UPAYA PENINJAUAN KEMBALI (PK) DALAM PERKARA PIDANA PEMBUNUHAN MUNIR ( ANALISIS HUKUM ISLAM )

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UPAYA PENINJAUAN KEMBALI (PK) DALAM PERKARA PIDANA PEMBUNUHAN MUNIR ( ANALISIS HUKUM ISLAM )"

Transkripsi

1 UPAYA PENINJAUAN KEMBALI (PK) DALAM PERKARA PIDANA PEMBUNUHAN MUNIR ( ANALISIS HUKUM ISLAM ) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : Amiril Mujahidin NIM : Di Bawah Bimbingan Pembimbing I Pembimbing II H. Zubair Laini, SH Asmawi, M.Ag NIP : KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH FAKULTAS SYARI AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M

2 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah... 8 C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan... 8 D. Metode Penelitian... 9 E. Sistematika Penulisan BAB II DESKRIPSI YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI A. Pengertian Peninjauan Kembali B. Peninjauan Kembali Menurut Pasal 263 KUHAP C. Peninjauan Kembali Menurut Undang-Undang No. 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman BAB III DESKRIPSI TENTANG PENINJAUAN KEMBALI KASUS MUNIR A. Kronologi Pembunuhan Munir B. Proses Hukum Kasus Munir C. Sidang Peninjauan Kembali Dalam Kasus Munir D. Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 263 KUHAP Dan Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman Dalam Kasus Munir... 42

3 E. Hubungan Antara Pasal 263 KUHAP Dengan Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UPAYA PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA PEMBUNUHAN MUNIR A. Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam B. Analisis Hukum Islam Terhadap Prosedur Peninjauan Kembali Kasus Munir C. Pandangan Hukum Islam terhadap Argumentasi Hukum Dalam Peninjauan Kembali Kasus Munir BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA...

4 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum yang ideal seharusnya mampu mengakomodir tiga faktor penting yang menentukan kelayakan sebuah aturan hukum, yakni hukum harus bernilai yudikatif, sosiologis, dan filosofis. Hanya dengan ketiga faktor tersebut sebuah hukum memungkinkan untuk diterapkan dalam sebuah komunitas masyarakat atau dalam sebuah negara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa syarat keberlangsungan sebuah tatanan masyarakat yang sehat diperlukan beberapa faktor yakni aturan hukum yang baik, aparat penegak hukum yang baik, fasilitas yang memadai, serta masyarakat yang baik pula. 1 Dalam proses penerapan hukum, para penegak hukum akan selalu menghadapi tantangan antara mengedepankan ketertiban hukum atau ketentraman umum, dimana keduanya tidaklah kemudian menghendaki pembedaan karena kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan. Ketertiban hukum atau tertib hukum sangat diperlukan oleh aparat penegak hukum sebagai alat dalam menerapkan aturan hukum dan memperoleh kepastian hukum, sedangkan ketentraman umum atau kedamaian yang menjadi cita-cita hukum, dalam beberapa kondisi kadang tidak selalu selaras dengan kepentingan ketertiban hukum. Seringkali kedua hal 1 Dr. Soerjono Soekanto SH.,MA dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1980), hal

5 2 tersebut bersinggungan karena ketertiban hukum lebih menyangkut kepetingan penguasa atau negara, sedangkan segi ketentraman dan kedamaian menyangkut kepentingan warga negara. 2 Salah satu contoh dalam diskursus ini adalah ketika proses peradilan dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dimana terjadi sebuah terobosan hukum dalam proses beracara sebagai upaya penyelesaian kasus ini, dimana hal ini telah melampaui tertib hukum acara pidana yang ada, namun hal ini dipandang perlu untuk tetap dilakukan oleh pihak kejaksaan demi menjaga tujuan hukum yakni mewujudkan ketenteraman dalam kehidupan warga negara, karena jika kasus ini tidak dituntaskan secara adil maka akan melukai rasa keadilan dalam masyarakat. Maka berangkat dari asumsi apakah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sudah memenuhi keadilan materiil atau belum 3, maka Peninjauan kembali (PK) dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan termohon Pollycarpus Budihari Priyanto dilakukan oleh jaksa (yang menurut peraturan dalam KUHAP pasal 263 ayat 1, PK merupakan hak bagi terpidana atau ahli warisnya) sebagai upaya untuk menjaga wibawa lembaga peradilan. Karena pemenuhan keadilan atas korban tindak kejahatan merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh negara, karena peran negara adalah melindungi dan mengayomi 2 Dr. Soerjono Soekanto SH., MA dan Mustafa Abdullah..., hal Adi Andojo Soetcipto, Prospek Penyelesaian Kasus Munir Melalui Peninjauan Kembali Putusam MA, Dalam Komite Solidaritas Aksi Untuk Munir (KASUM), Risalah Kasus Munir, Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum, (Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007) hal.281.

6 3 serta mensejahterakan warga negaranya. 4 Jadi disamping jaksa mewakili kepentingan negara disatu pihak jaksa juga mewakili kepentingan korban tindak kejahatan yang notabene merupakan warga negara yang juga harus mendapatkan perlindungan di muka pengadilan. Mengutip keterangan Ibn Khaldun, bahwa negara atau penguasa seringakali memiliki kecenderungan untuk menggunakan otoritasnya untuk melakukan ketidakadilan, 5 maka negara juga membutuhkan kontrol dari warga negara itu sendiri. Perwujudan kontrol terhadap negara difasilitasi melalui undang-undang tentang jaminan perlindungan terhadap keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Yang menarik dalam proses peninjauan kembali kasus Munir adalah, bahwa peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang menjadi hak bagi terdakwa atau ahli warisnya, namun ketentuan ini diterobos oleh jaksa penuntut umum melalui berbagai argumentasi hukum yang akan penulis paparkan pada bab-bab selanjutnya. Jika dalam Pasal 263 KUHAP 6 dijelaskan bahwa : 1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 2) Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar : a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, 4 Prof. Dr. Mr. L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1996), Cet. Ke-26, hal Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penerjemah: Ahmadie Toha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006) Cet. Ke-6, hal Peninjauan Kembali atau PK diatur dalam KUHAP pasal , Lihat. Dr. Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004) Cet. Ke-11, hal

