Pembukaan Diskusi ini dibuka dan dimoderatori oleh Yance Arizona dari Epistema Institute pada pukul

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pembukaan Diskusi ini dibuka dan dimoderatori oleh Yance Arizona dari Epistema Institute pada pukul"

Transkripsi

1 Seri Diskusi Masyarakat Adat Model-Model Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam Masyarakat Adat Diselenggarakan Atas Kerja Sama AMAN, HuMa, Epistema Institute, Pusaka Pembukaan Diskusi ini dibuka dan dimoderatori oleh Arizona dari Epistema Institute pada pukul (Moderator) Diskusi ini merupakan seri kedua di mana seri pertama dilakukan dengan Komnas HAM. Ada gagasan untuk memasukkan rumusan pengaturan penyelesaian konflik ke dalam RUU pengakuan masyarakat hukum adat. Diskusi ini dilakukan untuk memberi pengayaan wacana dan gagasan tentang bagaimana model-model penyelesaian konflik SDA untuk masyarakat adat dapat dirumuskan. Pembicara 1. Ibu Nurul Elmiyah (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia) 2. Bapak Martua Sirait (ICRAF) 3. Bapak Idham Arsyad (Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria) (Untuk materi pembicara, lihat slide presentasi dan makalah) Tanya Jawab dan Diskusi (5 orang penanya dan penanggap) 1. Bpk. Abdurrahman. 1) Saya menyambut baik apa yang dikatakan sdr. Idham mengenai ada hal yang harus dibenahi. Kita sulit menetapkan ranah agraria itu yang mana. Pada tahun 60, UUPA dibentuk untuk bumi, air, ruang angkasa, dan lain-lain. Untuk waktu yang lama, agraria tidak bisa menjangkau kawasan hutan. 2) Dalam rangka menetapkan kedudukan negara dalam konteks ini, ada masalah teknis dan perkembangan ini semakin ramai ketika muncul konsep tanah kerajaan yang dulu sudah hilang. 3) Kurang jelas tentang German School. Kalau patokanya pasal 33 Konstitusi, ujungnya kembali kepada negara. Pasal ini apa akan diimplementasi sebaik mungkin atau kita gugat? Dalam UU No. 1 Tahun 99, dikatakan semua hutan adalah hutan negara, termasuk hutan adat, yang kemudian dipermasalahkan oleh teman-teman. Belum ada solusi tentang siapa yang harus menyelesaikan konflik, adat atau negara? Di UU, dijelaskan bahwa hutan adat termasuk ke dalam hutan negara yang kemudian menjadi masalah. Kalau tidak benahi, akan berkepanjangan. 4) Diharapkan ada pengadilan lain untuk menyelesaikan konflik, yaitu pengadilan adat. Pengadilan adat di Papua bukan adat sebenarnya tapi hanya melakukan mediasi. Penting untuk kita sepakati; lembaga2 apa yang akan berperan. Di palangkaraya ada perda yang tidak mengatur pengakuan adat, tapi berbicara tentang lembaga peradilan adat yang dikenal, Damang, sebagai instansi yang seakan-akan bisa melakukan segalanya seperti pengukuhan tanah sehingga BPN menjadi sinis. Tanah adat cukup ditetapkan dengan keputusan Damang yang diatur perda, tapi implementasinya masih sulit. Mereka melakukan ini karena percuma kalau ke pengadilan. Yang penting secara adat, kalau perlu dengan kekerasan untuk mempertahankan. Tahun 70-an kita konflik dengan HPH, sekarang pertambangan, tidak mudah diselesaikan. Kalau kita mengangkat tokoh adat seperti itu, apakah akan membentuk pengadilan, atau dijadikan mediator saja dalam konteks mediasi? 5) Catatan untuk Bu Nurul, mediasi yang ditetapkan MK terbatas pada court mediation sehingga tidak bisa menangani perkara di luar pengadilan. Ketika masuk ke pengadilan, ada ketentuan kalau hakim tidak melalukan mediasi, putusan bisa batal demi hukum. Makanya kita mengadakan pelatihan untuk menyelenggara mediasi. Mediatornya bisa hakim dan non-hakim yang telah mengikuti pelatihan mediasi yang sudah terakreditasi. Kalau kita mengaitkan dengan pengadilan, ok, tapi bagaimana kasus di Kalteng dengan Demangnya, apakah itu adalah perpanjangan tangan dari peradilan? Di MK, saya rasakan cukup banyak kasus; intinya adalah perkara tanah, misalnya di Sumut, Papua. Konflik mereka sampai ke pangadilan; ada yang bisa dieksekusi, ada yang tidak. 6) Setuju dengan konsep transitional justice, bahkan restorative justice untuk memulihkan masyarakat-masyarakat yang tergusur. 2. Ibu Cahyani, Dirjen Peraturan Perundang-undangan, direktorat fasilitasi perancangan perda. Kami menerima DPRD dan Pemda berkaitan dengan adat. Dari sisi peraturan Perundang-undangan, kita sudah punya banyak, bahkan UUD juga menampung hukum adat, UU.., PP Desa menampung adatistiadat desa diberi kewenangan khusus untuk membuat hal2 seperti itu, seperti di Papua. Kami pernah menghadapi daerah yang bermasalah tata ruang; berkaitan dengna tanah, hutan, ada 1

