INTISARI PEMODELAN SPASIAL KONEKSITAS KAWASAN KONSERVASI DI PULAU JAWA BAGIAN TENGAH 1. Tim Peneliti:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INTISARI PEMODELAN SPASIAL KONEKSITAS KAWASAN KONSERVASI DI PULAU JAWA BAGIAN TENGAH 1. Tim Peneliti:"

Transkripsi

1 INTISARI PEMODELAN SPASIAL KONEKSITAS KAWASAN KONSERVASI DI PULAU JAWA BAGIAN TENGAH 1 Tim Peneliti: Hero Marhaento, S.Hut., M.Si 2 Dr. Ir. Lies Rahayu W.F., M.P 3 Pulau Jawa bagian tengah saat ini mengalami ancaman kepunahan keanekaragaman hayati yang disebabkan tingginya laju konversi lahan hutan menjadi non hutan. Keberadaan kawasan konservasi yang dikelola oleh BKSDA Yogyakarta dan BKSDA Jawa Tengah, ternyata belum mampu mendukung kelestarian keanekaragaman hayati karena dalam proses penunjukkannya belum berdasarkan pada konsep jaringan kawasan konservasi. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengidentifikasi koneksitas antar kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah, 2) Mengidentifikasi kawasan konservasi yang terisolasi dari kawasan konservasi lainnya di Pulau Jawa Bagian Tengah, dan 3) Menyusun strategi pembuatan koneksi antar kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah berdasarkan faktor yang paling berpengaruh Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan spasial dengan tools Least Cost Path menggunakan software ArcGIS Unit kawasan knservasi yang dianalisis adalah adalah 37 kawasan konservasi terestris dari total 44 kawasan konservasi yang ada di wilayah penelitian. Dalam mengidentifikasi konektivitas dan keterisolasian antar kawasan konservasi, digunakan target spesies mamalia kecil. Koneksitas dan keterisolasian antar kawasan konservasi ditentukan berdasarkan keterhubungan antar pulau (patch) kawasan konservasi oleh jalur hijau dengan faktor pembatas pemilihan jalur adalah kondisi topografi. Kriteria jalur hijau yang mampu menjadi media koneksitas target spesies mamalia kecil adalah hutan, kebun campuran, tegalan, dan semak. Kriteria faktor pembatas pemilihan jalur adalah skor kelas kelerengan yang semakin tinggi tingkat kecuraman, semakin tinggi nilai pembatasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Pulau Jawa Bagian Tengah terdapat 4 blok jaringan kawasan konservasi yang mampu mengkoneksikan 27 kawasan konservasi melalui kombinasi tutupan lahan hutan, tegalan, semak, dan kebun campuran. Blok 1 menghubungkan 19 kawasan konservasi, yaitu: CA Jatinegara, CA Comal/Bantarbolang, CA Guci, CA Telaga Ranjeng,CA Telogo Dringo, CA Telogo Sumurup, TWA Telogo Warno Pengilon, CA Peson Subah I, CA Kecubung U., CA Pringamba I, CA Pringamba II, CA Pantodomas, SM 1 Dilaksanakan atas biaya Anggaran Dana Masyarakat UGM Sesuai Surat Tugas Pelaksanaan Kegiatan Penelitian DPP Nomor: 162/KS/ Staf Pengajar Bagian Konservasi SDH Fakultas Kehutanan UGM 3 Staf Pengajar Bagian Konservasi SDH Fakultas Kehutanan UGM 1

2 Sermo, CA Pagerwunung D., CA Gebugan, CA Sepakung, TN Gunung Merbabu, dan TN Gunung Merapi. Blok 2 menghubungkan antara CA Gunung Butak, TWA Sumber Semen, CA Cabak I/II, dan CA Bekutu. Blok 3 menghubungkan CA Keling II/III dengan CA Kembang. Blok 4 menghubungkan SM Paliyan dengan CA Imogiri. Terdapat 4 kawasan konservasi yang terisolasi dari kawasan konservasi lainnya, yaitu : TWA Gunung Selok, SM Gunung Tunggangan, CA Donoloyo, dan CA/TWA Gunung Gamping. Faktor yang paling berpengaruh dalam koneksitas antar kawasan konservasi adalah keberadaan penggunaan lahan kebun campuran. Strategi pembuatan koneksitas antar kawasan konservasi dilakukan dengan menambah jumlah dan luasan kebun campuran pada jalur-jalur yang berpotensi untuk menghubungkan kawasan konservasi yang terisolasi dengan jaringan kawasan konservasi yang lebih besar. Kata kunci : kawasan konservasi, koneksitas, pemodelan spasial BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju penyusutan luasan tutupan hutan yang ada di Pulau Jawa saat ini telah menjadi ancaman serius bagi eksistensi keanekaragaman hayati yang ada di Pulau Jawa. Tercatat beberapa satwa endemic Jawa yang terancam punah akibat rusaknya hutan di Jawa antara lain lutung jawa (Trachypithecus auratus), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan merak (Pavo muticus). Satwa langka ini terancam punah bukan hanya karena hutan yang menjadinya habitat semakin berkurang, namun juga perburuan untuk diperdagangkan. Solusi untuk mempertahankan keragaman spesies dan ekosistem di Pulau Jawa dikedepankan dengan memperbanyak jumlah kawasan konservasi. Tidak kurang dari ha kawasan konservasi tersebar di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Namun pada kenyataannya, luasan tersebut tidak menjamin kelestarian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Bahkan pada tahun 2006, praktik pembabatan dan perambahan hutan 2

3 (deforestasi) di kawasan konservasi di Pulau Jawa mencapai lebih dari ha ( Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah merupakan penyumbang deforestasi terbesar di Pulau Jawa. Kondisi tersebut terjadi dalam periode dua tahun saja. Selain mempermasalahkan tingginya tekanan terhadap kawasan konservasi, pertanyaan juga ditujukan pada desain kawasan konservasi yang ada. Proses penunjukkan kawasan konservasi yang terkesan main tunjuk tanpa konsep pengelolaan yang jelas dan transparan menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi menjadi tidak optimal dan rawan terjadi kerusakan (Wiratno, 2001). Menurut teori biogeografi pulau, desain kawasan konservasi harus memungkinkan terjadinya aliran genetic spesies di dalamnya sehingga kelestariannya dapat terjaga. Salah satu strategi untuk mengurangi dampak fragmentasi habitat dan mendukung terjadinya aliran genetic adalah dengan menyatukan kawasan-kawasan konservasi baik berukuran besar maupun kecil, agar membentuk suatu jaringan kawasan konservasi dengan ukuran lebih besar dengan membentuk koridor habitat (Balmford et al 2003; Bruinderink et al 2003). Dengan adanya jaringan tersebut, beberapa kawasan konservasi yang terisolasi dapat dihubungkan satu sama lain. Pulau Jawa bagian tengah memiliki kondisi biogeofisik yang cukup unik dengan adanya variasi bentukan pegunungan dan lembah, hingga bukit kapur dan pesisir pantai. Secara administrative, pulau Jawa bagian tengah terbagi dalam 2 wilayah provinsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hingga saat ini, di wilayah tersebut sudah ditetapkan 44 kawasan konservasi yang ditujukan untuk menjaga kelestarian biodiversitas ekosistem khas pulau Jawa bagian tengah. Namun, tingginya kejadian fragmentasi habitat yang berupa pembangunan jalan raya, permukiman, rel kereta api, dan bangunan fisik lainnya menyebabkan keseluruhan kawasan konservasi tersebut menjadi terisolasi. Akibatnya, aliran genetic yang diharapkan terjadi antar kawasan konservasi menjadi terhambat dan menyebabkan spesies yang ada di dalamnya terancam punah. 3