7 4 hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Maka pasal ini diterobos oleh pihak kejaksaan dengan menggunakan undangundang nomor 4 tahun 2004 pasal 23 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi : Pasal 23 1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. 2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Lebih lanjut pihak kejaksaan menambahkan bahwa pasal 23 ayat satu menjelaskan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan peninjauan kembali, sehingga pasal ini mengandung penafsiran bahwa jaksa juga memiliki hak untuk mengajukan peninjauan kembali kepada mahkamah agung. Salah satu ketentuan atau syarat dalam mengajukan PK adalah ketika ditemukan novum atau bukti baru dalam satu perkara pidana yang dapat mengarahkan pada kebenaran materiil.

8 5 Namun demikian aturan mengenai peninjauan kembali memang bukanlah tanpa cela sebagaimana yang akan Penulis sajikan pada bab-bab selanjutnya, Sebagai pendahuluan dalam pembahasan ini Penulis kemukakan bahwa Peninjauan Kembali merupakan aturan hukum yang diproduksi pada zaman kolonial belanda. Sejarah mencatat bahwa pada mulanya peninjauan kembali dikenal dengan istilah Herziening dimana lembaga ini tidak berlaku bagi inlander, 7 namun para ahli hukum negara kita menyadari bahwa kondisi yang demikian memberikan peluang bagi penguasa atau negara untuk melakukan pelanggaran HAM 8 tanpa dapat tersentuh oleh hukum, sehingga peninjauan kembali dirumuskan dalam rangka melindungi terpidana jika di kemudian hari diketahui telah terjadi kesalahan dalam penerapan hukuman. Perdebatan juga terjadi seputar ayat-ayat yang ada dalam pasal 263 KUHAP terutama ayat 3 yang menyatakan bahwa PK dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Ayat ini ditafsirkan oleh kalangan ahli hukum bahwa putusan bebas yang dalam ayat 1 pasal 263 sedianya tidak dapat diajukan peninjauan kembali oleh pihak penuntut umum atau jaksa menjadi dapat diajukan 7 S. Tanusubroto, Dasar-dasar hukum acra pidana, (Bandung: C.V. Armico, 1989), Cet. II, hal Inlander adalah kata yang digunakan oleh Belanda untuk menyebut penduduk pribumi, yang berarti bahwa penduduk pribumi mendapatkan perlakuan yang lebih rendah daripada warga Belanda. 8 Pelanggaran HAM adalah pelanggaran terhadap hak dasar seseorang karena adanya penyelewengan atau penyalahgunaan otoritas negara. Jadi pelaku pelanggaran HAM adalah selalu aparat negara. Lihat Simon S.H dan Mugiyanto, Mengenal HAM dan Hak Korban Seri Buku Saku, ( Jakarta: Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Kontras Aceh, Catholic Agency for Overseas Development, t.t) hal. 19.

9 6 peninjauan kembali jika melihat teks ayat 3 pasal 263, karena dakwaan yang terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan dapat diartikan sebagai putusan bebas. 9 Inilah beberapa kerancuan yang ada dalam pasal-pasal mengenai pengaturan mekanisme PK. Jika kita menarik persoalan peninjauan kembali ke dalam sistem hukum Islam terlebih dahulu harus diketahui bahwa PK merupakan persoalan dalam rangka proses beracara di muka sidang peradilan, Kesulitan dalam penulisan skripsi ini adalah bahwa dalam perkuliahan yang sudah Penulis jalani, Penulis hanya mendapatkan KUHPnya (hukum materiil) hukum Islam saja, tetapi Penulis belum mendapatkan bagaimana proses beracara atau KUHAPnya hukum Islam sebagai pedoman melaksanakan proses peradilan di muka persidangan, misalnya yang berlangsung di beberapa dunia Islam, katakanlah Mesir atau Arab Saudi,, atau bagaimana proses beracara pada masa Islam generasi nabi atau era sahabat nabi, atau generasi dinasti-dinasti Islam, sehingga diperoleh preseden mengenai proses peradilan yang berlaku di dalam hukum Islam. Sehingga ini merupakan tantangan tersendiri, setidaknya sebagai usaha untuk belajar menggali khazanah hukum Islam, tanpa niat sama sekali untuk mengecilkan persyaratan ijtihad yang ditawarkan atau disyaratkan oleh ulama-ulama Islam terdahulu, 10 serta sebagai 9 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP ( Jakarta, Sinar Grafika, 2006 ) Cet. 8, Hal Karena penting untuk dipahami bahwa al-qur an secara berulang-ulang menegaskan gagasan tentang tanggung jawab dan pertanggung jawaban pribadi. Pada hari akhir tidak seorangpun akan menanggung dosa orang lain dan tidak seorangpun dapat menghapus dosa orang lain. Pada dasarnya, setiap orang harus menyelidiki dan mencari hukum Tuhan, dan kemudian menaatinya dengan penuh keimanan. Namun demikian lebih lanjut dikemukakan bahwa meskipun manusia