2 pertentangan kewenangan, BPN, menhut, bahkan bertentangan dengan pertambangan. Orang2 EESDM berkata tanah Indonesia dari Sabang sampai Mearuke adalah tambang,hutan lindung pun bisa ditambang. Bicara soal tanah, kita tidak bisa berbicara sendiri2, BPN, ESDM, kementerian kehutanan harus bicara mau dibawa ke mana. Tentang perangkat hukum untuk menyelesaikan masalah, kalau kita bisa menyelesaikan permasalahan tanpa UU bisa lebih baik, tidak semua permasalahan bisa diselesaikan dengan UU. Tentang mediasi, di konsep RUU KUHP, dimuat keadilan retroaktif dalam bentuk kerja sosial. Kalau bisa diselesaikan tanpa peradilan dan terlalu lama, melalui sistem kalah menang, sistem win-win solution lebih bisa masuk ke masyarakat kita. Contoh, ada pembicaraan tentang pencurian oleh orang tua, kenapa hal ini masuk pengadilan, kenapa tidak lewat kekeluargaan. Contoh tentang perangkat hukum, apakah Knupka mau diarahkan untuk dibuatkan peraturan peraturan UU untuk menyelesaikan masalah lama? MK telah me-yudisial review Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; bicara tentang penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu; kalau pelaku minta maaf dan dimaafkan, tidak ada lagi kelanjutannya. Di MK, hal seperti itu yang di-jr, apakah kita harus tetap dengan pola konvensional, penyelesaian pengadilan, atau bagaimana? Menurut saya perlu ada konsistensi dari lembaga-lembaga yang menangani masalah agraria yang terkait dengan masyarakat adat ini. 3. Bpk. Teguh, BPHN. BPHN kajiannya, menyiapkan naskah akademik dan bahan-bahan kajian untuk memunculkan RUU. 1) Tanggapan tentang tujuan hukum yang harus memenuhi asas keadilan, kepastian, dan kemanfaataan. Saya melihat penguasaan pemerintah terhadap sumber daya alam kurang tepat bila dipertentangkan dengan asas keadilan meskipun dalam aktualisasinya aparat di bawah banyak melakukan kekurangan. Ketika ada satu sumber daya alam di satu wilayah dan wilayah tersebut dikatakan sebagai tanah adat dengan klaim sejarah masyarakat, tidak dapat langsung dilihat bahwa yang paling adil adalah tanah tersebut tetap dikuasai masyarakat. Asas kemanfaatan pun harus dilaksanakan. Jangan sampai untuk memenuhi sisi keadilan, secara HAM tanah sudah dimiliki masyarkat sejak lama, tanah tidak bisa dimanfaatkan karena masyarakat tidak bisa memanfaatkan. Kalau pemerintah bisa mengambil alih dan memanfaatkan, keuntungan sosialnya bisa lebih luas. Penyelesasian kepemilikan tanah yang terjadi pada Orba harus diperbaiki, misalnya pemindahan hak milik dsb.; 2) Apakah kemudian perlu dari pihak pemerintah untuk mengkaji keberadaan tanah adat untuk mendapatkan poin2 yang disepakati bersama, kriteria tanah adat seperti apa? Jangan sampai ketika penamaan tanah adat semakin populer, orang bisa seenaknya menyatakan ini tanah adat; ada perdanya yang menguatkan satu lembaga adat yang bisa menunjuk tanah adat2 baru, ini bisa kontraproduktif dikaitkan dengan keadilan sosial. Jangan sampai masyarakat adat tidak dapat mengelola dan menegkkan keadilan sosial, 3) Bila itu disepakati, kriteria apa yang perlu dicantumkan sehingga pemetaan tanah adat bisa dilakukan? Hutan adat bisa diidentifikasi? Sehingga masyarakat adat yang masih hidup dapat menjalankan hak dan kewajibannya tanpa berbentrokan dengan kekuasaan pemerintah. Jawaban Pak Idham Arsyad Untuk Bpk. Aburrahman, ada perdebatan dari segi hukum agraria, hubungan abadi antara tanah, sumber daya alam dan negara. Dalam praktinya, sumber daya alam dikuasai negara secara berlebihan, seolah negara adalah pemilik tanah dan menentukan hak-hak baru yang sudah ada hak atau klaimnya, ini yang menjadi basis konflik agraria. Contoh,, UUPA secara jelas di pasal 5 menegaskan bahwa ini bersumber dari hukum adat; hubungannya seperti apa? Pasalnya tidak berkembang, dibutuhkan kajian baru tentang sistem tenurial di wilayah masyarakat. UUPA dipetieskan oleh Orba sehingga pasal-pasalnya tidak menjadi acuan. Menjadi semangat reformasi yang harus diselesaikan. Untuk Ibu Cahyani dan Pak Teguh; itulah konflik kewenangan antardepartemen tentang penyelesaian konflik agraria; siapa yang paling berhak menentukan kuasa terhadap sumber daya alam? Contoh BPN; di sana, ada keterbatasan untuk menetapkan kuasa. Dalam praktik politik, tidak bisa menetapkan untuk seluruh Indonesia. Dephut; mengelola manfaat bertindak seperti penguasa tanah. Politik hukum agraria kita mau seperti apa? Hubungan abadi orang-sumber daya alam seperti apa untuk memenuhi pasal 33; kalau tidak ada, pasalnya amburadul; menurut saya perkembangan mengabdi pada perkembangan kapitalisme; mengarah pada penguatan investasi; paradigma ekonominya mau apa? Bukan sekadar perkara hukum. Penuhi dulu domestik dalam negeri tanpa menghajar hutan dan pertambangan, penuhi pangan dulu. Sekarang sumber daya alam kita sedang untuk ke luar; tanpa mermandang ekonomi-politik lalu memandang hukum akan bermasalah karena 2