4 1.2. Rumusan Masalah Kebutuhan koneksitas antar kawasan konservasi dibutuhkan untuk dapat menjaga aliran genetic sehingga kepunahan jenis dapat terhindarkan. Selain itu, keberadaan kawasan konservasi yang saling terkoneksi dapat memudahkan pengelolaan kawasan konservasi dalam menjalankan fungsinya melindungi sistem penyangga kehidupan dan keanekaragamanhayati. Beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah: 1. Apakah kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah saling terkoneksi? 2. Adakah kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah yang terisolasi dari kawasan konservasi lainnya? 3. Apa faktor yang paling berpengaruh dalam koneksitas kawasan konservasi dan bagaimana desain spasial koneksitas antar kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah? 1.3. Tujuan Penelitian Pemodelan Spasial Koneksitas Kawasan Konservasi di Pulau Jawa Bagian Tengah bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi koneksitas antar kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah 2. Mengidentifikasi kawasan konservasi yang terisolasi dari kawasan konservasi lainnya di Pulau Jawa Bagian Tengah 3. Menyusun strategi pembuatan koneksi antar kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah berdasarkan faktor yang paling berpengaruh Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah terkait dengan upaya menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang terancam punah akibat tingginya laju 4

5 pengurangan habitat di wilayah Pulau Jawa bagian tengah. Selain itu, pengembangan metode dan hasil penelitian ini akan bermanfaat sebagai pengkaya materi perkuliahan Pengelolaan Kawasan Konservasi. BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas diartikan sebagai kawasan di darat maupun di laut yang berfungsi untuk melindungi keanekaragaman hayati dan budaya asli masyarakat yang ada di dalamnya (World Research Institute, 2003 dalam Indrawan, M., dkk. 2007). Dalam penyelenggaraannya, pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah menyusun berbagai landasan hukum pengelolaan kawasan konservasi. Namun menurut Wiryono (2003), sebenarnya pengertian dan definisi kawasan konservasi di Indonesia masih kurang jelas dan memiliki perbedaan antar berbagai peraturan yang ada. Bahkan menurut Sembiring, dkk (1999), peraturan perundang-undangan yang ada tidak ada yang memuat definisi yang jelas mengenai kawasan konservasi. Pada UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tidak disebutkan istilah kawasan konservasi, namun dipergunakan istilah Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sementara itu, UU No 41/1999 tentang Kehutanan tidak menggunakan istilah kawasan konservasi, tapi memakai istilah hutan konservasi, yang terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru. Undang-undang tersebut juga membedakan antara fungsi lindung dan konservasi, sehingga hutan lindung terpisah dari hutan konservasi. Sedangkan dalam Keputusan Presiden No 32/1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung juga tidak menggunakan istilah kawasan konservasi, namun menggunakan istilah kawasan lindung. Istilah kawasan konservasi kemudian muncul dalam SK Dirjen 5

6 Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) No 129/1996, yang didefinisikan sebagai kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, dan hutan lindung. Pengelolaan Kawasan Konservasi memfokuskan pemahaman tentang aspek-aspek pengelolaan untuk berbagai macam kawasan konservasi. Definisi kawasan konservasi tersebut merujuk pada pasal 7 UU No 41/1999, yaitu kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), dan Taman Buru. Menurut UU No 5/1999, KSA terbagi menjadi Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM), sedangkan KPA terbagi menjadi Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura), dan Taman Wisata Alam (TWA). Apabila merunut sejarahnya, kategorisasi kawasan konservasi mengalami perubahan dari waktu kewaktu. Semenjak UU No 5 tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan disahkan, kawasan konservasi dibagi menjadi Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dan Hutan Wisata. Seiring berjalannya waktu, pengklasifikasian ini pun dipengaruhi beberapa hal, seperti adanya Kongres Taman Nasional dan Kawasan Lindung Sedunia serta terbitnya panduan IUCN. Terlebih ketika UU No 5/1990 ditetapkan. Berikut berbagai kategori kawasan konservasi di Indonesia berdasarkan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia. Tabel 1. Kategori Kawasan Konservasi di Indonesia Berdasarkan Perundangundangan yang Berlaku Sumber Kategori UU No 5/1967 Cagar Alam Suaka Margasatwa Hutan Wisata (Taman Buru dan Hutan Wisata) Direktorat Cagar Alam Perlindungan Taman Nasional dan Pelestarian Penampungan Satwa Alam Taman Wisata Darat Taman Laut 6

7 Taman Buru UU No 5/1990 Kawasan Suaka Alam, yang terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Kawasan Pelestarian Alam, yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Rakyat UU No 41/1999 Kawasan Suaka Alam, yang terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Kawasan Pelestarian Alam, yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Rakyat Taman Buru Sumber: Wiratno, dkk. (2004) Secara umum, hutan/kawasan konservasi terdiri dari dua kategori utama, yaitu Kawasan Suaka Alam yang terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, dan Kawasan Pelestarian Alam yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Selain dua pilar ini, masih ada kawasan lain yang juga diklasifikasikan sebagai kawasan konservasi, yaitu Taman Buru. Perbedaan antara KSA dan KPA terletak pada ciri dan fungsinya masing-masing (tabel 2). Tabel 2. Ciri dan Fungsi KSA dan KPA menurut UU No 5/1990 Kategori Kawasan Ciri dan Fungsi Kawasan Suaka Alam (KSA) Memiliki ciri khas tertentu Di darat dan perairan Memiliki fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan Kawasan Pelestarian Alam Memiliki ciri khas tertentu (KPA) Di darat dan perairan 7

8 Memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta pemanfaaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Sumber: Wiryono, 2003 Untuk mempermudah proses pemahaman masing-masing kategori kawasan konservasi, maka digunakan dasar Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 1. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam ini mencakup: a. Kawasan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. b. Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. 2. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun diperairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang mencakup : 8

9 a. Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. b. Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. c. Kawasan taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan konservasi di Indonesia sepenuhnya dikelola oleh Departemen Kehutanan Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Kawasan konservasi dipahami sebagai rumah/habitat alami bagi berbagai spesies endemik dan dipandang sebagai benteng terakhir eksistensi keterwakilan ekosistem hutan alam di Indonesia Teori Pulau Biogeografi dan Hubungannya dengan Fragmentasi Habitat Teori biogeografi pulau menjelaskan bahwa kelimpahan jenis yang ada pada suatu wilayah dapat diprediksi dengan melihat factor ketersediaan habitat, laju kepunahan lokal dan rata-rata imigrasi yang terjadi (MacArthur and Wilson, 1967). Dalam teori tersebut juga dijelaskan bahwa pulau yang berukuran sepuluh kali lebih besar akan mencakup spesies dua kali lebih banyak. Rata-rata imigrasi berhubungan dengan tingkat isolasi pulau. Pulau-pulau yang jauh mempunyai spesies yang lebih sedikit daripada pulau yang dekat ke pusat (Indrawan dkk., 2007). 9

10 Gambar 1. Rancangan Teori Biogeografi Pulau (MacArthur and Wilson, 1967) Teori bioegeografi pulau sangat berkaitan erat dengan tingkat kepunahan karena sesuai pendapat dalam teori tersebut bahwa luas area pulau akan menentukan jumlah spesies yang dapat menghuninya. Pendapat tersebut kemudian dijelaskan dalam suatu model yang menjelaskan hubungan tersebut untuk memprediksi jumlah dan presentase spesies yang akan punah ketika habitat alaminya dirusak. Teori tersebut memiliki asumsi bahwa suatu luasan hanya dapat mendukung sejumlah tertentu spesies yang dapat hidup di habitat tersebut. Ketika 10

