BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA"

Transkripsi

1 44 BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA C. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dalam Perspektif Hukum Acara Pidana di Indonesia Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil atas adanya hukum pidana yang bersifat materil. Menurut Wirjono Projodikoro (Mantan Ketua Mahkamah Agung RI), Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan adanya Hukum Pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana. 37. Hukum acara merupakan urat nadi kehidupan hukum materil yang memberikan tuntunan atau pedoman dalam pelaksanaan hukum materil sehingga dapat memeberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dalam rangka menegakan hukum dan keadilan, kalau tidak akan terjadi eigenrichting, maka dari pada itu hukum acara tidaklah boleh disimpangi dalam penegakannya karena hukum acara berfungsi mengontrol/mengawasi aparat penegak hukum dalam mnegakkan hukum materil. 38 Di Indonesia, rangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tentang hukum formil dari hukum pidana telah dikodifikasi dan diunifikasikan pada tahun 1981 yang kemudian diberi nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP tersusun atas 22 BAB 37 Mr. Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm H.A.S. Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm

2 45 dan berisi 285 Pasal. Upaya hukum dalam penegakan hukum pidana merupakan salah satu hal yang diatur dalam KUHAP. Mengenai Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening diatur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Sebelum KUHAP diberlakukan di Indonesia pada tahun 1981, belum ada Undang-Undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun Mahkamah Agung telah mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1980 yang mengatur kemungkinan mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap baik untuk perkara perdata maupun untuk perkara pidana. Setelah KUHAP berlaku di Indonesia pada tahun 1981, upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal KUHAP. Setelah KUHAP berlaku, PERMA No. 1 Tahun 1980 tidak juga direvisi hingga saat ini, padahal didalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 PERMA No. 1 Tahun 1980 terdapat hal mengenai pihak-pihak yang diperbolehkan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening, dimana isi Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 PERMA No. 1 Tahun 1980 bertentangan dengan isi Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Dalam Pasal 10 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 1980 dinyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali harus diajukan oleh Jaksa Agung, terpidana atau pihak yang berkepentingan. Sedangkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP jelas dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening adalah terpidana ataupun ahli warisnya. 1. Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening 45

3 46 Pasal 263 ayat 1 KUHAP mengatur terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, pihak-pihak yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening adalah terpidana ataupun keluarga maupun ahli waris dari si terpidana. Namun, selain terpidana dan ahli warisnya, kuasa hukum terpidana diperbolehkan juga untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening. Hal tersebut didasarkan secara konsisten pada angka 24 Lampiran keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW tahun 1983, tanggal 10 Desember Lampiran tersebut merupakan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP dimana dapat disimpulkan bahwa dengan adanya surat kuasa yang memerintahkan hak-hak dan kewajiban kuasa hukum atas terpidana maka kuasa hukum dapat melakukan hal-hal sebagaimana yang telah disepakati dalam suart kuasa antara kuasa hukum dengan terpidana. Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh terpidana atau ahli warisnya merupakan bentuk hak hukum yang dimiliki oleh terpidana untuk mengajukan pembelaan atas diri terpidana. Hal ini tentu wajar bila mengingat bahwa upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening merupakan upaya hukum terakhir maka selayaknya hak atas pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya sebagai upaya yang dilakukan terpidana untuk membela dirinya. Pemberian hak pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh terpidana atau ahli warisnya ini merupakan bagian dari penerapan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) terhadap diri terpidana. Sebagaimana yang disebutkan dalam butir 3c penjelasan umum KUHAP, yaitu : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah 46

4 47 sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 39 Peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap namun bukan berarti pengajuan Peninjauan kembali oleh terpidana menyimpangi asas praduga tak bersalah. Karena walaupun telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap namun selama masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk membela dirinya maka selama itu pula seorang terpidana berhak atas asas praduga tak bersalah. Selain karena alasan menjunjung asas praduga tak bersalah, menurut Martiman Prodjokamidjojo dalam bukunya komentar atas KUHAP, adanya upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh terpidana merupakan jalan yang ditempuh guna menghindari terjadinya kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum, karena hakim hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. 40 Senada dengan pengajuan peninjauan kembali yang selayaknya diajukan oleh terpidana, Anton Sujata yang merupakan Ketua Komisi Ombudsman menyatakan bahwa sesuai Pasal 263 ayat (1), peninjauan kembali dapat diajukan oleh terpidanan atau ahli warisnya terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sementara KUHAP tidak mengatur jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali seperti terpidana. Oleh karena itu, pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa sama saja mengacaukan sistem peradilan yang digariskan dalam KUHAP 41. Selain itu Anton Sujata menambahkan bahwa penafsiran upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening harus dikembalikan sesuai dengan ketentuan perundang- 39 Undang-Undang No. 8 Tahun M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar (Bogor: Politeia, 1997), hlm MDN, 2009, Tata Hukum Pengajuan PK Oleh Jaksa Dipertanyakan, Kompas, 24 Juni