3 yang bermasalah adalah politik hukumnya. Akan menyesatkan kalau konflik yang kita hadapi dianggap perkara hukum, misal perusahaan HGU tidak akan pernah mengatakan saya bersalah ketika mengambil tanah orang karena ada dasar HGU; bekerja atas nama hukum. Dari sisi keadilan tidak adil, jadi soal. Di situ masalahnya. Yang sering kita penuhi adalah soal kepastian dan kemanfaatan, tapi ketidakadilan tidak pernah dipenuhi. Yang ingin dicapai Knupka: 1) konflik saat ini tidak mungkin diselesaikan lewat cara konvensional: pengadilan dan mediasi. Terobosannya adalah menggunakan prinsip transitional justice dengan asas retroactive justice. Kasus Tapos. Cimacan muncul karena penyalahgunaan kewenangan pejabat publik Orba. Beda dalam kerangka rekonsiliasi. Kalau merampas tanah, seluruh identitas ikut hilang, tidak hanya tanah. Jadi, terpenuhinya ekonomi orang belum tentu adil di dalam masyarakat adat. Jadi, ini dijadikan perspektif untuk kerangka penyelesaian konflik agraria. TJ diusulkan ketika rezim reformasi mungkin karena sudah lama ini jadi tidak releven. Di Afrika Selatan, 3 tahun pertama mengadukan, 5 tahun, 2 tahun penyelesaian. Di kita tidak ada, tidak pernah mau dilihat secara holistik. Kalau masih begitu, konflik agraria tidak pernah selesai karena ini urusan penghidupan, tidak selesai politik hukum di Indonesia. Pak Martua 1. Tentang pasal 33, saya rasa UU tidak berdiri sendiri tapi bersama pasal2 lain, termasuk pasal 18. Kalau kita lihat turunannya, UUPA, dikenal dikuasai negara langsung dan tidak langsung. Padanan dikuasai langsung adalah sumber2 agraria yang tidak diklaim pihak lain atau tidak ada yang memilikinya. UUPA menolak kepemilikan negara tapi hanya penguasaan negara, bercermin pada UU kehutanan, mana yang dikuasai langsung dan mana yang dikuasai tak langsung? Menjadi masalah pada UU kehutanan menjadi tabrakan dalam UU kehutanan itu sendiri. Contoh ada definisi kawasan hutan dalam UU Kehutanan yang menyatakan Kawasan Hutan adalah kawasan yang tidak dibebani hak tapi ada definisi lain, hutan negara; semua hutan yang ditunjuk dan atau ditetapkan. Ini sendiri belum tentu tidak dibebani hak sehingga bertabrakan. Saya berhenti pake UU kehutanan untuk melihat hak-hak yang berkaitan dengan penguasaan karena di dalamnya rancu. Yang dikuasai negara langsung adalah yang sudah selesai tata batasnya sehingga masyarakat mengakui kawasan tersebut adalah hutan secara legal dan legitimate, juta ha. Yang 100 juta hektar belum ada yang tahu karena masuh ada hak2 lain di dalamnya yang perlu dihormati sehingga ada batasan kehutanan di kawasan tersebut, misal tidak memberikan izin HPH dan hutan produksi. Otherwise, akan semakin rumit. Itu letak German School of Forestry yang menetapkan keseluruhannya adalah negara. Di abad ini, yang menetapkan GsoF adalah China, negara menetapkan sendiri masyarakat tidak bisa menyatakan itu punya saya atau tidak. Tidak demikian saya rasa di Indonesia. 2) mengenai penguasaan negara jangan ditabrakan dengan aspek keadilan, justru kita harus menabrakannya dan menemukan titik2 baru, kalau tidak akan banyak terjadi pelanggaran, contoh dalam UU kehutanan, kemenhut berhak menunjuk dan menetapkan kawasan hutan, tapi dia juga yang menjalankan kewenangan sehari2: pengelolaan, izin, pelepasan izin di luar kehutanan seperti tambang, perhutanan dsb. Itu menurut saya conflict of interest. Ini bahaya, proses2 akumulasi negara yang paling primitif yang langsung meloncat mengambil aset2 rakyat untuk membangun industri. Kita perlu batasan. Kalau semua diprivatisasi masalah juga, kalau dikuasai semua oleh negara juga masalah. Harus menemukan titik-titik baru. Ibu Nurul Ibu Cahyani. Di pasal 4 perma 1 tahun 2008, jenis perkara yang dimediasikan ada pengecualiannya, yaitu yang diselesaikan lewat pengadilan niaga, KPPU, konsumen, pengadilan hubungan industrial, jadi kalau masuk baru bisa dimediasi. Mengenai damang, sudah ada perda tapi tidak bisa jalan. Jangan sampai sudah ada perdanya, sudah dilakukan cara-cara mediasi menurut hukum adat, tapi tidak ada gunanya. Ini perlu diformalkan supaya tidak mubazir. Mengenai penelitian, apakah perlu? Menurut kami, sangat perlu. Sesuai dengan metodologi yang ada, tidak bisa seperti satu penelitian seperti yang saya temukan, dilakukan hanya melalui kuesioner. Di sini perlu kehati-hatian untuk melakukan penelitian secara metodologis. Sayangnya, penelitian tentang hukum adat tidak ada yang meminati. Politik hukumnya ke mana nih sekarang? Sudah lebih ke uang sehingga adat ditinggalkan. Padahal setelah ada otonomi banyak yang bisa dilakukan, seperti pembaruan agraria. Katakan 20 ha diberikan pada perusahaan, tapi ada HGU, apa tidak ada masyarakat adat? Belum tentu, karena hak penguasaan tanah menurut UUPA, ada hak milik, dsb. Dalam masyarakat adat, bukan seperti itu, tapi bagaimana hubungan masyarakat adat dengan tanahnya; kalau menggarap terus menerus bisa melahirkan hak milik. Saya setuju membenturkan asas keadilan dengan pemanfaatan. 3