11 luas habitat alami suatu pulau berkurang, maka pulau itu hanya mampu mendukung spesies sebanyak yang hidup pada pulau yang lebih kecil ukurannya (Supriatna, 2008). Teori biogeografi pulau bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena kepunahan spesies yang ada di kawasan konservasi. Kawasan konservasi dianggap sebagai suatu pulau yang dikelilingi oleh habitat yang rusak. Ketika pulau itu rusak akibat tingginya tekanan dari sekelilingnya, maka spesies yang hidup di pulau tersebut akan musnah. Pemodelan yang dilakukan MacArthur and Wilson (1967) menyebutkan bahwa apabila 50% dari luasan pulau rusak, maka 10% spesies yang ada di dalamnya punah. Teori biogeografi pulau sangat dekat hubungannya dengan teori fragmentasi habitat dan teori efek tepi. Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan utuh menjadi berkurang atau terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Antara satu fragmen dengan lainnya seringkali terjadi isolasi oleh bentang alam yang terdegradasi atau telah diubah. Efek tepi adalah kondisi dimana setiap aktivitas manusia dan perubahan lansekap akan membuat efek terhadap populasi dan ekologi spesies tertentu. Fragmentasi habitat dan efek tepi merupakan kondisi yang saling terkait. Aktivitas manusia yang banyak melakukan kegiatan eksploitasi menyebabkan habitat-habitat yang semula luas, kini terbelah-belah menjadi beberapa bagian. Pembangunan jalan raya, rel kereta api, lapangan olah raga, pembangunan permukiman (kota), dan berbagai pembangunan konstruksi yang dilakukan manusia telah menyebabkan habitat terfragmentasi. Efek tepi yang terjadi adalah kepunahan keanekaragaman hayati karena tingginya tekanan terhadap kawasan yang terfragmen. Strategi untuk mengurangi efek tepi dari fragmentasi habitat suatu kawasan konservasi adalah dengan mengembangkan suatu desain untuk menyatukan kawasan yang dilindungi baik berukuran besar maupun kecil, agar membentuk suatu jaringan kawasan konservasi dengan ukuran lebih besar (Balmford et al. 2003; Bruinderink et al. 2003). Kawasan konservasi dalam kenyataannya seringkali 11

12 menyatu dengan matriks habitat yang digunakan manusia untuk berbagai kegiatan ekstraksi (kayu, penggembalaan, dan lahan pertanian). Dampak fragmentasi dapat dikurangi sekalipun habitat telah dimanfaatkan sebagai sumber ekstraksi namun seringkali masih dapat dijadikan sebagai kawasan sekunder yang berfungsi sebagai koridor perpindahan atau pergerakan populasi dan hidupan liar pada umumnya (Indrawan dkk., 2007) Koneksitas dan Koridor Antar Kawasan Konservasi Dalam teori Island Biogeography dari MacArthur dan Wilson (1967) dijelaskan bahwa jumlah jenis organisme di suatu pulau berbanding lurus dengan luasannya dan berbanding terbalik dengan jarak dari pulau sumber organisme. Teori ini berasumsi bahwa suatu lanskap hanya terdiri atas pulau yang bisa dihuni yang dikelilingi lautan yang tidak bisa ditempati. Selanjutnya teori ini diterapkan ke daratan dengan memodifikasi asumsinya bahwa pulau merupakan suatu patch vegetasi asli yang dikelilingi lautan yang berupa non vegetasi. Teori ini dikenal dengan teori patch-matrix-corridor, dengan pemahaman patch adalah pulau, matrix adalah lautan, dan corridor adalah penghubung antar pulau (patch). Teori ini kemudian dikembangkan menjadi teori variegation model yang memperbaiki teori sebelumnya dengan mengkategorikan lanskap tidak hanya patch-matrix (binary) namun juga ada kondisi diantara patch dan matrix. Kondisi ini terjadi karena fragmentasi adalah suatu proses dan menghasilkan output (fragmented). Untuk menjamin kelestarian, dibutuhkan koneksitas antar patch dalam suatu matrix, yang selanjutnya diperankan oleh koridor. Koridor adalah jalur lahan yang menjadi penghubung antara satu kawasan konservasi dan kawasan konservasi lain yang berdekatan (Simberloff et al., 1992). Koridor berfungsi untuk menghubungkan (koneksitas) kawasan konservasi yang terisolasi agar dapat membentuk suatu sistem kawasan yang lebih besar (Indrawan dkk., 2007). Kawasan koridor dapat berupa kawasan hutan produksi, perkebunan, bahkan lahan budidaya milik masyarakat, yang apabila dirancang dengan baik akan menjadi alat konservasi yang sangat bernilai (Beier & Noss, 1998). Selain 12

13 itu, sungai juga dapat berfungsi sebagai penghubung kawasan karena merupakan habitat alami yang penting sehingga secara umum menjadi koridor yang cukup bermanfaat (Indrawan dkk., 2007). Adanya koridor dan koneksitas antar kawasan konservasi akan memungkinkan tumbuhan dan satwa untuk menyebar dari satu kawasan ke kawasan yang lain, serta memungkinkan aliran gen dan bahkan kolonisasi habitat yang sesuai. Melalui jaringan koridor tersebut, beberapa kawasan yang terisolasi dapat dihubungkan satu sama lain. Populasi-populasi pun dapat saling berinteraksi sebagai suatu metapopulasi. Bagi satwa yang melakukan migrasi musiman, dan harus melintasi berbagai habitat yang berbeda untuk memperoleh air dan makanan, koridor akan menunjang ketahanan hidup berbagai individu dan populasi satwa tersebut. Koridor berfungsi untuk menghubungkan wilayah terisolasi atau habitat yang terfragmentasi, yang dahulu pernah terhubung satu sama lain dalam tatanan sejarahnya. Koridor akan memberikan perlindungan pada lingkungan yang sensitif dengan menciptakan penghubung pada suatu lanskap dan berpotensi sebagai penyangga antar alam dengan komunitas manusia. Koridor merupakan ekosistem yang kompleks, yang meningkatkan pergerakan satwa liar, menjaga kelestarian sumberdaya alam dan ruang penyangga hijau bagi manusia. Terdapat empat peran penting yang diperankan oleh koridor yang memiliki hubungan khusus dengan konservasi biologi, yakni : (1) mendukung kelestarian populasi jenis-jenis, (2) mengatur pergerakan organisme, (3) menyangga kawasan yang sensitif dan kawasan lindung, dan (4) menjaga integritas ekosistem akuatik (Subeno, 2011). Pembangunan koridor antar habitat alamiah untuk membentuk jalur koneksi antar kawasan konservasi telah menjadi salah satu pilihan strategi konservasi alam untuk mengatasi fragmentasi habitat pada suatu kawasan. Konservasi pada kawasan koridor merupakan suatu alat atau strategi untuk pencapaian tujuan konservasi alam, berupa petak lahan yang berkesinambungan yang diharapkan akan menjadi rute terbaik bagi satu spesies fokus, misalnya 13

