BAB II HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN. lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN. lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri"

Transkripsi

1 BAB II HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN A. Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hilman Hadikusuma, perkawinan sama dengan perikatan, karena dalam Pasal 26 KUHPerdata dikatakan bahwa Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata. 16 Mengacu pada ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat ditarik kesimpulan bahwa unsure-unsur perkawinan meliputi: a. Adanya ikatan lahir batin, yaitu bahwa perkawinan hendaknya bukan hanya didasari oleh ikatan secara fisik (lahir) semata antara suami dengan istri dan juga dengan masyarakat, tetapi hendaknya juga mempunyai ikatan perasaan (batin) yaitu suatu niat untuk sungguhsungguh hidup bersama sebagai suami istri; 16 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat, Hukum Agama), Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm

2 19 b. Antara seorang pria dan wanita, bahwa perkawinan di Indonesia hanya mengenal perkawinan antara seorang pria dengan wanita dan sebaliknya. Tidak diperbolehkan perkawinan antara sesama jenis, baik antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita. c. Bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, yaitu hendaknya perkawinan yang telah dilaksanakan berlangsung seumur hidup untuk selama-lamanya dan dapat tercipta keluarga yang rukun, damai dan sejahtera; serta d. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana perkawinan di Indonesia harus berdasarkan atau berlandaskan agama. Di Indonesia tidak diperbolehkan perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang yang tidak beragama (atheis). Agama dan kepercayaan yang dianut juga berperan untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian secara tegas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Maksud dari hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya tersebut

3 20 sepanjang tidak bertentangan dengan isi dari Undang-Undang Perkawinan, termasuk hukum adat. Islam telah mengatur secara rinci banyak hal tentang perkawinan, termasuk di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 2 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam menyatakan : Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan pengembangan dari Hukum Perkawinan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Kompilasi Hukum Islam tidak dapat lepas dari misi yang diemban oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut, meskipun cakupannya hanya sebatas pada kepentingan umat Islam. Misi tersebut sebagai perkembangan sejarah yang mana bangsa Indonesia, pernah memberlakukan berbagai hubungan

4 21 perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah, yaitu: 17 a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah direpisir dalam hukum adat; b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat; c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku huwelijksordonantie cristen Indonesia (Sbtl No.74); d. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan; e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka; f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kompilasi dalam banyak hal merupakan penjelasan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka prinsip-prinsip atau asas-asasnya dikemukakan denagn mengacu kepada Undang-undang tersebut. Terdapat 6 asas yang prinsipil dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diantaranya: 17 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003, hlm 55

5 22 a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material; b. Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. Undang-Undang ini menganut asas monogami. Apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang; d. Undang-Undang perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan tersebut secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat; e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian; f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan

6 23 masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri Syarat Perkawinan Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu : a. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai Pasal 6 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Syarat perkawinan ini memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi perkawinan paksa. Hal ini disebabkan karena perkawinan merupakan urusan pribadi seseorang dan merupakan bagian dari hak asasi manusia. b. Adanya ijin dari kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun. Walaupun perkawinan dipandang sebagai urusan pribadi, namun masyarakat Indonesia memiliki rasa kekeluargaan yang sangat besar terutama hubungan antara anak dengan orang tuanya. Oleh karena itu, perkawinan juga dianggap sebagai urusan keluarga, terutama jika yang akan melangsungkan perkawinan adalah anak yang belum berusia 21 tahun. Oleh karena itu, sebelum melangsungkan perkawinan harus ada ijin/restu dari kedua orang tua. 18 Ibid,

7 24 c. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Pasal 7 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih di bawah umur. Oleh karena itu, perkawinan gantung yang dikenal dalam masyarakat adat tidak diperkenankan lagi. Ketentuan pembatasan umur juga dimaksudkan agar calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan sudah matang jira raganya. d. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin. Pada dasarnya, larangan untuk melangsungkan perkawinan karena hubungan darah/keluarga dekat terdapat juga dalam sistem hukum yang lain, seperti hukum agama Islam atau peraturan lainnya (termasuk hukum adat). e. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain Pasal 9 Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini. Pasal 3 Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

8 25 1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 2) Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, poligami hanya diperuntukkan bagi mereka yang hukum dan agamnya mengijinkan seorang suami beristri lebih dari seorang Penjelasan umum UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan angka 4c menyatakan : Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Hukum disini maksudnya adalah hukum perkawinan positif dari orang yang hendak melakukan poligami. Sedangkan agama harus ditafsirkan dengan agama dan kepercayaan dari calon suami yang akan melakukan poligami. Penafsiran ini

9 26 untuk mencegah kekosongan hukum bagi mereka yang hingga saat ini belum memeluk suatu agama tetapi masih menganut suatu kepercayaan. Dengan demikian, Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih menganut asas monogami. f. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya. Hal ini diatur dalam Pasal 10 Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penjelasan Pasal 10 Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : Perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali sehingga suami dan istri benar-benar saling menghargai. Menurut Islam, suami istri yang telah bercerai dua kali masih diperbolehkan untuk kawin ketiga kalinya. Tetapi jika mereka telah bercerai untuk ketiga kalinya maka mereka tidak boleh kawin lagi kecuali bekas istri yang telah bercerai tiga kali tersebut kawin dengan lelaki lain kemudian bercerai maka dia boleh kawin dengan bekas suaminya yang pernah bercerai tiga kali tersebut. g. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.

10 27 Pasal 11 Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Wanita yang telah putus perkawinannya tidak boleh begitu saja kawin dengan lelaki lain, akan tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis. Menurut Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975, waktu tunggu diatur sebagai berikut : 1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan sebagai berikut: a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari. 2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. 3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Rasio dari peraturan ini adalah untuk menentukan dengan pasti

11 28 siapa ayah dari anak yang lahir selama tenggang waktu tunggu tersebut. 3. Rukun perkawinan Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya, karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan dan memelihara diri dari perbuatan zina. Bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan belum siap, dianjurkan berpuasa. Puasa diharapkan dapat membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji, yaitu perzinahan. 19 Rasulullah SAW bersabda yang artinya : Wahai kaum muda, barang siapa diantara kalian mampu menyiapkan bekal, nikahlah, karena sesungguhnya nikah dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpusa, Karena puasa dapat menjadi benteng (muttafag alaih) Perkawinan yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,dan rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkannya 19 Ibid, hlm 69

12 29 perkawinan tercapai. Syarat dan rukun perkawinan menurut Hukum Islam seperti dikemukakan Kholil Rahman adalah sebagai berikut: 20 a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:beragama Islam; Laki-laki; Jelas orangnya; Dapat memberikan persetujuan; Tidak terdapat halangan perkawinan. b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya : Beragama, meskipun Yahudi atau Nasarani; Perempuan; Jelas orangnya; Dapat dimintai persetujuannya; Tidak terdapat halangan perkawinan. c. Wali nikah, syarat-syaratnya : Laki-laki; Dewasa; Mempunyai hak perwalian; Tidak terdapat halangan perwaliannya. d. Saksi nikah, syarat-syaratnya :Minimal dua orang laki-laki;hadir dalam ijab kabul; Dapat mengerti maksud akad; Islam; Dewasa. e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya :Adanya penyataan mengawinkan dari wali; Adanya pernyataan penerimaaan dari calon mempelai pria; Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau itazwij; Antara ijab dan qabul bersambungan; Antara ijab dan qabul jelas maksudnya; Orang yang berkait dalam ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah; Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimum empat orang, yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, dan dua orang saksi. Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut wajib dipenuhi, apabila tidak terpuni maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. 20 Kholil Rahman, ibid, hlm 71

13 30 Selain itu, berdasarkan Pasal 14 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, bahwa untuk melangsungkan perkawinan harus ada : Calon suami;calon isteri;wali nikah;dua orang saksi dan; Ijab dan Kabul. B. Harta Bersama dalam perkawinan 1. Pengertian Harta Bersama Menurut Pasal 19 KUHPerdata, sejak saat dilangsungkannya Perkawinan maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perkawinan. 21 Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta yang dimiliki seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari harta mempunyai arti penting bagi seseorang karena dengan memiliki harta dia dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalammasyarakat. Arti penting tersebut tidak hanya dalam segi kegunaan (aspekekonomi) melainkan juga dari segi keteraturannya, tetapi secara hukum orang mungkin belum banyak memahami aturan hukum yang mengatur tentang harta, apalagi harta yang didapat oleh suami istri dalam perkawinan. Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata harta dan bersama. Menurut kamus besar bahasa Indonesia harta dapat berarti barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan dan 21 Hilman Hadikusuma, Ibid, hlm. 13.

14 31 dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama. 22 Kompilasi Hukum Islam memberikan gambaran jelas tentang harta bersama, yang dijelaskan dalam pasal 1 huruf f, yang menyatakan bahwa: Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperolehbaik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Menurut Abdul Manan, harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. 23 Dalam yurisprudensi peradilan agama juga dijelaskan bahwa harta bersama yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitan dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantara istri maupun lewat perntara suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karyakarya dari suamiistri dalam kaitannya dengan perkawinan. Menurut hukum adat bahwa harta benda perkawinan itu adalah harta benda yang dimiliki suami istri dalam ikatan perkawinan, baik yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung (harta gawan/ harta bawaan) maupun harta benda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang hasil kerja masing-masing suami istri ataupun harta benda yang didapat 22 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemmen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006,hlm

15 32 dari pemberian/hibah atau hadiah serta warisan. Jadi suatu asas yang sangat umumberlakunya hukum adat di Indonesia adalah bahwa mengenai harta kerabatnyabsendiri yang berasal dari hibah atau warisan, maka harta itu tetap menjadi miliknya salah satu suami atau istri yang kerabatnya menghibahkan ataumewariskan harta itu kepadanya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa bahwa harta bersama adalah harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan. 2. Dasar Hukum Harta Bersama Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang- Undang dan peraturan berikut. a. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah Harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Artinya,harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta bersama. b. Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri ;

16 33 c. Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa Adanya harta bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Di dalam pasal inidisebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suamiistri. Hukum Islam mengakui adanya harta yang merupakan hak milik bagi setiap orang, baik mengenai pengurusan dan penggunaannya maupun untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas harta tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan syari at Islam. Disamping itu juga diberi kemungkinan adanya suatu serikat kerja antara suami istri dalam mencari harta kekayaan. Oleh karenanya apabila terjadi perceraian antara suami istri, harta kekayaan tersebut dibagi menurut Hukum Islam dengan kaidah hukum Tidak ada kemudaratan dantidak boleh memudaratkan. Dari kaidah hukum ini jalan terbaik untuk menyelesaikan harta bersama adalah dengan membagi harta tersebut secara adil. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah harta bersama hanya diatur secara singkat dan umum dalam Bab VII terdiri dari Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, yang menyatakan bahwa: Pasal 35 (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama; (2) Harta bawaan dan masing-masing suami dan isteri dan harta benda. yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adal.ah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

17 34 Pasal 36 (1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak; (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Kemudian diperjelas dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa: Pasal 85 Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pasal 86 (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya. Pasal 87 (1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Pasal 88 Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pasal 89 Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.

18 35 Pasal 90 Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya. Pasal 91 (1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. (2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. (3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban. (4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Pasal 92 Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Pasal Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing. 2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. 3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. 4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri Pasal Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. 2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat. Pasal Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan

19 36 membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. 2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. Pasal Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,. 2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Gambaran harta bersama dalam suatu perkawinan dapat dilihat dan ditentukan dari objek harta bersama itu sendiri. Memang benar baik Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun yurisprudensi telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Akan tetapi tentu tidak sesederhana itu penerapannya dalam masalah yang kongkrit. Masih diperlukan analisis dan keterampilan dalam penerapan harta bersama. 3. Macam-Macam Harta Bersama Dalam Perkawinan Hukum islam tidak mengtur harta bersama dan harta bawaan ke dalam ikatan perkawinan, yang ada hanya menerangkan tentang adanya hak milik pria atau wanita serta maskawin ketika perkawinan berlangsung. Di dalam Alqur an sebagaimana juga disinggung Hazairin (1975:30)

20 37 terdapat ayat yang menyatakan..bagi pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan. 24 Menurut Bahder Johan Nasution, dikatakan bahwa: Harta bersama dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud, harta berwujud dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak termasuk suratsurat berharga. Sedangkan harta yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban. Harta bersama ini dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan yang lainnya. Baik suami ataupun istri tidak boleh menjual atau memindahkan harta bersama tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu. 25 Selanjutnya, menurut Yahya Harahaf, terdapat beberapa faktor dalam menentukan apakah suatu barang termasuk harta bersama atau tidak. Factor-faktor tersebut meliputi: 26 a. Ditentukan pada saat pembelian barang tersebut. Akan tetapi persoalannya adalah bahwa dalam pembelian harta tersebut tidak mempermasalahkan apakah suami atau istri yang membeli, atau harta tersebut harus terdaftar dengan nama siapa dan dimana harta itu terletak. Lain halnya apabila barang yang dibeli menggunakan harta pribadi suami. Maka barang tersebut bukanlah termasuk harta bersama. b. Ditentukan oleh asal usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang tersebut dibeli setelah proses perkawinan terhenti; 24 Hilman Hadikusuma, Op., Cit, hlm Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, Bandung, Mandar Maju, 1997, hlm M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm.278.

21 38 c. Ditentukan oleh keberhasilan dalam membuktikan dalam persidangan bahwa harta sengketa atau harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang yang digunakan untuk membeli harta tersebut bukan berasal dari harta pribadi; d. Ditentukan oleh pertumbuhan atau perkembangan harta tersebut. Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama sudah logis menjadi harta bersama. Akan tetapi harta yang tumbuh dari harta pribadi sekalipun apabila pertumbuhan harta tersebut terjadi selama perkawinan berlangsung secara otomatis akan menjadi harta bersama dengan sendirinya. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jika dalam perjanjian perkawinan tidak diatur mengenai hasil yang timbul dari harta pribadi, semua hasil yang diperoleh dari harta pribadi suami istri jatuh menjadi harta bersama. Hukum melarang memindahkan harta bersama secara sepihak oleh suami atau istri. Penjualan, pengagunan, penghibahan atau penukaran harta bersama tanpa kesepakatan bersama suami istri, dianggap bertentangan dengan hukum. Untuk menjual, menghibahkan atau mengagunkan harta bersama oleh suami harus mendapat persetujuan dari istri. Terutama mengenai pemindahan hartanbersama yang berbentuk benda tidak bergerak seperti tanah atau rumah, sekurang-kurangnya harus ada persetujuan izin dari suami atau istri. Sekiranya suami istri tidak bertindak sebagai pihak, misalnya yang bertindak sebagainpenjual adalah suami, dalam hal seperti ini, sekurang-

22 39 kurangnya harus jelas adanpersetujuan izin istri dalam akta jual beli, dan persetujuan tersebutnditandatangani oleh istri. Jika tidak, hukum mengancam pembatalan jual beli dan istri dapat menggugat pembatalan jual beli tersebut. Adapun yang menjadi ujuan penerapan hukum di atas, menurut Slamet Abidin, 27 adalah untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan oleh suami dalam hal kedudukannya sebagai kepala rumah tangga dapat bertindak sesuka hati menjual atau menghibahkan harta bersama tanpa mempedulikan kesejahteraan dan keselamatan keluarga. Lagi pula dilihat dari hakikat makna harta bersama itu sendiri adalah harta perkongsian antara suami dan istri. Sudah sewajarnya menurut hukum harus tercapai tindak kesepakatan bersama antara suami istri dalam setiap penggunaan, pengasingan dan peruntukan harta bersama. 4. Penggunaan Harta Bersama Dalam Perkawinan Harta bersama merupakan konsekuensi hukum dari perkawinan. Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ini berarti harta bersama mutlak ada dan tak boleh ditiadakan oleh para pihak. Sumber dari harta bersama perkawinan adalah peroleh selama perkawinan. Sejak mulai perkawinan terjadi, suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri, jikalau tidak diadakan perjanjian apa- 27 Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munakahat, Bandung, Pustaka Setia, 1999, hlm.183.

23 40 apa keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. Percampuran kekayaan, adalah mengenai seluruh aktiva dan passiva baik yang dibawah oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan diperoelh di kemudian hari selama perkawinan. Kekayaan bersama itu oleh undang-undang dinamakan gemeenshapp. Sedangkan yang dimaksud dengan harta yang diperoleh selama perkawinan adalah harta benda yang diperoleh disini harus ditafsirkan sebagai hasil kerjasama mereka. Kata kerjasama disini harus ditafsirkan longgar, sehingga tidak dimaksudkan adanya kerjasama secara fisik. Dalam pengertian ini, apabila harta kekayaan itu diperoleh oleh seorang diantara mereka, misalnya gaji suami, dipandang sebagai hasil kerjasama meskipun secara fisik tidak ada kerjasama di sana. Seorang suami bekerja tentu atas persiapan yang dilakukan istri sebagai ibu rumah tangga. Kebersamaan harta kekayaan suami istri, maka harta bersama menjadi milik keduanya. Untuk menjelaskan hal ini, ada dua macam hak dalam harta bersama, yaitu; hak milik dan hak guna. Harta bersama suami istri memang sudah menjadi hak milik bersama, namun jangan dilupakan bahwa disana juga terdapat hak gunanya. Artinya, mereka berdua samasama berhak menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapatkan persetujuan dari pasangannya. Jika suami yang akan

24 41 menggunakan harta bersama, dia harus mendapat persetujuan dari istrinya dan sebaliknya. 28 Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Jika penggunaan harta bersama tidak mendapat persetujuan dari salah satu pihak dari keduanya, maka tindakan tersebut dianggap telah melanggar hukum karena merupakan tindak pidana yang bisa dituntut secara hukum.. hal tersebut sebagaiman ketentuan Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa suami atau istri tanpa persetujuan pihak laintidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Suami istri juga diperboleh menggunakan harta bersama sebagai barang jaminan asalkan mendapat persetujuan dari salah satu pihak. Tentang hal ini, Pasal 91 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Prinsip sebagaiman tersebut di atas bertolak belakang dengan prinsip yang diatur oleh KUHPerdata dimana pada Pasal 124 ayat (1) menentukan bahwa harta bersama atau persatuan berada di bawah urusan suami secara mutlak bahkan pada ayat (2) menyatakan bahwa suami dapat menjual, memindahtangankan dan membebani harta bersama tersebut tanpa persetujuan dan campur tangan istri, kecuali sebelumnya 28 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, Visimedia, Jakarta,, 2008, hlm. 34.

25 42 ada perjanjian perkawinan. Selanjutnya, Pasal 93 KHI mengatur ketentuan hukum harta bersama yang terkait dengan hutang. Ayat 1 pasal itu menyebutkan bahwa, pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing. Artinya, hutang yang secara khusus dimiliki suami atau istri menjadi tanggungjawab masing-masing.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harta Bersama dan Perceraian 1. Harta Bersama Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI Oleh : DODI HARTANTO No. Mhs : 04410456 Program studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian. Sedangkan peristiwa

Lebih terperinci

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 Samuji Sekolah Tinggi Agama Islam Ma arif Magetan E-mail: hajaromo@yahoo.co.id Abstrak Perkawinan di bawah tangan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum termasuk mengenai

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum termasuk mengenai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum maka seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum termasuk mengenai perkawinan, perceraian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA A. Pengertian Harta Bersama 1. Pengertian Harta Bersama Menurut Hukum Islam Dalam kitab-kitab fiqih tradisional, harta bersama diartikan

Lebih terperinci

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6 BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri. Setiap orang membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya dalam semua hal, termasuk dalam pengembangbiakan

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D 101 09 512 ABSTRAK Penelitian ini berjudul aspek yuridis harta bersama dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN A. Konsep Harta Bersama Dalam Perkawinan 1. Pengertian Harta Bersama Dalam Perkawinan Sebelum sampai kepada pembicaraan harta benda perkawinan, sebaiknya

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk membina suatu hubungan. Sebagai realisasi manusia dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan 1 BAB I PENDAHULUAN Pada hakekatnya manusia diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan melangsungkan perkawinan. Perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan sesama manusia. Salah satu hubungan sesama manusia adalah melalui perkawinan, yaitu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab. Sesuai

Lebih terperinci

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN 2089-3590 EISSN 2303-2472 AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN (FASAKH) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN ISTRI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg A. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Malang Mengabulkan Permohonan Itsbat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk BAB I PENDAHULUAN Perkawinan memiliki arti penting bagi setiap orang, didalam kehidupan setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk membentuk sebuah keluarga itu maka setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sahnya perkawinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

BAB I PENDAHULUAN. sahnya perkawinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isbat nikah merupakan proses penetapan pernikahan dua orang suami isteri, tujuan dari isbat nikah adalah untuk mendapatkan akta nikah sebagai bukti sahnya perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

BAB II HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN

BAB II HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN 18 BAB II HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN A. Pengertian Harta Bersama Dalam Perkawinan Sebagaimana telah dijelaskan, harta bersama dalam perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Suami

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA 59 BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA A. Analisis Hukum Terhadap Pelaksanaan Perkawinan di bawah Umur Tanpa Dispensasi Kawin Perkawinan ialah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti melakukan akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial. Artinya setiap manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, bahkan sejak manusia lahir, hidup dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1994), hlm 453 Lembaga perkawinan adalah lembaga yang mulia dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia. Allah SWT

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 1 Oleh: Billy Bidara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dilahirkan ke dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya yang terkecil,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak suami dan istri, akan senantiasa diharapkan berjalan dengan

Lebih terperinci

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya

Lebih terperinci

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan seorang wanita dan seorang laki-laki, ada rasa saling tertarik antara satu sama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Persepsi Persepsi pada dasrnya adalah proses kognitif yang dialami seseorang dalam memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan dan

Lebih terperinci

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan, Pernikahan PNS Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW BAB I PENDAHULUAN Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, pria dan wanita. dengan kodrat jasmani dan bobot kejiwaan yang relatif berbeda yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik antara satu dengan

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan Perkara Nomor 1061/Pdt.G/2016/PA.Bwi di Pengadilan Agama Banyuwangi) perspektif UU No.

Lebih terperinci

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA 3 IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA Oleh : Alip No. Mhs : 03410369 Program Studi : Ilmu Hukum UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. Sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk berkembang, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam mensyariatkan perkawinan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai ibadah dan untuk memadu kasih sayang serta untuk memelihara kelangsungan hidup

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup bermasyarakat, karena sebagai individu, manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri untuk mencapai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 1 Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan sangat dianjurkan dalam Islam, terutama bagi mereka yang secara lahir dan batin telah siap menjalankannya. Tidak perlu ada rasa takut dalam diri setiap muslim

Lebih terperinci

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN Menurut Imam Asy-Syathibi jika aturan/hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, susila, dan religius. Sifat kodrati manusia sebagai makhluk pribadi, sosial, susila,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hlm. 104

BAB I PENDAHULUAN. 1 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hlm. 104 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk hidup bersama dengan sesamanya. Manusia dilahirkan untuk saling melengkapi satu dengan yang lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki ketidakmampuan untuk bertahan hidup sendiri. Hal ini membuat manusia belajar untuk hidup berkelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara suami, istri dan anak akan tetapi antara dua keluarga. Dalam UU

BAB I PENDAHULUAN. antara suami, istri dan anak akan tetapi antara dua keluarga. Dalam UU BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkawinan merupakan salah satu asas pokok yang paling utama dalam kehidupan rumah tangga yang sempurna. Perkawinan bukan hanya merupakan satu jalan yang amat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk akad nikah.nikah menurut syarak ialah akad yang membolehkan seorang

BAB I PENDAHULUAN. untuk akad nikah.nikah menurut syarak ialah akad yang membolehkan seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nikah dalam bahasa arab ialah bergabung dan berkumpul, dipergunakan juga dengan arti kata wata atau akad nikah, tetapi kebanyakan pemakaiannya untuk akad nikah.nikah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan. BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN Dalam memahami batasan usia seseorang mampu menikah menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974 dan Mazhab Syafi i, maka harus diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia sendiri diciptakan berpasang-pasangan. Setiap manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah

Lebih terperinci

segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik

segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik 2 Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian tentang perkawinan di Indonesia tercantum dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disana dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan

Lebih terperinci