4 Beda pandangan, tidak bisa dibiarkan seperti ini terus. Untuk Ibu Cahyani, memang harus duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan ini. 5 model penyelesaian konflik sumber daya alam 1. Mekanisme adat, misal lewat damang, dsb. 2. Negosiasi yang berujung pada pemberian fee, ganti rugi dan kesepakatan konservasi, dalam bentuk hutan desa, HTR, pelepasan kawasan 3. Mediasi dan HDR 4. Pengadilan negeri, PTUN, 5. Penanganan khusus agraria Interupsi Pak Abdurrahman Saya tidak menganggap kasus Kalteng mekanisme hukum adat, tapi ada perdanya yang memberikan kewenangan. Saya menemukan satu contoh, tapi apakah ini rasional atau layak? Surat keterangan tanah adat dan tata anak sungai di Sungai Sampit, luas yang diberikan ke individu 2400 ha. Itu menjadi masalah. Itu harus didiskusikan, jangan sampai kembalinya tanah adat diiringi dengan kembalinya tanah kerajaan (di Kutai). Termin kedua difokuskan untuk membahas ke-5 model di atas untuk memformulasikan ke RUU. Termin Kedua Mbak Sandra Secara umum, catatan. Penting untuk dipertanyakan, harusnya ada pemilahan penyelesaian konflik di dalam masyarakat adat itu sendiri dan yang terkait dengan masyarakat adat ketika ia menjadi pihak dalam konflik. Penyelesaian konflik di dalam masyarakat adat bisa jadi melalui hukum adat, tapi bisa juga lewat pengadilan. Kalau tidak bisa diselesaikan lewat adat, ke mana harus pergi? Misal hak waris Batak yang tidak adil gender. Kalau tidak ada konflik yang manifest, misal ketimpangan penguasaan tanah dalam masyarakat adat, siapa yang menyelesaikan? Misal penguasaan oleh elit, Siapa yang bisa melakukan intervensi, apakah oleh BPN? Jadi, selain ada konflik masyarakat adat dengan pihak lain, ada juga dengan sesamanya, dan antara konflik yang manifest dan tidak manifest. Dengan pihak luar, akan berbeda-beda tergantung melawan siapa: dephut, esdm, pemilik HGU? Soal 5 mekanisme, bisa berlaku di semua pihak, tapi lebih baik untuk penyusunan RUU, perlu ada localizing problems sehingga terlihat jelas lembaga mana yang berwenang. Dalam soal pidana, masih sangat umum. RUU ini bukan hanya RUU sumber daya alam, tapi RUU masyarakat adat. Febri (Badan Pembinaan Hukum Nasional) Komentar untuk Knupka; apakah komisi ini mampu mengatasi problematika masyarakat adat karena setelah reformasi banyak komisi di Indonesia, sekitar 82. Tidak sampai 50%-nya efektif. Apakah bisa menjadi jawaban? Terkait problem.permasalahannya kebijakan pemerintah untuk mengatur masalah ini menjadi peraturan UU. Seandainya akan mengajukan RUU, kita harus melalui tahap rapat antardepartemen. Di sana, proses di mana kepentingan2 (di RUU masyarakat adat banyak kepentingan: kehutanan, ESDM, dsb.) bermain. Bagaimana mengatasi konflik kepentingan tersebut? Lalu, untuk masalah peradilan khusus agraria; bagaimanapun masyarakat adat termarjinalkan dan orang-orangnya belum tentu memiliki skill untuk litigasi. Bagaimanapun dalam perundang-undangan, apabila kuat pasti menang, jadi masyarakat adat akan sulit. Jadi kunculnya di perundang-undangan di mana ego sektoral harus diminimalkan untuk keadilan masyarakat. Eras Baru diingatkan inisiatif yang dulu ada, yang penting kita pahami: Kunpka adalah gagasan penyelesaian konflik agraria secara tidak biasa karena cara lain tidak efektif. Gagasan ini harus terus diperkuat ke depan terutama mengenai gagasanbahwa hukum itu dalam penyelesaian kasus agraria mestinya berlaku surut agar adil, sebelumnya harus didaftarkan, forum2 apa saja yang bisa digunakan masyarakat untuk menuntut hak atas tanah. Meskipun banyak forum, masyarakat sulit memonitor efektivitas dan output dari kerja forum yang ada. 4