14 banteng untuk melakukan perjalanan dari populasi inti dalam satu blok habitat alamiah ke blok habitat lainnya. Penerapan strategi konservasi melalui pembangunan koridor akan memberikan manfaat secara luas, bukan hanya bagi spesies khusus yang dilindungi. Multi manfaat penerapan strategi konservasi melalui pembangunan koridor meliputi (dirangkum dari berbagai sumber) : a) membantu pergerakan individu satwa liar melalui lanskap yang telah terganggu (disturbed landscapes), khusus jenis-jenis yang mempunyai daerah jelajah yang luas, jenis nomadik atau migran, b) meningkatkan laju imigrasi satwa liar ke habitat-habitat terisolasi yang akan memelihara kekayaan dan diversitas jenis, mengurangi resiko kepunahan jenis, meningkatkan variasi genetis dan mengurangi resiko depresi perkawinan sesama jenis, c) memfasilitasi keberlanjutan proses ekologi alamiah di lanskap yang telah berkembang, d) menyediakan habitat bagi banyak jenis hidupan liar sebagai daerah pengungsian/tempat perlindungan sementara dan sumber pakan, e) menyediakan jasa-jasa lingkungan tambahan, seperti memelihara kualitas air, mengurangi erosi dan longsor, stabilitas siklus air, pembersih udara, dan penyimpan karbon, f) meningkatkan daya adaptasi hidupan liar, khususnya satwa liar dari dampak perubahan iklim, dan g) meningkatkan estetika lanskap alamiah dan kawasan destinasi ekowisata Pemodelan Spasial Model merupakan suatu perwakilan atau abstraksi dari suatu obyek atau situasi aktual. Model melukiskan hubungan-hubungan langsung dan tidak langsung serta kaitan timbalbalik dalam terminologi sebab akibat. Oleh karena suatu model adalah abstraksi dari realita, maka pada wujudnya lebih sederhana 14

15 dibandingkan dengan realita yang diwakilinya. Model dapat disebut lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realita yang sedang dikaji. Model spasial merupakan representasi dunia nyata yang berhubungan dengan kondisi geografis yang dinyatakan dalam simbol titik, garis, dan poligon. Salah satu metode analisis yang menggunakan pemodelan spasial dalam pengambilan keputusan adalah Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA). Prinsip dalam metode tersebut adalah penggunaan berbagai parameter (kriteria) yang diberikan bobot sesuai kepentingannya. Tools yang digunakan dalam SMCA adalah perangkat Sistem Informasi Geografis. Pemodelan spasial dengan SMCA mengharuskan parameter yang diusulkan ditransformasikan dalam bentuk peta, kemudian kriteria yang memiliki peran penting akan diberikan bobot yang lebih besar dibandingkan kriteria lainnya, hasil akhir diperoleh dengan melakukan tumpang susun (overlay) seluruh kriteria untuk menjadi satu informasi yang akomodatif. Terdapat dua hal penting dalam penyusunan SMCA (Carver, 1991; Jankowski, 1995), yaitu : 1. Komponen Sistem Informasi Geografis, yang meliputi: perolehan data spasial, input data, pengolahan data, pemanggilan data, hingga penyajian data. 2. Komponen analisis multi kriteria, yang meliputi: penentuan kriteria dan bobot, mekanisme dan hasil tabulasi data, serta proses pengambilan keputusan. Secara kontekstual, terdapat 3 tahap dalam analisis pemodelan spasial dengan SMCA, yaitu : intelligence, design, dan choice (Simon, 1960). Tahap intelligence meliputi kegiatan-kegiatan dalam pengambilan data, produksi data spasial, dan pemrosesan data. Tahap design meliputi penggunaan pemodelan spasial dalam Sistem Informasi Geografis. Tahap terakhir adalah choice, yang meliputi kegiatan pengambilan keputusan dengan melakukan seleksi kriteria dan penentuan bobot. Ketiga tahap tersebut tidak selalu dilakukan secara berurutan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan ketersediaan data (Malczewski, 2000). 15

16 Dalam penelitian ini, konsep pemodelan spasial dengan SMCA dilakukan dalam proses pemilihan kriteria kawasan koridor yang dapat menjadi jalur koneksitas antar kawasan konservasi Keterbaruan Penelitian Dalam teori pulau biogeografi dijelaskan bahwa antar kawasan konservasi harus dekat dan atau terhubung (koneksi) sehingga cukup untuk memungkinkan untuk pelestarian skala besar proses ekologi dan evolusi, seperti aliran gen, migrasi, dan proses adaptasi dan mitigasi dalam menanggapi perubahan iklim. Dalam penelitiannya di Amerika Serikat, Minor & Lookingbill (2010) menjelaskan bahwa dalam membentuk model koneksitas kawasan konservasi dibutuhkan berbagai pendekatan spesies, bukan hanya satu kelas spesies tertentu saja. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kawasan konservasi yang termasuk dalam jaringan kawasan konservasi besar untuk mamalia besar ternyata tidak cukup mendukung hidupan mamalia kecil. Pendekatan spesies payung sebagai target spesies untuk menyusun strategi desain jaringan konservasi masih belum mampu untuk melindungi banyak spesies. Perlu adanya pendekatan hubungan strategis lahan yang menjadi prioritas konservasi bagi mamalia kecil. Konektivitas jaringan kawasan konservasi tergantung pada elemen kunci yang terletak di posisi strategisnya dalam lanskap, yang berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup keanekaragaman hayati. Perencanaan lanskap memerlukan pendekatan obyektif dan kuantitatif untuk mengidentifikasi elemen kunci tersebut untuk memperkuat koherensi desain spasial koneksitas kawasan konservasi. Dalam penelitian Gurrutxaga, M. (2011), digunakan pendekatan indeks konektivitas yang memungkinkan mengevaluasi peran dari tiap matriks lanskap antar kawasan konservasi dalam suatu jaringan. Pada penelitiannya di area lindung (protected area) antara Cantabrian ke pegunungan Alpen Barat, peneliti berhasil mengidentifikasi daerah-daerah yang perlu dilindungi dan yang paling berkontribusi dalam menjalankan konektivitas fungsional. Kuantifikasi terhadap kriteria-kriteria yang digunakan 16

17 dilakukan dengan menggunakan software open source. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu tools yang dapat digunakan dalam menyusun model koneksitas antar kawasan konservasi. Dengan kemampuannya dalam proses data query, proses pemilihan rute koneksitas antar kawasan konservasi dapat dipilih secara otomatis. Penelitian Nikolakaki, P. (2004) menggunakan applikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk memperkirakan konektivitas antar pulau (patch) habitat. Setiap pulau diberikan sebuah nilai biaya (hambatan) yang merupakan representasi tingkat kesulitan dalam koneksitas antar pulau. Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti adalah pendekatan umum yang berlaku untuk setiap jenis spesies. Dengan memperhitungkan nilai biaya terkecil (least cost) yang dibutuhkan untuk mencari lokasi potensial dalam rangka memenuhi persyaratan minimum dari spesies untuk berpindah ke pulau lain. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan tersebut, model koneksitas antar pulau (patch) habitat atau kawasan konservasi selalu menjadi informasi penting untuk pengelolaan tingkat lanskap. Model penyusunan koneksitas antar pulau sangat tergantung dengan pemilihan target spesies dan kriteria penyusunnya. Semakin kompleks dan bervariasi jenis spesies yang menjadi obyek kajian, maka kriterianya pun semakin beragam. Model koneksitas dapat disusun dengan memperhitungkan nilai hambatan terkecil yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan antar pulau (kawasan konservasi) yang lebih besar. 17