10 7 usaha untuk mewarnai dan memberi solusi dalam pergulatan wacana dalam hukum Islam. Ide dalam skripsi ini adalah, bahwa dalam rangka mencari keadilan dan kebenaran, cara-cara yang melampaui norma-norma yang bersifat positifistik perlu untuk dilakukan karena hukum yang sudah terpositifisasi kadang sudah tidak mampu lagi digunakan sebagai upaya mendapatkan keadilan, sementara bukti-bukti yang dapat mengarahkan didapatkannya kebenaran secara materiil seringkali terbentur aturan-aturan hukum yang sudah terpositifisasi. Berdasar pada ide di atas tersebut maka Penulis ingin menelusuri sejauh mana Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran, memberikan dukungan dalam usaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran itu, dalam rangka proses pengungkapan nilai-nilai dasar tersebut di depan pengadilan di dunia, sebelum mempertanggung jawabkan semuanya di akhirat nanti. Kronik dalam pemikiran ini menjadi sesuatu yang menarik karena Penulis meyakini bahwa nilai dan norma dalam ajaran agama Islam mampu memberikan ketenteraman dalam kehidupan, menjangkau dan melintasi batas ras, suku, dan bangsa. Namun tanpa pengkajian yang mendalam, nilai-nilai universal yang ada dalam hukum Islam menjadi sesuatu yang usang, yang pada akhirnya kita sendiri dipandang sebagai pelaksana kehendak Tuannya, mereka sebenarnya pelaksana yang tidak sepenuhnya bebas, karena terikat dengan seperangkat instruksi khusus yang dikeluarkan oleh Tuannya. Lihat Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004). Hal

11 8 sebagai umat Islam mengkerdilakan peranan Islam dan hukum Islam sebagai sumber ide dalam mewarnai kehidupan dalam rangka menuju perdamaian. B. Rumusan dan Batasan Masalah Dari paparan latar belakang diatas didapat beberapa rumusan permasalahan berikut ini : 1. Bagaimanakah prosedur peninjauan kembali dalam kasus Munir menurut KUHAP? 2. Bagaimanakah substansi argumentasi hukum yang diajukan oleh jaksa terhadap upaya peninjauan kembali dalam kasus Munir? 3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap prosedur dan substansi argumentasi hukum peninjauan kembali dalam kasus Munir? Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak melebar maka masalah dalam skripsi ini dibatasi dengan dua hal, yakni : 1. Pandangan hukum Islam mengenai peninjauan kembali dalam kasus Munir. 2. Ketentuan Peninjauan Kembali yang diatur dalam pasal 263 KUHAP dan UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui prosedur peninjauan kembali dalam kasus Munir.

12 9 2. Untuk mengetahui substansi argumentasi hukum yang dipergunakan oleh jaksa dalam pengajuan peninjauan kembali kasus Munir. 3. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap prosedur dan substansi argumentasi hukum dalam peninjauan kembali kasus Munir. Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Pengembangan wacana bagi hukum pidana Islam. 2. Memberikan informasi tentang hal-hal terkait peninjauan kembali dalam hukum acara pidana di Indonesia. 3. Memberikan informasi mengenai pandangan hukum Islam terhadap upaya mencari keadilan keadilan melalui peninjauan kembali seperti yang dilakukan oleh jaksa dalm kasus Munir. D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif karena data-data yang digunakan dalam skripsi ini merupakan data yang bersifat normatif doktriner, yakni berupa perundang-undangan dan putusan pengadilan. 11 Disamping data primer tersebut, data yang akan digunakan sebagai pendukung juga merupakan data kualitatif yang merupakan data sekunder berupa artikel, buku-buku terkait 11 Lihat Amiruddin, S.H., M.Hum dan H. Zainal Asikin, S.h., S.U, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta : Rajawali Press, 2006), hal. 118

13 10 persoalan yang sedang diteliti. Dengan demikian penelitian ini juga termasuk dalam kategori penelitian kualitatif. 12 Selanjutnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni sebagai upaya untuk memberikan gambaran yang tepat dari suatu gejala, dan memberikan analisis yang cermat mengenai fenomena hukum yang ada, dimana dalam skripsi ini akan dijelaskan mengenai upaya peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa atas kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. 2. Sumber Data Adapun data-data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah datadata sekunder karena merupakan data-data berupa peraturan perundangundangan juga buku-buku yang telah dibuat oleh peneliti-peneliti terdahulu. 13 Data-data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain : a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Al-Qur an al-karim dan al-hadits c. Undang-undang No. 4 tahun 2004 mengenai kekuasaan kehakiman 12 Ibid, hal. 25, 13 Lebih lanjut lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinajauan Singkat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 ), hal.1 14 Ibid., hal. 24.

14 11 d. Beberapa yurisprudensi mengenai peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa. 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan tertulis yang dipergunakan untuk memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku pidana, artikel, dan lain-lain. 3. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lelebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum dan bahan rujukan bidang hukum, seperti bibliografi hukum, ensiklopedia, kamus hukum, dan sebagainya. Dari data-data yang telah dikumpulkan kemudian menganalisis data tersebut, dengan menggunakan metode analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan tekhnik studi dokumenter, yakni dengan cara mengumpulkan berbagai informasi berupa dokumen-dokumen hukum selama proses persidangan kasus Munir, maupun data-data berupa artikel dan tulisan beberapa ahli hukum yang membicarakan topik yang dimaksud dalam penelitian ini. 15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hal. 116.

15 12 4. Teknik Analisis Data Karena data-data yang sudah dikumpulkan merupakan data-data dokumen tertulis maka data kemudian dianalisis dengan teknik analisis isi secara kualitatif (qualitative content analysis), 16 Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh U I N Syarif Hidayatullah Jakarta 2007 M. E. Sistematika Penulisan Skripsi ini ditulis dalam empat bab pembahasan dengan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab Pertama Pendahuluan, Dalam bab ini akan dibahas mengenai Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulisan, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab kedua berjudul Deskripsi Yuridis Peninjauan Kembali Dalam KUHAP, Dalam Bab Ini Akan membahas tentang Pengertian Peninjauan Kembali menurut Pasal 263 KUHAP, serta Pengertian Peninjauan Kembali Menurut Undang- Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 16 Drs. Sumadi Suryabrata, B.A, M.A, Ed.S, Ph.D, Metodologi Penelitian ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005) Hal. 40.