5 Misal ada negosiasi atau memanfaatkan jasa pihak ketiga, misal pengacara. Masyarakat sulit memonitor apakah mereka betul-betul menyuarakan suara mereka atau justru bermain mata. Harus mendaftar dan menganalisis forum seperti apa yang patut diperjuangkan untuk masyarakat. Pak Kurniawarman Penyelesaian dari Ibu Nurul sistem peradilan 151 sudah menghapus peradilan adat. UU 30 99, posisikan posisi rukun. Di UU itu, penyelesaian sengketa di luar pengadilan bisa mendapatkan eksekutorial kalau didaftarkan ke PN. Yang dikeluhkan eksekusinya tidak bisa dipaksakan. Waktu saya diskusi dengan hakim agung, sepertinya masyarakat adat keberatan dengan UU karena kalau begitu pengadilan menjadi tukang stempel. Kalau putusan adat di Bali dibawa ke pengadilan dia tidak mau(kami bukan tukang stempel) sehingga masyarakat adat mendorong mediasi pengadilan. Jadi kalau kita pergi ke pengadilan mau menggunakan mekanisme UU 30 99, dia akan mendorong untuk mendaftarkan sebagai perkara tapi diselesaikan secara damai. Tapi lama lagi prosesnya. Kita bisa mendompleng UU itu. Saya mendorong penyelesaian adat wajib diselesaikan di KAN dan didaftarkan ke PN untuk mendapatkan pengukuhan. Pak Idham RUU ini harus mencerminkan sifat protektif terhadap ancaman dari luar. Kesempatan untuk mencerminkan pluralisme hukum untuk menerapkan penyelesaian internal. Tidak semua kesadaran kolektif adat bisa dianggap benar; ada juga ketimpangan di dalamnya. Ke depan harus diatur. Sampai hari ini tidak diakui: penguasaan komunal, yang ada hak menguasai negara yang diterjemahkan ke dalam hak milik, tidak ada ruang bagi hak komunal. Harus dilengkap dengan bacaan sosial-ekonomi masyarakat kita. Mau sosialisme atau neopopulis? Soal Knupka efektif atau tidak? Sulit karena presiden menolak menerapkan knupka. Soal solusi keluar dari model konvensional, ya. Basisnya adalah HAM dan transitional justice, jadi ada dimensi penguatan HAM yang dominan. Misal, pengadilan agraria penting, misal ada orang yang ditangkap memanfaatkan lahan HGU karena tidak makan, dikriminalisasi, tidak ada hukum yang masuk, jadi perlu ada pengadilan agraria. Pak Martua Saya pikir model fee tidak membantu dalam memperbaiki ketimpangan stuktur agraria untuk isu tanah dan sumber daya alam. Model ini sudah harus tamat, tidak direkomendasikan. Ini hanya muncul di era 70 dan 80-an dan terlihat seperti passive income dan tidak memperbaiki struktur agraria yang timpang saat ini di Indonesia. Mbak Sandra Catatan. Pak idham menekankan bahwa pengarilan agraria bukan untuk saat ini. Pengadilan itu untuk saat ini tidak mampu memberikan keadilan. Konsep TJ harus dipahami. Zaman Orba, hukum tidak mampu memberi keadilan, maka berkembang wacana TJ yaitu keadilan dalam masa transisi. Selesai masa transisi, diberlakukanlah sistem2 yang semestinya ada. Dalam istilah hukum, knupka, kkr adalah institusi transisional, seperti KPK. Kalau institusi negara sudah normal, nggak perlu institusi2 transisional. Jadi yang 82 itu institusi yang bertugas menjaga reformasi dan ada institusi yang nantinya harus ada terus. KY juga nantinya nggak perlu, ombudsman mungkin harus tetap perlu. Jadi, knupka dll itu adalah institusi masa transisi. Sebenarnya tema ini beriringan dengan inisiatif RUU masyarakat adat untuk menimbang2 perlu tidak memasukkan persoalan penyelesaian konflik. Pertanyaan yang paling mendasar, apakah mekanisme penyelesaiam konflik bisa menjangkau konflik masa lalu (makanya knupka diangkat), 2) bagaimana relasi lembaga2 penyelesaian konflik, pengadilan adat, PU, PN. Nanti ada diskusi selanjutnya oleh AMAN tentang instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan masyarakat adat. Demikian diskusi kita hari ini 5

Masyarakat Adat di Indonesia dan Perjuangan untuk Pengakuan Legal

Masyarakat Adat di Indonesia dan Perjuangan untuk Pengakuan Legal Masyarakat Adat di Indonesia dan Perjuangan untuk Pengakuan Legal Pandangan dan Pengalaman AMAN Mina Susana Setra Deputi untuk Advokasi, Hukum dan Politik - AMAN GCF TaskForce REDD+ Training Bali, 20 November

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU TENTANG PERTANAHAN KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU TENTANG PERTANAHAN KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT PANJA RUU TENTANG PERTANAHAN KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab terdahulu, kiranya dapat. disimpulkan dalam beberapa poin sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab terdahulu, kiranya dapat. disimpulkan dalam beberapa poin sebagai berikut: 108 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab terdahulu, kiranya dapat disimpulkan dalam beberapa poin sebagai berikut: 1. Perlindungan Hukum dari Pemerintah Daerah terhadap Hak-Hak

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN 1 RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI III DPR RI DENGAN PANITIA SELEKSI KOMISIONER KOMNAS HAM --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

Wacana Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam RUU KUHP Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 28 Agustus 2015; disetujui: 31 Agustus 2015

Wacana Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam RUU KUHP Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 28 Agustus 2015; disetujui: 31 Agustus 2015 Wacana Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam RUU KUHP Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 28 Agustus 2015; disetujui: 31 Agustus 2015 Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT KONSULTASI KOMISI III DPR RI DENGAN MAHKAMAH AGUNG RI --------------------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang : 2016-2017.

Lebih terperinci

Peluang Hukum Keberadaan dan Perlindungan/Pengakuan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber daya Alam

Peluang Hukum Keberadaan dan Perlindungan/Pengakuan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber daya Alam Peluang Hukum Keberadaan dan Perlindungan/Pengakuan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber daya Alam Mumu Muhajir Epistema Institute Rangkasbitung, 27 Maret 2013 Hubungan Masyarakat Adat dan Negara Kehadiran

Lebih terperinci

MENGUAK GAGASAN DAN UPAYA INISIASI RUU TENTANG PENGADILAN KEAGRARIAAN 1

MENGUAK GAGASAN DAN UPAYA INISIASI RUU TENTANG PENGADILAN KEAGRARIAAN 1 A. Pendahuluan MENGUAK GAGASAN DAN UPAYA INISIASI RUU TENTANG PENGADILAN KEAGRARIAAN 1 Oleh: FX Sumarja 2 Perdebatan tentang perlu tidaknya lembaga penyelesaian sengketa pertanahan sudah lama mengemuka.

Lebih terperinci

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis merupakan upaya yang terus-menerus dilakukan, sampai seluruh bangsa Indonesia benar-benar merasakan keadilan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bidang perkebunan merupakan salah satu bidang yang termasuk ke dalam sumber daya alam di Indonesia yang memiliki peranan strategis dan berkontribusi besar

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29 Juli 2008 Pukul : 08.30 WIB Tempat : Balai Petitih Kantor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

Refleksi Pendampingan Pembentukan Produk Hukum Daerah mengenai Masyarakat Adat dan Wilayah Adat 1

Refleksi Pendampingan Pembentukan Produk Hukum Daerah mengenai Masyarakat Adat dan Wilayah Adat 1 Refleksi Pendampingan Pembentukan Produk Hukum Daerah mengenai Masyarakat Adat dan Wilayah Adat 1 Yance Arizona, SH, MH. [Pj. Direktur Eksekutif Epistema Institute] I. Pengantar Pantia dari Sajogyo Institute

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI

Lebih terperinci

Yang Terhormat: Sulawesi Tengah

Yang Terhormat: Sulawesi Tengah SAMBUTAN PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM KEGIATAN RAPAT MONEV KOORDINASI DAN SUPERVISI GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN MAKASSAR, 26 AGUSTUS 2015

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20

HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20 HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20 Oleh Drs. Sidarto Danusubroto, SH (Ketua MPR RI) Pengantar Setiap tanggal 10 Desember kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FASILITASI PENANGANAN SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FASILITASI PENANGANAN SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FASILITASI PENANGANAN SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, :

Lebih terperinci

Pluralisme Hukum Dalam Pengalaman: Menggugat Kepastian dan Keadilan Sentralisme Hukum 1

Pluralisme Hukum Dalam Pengalaman: Menggugat Kepastian dan Keadilan Sentralisme Hukum 1 Pluralisme Hukum Dalam Pengalaman: Menggugat Kepastian dan Keadilan Sentralisme Hukum 1 Rifai Lubis 2 Pengantar Tulisan ini akan berusaha untuk menghindar dari hal-hal yang bersifat teoritik atas pluralisme

Lebih terperinci

Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan. wewenang yang dimiliki Pengadilan Agama yaitu memeriksa, mengadili,

Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan. wewenang yang dimiliki Pengadilan Agama yaitu memeriksa, mengadili, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam lingkup khusus. 1 Kekhususan

Lebih terperinci

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara Menghadirkan Negara Agenda prioritas Nawacita yang kelima mengamanatkan negara untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendorong reforma agraria (landreform) dan program kepemilikan tanah 9 juta hektar.