18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Secara administratif, kawasan Pulau Jawa bagian tengah terbagi menjadi 2 provinsi, yaitu : Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta. Saat ini tercatat terdapat 44 kawasan konservasi yang ada dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (CA, SM, TWA), Balai Taman Nasional (TN), dan Dinas Kehutanan Provinsi (Tahura) dengan total luas kawasan ,788 Ha (didominasi oleh Taman Nasional Laut Karimunjawa yang mencapai 86,75%). Data selengkapnya mengenai kawasan konservasi di wilayah Pulau Jawa bagian tengah dapat dilihat pada tabel 1. Potensi keanekaragaman hayati di wilayah penelitian cukup beragam sesuai tipe ekosistem yang ada di kedua provinsi tersebut, yaitu mulai dari ekosistem terumbu karang, mangrove, gumuk pasir, karst, dataran rendah, hingga ekosistem pegunungan. Tercatat berbagai fauna dan flora endemis yang dilindungi berhabitat di hutan-hutan konservasi yang ada di provinsi tersebut, misalnya : lutung jawa (Trachypithecus auratus), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), Anggrek Kantong Semar (Phaphiopedilum javanicum), Anggrek Pandan (Vanda tricolor), dll. Pada kenyataannya, jenis-jenis endemis tersebut saat ini terancam punah (Red List Data Book, 2007) sehingga perlu dilestarikan. 18

19 Tabel 3. Data Kawasan Konservasi di Pulau Jawa Bagian Tengah yang dikelola oleh BKSDA Jawa Tengah dan BKSDA Yogyakarta NO NAMA KAWASAN LOKASI KAWASAN LUAS (Ha) SK KAWASAN PEJABAT NOMOR TANGGAL TAMAN NASIONAL 1 TN. Karimunjawa Jepara, Jawa Tengah ,00 Menhut 74/Kpts-II/ Februari TN. Gunung Merapi Magelang, Klaten, Boyolali, Jawa Tengah 6.410,00 Menhut 134/Menhut-II/ Mei 2004 Sleman, D.I. Yogyakarta 3 TN. Gunung Merbabu Magelang, Semarang, Boyolali 5.725,00 Menhut / K p t s - 04 Mei 2004 CAGAR ALAM 1 CA. Ulo Lanang Kecubung Batang, Jawa Tengah 71,00 - GB. 25, Stbl Agustus CA. Curug Bengkawah Pemalang, Jawa Tengah 1,50 - GB Januari CA. Guci Pemalang, Jawa Tengah 2,00 - Local degree tahun Januari CA. Moga Pemalang, Jawa Tengah 1,00 - GB Januari CA. Telogo Ranjeng Pemalang, Jawa Tengah 18,50 - GB. 01 Januari CA. Gebugan (Gunung Ungaran) Semarang, Jawa Tengah 1,80 - GB.36, Stbl Februari CA. Sepakung Semarang, Jawa Tengah 2,50 - GB.36, Stbl Februari CA. Pringombo I/II Banjarnegara, Jawa Tengah 58,00 - GB Oktober CA. Getas Semarang, Jawa Tengah 1,00 - GB. 01 Januari CA. Bantar Bolang Pemalang, Jawa Tengah 24,10 Menhut 756/Kpts Mei CA. Sub Vak 18c dan 19b Tegal, Jawa Tengah 6,60 - GB Mei CA. Vak 50 Comal Pemalang, Jawa Tengah 24,10 - GB Mei CA. Pager Wunung Daruprono Kendal, Jawa Tengah 33,20 - Gb.19, Stbl Januari CA. Karang Bolong Cilacap, Jawa Tengah 0,50 - GB.34, Stbl April CA. Nusakambangan Timur Cilacap, Jawa Tengah 277,00 - GB.34, Stbl April CA. Nusakambangan Barat Cilacap, Jawa Tengah 928,00 - GB.34, Stbl April CA. Wijaya Kusuma Cilacap, Jawa Tengah 1,00 - GB.34, Stbl Juni

20 18 CA. Telogo Dringo Banjarnegara, Jawa Tengah 26,00 - GB.26, Stbl Oktober CA. Telogo Semurup Banjarnegara, Jawa Tengah 20,00 - GB.26, Stbl Oktober CA. Cabak Blora, Jawa Tengah 30,00 - GB.6, Stbl Februari CA. Gunung Butak Rembang, Jawa Tengah 45,10 Mentan 55/Kpts/Um/12/ Desember CA. Bekutuk Blora, Jawa Tengah 25,00 Mentan 596/Kpts/Um/9/ Nopember CA. Gunung Celereng Jepara, Jawa Tengah 1.368,40 Menhut 75/Kpts-II/ Desember CA. Keling I/II/III Jepara, Jawa Tengah 61,70 - GB.6, Stbl Februari CA. Peson Subah I/II Batang, Jawa Tengah 30,00 - GB.83, Stbl Nopember CA. Pantodomas Wonosobo, Jawa Tengah 4,10 Menhut 359/Menhut-II/ Oktober CA. Donoloyo Wonogiri, Jawa Tengah 8,30 Menhut 359/Menhut-II/ Oktober CA. Teluk Baron Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta 2,40 - GB.379/321/16 24 Maret CA. Batu Gamping Sleman, D.I. Yogyakarta 0,038 Menhut 758/Kpts-II/ Desember CA. Mangunan Imogiri Bantul, D.I. Yogyakarta 11,40 Menhut 171/Kpts-II/ Juni 2000 TAMAN WISATA ALAM 1 TWA. Grojogan Sewu Karang Anyar, Jawa Tengah 64,30 GB.6, Stbl Januari TWA. Sumber Semen Rembang, Jawa Tengah 17,10 GB.6, Stbl Januari TWA. Tuk Songo Kopeng Semarang, Jawa Tengah 6,50 GB.6, Stbl Januari TWA. Gunung Selok Cilacap, Jawa Tengah 126,20 GB.6, Stbl Oktober TWA. Telogo Warno dan Pengilon Wonosobo, Jawa Tengah 39,60 Mentan 740/Kpts/Um/1/ Oktober TWA. Batu Gamping Sleman, D.I. Yogyakarta 1,05 Menhut 758/Kpts-II/ Januari 1989 TAMAN HUTAN RAYA 1 TAHURA Ngargoyoso Karang Anyar, Jawa Tengah 231,30 Menhutbun 849/Kpts-II/ Oktober TAHURA Bunder Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta 617,00 Menhut 353/Menhut-II/ September 2004 SUAKA MARGASATWA 1 SM. Gunung Tunggangan Sragen, Jawa Tengah 103, /UM/V/6/Ska 2 Agustus SM. Sermo Kulonprogo, D.I. Yogyakarta 181,00 Menhut 171/Kpts-II/ Juni SM Paliyan Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta 434,60 Menhut 171/Kpts-II/ Juni 2000 Sumber : Statistik BKSDA Jawa Tengah 2007 dan Statistik BKSDA Yogyakarta

21 3.2. Alat dan Bahan Bahan yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini, meliputi: Peta batas kawasan konservasi BKSDA Jawa Tengah dan BKSDA Yogyakarta (BPKH XI); Peta Rupa Bumi Indonesia Digital skala 1 : , dengan turunan data : o Peta topografi/kontour skala 1 : o Peta Penggunaan lahan skala 1 : o Peta Jaringan Jalan skala 1 : Citra ASTER GDEM resolusi 30 m, dengan turunan data : o Peta DEM o Peta Kelas Kelerengan (topografi) Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi: 1. Peralatan untuk observasi lapangan, seperti: GPS dan kamera digital 2. Perangkat komputer yang sudah terinstall software ENVI 4.5., dan ArcGIS Tahapan Penelitian Secara garis besar, tahapan penelitian Pemodelan Spasial Koneksitas Kawasan Konservasi di Pulau Jawa Bagian Tengah terdiri dari : Identifikasi Tingkat Isolasi Antar Kawasan Konservasi Identifikasi tingkat isolasi antar kawasan konservasi merupakan prosedur awal dalam proses penelitian ini. Metode untuk mengetahui tingkat isolasi antar kawasan konservasi adalah dengan melakukan tumpangsusun (overlay) peta kawasan konservasi dengan peta penggunaan lahan, peta jaringan jalan (Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia, skala 1 : ), dan peta topografi yang diperoleh dari analisis DEM citra SRTM. Identifikasi tingkat keterisolasian dilakukan secara otomatisasi dengan tools Least Cost Path pada software ArcGIS 9.3. Logika analisis dengan Least cost path adalah pemilihan jalur antara dua 20

