologis yang merugikan. Interaksi yang dilakukan secara tidak adil dan mengabaikan kepentingan pihak lain (termasuk merugikan alam) hanya akan memberikan kuntungan jangka pendek bagi segelintir pihak yang mengeksploitasi namun justru membawa kerugian jangka panjang bagi semua masyarakat.

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pendekatan Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa meningkatnya persepsi masyarakat yang melihat adanya hubungan tidak searah antara keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: TAUFIQURROHMAN L2D 004 355 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 KESESUAIAN

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan sejak abad ke- 17 telah menjadi kota Bandar, karena memiliki posisi sangat strategis secara geopolitik dan geostrategis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN

BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Kelurahan Pluit merupakan salah satu wilayah kelurahan yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan wilayah perairan yang memiliki luas sekitar 78%, sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu sumberdaya pesisir yang penting adalah ekosistem mangrove, yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi. Hutan mangrove dengan hamparan rawanya dapat menyaring dan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hubungan antara manusia dengan lingkungan adalah sirkuler. Perubahan pada lingkungan pada gilirannya akan mempengaruhi manusia. Interaksi antara manusia dengan lingkungannya

Lebih terperinci

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI 63 BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI 7.1 Dampak Ekologi Konversi lahan pertanian ke pemukiman sangat berdampak negatif terhadap ekologi. Secara ekologis, perubahan telah terjadi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN. Eskalasi dan siklus banjir yang semakin pendek di Kota. Surabaya selama paruh kedua abad ke-20, terjadi karena

BAB VIII KESIMPULAN. Eskalasi dan siklus banjir yang semakin pendek di Kota. Surabaya selama paruh kedua abad ke-20, terjadi karena BAB VIII KESIMPULAN Eskalasi dan siklus banjir yang semakin pendek di Kota Surabaya selama paruh kedua abad ke-20, terjadi karena perubahan dan degradasi lingkungan perkotaan yang masif selama lima puluh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, dimana hampir semua aktifitas ekonomi dipusatkan di Jakarta. Hal ini secara tidak langsung menjadi

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seolah tidak pernah berhenti membangun. mengubah pula susunan alamiah yang mendominasi sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. seolah tidak pernah berhenti membangun. mengubah pula susunan alamiah yang mendominasi sebelumnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pantura atau Pantai Utara Pulau Jawa yang merupakan bagian dari kawasan pesisir, telah menjadi pusat berbagai kegiatan manusia sejak jaman kerajaan mendominasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan laut yang memiliki potensi sumberdaya alam tinggi. Salah satu sumberdaya wilayah pesisir adalah hutan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Disusun oleh: Mirza Zalfandy X IPA G SMAN 78 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549.

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: DINA WAHYU OCTAVIANI L2D 002 396 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari Kesejahteraan masyarakat pesisir secara langsung terkait dengan kondisi habitat alami seperti pantai, terumbu karang, muara, hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad

BAB I PENDAHULUAN. berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan tepi air ataupun kawasan tepi sungai di Indonesia sebenarnya berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad telah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS Bab ini menguraikan isu-isu strategis yang dihadapi oleh Kabupaten Bintan. Isu-isu strategis ini berkaitan dengan permasalahan-permasalahan pokok yang dihadapi, pemanfaatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta merupakan tujuan utama bagi penduduk untuk berurbanisasi karena mereka pada umumnya melihat kehidupan kota yang lebih modern dan memiliki lebih banyak lapangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh dan fenomena alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh dan fenomena alam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh dan fenomena alam yang ada, berbagai macam aktifitas manusia pasti berhubungan dengan lingkungan. Salah atu kelebihan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA Disampaikan dalam Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) Dosen: PELATIHAN DAN SOSIALISASI PEMBUATAN

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan latar belakang studi, rumusan masalah, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, metoda penelitian (meliputi ruang lingkup, pendekatan, sumber dan cara mendapatkan

Lebih terperinci

YANG SENDIRIAN TEROMBANG-AMBING

YANG SENDIRIAN TEROMBANG-AMBING YANG SENDIRIAN TEROMBANG-AMBING Kompas, Selasa, 8 FEBRUARI 2011 OPINI Revolusi Biru. Semangatnya bisa dianalogikan dengan Revolusi Hijau yang mengangkat Indonesia di mata dunia dan Pak Harto, Presiden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

3.1 Metode Identifikasi

3.1 Metode Identifikasi B A B III IDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR DAS PENYEBAB KERUSAKAN KONDISI WILAYAH PESISIR BERKAITAN DENGAN PENGEMBANGAN ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT PESISIR 3.1 Metode Identifikasi Identifikasi adalah meneliti,

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR Oleh: NUR HIDAYAH L2D 005 387 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Selain itu,indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Selain itu,indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah laut yang lebih luas daripada luas daratannya. Luas seluruh wilayah Indonesia dengan jalur laut 12 mil adalah lima

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 P. Nasoetion, Pemanasan Global dan Upaya-Upaya Sedehana Dalam Mengantisipasinya.

BAB I PENDAHULUAN. 1 P. Nasoetion, Pemanasan Global dan Upaya-Upaya Sedehana Dalam Mengantisipasinya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim atau Climate change adalah gejala naiknya suhu permukaan bumi akibat naiknya intensitas efek rumah kaca yang kemudian menyebabkan terjadinya pemanasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir sudah menjadi masalah umum yang dihadapi oleh negaranegara di dunia, seperti di negara tetangga Myanmar, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapore, Pakistan serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan Kapuk, Kelurahan Kamal dan Kelurahan Tegal Alur, dengan luas wilayah 1 053 Ha. Terdiri dari 4 Rukun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Uraian Umum Banjir besar yang terjadi hampir bersamaan di beberapa wilayah di Indonesia telah menelan korban jiwa dan harta benda. Kerugian mencapai trilyunan rupiah berupa rumah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau merupakan perairan umum daratan yang memiliki fungsi penting bagi pembangunan dan kehidupan manusia. Secara umum, danau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologi

Lebih terperinci