KATA PENGANTAR. Puji syukur dihaturkan kepada Allah atas petunjuk dan pertolongan-nya, sehingga

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KATA PENGANTAR. Puji syukur dihaturkan kepada Allah atas petunjuk dan pertolongan-nya, sehingga"

Transkripsi

1 1

2 2

3 KATA PENGANTAR Puji syukur dihaturkan kepada Allah atas petunjuk dan pertolongan-nya, sehingga tugas penelitian dalam rangka melaksanakan salah satu Tridharma Perguruan Tinggi ini dapat diselesaikan dengan baik, meskipun hal itu dilakukan di tengah-tengah kesibukan peneliti sebagai dosen pengajar dan Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Malang. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang mengkaji tentang batasbatas materi muatan peraturan daerah (Perda) yang merupakan wewenang Pemerintahan Daerah menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Penelitian ini sangat penting artinya, karena banyak Perda yang dibuat oleh Kepala Daerah bersama-sama DPRD, tetapi oleh pemerintah pusat dibatalkan dengan alasan materi muatan yang diatur dalam Perda-perda tersebut bukan merupakan urusan yang menjadi wewenang Pemerintahan Daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, terkait dengan otonomi daerah, pemerintah daerah harus memiliki pemahaman dan interpretasi yang sama dengan pemerintah pusat mengenai batas-batas wewenang (urusan) daerah yang yang dapat dituangkan menjadi materi muatan Perda, supaya tidak terjadi konflik wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau konflik wewenang antar pemerintah daerah. Pada kesempatan ini, izinkanlah saya mengucapkan terima kasih yang setulustulusnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam melaksanakan tugas penelitian 3

4 ini, khususnya kepada Dekan Fakultas Hukum, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, dan Rektor Universitas Islam Malang. Kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca senantiasa diharapkan demi penyempurnaan hasil penelitian ini di masa mendatang. Akhirnya, semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang ilmu perundang-undangan di Indonesia yang hingga kini belum banyak dikaji dan diteliti oleh para ahli hukum di bidang hukum ketatanegaraan dan hukum tata pemerintahan. Peneliti, Malang, 27 Agustus 2005 Abdul Rokhim 4

5 ABSTRAK Materi Muatan Peraturan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun 2004 Oleh: Abdul Rokhim Penelitian tentang Materi Muatan Peraturan Daerah Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini memfokuskan kajiannya pada persoalan yang terkait dengan batas-batas wewenang (urusan) pemerintahan daerah yang merupakan materi Peraturan Daerah (Perda) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis secara lebih mendalam tentang batas-batas wewenang (urusan) pemerintah daerah yang dapat dirumuskan sebagai materi muatan Perda menurut kedua undang-undang tersebut di atas. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis-normatif, yang mengkaji dan menganalisis pokok masalah berdasarkan asas-asas dan norma hukum (peraturan perundang-undangan) yang mengatur tentang atau terkait dengan pembentukan Perda, khususnya UU Pemda No. 32/2004 dan UU No. 10/2004. Dalam penelitian hukum normatif, data yang digunakan hanyalah data sekunder yang berwujud bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat maupun bahan hukum sekunder yang berupa literatur-literatur hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (a) Pemerintahan daerah (Kepala Daerah dan DPRD) berwenang membentuk Perda dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Perda dibentuk sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masingmasing daerah; (b) Wewenang pemerintahan daerah membentuk Perda bukan merupakan wewenang delegasi dari pemerintah pusat, melainkan wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi), yaitu wewenang mandiri yang langsung diberikan oleh Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945 dan Pasal 136 ayat (2) dan (3) UU No. 32/2004 juncto Pasal 12 UU No. 10/ 2004; (c) Materi muatan Perda, menurut Pasal 12 UU No. 10/ 2004, meliputi: (1) seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; (2) materi muatan yang mengatur kondisi khusus daerah atau daerah otonom; dan (3) materi muatan yang merupakan penjabaran lebih lanjut atau delegasi wewenang dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, materi muatan Perda adalah paralel dengan kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Jadi, semua urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai wewenang pemerintah daerah, baik urusan wajib maupun urusan pilihan, baik menyangkut hak (wewenang) maupun kewajiban daerah, secara yuridis-normatif merupakan hal-hal (urusan) yang dapat dijadikan sebagai materi muatan Perda. Kata Kunci: Materi Muatan; Peraturan Daerah 5

6 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL (i) HALAMAN PENGESAHAN (ii) KATA PENGANTAR (iii) ABSTRAK (v) DAFTAR ISI (vi) BAB I : PENDAHULUAN (7) 1. Latar Belakang Masalah (7) 2. Rumusan Masalah (15) 3. Tujuan Penelitian (15) 4. Manfaat Penelitian (15) 5. Metode Penelitian (16) 6. Sistematika Pembahasan (18) BAB II : LANDASAN TEORITIK DAN KONSEPTUAL (20) 1. Konsep Negara Hukum (20) 2. Eksistensi Peraturan Perundang-undangan dalam Negara Hukum (31) 3. Ciri-ciri Peraturan Perundang-undangan (37) 4. Asas-asas dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (40) 5. Asas-asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan (48) BAB III : BATAS-BATAS MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH (52) BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN (68) 1. Kesimpulan (68) 2. Saran-saran (69) DAFTAR PUSTAKA (70) 6

7 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik, demikian bunyi Pasal 1 ayat (1) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Pasal 18 ayat (1) amandemen kedua UUD 1945, dibagi atas daerah-daerah provinsi dan provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud pada pasal ini tidak lain adalah Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, yakni Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (selanjutnya disingkat: UU Pemda No. 32/2004) yang mengubah dan mencabut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU Pemda No. 22/1999). Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, menurut Pasal 18 ayat (2) amandemen kedua UUD 1945 juncto Pasal 2 ayat (2) UU Pemda No. 32/2004, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, menurut Pasal 18 ayat (6) amandemen kedua UUD 1945, pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain. Peraturan daerah (selanjutnya dapat disingkat Perda) dan peraturan-peraturan lain tersebut dibentuk oleh pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) UU Pemda No. 32/2004, dalam rangka menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali 7

8 urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah (pusat), dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Yang dimaksud pemerintahan daerah menurut Pasal 3 ayat (1) UU Pemda No. 32/2004 adalah: a. Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi; b. Pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/ kota dan DPRD kabupaten/kota. Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) di atas, menurut ayat (2)-nya, terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah. Sedangkan yang dimaksud kepala daerah menurut Pasal 24 ayat (2) UU Pemda No. 32/2004 adalah Gubernur untuk daerah provinsi, Bupati untuk daerah kabupaten, dan Walikota untuk kota. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut berarti unsur pemerintahan daerah menurut undang-undang tersebut meliputi pemerintah daerah yang dipimpin oleh Kepala Daerah dan DPRD. Salah satu tugas dan wewenang kepala daerah, menurut Pasal 25 butir a dan b UU Pemda No. 32/2004 adalah mengajukan rancangan peraturan daerah (Raperda) dan menetapkan peraturan daerah (Perda) yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD. Berdasarkan ketentuan ini, pembentukan Perda menurut undang-undang merupakan tugas dan wewenang kepala daerah bersama-sama DPRD. Dengan demikian, kekuasaan negara di bidang legislasi (kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan), dalam hal ini peraturan daerah, menurut undang-undang bukan merupakan kewenangan terpisah dari lembaga legislatif berdasarkan teori pemisahan kekuasaan (separation du pouvoir; 8