5 48 undangan. Ia pun menyatakan bahwa PK itu diajukan oleh terpidana dan ahli warisnya saja, sedangkan jaksa diberikan haknya untuk pengajuan kasasi. 42 Ada hal yang cukup menarik perhatian yaitu ketimpangan antara Pasal 263 ayat (1) dengan Pasal 263 ayat (3). Dalam Pasal 263 ayat (1) dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Dan dalam Pasal 263 ayat (3) dinyatakan bahwa terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Hal ini jelas menunjukkan bahwa jaksa dimungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali apabila suatu putusan dijatuhkan dengan menyatakan bahwa dakwaan telah terbukti namun tidak diikuti dengan pemidanaan. Manalah mungkin seorang terpidana akan mengajukan peninjauan kembali bila ia telah dijatuhi putusan bebas, meskipun dalam amar putusan dinyatakan bahwa dakwaan telah terbukti. Tentunya terhadap putusan tersebut, jaksalah yang akan mengajukan peninjauan kembali. Terdapat ketimpangan dalam Pasal 263 ayat (3) KUHAP bukan hanya mengenai siapa yang berhak mengajukan peninjauan kembali, Pasal 263 ayat (3) tersebut juga bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) nya dalam hal putusan yang dijatuhkan. Dalam ayat (1) dinyatakan bahwa upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap kecuali atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sedangkan dalam Pasal 263 ayat (3), peninjauan kembali dapat diajukan atas putusan dinyatakan telah terbuktinya suatu dakwaan namun tidak diikuti dengan pemidanaan. Artinya, terhadap putusan bebas dapat diajukan peninjauan kembali apabila dalam amar putusannya dinyatakan bahwa dakwaan telah terbukti. 42 Jimmy Radjah, Kasus Bank Bali, Tafsir PK Sebaiknya Kembali ke UU, Suara Karya, 24 Juni

6 49 2. Syarat Materil atau Dasar-Dasar Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dapat diajukan karena adanya alasan-alasan sebagai berikut : 1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkaraitu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; 2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. 3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Menurut Leden Marpaung, hal tersebut diatas merupakan syarat materil pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening. Hanya karena alasan tersebutlah upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dapat dilakukan 43. Penanganan tata cara upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening adalah sebagai berikut : 43 Leden Marpaung, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm

7 50 1) Permintaan peninjauan kembali diajukan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama. 2) Permintaan peninjauan kembali disertai dengan alasan-alasannya. Alasan tersebut dapat diutarakan secara lisan, yang dicatat oleh Panitera yang menerima permintaan peninjauan kembali tersebut. 3) Permintaan peninjauan kembali oleh Panitera tersebut ditulis dalam surat keterangan yang ditandatangani Panitera serta pemohon, dicatat dalam daftar dan dilampirkan pada berkas perkara. 4) Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali, untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali itu memenuhi alasan sebagai dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2). 5) Dalam pemeriksaan itu pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. 6) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim dan panitera. 7) Ketua Pengadilan melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan, dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan kata pengantarnya sampai kepada pemohon dan jaksa. Selain daripada itu, mengenai peninjauan kembali ini diatur bahwa : 1) Pengajuan peninjauan kembali tidak dibatasi suatu tenggang waktu; 2) Permintaan peninjauan kembali tidak meneguhkan atau menghentikan pelaksanaan dari putusan (eksekusi) 50

8 51 3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. D. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening sebagai upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan terhadap suatu perkara, merupakan tombak atau senjata terakhir yang dapat digunakan dalam pencarian pemenuhan rasa keadilan. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang menurut Pasal 263 ayat (1) merupakan tombak terakhir bagi para terpidana kini mulai direbut oleh jaksa. Pasal 21 Undang-Undang Pokok Kehakiman yang lama yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 memuat ketentuan yang ditafsirkan bahwa didalam perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan jaksa sebagai wakil dari korban dalam berhukum acara pidana, maupun jaksa sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum (Negara). Berdasarkan ketentuan tersebut jaksa tentu memiliki kewenangan untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening. Pasal 23 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman, telah membuka peluang bagi Jaksa untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening. Dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang menerima/mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang diajukan oleh jaksa, terdapat Pasal 23 Undangundang No. 4 Tahun 2004 sebagai salah satu dasar pertimbangan Hakim Agung dala menjatuhkan putusan. Menurut Hakim Agung, frase pihak-pihak yang bersangkutan dalam Pasal 23 tersebut menunjukkan bahwa jaksa diperkenankan untuk melakukan peninjauan kembali karena jaksa adalah salah satu dari pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara 51