16 13 Bab ketiga menjelaskan tentang deskripsi peninjauan kembali kasus munir, Bab ini akan membahas mengenai kronologi pembunuhan Munir, Proses Hukum Kasus Munir, Peninjauan Kembali Dalam Kasus Munir, dan Hubungan Antara Pasal 263 KUHAP dengan Undang-undang Kehakiman Dalam Kasus Munir. Bab keempat adalah analisis hukum Islam terhadap upaya peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana pembunuhan munir, Pada bab ini akan diuraikan Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam, Analisi Hukum Islam Terhadap Prosedur Peninjauan Kembali Kasus Munir Sebagai Upaya Untuk Mendapatkan Keadilan. Serta Pandangan Hukum Islam Terhadap Substansi Argumentasi Hukum Dalam Peninjauan Kembali Kasus Munir. Bab kelima penutup, Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang penulis lakukan serta saran-saran yang mungkin membangun.

17 BAB II DESKRIPSI YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI (PK) A. Pengertian Peninjauan Kembali Dilihat secara gramatikal, peninjauan adalah proses atau cara meninjau. Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia meninjau bisa berarti melihat sesuatu dari ketinggian, mempelajari dengan cermat, dan memeriksa untuk memahami. 21 Dari ketiga makna tersebut, istilah peninjauan lebih relevan dengan makna yang ketiga yaitu memeriksa untuk memahami, karena memeriksa itu berarti melihat dengan teliti untuk mengetahui keadaan. 22 Dengan demikian, peninjauan kembali secara gramatikal berarti melihat dan memahami kembali dengan teliti suatu keadaan untuk memperoleh pemahaman baru. Tujuan dilakukannnya PK sebagai upaya hukum adalah untuk memeriksa sebuah putusan hukum di tingkat kasasi yang dianggap belum memenuhi keadilan materiil agar benar-benar memenuhi asas keadilan sekaligus demi menjaga wibawa hukum di hadapan masyarakat, karena keadilan hukum materiil itu lebih penting daripada kepastian hukum yang bersifat formil. Dengan demikian secara ilmiah kepastian hukum itu dapat diterobos oleh keadilan hukum materiil. Jadi untuk kepentingan keadilan itulah KUHAP mengatur PK sebagai upaya hukum 21 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga, Cet. II, hal Ibid., h

18 15 luar biasa. 23 Disebut hukum luar biasa, karena sejatinya PK adalah memeriksa kembali putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Zainul Bahry dalam buku Kamus Umum di Bidang Hukum dan Politik menjelaskan bahwa PK merupakan suatu upaya hukum luar biasa, dari keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diajukan kepada Mahkamah Agung oleh terpidana, ahli warisnya atau kejaksaan. 24 Dalam bukunya, Yahya Harahap menyebut PK sebagai upaya hukum luar biasa yang dilakukan terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sehingga kasus yang belum memperoleh ketetapan hukum tidak dapat diajukan PK. 25 Sementara S. Tanusubroto menyebut PK sebagai lembaga Herziening, yang diartikan sebagai upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan yang telah memperoleh suatu kekuatan hukum yang tetap. 26 Dari uraian mengenai pengertian PK di atas, maka dapat disarikan sebuah definisi bahwa PK adalah sebuah upaya hukum luar biasa yang dilakukan sebagai 23 Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM), Risalah Kasus Munir; Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum, (Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007), Cet. I, h ), h Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa, 25 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Edisi Kedua, Cet. VIII, h S. Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1989), Cet. II, h. 161, lebih lanjut diterangkan bahwa lembaga herziening tersebut tidak berlaku bagi pengadilan inlander.

19 16 usaha untuk menemukan kebenaran dan keadilan yang dilakukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. B. Peninjauan Kembali Dalam Pasal 263 KUHAP Pada sub bab pengertian PK menurut Pasal 263 KUHAP ini akan dipaparkan terlebih dahulu pengertian KUHAP dan hal-hal yang terkait dengan KUHAP secara singkat agar diperoleh pemahaman PK secara komprehensif. KUHAP merupakan kependekan dari Kitab 27 Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Membahas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentu tidak terlepas dari pembahasan Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) itu sendiri. KUHAP biasanya disebut juga dengan hukum pidana formil, sedangkan KUHP bisanya disebut juga dengan hukum pidana materiil. Van Apeldoorn menjelaskan bahwa hukum pidana materiil itu menunjukkan peristiwa-peristiwa pidana atau peristiwa-peristiwa yang dikenai hukum beserta hukumannya. 28 Sedangkan hukum pidana formil mengatur cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana 27 Kitab berasal dari bahasa Arab yang berarti kumpulan atau buku. XXVI, h L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996), Cet.

20 17 materiil. 29 Artinya pembagian hukum pidana menjadi dua bagian ini secara aplikasi tidak bisa dipisahkan. Terkait dengan Hukum Acara Pidana ini, Zainul Bahri merumuskan pengertian Hukum Acara Pidana ini dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana caranya tertib hukum pidana dapat ditegakkan dan dipertahankan jika terjadi suatu pelanggaran ataupun tindak kejahatan. 30 Secara filosofis, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dibentuk dalam rangka untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya (sejati) dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 31 Penjelasan filosofis di atas menunjukkan bahwa pembentukan KUHAP itu ditetapkan bertujuan untuk mencari dan mendapatkan keadilan yang tidak sekedar hitam-putih suatu peristiwa pidana. Kebenaran selengkap-lengkapnya adalah 29 Ibid.,h ), h Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa, h S. Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1989), Cet. II,