9 separation of power) seperti yang diajarkan Montesquieu dalam teori Trias Politica, melainkan merupakan kewenangan bersama antara lembaga eksekutif (pemerintah daerah) dan lembaga legislatif (DPRD). Kalau berpegang teguh pada Trias Politica, maka pembentukan semua peraturan perundang-undangan dilakukan oleh badan legislatif. Dalam kenyataan, badan legislatif (melalui undang-undang) melakukan atribusi wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan kepada eksekutif (Bagir Manan dan Kuntata Magnar, 1997:210). Sejalan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 25 tersebut di atas, Pasal 40 UU Pemda No. 32/2004 menegaskan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Fungsi legislasi dan anggaran bukan merupakan kewenangan mandiri dan terpisah dari DPRD, melainkan merupakan tugas dan kewenangan bersama pemerintah daerah (baca: kepala daerah). Sedangkan, fungsi pengawasan kepada lembaga eksekutif merupakan wewenang DPRD secara otonom (mandiri). Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi tersebut di atas, DPRD menurut Pasal 42 ayat (1) butir a, b, dan c UU Pemda No. 32/2004, mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama; b. membahas dan menyetujui Raperda tentang APBD bersama dengan kepala daerah; c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundangundangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah. 9

10 Kewenangan pemerintahan untuk membentuk peraturan perundang-undangan sendiri di daerah merupakan wujud atau realisasi dari prinsip dan kebijakan desentralisasi yang dianut dalam Pasal 18 amandemen kedua UUD 1945 yang diatur lebih lanjut dalam UU Pemda No. 32/2004. Desentralisasi berarti penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 butir 7 UU Pemda No. 32/2004). Desentralisasi, menurut Philipus M. Hadjon (1997:112), mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satuan pemerintahan yang lebih rendah (baca: pemerintahan daerah) diserahi dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan. Penyerahan kepada atau membiarkan satuan pemerintahan yang lebih rendah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu itu dapat bersifat penuh atau tidak penuh. Penuh, kalau penyerahan atau membiarkan itu mencakup wewenang untuk mengatur dan mengurus baik mengenai asas-asas, materi maupun cara menjalankannya. Tidak penuh, kalau hanya terbatas pada wewenang untuk mengatur dan mengurus cara menjalankannya. Wewenang penuh untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan daerah yang menjadi wewenangnya itulah yang disebut dengan otonomi. Sedangkan yang terbatas pada cara menjalankan (tidak penuh) disebut tugas pembantuan (medebewind). Perwujudan desentralisasi dalam bentuk otonomi adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tanggah daerah. Sedangkan tugas pembantuan adalah tugas untuk turut serta (berpartisipasi) dalam 10

11 melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menjalankannya. Dengan otonomi, pemerintahan daerah berwenang membentuk peraturan perundangundangan sendiri yang berlaku secara terbatas atau dalam lingkup wilayah hukumnya sendiri. Peraturan perundang-undangan tersebut, di antaranya adalah Perda. Perda dibentuk berdasarkan atau atas perintah dari peraturan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945 dan undang-undang. Perintah dari peraturan yang tingkatannya lebih tinggi untuk membentuk peraturan yang tingkatannya lebih rendah itu oleh Soehino (2000:160) disebut delegasi perundang-undangan. Delegasi perundang-undangan yang memberikan wewenang kepada pemerintahan daerah untuk membentuk Perda merupakan wujud penerapan prinsip dan kebijakan desentralisasi. Praktek desentralisasi menurut Rondinell memiliki empat varian, yakni: dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi. Dalam konteks tugas pemerintah memberikan pelayanan publik (public services), apabila kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat itu oleh pemerintah diserahkan kepada pejabat, maka konsep itu dimaknai sebagai dekonsentrasi. Makna dekonsentrasi ini sejalan dengan rumusan Instituut voor Bestuurswetenchappen, sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon (1997:113): Deconcentratie is de opdracht aan in een hierarchisch verband van een bestuurslichaam staande ambtenaren of diensten tot de behartiging van bepaalde taken, gepaard gaande met de toekenning van het recht tot regeling en besslissing in de bepaalde gevallen, waarbij de uitendelijke verantwoordelijkheid bij het bestuurslichaam zelf blijf liggen. (Dekonsentrasi adalah penugasan kepada pejabat atau dinas-dinas yang mempunyai hubungan hirarkis dalam suatu badan pemerintahan untuk mengurus tugas-tugas tertentu yang disertai hak untuk mengatur 11

12 dan membuat keputusan dalam masalah-masalah tertentu, pertanggungjawaban terakhir tetap pada badan pemerintahan yang bersangkutan). Sebaliknya, apabila kewenangan itu diserahkan kepada daerah otonom, maka konsep itu dimaknai sebagai devolusi yang konsekuensinya akan ada otonomi daerah. Di samping itu, untuk hal-hal tertentu, kewenangan itu dapat diberikan kepada badan atau lembaga tertentu untuk mengelolanya (seperti listrik diberikan kewenangan kepada P.T. PLN, pertambangan diberikan kewenangan kepada P.T. Pertamina, dan lain-lain) dan konsep ini dimaknai sebagai delegasi. Sedangkan, varian keempat adalah apabila kewenangan itu diserahkan kepada swasta untuk mengelolanya, maka konsep ini dimaknai sebagai privatisasi (Oentarto Sindung Mawardi, 2004:21). Apabila dikaitkan dengan pendapat tersebut di atas berarti makna desentralisasi yang dirumuskan dalam UU Pemda No. 22/1999 maupun UU Pemda No. 32/2004 merupakan makna sempit dari desentralisasi, hanya dimaknai atau diidentikkan dengan varian ketiga dari desentralisasi, yakni devolusi. Dari segi politik hukum, desentralisasi (dalam arti devolusi) sengaja dipilih dan ditentukan sebagai kebijakan untuk memberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab menurut UUD 1945 dan UU Pemda, pada dasarnya terkait dengan dimensi politik, dimensi administratif dan dimensi ekonomi. Dari dimensi politik, cita hukum (rechtsidee) yang diharapkan adalah menjadikan pemerintahan daerah sebagai instrumen pendidikan politik dalam rangka mengembangkan demokratisasi. Pemberian otonomi dan pembentukan institusi pemerintahan daerah dapat mencegah kecenderungan sentrifugal dalam bentuk pemisahan diri sebagai pemerintahan yang berdaulat. Adanya institusi pemerintahan daerah juga mengajarkan kepada 12

13 masyarakat untuk menciptakan kesadaran membayar pajak dan sekaligus memposisikan pemerintahan daerah untuk mempertanggungjawabkan penggunaan pajak tersebut. Dari dimensi administratif, melalui kebijakan desentralisasi diharapkan pelayanan publik akan lebih baik, karena institusi yang memiliki otoritas untuk melayani publik tidak berada di pemerintah pusat melainkan ada di daerah sehingga jaraknya lebih dekat dan lebih mudah dijangkau (accessible). Di samping itu, pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat kepada institusi yang melayani (pemerintah daerah) juga diharapkan lebih efektif dan lebih dapat dipertanggung-jawabkan (accountable). Sedangkan, dari dimensi ekonomi, dengan otonomi daerah (berdasarkan kebijakan desentralisasi) kesejahteraan masyarakat diharapkan lebih mudah diwujudkan. Karena itu, hambatan birokrasi sebagai akibat regulasi yang tumpang tindih dan cenderung mempersulit dalam pengurusan izin usaha di daerah misalnya, semestinya harus segera diatasi dengan kebijakan debirokratisasi melalui regulasi (dalam bentuk Perda, misalnya) yang isinya mempermudah prosedur perizinan dan memberikan iklim usaha yang lebih kondusif bagi masyarakat (investor) di daerah, dan bukan sebaliknya membentuk Perdaperda yang cenderung membebani masyarakat dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan daerah. Terkait dengan kewenangan pemerintahan daerah membuat Perda untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri berdasarkan prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab, persoalan yang muncul adalah apakah cita hukum (rechtsidee) yang diharapkan oleh pembuat undang-undang dengan kebijakan desentralisasi itu telah berjalan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku? Karena kenyataanya, menurut pengamatan Safri Nugraha (2004:27) saat ini ada ribuan Perda di tingkat provinsi, kabupaten dan kota 13

14 telah dibatalkan pemerintah pusat karena berbagai alasan, di antaranya Perda-perda tersebut membebani investor, materinya mengatur urusan yang bukan kewenangan atau melampaui kewenangan yang diberikan, dan sebagainya. Masalah tersebut menjadi semakin kompleks ketika pemerintahan daerah menolak pembatalan Perda mereka dan menuduh pemerintah pusat telah melakukan upaya resentralisasi kekuasaan. Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang masalah yang terkait dengan batasbatas kewenangan pemerintahan daerah (DPRD dan kepala daerah) dalam membentuk Perda dalam rangka menjalankan hak otonominya sangatlah penting dilakukan. Dengan penelitian ini secara normatif dapatlah diketahui faktor-faktor yang menyebabkan Perdaperda dibatalkan oleh pemerintah karena adanya kesalahaan substantif (materi muatan Perda), dan bukan semata-mata karena adanya kesalahan prosedur dalam pembentukannya. Penelitian ini hanya memfokuskan kajiannya pada keabsahan (validitas) Perda ditinjau dari kewenangan pemerintahan daerah (DPRD dan Kepala Daerah) dalam merumuskan materi muatan Perda sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan perkataan lain, penelitian ini hanya mengkaji kewenangan substanstif dalam pembentukan Perda dan tidak menganalisis pada kewenangan prosedural dalam pembentukan Perda. Karena itulah penelitian ini diberi judul: Materi Muatan Peraturan Daerah Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun

15 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah pokok (main issue) yang diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah apakah semua urusan yang menjadi wewenang pemerintahan daerah demi hukum merupakan materi peraturan daerah? 3. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis secara lebih mendalam tentang batas-batas wewenang (urusan) pemerintahan daerah yang dapat dirumuskan sebagai materi muatan peraturan daerah menurut peraturan perundang-undangan. 4. Manfaat Penelitian Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum tata negara dan hukum tata pemerintahan, terutama bidang ilmu perundang-undangan (Gesetzgebungwissenchaft; Wetgevingswetens-chap; Science of Legislation) yang merupakan bidang ilmu hukum interdisipliner yang akhir-akhir ini mulai banyak dikembangkan dan dipelajari di Indonesia. Secara praktis penelitian ini juga diharapkan bermanfaat terutama: a. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan pikiran berkenaan dengan banyaknya Perda yang dibuat oleh pemerintahan daerah, tetapi dengan berbagai alasan dan pertimbangan, oleh pemerintah pusat Perda-perda tersebut dibatalkan; b. Bagi pejabat pemerintahan daerah (Kepala Daerah dan anggota DPRD), dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai masalahmasalah (problematik) hukum yang timbul terkait dengan materi muatan Perda; 15

16 c. Bagi pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR), melalui penelitian ini diharapkan ada konstribusi pikiran agar kelemahan dan kekurangan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan materi muatan Perda, kiranya dapat dipertimbangkan sebagai masukan dalam melakukan revisi (perubahan) terhadap undang-undang yang mengatur tentang pembentukan Perda. 4. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Jenis Penelitian Penelitian ini meruapakan jenis penelitian yuridis-normatif, yang mengkaji dan menganalisis pokok-pokok masalah berdasarkan asas-asas dan norma hukum (peraturan perundang-undangan) yang mengatur tentang atau terkait dengan pembentukan peraturan daerah, khususnya UU Pemda No. 32/2004 dan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. b. Sumber Bahan Hukum Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang hanya menggunakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum biasanya disebut bahan hukum. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari: (1) bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang diteliti meliputi: - Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen pertama sampai dengan keempat); - Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 16

17 - Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU No. 10/2004); - Peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penelitian ini. (2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995:12-13). Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: dokumendokumen, buku-buku dan jurnal hukum, termasuk makalah dan laporan hasil penelitian sebelumnya sepanjang isinya relevan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini. b. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan dikumpulkan dengan cara melakukan kegiatan inventarisasi hukum positif. Inventarisasi hukum positif, menurut Ronny Hanitijo Soemitro (990:13), dilakukan melalui tiga kegiatan pokok, yaitu: a. penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukkan sebagai norma hukum positif; b. melakukan kompilasi (pengumpulan) norma-norma yang sudah diidentifikasi sebagai norma hukum positif; c. melakukan kegiatan pengorganisasian norma-norma yang sudah diidentifikasi dan dikumpulkan itu dalam suatu sistem yang komprehensif atau menyeluruh. Sedangkan, bahan hukum sekunder dikumpulkan melalui kegiatan inventarisasi terhadap bahan-bahan pustaka dan dokumen-dokumen hukum dengan cara melakukan proses identifikasi dan klasifikasi secara logis dan sistematis. 17

18 d. Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah bahan-bahan hukum primer dan sekunder terkumpul secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan inventarisasi hukum positif dan inventarisasi bahan-bahan pustaka dan dokumen, selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis), yakni dengan cara melakukan interpretasi (penafsiran) terhadap bahan hukum primer, baik secara otentik, historis, sistematis, dan tekstual-gramatikal. Selanjutnya dicari penjelasannya atau kaitannya dengan bahan hukum sekunder. Setelah itu, hasil analisis isi terhadap kedua jenis bahan hukun tersebut dideskripsikan secara analitis-kualitatif dalam bentuk laporan hasil penelitian yang disusun secara sistematis. 5. Sistematika Pembahasan Secara sistematis, laporan hasil penelitian ini disusun sebagai berikut: Bab I merupakan Bab Pendahuluan yang berisi: Latar Belakang Masalah; Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Metode Penelitian; dan Sistematika Pembahasan. Bab II berisi Landasan Teoritik dan Konseptual yang merupakan kerangka pemikiran teoritik dan konseptual terkait dengan pokok-pokok masalah yang dibahas dalam bab selanjutnya. Bab ini menguraikan tentang: Konsep Negara Hukum; Eksistensi Peraturan Perundang-undangan dalam Negara Hukum; Ciri-ciri Peraturan Perundangundangan: Asas-asas dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan Asas-asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan. 18

19 Bab III merupakan bab analisis hasil penelitian yang membahas tentang Batas-batas Materi Muatan Peraturan Daerah Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun Bab IV berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini menguraikan secara ringkas mengenai kesimpulan hasil penelitian secara keseluruhan serta rekomendasi (saran yang harus ditindaklanjuti) kepada pihak-pihak yang secara otoritatif berwenang dalam pembentukan Perda serta pihak-pihak non-otoritatif yang terkait atau memiliki kepentingan dengan pembentukan suatu Perda. 19

20 BAB II LANDASAN TEORITIK DAN KONSEPTUAL 1. Konsep Negara Hukum Indonesia adalah negara hukum. Dalam konsep negara hukum (rechtsstaat; rule of law), hukum menjadi penglima dan menempati kedudukan yang tertinggi (supremacy of law) di atas kekuasaan negara. Dalam arti, kekuasaan negara baik di bidang pembentukan undang-undang (legislative power), pemerintahan (executive power) maupun peradilan (judicial power) bersumber, berdasarkan dan dalam batas-batas (koridor) norma hukum. Dalam konsep negara hukum, menurut Bagir Manan dan Kuntata Magnar (1997: ), sekurang-kurangnya ada tiga sendi sebagai dasar konstitusional dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu sendi kerakyatan (demokrasi), sendi negara berdasar atas hukum, dan sendi negara berdasarkan konstitusi. Pertama, sendi kerakyatan (demokrasi) tertuang dalam sila keempat dasar negara Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Badan perwakilan rakyat di tingkat pusat, menurut Pasal 2 ayat (1) Amandemen keempat UUD 1945 diwujudkan dalam bentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta di daerah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Amandemen kedua UUD 1945 diwujudkan dalam bentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum pada hakikatnya merupakan pengejawantahan paham kerakyatan 20

21 (demokrasi). DPR dan DPRD adalah badan-badan negara yang menjalankan fungsi legislatif, di samping fungsi pengawasan dan budgetair (penetapan anggaran). Sendi kerakyatan tidak bisa dipisahkan dari fungsi pengaturan (legislation; reglementaire). Dalam negara demokrasi, rakyatlah yang menjadi sumber dan sekaligus pembuat peraturan untuk mengatur diri mereka sendiri dan pemerintahannya. Semua peraturan perundang-undangan pada dasarnya harus dibentuk secara demokratik. Untuk mewujudkan sejauh mungkin prinsip tersebut, sistem perwakilan di Indonesia diadakan baik pada tingkat pemerintahan pusat (MPR dan DPR) maupun pemerintahan daerah (yaitu DPRD). MPR berwenang menetapkan berbagai ketetapan yang bersifat umum dan mengatur (termasuk menetapkan dan mengubah UUD). DPR (bersama Presiden) membentuk undang-undang. DPRD (bersama Kepala Daerah) membentuk peraturan daerah (Perda). Dalam sistem pembuatan perundang-undangan (vide, UU No. 10/2004) dan praktek penyelenggaraan ketatanegaraan di Indonesia, tidak semua peraturan perundang-undangan dibentuk oleh atau melalui badan perwakilan. Namun demikian, sendi-sendi demokratis sejauh mungkin diperhatikan dan dipertahankan dengan cara delegasi kewenangan yang diatur oleh undang-undang. Kedua, sendi negara berdasarkan atas hukum. Sebelum UUD 1945 diamandemen, sendi negara berdasarkan atas hukum tidak tercantum dalam batang-tubuh UUD 1945 melainkan dalam Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan: Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Namun, berdasarkan Amandemen ketiga UUD 1945 sendi negara berdasarkan atas hukum dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) yang menegaskan: Negara Indonesia ialah negara 21

22 hukum (Muktie Fadjar, 2003:147). Negara berdasarkan atas hukum (lazim disebut negara hukum) ditandai oleh asas bahwa semua perbuatan atau tindak pemerintahan (dan warga negara) harus didasarkan pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Campur tangan atas hak dan kebebasan seseorang atau kelompok masyarakat hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu. Asas ini lazim disebut asas legalitas (legaliteitsbeginsel). Berdasarkan asas ini, kepastian hukum bisa diwujudkan dan perlindungan hukum bagi warga negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penguasa relatif bisa dijamin. Untuk mewujudkan asas legalitas, tidak ada jalan lain, harus dibuat berbagai peraturan perundang-undangan secara demokratis (berdasarkan prinsip kerakyatan) dan sendi negara berdasarkan atas hukum. Negara semacam ini lazim disebut negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat). Prinsip kesatuan antara sendi kerakyatan dan negara berdasarkan atas hukum ini pernah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang menyebutkan: Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan. Ketiga, sendi negara berdasarkan atas konstitusi (konstitusionalisme). Pada dasarnya paham negara berdasarkan konstitusi tidak dapat dipisahkan dari negara berdasarkan atas hukum. Kedua sendi ini sama-sama bertujuan untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan menolak tiap bentuk kekuasaan tanpa batas (absolutisme). Pembatasan kekuasaan menurut sendi konstitusionalisme dilakukan dengan menciptakan konstitusi tertulis (UUD). Karena keterkaitan yang erat antara sendi negara hukum dan sendi konstitusionalime, maka salah satu unsur negara berdasarkan atas hukum adalah adanya UUD. 22

23 Pembatasan dan pencegahan kekuasaan yang tidak terbatas serta menghindari berbagai tindakan sewenang-wenang tersebut dilakukan melalui penciptaan berbagai perangkat hukum, terutama peraturan perundang-undangan. Prinsip konstitusio-nalisme tidak tercantum dalam batang-tubuh UUD 1945 sebelum diamandemen. Tetapi dalam Amandemen ketiga UUD 1945, prinsip ini secara tegas dimuat dalam Pasal 1 ayat (1): Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Secara konsepsional, menurut Muhammad Tahir Azhary (1992:73-74), hingga kini terdapat lima konsep utama negara hukum, yaitu: Rechtsstaat, Rule of Law, Socialist Legality, Nomokrasi Islam, dan Negara Hukum Pancasila. Kelima konsep negara hukum tersebut masing-masing memiliki karakteristik yang khas. Konsep Rechtsstaat diawali oleh pemikiran Immanuel Kant tentang negara hukum dalam arti sempit (formal) yang menempatkan fungsi recht pada staat hanya sebagai alat bagi perlindungan hak-hak asasi manusia secara individual dan pengaturan kekuasaan negara secara pasif, yakni hanya bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Konsep Kant ini terkenal dengan sebutan Nachtwakerstaat atau Nachtwachterstaat yang secara harfiah (letterlijk) berarti negara penjaga malam. Dalam perkembangan negara-negara modern abad ke-19, konsep Kant tersebut dinilai kurang memuaskan. Oleh karena itu, kemudian dikembangkan konsep Rechtsstaat dalam arti luas yang berwawasan kesejahteraan dan kemakmuran ( welvaarstaat dan verzorgingsstaat ) dengan beberapa varian unsur-unsur utama sebagai berikut: a. Friedrich Julius Stahl, mengetengahkan unsur utama negara hukum meliputi: - pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; - pemisahan kekuasaan negara berdasarkan prinsip Trias Politica; 23

24 - penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatig bestuur); dan - peradilan administrasi negara (Azhary, 1992:66). b. Scheltema, mengemukakan konsep negara hukum dengan unsur-unsur utama: - kepastian hukum; - persamaan; - demokrasi; dan - pemerintahan yang melayani kepentingan umum (Azhary, 1992:66). c. H.D. van Wijk dan Konijnenbelt, mengutarakan konsep negara hukum dengan unsurunsur utama: - pemerintahan menurut hukum (rechtsmatig bestuur); - hak-hak asasi manusia; - pembagian kekuasaan; dan - pengawasan oleh kekuasaan peradilan (Attamimi, 1990:311). d. Zippelius, berbendapat bahwa konsep negara hukum memiliki unsur-unsut utama: - pemerintahan menurut hukum; - jaminan terhadap hak-hak asasi; - pembagian kekuasaan; dan - pengawasan yustisial terhadap pemerintah (Attamimi, 1990:311). Berdasarkan uraian di atas, unsur-unsur utama yang ada pada konsep negara hukum (rechtsstaat) tersebut banyak dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak-hak asasi manusia secara alamiah, yakni right to life, liberty and property (hak untuk hidup, kemerdekaan dan hak milik) serta asas pemisahan kekuasaan (separation of power) negara ke dalam organ legislatif, eksekutif dan yudisiil (secara salah kaprah lazim disebut 24

25 yudikatif) yang dalam perkembangannya dimantapkan lebih lanjut oleh Montesquieu, Blackstone dan Jean Jacques Rousseau (Von Schmid, 1959:214). John Locke berpandangan, keadaan alamiah dan hak-hak asasi manusia secara alamiah mendahului berdirinya negara. Oleh karena itu, seyogyanya negara tercipta melalui perjanjian sosial (du Contract Social) di antara warga masyarakat dengan tujuan melindungi hak hidup, hak milik dan kebebasan individu. Kekuasaan negara yang terbentuk melalui perjanjian masyarakat itu, perlu diatur dengan perundang-undangan, dan kekuasaan perundang-undangan menempati kekuasaan tertinggi dalam negara (supreme of law state) serta menjadi tugas utama dari negara. Konsekuensinya, kekuasaan perundangundangan (legislative power) harus terpisah dengan kekuasaan pelaksana perundangundangan (executive power) dan kekuasaan peradilan (judicial power). Sungguhpun demikian, konsep Locke belum sepenuhnya dapat diterima karena bertentangan dengan kepentingan kekuasaan (rezim) monarchi absolut yang umumnya berlaku di benua Eropa pada masa itu. Konsep Locke hanya diterima secara terbatas di Inggris sebagai pembenaran terhadap sistem monarchi konstitusional yang menempatkan parlemen sebagai organ negara yang memiliki kekuasaan yang dalam membuat undang-undang dan mengontrol jalannya kekuasaan pemerintahan di tangan Perdana Menteri, sementara Raja Inggris hanya dipandang sebagai simbol pemersatu negara. Pada abad ke-17 dan 18, pandangan Locke mengenai hak-hak asasi dan asas pemisahan kekuasaan semakin diperkuat oleh pemikiran Montesquieu dan Blackstone yang menghendaki pemisahan kekuasaan negara secara tegas ke dalam organ legislatif, eksekutif dan yudisiil, serta pemikiran J.J. Rousseau tentang paham kedaulatan rakyat. Asas pemisahan kekuasaan dan paham kedaulatan rakyat dari ketiga ahli pikir tersebut 25

26 boleh dikatakan sangat besar pengaruhnya terhadap berdirinya negara-negara modern di Eropa Kontinental dan Anglo Saxon pada abad ke-17 sampai ke-19, tentu saja perjuangan politik yang panjang dan revolusi kerakyatan berdasarkan paham kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang kemudian dituangkan dalam konstitusi negara-negara hasil dari revolusi tersebut. Di negara-negara Anglo Saxon (dapat disebut pula Anglo Amerika), pemahaman terhadap negara hukum umumnya mengikuti konsep Rule of Law dari A.V. Dicey dengan unsur-unsur utama: supremacy of law, equality before the law, dan the constitution based on individual rights (Von Schmid, 1954:244). Terdapat persamaan dan beberapa perbedaan antara konsep Rechtsstaat dan Rule of Law. Persamaannya terletak pada landasan filosofis yang menjiwai kedua konsep negara hukum tersebut. Kedua-duanya dijiwai oleh paham liberalistik-individualistik yang mengutamakan jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai dasar utama pembentukan konstitusi dan pembatasan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur). Di samping itu, ada pemisahan antara agama dan negara secara mutlak berdasarkan paham sekuler, dengan demikian atheisme juga dimungkinkan. Sedangkan perbedaannya terletak pada eksistensi peradilan administrasi (negara). Pada konsep Rechtsstaat peradilan administrasi negara dijadikan salah satu unsur utama yang bersifat otonom (berdiri sendiri dan terpisah dari peradilan umum). Sebaliknya, dalam konsep Rule of Law eksistensi peradilan administrasi negara secara otonom dipandang tidak perlu, karena peradilan umum berdasarkan prinsip equality before the law dianggap berlaku sama bagi semua orang baik warga biasa maupun pejabat atau badan administrasi negara. 26

27 Karakteristik sistem hukum negara Eropa Kontinental dan Anglo Saxon juga ikut mewarnai perbedaan salah satu unsur utama kedua konsep negara hukum tersebut. Sistem hukum Eropa Kontinental yang berwawasan Civil Law atau Modern Roman Law memiliki karakteristik administratif, sedangkan sistem hukum negara Anglo Saxon yang berwawasan Common Law memiliki karakteristik judicial. Oleh karena itu, bagi negara-negara yang menganut konsep Rechtsstaat, pembatasan dan pengawasan yudisiil terhadap perbuatan melanggar hukum oleh penguasa atau pemerintah (Onrechtsmatige Overheid Daad) perlu dilembagakan secara otonom. Sedangkan, bagi negara-negara yang menganut konsep Rule of Law, yang terpenting adalah menciptakan peadilan yang adil bagi semua orang berdasarkan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law), jadi tidak perlu lembaga peradilannya yang terpisah (Philipus M. Hadjon, 1987:78). Namun demikian, dalam perkembangannya sekarang ini, perbedaan antara kedua konsep negara hukum tersebut tidaklah bersifat prinsipiil lagi, karena sama-sama bertujuan untuk menciptakan keadilan berdasarkan atas hukum yang berorientasi pada pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia (Philipus M. Hadjon (1987:72). Selanjutnya tentang konsep Socialist Legality, menurut Azhary (1992:67-67) mengandung prinsip-prinsip yang berbeda secara prinsipiil dengan konsep Rechtsstaat dan Rule of Law. Ciri utamanya adalah bersumber dari paham komunis yang menempatkan hukum sebagai alat untuk mewujudkan sosialisme dengan mengabaikan hakhak perseorangan (individual). Hak-hak individual menurut konsep ini harus lebur ke dalam tujuan sosialisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat (kolektivisme) di atas kepentingan pribadi individu-individu. Konsep Socialist Legality selain bersifat sekuler juga atheis (anti terhadap unsur-unsur atau nilai-nilai yang bersifat transedental). 27

28 Konsep Socialist Legality tersebut di atas sangat bertolak belakang dengan konsep Nomokrasi Islam yang bersumber pada kitab suci Al Qur an, Sunnah Rasulullah dan al Ra yu. Konsep Nomokrasi Islam, menurut Azhary (1992:64), memiliki unsur-unsur pokok: kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, keadilan, persamaan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, peradilan bebas, perdamaian, kesejahteraan, dan ketaatan rakyat pada hukum yang sumber tertingginya pada Al Qur an, Sunnah Rasul dan al Ra yu. Menurut Azhary (1992:193), apabila konsep Nomokrasi Islam dibandingkan dengan konsep Rechtsstaat dan Rule of Law, terdapat keunggulan dan kelebihan Nomokrasi Islam sebagai berikut: a. Nomokrasi Islam bersumber dari wahyu Allah S.W.T. dan karena itu ia mengandung kebenaran mutlak; b. Memiliki sifat bidimensional, yaitu: duniawi dan ukhrawi; c. Nomokrasi Islam berisi nilai-nilai ketuhanan (Ilahiyah) dan kemanusiaan (Insaniyah); d. Nomokrasi Islam dilandasi oleh dua doktrin pokok dalam Islam, yaitu: (1) Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa (Unitas) dan (2) amar ma ruf nahi munkar, artinya perintah agar manusia berbuat baik (kebajikan) dan mencegah perbuatan buruk; e. Nomokrasi Islam berlaku bagi seluruh umat manusia. Prinsip-prinsipnya mengandung nilai-nilai yang universal, eternal, dan sesuai dengan fitrah manusia. Selanjutnya, bagaimana dengan konsep Negara Hukum Pancasila? Secara umum, konsep negara hukum Pancasila memiliki unsur-unsur atau ciri-ciri yang mendekati atau mirip dengan konsep Nomokrasi Islam, yaitu: 28

29 a. Memiliki ciri-ciri hubungan yang erat antara agama dengan negara yang bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, kebebasan beragama dalam arti positif, atheisme dan komunisme tidak dibenarkan, serta asas kekeluargaan dan kerukunan. b. Memiliki unsur-unsur utama: Pancasila, Majelis Permusyawaratan Rakyat, sistem konstitusi, persamaan dan peradilan bebas (Azhary, 1992:73). Meskipun ada kedekatan atau kemiripan secara makro antara konsep Nomokrasi Islam dengan konsep negara hukum Pancasila, akan tetapi menurut Marcus Lukman (1997:85) substansinya secara mikro tetap ada perbedaan secara prinsipiil. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum di dalam negara hukum Indonesia lebih berwawasan sosiologis daripada religius. Oleh karena itu, menurut pendapatnya, hukum Islam yang bersumber seutuhnya pada Al Qur an, Sunnah Rasulullah dan al Ra yu, dalam bidang-bidang hukum publik tertentu tidak dapat diakomodasikan secara murni dan konsekuen, karena dasar pertimbangan dan substansi normanya dirasakan terlalu ideal. Memang harus diakui, prinsip-prinsip kebenaran, keadilan dan hak-hak asasi manusia berdasarkan Nomokrasi Islam lebih universal, eternal dan sesuai dengan fitrah manusia, akan tetapi prinsip-prinsip tersebut secara faktual tidaklah selalu bersesuaian dengan kepentingan dan kebutuhan yang dapat berubah-ubah setiap saat. Khusus untuk al Ra yu, menurut Marcus Lukman (1990:86), secara konsepsional memang boleh saja dipakai sebagai salah satu metode pendekatan untuk mengembangkan asas-asas hukum buatan manusia. Al Ra yu mengandung pengertian adanya inisiatif para ulama (kaum intelektual) dan ahli hukum Islam untuk berijtihad (berusaha dengan sungguh-sungguh) menggunakan akal pikirannya (al ra yu) mengembangkan hukum Islam yang bersumber poda Al Qur an dan Sunnah Rasul guna diterapkan pada persoalan- 29

30 persoalan hukum konkrit yang dihadapi oleh masyarakat, baik di bidang pemerintahan maupun hubungan hukum antar pribadi dalam kehidupan masyarakat. Padmo Wahjono (1983:4-6) mendeskripsikan pemahaman terhadap konsep negara hukum Pancasila adalah sebagai berikut: a. Bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945; b. Bahwa asas kekelurgaan mengutamakan rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai ; c. Pengertian negara dan pengertian hukum dilihar dari asas kekeluargaan adalah: (1) Negara Indonesia terbentuk bukan karena perjanjian bermasyarakat dari status naturalis ke status civil dengan perlindungan terhadap hak-hak sipil, melainkan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Konstruksi demikian ini merupan cerminan luhur asas kekeluargaan; (2) Terdapat tiga fungsi hukum yang bersifat pengayoman dari cara pandang asas kekeluargaan, ialah: - menegakkan demokrasi sesuai dengan sistem pemerintahan negara yang dikandung UUD 1945; - mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan pasal 33 UUD 1945; - menegakkan perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa secara adil dan beradab. Berbeda dengan pendapat Padmo Wahjono yang menempatkan asas kekeluargaan sebagai titik pangkal pemahaman negara hukum Pancasila, Omar Seno Adji (1980:24) justru mengangkatnya dari sudut Pancasila sebagai sumber hukum. Berdasarkan fungsi 30

31 Pancasila sebagai sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat dinamakan Negara Hukum Pancasila. Pendapat ini bertitik tolak dari Ketetapan MPRS Nomor: XX/MPRS/1966 tentang Sumber Hukum dan Tata Tertib Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, yang menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Di samping sebagai dasar negara, Pancasila menurut Attamimi (1990:307), merupakan cita hukum maupun norma fundamental negara yang berlaku sebagai norma keadilan dan kebenaran bagi tertib hukum, daya laku dan dayaguna peraturan hukum di Indonesia. Itulah sebabnya dengan mengacu pada jenis dan hierarki peraturan perundangundangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 10/2004, maka semua peraturan perundangundangan di Indonesia, mulai dari UUD 1945, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, sampai Peraturan Daerah, isinya harus senantiasa dijiwai dan bersumber dari Pancasila. Hal ini juga berarti bahwa secara a contrario semua peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia isinya tidak boleh bertentangan dengan jiwa dan prinsip-prinsip yang ada dalam Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. 2. Eksistensi Peraturan Perundang-undangan dalam Negara Hukum Indonesia Istilah peraturan perundang-undangan dalam hal ini digunakan dalam pengertian yang sangat luas, yang tidak hanya mencakup undang-undang tetapi meliputi pula produk hukum tertulis lainnya, yang dalam konsep hukum tata negara Belanda sebelum Perang Dunia II disebut dengan wet in meteriele zin (undang-undang dalam arti materiil). Hal tersebut dapat dibaca pada Pasal 7 ayat (1) dan (4) UU No. 10/2004. Penggunaan istilah 31

32 peraturan perundang-undangan dalam pengertian yang begitu luas bukan baru pertama kali, Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 juga menggunakan istilah tersebut. Menurut Philipus M. Hadjon (2005:1-2), dalam perjalanan waktu yang sekian lama sulit kiranya untuk mengubah istilah itu dengan suatu istilah yang lebih lebih tepat. Istilah peraturan jelas merujuk aturan hukum, namun istilah perundang-undangan dalam UU No. 10/2004 jelas tidak (hanya) merujuk pada istilah undang-undang. Sebab, istilah undang-undang dalam hukum tata negara kita mengandung makna khas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yakni: DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dikaitkan dengan Pasal 20 A UUD 1945, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, undang-undang merupakan produk legislasi. Dengan demikian, konsep undang-undang dalam hukum tata negara kita janganlah dijumbuhkan dengan konsep wet dalam hukum tata negara Belanda sebelum Perang Dunia II. Konsep wet sebelum Perang Dunia II dibedakan wet in fomelle zin dan wet in materiele zin. Konsep undang-undang dalam hukum tata negara kita sejajar dengan konsep wet in formelle zin. Hukum tata negara kita tidak membedakan konsep undangundang dalam arti formil dan undang-undang dalam arti materiil. Dengan demikian, istilah perundang-undangan dalam UU No. 10/2004 digunakan secara tidak tepat karena ruang lingkup perundang-undangan yang begitu luas, yaitu meliputi UUD, UU (legislasi) dan peraturan (regulasi; delegated regulation). Sedangkan istilah atau konsep negara hukum sebagaimana telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya, secara substansial berarti... negara berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum (Mochtar Kusumaatmadja, 1995:1-2). Negara hukum juga dapat diartikan sebagai... negara yang 32

33 menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum (Attamimi, 1990:74). Pengertian yang mendasar tersebut terimplementasikan pada salah satu unsur utama konsep Rechtsstaat yaitu pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur), yang menurut konsep Rule of Law disebut dengan istilah supremacy of law (supremasi hukum). Hukum adalah sumber utama legitimasi untuk melaksanakan kekuasaan oleh atau atas nama lembaga-lembaga pemerintahan. Melalui undang-undang pemerintah dapat merumuskan dan menerjemahkan kebijakan-kebijakannya. Tanpa undang-undang pemerintah tidak dapat menjalankan roda pemerintahan. Dimanapun, pemerintah membentuk dan memberlakukan untuk mengawasi perilaku pegawai pemerintahan dan warga negara pada umumnya, termasuk bagaimana rakyat mengendalikan perilaku para pejabat negara. (Ann Seidman et al., 2002:14-15). Dalam konteks UUD 1945, Indonesia dinyatakan sebagai negara hukum dan pemerintahannya berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar). Oleh karena konsep negara hukum Indonesia berdasarkan falsafah Pancasila dan landasan konstitusionalnya adalah UUD 1945 maka negara hukum Indonesia dapat pula diabstraksikan sebagai negara hukum Pancasila (Marcus Lukman, 1997: ). Padmo Wahjono (1983:2-3) berpandangan bahwa pengertian wetmatig bestuur pada salah satu unsur utama dalam konsep negara hukum dianggap bersifat formal dan lamban, karena hanya bertumpu pada undang-undang (wet) berdasarkan asas legalitas. Oleh karena itu perlu diganti dengan prinsip rechtmatig bestuur atau pemerintahan berdasarkan hukum (recht) yang bersifat umum, luas dan luwes, yakni tidak terbatas pada 33

34 peraturan yang tertulis, tetapi meliputi pula aturan (norma) hukum yang tidak tertulis. Konstruksi rechtsmatig bestuur memang sangat sesuai dengan jiwa UUD 1945 yang dulu sebelum UUD 1945 diamandemen tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 angka Romawi III, yaitu:... mewujudkan cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Pengertian hukum yang tertulis tidak hanya UUD dan undang-undang, melainkan secara konsepsional mencakup semua peraturan perundang-undangan seperti tercantum dalam UU No. 10/2004. Menurut Attamimi (1992:3), peraturan perundang-undangan (wettelijke regels) secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undangundang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian atau delegasian undang-undang. Pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang demikian itu dalam kepustakaan Belanda dinamakan dengan wet in materiele zin (undang-undang dalam arti materiil) atau algemeen verbindende voorchrift, yang meliputi baik peraturan perundangundangan di tingkat pusat maupun peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Sedangkan, undang-undang dalam arti formil ( wet in formele zin ) tidak lain adalah produk hukum tertulis yang dibentuk oleh parlemen (yang dinamakan wet ) atau menurut konstruksi Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 adalah produk hukum yang dibentuk oleh DPR bersama-sama dengan Presiden yang dinamakan undang-undang. Peraturan perundang-undangan, menurut Bagir Manan (1994:1-3) adalah keputusan tertulis dari pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat (mengikat) umum baik mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan. Dengan demikian, ciri-ciri dari kaidah peraturan perundang-undangan adalah 34

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Pengertian Hukum yaitu : Seperangkat asas dan akidah yang mengatur kehidupan manusia dalam

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH

POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH BAGI POLITIK HUKUM. Negara perlu disatu sisi karena Negara merupakan institusi pelembagaan kepentingan umum dan di lain

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA Angga Setiawan P.U Ari Widido Bayu Gilang Purnomo Arsyadani Hasan Binabar Sungging L Dini Putri P K2510009 K2510011 K2510019 K2111007 K2511011 K2511017 N E G A R

Lebih terperinci

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH ASAS HUKUM TATA NEGARA Riana Susmayanti, SH.MH SUMBER HTN Sumber hukum materiil, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan falsafah negara. Sumber hukum formil, (menurut Pasal7 UU No.

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM dan KONSTITUSI

NEGARA HUKUM dan KONSTITUSI NEGARA HUKUM dan KONSTITUSI R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Hukum Tata Negara Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 1 st Draft (2 April 2008) Pokok Bahasan Memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Peradilan administrasi merupakan salah satu perwujudan negara hukum, peradilan administrasi di Indonesia dikenal dengan sebutan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Lebih terperinci

3.2 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag

3.2 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag 3.2 Uraian Materi 3.2.1 Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag dari negara, ideologi negara, staatsidee. Dalam hal

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh :

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh : 209 LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA Oleh : I Wayan Wahyu Wira Udytama, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract Indonesia is a unitary state based

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

D. Semua jawaban salah 7. Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya A. Terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah B. Tidak bertanggung

D. Semua jawaban salah 7. Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya A. Terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah B. Tidak bertanggung TATA NEGARA 1. Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas A. Kekuasaan belaka B. Lembaga negara C. Kedaulatan rakyat D. Majelis Permusyawaratan Rakyat 2. Pemerintah berdasar

Lebih terperinci

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Penyelenggaraan otonomi daerah yang kurang dapat dipahami dalam hal pembagian kewenangan antara urusan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

1. Asas Pancasila 2. Asas Kekeluargaan 3. Asas Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) 4. Asas Pembagian Kekuasaan 5. Asas Negara Hukum

1. Asas Pancasila 2. Asas Kekeluargaan 3. Asas Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) 4. Asas Pembagian Kekuasaan 5. Asas Negara Hukum 1. Asas Pancasila 2. Asas Kekeluargaan 3. Asas Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) 4. Asas Pembagian Kekuasaan 5. Asas Negara Hukum A. Bentuk negara (staats-vormen) B. Bentuk Pemerintahan (regeringsvormen) C.

Lebih terperinci

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) A. Pengertian Politik POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian

Lebih terperinci

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Pendahuluan Program Legislasi Nasional sebagai landasan operasional pembangunan hukum

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH I. UMUM Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA Disusun Oleh: Nama : Maria Alfonsa Chintia Dea P. NIM : A12.2013.04844 Kelompok : A12.6701 FAKULTAS ILMU KOMPUTER PROGRAM STUDI SISTEM

Lebih terperinci

MATERI UUD NRI TAHUN 1945

MATERI UUD NRI TAHUN 1945 B A B VIII MATERI UUD NRI TAHUN 1945 A. Pengertian dan Pembagian UUD 1945 Hukum dasar ialah peraturan hukum yang menjadi dasar berlakunya seluruh peraturan perundangan dalam suatu Negara. Hukum dasar merupakan

Lebih terperinci

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK Modul ke: Konstitusi dan Rule of Law Pada Modul ini kita akan membahas tentang pengertian, definisi dan fungsi konstitusi dan Rule of Law mekanisme pembuatan konstitusi dan undang-undang serta fungsi,

Lebih terperinci

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Abstrak Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, mengatakan pemerintah

Lebih terperinci

KONSTITUSI DAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL

KONSTITUSI DAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL KONSTITUSI DAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL SAMSURI FISE UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Semester Gasal 2010/2011 TOPIK MATERI PEKAN INI KONSEP KONSTITUSI dan DEMOKRASI KONSTITUSIONAL PERAN WARGA NEGARA MENURUT

Lebih terperinci

SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA

SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA Makalah NI & CIVIC SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA Disusun oleh : Shofi Khaqul Ilmy (105070200131010) PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN K3LN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2010 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa 16 BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda. Dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945

TUGAS AKHIR DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945 TUGAS AKHIR DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945 Di susun oleh : Nama : Garna Nur Rohiman NIM : 11.11.4975 Kelompok : D Jurusan Dosen : S1-TI : Tahajudin Sudibyo, Drs Untuk memenuhi Mata Kuliah Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan wacana yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

SUMBANGAN RETRIBUSI PASAR TRADISIONAL KEPADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA

SUMBANGAN RETRIBUSI PASAR TRADISIONAL KEPADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA SUMBANGAN RETRIBUSI PASAR TRADISIONAL KEPADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA (Studi Kasus di Pasar Gawok, Desa Geneng, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo Periode Tahun 2009-2010) SKRIPSI Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sistem Pemerintahan Indonesia Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah dipilih sebagai bentuk pemerintahan,

Lebih terperinci

Mata Pelajaran : PPKn Kelas / Sem : VIII / 1

Mata Pelajaran : PPKn Kelas / Sem : VIII / 1 LEMBAR KERJA Mata Pelajaran : PPKn Kelas / Sem : VIII / 1 Kompetensi Dasar : Menghargai semangat kebangsaan dan kebernegaraan seperti yang ditunjukkan oleh para pendiri negara dalam menetapkan UUD 1945

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup kompleks di seluruh dunia. Berbagai pandangan seperti kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan

Lebih terperinci

DEMOKRASI PANCASILA. Buku Pegangan: PANCASILA dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi Oleh: H. Subandi Al Marsudi, SH., MH. Oleh: MAHIFAL, SH., MH.

DEMOKRASI PANCASILA. Buku Pegangan: PANCASILA dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi Oleh: H. Subandi Al Marsudi, SH., MH. Oleh: MAHIFAL, SH., MH. DEMOKRASI PANCASILA Buku Pegangan: PANCASILA dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi Oleh: H. Subandi Al Marsudi, SH., MH. Oleh: MAHIFAL, SH., MH. PENGERTIAN, PAHAM ASAS DAN SISTEM DEMOKRASI Yunani: Demos

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota, BAB III TINJAUAN TEORITIS 1.1. Peraturan Daerah Di Indonesia Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota, Marsdiasmo, menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara..

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara.. & Apakah KONSTITUSI? 1. Akte Kelahiran suatu Negara-Bangsa (the birth certificate of a nation state); 2. Hukum Dasar atau hukum yang bersifat fundamental sehingga menjadi sumber segala peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM A. Pendahuluan

SUMBER HUKUM A. Pendahuluan SUMBER HUKUM A. Pendahuluan Apakah yang dimaksud dengan sumber hukum? Dalam bahasa Inggris, sumber hukum itu disebut source of law. Perkataan sumber hukum itu sebenarnya berbeda dari perkataan dasar hukum,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. legislatif dengan masyarakat dalam suatu Negara. kebutuhan-kebutuhannya yang vital (Ni matul Huda, 2010: 54).

BAB 1 PENDAHULUAN. legislatif dengan masyarakat dalam suatu Negara. kebutuhan-kebutuhannya yang vital (Ni matul Huda, 2010: 54). 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan undang-undang adalah bagian dari aktivitas dalam mengatur masyarakat, yang terdiri dari gabungan individu-individu manusia dengan segala dimensinya.merancang

Lebih terperinci

MODUL 5 PANCASILA DASAR NEGARA DALAM PASAL UUD45 DAN KEBIJAKAN NEGARA

MODUL 5 PANCASILA DASAR NEGARA DALAM PASAL UUD45 DAN KEBIJAKAN NEGARA MODUL 5 PANCASILA DASAR NEGARA DALAM PASAL UUD45 DAN KEBIJAKAN NEGARA (Penyusun: ) Standar Kompetensi : Pancasila sebagai Dasar Negara Indikator: Untuk dapat menguji pengetahuan tersebut, mahasiswa akan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5234 ADMINISTRASI. Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan. Teknik Penyusunan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki hubungan tersendiri dengan pemilih jika dibandingkan dengan anggota

BAB I PENDAHULUAN. memiliki hubungan tersendiri dengan pemilih jika dibandingkan dengan anggota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga perwakilan rakyat memiliki kedudukan yang sangat penting sesuai dengan prinsip demokrasi yang kita anut. Demokrasi modern

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI A. PENGANTAR Istilah Negara Hukum baru dikenal pada Abad XIX tetapi konsep Negara Hukum telah lama ada dan berkembang sesuai dengan tuntutan keadaan. Dimulai dari jaman Plato

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA

MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA A. SISTEM PEMERINTAHAN PARLEMENTER Sistem pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada

Lebih terperinci

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat agar dapat berjalan tertib dan teratur PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Adalah peraturan

Lebih terperinci

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD KABUPATEN/KOTA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 22 April 2016

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD KABUPATEN/KOTA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 22 April 2016 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD KABUPATEN/KOTA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 22 April 2016 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I. UMUM Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan merupakan pelaksanaan

Lebih terperinci

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 Oleh: Siti Awaliyah, S.Pd, S.H, M.Hum Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang A. Pengantar Kedaulatan merupakan salahsatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. sesuai yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. sesuai yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik sesuai yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945. Guna mewujudkan Negara Kesatuan

Lebih terperinci

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan TRIAS POLITICA DI INDONESIA, ANTARA SEPARATION OF POWER DENGAN DISTRIBUTION OF POWER, MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP.19651216 198903

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG BAIK (KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN) ABSTRAK PENDAHULUAN

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG BAIK (KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN) ABSTRAK PENDAHULUAN 102 PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG BAIK (KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN) Oleh : Rosmini Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda

Lebih terperinci

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA! JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA! MATERI KHUSUS MENDALAM TATA NEGARA Sistem Pembagian Kekuasaan Negara Republik Indonesia Menurut Uud 1945 Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Konsep yang dianut adalah konsep negara

Lebih terperinci

Pengujian Peraturan Daerah

Pengujian Peraturan Daerah Pengujian Peraturan Daerah I. Latar Belakang Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Lebih terperinci

EKSEKUTIF, LEGISLATIF, DAN YUDIKATIF

EKSEKUTIF, LEGISLATIF, DAN YUDIKATIF EKSEKUTIF, LEGISLATIF, DAN YUDIKATIF HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA - B Adriana Grahani Firdausy, S.H., M.H. BADAN EKSEKUTIF PENGERTIAN Badan pelaksana UU yang dibuat oleh badan legislatif bersama dengan Pemerintah

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN KONSTITUSI, KONSTITUSIONALISME DAN RULE OF LAW. Modul ke: 05Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika

KEWARGANEGARAAN KONSTITUSI, KONSTITUSIONALISME DAN RULE OF LAW. Modul ke: 05Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika KEWARGANEGARAAN Modul ke: 05Fakultas Nurohma, FASILKOM KONSTITUSI, KONSTITUSIONALISME DAN RULE OF LAW S.IP, M.Si Program Studi Teknik Informatika Abstraksi dan Kompetensi ABSTRAKSI = Memahami pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Pengertian kewenangan Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU

Lebih terperinci

PENJELASAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGANTAR RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

PENJELASAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGANTAR RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGANTAR RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK

Lebih terperinci

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 Membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

Lebih terperinci

INSTRUMEN PEMERINTAH

INSTRUMEN PEMERINTAH INSTRUMEN PEMERINTAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara KELOMPOK 8 KELAS A PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA TIMUR

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 1 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

Selasa, 17 November 2009 HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

Selasa, 17 November 2009 HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI Selasa, 17 November 2009 HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI PENDAHULUAN Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana yang diterangkan dalam penjelasan dalam UUD 1945, maka segala sesuatu yang berhubungan

Lebih terperinci

2.4.1 Struktur dan Anatomi UUD NRI tahun 1945 Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya mengandung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak ikut

2.4.1 Struktur dan Anatomi UUD NRI tahun 1945 Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya mengandung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak ikut 2.4.1 Struktur dan Anatomi UUD NRI tahun 1945 Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya mengandung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak ikut diamandemen. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang

Lebih terperinci

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Yang Mulia Hakim Majelis, atas permintaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dalam perkara sengketa wewenang antara

Lebih terperinci

Kata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD.

Kata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD. Kolaborasi Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah Kota Tanjungbalai di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 1. RAHMAT, S.H.,M.H 2. JUNINDRA

Lebih terperinci

Macam-macam konstitusi

Macam-macam konstitusi Macam-macam konstitusi C.F Strong, K.C. Wheare juga membuat penggolongan terhadap konstitusi. Menurutnya konstitusi digolongkan ke dalam lima macam, yaitu sebagai berikut: 1. 1. 1. konstitusi tertulis

Lebih terperinci

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Setelah mempelajari, menelaah, dan mempertimbangkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

KISI KISI ULANGAN TENGAH SEMESTER PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SEMESTER GENAP

KISI KISI ULANGAN TENGAH SEMESTER PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SEMESTER GENAP KISI KISI ULANGAN TENGAH SEMESTER PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SEMESTER GENAP 2016/2017 No Butir Kisi Kisi No Soal 1 Siswa dapat menjelaskan Pengertian Globalisasi 1-3, 41 2 Siswa dapat menjelaskan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Pengertian Sistem Ketatanegaraan Istilah sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan ketatanegaraan.

Lebih terperinci

AMANDEMEN UUD 1945 IZA RUMESTEN RS

AMANDEMEN UUD 1945 IZA RUMESTEN RS AMANDEMEN UUD 1945 IZA RUMESTEN RS AMANDEMEN UUD 1945 AMANDEMEN 1 1999 AMANDEMEN 2 2000 AMANDEMEN 3 2001 AMANDEMEN 4 2002 Prinsip Dasar Kesepakatan MPR Dalam Perubahan UUD 1945 1. Tidak mengubah Pembukaan

Lebih terperinci

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU A. Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia Konstitusi (Constitution) diartikan

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Peraturan daerah merupakan alat utama dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Kata Kunci : Pengawasan DPRD, Pemerintah Daerah, Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD

Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Kata Kunci : Pengawasan DPRD, Pemerintah Daerah, Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD Kolaborasi Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah Kota Tanjungbalai di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri Latar Historis dan Filosofis (1) Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia.

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at

Muchamad Ali Safa at Muchamad Ali Safa at DASAR HUKUM Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan

Lebih terperinci

Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :)

Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :) Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :) Berikut ini adalah contoh soal tematik Lomba cerdas cermat 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Ayoo siapa yang nanti bakalan ikut LCC 4 Pilar

Lebih terperinci

Sistem Pembagian Kekuasaan Negara

Sistem Pembagian Kekuasaan Negara KOMPETENSI DASAR Mensyukuri nilai-nilai Pancasila dalam Praktik penyelenggaraan pemerintahan negara sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB I. Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh. lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang

BAB I. Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh. lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH 1 MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

Lebih terperinci

Negara dan Konstitusi

Negara dan Konstitusi Negara dan Konstitusi Negara dan Konstitusi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain Konstitusi merupakan hukum dasarnya suatu negara Penyelenggaraan bernegara Indonesia juga didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH Makna Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Apa informasi yang kalian peroleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum, 1 tidak berdasarkan kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum, 1 tidak berdasarkan kekuasaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, 1 tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEWENANGAN PRESIDEN DENGAN DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PASCA PERUBAHAN UUD RADJIJO, SH. MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI

HUBUNGAN KEWENANGAN PRESIDEN DENGAN DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PASCA PERUBAHAN UUD RADJIJO, SH. MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI HUBUNGAN KEWENANGAN PRESIDEN DENGAN DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PASCA PERUBAHAN UUD 1945 RADJIJO, SH. MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI Abstract:The amandemen of Indonesia constitution of UUD 1945

Lebih terperinci