9 52 pidana selain dari pada terpidana. Jaksa dipandang berhak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening karena jaksa mewakili kepentingan Negara dan korban. Maka sudah sepantasnya jaksa diperkenankan untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening. Pasal 23 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 disebutkan sebagai berikut : Ayat (1) : Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Ayat (2) : Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Pasal 23 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 bukan hanya mengatur mengenai diperbolehkan jaksa mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening, tetapi dalam Pasal tersebut juga diatur bahwa tidak dapat diajukan peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali. Oleh karena itu, apabila jaksa telah mengajukam upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening maka terpidana tidak diperkenankan lagi untuk mengajukan peninjauan kembali. Diskusi tentang PK yang diadakan oleh Lembaga Advokasi Hukum dan Demokrasi untuk Pembaruan (LANDEP) pada tanggal 23 Juni 2009 menghadirkan Anton Suyata, Soekotjo Soeparto dan Benyamin mangkudilaga. Anton Suyata memaparkan PK hanya dapat diajukan satu kali dan tidak ada PK diatas PK. Soekotjo menyampaikan bahwa PK diatas PK akan merusak bangunan system hukum di Indonesia Elza Faiz, Diskusi Tentang PK, Peninjauan Kembali (PK) Dalam Tata Hukum Indonesia, artikel dimuat dalam Bulletin Komisi Yudisial vol. IV No. 1 Agustus 2009, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2009, hlm.9. 52

10 53 Hal ini tentu sangat merugikan pihak terpidana, padahal dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP jelas dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening adalah terpidana atau ahli warisnya. Muhammad Assegaf yang merupakan pengacara terpidana Pollycarpus dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir menyatakan bahwa ia dan kliennya tidak bisa mengajukan PK karena tidak ada diatur dalam KUHAP mengenai PK diatas PK, artinya tidak ada PK diatas putusan PK. 45 E. Pengaturan Mengenai Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dari Tinjauan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU/VI/2008 dan Kaitannya dengan PERMA No. 1 Tahun 1980 Mahkamah konstitusi sebagai salah satu lembaga yang keberadaannya diakui di negeri ini mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut : 1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara 3. Memutus pembubaran partai politik dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguji Undang- Undangterhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pada tahun 2008 MK telah mengeluarkan putusan Nomor 16/PUU-VI/2008. Putusan tersebut pada amarnya menolak gugatan dari Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus dalam gugatannya, mengajukan pengujian terhadap Pasal 23 Undang- Undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman terhadap Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengenai hak atas jaminan 45 MDN, loc.cit. 53

11 54 dan perlindungan kepastian hukum. Menurut Pollycarpus, peninjauan kembali seharusnya didasarkan pada Pasal 263 KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981) dan bukan didasarkan pada Pasal 23 Undang-Undang Pokok Kehakiman. Diterimanya pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa, dianggap telah menyimpangi hak asasi manusia dalam hal jaminan perlindungan kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia tahun Alasan-alasan tersebutlah yang menyebabkan Pollycarpus yang merupakan terpidana atas kasus pembunuhan aktifis HAM Munir mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, permohonan dalam gugatan Pollycarpus tersebut ditolak oleh hakim-hakim Mahkamah Konstitusi. Alasan penolakan permohonan tersebut adalah karena menurut hakimhakim Mahkamah Konstitusi Pasal 23 ayat (1) Undang-UndangNo. 4 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun Lagi pula, adanya putusan-putusan Mahkamah agung yang menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan jaksa dengan menafsirkan secara luas frasa pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dengan mengesampingkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP merupakan implementasi undang-undang, yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun Penolakan permohonan tersebut karena tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi hanya menguji Undang-Undangterhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan pengujian terhadap Undang-undang dengan Undang-undang lainnya merupakan hak Mahkamah Agung. Berdasrkan hal tersebut, semestinya yang diuji adalah Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang No. 4 Tahun 2004 terhadap Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Dan pengujian tersebut 46 Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm

12 55 diajukan ke Mahkamah Agung bukan ke Mahkamah Konstitusi. Terhadap perkara Pollycarpus ini, salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi memberikan Concuring Opinion (alasan berbeda), yaitu Dalil permohonan yang bersangkutan merupakan masalah penerapan norma oleh Mahkamah Agung yang dinilai terdakwa melanggar kepastian hukum. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 merupakan salah satu Pasal yang penerapannya lebih lanjut diatur dalam hukum acara dalam Undang-undang, sehingga seharusnya Undang-undangyang mengatur hukum acaralah yang dimohonkan untuk diuji, bukan Pasal 23 aayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun Penolakan permohonan Pollycarpus oleh Mahkamah Konstitusi tidak berarti membenarkan diajukannya peninjauan kembali oleh jaksa diperbolehkan. Penolakan tersebut dilakukan karena masalah kewenangan yang tidak dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun pada akhirnya permohonan Pollycarpus ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, namun ada dua orang hakim Mahkamah Konstitusi yang memberikan pendapat berbeda (Dissenting Opinion) Ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 menimbulkan ketidakpastian hukum karena pengertian pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali tidak diterapkan secara konsisten dalam proses peradilan pidana. Karena Pasal itu merupakan sebab ketidakkonsistenan dalam penerapan ketentuan mengenai siapa yang berhak mengajukan peninjauan kembali dalam perkara pidana, 48 maka permohonan Pemohon beralasan untuk dikabulkan. Ada tiga alternative penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Pollycarpus ini yang merupakan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusannya, yaitu : Pasal 23 ayat (1) Undang-undnag No. 4 Tahun 2004 merupakan asas atau aturan umum yang harus dirinci dalam Undang-Undangtentang hukum acara, baik pidana maupun perdata yang berlaku bagi masing-masing lingkungan peradilan dan peradilan khusus dibawah Mahkamah Agung. Menyangkut 47 Ibid, hlm Ibid. 49 Ibid, hlm

13 56 perkara pidana, pihak yang berhak mengajukan peninjauan kembali harus merujuk pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan keadaaan atau syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 2. Pasal 23 ayat (1) Undang-UndangNo. 4 tahun 2004 merupakan paradigm baru yang berorientasi kepada kepentingan korban kejahatan, disamping terdakwa, yang menyebabkan Jaksa atas nama korban diberi hak untuk mengajukan peninjauan kembali; 3. Frasa pihak-pihak yang bersangkutan dalam Pasal 23 Undang-UndangNo. 4 Tahun 2004 merupakan istilah yang kabur dan tidak jelas, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan UndangundangDasar Negara Republik Indonesia Tahun Frasa tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyampingkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan secara limitatif siapa yang berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketiga hal tersebut diatas, Mahkamah memilih alternatif pertama karena sifat norma Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 merupakan asas yang berlaku secara umum untuk setiap badan peradilan yang puncaknya berada pada Mahkamah Agung. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memandang bahwa hal-hal mengenai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali merupakan kewenangan Mahkamah Agung untuk mengaturnya. Mengenai pengaturan peninjauan kembali pernah dituangkan Mahkamah Agung dalam peraturannya yaitu PERMA No. 1 tahun 1980 Tentang Peninjauan Kembali Putusan 56

14 57 yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap. Dalam Pasal 9 PERMA No. 1 Tahun 1980 disebutkan sebagai berikut : 50 Ayat (1) : Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas dasar alasan : a) Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sama lain bertentangan ; b) Apabila terdapat suatu keadan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan. Ayat (2) : Atas dasar alasan yang sama Mahkamah agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai terbukti akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan. Pasal 10 PERMA No. 1 Tahun 1980 diatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali dan prosedur pengajuan peninjauan kembali tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut : Ayat (1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan. 50 PERMA No. 1 Tahun 1980 Tentang PK Putusan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap. 57

15 58 Ayat (2) Permohonan diajukan secara tertul;is, dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang diajukan sebagai dasar permohonan itu dan dimasukkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau diajukan lengsung ke Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya mengenai peninjauan kembali telah diatur oleh Mahkamah Agung dalam PERMA No. 1 Tahun Namun pada kenyataannya, hingga kini PERMA tersebut tidak direvisi atau diperbaharui oleh Mahkamah Agung sehingga daya berlaku PERMA tersebut sudah tidak ada lagi karena mengenai peninjauan kembali kemudian telah diatur dalam Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan hirarki PERMA tersebut berada dibawah Undang-Undang sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal tujuh Undang- Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan. Kedudukan PERMA dalam hirarki peraturan perundang-undangan tidak diatur dalam ayat (1) Pasal tujuh Undang-undangNo. 10 tahun 2004, namun dalam ayat (4) Pasal 7 nya diatur bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundnag-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka seharusnya PERMA dibentuk sebagai peraturan lebih lanjut demi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berada lebih tinggi darinya. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penolakan permohonan Pollycarpus oleh Mahkamah Konstitusi yang dituangkan dalam Putusan Nomor 16/PUU- VI/2008 bukan berarti menunjukkan bahwa peninjauan kembali oleh jaksa merupakan hal yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Penolakan tersebut dilakukan Mahkamah Konstitusi karena sesungguhnya mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali merupakan hal yang diatur dalam beberapa peraturan perundang- 58

16 59 undangan yang saling bertentangan. Dan kewenangan atas pengujian undang-undang terhadap undang-undang merupakan hak uji Mahkamah Agung bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sehingga Mahkamah Konstitusi memandang permohonan tersebut ditolak agar sekiranya permohonan tersebut diajukan ke Mahkamah agung dan dibahas oleh Mahkamah Agung. Meskipun mengenai peninjauan kembali telah diatur oleh mahkamah Agung dalam PERMA No. 1 Tahun 1980, dan dalam Pasal 10 PERMA tersebut dengan terang telah menunjukkan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan oleh jaksa namun oleh karena pada tahun 1981 telah lahir Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang juga mengatur secara jelas mengenai Peninjauan Kembali maka seharusnya PERMA No.1 Tahun 1980 sudah tidak mempunyai kekuatan hukum untuk berlaku lagi. BAB III 59

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan Peninjauan

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali Herziening atau peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau

Lebih terperinci

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan, 49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), diwakili oleh: 1. Victor Santoso Tandiasa, SH. MH.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUUXIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka I. PEMOHON 1. Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) (Pemohon I)

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah memeriksa dan memutus permohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA : 33/PUU-X/2012

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA : 33/PUU-X/2012 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 33/PUU-X/2012 Tentang Pembatasan Kekuasaan dan Kewenangan Kepolisian Republik Indonesia I. PEMOHON Erik.. selanjutnya disebut sebagai Pemohon. II. POKOK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO

PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO Oleh: I.TAJUDIN. S.H. NIP. 132 312 770 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN 2009 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017 WEWENANG PRA PENUNTUTAN PENUNTUT UMUM DALAM PASAL 14 HURUF B KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KAJIAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 130/PUU-XIII/2015) 1 Oleh: Kalvin Kawengian 2 ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali I. PEMOHON Abd. Rahman C. DG Tompo Kuasa Hukum DR. Saharuddin Daming. SH.MH., berdasarkan surat kuasa khusus

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 22/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 22/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 22/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Undang-undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli Habibie,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017 KAJIAN YURIDIS GANTI RUGI DAN REHABILITASI NAMA BAIK BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Natasya Senduk 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan

I. PENDAHULUAN. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 1 menyatakan bahwa Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 44/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 44/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 44/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA BADAN LEGISLASI DPR RI DENGAN PEMERINTAHAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA BADAN LEGISLASI DPR RI DENGAN PEMERINTAHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ------------------------------ LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA BADAN LEGISLASI DPR RI DENGAN PEMERINTAHAN c.q. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DEPARTEMEN KEHAKIMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Karena Melakukan Tindak Pidana Yang Diancam Dengan Pidana Penjara 5 (Lima) Tahun Atau Lebih Bagi Seseorang Yang Akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR BERACARA DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR BERACARA DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR BERACARA DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan I. PEMOHON Barisan Advokat Bersatu (BARADATU) yang didirikan berdasarkan

Lebih terperinci

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 129/PUU-VII/2009 Tentang UU Kekuasaan Kehakiman, MA & MK Pengujian UU dan peraturan di bawahnya dalam satu atap I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira;

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

Makalah Rakernas

Makalah Rakernas Makalah Rakernas 2011 1 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI Oleh : H. A. Kadir Mappong (Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidan Yudisial) Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk memperbaiki

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Keterbukaan Informasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XI/2013 Tentang Nota Kesepakatan Bersama Tentang Pengurangan Masa Tahanan Bagi Tindak Pidana Umum, Pemeriksaan Cepat dan Restorative Justice I. PEMOHON Fahmi Ardiansyah

Lebih terperinci

ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Artikel I. Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2004 Kekuasaan ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia merupakan kewajiban mutlak dari Bangsa Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Negara Indonesia adalah Negara yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah I. PEMOHON Drs. Setya Novanto,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu,

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian.

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian. KASUS PIDANA UMUM CONTOH-CONTOH KASUS PIDANA: Kekerasan akibat perkelahian atau penganiayaan Pelanggaran (senjata tajam, narkotika, lalu lintas) Pencurian Korupsi Pengerusakan Kekerasan dalam rumah tangga

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 54/PUU-XII/2014 Penetapan Tersangka dan Kewenangan Pegawai Internal BPK Sebagai Ahli Dalam Persidangan Atas Hasil Audit Laporan Internal Badan Pemeriksa

Lebih terperinci