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIM PERUMUS RUU TENTANG KUHP KOMISI III DPR RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI --------------------------------------------------- (BIDANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

Lebih terperinci

Notulensi FGD. Aliansi Nasional. Reformasi KUHP

Notulensi FGD. Aliansi Nasional. Reformasi KUHP Notulensi FGD Aliansi Nasional Reformasi KUHP HuMa Aliansi Nasional RKUHP - DRSP 2006 1 Focus Group Discussion (FGD) Tempat : Hotel Pangeran Beach, Padang Hari, Tanggal : Selasa, 19 September 2006 Peserta:

Lebih terperinci

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)

KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) NURYANTI WIDYASTUTI Direktur Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah dan Pembinaan

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA MATCH DAY 13 PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 2)

BAHAN KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA MATCH DAY 13 PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 2) BAHAN KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA MATCH DAY 13 PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 2) B. Lembaga/Pihak Dalam Penegakan Hukum Lembaga atau pihak apa saja yang terkait dengan upaya penegakan hukum? dan apa tugas dan

Lebih terperinci

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) 1. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. 2. Kebijakan pembangunan pertanahan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM. Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015

Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM. Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015 Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015 Poin pembelajaran Konteks kelahiran Komnas HAM Dasar pembentukan

Lebih terperinci

NOTULA CERAMAH PENINGKATAN PENGETAHUAN TENAGA PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NOTULA CERAMAH PENINGKATAN PENGETAHUAN TENAGA PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NOTULA CERAMAH PENINGKATAN PENGETAHUAN TENAGA PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Hari/ Tanggal : Jum at, 3 Desember 2010 Waktu : Pukul 09.30 WIB s.d. selesai Tempat : Ruang Rapat B Lt 4 Gedung Ditjen

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RANGKA PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI RUU TENTANG PERTANAHAN Tahun Sidang Masa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan NAWACITA Meningkatkan kualitas manusia Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman Membangun Indonesia dari pinggiran

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

ANCAMAN RUU PEMDA KEPADA DEMOKRATISASI LOKAL DAN DESENTRALISASI

ANCAMAN RUU PEMDA KEPADA DEMOKRATISASI LOKAL DAN DESENTRALISASI ANCAMAN RUU PEMDA KEPADA DEMOKRATISASI LOKAL DAN DESENTRALISASI Pembahasan RUU Pemda telah memasuki tahap-tahap krusial. Saat ini RUU Pemda sedang dibahas oleh DPR bersama Pemerintah, ditingkat Panja.

Lebih terperinci

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Hukum merupakan landasan penyelenggaraan negara dan landasan pemerintahan untuk memenuhi tujuan bernegara, yaitu mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik kepentingan atas

I. PENDAHULUAN. Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik kepentingan atas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik kepentingan atas tanah. Sengketa tanah tidak dapat dihindari dizaman sekarang, ini disebabkan karena berbagai

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 1 PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI DALAM PERKARA WARISAN DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajad Sarjana Hukum dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 68/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 68/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 68/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan

Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan Lampiran KESATU Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan Bab 1. Pendahuluan Konflik perizinan dan hak terjadi atas klaim pada areal yang sama Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No: 45/PUU-IX/2011

Lebih terperinci

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Denny Indrayana Workshop, ICW, 31 Agustus 2005 Format LPSK Menurut RUU Usul Inisiatif DPR Perbandingan dengan Amerika Serikat dan Afrika Selatan Bagaimana sebaiknya?

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA DISKUSI PUBLIK PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA MEDAN, 12 MEI 2016 Pocut Eliza, S.Sos.,S.H.,M.H. Kepala Pusat Analisis

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT I. Pendahuluan Pimpinan Komisi VI Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

- 9 - No. Permasalahan Tujuan Tantangan Indikator Keberhasilan Fokus

- 9 - No. Permasalahan Tujuan Tantangan Indikator Keberhasilan Fokus - 9 - Strategi 1: Penguatan Institusi Pelaksana RANHAM Belum optimalnya institusi pelaksana RANHAM dalam melaksanakan RANHAM. Meningkatkan kapasitas institusi pelaksana RANHAM dalam rangka mendukung dan

Lebih terperinci

kliping ELSAM KLP: RUU KKR-1999

kliping ELSAM KLP: RUU KKR-1999 KLP: RUU KKR-1999 KOMPAS - Senin, 28 Jun 1999 Halaman: 1 Penulis: FER/AS Ukuran: 5544 RUU HAM dan Komnas HAM: Jangan Hapuskan Pelanggaran HAM Orba Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan pada Bab IV, maka peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Aktor Penyelenggara Pengadaan Tanah

Lebih terperinci

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Oleh Agung Putri Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Implementasi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

KODE ETIK MEDIATOR Drs. H. HAMDAN, SH., MH. Pendahuluan. Terwujudnya keadilan yang cepat, sedarhana dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap

KODE ETIK MEDIATOR Drs. H. HAMDAN, SH., MH. Pendahuluan. Terwujudnya keadilan yang cepat, sedarhana dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap KODE ETIK MEDIATOR Drs. H. HAMDAN, SH., MH. Pendahuluan. Terwujudnya keadilan yang cepat, sedarhana dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap pencari keadilan dimanapun. Undang-Undang Nomor 48 Tahun

Lebih terperinci

PENGGUGAT KONTRAK KARYA FREEPORT TAK PUNYA LEGAL STANDING

PENGGUGAT KONTRAK KARYA FREEPORT TAK PUNYA LEGAL STANDING PENGGUGAT KONTRAK KARYA FREEPORT TAK PUNYA LEGAL STANDING www.kompasiana.com Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Suko Harsono menyatakan gugatan Indonesian Human Right Comitte