21 18 kebenaran yang memenuhi aspek formil dan materiil yang didasarkan pada keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. S. Tanusubroto mengidentifikasi pokok-pokok Hukum Acara Pidana sebagai berikut: 1. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindakan pidana, cara bagaimana mencari kebenarankebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan. 2. Siapa dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orangorang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, bagaimana caranya menangkap, menahan dan memeriksa orang itu. 3. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu. 4. Cara bagaimana memeriksa dalam sidang Pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dijatuhkannya pidana. 5. Siapa dan cara bagaimana putusan hakim itu harus dilaksanakan. 32 Dengan demikian kedudukan KUHAP merupakan instrument untuk mengungkap suatu peristiwa pidana dari awal kejadian sampai dengan eksekusi di pengadilan. Namun untuk mengungkap suatu peristiwa pidana tersebut tidak cukup hanya dengan petunjuk-petunjuk yang bersifat legalistic-positifistik semata melainkan juga harus bersifat subtantif, karena dalam proses persidangan kadangkala beberapa kasus pidana bisa sangat rumit dan kompleks. Berbicara PK berdasarkan KUHAP di atas, maka PK dijelaskan sebagaimana pada pasal 263 sampai dengan 269 sebagai berikut; Pasal 263 1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 32 Ibid, h

22 19 2) Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar : a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan. Pasal 264 1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali. 3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. 4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali. 5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan. Pasal 265 1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2). 2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. 3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan

23 20 berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera. 4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa. 5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan. Pasal 266 1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya 2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya; b. apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa: 1. putusan bebas; 2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum; 3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; 4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Pasal 267 1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali. Pasal 268 1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.

24 21 2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya. 3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. PasaI 269 Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. 33 Dari paparan pasal KUHAP di atas ternyata tidak didapati pengertian atau definisi secara eksplisit mengenai peninjauan kembali, namun di dapat beberapa hal-hal yang terkait dengan PK, seperti unsur atau syarat yang membuat sebuah keputusan dapat dilakukan peninjauan kembali. Sehingga mengenai definisi mengenai PK kiranya penulis cukupkan pada beberapa definisi umum yang sudah penulis kemukakan di atas. Mencermati isi pasal 263 diatas secara eksplisit didapat penjelasan bahwa secara formil pihak-pihak yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, dan tidak ada keterangan secara eksplisit mengenai kewenangan jaksa untuk mengajukan PK. Sehingga PK dalam hal ini adalah milik terdakwa serta ahli warisnya dalam upaya hukum luar biasa. Penjelasan diatas juga memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya PK digunakan sebagai perlindungan terhadap terpidana, karena dalam konteks hukum pidana, terpidana berhadapan dengan negara yang notabene memiliki kekuatan, Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h Peninjauan undang-undang semacam ini dikenal dengan metode Legislative History.

25 22 sehingga dalam situasi seperti ini antisipasi terhadap penyalahgunaan kewenangan negara serta perlindungan terhadap terdakwa mutlak menjadi perhatian hukum. Kehadiran RUU pasal 263 ini bebrbarengan dengan mengemukanya wacana tentang penegakan HAM, sehingga RUU pasal ini juga mendapat perhatian dari publik agar terdakwa mendapat perlakuan yang lebih baik, untuk itulah jaksa (yang dalam konteks ini mewakili negara) kemudian dibatasi agar tidak diberi hak melakukan peninjauan kembali. 35 Tetapi pada ayat 3 pasal 263 terdapat kerancuan hukum (Il concidere) seiring dengan adanya frase...suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan. Frase ini mengandung pengertian bahwa terhadap putusan bebas dapat diajukan PK, namun dengan dibatasinya pihak yang berhak mengajukan PK pada ayat 1, serta ketidak mungkinan terdakwa untuk mengajukan PK terhadap putusan bebas yang telah diberikan pada terdakwa, memunculkan penafsiran bahwa ayat 3 memberikan peluang bagi jaksa untuk mengajukan PK. 36 Dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman pasal 23 juga disebutkan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan PK, tanpa ada limitasi bagi terdakwa atau ahli 35 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet. VIII, hal Menurut pemikiran penulis jika dalam kasus ini jaksa mengajukan peninjauan kembali adalah bukan dalam konteks membela kepentingan negara secara langsung, tetapi membela kepentingan warga negara atau dalam kasus ini menuntut dan memberikan keadilan bagi keluarga Munir, sehingga perlu adanya perubahan keadilan retributif manjadi keadilan sosiologis. 36 Lebih lanjut pembahasan mengenai kronik dalam pasal 263 akan dibahas pada bab IV.

26 23 warisnya, sementara pihak-pihak yang berkepentingan dalam peradilan adalah terdakwa, hakim, dan jaksa. Inilah beberapa kontroversi yang ada dalam pasal 263 KUHAP, sehingga pasal ini menurut M. Yahya Harahap dinilai sebagai pasal yang Il concider atau tidak jelas. 37 Namun dalam kondisi tertentu penafsiran secara ekstensif tetap perlu dilakukan bila ada fakta hukum baru yang dapat mengarahkan pembuktian pada kebenaran demi tercapainya kebenaran materiil. Jika kita tarik dalam kasus pembunuhan Munir, maka kejahatan terhadap Munir adalah kejahatan yang dilakukan oleh aparatur negara, 38 sehingga dalam hal ini negara harus membenahi aparaturnya melalui proses peradilan yang seadil-adilnya. Mengingat rumitnya kasus ini, maka tanpa penafsiran ulang yang progresif terhadap undang-undang yang ada, kasus ini mustahil dapat diselesaikan secara adil. Kiranya pembahasan seputar siapa yang berhak untuk mengajukan PK dalam bab ini kita cukupkan dengan merujuk pada undang-undang yang ada, karena berbagai penafsiran terhadap undang-undang ini akan penulis sajikan pada pembahsan mengenai tinjauan yuridis terhadap peninjauan kembali kasus Munir. Selanjutnya mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang berkepentingan, agar permohonan PK dapat diproses di pengadilan antara lain seperti yang dijelaskan dalam pasal 263 KUHAP. 37 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP...hal Pollycarpus adalah pilot maskapai penerbangan Garuda, dimana maskapai ini adalah milik Negara yang tergabung dalam BUMN, sehingga keterlibatan pollycarpus dalam pembunuhan Munir merupakan tanggung jawab Negara, maka pembunuhan terhadap Munir dpat dikategorikan pelanggaran HAM.