22 titik yang mempertimbangkan hambatan (biaya) paling kecil untuk mencapai tujuan di titik yang lain. Dalam pemodelan spasial, nilai satu pixel akan dianalisis dengan delapan nilai pixel tetangga yang lain dan pemilihan jalur adalah ke pixel dengan nilai akumulasi hambatan (biaya) terkecil. Proses berulang secara terus menerus hingga selesai sampai ke titik tujuan. Gambar 2. Logika Analisis Least Cost Path, pemilihan jalur berdasarkan nilai pixel dengan nilai hambatan (biaya) terkecil Proses pemilihan jalur bukan hanya bisa dilakukan pada 2 titik saja, namun bisa dikombinasikan dengan banyak jalur dengan banyak tujuan. Dengan logika yang sama, pemilihan banyak jalur menuju banyak tujuan dilakukan dengan mempertimbangkan nilai hambatan (biaya) terkecil yang dibutuhkan untuk mencapai obyek tujuan. Gambar 3. Pemilihan jalur ke banyak tujuan berdasarkan logika Least Cost Path 21

23 Penentuan Jalur Koneksitas Antar Kawasan Konservasi Dalam logika penentuan jalur koneksitas antar kawasan konservasi atau perancangan koridor, diharuskan untuk menentukan target spesies. Hal ini untuk menentukan kriteria jalur koneksitas yang memungkinkan untuk dibuat. Penelitian ini menggunakan target spesies untuk kelas mamalia kecil, yang saat ini mengalami kelangkaan local karena perburuan dan pengurangan habitat. Definisi mamalia kecil adalah mamalia yang berat dewasanya kurang dari 5 kilogram (Stoddart, 1979). Beberapa jenis yang termasuk dalam kelas mamalia kecil antara lain : bajing, tupai, landak, dan lain-lain. Tidak banyak penelitian mengenai ekologi mamalia kecil karena sifat hidupnya yang banyak beraktivitas pada malam hari (nocturnal) dan banyak menghabiskan waktu pada strata tajuk tinggi (arboreal). Mamalia kecil dapat ditemukan di berbagai penggunaan lahan, mulai dari hutan alami hingga lahan pertanian sebagai habitatnya. Beberapa masuk kategori hama pertanian karena mencari makan di lahan pertanian dan berlindung di hutan-hutan sekitarnya (Alikodra, 1990). Kawasan pinggiran hutan yang berbatasan dengan perkebunan atau lahan pertanian penduduk sering mendukung berbagai spesies binatang, terutama mamalia kecil, dengan kepadatan yang relatif lebih tinggi (Payne dkk., 2000). Dalam penelitian ini, jalur koneksitas antar kawasan konservasi dibangun dengan kerangka logika ekologi yang mampu mendukung pergerakan jenis mamalia kecil. Pemodelan spasial pemilihan jalur koneksitas antar kawasan konservasi dilakukan dengan menggunakan dasar pixel sebagai satuan nilai analisis. Terdapat 2 kriteria yang digunakan sebagai dasar analisis Least Cost Path, yaitu : 1. Kriteria berdasarkan Klasifikasi Penggunaan lahan. Sesuai dengan hasil penelitian Payne dkk. (2000) dan Alikodra (1990) bahwa habitat target spesies mamalia kecil adalah penggunaan lahan Hutan, kebun campuran, semak, dan padang rumput. Semua kelas penggunaan lahan tersebut memiliki derajad (nilai) yang sama sebagai habitat target spesies, sehingga dalam pemodelan spasial dengan analisis 22

24 Least Cost Path, keseluruhan penggunaan lahan tersebut memberikan nilai hambatan yang sama. Pada kelas penggunaan lahan selain kelas tersebut, diberikan nilai hambatan yang lebih tinggi, sehingga pemilihan jalur adalah berdasarkan pada kelas penggunaan lahan yang disukai oleh target spesies. Dalam pembuatan data spasial penggunaan lahan, digunakan klasifikasi penggunaan lahan berdasarkan klasifikasi Bakosurtanal. Peta yang dirujuk sebagai peta dasar penggunaan lahan adalah peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : Data spasial penggunaan lahan tersebut disajikan dalam bentuk format data pixel yang sudah dilakukan resample dengan ukuran 30 m. 2. Kriteria berdasarkan kemiringan lereng. Target spesies mamalia kecil memiliki kecenderungan untuk memilih jalur yang memiliki kondisi topografi relative datar. Semakin berat topografi, maka akan memberikan kontribusi yang negative dalam penentuan jalur koneksitas. Dalam pembuatan data spasial kemiringan lereng digunakan citra ASTER GDEM dengan resolusi spasial 30 m. Proses analisis yang dilakukan pada citra tersebut sebelum dilakukan analisis adalah pembuatan topographic modelling untuk membangun peta kemiringan lereng. Dalam logika yang dibangun dalam analisis Least Cost Path, pemilihan jalur akan didasarkan pada nilai pixel kemiringan lereng yang terkecil. Dalam penelitian ini, proses pemetaan sebaran kawasan konservasi dilakukan dengan menggunakan peta dasar Kawasan Konservasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI, dan dari data hasil rekonstruksi tata batas yang dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah dan BKSDA Yogyakarta. 23

25 Bagan alir penelitian selengkapnya tersaji pada gambar 4 berikut. ASTER GDEM Peta RBI Skala 1 : Peta Sebaran Kawasan Konservasi Digital Elevation Model Peta Lereng Peta Tutupan Lahan Peta Jaringan Jalan Corridor Design tools Mengidentifikasi isolasi Analisis Least Cost Path Peta Koneksitas Kawasan Konservasi Groundcheck hasil Pemodelan Strategi Pembuatan Jaringan Kawasan Konservasi Gambar 4. Bagan Alir Penelitian 24

26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Kawasan Konservasi di Pulau Jawa Bagian Tengah Dalam penelitian ini, dari 44 kawasan konservasi yang ada di Pulau Jawa Bagian Tengah (tabel 2), hanya 37 kawasan yang dimasukkan sebagai unit analisis. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dalam penyediaan data spasial (Tahura Ngargoyoso, Tahura Bunder) dan karena ketidakrelevanan dengan tema penelitian, hal ini dikarenakan bentuk kawasan adalah kawasan konservasi laut dan kepulauan (CA Karang Bolong, CA Nusa Kambangan Barat, CA Nusa Kambangan Timur, CA Wijaya Kusuma, TN Karimunjawa). Kawasan konservasi yang menjadi bahan kajian tersaji pada tabel berikut. Tabel 4. Kawasan Konservasi yang Dianalisis Nama Kawasan Konservasi Koord Point Lokasi Luas Kabupaten Provinsi X Y (Ha) Taman Nasional Gunung Merapi Magelang Jawa Tengah Boyolali Jawa Tengah Klaten Jawa Tengah Sleman D.I.Y Taman Nasional Gunung Merbabu Magelang Jawa Tengah Boyolali Jawa Tengah Semarang Jawa Tengah SM Sermo Kulonprogo D.I.Y SM Paliyan Gunungkidul D.I.Y CA Imogiri Bantul D.I.Y CA/TWA Gunung Gamping Bantul D.I.Y 0.48 Sleman D.I.Y 0.43 CA Jatinegara Tegal Jawa Tengah 6.86 CA Bantarbolang Pemalang Jawa Tengah CA Pagerwunung Darupono Kendal Jawa Tengah SM Gunung Tunggangan Karanganyar Jawa Tengah 0.65 Sragen Jawa Tengah CA Donoloyo Wonogiri Jawa Tengah CA Peson Subah I Batang Jawa Tengah