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DISKUSI PUBLIK PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK PANGKAL PINANG, 28 JULI 2016 Min Usihen, S.H., M.H. Kepala Pusat Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online PENGHAPUSAN KEWENANGAN PEMERINTAH UNTUK MEMBATALKAN PERDA; MOMENTUM MENGEFEKTIFKAN PENGAWASAN PREVENTIF DAN PELAKSANAAN HAK UJI MATERIIL MA Oleh: M. Nur Sholikin * Naskah diterima: 24 pril 2017; disetujui:

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN DAN TUGAS MEDIATOR DAN HAKAM DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN DAN TUGAS MEDIATOR DAN HAKAM DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM 68 BAB IV ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN DAN TUGAS MEDIATOR DAN HAKAM DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Analisis Terhadap Kedudukan Hakam Setelah Berlakunya Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

RechtsVinding Online. RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. bersikap untuk tidak ikut ambil bagian. dalam voting tersebut.

RechtsVinding Online. RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. bersikap untuk tidak ikut ambil bagian. dalam voting tersebut. BATAS PENCALONAN PRESIDEN DALAM UU NO. 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah Diterima: 2 Oktober 2017, Disetujui: 24 Oktober 2017 RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang disetujui

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 7 2006 SERI E R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN MENGHARAP BERKAT DAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat di pisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konflik 1. Pengertian Konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan dalam kehidupan manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara yang dapat

Lebih terperinci

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau No. 6, September 2001 Bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik, Salam sejahtera, jumpa lagi dengan Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama.

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu kekayaan alam atau sumber daya alam yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia adalah tanah. Manusia hidup

Lebih terperinci

V. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Kementerian melaksanakan kebijakan

V. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Kementerian melaksanakan kebijakan 156 V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Kementerian melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

Eksistensi Hutan Adat Dalam Pembangunan Kehutanan di Indonesia. Paska Putusan MK No. 35/PUU-X/2012

Eksistensi Hutan Adat Dalam Pembangunan Kehutanan di Indonesia. Paska Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 Eksistensi Hutan Adat Dalam Pembangunan Kehutanan di Indonesia Paska Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 Seminar Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan Dalam Perspektif Tata Ruang Kupang, 2 Juli 2013 Suer Suryadi

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA A. KONDISI UMUM Penghormatan, Pengakuan, dan Penegakan atas Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam tahun 2005 mencatat

Lebih terperinci

LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR

LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR A. FAKTA HUKUM 1. Bahwa Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PP.05.01 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM

REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM GUNAWAN SASMITA DIREKTUR LANDREFORM ALIANSI PETANI INDONESIA JAKARTA 10 DESEMBER 2007 LANDASAN FILOSOFI TANAH KARUNIA TUHAN

Lebih terperinci

Road Map Pembaruan Agraria di Indonesia

Road Map Pembaruan Agraria di Indonesia Road Map Pembaruan Agraria di Indonesia Agraria di Indonesia merupakan persoalan yang cukup pelik. Penyebabnya adalah karena pembaruan agraria lebih merupakan kesepakatan politik daripada kebenaran ilmiah,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari apa diuraikan dalam bab-bab sebelumnya maka penulis dapat menarik

BAB V PENUTUP. Dari apa diuraikan dalam bab-bab sebelumnya maka penulis dapat menarik BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari apa diuraikan dalam bab-bab sebelumnya maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan : 1. Para pengguna jasa parkir hingga saat ini masih belum merasa dilindungi oleh

Lebih terperinci

Komentar Atas Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah

Komentar Atas Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Komentar Atas Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Iskandar Saharudin Memo Kebijakan #3, 2014 PENGANTAR. RANCANGAN Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah (RUU Pemda) saat ini sedang dibahas oleh

Lebih terperinci

DARI REFORMASI KEMBALI KE ORDE BARU

DARI REFORMASI KEMBALI KE ORDE BARU Okt 2017 DARI REFORMASI KEMBALI KE ORDE BARU Tinjauan Kritis Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 Oleh: Agung Wibowo, Muhammad Arman, Desi Martika Vitasari, Erasmus Cahyadi, Erwin Dwi Kristianto, Siti

Lebih terperinci

BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI

BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KONAWE UTARA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Oleh Deddy Permana / Yayasan Wahana Bumi Hijau Sumatera selatan

Oleh Deddy Permana / Yayasan Wahana Bumi Hijau Sumatera selatan Oleh Deddy Permana / Yayasan Wahana Bumi Hijau Sumatera selatan www.wbh.or.id Penjaringan Aspirasi Masyarakat Sebagai Masukan Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019 di Gedung Serbaguna Pasca Sarjana Universitas

Lebih terperinci

Kemajuan PENETAPAN KAWASAN HUTAN

Kemajuan PENETAPAN KAWASAN HUTAN Kemajuan PENETAPAN KAWASAN HUTAN Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Jakarta, 10 November 2014 1. Latar Belakang 2. Substansi NKB 3. Target Percepatan Penetapan KH 4. Realisasi Penetapan KH 5. Pengakuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 29/PUU-X/2012

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 29/PUU-X/2012 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 29/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Pasal 505] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

Idham Arsyad Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria

Idham Arsyad Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria Reforma Agraria, Jalankeluardarisejumlahpersoalanagrariayang mendasaryang menjadipangkaldarikemiskinanrakyat Indonesia, yang dilakukan dengan

Lebih terperinci