27 24 Dari kandungan pasal 263 KUHAP dapat diidentifikasi beberapa syarat formil yang harus menyertai permohonan PK Putusan pengadilan harus telah memiliki kekuatan hukum tetap, karena bagi putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, cukup ditempuh dengan pengadilan biasa dan banding, karena memang PK merupakan upaya hukum luar biasa. 2. Menurut pasal 263 pihak yang boleh mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, karena pasal ini diperuntukkan untuk melindungi terdakwa dari kesalahan putusan pengadilan. Sedangkan upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh jaksa adalah upaya kasasi demi kepentingan hukum sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 260 KUHAP Apabila ditemukan keadaan baru (novum) yang dapat membebaskan terpidana dari segala tuntutan atau meringankan hukuman, jika diketemukan bukti baru yang demikian maka terpidana boleh mengajukan PK. Persoalan yang muncul adalah bagaimana jika novum yang diketemukan belakangan justru mengarah pada bersalahnya terpidana, sementara PK hanya diperuntukkan buat terdakwa. Persoalan ini akan dibahas pada bab IV mengenai proses persidangan kasus Munir. 39 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet. VIII, hal Ibid, hal : 338

28 25 4. Adanya putusan yang saling bertentangan, biasanya hal ini terjadi antara peraturan yang diatur dalam KUHP dengan peraturan yang diatur dalam KUHPerdata, namun pertentangan yang dimaksud dalam kasus ini haruslah pertentangan yang nampak secara jelas sebagaimana dapat dilihat dalam putusan MA tanggal 13 Juni 1984 Reg. No. 8 PK/Pid/1983, sehingga dibutuhkan kecermatan oleh pihak pengadilan sebelum memutuskan apakah pertentangan putusan tersebut pantas untuk dibawa pada persidangan PK Adanya kekhilafan dari hakim, dengan kapasitasnya sebagai manusia biasa tentu seorang hakim dapat saja khilaf atau lalai dalam memutuskan suatu perkara, sehingga terpidana dapat mengajukan PK jika diketahui dikemudian hari didapati bahwa hakim telah khilaf dalam memutuskan persoalan. Adapun batas waktu pengajuan PK tanpa dibatasi waktu, sesuai dengan ketentuan pasal 264 ayat (3) KUHAP. Demikianlah syarat-syarat formil yang harus dipenuhi agar permohonan PK dapat diterima oleh pengadilan. Selanjutnya mengenai tata cara mengajukan PK sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 264, terpidana dapat mengajukan PK dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Permohonan PK diajukan secara tertulis kepada pihak panitera, 41 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP...hal : 621

29 26 2. Menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang mendasari permintaan PK, 3. Boleh diajukan secara lisan, dengan demikian sesuai ketentuan dalam pasal 264 ayat 4, panitera harus membantu pemohon dengan menuangkan dan merumuskan permohonan PK oleh terdakwa dalam bentuk surat permintaan PK yang berisi alasan-alasan yang dikemukakan pemohon. Setelah semua proses diatas dilakukan, selanjutnya untuk pertanggung jawaban yuridis akta permintaan peninjauan kembali ditandatangani oleh panitera dan pemohon, kemudian akte tersebut dilampirkan dalam berkas perkara. Demikianlah proses pengajuan PK yang diatur dalam pasal 264 ayat 2 jo. Pasal 245 ayat 2 KUHAP. 42 C. Peninjauan Kembali Dalam Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan adalah hak yang diberikan oleh Undang-Undang atau pemerintah (yang berwenang) untuk dapat bertindak atau mengurus sesuatu seperti apa-apa yang telah digariskan. Kehakiman adalah hal-hal yang menyangkut peradilan dan hukum. 43 Berarti Kekuasaan Kehakiman adalah hak yang diberikan oleh undang-undang atau pemerintah terhadap lembaga tertentu untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan peradilan dan hukum. Di 1996), h Ibid, hal : Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa,

30 27 Indonesia, peradilan atau kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. 44 PK dalam UU Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan pada pasal 23 sebagai berikut; 1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. 2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. 45 Penjelasan pasal 23 ayat (1) di atas diterangkan bahwa yang dimaksud dengan hal atau keadaan tertentu dalam ketentuan ini antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya. Ketentuan dalam UU ini nampaknya tidak ingin menghilangkan begitu saja hak jaksa dalam upaya peninjauan kembali, mengingat dalam beberapa kasus konspiratif, seringkali novum baru ditemukan justru ketika terdakwa dinyatakan bebas, sehingga tertutup upaya hukum apapun bagi penyelasaian suatu kasus hukum. Menganut asas posteriori derogat lex priori maka menurut Nur Syamsi penggunaan UU ini dapat diterapkan Ibid Berita,data diakses tanggal 30 Agustus

31 28 Dalam pasal ini juga tidak ditemukan definisi secara eksplisit mengenai peninjauan kembali, dalam penjelasan pasal ini hanya diterangkan beberapa unsur atau syarat mengenai diperbolehkannya mengajukan PK. Dan hanya ditekankan bahwa PK dapat dilakukan karena adanya bukti baru (novum) atau karena adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum. Dengan ditemukannya bukti-bukti baru yang mengarah kuat pada keterlibatan Pollycarpus dalam peristiwa terbunuhnya Munir, menjadikan MA yakin untuk mengabulkan peninjauan kembali yang dimohonkan oleh jaksa.

32 BAB III DESKRIPSI TENTANG PENINJAUAN KEMBALI KASUS MUNIR A. Kronologi Pembunuhan Munir Untuk memulai pembahasan mengenai proses hukum kasus Munir, akan kita mulai dengan terlebih dahulu mengetahui tentang proses kematian aktivis HAM Munir yang tergolong sebagai kematian yang misterius, mengingat bahwa kematiannya disebabkan oleh racun arsenik serta tempat kematiannya yang sangat mencengangkan yakni di dalam pesawat Garuda sebuah pesawat terbang milik Indonesia yang notabene adalah maskapai milik instansi pemerintah. Berikut ini adalah kronologi proses pembunuhan Munir berdasarkan monitoring persidangan yang dilakukan oleh Kontras dan KASUM (Komite Solidaritas Aksi Untuk Munir). 1 Berdasarkan temuan investigasi yang dilakukan oleh tim pencari fakta (TPF) 2 kasus munir, serta berdasarkan keterangan para saksi didapat narasi fakta tentang kronologi pembunuhan Munir sebagai berikut. 3 Bahwa terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto yang sejak tahun 1999 telah melakukan berbagai kegiatan dengan dalih untuk menegakkan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), melihat sosok Munir, S.H, yang merupakan ketua Anggota TPF terdiri atas Sdr. Brigjend Pol.Drs. Marsudhi Hanafi SH., MH; Sdr. Asmara Nababan;. Sdr. Bambang Widjajanto;. Sdr. Hendardi;. Sdr. Usman Hamid; Sdr. Munarman;. Sdr. Smita Notosusanto; Sdr. I Putu Kusa;. Sdri. Kamala Tjandrakirana; Sdr. Nazarudin Bunas; Sdri. Retno L.P. Marsudi; Sdr. Arif Havas Oegroseno; Sdr. Rachland Nashidik; Sdr. dr. Mun im Idris 3 Detail kronologi pembunuhan Munir akan Penulis lampirkan. 29

33 30 dewan pengurus Kontras dan direktur eksekutif Imparsial merupakan orang yang seringkali mengidentifikasi dirinya adalah pelopor dan penggerak pembangunan demokrasi serta pembela Hak-Hak Asasi Manusi (HAM), dimana dalam berbagai kesempatan, Munir seringkali melontarkan kritikan tajam dan negatif terhadap beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai oleh Munir dan kawan-kawan seperjuangannya sebagai sesuatu yang melanggar ketentuan undang-undang serta tidak mencerminkan demokrasi serta mencederai hak-hak kemanusiaan. Namun dimata terdakwa Pollycarpus serta pihak-pihak tertentu, kegiatan yang dilakukan oleh Munir dianggap sebagai sesuatu yang sangat mengganggu dan menghalangi pelaksanaan program-program pemerintah, sehingga hal ini membuat terdakwa dan pihak-pihak tertentu merasa tidak terima dan terganggu. Berbagai kegiatan Munir, S.H diatas membuat terdakwa merasa perlu untuk menghentikan kegiatan korban Munir, dengan merencanakan cara-cara yang matang. Untuk memuluskan rencana tersebut terdakwa memulai untuk menyusun langkah-langkah serta cara bagaimana menghilangkan nyawa Munir. Rencana tersebut dimulai dengan memantau berbagai aktifitas dan kegiatan Munir, baik secara langsung maupun tidak langsung, sampai akhirnya terdakwa mendapat kabar bahwa Munir akan melakukan perjalanan ke Belanda demi melanjutkan pendidikannya. Kemudian untuk memastikan keberangkatan Munir, pada tanggal 4 September 2004 Polly menghubungi Munir yang ternyata diterima oleh istrinya Suciwati, Suciwati memberitahukan bahwa Munir akan berangkat tanggal 6

34 31 September Setelah memperoleh kepastian tanggal keberangkatan Munir ke Belanda, terdakwa Pollycarpus mengusahakan cara agar dapat berangkat bersama-sama Munir, yakni dengan cara meminta perubahan tugas penerbangan sebagai ekstra crew, sedangkan sesuai jadwal tugasnya terdakwa harus ke Peking China tanggal 5 hingga 9 September 2004, perubahan jadwal penerbangan terdakwa tersebut tertuang dalam nota perubahan nomor : OFA/219/04 tanggal 6 September 2004 yang dibuat oleh Rohainil Aini, yang menurut terdakwa surat tersebut sebagai surat tugas atas dirinya karena tugas dari saksi Ramelgia Anwar selaku Vice President Corporate Security PT. Garuda Indonesia, yang mana kemudian penugasan tersebut tidak pernah ada. Namun karena alasan tersebut maka diterbitkanlah General Declaration bagi keberangkatan Terdakwa ke Singapura sebagai Extra Crew dinyatakan untuk melaksanakan tugas Aviation Security, sementara tugas Aviation Security tersebut bukanlah merupakan spesialisasi tugas Terdakwa yang tugas pekerjaannya di lingkungan PT. Garuda Indonesia adalah sebagai Pilot, atau setidak-tidaknya Terdakwa tidak mempunyai surat khusus sebagai Aviation Security. Selanjutnya pada tanggal 6 September 2004 tibalah waktunya Munir dan terdakwa Pollycarpus untuk berangkat ke Singapura untuk transit sebelum berangkat ke Belanda, namun sebelum keberangkatan, Munir dan terdakwa sempat bertemu dan berbincang, terdakwa menanyakan tempat duduk Munir yang oleh munir ditunjukkan yakni no. 40 kelas ekonomi, namun kemudian terdakwa menawarkan tempat duduknya yang bernomor 3 K di kelas bisnis kepada korban

35 32 Munir, yang mana hal ini dilakukan untuk mempermudah terdakwa untuk melaksanakan rencananya. Hal inipun dilaporkan oleh terdakwa kepada saksi Brahmanie Hastawati selaku purser pesawat, bahwa ada perubahan tempat duduk, dengan tujuan menghilangkan berbagai kecurigaan. Sesaat setelah pesawat tinggal landas Oedi Iriato selaku pramugara pesawat bergegas menyiapkan welcome drink kapada para penumpang, sementara terdakwa Pollycarpus bergegas menuju pantry dekat bar premium. Terdakwa memasukkan racun ke dalam orange juice karena terdakwa tahu bahwa Munir tidak minum alkohol, sedangkan welcome drink hanyalah orange juice dan wine. Saat itu Munir duduk bersebelahan dengan Lie Khie Ngian yang berkewarganegaraan Belanda. Saksi Yeti Susmiarti yang bertindak sebagai pramugari kemudian menawarkan welcome drink kepada Munir dan Lie Khie Ngian, sementara terdakwa, Oedi Irianto, dan Yeti Susmiarti tahu dan dapat memastikan bahwa Lie Khie Ngian yang warga belanda pasti akan mengambil wine, sedangkan Munir tanpa ragu mengambil orange juice yang telah dicampur dengan racun arsen. Pada saat bersamaan terdakwa terus mengamati segala kegiatan yang telah direncanakannya. Pada pukul wib, atau kurang lebih 120 menit perjalanan, pesawat dengan nomor penerbangan GA-974 mendarat di bandara Changi Singapura untuk transit. Pukul wib pesawat tinggal landas dari bandara Changi Singapura, selang 15 menit setelah pesawat tingal landas, Munir mulai merasa mual akibat reaksi dari racun arsen dalam tubihnya, yang mengakibatkan korban

36 33 mual dan muntah-muntah, mendapati keadaan korban yang demikian, crew pesawat memutuskan untuk membawa korban ke bisnis class untuk dibaringkan dan sempat mendapat perawatan dari dokter Dr. Tarmizi. Namun dua jam sebelum mendarat Munir dinyatakan meninggal dunia akibat sakit perut dan muntaber, selanjutnya Dr. Tarmizi membuatkan surat kematian. Namun berdasarkan hasil visum et repertum yang dibuat pro justitia dari Kementrian Kehakiman lembaga Forensik Belanda tanggal 13 Oktober 2004 yang ditandatangani oleh dr. Robert Visser, dokter dan patolog bekerja sama dengan dr. B. Kubat, menerangkan bahwa berdasar otopsi yang telah dilakukan dari tanggal 8 September 2004 hingga 13 Oktober 2004, menyimpulkan bahwa kematian Munir disebabkan konsentrasi arsen yang meningkat sangat tinggi dalam tubuh Munir. Demikianlah paparan singkat tentang kronologi Pembunuhan Munir. B. Proses Hukum Kasus Munir Persidangan Pollycarpus di Pengadilan Negeri 4 Sidang kasus Munir dengan terdakwa Pollycarpus di pengadilan negeri berlangsung dari tanggal 17 Agustus 2005 sampai dengan 20 Desember 2005, dalam persidangan tingkat pertama ini pengadilan menjerat Pollycarpus dengan dua dakwaan, dakwaan pertama yaitu ikut serta dalam pembunuhan berencana, oleh karena itu Pollycarpus dijerat dengan pasal 340 KUHP jo pasal 55 (1) 4 Data diperoleh dari arsip KASUM

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

Monitoring Persidangan Pembunuhan Munir

Monitoring Persidangan Pembunuhan Munir Monitoring Persidangan Pembunuhan Munir Persidangan XXIV PN Jakarta Pusat Jakarta, Senin 12 Desember 2005 Materi: Pembacaan Replik Waktu: 14.00 -. 14.30 Wib Tempat: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lantai

Lebih terperinci

KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA PUSAT UNTUK KEADILAN SURAT DAKWAN

KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA PUSAT UNTUK KEADILAN SURAT DAKWAN KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA PUSAT UNTUK KEADILAN SURAT DAKWAN NO. REG. PERKARA : PDM- / JKT.PST/072005 A. IDENTITAS TERDAKWA Nama Lengkap : POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO Tempat Lahir : Solo. Umur/Tgl Lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah memeriksa dan memutus permohonan

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para pencari keadilan yang berperkara di pengadilan, biasanya setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa kurang tepat, kurang adil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan Peninjauan

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pergaulan hidup manusia, baik individu maupun kelompok sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup, terutama norma hukum yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam kamus besar Bahasa

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan, 49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. Supit 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Jurnal Skripsi TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Disusun oleh : 1.Laurensius Geraldy Hutagalung Dibimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini semakin meningkat, melihat berbagai macam tindak pidana dengan modus tertentu dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.1/Jan-Mar/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.1/Jan-Mar/2015 PENINJUAN KEMBALI PASAL 268 KUHAP PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XI/2013 1 Oleh : Mario Oktofianus Pua 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah ntuk mengetahui bagaimana Peninjauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke IV yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Penegakan Hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN BAGI PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DILIHAT DARI PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN BAGI PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DILIHAT DARI PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA 70 BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN BAGI PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DILIHAT DARI PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA Memahami masalah terjadinya suatu kejahatan, terlebih dahulu harus memahami

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2 AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA Oleh: Hafrida 1 Abstrak Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di

Lebih terperinci

PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG

PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Serjana Hukum PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG

Lebih terperinci

BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA 44 BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA C. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dalam Perspektif Hukum Acara Pidana di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi alasan ganti kerugian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan

BAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum Acara atau Hukum Formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum material. Fungsinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu masyarakat tertentu atau dalam Negara tertentu saja, tetapi merupakan permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). yaitu Negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). yaitu Negara Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional Indonesia telah mempunyai arah dan tujuan yang jelas dan terarah, yaitu untuk mencapai suatu keadaan masyarakat Indonesia yang adil dan

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penipuan yang berasal dari kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci