Pandecta. Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Batik Sebagai Warisan Budaya Bangsa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pandecta. Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Batik Sebagai Warisan Budaya Bangsa"

Transkripsi

1 Volume 6. Nomor 2. Juli 2011 Pandecta Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Batik Sebagai Warisan Budaya Bangsa Rindia Fanny Kusumaningtyas Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima April 2011 Disetujui Mei 2011 Dipublikasikan Juli 2011 Keywords: Copyright Protection; Batik Art; Folklore; Batik Heritage Kraton Surakarta. Abstrak Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Oleh karena itu batik dengan motif tradisionalnya termasuk motif batik Kraton Surakarta merupakan kekayaan budaya Indonesia warisan bangsa. Atas dasar itu, batik perlu dilestarikan, dilindungi dan didukung pengembangannya. Sebagai suatu kebudayaan tradisional yang telah berlangsung secara turun temurun, maka Hak Cipta atas seni batik ini akan dipegang oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 2 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Akan tetapi dalam implementasinya UU ini belum bisa mengakomodir perlindungan Hak Cipta atas motif batik tradisional khususnya Batik Kraton Surakarta, hal ini dikarenakan UUHC masih mempunyai beberapa kelemahan bila hendak diterapkan dengan konsekuen guna melindungi folklore. Perlindungan HKI sui generis diharapkan dapat melindungi folklore, kemungkinan dengan mengamandemen undang-undang yang sudah ada guna menyesuaikan rezim HKI Hak Cipta. Selain itu dalam pelaksanaannya juga diperlukan perangkat hukum lain yang bersifat teknis. Perangkat hukum yang dimaksud dapat berupa Peraturan Pemerintah Daerah yang mengatur tentang perlindungan atas karya cipta seni batik tradisional yang termasuk folklore. Abstract Batik is a craft that has high artistic value and has become part of the culture of Indonesia (particularly Java) since long. Therefore, traditional batik including batik motifs Kraton Surakarta Indonesia is a rich cultural heritage. On that basis, batik needs to be preserved, protected and supported its development. As a traditional culture that has lasted for generations, then the Copyright for the art of batik will be held by the state as provided in Article 10 paragraph 2 of Law no. 19 of 2002 on Copyright. However, the implementation of this Act have not been able to accommodate the protection of the Copyright for traditional batik Batik Kraton Surakarta in particular, this is because UUHC still has some drawbacks when applied with a consequent want to protect folklore. Sui generis IPR protection is expected to protect folklore, possibly by amending legislation in order to adapt the existing IPR regime Copyrights. In addition it is also necessary in the implementation of other legal instruments of a technical nature. The law is meant to be a Local Government Regulations governing the protection of copyright works of art including traditional batik Folklore. Alamat korespondensi: Gd. C-4, Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang rnd_smg@yahoo.com 2011 Universitas Negeri Semarang ISSN

2 1. Pendahuluan Batik dalam anggapan umum adalah sebentuk kain yang memiliki motif-motif tertentu, yang mana motif-motif tersebut telah digunakan beratus tahun (mentradisi) pada sebuah wastra (kain yang bermotif). Pengertian seperti di atas telah menjadi semacam aksioma bahwa batik atau wastra batik adalah motif itu sendiri (Tungzz, 2007). Dari aspek kultural, batik adalah seni tingkat tinggi. Batik tak sekadar kain yang ditulis dengan menggunakan malam (cairan lilin). Pola-pola yang ada di batik, lanjutnya memiliki filosofi yang sangat erat dengan budaya tiap masyarakat. Batik adalah kebanggaan bangsa Indonesia, sebuah identitas yang telah diwarisi sejak ratusan tahun lalu. Sayang, identitas ini terancam karena batikbatik ini pun telah diupayakan bangsa lain untuk didaftarkan sebagai warisan nenek moyang mereka. Sebagai suatu kebudayaan tradisional yang telah berlangsung secara turun temurun, maka Hak Cipta atas seni batik ini akan dipegang oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasa1 10 ayat 2 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu: Negara memegang Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan folklore adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun termasuk hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukir-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional (termasuk batik di dalamnya). Perangkat hukum yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta belum mencukupi kebutuhan masyarakat akan perlunya perlindungan ekspresi budaya tradisional termasuk di dalamnya adalah motif batik tradisional. Ketidakmampuan UU Hak Cipta dalam melindungi motif batik yang termasuk ke dalam ekspresi budaya tradisional (folklore), bukan berarti motif batik tradisional tidak dapat dilindungi. Sebab mengingat kedudukannya sebagai motif masyarakat atau folklore yang anonim, maka tidak dapat digolongkan sama seperti karya cipta konvensional yang dilindungi oleh UU Hak Cipta. Motif batik tradisional adalah bagian dari budaya tradisional bangsa Indonesia. Maka motif batik tradisional lebih tepat digolongkan bukan sebagai karya cipta biasa, namun sebagai bentuk dari Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore). Menurut Edy Sedyawati (2003:2), secara umum pengertian Ekspresi Budaya Tradisional atau apa yang disebut dengan istilah folklore adalah segala bentuk ungkapan budaya yang bersifat ekspresif yaitu khususnya ungkapan seni di mana yang penciptanya anonim dan ditransmisikan secara lisan. Pengaturan hak kekayaan intelektual dalam lingkup internasional sebagaimana terdapat dalam Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP s), misalnya hingga saat ini belum mengakomodasi kekayaan intelektual masyarakat asli/tradisional. Dengan adanya fenomena tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat asli tradisional hingga saat ini masih lemah. Sayangnya, hal ini justru terjadi di saat masyarakat dunia saat ini tengah bergerak menuju suatu trend yang dikenal dengan gerakan kembali ke alam (back to nature) yang ditandai dengan semakin besarnya kesadaran akan budaya tradisional sebagai bagian dari kekayaan intelektual dan warisan budaya yang layak dihargai dan wajib dijaga, terutama di negara-negara berkembang. Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, kiranya dapat dipahami bahwa masalah dalam perlindungan karya cipta batik tradisional adalah belum adanya sistem perlindungan yang tepat untuk melindungi karya cipta batik tradisional dan pengrajin yang menghasilkan karya-karyanya yang dapat 192

3 tergolong dalam cipta pribadi. Di sinilah faktor hukum memainkan peran yang penting agar pemanfaatan warisan budaya ini tidak disalah gunakan oleh pihak-pihak asing yang tidak berwenang. Hukum memandang warisan budaya dari sisi hak, dalam arti siapa yang berhak. Oleh karena itu, hukum juga memandang warisan budaya dari aspek perlindungannya, bagaimana memberikan perlindungan hukum yang tepat dan benar, serta dapat dipahami oleh anggota masyarakat itu sendiri (Sarjono, 2007). 2. Metode Penelitian Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan meneliti data primer yang ada di lapangan (Soekanto dan Mamudji, 1986: 1). Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat (Soemitro, 1990:52). Jadi pendekatan yuridis empiris merupakan suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup di tengahtengah masyarakat langsung. Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif agar dapat diperoleh kejelasan masalah yang dibahas. Tujuan digunakannya analisis kualitatif ini adalah untuk mendapatkan pandangan-pandangan mengenai perlindungan Hak Cipta atas motif batik sebagai warisan budaya khususnya batik tradisional Kraton Surakarta. 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Karya Cipta Seni Batik Tradisional Batik, pada mulanya tidak seperti yang kita kenal sekarang. Sebentuk wastra batik memiliki kesejarahan dan tradisi yang cukup lama. Dalam masa keemasan kesejarahannya, wastra batik sempat menjadi kain yang sangat eksklusif karena wastra tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan keluarga kerajaan atau hanya dipergunakan pada upacara-upacara tertentu. Bahkan, konon wastra batik memiliki cerita-cerita mistis dan menakjubkan yang mengikuti motif-motif sakral yang tercipta. Lambat laun wastra batik menjadi pakaian resmi kalangan elit kerajaan. Kemudian menjadi pakaian resmi perangkat kerajaan dan akhirnya wastra batik menjadi ikon kelas sosial tertentu pada masa itu. Wastra batik beserta motifnya telah menorehkan jejak semiotika yang panjang, rumit sekaligus mengagumkan. Setiap motif batik memiliki kandungan semiotika sendiri-sendiri. Dan konon, setiap motif harus dibuat dan digunakan secara benar bahkan hingga menyentuh sisi holistik pemakainya (Tungzz, 2007). Sedemikian rumitnya tatanan busana yang terkait erat dengan adat dan tata sopan santun kalangan kraton, maka pemakaian kain batik sebagai busana kebesaran harus mentaati segala peraturaan yang berlaku. Batik kraton sejak dahulu hingga sekarang tidak ada perubahan, baik warna maupun tampilannya bahkan polanya pun tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa batik kraton hampir tidak dipengaruhi oleh zaman (Doellah, 2002:55). Surakarta atau Surakarta Hadiningrat juga dikenal dengan nama Solo merupakan ibukota kerajaan dari Kraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta merupakan pusat pemerintahan, agama dan kebudayaan. Sebagai pusat kebudayaan Surakarta tidak dapat dilepaskan sebagai sumber seni dan ragam hias batiknya. Penciptaan ragam hias batik tidak hanya memburu keindahannya saja tetapi juga memperhitungkan nilai filsafat hidup yang terkandung dalam motifnya. Yang dalam filsafat hidup tersebut terkandung harapan yang luhur dari penciptanya yang tulus agar dapat membawa kebaikan dan kebahagiaaan pemakainya. Beberapa contoh: (Anonim, 1989). a. Ragam hias Slobog, yang berarti agak besar atau longgar atau lancar yang dipakai untuk melayat dengan harapan agar arwah yang meninggal dunia tidak mendapat kesukaran dan dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa; b. Ragam hias Sidomukti, yang berarti jadi bahagia dipakai oleh pe- 193

4 ngantin pria dan wanita dengan harapan agar pengantin terus-menerus hidup dalam kebahagiaan. Seni batik bagi Kraton Surakarta merupakan suatu hal yang penting dalam pelaksanaan tata adat busana tradisional Jawa, dan dalam busana tradisional ini kain batik memegang peranan yang cukup penting bagi pelestarian dan pengembangan seni budaya jawa. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa eksistensi motif batik tradisional khususnya Batik Kraton Surakarta yang merupakan bagian dari ekspresi budaya (folklore) dapat dilihat dari makna simbolis yang terkandung dalam setiap motifnya, di mana motif-motif tersebut masih dipercaya mempunyai nilai filosofis, teologis dan nilai keabadian yang tidak mudah luntur meskipun telah terjadi banyak perubahan dan perkembangan. Selain itu juga batik mempunyai makna khusus sebagai sesuatu yang diagungkan karena merupakan pencerminan pandangan hidup yang spesifik dan kompleks. Keberadaan batik sendiri secara keseluruhan terdapat berbagai aspek diantaranya: desain, media (bahan), teknik, fungsi dan filsafat. Sejak dahulu hingga sekarang, batik mempunyai kedudukan yang penting di dalam masyarakat Jawa, baik yang bertempat tinggal di daerah pantai utara, maupun yang berada di daerah pedalaman Pulau Jawa. Digunakan untuk pakaian sehari-hari dan dipakai sebagai busana dalam upacara-upacara tertentu. Dalam upacara-upacara yang dilakukan untuk menandai siklus kehidupan manusia sejak bayi dalam kandungan tujuh bulan hingga menjelang kematian, fungsi batik senantiasa menyertainya. Di lingkungan kraton, khususnya Kraton Surakarta batik merupakan salah satu jenis pakaian kebesaran atau biasa disebut busana keprabon. Dalam berbagai upacara yang diadakan di kraton, misalnya Grebek Mulud, Syawal (Idul Fitri), dan Besar (Idul Adha) biasanya Sri Sunan mengenakan dodot yang bermotifkan Parang Rusak Barong. Adanya eksistensi perlindungan motif batik tradisional khususnya Batik Kraton Surakarta juga dilakukan oleh pengusaha Batik Danar Hadi. Usaha yang dilakukan Danar Hadi sangat nyata, di mana perusahaan ini sangat eksis dalam melindungi Batik Solo. Salah satu usaha yang dilakukan Danar Hadi adalah mendirikan museum Batik yang terletak di Jalan Slamet Riyadi. Menurut Aryo Prakoso Vidyarto, S.S sebagai salah seorang pemandu Museum Batik Danar Hadi bahwa museum ini didirikan oleh pemilik perusahaan Danar Hadi (H. Santoso Doellah) sebagai kecintaannya kepada batik. Museum ini memiliki manfaat terutama bagi usaha pelestarian batik karena di dalam museum ini setiap pengunjung akan mengetahui sejarah batik dan berbagai macam motif batik. Di samping itu juga, Kota Solo tengah berupaya keras mengembangkan perkampungan yang dulu terkenal sebagai sentra industri batik, di antaranya Kampung Laweyan dan Kampung Kauman. Pengembangan bukan saja sebatas pada industri batik itu sendiri yang pada umumnya berupa industri rumah tangga, tetapi juga menata kawasan menjadi objek wisata budaya baru. Selain itu eksistensi motif batik Kraton Surakarta masih dipertahankan oleh pengusaha-pengusaha batik di Surakarta. Eksistensi batik Kraton Surakarta juga masih bisa dilihat pada motif Batik Sudagaran yang dihasilkan oleh kalangan saudagar batik, motif batik Sudagaran polanya bersumber pada pola-pola batik kraton baik pola larangan maupun pola batik kraton lainnya yang ragam hias utama serta isen polanya digubah sedemikian rupa (dimodifikasi) sesuai dengan selera kaum saudagar sehingga polapola tersebut dapat dipakai oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, batik Kraton Surakarta tergolong salah satu seni kriya yang berhasil merevitalisasi diri dalam motif, teknik, dan penggunaannya sehingga eksistensinya terjaga. b. Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Batik Berdasarkan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 sebenarnya terdapat pedoman yang sangat konkrit tentang sistem perlindungan yang tepat. Dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 dengan tegas dinyatakan bahwa tujuan pembentukan Negara Indonesia adalah melindungi 194

5 segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Tujuan melindungi segenap tumpah darah Indonesia itu kemudian dibebankan kepada Executive Body (Pemerintah) untuk dilaksanakan. Dari bunyi UUD tersebut, jelas bahwa tugas Negara bukan menjadi Pemilik atau Pemegang Hak sebagaimana klaim di dalam Pasal 10 UU Hak Cipta Tahun 2002, tetapi justru harus menjadi pelindung bagi warga masyarakat atas harta benda milik mereka, termasuk warisan budaya yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sosial dan spiritual warga bangsanya. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta selain mengatur perlindungan kekayaan intelektual juga menjelaskan posisi negara dalam kepemilikian budaya ekspresi budaya tradisional melalui Pasal 10 ayat 2, yaitu: Negara memegang Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian kaligrafi, dan karya seni lainnya. Namun dalam pasal tersebut, pada kenyataannya belum memuat batasan-batasan yang dapat dikategorikan sebagai ekspresi budaya tradisional yang perlu dilindungi, bentuk perlindungan yang dilakukan, serta kewenangan regulator dalam mengatur penggunaan ekspresi budaya tradisional secara komersil, baik oleh warga negara Indonesia maupun warga asing. Dengan kata lain ketentuan dalam Pasal 10 UUHC Tahun 2002 masih sulit diimplementasikan, salah satu alasannya adalah bahwa pasal ini memerlukan peraturan pelaksanaan yang sampai saat ini belum diterbitkan. Perlindungan yang diberikan terhadap ekspresi budaya tradisional lebih bersifat untuk melestarikan warisan budaya dan untuk mencegah terjadinya kepunahan warisan budaya itu.walaupun tujuan Pasal 10 diajukan secara khusus untuk melindungi budaya penduduk asli, akan sulit (barangkali mustahil) bagi masyarakat tradisional atau Pemerintah Daerah untuk menggunakannya demi melindungi karya-karya mereka berdasarkan beberapa alasan. Pertama, kedudukan Pasal 10 UUHC Tahun 2002 belum jelas penerapannya jika dikaitkan dengan berlakunya pasal-pasal lain dalam UUHC Tahun Misalnya, bagaimana kalau suatu folklore yang dilindungi berdasar Pasal 10 (2) tidak bersifat asli sebagaimana diisyaratkan Pasal 1 (3) UUHC Tahun 2002 yang menyatakan: Ciptaan adalah hasil karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Undang-undang tidak menjelaskan apakah folklore semacam ini mendapatkan perlindungan Hak Cipta, meskipun merupakan ciptaan tergolong folklore yang keasliannya sulit dicari atau dibuktikan. Kedua, suku-suku etnis atau suatu masyarakat tradisioanl hanya berhak melakukan gugatan terhadap orang-orang asing yang mengeksploitasi karya-karya tradisional tanpa seizin pencipta karya tradisional, melalui Negara atau Instansi terkait. Dengan kata lain penerapan Pasal 10 UUHC Tahun 2002 dalam praktek ternyata tidak mudah untuk dilakukan. Ada tiga alasan yang menjadi penyebabnya. Pertama, definisinya mengandung rumusan yang kurang jelas. Kedua, belum diaturnya prosedur untuk membedakan antara Ciptaan yang terkategori folklore dengan Ciptaan yang bukan folklore. Ketiga, tidak diaturnya lembaga pelaksana yang berwenang untuk menetapkan suatu Ciptaan sebagai folklore. Seandainya ketentuan Pasal 10 UUHC Tahun 2002 dimaksudkan untuk memberi kewenangan bagi Negara dalam menetapkan suatu Ciptaan sebagai folklore, permasalahan mengenai kejelasan lembaga pelaksana tetap saja ada. Hal tersebut terjadi, karena lembaga yang disebut hanya Negara. Negara adalah entitas yang abstrak. Untuk melaksanakan kewenangannya dalam arti yang kongkrit, maka Negara harus dijabarkan lebih lanjut dengan menyebut instansi pemerintah yang mengemban tanggung jawab tersebut. Dengan kondisi yang ada saat ini, maka menjadi tidak jelas, apakah hanya Ditjen HKI yang berwenang mengadministrasikan folklore, atau lembaga-lembaga lain juga berwenang. Hal ini sangat penting untuk diatasi mengingat perlindungan folklore dapat berkaitan dengan instansi pemerintah seperti Departemen Hukum dan HAM, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Pe- 195

6 rindustrian, dan Pemerintah Daerah. Sesungguhnya Hak Cipta juga mempunyai beberapa kelemahan bila hendak diterapkan dengan konsekuen guna melindungi folklore. Kelemahan pertama, Hak Cipta mempersyaratkan adanya individu pencipta, sementara itu dalam suatu masyarakat lokal, folklore biasanya tidak memiliki pencipta individual. Kedua, rezim Hak Cipta menyangkut perlindungan aspek komersial dari hak yang bersangkutan dalam hitungan waktu yang terbatas (dapat dilihat dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 UUHC Tahun 2002), sedangkan isu perlindungan pengetahuan tradisional merupakan isu perlindungan atas warisan budaya suatu masyarakat tertentu. Ekspresi folklore biasanya terkait dengan cultural identity. Dengan demikian perlindungannya harus bersifat permanen. Ketiga, Hak Cipta mempersyaratkan bentuk formal atau fixation, sementara itu folklore biasanya tidak dalam bentuk tertentu tetapi biasanya diekspresikan secara lisan dan diwariskan dari generasi ke generasi dalam masyarakat yang bersangkutan. Kondisi itulah yang membuat rezim Hak Cipta sulit untuk diterapkan melindungi folklore (Sardjono, 2006:87-88). Selain itu juga kelemahan lain dari pengaturan folklore tersebut belum diaturnya prosedur yang membedakan antara Ciptaan yang termasuk folklore dengan Ciptaan yang tidak termasuk folklore. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, folklore memiliki ciri-ciri yang khusus. Bahkan ahli folklore Indonesia, Prof. James Danandjaja, mengingatkan bahwa apabila tidak cermat, seorang peneliti bukannya berhasil menginventarisir folklore, tetapi malah melakukan studi etnografi. Oleh karena itu, Undang-undang sebagai pedoman atau kaidah sosial sangat perlu untuk mengatur tentang prosedur penginventarisasian folklore. Dalam melindungi ciptaan-ciptaan yang tidak diketahui Penciptanya dan dapat dikategorikan sebagai Folklore, UNESCO dan WIPO telah melaksanakan berbagai usaha untuk pengaturannya. Atas prakarsa kedua organisasi internasional ini, pada tahun 1976 pengaturan Folklore telah dimuat dalam Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries (Sardjono, 2006: ). Tunis Model Law disusun oleh UNES- CO bekerja sama WIPO sebagai panduan pembentukan hukum nasional yang mengatur perlindungan Hak Cipta di dalam sistem hukum negara-negara berkembang. Walaupun bertujuan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan akan rezim Hak Cipta, namun Tunis Model Law juga turut membentuk mekanisme perlindungan budaya dalam kerangka Hak Cipta dengan berbagai pengecualian khusus yang bersifat sui generis khususnya pengaturan tentang folklore. Diterbitkannya Tunis Model Law ini, mendorong pengajuan Naskah Akademik NCHSL (Nusantara Cultural Heritage State License) Rancangan Naskah Akademik RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya merupakan sebuah konsep perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional di Indonesia. Konsep tersebut diajukan oleh IACI (Indonesian Archipelago Culture Initiatives) sebagai sebuah upaya untuk melindungi ekspresi budaya tradisional dari eksploitasi komersil dan pencurian oleh pihak-pihak asing. Menurut Rancangan Naskah Akademik RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya, yang disebut dengan ekspresi budaya tradisional adalah sebuah ekspresi yang dihasilkan dari manifestasi budaya yang telah dikembangkan secara turun temurun baik berbentuk maupun tidak, dapat berupa tarian, musik, simbol, motif pakaian, dan lain sebagainya. Di sisi lain, di bawah UU Hak Cipta sedang dirancang suatu Peraturan Pemerintah (PP) tentang Hak Cipta atas Folklore yang dipegang oleh Negara. Dalam hal itu yang dimaksud dengan folklore adalah segala ungkapan budaya yang dimiliki secara bersama oleh suatu komuniti atau masyarakat tradisional. Termasuk ke dalamnya adalah karya-karya kerajinan tangan. Akan tetapi sampai sejauh ini, peraturan ini masih dalam tahap penyusunan yang diharapkan masih ada masukan dari pandangan pelaku usaha, baik pada sisi pencipta, pedagang, maupun konsumen kepada pihak Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Sedyawati, 2008:269). Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) 196

7 mengenai Hak Cipta atas Folklore yang dipegang oleh Negara, adalah jabaran lebih khusus mengenai pengaturan folklore dalam Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun Dalam Draft Peraturan Pemerintah tersebut yang disebut sebagai folklore dipilah ke dalam: (a). ekspresi verbal dan non-verbal dalam bentuk cerita rakyat, puisi rakyat, teka-teki, pepatah, peribahasa, pidato adat, ekspresi verbal dan non-verbal lainnya; (b). ekspresi lagu atau musik dengan atau tanpa lirik; (c). ekspresi dalam bentuk gerak seperti tarian tradisional, permainan, dan upacara adat; (d). karya kesenian dalam bentuk gambar, lukisan, ukiran, patung, keramik, terakota, mosaik, kerajinan kayu, kerajinan perak, kerajinan perhiasan, kerajinan anyam-anyaman, kerajinan sulam-sulaman, kerajinan tekstil, karpet, kostum adat, instrumen musik, dan karya arsitektur, kolose dan karya-karya lainnya yang berkaitan dengan folklore. Oleh karena itu, maka disadari akan perlunya dibentuk suatu kerangka pengaturan tersendiri mengenai pengetahuan tradisional/folklore (sui generis). Istilah sui generis berasal dari bahasa latin yang berarti khusus atau unik. Unik di sini dalam artian bahwa kerangka perlindungan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dari Kekayaan Intelektual pada umumnya, namun masih berada dalam ranah HKI. Dari sinilah konsep atau lebih tepatnya istilah HKI sui generis dapat kita gunakan yang sesuai dengan karakteristik Kekayaan Intelektual Tradisional. Indonesia juga dapat merujuk pada rumusan WIPO Intergovernmental Commite on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC-IPGRTKF). Selain disusun pengaturan sui generis mengenai folklore, cara lain untuk melakukan perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional (folklore) dapat dilakukan melalui sistem dokumentasi. Dokumentasi yang memadai atas karya seni tradisional Indonesia berfungsi sebagai mekanisme perlindungan defensif untuk menanggulangi penyalahgunaan (misappropriation) instrumen HKI terhadap pengetahuan tradisional Indonesia di luar negeri. Artinya perlindungan hanya akan diberikan bagi pengetahuan tradisional yang telah terdokumentasi. Proses dokumentasi ini menjadi sebuah alternatif yang cukup signifikan. Apabila Indonesia hendak menerapkan sistem ini, maka pelaksanaannya akan sangat bergantung kepada efektivitas dari dokumentasi yang bersangkutan. Mekanisme yang dapat ditetapkan antara lain melalui proses registrasi dari dokumentasi yang telah dilakukan ke Kantor HKI (Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual). Namun yang perlu diketahui adalah bahwa dokumentasi itu bukanlah cara untuk memperoleh hak atas pengetahuan tradisional melainkan sebuah upaya untuk mempermudah pembuktian bahwa pengetahuan tradisional tertentu adalah milik masyarakat tertentu. Dokumentasi yang dimaksud di atas adalah dalam rangka pelestarian warisan budaya (preservation of cultural heritage) masyarakat lokal yang hidup dan berkembang secara alamiah, yang bisa membuktikan bahwa suatu warisan budaya tertentu memang berasal dan menjadi bagian dari kehidupan sosial bangsa Indonesia. Dokumentasi ini dilakukan berdasarkan pemahaman bahwa ekspresi budaya (folklore) dan pengetahuan tradisional tidak memerlukan pendaftaran karena hal tersebut adalah sudah menjadi milik umum di Indonesia, oleh karena itu Negara yang memegang hak atas karya folklore tersebut. Yang dilakukan pemerintah mengenai hal tersebut yaitu dengan cara melakukan identifikasi tentang folklore dan pengetahuan tradisional yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia dan kemudian dimasukan dalam data base negara. Sampai sejauh ini terdapatnya pihak-pihak dari instansi pemerintah yang akan mendaftarkan karya folklore sebagai Hak Cipta, hal tersebut ditolak oleh Ditjen HKI mengingat folklore tidak perlu didaftarkan namun secara otomatis dilindungi oleh negara (Damarsasongko, 2009). Di samping itu juga bisa dijadikan inspirasi untuk merancang kegiatan dokumentasi dalam rangka pelestarian warisan budaya. Rintisannya dapat dilakukan oleh Kelompok Kerja (Pokja) yaitu Kelompok Kerja HKI di bidang Pendayagunaan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklore yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman RI dengan Surat Keputusan 197

8 Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI No: M.54.PR Tahun 2002 tanggal 7 Agustus Anggota Pokja ini terdiri dari unsur Pemerintahan, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat, tugas utama kelompok ini adalah: (a). Menginventarisasi berbagai dokumentasi mengenai sumber daya genetik dan pemanfaatannya, pengetahuan tradisional dan ekspresi folklore yang telah merupakan wilayah publik (public domain); (b). Mengupayakan penyebarluasan dan pertukaran informasi untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas mengenai sumber daya genetik, pengetahuan tradisional dan ekspresi folklore yang berada di wilayah publik; (c). Memberi masukan untuk penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dan masukan tentang posisi serta sikap Indonesia dalam berbagai forum mengenai HKI, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya genetik, pengetahuan tradisional dan ekspresi folklore; (d). Mendukung kegiatan penyelesaian permasalahan yang terkait dengan HKI mengenai pemanfaatan sumber daya genetik dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan tersebut secara adil. Secara singkat tugas tersebut mencakup persoalan dokumentasi, publikasi, legal drafting, dan benefit sharing. Implementasinya di lapangan, bahwa Pokja ini ikut membantu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang folklore dan pengetahuan tradisional dan kemudian membantu pemerintah untuk mengidentifikasi karya-karya folklore dan pengetahuan tradisional dari seluruh wilayah Indonesia. 4. Simpulan Batik Kraton Surakarta sebagai ekspresi budaya tradisional (folklore) yang tidak diketahui siapa penciptanya, dalam Pasal 10 Ayat (2) UU Hak Cipta Tahun 2002 dijelaskan bahwa atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama di mana tidak diketahui siapa penciptanya, maka Hak Ciptanya dipegang oleh negara. Namun dalam implementasi di lapangan, UU Hak Cipta belum bisa mengakomodir perlindungan Hak Cipta atas motif batik tradisional sebagai bagian dari folklore, hal ini dikarenakan UU Hak Cipta masih mempunyai beberapa kelemahan bila hendak diterapkan dengan konsekuen guna melindungi folklore. Kelemahan pertama, Hak Cipta mempersyaratkan adanya individu pencipta, sementara itu dalam suatu masyarakat lokal, folklore biasanya tidak memiliki pencipta individual. Kedua, rezim Hak Cipta menyangkut perlindungan aspek komersial dari hak yang bersangkutan dalam hitungan waktu yang terbatas (dapat dilihat dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 UUHC Tahun 2002), sedangkan isu perlindungan pengetahuan tradisional merupakan isu perlindungan atas warisan budaya suatu masyarakat tertentu. Ekspresi folklore biasanya terkait dengan cultural identity. Dengan demikian perlindungannya harus bersifat permanen. Ketiga, Hak Cipta mempersyaratkan bentuk formal atau fixation, sementara itu folklore biasanya tidak dalam bentuk tertentu tetapi biasanya diekspresikan secara lisan dan diwariskan dari generasi ke generasi dalam masyarakat yang bersangkutan. Kondisi itulah yang membuat rezim Hak Cipta sulit untuk diterapkan melindungi folklore. Oleh karena itu diperlukan pengaturan secara khusus terhadap folklore, yaitu dengan dibentuknya suatu kerangka pengaturan tersendiri mengenai pengetahuan tradisional/ folklore (sui generis). Dari sinilah konsep atau lebih tepatnya istilah HKI sui generis dapat kita gunakan yang sesuai dengan karakteristik Kekayaan Intelektual Tradisional. Selain disusun pengaturan sui generis mengenai folklore, cara lain untuk melakukan perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional (folklore) dapat dilakukan melalui sistem dokumentasi. Dokumentasi yang memadai atas karya seni tradisional Indonesia berfungsi sebagai mekanisme perlindungan defensif untuk menanggulangi penyalahgunaan (misappropriation) instrumen HKI terhadap pengetahuan tradisional Indonesia di luar negeri. Artinya perlindungan hanya akan diberikan bagi pengetahuan tradisional yang telah terdokumentasi. Batik Kraton Surakarta tergolong salah satu seni kriya yang berhasil merevitalisasi diri dalam motif, teknik, dan penggunaan- 198

9 nya sehingga eksistensinya terjaga. Sehingga diperlukan adanya perlindungan secara khusus, di mana perlindungan ini diberikan terhadap ekspresi budaya tradisional yang lebih bersifat untuk melestarikan warisan budaya dan untuk mencegah terjadinya kepunahan warisan budaya itu. Untuk mendukung perlindungan tersebut, dibutuhkan suatu peraturan perundang-undangan sui generis yang khusus mengatur mengenai ekspresi budaya tradisional (folklore). Mengingat berbagai tantangan dan hambatan terutama berkaitan dengan pembentukan mekanisme perlindungan yang bersifat legal-binding di tingkat internasional, maka diharapkan agar setiap negara membentuk suatu mekanisme perlindungannya sendiri dalam sistem hukum masing-masing yang bersifat khusus untuk memenuhi kebutuhan yang khas dari negara tersebut. Berkaitan dengan perlindungan folklore, Pemerintah Indonesia juga harus melakukan identifikasi tentang folklore dan pengetahuan tradisional yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia dan kemudian dimasukan dalam data base negara. Hal ini juga telah dibuktikan dengan dibentuknya Kelompok Kerja (Pokja) yang disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM No: M.54.PR Tahun 2002 tanggal 7 Agustus Selain itu dalam pelaksanaannya juga diperlukan perangkat hukum lain yang bersifat teknis. Perangkat hukum yang dimaksud dapat berupa Surat Keputusan Walikota atau dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang perlindungan terhadap karya cipta seni batik tradisional. Pemerintah juga dapat melakukan beberapa alternatif berkenaan dengan gagasan perlindungan yang dapat diberikan terhadap hak-hak warga masyarakat lokal di Indonesia. Berbagai alternatif yang dapat dilakukan antara lain dengan membentuk perundang-undangan baru (sui generis) atau kemungkinan dengan mengamandemen undang-undang yang sudah ada guna menyesuaikan rezim HKI Hak Cipta dengan tuntutan global dan sekaligus aspirasi dan pandangan warga masyarakat Indonesia. Maka untuk membuat upaya perlindungan terhadap folklore agar dapat berjalan secara lebih optimal, ada beberapa hal yang dapat dilakukan: (a). Pengaturan mengenai folklore harus diperbaiki secara total. Perancangan ulang ketentuan-ketentuan mengenai folklore harus mempertimbangkan penerapan perlindungan dalam format sistem sui generis; (b). Pemerintah harus lebih aktif dalam melakukan upaya perlindungan folklore, minimal dengan mengeluarkan pernyataan atau dokumentasi resmi mengenai hal-hal yang dianggap folklore. Dokumentasi tersebut seyogyanya dikeluarkan berdasarkan hasil penelitian ilmiah; (c). Pemerintah harus lebih banyak dan lebih kreatif dalam melakukan kegiatan sosialisasi mengenai hak kekayaan intelektual dan khususnya mengenai perlindungan folklore kepada masyarakat, karena sebagian besar masyarakat masih sangat awam dengan itu; (d). Pemerintah harus dapat menempatkan diri secara arif di tengah masyarakat, yaitu minimal dengan menjaga netralitasnya dari berbagai konflik sosial atau sengketa hukum yang terkait hak kekayaan intelektual atau perlindungan folklore. Daftar Pustaka Affrilyana, P TRIP s-wto dan Hukum HKI Indonesia (Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia), Jakarta Agus, S Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT. ALUMNI) Ahimsa, P. dan Heddy, S Warisan Budaya Dalam Jejak Masa Lalu: Sejuta Warisan Budaya, Arwan Tuti Artha, (Yogyakarta: Kunci Ilmu) Batik Tulis Masal, 1989, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri dan Kerajinan Batik Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Yogyakarta Doellah, H.S Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan, (Surakarta: Danar Hadi) Johnherf, Melindungi Kekayaan Warisan Budaya Bangsa, (16 Juli 2007) Joomla, Batik, Warisan Bangsa yang Terancam, (Senin, 14 Juli 2008,11.46 WIB) Joomla, Sejarah Batik, (Dikutip dari buku 20 Tahun GKBI), (25 Juli 2008,08:11) Noeza, Tatakrama Penggunaan Motif Batik di Kraton Surakarta, 199

10 (Sunday, January 20, 2008, at 8:25 PM). Prastyo, B.A Warisan Budaya Dalam Perspektif HKI, Monday, 19 January :30 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan IV, (Jakarta: Ghalia Indonesia) Rosdalina, I. Batik, Warisan Budaya Nasional Menuju Internasional, (Senin, 14 Juli 2008, WIB) Santoso, B Dekonstruksi Hak Cipta: Studi Evaluasi Konsep Pengakuan Hak Dalam Hak Cipta Indonesia, Kapita Selekta Hukum, Fakultas Hukum Undip Sardjono, A. Bagaimana Melindungi Kekayaan Warisan Budaya Sebagai Kekayaan Intelektual Bangsa, disampaikan dalam seminar Pekan Produk Budaya Indonesia, Rabu 11 Juni 2007 pukul di Ruang Cenderawasih, Balai Sidang Senayan, Jakarta Sedyadi, E Warisan Tradisi, Penciptaan dan Perlindungan, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra) Sedyawati, E KeIndonesiaan Dalam Budaya, Buku 2 Dialog Budaya: Nasional dan Etnik Peranan Industri Budaya dan Media Massa Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra) Sedyawati, E. Upaya Perlindungan Hukum (HKI) Terhadap Produk Kerajinan Nasional yang Menjadi Warisan Budaya, disampaikan dalam Seminar Pekan Kerajinan Nasional, Semarang 18 Oktober 2002 Soedibyo, M Busana Keraton Surakarta Hadiningrat, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia). Soerjono, S. dan Mamudji, S Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke-2, (Jakarta: CV. Rajawali) Tungzz, Sekedar tumpahan kata tentang batik: Batik - sebentuk karya seni yang terpinggirkan, July 17, Winarso, K Bathik sebagai Busana dalam Tatanan dan Tuntunan, (Surakarta: Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat) Convention on Establishing the World Intellectual Property Organization Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP s) UNESCO, Convention Concernant la Protection de l Héritage Culturel et Naturel Mondial. Convention, UNESCO, Paris: UNESCO, 1972 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Perkembangan Batik dari Masa ke Masa, artikel pada Surat Kabar Harian Bernas, Yogyakarta, 3 Juni

BAB IV PENUTUP. 1. Seni teater tradisional randai Kuantan Singingi Riau merupakan warisan budaya

BAB IV PENUTUP. 1. Seni teater tradisional randai Kuantan Singingi Riau merupakan warisan budaya BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Seni teater tradisional randai Kuantan Singingi Riau merupakan warisan budaya yang masih eksis sampai sekarang. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa seni teater tradisional

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 1. Dasar konstitusi Perlindungan hukum terhadap folkfore di Indonesia adalah:

BAB IV PENUTUP. 1. Dasar konstitusi Perlindungan hukum terhadap folkfore di Indonesia adalah: BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan bab-bab sebelumnya maka penulis menyimpulkan bahwa 1. Dasar konstitusi Perlindungan hukum terhadap folkfore di Indonesia adalah: Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat berbagai macam keanekaragaman suku dan sangat kaya akan keragaman

BAB I PENDAHULUAN. terdapat berbagai macam keanekaragaman suku dan sangat kaya akan keragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara wilayah yang sangat luas dan terdapat berbagai macam keanekaragaman suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan warisan budaya.

Lebih terperinci

URGENSI PENGATURAN EKSPRESI BUDAYA (FOLKLORE) MASYARAKAT ADAT. Oleh : Simona Bustani *

URGENSI PENGATURAN EKSPRESI BUDAYA (FOLKLORE) MASYARAKAT ADAT. Oleh : Simona Bustani * URGENSI PENGATURAN EKSPRESI BUDAYA (FOLKLORE) MASYARAKAT ADAT Oleh : Simona Bustani * Abstrak Perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional (folklore) dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 tahun

Lebih terperinci

EKSPRESI KARYA SENI TRADISIONAL SEBAGAI KEKAYAAN INTELEKTUAL BANGSA. Oleh: Etty S.Suhardo*

EKSPRESI KARYA SENI TRADISIONAL SEBAGAI KEKAYAAN INTELEKTUAL BANGSA. Oleh: Etty S.Suhardo* EKSPRESI KARYA SENI TRADISIONAL SEBAGAI KEKAYAAN INTELEKTUAL BANGSA Oleh: Etty S.Suhardo* Ketika bangsa ini resah karena banyak karya seni kita diklaim negara tetangga, kini kita lega, bahagia dan bangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ciptaan batik pada awalnya merupakan ciptaan khas bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Ciptaan batik pada awalnya merupakan ciptaan khas bangsa Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ciptaan batik pada awalnya merupakan ciptaan khas bangsa Indonesia yang dibuat secara konvensional. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN HAK CIPTA FOLKLOR

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN HAK CIPTA FOLKLOR PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN HAK CIPTA FOLKLOR Oleh : Dendy Robby Pohan Ida Bagus Wyasa Putra Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract This paper is effected by the actions

Lebih terperinci

BAB II PENGETAHUAN TRADISIONAL DALAM PENGATURAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. Harmonisasi antara pengetahuan modern dan pengetahuan tradisional

BAB II PENGETAHUAN TRADISIONAL DALAM PENGATURAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. Harmonisasi antara pengetahuan modern dan pengetahuan tradisional BAB II PENGETAHUAN TRADISIONAL DALAM PENGATURAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Pengertian Pengetahuan Tradisional Harmonisasi antara pengetahuan modern dan pengetahuan tradisional merupakan hal penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan isu yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan isu yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan isu yang sangat penting karena berkaitan dengan perdagangan internasional dan pembangunan ekonomi suatu negara. Karya-karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami inovasi dalam bentuk dan fungsinya, tidak semata-mata untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengalami inovasi dalam bentuk dan fungsinya, tidak semata-mata untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenun ikat di daerah Lombok Tengah dalam perkembangannya mengalami inovasi dalam bentuk dan fungsinya, tidak semata-mata untuk kepentingan busana saja, tetapi

Lebih terperinci

PENGATURAN HASIL KARYA INTELEKTUAL ATAS LAYANGAN JANGGAN SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL KE DALAM HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

PENGATURAN HASIL KARYA INTELEKTUAL ATAS LAYANGAN JANGGAN SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL KE DALAM HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL ABSTRAK PENGATURAN HASIL KARYA INTELEKTUAL ATAS LAYANGAN JANGGAN SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL KE DALAM HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Oleh Putu Ngurah Wisnu Kurniawan Ida Ayu Sukihana A.A. Sri Indrawati

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL KOMUNAL ATAS EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DI BALI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL KOMUNAL ATAS EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DI BALI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL KOMUNAL ATAS EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DI BALI Oleh : Dewa Ayu Agung Trio Parimita Dewi I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang I. 1. 1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Batik merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Jawa yaitu amba yang berarti menulis dan tik yang berarti titik. Batik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai keanekaragaman dalam hal seni maupun budaya. Hal ini sejalan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai keanekaragaman dalam hal seni maupun budaya. Hal ini sejalan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki berbagai keanekaragaman dalam hal seni maupun budaya. Hal ini sejalan dengan adanya keanekaragaman

Lebih terperinci

: /2 /0 04

: /2 /0 04 » Apakah yang dimaksud dengan Hak cipta?» Apa yang dapat di hak ciptakan?» Berapa Lama hak cipta berakhir?» Apa yang ada dalam Domain Publik?» Apakah Cukup Gunakan?» Alternatif untuk Hak Cipta» Hak cipta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau seni. 1 Hak atas kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau seni. 1 Hak atas kekayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Intellectual Property Rights (IPR) dalam bahasa Indonesia memiliki 2 (dua) istilah yang pada awalnya adalah Hak Milik Intelektual dan kemudian berkembang menjadi

Lebih terperinci

Tinjauan Umum Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia Undang-Undang Hak Cipta atas Kekayaan Intelektual (termasuk program-program komputer) UU No.

Tinjauan Umum Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia Undang-Undang Hak Cipta atas Kekayaan Intelektual (termasuk program-program komputer) UU No. Undang-undang Hak Cipta dan Perlindungan Terhadap Program Komputer PERTEMUAN 7 Tinjauan Umum Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia Undang-Undang Hak Cipta atas Kekayaan Intelektual (termasuk program-program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak kekayaan intelektual merupakan suatu hak milik hasil pemikiran yang bersifat

I. PENDAHULUAN. Hak kekayaan intelektual merupakan suatu hak milik hasil pemikiran yang bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak kekayaan intelektual merupakan suatu hak milik hasil pemikiran yang bersifat tetap dan eksklusif serta melekat pada pemiliknya. Hak kekayaan intelektual timbul

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK CIPTA ATAS MOTIF BATIK SEBAGAI WARISAN BUDAYA BANGSA (STUDI TERHADAP KARYA SENI BATIK TRADISIONAL KRATON SURAKARTA) TESIS

PERLINDUNGAN HAK CIPTA ATAS MOTIF BATIK SEBAGAI WARISAN BUDAYA BANGSA (STUDI TERHADAP KARYA SENI BATIK TRADISIONAL KRATON SURAKARTA) TESIS PERLINDUNGAN HAK CIPTA ATAS MOTIF BATIK SEBAGAI WARISAN BUDAYA BANGSA (STUDI TERHADAP KARYA SENI BATIK TRADISIONAL KRATON SURAKARTA) TESIS Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYA CIPTA BATIK TRADISIONAL INDONESIA. Oleh: Nur Khasanah Setiani, SH 1. Abstrakasi

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYA CIPTA BATIK TRADISIONAL INDONESIA. Oleh: Nur Khasanah Setiani, SH 1. Abstrakasi PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYA CIPTA BATIK TRADISIONAL INDONESIA Oleh: Nur Khasanah Setiani, SH 1 Abstrakasi Indonesia telah meratifikasi pembentukan World Trade Organization (WTO) namun justru maraknya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai artistik dan nilai jual yang tinggi, seperti cerita wayang,

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai artistik dan nilai jual yang tinggi, seperti cerita wayang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia banyak ditemukan berbagai kesenian tradisional yang mempunyai nilai artistik dan nilai jual yang tinggi, seperti cerita wayang, legenda, tari, lagu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbiasa untuk mengasah kemampuan dan intelektualitas pada dirinya. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. terbiasa untuk mengasah kemampuan dan intelektualitas pada dirinya. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia mempunyai kreatifitas untuk menciptakan sesuatu, dengan memanfaat kemampuan tersebut manusia mampu bertahan didalam kehidupannya dari

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Eksistensi Seni Teater Tradisional Randai Kuantan Singingi Sebagai Salah

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Eksistensi Seni Teater Tradisional Randai Kuantan Singingi Sebagai Salah BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Eksistensi Seni Teater Tradisional Randai Kuantan Singingi Sebagai Salah Satu Budaya Melayu Randai biasanya dilaksanakan pada malam hari, memakan waktu 2 (dua)

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN & PEMANFAATAN KEKAYAAN INTELEKTUAL PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL oleh: Dr. Ansori Sinungan DIREKTORAT KERJA SAM A & PENGEMBANGAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini penggunaan komputer sudah memasuki hampir semua. bidang kehidupan, baik di kalangan perguruan tinggi, perkantoran,

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini penggunaan komputer sudah memasuki hampir semua. bidang kehidupan, baik di kalangan perguruan tinggi, perkantoran, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada saat ini penggunaan komputer sudah memasuki hampir semua bidang kehidupan, baik di kalangan perguruan tinggi, perkantoran, sampai ke rumah tangga. Sekarang

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL. Dra. Dewi Indrawati MA 1

PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL. Dra. Dewi Indrawati MA 1 Subdit PEBT PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL Dra. Dewi Indrawati MA 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan kekayaan dan keragaman budaya serta

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. sehingga skripsi ini berhasil penulis selesaikan. Penulisan skripsi ini yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK CIPTA ATAS BATIK

KATA PENGANTAR. sehingga skripsi ini berhasil penulis selesaikan. Penulisan skripsi ini yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK CIPTA ATAS BATIK KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberi berkat dan rahmat-nya, sehingga skripsi ini berhasil penulis selesaikan. Penulisan skripsi ini yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK

Lebih terperinci

MODEL PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA CIPTA MOTIF BATIK JEMBER SEBAGAI KEKAYAAN INTELEKTUAL TRADISIONAL ABSTRAK

MODEL PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA CIPTA MOTIF BATIK JEMBER SEBAGAI KEKAYAAN INTELEKTUAL TRADISIONAL ABSTRAK MODEL PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA CIPTA MOTIF BATIK JEMBER SEBAGAI KEKAYAAN INTELEKTUAL TRADISIONAL Peneliti : Nuzulia Kumala Sari 1 Fakultas : Hukum Mahasiswa Terlibat : Arizki Dwi Wicaksono 2 Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengakuan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) untuk batik Indonesia sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan

Lebih terperinci

HAK CIPTA ATAS FOLKLOR BERUPA KARYA SENI TARI DANGISA COPYRIGHT ON FOLKLORE DANGISA DANCE

HAK CIPTA ATAS FOLKLOR BERUPA KARYA SENI TARI DANGISA COPYRIGHT ON FOLKLORE DANGISA DANCE HAK CIPTA ATAS FOLKLOR BERUPA KARYA SENI TARI DANGISA COPYRIGHT ON FOLKLORE DANGISA DANCE Rizko Monoarfa 1, Hasbir Paserangi 2, Oky Deviany Burhamzah 2 1 Bagian Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah Intellectual Property Rights (IPR) diartikan sebagai Hak Milik

BAB I PENDAHULUAN. Istilah Intellectual Property Rights (IPR) diartikan sebagai Hak Milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah Intellectual Property Rights (IPR) diartikan sebagai Hak Milik Intelektual dan kemudian berkembang menjadi Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Berbicara tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Bima merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang

Lebih terperinci

MUSEUM BATIK JAWA TENGAH DI KOTA SEMARANG

MUSEUM BATIK JAWA TENGAH DI KOTA SEMARANG TA 107 ( Periode April September 2009 ) LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR MUSEUM BATIK JAWA TENGAH DI KOTA SEMARANG Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. Kebudayaan lokal sering disebut kebudayaan etnis atau folklor (budaya tradisi). Kebudayaan lokal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diupayakan langkah-langkah ke arah peningkatan kualitas pendidikan, dari mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diupayakan langkah-langkah ke arah peningkatan kualitas pendidikan, dari mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dalam menunjang keberhasilan pembangunan Bangsa dan Negara. Oleh karena itu perlu diupayakan langkah-langkah

Lebih terperinci

ARTI PENTING FOLKLORE DAN TRADITIONAL KNOWLEDGE BAGI INDONESIA SEBAGAI THE COUNTRY OF ORIGIN. Oleh : Kanti Rahayu,SH.MH. Abstrak

ARTI PENTING FOLKLORE DAN TRADITIONAL KNOWLEDGE BAGI INDONESIA SEBAGAI THE COUNTRY OF ORIGIN. Oleh : Kanti Rahayu,SH.MH. Abstrak ARTI PENTING FOLKLORE DAN TRADITIONAL KNOWLEDGE BAGI INDONESIA SEBAGAI THE COUNTRY OF ORIGIN Oleh : Kanti Rahayu,SH.MH. Abstrak Indonesia disebut sebagai The Countri of Origin karena merupakan negara asal

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan.

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan. Kain batik sudah menjadi semacam identitas tersendiri bagi masyarakat Jawa. Motif dan coraknya yang beragam dan memikat memiliki daya jual yang tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selain keberagaman kebudayaan Indonesia, juga dikenal sebagai negara

BAB I PENDAHULUAN. Selain keberagaman kebudayaan Indonesia, juga dikenal sebagai negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia sangat beragam, mulai dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing kebudayaan memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Selain keberagaman kebudayaan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat serta penelitian yang sudah. dijalani, maka dapat simpulkan :

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat serta penelitian yang sudah. dijalani, maka dapat simpulkan : BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat serta penelitian yang sudah dijalani, maka dapat simpulkan : 1. Bahwa rezim hukum hak cipta yang sekarang ini ada belum bisa menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara di dunia yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan di Indonesia tersebar di hampir semua aspek kehidupan,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL ORANG ASLI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI PAPUA,

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENGATURAN HUKUM HAK CIPTA DALAM MELINDUNGI KARYA SENI TRADISIONAL DAERAH

EFEKTIVITAS PENGATURAN HUKUM HAK CIPTA DALAM MELINDUNGI KARYA SENI TRADISIONAL DAERAH EFEKTIVITAS PENGATURAN HUKUM HAK CIPTA DALAM MELINDUNGI KARYA SENI TRADISIONAL DAERAH Emma Valentina Teresha Senewe Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Email: ABSTRAK Salah satu potensi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perlindungan terhadap karya cipta manusia. menjadi semakin penting dengan terjadinya revolusi

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perlindungan terhadap karya cipta manusia. menjadi semakin penting dengan terjadinya revolusi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya perlindungan terhadap karya cipta manusia menjadi semakin penting dengan terjadinya revolusi teknologi berbasis sumber daya kecerdasan manusia. Seperti

Lebih terperinci

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : GUBERNUR JAWA TENGAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi dialihkan oleh Kerajaan Sunda/Pajajaran kepada Kerajaan Sumedanglarang. Artinya, Kerajaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELESTARIAN TRADISI

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELESTARIAN TRADISI SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELESTARIAN TRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Syafrida Eliani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Syafrida Eliani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia dengan keanekaragaman suku bangsa, memiliki kekayaan berbagai ornamen yang diterapkan sebagai penghias dalam berbagai benda, seperti lukisan, sulaman,

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Batik ialah seni kerajinan yang ada sejak zaman kerajaan Majapahit abad

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Batik ialah seni kerajinan yang ada sejak zaman kerajaan Majapahit abad 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Batik ialah seni kerajinan yang ada sejak zaman kerajaan Majapahit abad 18 atau awal abad 19. Batik diakui sebagai warisan budaya asli Indonesia milik dunia

Lebih terperinci

PUSAT INFORMASI BATIK di BANDUNG BAB I PENDAHULUAN

PUSAT INFORMASI BATIK di BANDUNG BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PUSAT INFORMASI BATIK di BANDUNG 1.1. Latar Belakang Bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai dan bangga akan kebudayaannya sendiri. Dari kebudayaan suatu bangsa bisa dilihat kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul MONUMEN BATIK SOLO Monumen Batik : Solo :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul MONUMEN BATIK SOLO Monumen Batik : Solo : BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul Pengertian Judul: MONUMEN BATIK SOLO di Surakarta Sebagai wahana edukasi, rekreasi dan pelestarian budaya batik serta landmark kota Solo sesuai dangan visi kota

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Batik merupakan ikhwal kriya tekstil yang tak asing bagi orang Indonesia, bahkan telah menjadi simbol suatu bangsa Indonesia. Batik dikenal erat kaitannya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan salah satu seni budaya Indonesia yang sudah menyatu dengan masyarakat Indonesia sejak beberapa abad lalu. Batik menjadi salah satu jenis seni kriya yang

Lebih terperinci

KEBUDAYAAN. Budaya Benda (Tangible) Budaya Takbenda (Intangible)

KEBUDAYAAN. Budaya Benda (Tangible) Budaya Takbenda (Intangible) KEBUDAYAAN Budaya Benda (Tangible) Warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DIREKTORAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA DAN TRADISI

KEBIJAKAN DIREKTORAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA DAN TRADISI KEBIJAKAN DIREKTORAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA DAN TRADISI Dra. Sri Hartini, MM Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA DESAIN INDUSTRI KREATIF DITINJAU DARI PERSYARATAN KEBARUAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA DESAIN INDUSTRI KREATIF DITINJAU DARI PERSYARATAN KEBARUAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA DESAIN INDUSTRI KREATIF DITINJAU DARI PERSYARATAN KEBARUAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 Abstract : Ida Bagus Komang Wiwaha Kusuma Brahmanda Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN FOLKLOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA

PERLINDUNGAN FOLKLOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA PERLINDUNGAN FOLKLOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA Oleh: NUR HAYATI Dosen Fakultas Hukum - UIEU ABSTRAK Keberadaan Undang-Undang Hak Cipta merupakan suatu bentuk perlindungan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN KEKAYAAN INTELEKTUAL PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Gambar sampul adalah hasil modifikasi gambar yang diambil dari kratonpedia.com

Gambar sampul adalah hasil modifikasi gambar yang diambil dari  kratonpedia.com BATIK oleh : Herry Lisbijanto Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KOMUNITAS ADAT

PENGELOLAAN KOMUNITAS ADAT PENGELOLAAN KOMUNITAS ADAT A. Pendahuluan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang masyarakatnya terdiri dari beraneka ragam suku bangsa dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Keragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu-isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan hak-hak penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Isu-isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan hak-hak penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu-isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan hak-hak penduduk asli telah menjadi sumber perdebatan dalam beberapa tahun terakhir ini. Perkembangan untuk memecahkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS PERLINDUNGAN TERHADAP PENULIS BUKU

BAB II PENGATURAN ATAS PERLINDUNGAN TERHADAP PENULIS BUKU BAB II PENGATURAN ATAS PERLINDUNGAN TERHADAP PENULIS BUKU A. Hak cipta sebagai Hak Eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta Dalam konsep perlindungan hak cipta disebutkan bahwa hak cipta tidak melindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti rok, dress, atau pun celana saja, tetapi sebagai suatu kesatuan dari keseluruhan yang

Lebih terperinci

Urgensi Pengaturan Perlindungan Pengetahuan Tradisional Dalam Hukum Positif Indonesia Oleh: Akhmad Aulawi *

Urgensi Pengaturan Perlindungan Pengetahuan Tradisional Dalam Hukum Positif Indonesia Oleh: Akhmad Aulawi * Urgensi Pengaturan Perlindungan Pengetahuan Tradisional Dalam Hukum Positif Indonesia Oleh: Akhmad Aulawi * Naskah diterima: 25 November 2015; disetujui: 18 Desember 2015 Latar Belakang Kesadaran atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedikit pergeseran yaitu tidak hanya sebagai pelindung tubuh dari. gangguan alam dan untuk kesopanan, tetapi juga untuk menyalurkan

BAB I PENDAHULUAN. sedikit pergeseran yaitu tidak hanya sebagai pelindung tubuh dari. gangguan alam dan untuk kesopanan, tetapi juga untuk menyalurkan A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan berkembangnya zaman, fungsi busana mengalami sedikit pergeseran yaitu tidak hanya sebagai pelindung tubuh dari gangguan alam dan untuk kesopanan, tetapi

Lebih terperinci

Kata Kunci: Ekspresi budaya tradisional, Tarian tradisional, Perlindungan Hukum

Kata Kunci: Ekspresi budaya tradisional, Tarian tradisional, Perlindungan Hukum vi TINJAUAN YURIDIS TARIAN TRADISIONAL DALAM RANGKA EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL YANG DIGUNAKAN WARGA NEGARA ASING DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA ABSTRAK Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELESTARIAN BUDAYA MELAYU KABUPATEN SIAK

PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELESTARIAN BUDAYA MELAYU KABUPATEN SIAK PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELESTARIAN BUDAYA MELAYU KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a. bahwa budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam suku, yang dapat di jumpai bermacam-macam adat istiadat, tradisi, dan kesenian yang ada dan

Lebih terperinci

LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO

LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO Subjek dan Objek Hukum Arti & Peranan Hak Kekayaan Intelektual Klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA SALINAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Hak Cipta Program Komputer

Hak Cipta Program Komputer Hak Cipta UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 Etika Profesi/Hukum SISFO Suryo Widiantoro Senin, 12 Oktober 2009 Terminologi (1) Pencipta: Adalah seseorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama atas inspirasinya

Lebih terperinci

INTISARI HAK CIPTA. UU No 28 Tahun 2014

INTISARI HAK CIPTA. UU No 28 Tahun 2014 INTISARI HAK CIPTA UU No 28 Tahun 2014 Definisi Pasal 1 : Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekayaan alam dan keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia menjadikan bumi pertiwi terkenal di mata internasional. Tidak terlepas oleh pakaian adat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara. Perkembangan suatu kota dari waktu ke waktu selalu memiliki daya tarik untuk dikunjungi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khas yang mewakili setiap suku bangsa di Indonesia dan dapat disebut juga

BAB I PENDAHULUAN. khas yang mewakili setiap suku bangsa di Indonesia dan dapat disebut juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang beragam dan luar biasa.keberagaman budaya dari setiap suku bangsa merupakan aset yang harus dan sangat penting

Lebih terperinci

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 45 BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Sejarah Perkembangan Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia Permasalahan hak

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Afrillyanna Purba, S.H., M.H., Perlindungan Hukum Seni Batik Tradisional

DAFTAR PUSTAKA. Afrillyanna Purba, S.H., M.H., Perlindungan Hukum Seni Batik Tradisional DAFTAR PUSTAKA Buku Afrillyanna Purba, S.H., M.H., 2009. Perlindungan Hukum Seni Batik Tradisional Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. P.T. Alumni, Bandung Afrillyanna Purba, S.H., M.H.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG EKSISTENSI PROYEK Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilestarikan dan dikembangkan terus menerus guna meningkatkan ketahanan

I. PENDAHULUAN. dilestarikan dan dikembangkan terus menerus guna meningkatkan ketahanan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki beranekaragam kebudayaan. Budaya Indonesia yang beraneka ragam merupakan kekayaan yang perlu dilestarikan dan dikembangkan

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. (Intelectual Property Rights Law)

TUGAS MATA KULIAH HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. (Intelectual Property Rights Law) TUGAS MATA KULIAH HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (Intelectual Property Rights Law) Hak Kekayaan Intelektual : Jenis Jenis dan Pengaturannya O l e h : APRILIA GAYATRI N P M : A10. 05. 0201 Kelas : C Dosen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat meningkatkan ekonomi dengan cara melakukan pemasaran lebih luas,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat meningkatkan ekonomi dengan cara melakukan pemasaran lebih luas, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya yang dapat meningkatkan ekonomi dengan cara melakukan pemasaran lebih luas, inovasi produk, dan

Lebih terperinci

PUSAT BATIK DI PEKALONGAN (Showroom,Penjualan,Pelatihan Desain,dan Information center)

PUSAT BATIK DI PEKALONGAN (Showroom,Penjualan,Pelatihan Desain,dan Information center) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu hasil karya rakyat bangsa yang sampai saat ini masih membuat dunia terkagum-kagum dan bahkan terpesona adalah Batik. Batik merupakan produk budaya Indonesia

Lebih terperinci

PENCIPTAAN SERAGAM BATIK UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

PENCIPTAAN SERAGAM BATIK UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penciptaan Batik merupakan salah satu warisan leluhur Indonesia yang telah dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia, tetapi banyak masyarakat yang belum mengerti

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 3/Jul-Sep/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 3/Jul-Sep/2015 SUATU TINJAUAN TENTANG HAK PENCIPTA LAGU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1 Oleh: Ronna Sasuwuk 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek Pelestarian budaya bukan hanya yang berhubungan dengan masa lalu, namun justru membangun masa depan yang menyinambungkan berbagai potensi masa lalu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 101 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan disimpulkan hasil penellitian yang telah dilakukan dalam penulisan skripsi yang berjudul Tenun Songket Palembang 1980-2000 (Kajian Sosial Budaya Tentang

Lebih terperinci

NILAI STRATEGIS SENI TEATER TRADISIONAL RANDAI KUANTAN SINGINGI RIAU SEBAGAI SALAH SATU BUDAYA MELAYU (KAJIAN TERHADAP HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL)

NILAI STRATEGIS SENI TEATER TRADISIONAL RANDAI KUANTAN SINGINGI RIAU SEBAGAI SALAH SATU BUDAYA MELAYU (KAJIAN TERHADAP HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL) 1 NILAI STRATEGIS SENI TEATER TRADISIONAL RANDAI KUANTAN SINGINGI RIAU SEBAGAI SALAH SATU BUDAYA MELAYU (KAJIAN TERHADAP HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL) Maryati Bachtiar Dosen Bagian Perdata Fakutlas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu isu yang menarik dan saat ini tengah berkembang dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu isu yang menarik dan saat ini tengah berkembang dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu isu yang menarik dan saat ini tengah berkembang dalam lingkup kajian hak kekayaan intelektual (HAKI) adalah perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia dan mengingat susunan kehidupan dan pola perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia dan mengingat susunan kehidupan dan pola perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang didapati orang secara rasional dianggap abadi dan tetap berlaku. 1

BAB I PENDAHULUAN. yang didapati orang secara rasional dianggap abadi dan tetap berlaku. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan. Adanya suatu keistimewaan ini melahirkan hak dari manusia tersebut untuk mendapat pengakuan,

Lebih terperinci

I.1 LATAR BELAKANG I.1.1

I.1 LATAR BELAKANG I.1.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG I.1.1 Latar Belakang Pemilihan Kasus Kebudayaan memiliki unsur budi dan akal yang digunakan dalam penciptaan sekaligus pelestariannya. Keluhuran dan kemajuan suatu

Lebih terperinci

N. Tri Suswanto Saptadi. Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi Universitas Atma Jaya Makassar. 3/23/2014 nts/epk/ti-uajm 2

N. Tri Suswanto Saptadi. Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi Universitas Atma Jaya Makassar. 3/23/2014 nts/epk/ti-uajm 2 N. Tri Suswanto Saptadi Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi Universitas Atma Jaya Makassar 3/23/2014 nts/epk/ti-uajm 1 Bahan Kajian UU No.19 tentang hak cipta Ketentuan umum, lingkup

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG HAKI

TINJAUAN TENTANG HAKI TINJAUAN TENTANG HAKI Mata Kuliah : Legal Aspek dalam Produk TIK Henny Medyawati, Universitas Gunadarma Materi dikutip dari beberapa sumber Subjek dan objek hukum Subjek Hukum adalah : Segala sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I GAMBARAN USAHA. India, Cina, Thailand, dan terakhir Malaysia, mengakui bahwa Seni Batik berasal

BAB I GAMBARAN USAHA. India, Cina, Thailand, dan terakhir Malaysia, mengakui bahwa Seni Batik berasal BAB I GAMBARAN USAHA 1.1 Deskripsi Konsep Bisnis Seni batik di Indonesia usianya telah sangat tua, namun belum diketahui secara pasti kapan mulai berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa. Banyak negara

Lebih terperinci

MUSEUM BATIK TULIS BAKARAN DI KOTA PATI

MUSEUM BATIK TULIS BAKARAN DI KOTA PATI TA 36 ( Periode Januari Juni 2011 ) SINOPSIS TUGAS AKHIR MUSEUM BATIK TULIS BAKARAN DI KOTA PATI Diajukan Oleh : RATIH WIDIASTUTI L2B 309 006 Dosen Pembimbing I Prof. Ir. Edy Darmawan, M. Eng Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI I. UMUM Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri dengan meningkatkan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN A. PENGANTAR Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) merupakan salah satu unsur dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Secara umum, PkM tidak hanya untuk

Lebih terperinci