27 CA Kecubung Ulolanang Batang Jawa Tengah CA Telogo Dringo Banjarnegara Jawa Tengah Batang Jawa Tengah CA Guci Tegal Jawa Tengah 2.85 TWA Gunung Selok Cilacap Jawa Tengah CA Gebugan Semarang Jawa Tengah 1.82 CA Sepakung Semarang Jawa Tengah CA Pringamba I Banjarnegara Jawa Tengah CA Pringamba II Banjarnegara Jawa Tengah CA Pantodomas Wonosobo Jawa Tengah 3.97 TWA Telogo Warno Pengilon Wonosobo Jawa Tengah CA Telogo Sumurup Banjarnegara Jawa Tengah 21.8 CA Keling II/III Jepara Jawa Tengah CA Gunung Butak Rembang Jawa Tengah TWA Sumber Semen Rembang Jawa Tengah CA Cabak I/II Blora Jawa Tengah CA Bekutuk Blora Jawa Tengah CA Kembang Jepara Jawa Tengah 2.1 CA Comal Pemalang Jawa Tengah CA Telaga Ranjeng Brebes Jawa Tengah Tahura Baturaden Banyumas Jawa Tengah TWA Grojogan Sewu Karanganyar Jawa Tengah CA Curug Bengkawah Tegal Jawa Tengah CA Gunung Celering Jepara Jawa Tengah CA Getas Semarang Jawa Tengah 19 Sumber : BKSDA Yogyakarta dan BKSDA Jawa Tengah, dengan modifikasi (2012) 26

28 Gambar 5. Peta Sebaran Kawasan Konservasi di Pulau Jawa Bagian Tengah 27

29 4.2. Pemetaan Penggunaan lahan Peta penggunaan lahan dibutuhkan dalam analisis koneksitas antar kawasan konservasi terutama terkait dengan kriteria yang berhubungan dengan kebutuhan ruang untuk pergerakan mamalia kecil. Pemetaan tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan dasar Peta Rupa Bumi (dibuat oleh Bakosurtanal) skala 1 : untuk seluruh wilayah Pulau Jawa Bagian Tengah. Gambar 6. Peta Penggunaan lahan di Pulau Jawa Bagian Tengah 28

30 4.3. Koneksitas Antar Kawasan Konservasi Sesuai dengan yang ditetapkan sebelumnya bahwa jalur koneksitas antar kawasan konservasi ini ditujukan untuk mendukung pergerakan kelas mamalia kecil. Kriteria yang digunakan dalam mendukung koneksitas antar kawasan konservasi melalui jalur hijau adalah penggunaan lahan berupa hutan, kebun campuran, dan tegalan/semak. Masing-masing memiliki kontribusi yang sama dalam mendukung pergerakan mamalia kecil, sehingga dapat diidentifikasikan sebagai jalur koneksi antar kawasan konservasi. Dalam analisis koneksitas melalui jalur hijau ini, peneliti membagi jalur koneksitas antar kawasan konservasi yang dihubungkan langsung oleh hutan, kebun campuran, tegalan/semak, kombinasi hutan-kebun campuran, kombinasi hutan-tegalan/semak, kombinasi kebun campuran-tegalan/semak, dan kombinasi hutan-kebun campuran-tegalan/semak. Maksud dari pemisahan unit analisis adalah untuk mengetahui nilai penting masing-masing penggunaan lahan dalam kontribusinya menghubungkan (koneksi) antar kawasan konservasi. Berikut adalah hasil analisis koneksitas antar kawasan konservasi melalui jalur hijau, berdasarkan masing-masing pembagian jalur koneksitas. 1. Hutan Tidak ada koneksi antar kawasan konservasi yang langsung dihubungkan oleh tutupan hutan. 2. Kebun campuran Terdapat 5 jalur koneksi, dengan menghubungkan 12 kawasan konservasi, yang dihubungkan oleh kebun campuran, antara lain : a. Jalur koneksi pertama menghubungkan antara CA Jatinegara dengan CA Comal/Bantarbolang. Jalur pertama ini melewati kecamatan Kedungbanteng, Jatinegara, Randudongkal dan Bantarbolang dengan panjang mencapai ±20 km b. Jalur koneksi kedua menghubungkan antara CA Peson Subah I dengan CA Kecubung U. Jalur ini melewati kecamatan Subah, Kabupaten Batang, dengan panjang ±4,8 km 29

31 c. Jalur koneksi ketiga menghubungkan antara CA Pagerwunung D. dengan CA Gebugan. Jalur ini melewati Kecamatan Kaliwungu, Singorojo, Limbangan dan Klepu, dengan panjang mencapai ±29,56 km. d. Jalur koneksi keempat menghubungkan antara CA Pringamba I, CA Pringamba II, CA Pantodomas, dan SM Sermo. Jalur ini memiliki panjang mencapai ±101, 25 km dan melewati Kecamatan Banjarnegara, Sigaluh, Kalipiro, Sapuran, Wadaslintang, Bener, Kajoran, Loano, Samigaluh, Kaligesing, Girimulyo, dan Kokap. e. Jalur koneksi kelima menghubungkan antara CA Cabak I/II dengan CA Bekutuk. Jalur ini melewati Kecamatan Randublatung, Banjarejo, Jepon, dan Jiken, dengan panjang ±21,45 km. Gambar 7. Jalur koneksi kawasan konservasi pada lahan kebun campuran 30

32 3. Tegalan/Semak Terdapat 3 jalur koneksi yang menghubungkan 7 kawasan konservasi, yang dihubungkan oleh tegalan/semak, yaitu: a. Jalur koneksi pertama menghubungkan antara CA Guci dengan CA Telaga Ranjeng. Rute ini melewati Kecamatan Paguyangan, Sirampok, dan Bumijawa, dengan panjang kurang lebih 16, 92 km. b. Jalur koneksi kedua menghubungkan antara CA Telogo Dringo, CA Telogo Sumurup, dan TWA Telogo Warno Pengilon. Jalur ini melewati Kecamatan Batur dan Kejajar dengan panjang ±9,25 km. c. Jalur koneksi ketiga menghubungkan antara CA Gunung Butak dengan TWA Sumber Semen. Jalur ini memiliki panjang ±8,14 km, melewati Kecamatan Gunem dan Sale. Gambar 8. Jalur koneksi kawasan konservasi pada lahan tegalan & semak 31

33 4. Kombinasi Hutan dan Kebun Campuran Terdapat 6 jalur koneksi yang menghubungkan 15 kawasan konservasi, yang dihubungkan oleh kombinasi hutan dan kebun campuran, yaitu: a. Jalur koneksi pertama menghubungkan antara CA Jatinegara dengan CA Comal/Bantarbolang. Jalur pertama ini melewati kecamatan Kedungbanteng, Jatinegara, Randudongkal dan Bantarbolang dengan panjang mencapai ±20 km b. Jalur koneksi kedua menghubungkan antara CA Peson Subah I dengan CA Kecubung U. Jalur ini melewati kecamatan Subah, Kabupaten Batang, dengan panjang ±4,8 km c. Jalur koneksi ketiga menghubungkan antara CA Pagerwunung D. dengan CA Gebugan. Jalur ini melewati Kecamatan Kaliwungu, Singorojo, Limbangan dan Klepu, dengan panjang mencapai ±29,56 km. d. Jalur koneksi keempat menghubungkan antara CA Pringamba I, CA Pringamba II, CA Pantodomas, dan SM Sermo. Jalur ini memiliki panjang mencapai ±101, 25 km dan melewati Kecamatan Banjarnegara, Sigaluh, Kalipiro, Sapuran, Wadaslintang, Bener, Kajoran, Loano, Samigaluh, Kaligesing, Girimulyo, dan Kokap. e. Jalur koneksi kelima menghubungkan antara CA Cabak I/II dengan CA Bekutuk. Jalur ini melewati Kecamatan Randublatung, Banjarejo, Jepon, dan Jiken, dengan panjang ±21,45 km. f. Jalur koneksi keenam menghubungkan antara CA Keling II/III dengan CA Kembang. Jalur ini melewati Kecamatan Bangsri dan Keling, dengan panjang ±17,81 km. 32

34 Gambar 9. Jalur koneksi kawasan konservasi pada lahan kombinasi antara hutan dan kebun campuran 5. Kombinasi Hutan dan Tegalan/Semak Terdapat 4 jalur koneksi yang menghubungkan 9 kawasan konservasi, yang dihubungkan oleh kombinasi hutan dan tegalan/semak, yaitu: a. Jalur koneksi pertama menghubungkan antara CA Guci dengan CA Telaga Ranjeng. Rute ini melewati Kecamatan Paguyangan, Sirampok, dan Bumijawa, dengan panjang kurang lebih 16, 92 km. b. Jalur koneksi kedua menghubungkan antara CA Telogo Dringo, CA Telogo Sumurup, dan TWA Telogo Warno Pengilon. Jalur ini melewati Kecamatan Batur dan Kejajar dengan panjang ±9,25 km. c. Jalur koneksi ketiga menghubungkan antara CA Gunung Butak dengan TWA Sumber Semen. Jalur ini memiliki panjang ±8,14 km, melewati Kecamatan Gunem dan Sale. 33

35 d. Jalur koneksi keempat menghubungkan antara TN G Merbabu dengan TN G Merapi. Jalur ini melewati Kecamatan Getasan, Ampel, Selo, Cepogo, Musuk, Kemalang, dan Pakem, dengan panjang ±28,43 km. Gambar 10. Jalur koneksi kawasan konservasi pada lahan kombinasi antara hutan dan tegalan/semak 6. Kombinasi Kebun Campuran dan Tegalan/Semak Terdapat 4 jalur koneksi yang menghubungkan 27 kawasan konservasi, yang dihubungkan melalui kombinasi kebun campuran dan tegalan/semak, yaitu: a. Jalur koneksi pertama menghubungkan 19 kawasan konservasi, yaitu: CA Jatinegara, CA Comal/Bantarbolang, CA Guci, CA Telaga Ranjeng,CA Telogo Dringo, CA Telogo Sumurup, TWA Telogo Warno Pengilon, CA Peson Subah I, CA Kecubung U., CA Pringamba I, CA Pringamba II, CA Pantodomas, SM Sermo, CA Pagerwunung D., CA Gebugan, CA 34

36 Sepakung, TN G Merbabu, dan TN G Merapi. Jalur tersebut melewati 68 kecamatan di 15 kabupaten, dengan panjang mencapai ±522,39 km. b. Jalur koneksi kedua menghubungkan antara CA Gunung Butak, TWA Sumber Semen, CA Cabak I/II, dan CA Bekutuk. Jalur ini melewati Kecamatan Randublatung, Banjarejo, Jepon, Jiken, Bogorejo, dan Sale, dengan panjang mencapai ±51,86 km. c. Jalur koneksi ketiga menghubungkan antara CA Keling II/III dengan CA Kembang. Jalur ini melewati Kecamatan Bangsri dan Keling, dengan panjang ±17,81 km. d. Jalur koneksi keempat menghubungkan SM Paliyan dengan CA Imogiri. Jalur ini melewati Kecamatan Paliyan, Playen, Dringo, dan Imogiri, dengan panjang ±21,59 km. Gambar 11. Jalur koneksi kawasan konservasi pada lahan kombinasi antara kebun campuran dan tegalan/semak 35

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah lepas dari kepentingan seperti kepentingan negara, pemilik modal, rakyat maupun kepentingan lingkungan itu sendiri (Handayani,

Lebih terperinci

VIII REKAPITULASI KEGIATAN TEKNIS TAHUN 2007

VIII REKAPITULASI KEGIATAN TEKNIS TAHUN 2007 VIII REKAPITULASI KEGIATAN TEKNIS TAHUN 2007 KEGIATAN TEKNIS DIPA 29 BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM JAWA TENGAH TAHUN 2007 91 No. Jenis Kegiatan Lokasi Kegiatan Sumber Dana 1. Koordinasi Pengamanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN EVALUASI KESESUAIAN FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan flora dan fauna yang hidup pada suatu kawasan atau wilayah dengan luasan tertentu yang dapat menghasilkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), SINTESIS . Dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi TN belum lengkap,. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), 3. Informasi dan pengembangan jasa lingkungan belum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BALAI KSDA DAN PELESTARIAN ALAM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BALAI KSDA DAN PELESTARIAN ALAM BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BALAI KSDA DAN PELESTARIAN ALAM A. Balai KSDA 1. Kedudukan Balai KSDA Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.8/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 Balai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar http://blog.unila.ac.id/janter PENGERTIAN Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar perlindungan populasi satwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan

Lebih terperinci

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI *) PERLINDUNGAN PELESTARIAN MODERN Suatu pemeliharaan dan pemanfaatan secara bijaksana Pertama: kebutuhan untuk merencanakan SD didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam hayati terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan manfaat, antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 %

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan wilayah dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % dari luas wilayah Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Lebih terperinci

IV APLIKASI PERMASALAHAN

IV APLIKASI PERMASALAHAN IV APLIKASI PERMASALAHAN Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki kekayaan alam yang sangat besar dengan aneka tipe ekosistem mulai dari pegunungan, hutan kapur, lahan basah, kawasan laut, terumbu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

2 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembar

2 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembar No.1442, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Inventasrisasi Potensi. Kawasan Suaka Alam. Kawasan Pelestarian Alam. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.81/Menhut-II/2014

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

V PENGAMANAN DAN PERLINDUNGAN KAWASAN KONSERVASI

V PENGAMANAN DAN PERLINDUNGAN KAWASAN KONSERVASI V PENGAMANAN DAN PERLINDUNGAN KAWASAN KONSERVASI Statistik Balai KSDA Jawa Tengah Tahun 47 KEGIATAN PENINGKATAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM HUTAN DAN EKOSISTEMNYA TAHUN NO SKW LOKASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Indonesia menempati peringkat kedua dunia setelah Brasil dalam hal keanekaragaman hayati. Sebanyak 5.131.100 keanekaragaman

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dengan keanekaragaman sumberdaya hayatinya yang tinggi dijuluki megadiversity country merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu hal yang penting bagi suatu negara. Dengan adanya pariwisata, suatu negara atau lebih khusus lagi pemerintah daerah tempat

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831); PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN 2003

(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831); PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN 2003 PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH Menimbang: a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.35/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2016 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PADA KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

2015 KESESUAIAN LAHAN D I TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI KIARA PAYUNG UNTUK TANAMAN END EMIK JAWA BARAT

2015 KESESUAIAN LAHAN D I TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI KIARA PAYUNG UNTUK TANAMAN END EMIK JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati di Indonesia didukung antara lain oleh posisi Kepulauan Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci