MEKANISME DAN ALTERNATIF SUMBER PENDANAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MEKANISME DAN ALTERNATIF SUMBER PENDANAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN"

Transkripsi

1 MEKANISME DAN ALTERNATIF SUMBER PENDANAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN Andie Wibianto/MPAG Rony Megawanto

2 Daftar Isi Bab 1. Pendahuluan... 3 Bab 2. Kelembagaan Lembaga Wali Amanah (Trust Fund) Badan Layanan Umum Yayasan Bab 3. Alternatif Sumber Pendanaan Lembaga Donor Tanggungjawan Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Pengalihan Utang Untuk Lingkungan (Debt-for-Nature Swaps) Pasar Karbon (Carbon Market) Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for Environmental Service) Biodiversity Offset Denda Kerusakan Lingkungan Dana Abadi (Endowment Fund) Daftar Pustaka... 51

3 Bab 1. Pendahuluan Tekanan terhadap sumber daya perikanan semakin tinggi seiring dengan meningkatkan permintaan pasar (demand) terhadap produk-produk perikanan. Teknologi perikanan juga semakin canggih yang mengakibatkan tingkat eksploitasi semakin mengkuatirkan. FAO (2010) melaporkan bahwa persentase stok ikan laut dunia pada tahun 2008 yang status pemanfaatannya telah jenuh, tangkap lebih, dan terkuras mencapai 84%. Semakin menurunnya stok ikan dunia diperparah dengan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing) atau kegiatan penangkapan ikan secara illegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur. Untuk mengatasi persoalan perikanan diatas, beberapa instrumen pengelolaan perikanan telah diterapkan oleh beberapa negara seperti pengendalian output (output control), pengendalian input (input control), dan tindakan teknis (technical measures). Pengendalian output dilakukan dalam rangka membatasi jumlah tangkapan kapal-kapal ikan secara keseluruhan, seperti kuota penangkapan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch). Pengendalian input dilakukan untuk membatasi input yang digunakan dalam penangkapan ikan, seperti jumlah armada penangkapan, ukuran kapal, jenis alat tangkap, dan sebagainya. Tindakan teknis dalam rangka membatasi hubungan antara pengendalian input dan pengendalian ouput, seperti pemilihan ukuran dan jenis kelamin ikan tangkapan, serta pengaturan waktu tangkap. Selain instrumen diatas, dikembangkan pula instrumen pengelolaan perikanan baru yang dikenal dengan Marine Protected Area (MPA) atau Kawasan Konservasi perairan, yaitu mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut sebagai tempat perlindungan bagi ikan-ikan ekonomis penting untuk memijah dan berkembang biak dengan baik. Menurut Ward (2001), intrumen pengelolaan yang berbasis pada upaya penangkapan dan jumlah tangkapan (effort dan catch) dianggap sudah tidak bisa lagi mengatasi masalah perikanan dunia, seperti over-eksploitasi, ambruknya beberapa perikanan dunia, perubahan sifat (nature) penangkapan ikan, hilangnya biodiversiti, dan kerusakan lingkungan perairan laut. Roberts dan Hawkins (2000) menyusun daftar kemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan, yaitu (i) melindungi eksploitasi populasi dan memperbaiki produksi benih yang akan membantu restoking untuk daerah penangkapan, (ii) mendukung usaha perikanan, yaitu dengan adanya spillover ikan dewasa dan juvenil ke daerah penangkapan ikan, (iii) menyediakan perlindungan terhadap spesis-spesis yang sensitif terhadap kegiatan penangkapan, (iv) mencegah kerusakan habitat dan membantu tahap pemulihan habitat, (v) memelihara keanekaragaman dengan cara membantu pengembangan komunitas biologi alami yang berbeda dengan yang ada di daerah penangkapan, dan (vi) membantu pemulihan ekosistem yang rusak oleh gangguan dari manusia dan alam. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan target Kawasan Konservasi Perairan seluas 20 juta hektar tahun 2020 dan dikelola secara efektif pada event Coral Triangle Initiative Summit (Konferensi Tingkat Tinggi Prakarsa Segitiga Terumbu Karang) di Manado tahun 2009 lalu. Pengukuran luasan kawasan konservasi relatif mudah yaitu melalui surat pencadangan kawasan oleh Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri Kelautan dan Perikanan. Sementara pengukuran untuk efektifitas pengelolaan relatif lebih sulit sebab melibatkan beberapa indikator. Karena itu, pemerintah mengeluarkan panduan untuk mengukur efektifitas pengelolaan kawasan yang dikenal dengan E-KKP3K. Panduan dan alat ukur E-

4 KKP3K terdiri dari 5 level secara berurutan, yaitu merah, kuning, hijau, biru, dan emas. Level merah adalah level terendah dan level emas adalah yang tertinggi. Salah satu indikator penting dalam alat ukur E-KKP3K adalah pendanaan berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Terminologi pendanaan berkelanjutan (sustainable financing) umumnya tidak digunakan dalam dunia bisnis melainkan dalam bidang pengelolaan sumber daya alam. Tujuan dari pendanaan berkelanjutan adalah untuk menciptakan aliran kas yang bisa diprediksi melalui berbagai cara, salah satunya dengan mengurangi ketergantungan pada satu sumber saja (SEACAM, 2001). Dengan kata lain, pendanaan berkelanjutan merupakan portofolio dari beberapa sumber pendapatan jangka pendek dan jangka panjang untuk menutupi biaya operasional dan biaya lainnya. Namun perlu digarisbawahi bahwa mekanisme pendanaan berkelanjutan harus juga bisa memberikan insentif ekonomi, meningkatkan efektifitas pengelolaan biaya, mendukung pengembangan mata pencaharian alternative bagi masyarakat lokal, serta memberikan insentif dan sumber daya untuk kegiatan konservasi (Domeier, 2002). Konsep pendanaan berkelanjutan digunakan untuk mengatasi masalah kekurangan dana dalam bidang konservasi dan pengelolaan sumber daya alam. Di banyak negara, sumber daya alam adalah barang public (public good) yang rentan terhadap masalah free-rider. Free-rider muncul ketika konservasi kawasan menimbulkan biaya yang tidak ditalangi oleh penerima manfaat dari layanan ekologi (ecological services). Dalam konteks ini, pemerintah, masyarakat lokal, dan masyarakat internasional adalah penerima manfaat dari kawasan konservasi tetapi biaya yang dikeluarkan didistribusikan secara tidak merata (Emmerton, 2003). Biaya untuk pengelolaan kawasan konservasi diakui membutuhkan dana yang cukup besar. Studi yang dilakukan Balmford et.al (2007) menyebutkan bahwa rata-rata biaya yang dibutuhkan untuk pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan adalah sebesar 7,75 dollar per hektar atau untuk 20 Juta hektar dibutuhkan sekitar 1.55 Trilyun rupiah per tahun. Studi ini juga memberikan gambaran bahwa idealnya setiap negara menginvestasikan 0.02% dari produk domestik brutonya untuk konservasi yang bila diaplikasikan ke Indonesia, maka setidaknya diperlukan investasi sebesar 1.7 Triliun per tahun (dengan asumsi PDB tahun 2012). Di Indonesia, Kelompok Kerja Pendanaan Berkelanjutan yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (Ditjen KP3K), Kementerian Kelautan dan Perikanan, memperkirakan kebutuhan biaya untuk pengelolaan kawasan konservasi seluas 15,7 juta hektar saat ini mencapai 225 milyar rupiah per tahun. Pada kenyataanya ketersediaan anggaran dari APBN, APBD, dan LSM sebagai pelaksana program donor sekitar 75 milyar rupiah per tahun. Dengan demikian, terdapat kekurangan anggaran sebesar 150 milyar per tahunnya. Kondisi ini menunjukan bahwa pendanaan berkelanjutan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia masih perlu dibangun agar jumlah dan kepastian ketersediaan dana cukup memadai dalam jangka panjang. Pembangunan pendanaan berkelanjutan menyangkut setidaknya dua hal yaitu mekanisme pendanaan (financing mechanism) dan institusi pendanaan (financing vehicle). Keduanya perlu dibangun di tingkat nasional dan di tingkat kawasan oleh Pemerintah Daerah. Demikian pula keterlibatan seluruh pemangku kepentingan baik antar unit kerja pemerintah, swasta dan pihak lain merupakan keharusan sebagai bagian dari pengelolaan kolaboratif suatu kawasan.

5 Di tingkat nasional, perlu dirancang dan dibakukan mekanisme dimana para pemangku kepentingan dapat berkontribusi dalam memenuhi biaya pengelolaan suatu kawasan. Sementara di tingkat daerah, mekanisme pendanaan yang perlu dibangun adalah koordinasi perencanaan anggaran kegiatan SKPD terkait untuk memenuhi biaya pengelolaan. Misalnya untuk kebutuhan infrastruktur kawasan perlu dianggarkan pada Dinas Pekerjaan Umum. Komponen pemanfaatan untuk wisata dapat dianggarkan pada Dinas Pariwisata. Komponen lain seperti pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dianggarkan pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat, dan seterusnya. Dengan kata lain, pengelolaan kawasan bukan hanya menjadi tanggungjawab Dinas Kelautan dan Perikanan saja melainkan juga tanggungjawab semua SKPD dan stakeholder terkait. Untuk merealisasikan hal ini dibutuhkan leadership yang kuat untuk mengkoordinasikan dan memastikan penganggaran oleh SKPD lain yang terkait selain Dinas Kelautan dan Perikanan.

6 Bab 2. Kelembagaan Pengelola Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia adalah pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Pemerintah Daerah. Data tahun 2013 menunjukan bahwa Kementerian Kehutanan mengelola 32 kawasan konservasi yang terdiri dari 7 Taman Nasional Laut, 14 Taman Wisata Alam Laut, 5 Suaka Margasatwa Laut, 6 Cagar Alam Laut. Total luasan kawasan tersebut adalah sekitar 4,7 juta hektar. Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta Pemerintah Daerah mengelola 99 kawasan yang terdiri dari 1 Taman Nasional Perairan, 3 Suaka Alam Perairan, 6 Taman Wisata perairan, dan 89 Kawasan Konservasi Perairan Daerah. Luasan kawasan konservasi tersebut adalah sekitar 11 juta hektar. Dengan demikian terdapat 131 Kawasan Konservasi Perairan dengan total luasan 15,7 juta hektar sebagaimana terlihat pada tabel berikut: No Kawasan Konservasi Jumlah Kawasan Luas (Ha) A Dikelola Kemenhut Taman Nasional Laut Taman Wisata Alam Laut Cagar Alam Laut B Dikelola KemenKP dan Pemda Taman Nasional Perairan Suaka Alam Perairan Taman Wisata Perairan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Jumlah Total Sumber: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (2014) Kementerian Kehutanan memiliki Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam bentuk Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Balai Taman Nasional (BTN) untuk mengelola kawasan konservasi yang menjadi kewenangannya. Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki UPT dalam bentuk Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) yang berpusat di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (Loka KKPN) yang berpusat di Pekanbaru. BKKPN Kupang mengelola 8 kawasan di wilayah timur dan Loka KKPN Pekanbaru mengelola 2 kawasn di wilayah barat. Beberapa kawasan konservasi dibawah jurisdiksi Pemerintah Daerah dikelola langsung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, sedangkan kawasan lainnya dikelola tersendiri oleh Unita Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Dalam konteks pendanaan berkelanjutan bagi Kawasan Konservasi Perairan, pemerintah telah menyediakan dua model kelembagaan khusus yaitu Lembaga Wali Amanah (Trust Fund) di level nasional dan Badan Layanan Umum (BLU) yang bisa digunakan di level nasional maupun daerah. BLU yang dikembangkan di level daerah biasa juga disebut Badan Layanan Umum Daerah atau BLUD. Selain kedua model kelembagaan pemerintah tersebut, bentuk kelembagaan lain adalah Yayasan yang sifatnya di luar sistem kelembagaan pemerintah namun bisa mendukung pendanaan bagi pengelolaan kawasan. Yayasan dalam konteks ini bukan sebagai pengelola kawasan sebab berdasarkan regulasi yang berlaku hanya pemerintah yang memiliki otoritas untuk mengelola kawasan konservasi. Bentuk kelembagaan Yayasan akan berperan sebagai mitra pengelola untuk mendukung peningkatan efektifitas pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan berdasarkan alat evaluasi standar yang sudah ditetapkan yaitu E-KKP3K.

7 2.1 Lembaga Wali Amanah (Trust Fund) Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 diterbitkan untuk mengatur pembentukan Dana Perwalian (Trust Fund) oleh Kementerian/Lembaga sebagai financing vehicle bagi pembiayaan pembangunan termasuk pengelolaan KKP. Trust Fund merupakan bagian dari sistem keuangan pemerintah, dibentuk untuk mendanai kegiatan yang merupakan prioritas dan mendukung capaian target pemerintah. Dengan demikian Trust Fund sebagai instrumen pendanaan dirancang untuk menampung kontribusi dan partisipasi pihak swasta, publik, hibah asing yang semuanya merupakan pelengkap bagi pendanaan Kawasan Konservasi Perairan yang dianggarkan oleh Kemenhut, KemenKP dan pemerintah daerah. Sebelum dikeluarkannya Perpres ini, beberapa lembaga telah menginisiasi pembentukan Trust Fud meskipun tanpa landasan hukum yang kuat. Beberapa lembaga multilateral seperti World Bank, UNDP, dan ADB berperan sebagai trustee, yaitu pengelola dana Trust Fund yang bersumber dari satu atau beberapa donor. Selain itu trustee melakukan pengelolaan operasional, termasuk proses pengadaan, penarikan dana, pembayaran kepada pihak ketiga, dan pelaporan. Sementara pihak pemerintah dari kementerian/lembaga memposisikan diri sebagai Steering Committee (Komite Pengarah) dengan tugas utama memberikan arahan strategis pada program kerja yang akan didanai. Dengan Perpres 80/2011, kelembagaan Trust Fund terdiri dari Majelis Wali Amanat (MWA) dan Pengelola Dana Amanat (PDA). Dengan demikian, tidak ada Komite Pengarah menurut Perpres ini tapi peran-peran Komite Pengarah dilakukan ke Majelis Wali Amanah. Majelis Wali Amanat dalam hal ini dipersamakan dengan Satuan Kerja (Satker) dari kementerian/lembaga dimana Ketua MWA sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (eselon I) dan Seketaris MWA sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (eselon II). Anggota MWA bisa terdiri dari Kementerian Keuangan, Bappenas, pejabat kementerian/lembaga terkait, pihak lain yang terkait dengan pemanfaatan Dana Perwalian, dan/atau pihak yang ditunjuk oleh pemberi hibah. Secara rinci, tugas Majelis Wali Amanat adalah sebagai berikut: a. Menetapkan pengelola dana amanat b. Menetapkan program pengelolaan dana perwalian c. Melakukan penarikan dana hibah dari pemberi hibah d. Memerintahkan pembayaran dana perwalian kepada pihak-pihak yang terkait e. Melakukan proses pengadaan barang/jasa f. Mengajukan pengesahan dokumen anggaran pendapatan dan belanja majelis wali amanat untuk penyaluran dana perwalian g. Mengajukan pengesahan dokumen realisasi pendapatan dan belanja majelis wali amanat untuk penyaluran dana perwalian h. Menyusun laporan keuangan penyaluran dana perwalian. Sementara itu, Pengelola Dana Amanat dapat berupa Kementerian/Lembaga, Lembaga Multilateral, Organisasi Non Pemerintah, Badan Usaha Nasional, dan/atau Lembaga Keuangan Asing. Tugas Pengelola Dana Amanat adalah sebagai berikut: a. Menangani administrasi dan keuangan Dana Perwalian sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan administrasi dan keuangan yang disepakati dalam Perjanjian Hibah b. Melaporkan penanganan administrasi dan keuangan Dana Perwalian kepada Majelis Wali Amanat.

8 c. Melakukan pembayaran kepada pihak-pihak yang terkait atas perintah Majelis Wali Amanat. Kotak 1. Madagascar Biodiversity Fund Madagascar Biodiversity Fund didirikan tahun 2005 dengan tujuan untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati di negara tersebut melalui pendanaan dan promosi perlindungan efektif kawasan konservasi dan menciptakan kawasan konservasi baru. Pendirian yayasan ini merupakan langkah maju untuk menjamin pendanaan berkelanjutan bagi sistem kawasan konservasi dan mengurangi ketergantungan terhadap pendanaan eksternal. Dengan dasar kelembagan yang kuat, yayasan ini berhasil menarik komitmen yang cukup signifikan dari pemerintah nasional, lembaga-lembaga bilateral, dan LSM. Yayasan mampu melampaui target dana sebesar $50 juta tahun 2012 yaitu dengan memperoleh $53 juta komitmen. Keberhasilan ini dicapai sebagian besar melalui dua Debt-For-Nature Swaps (DNS), yaitu dari pemerintah Prancis sebesar $20 juta dan pemerintah Jerman sebesar $13 juta. Selain itu diperoleh juga hibah dari beberapa donor swasta dan publik, termasuk World Bank, MacArthur Foundation, WWF, dan Conservation International. Sumber: WWF Trust Fund merupakan wujud pelaksanaan Jakarta Commitment yaitu tekad Pemerintah Indonesia dalam mengelola dan mengkoordinasikan dana hibah asing secara lebih efektif, leadership ada pada pemerintah, transparan dan akuntabel, serta berorientasi pada hasil akhir. Hal ini berarti bahwa penyaluran dan pemanfaatan Dana Perwalian akan diselaraskan dengan program dan kegiatan yang didanai oleh anggaran Pemerintah. Penyelarasan ini dimungkinkan karena organ Trust Fund yaitu Majelis Wali Amanah sebagai pemegang otoritas pengelolaan Trust Fund tertinggi diangkat oleh Menteri Teknis. Melalui Trust Fund akan terjadi sinergi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang didukung oleh pendanaan dari berbagai sumber sebab keanggotaan Majelis Wali Amanah bukan hanya didominasi oleh satu kementerian teknis, melainkan bisa dari kementerian lain, LSM lokal dan internasional serta anggota lainnya. Sebagai rangkuman karakteristik Trust Fund menurut Perpres 80/2011 adalah sebagai berikut: - Pembentukan Trust Fund dilakukan oleh menteri setelah adanya komitmen pemberi hibah. - Menteri akan mengangkat ketua, sekretaris, dan anggota Majelis Wali Amanat. Ketua dan sekretaris merupakan pejabat kementerian sementara anggota boleh dari pemangku kepentingan termasuk lembaga donor, LSM, dan lainnya. - Majelis Wali Amanat adalah satuan kerja (Satker) kementerian/lembaga yang berarti sebagai unit anggaran terkecil dalam system keuangan pemerintah. - Dana Perwalian tidak mengenal Komite Pengarah (Steering Committee) dimana fingsinya digantikan oleh Majelis Wali Amanat sebagai organ pemegang kekuasaan tertinggi dalam Trust Fund. - Pengelola Dana Amanat menangani aspek administrasi dan keuangan termasuk melakukan pembayaran dan menyampaikan laporan penggunaan dana perwalian ke Majelis Wali Amanat. PDA bisa berupa lembaga multilateral, Badan Usaha Nasional seperti bank komersial, kementerian/lembaga, LSM, dan lembaga keuangan asing. Peran ini berbeda dengan peran trustee pada lembaga Trust Fund sebelumnya.

9 - Perjanjian hibah (grant agreement) menyediakan fleksibilitas yang tinggi. Perjanjian ini menyediakan ruang bagi lembaga donor untuk menetapkan calon penerima dana hibah luar negeri, lokasi kegiatan, kegiatan yang akan didanai dan lainnya berdasarkan kesepakatan dengan kementerian/lembaga. Hal ini dirancang untuk mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak. Mekanisme penyaluran, penentuan kegiatan, dan operasional yang didanai Dana Perwalian diputuskan dalam mekanisme partisipatif berupa Majelis Wali Amanat, yang menjamin keterwakilan para pemangku kepentingan. Mekanisme pengelolaan penerimaan dan pengeluaran Dana Perwalian didesain untuk fleksibel, yang memungkinkan pengalokasian ke berbagai lokasi geografis, berbagai penerima (pemerintah lokal, LSM, perusahaan, kementerian), dan berbagai jenis program selaras dengan arahan dari pihak pemberi dana (Donor). Sederhananya, mekanisme kerja Lembaga Wali Amanah dapat dilihat pada diagram berikut: Majelis wali Amanat Ketua: Eselon 1 (KPA) Sekretaris: Eselon II (PPK) Anggota: Kementerian/Lembaga, Donor, dll 3 Perintah Bayar 1 Proposal 2 Persetujuan Pengelola Dana Amanat Kementerian/ Lembaga PENGUSUL 4 Pembayaran Pemda LSM Swasta Sumber: MPAG (2014) Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengantisipasi terwujudnya pendanaan yang berkelanjutan bagi pengelolaan KKP di Indonesia sebagai instrumen pelengkap pendanaan pemerintah. Melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KemenKKP bulan Maret tahun 2011 telah dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) dengan tugas utama merancang mekanisme serta insititusi yang dapat mewujudkan Pendanaan Berkelanjutan bagi pengelolaan KKP termasuk yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pokja memiliki keanggotaan lintas kementerian/lembaga seperti Kementerian Keuangan, Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Bappenas, begitu pula beberapa LSM serta pakar konservasi. Direktur KKJI sebagai ketua Pokja telah mendorong beberapa output penting seperti: 1. Perhitungan secara rinci tentang biaya pengelolaan kawasan konservasi yang diperlukan per tahunnya untuk level minimum, moderat maupun ideal bagi pengelolaan MPA yang ada di Indonesia saat ini. 2. Kajian terhadap Perpres No. 80/2011 tentang Dana Wali Amanat serta peraturan-peraturan lain yang terkait dengannya, yang dituangkan dalam bentuk background paper.

10 3. Desain terperinci tentang kelembagaan dan kelengkapan tata kerja Trust Fund, yang tercermin dalam rancangan Struktur organisasi, Deskripsi Tugas pokok dan fungsi serta Mekanisme kerja. 4. Rancangan Standard Operating Procedures atau Manual Kerja untuk Majelis Wali Amanah (Ketua, Sekretaris, Anggota), trustee dan sekretariat pelaksana harian untuk pengadministrasian Dana Wali Amanah, Penyaluran dana berbasis pengajuan proposal kepada calon penerima hibah termasuk prosedur persetujuan dan mekanisme pertanggungjawabannya. Lembaga Wali Amanah yang sedang dikembangkan ini merupakan instrumen pendanaan tambahan yang memberikan manfaat penting bagi pencapaian komitmen pemerintah 20 (dua puluh) juta hektar pada tahun 2020 dan terkelolanya secara efektif kawasan konservasi perairan yang ada. Beberapa diantara manfaat tersebut adalah: 1. Pemerintah memiliki sumber dana tambahan selain APBN/APBD. Dana ini berasal dari bantuan hibah baik dari lembaga donor asing maupun dari dalam negeri. Sumber dana ini merupakan pelengkap bagi sumber pendanaan pemerintah yang sudah berjalan. Namun sumber dana tambahan ini tetap merupakan bagian dari sistem Pemerintah. 2. Pemerintah memiliki kesempatan untuk mensinkronkan program atau kegiatan-kegiatan yang akan didanai oleh Trust Fund dengan pengaturan struktur organisasi yang menempatkan kementerian sebagai institusi yang memiliki otoritas dalam penetapan arahan strategis dan pelaksanaan operasional Trust Fund seperti penetapan kegiatan yang akan didanai. 3. Tingkat kepercayaan pemberi dana terhadap pengelola dana akan lebih tinggi karena akuntabilitas dan transparansi pengelolaan program dan kegiatan melibatkan pihak selain pemerintah. Para wakil pemangku kepentingan diwakili dalam struktur berupa Majelis Wali Amanat, sehingga terlibat dalam penetapan arahan strategis dan operasionalisasi pendanaannya. Demikian juga adanya kewajiban pelaporan akan membuat seluruh organ kerja Trust Fund akan lebih transparan dan dapat meningkatkan kepercayaan donor pemberi hibah akan efektifitas serta efisiensi penggunaan dana yang diberikannya. 4. Terbukanya kesempatan untuk penggalangan sumber-sumber dana untuk melengkapi pendanaan dari pemerintah.

11 2.2 Badan Layanan Umum Terminologi Badan Layanan Umum (BLU) terdapat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Menurut UU ini, BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Sepintas definisi tersebut mengindikasikan bahwa BLU sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tapi sebenarnya terdapat perbedaan penting antara keduanya, yaitu kekayaan Negara dalam BUMN dipisahkan sementara kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan. Berkenaan dengan itu, rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. Dengan ketentuan tersebut, maka pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan BUMN dimana pembinaannya dilakukan oleh Kementerian BUMN. Selain dari pendapatan yang diperoleh dari hasil layanan penyediaan barang/jasa, BLU dapat juga memperoleh dana hibah dari masyarakat atau badan lain. Menariknya, pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum yang bersangkutan. Penggunaan langsung hasil pendapatan merupakan hal yang tidak diperbolehkan dalam pengelolaan keuangan Negara pada kondisi normal. Artinya, BLU merupakan desain kelembagaan khusus yang dibentuk oleh pemerintah. BLU merupakan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan sektor publik yaitu dengan mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) dimana pelayanan kepada masyarakat dikelola ala bisnis (business like) agar lebih efisien dan efektif. Dengan BLU, pengelola dapat mempekerjakan staf bukan hanya dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) tapi juga Non-PNS profesional sesuai kebutuhan. Peluang ini secara khusus disediakan bagi satuan-satuan kerja pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik, seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan, dan lisensi. Ketentuan tentang pengelolaan keuangan BLU diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Selain pemerintah pusat (kementerian/lembaga), pemerintah daerah juga dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU yang sering juga disebut BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Secara prinsip tidak ada perbedaan signifikan antara pengelolaan BLU dan BLUD. Namun untuk BLUD menggunakan acuan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Secara umum keuntungan pola pengelolaan keuangan BLU/BLUD adalah sebagai berikut: - Pendapatan BLU/BLUD dapat langsung masuk ke rekening BLU/BLUD. Dalam mekanisme keuangan normal, semua pendapatan wajib melalui rekening kas umum Negara/daerah.

12 - Pendapatan BLU/BLUD dapat digunakan langsung. Dalam mekanisme keuangan normal, pendapatan tidak boleh langsung digunakan melainkan harus melalui mekanisme APBN/APBD. - BLU/BLUD dapat membayar gaji non-pns. Dalam mekanisme keuangan normal, dana APBN/APBD tidak bisa digunakan untuk membayar gaji non-pns. - Penentuan tarif BLU/BLUD cukup dengan Surat Keputusan pimpinan kementerian/lembaga/skpd. Dalam mekanisme keuangan normal, tarif pungutan daerah harus melalui Peraturan Daerah (Perda) yang memerlukan persetujuan DPRD. Terdapat tiga jenis persyaratan penerapan BLU/BLUD, yaitu persyaratan substantif, teknis, dan administratif. Persyaratan substantif terpenuhi apabila tugas dan fungsi SKPD atau Unit Kerja bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan semi barang/jasa publik (quasipublic goods) yang berhubungan dengan hal-hal berikut: a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum untuk meningkatkan kualitas. b. Kuantitas pelayanan masyarakat. c. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian. d. Masyarakat atau layanan umum. e. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi. f. Pelayanan kepada masyarakat. Persyaratan teknis terpenuhi apabila: a. Kinerja pelayanan di bidang tugas dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU/BLUD b. Kinerja keuangan pengelola kawasan yang sehat. Sementara persyaratan administratif terpenuhi apabila unit pengelola membuat dan menyampaikan dokumen yang meliputi: a. Surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat. b. Pola tata kelola. c. Rencana strategis bisnis. d. Standar pelayanan minimal. e. Laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan. f. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen. Saat ini kawasan konservasi yang dikelola dengan sistem BLUD adalah KKPD Raja Ampat. Proses pembentukan BLUD Raja Ampat sendiri tidaklah mudah sebab sebelumnya belum ada kawasan konservasi yang dikelola dengan sistem baru ini. Hampir semua BLUD yang dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah dalam bentuk pengelolaan rumah sakit dan moda transportasi umum. Satu-satunya model yang paling mendekati adalah pengelolaan kawasan konservasi ex-site yaitu Kebun Binatang Ragunan. Pengelolaan kawasan konservasi ex-situ seperti Kebun Binatang Ragunan dan kawasan in-situ sebenarnya sangat jauh berbeda sebab yang pertama relatif terisolir dan tidak melibatkan masyarakat

13 luas sementara yang kedua lebih terbuka dan melibatkan begitu banyak stakeholder. Namun demikian, tetap ada pembelajaran yang bisa diperoleh dari pengelolaan ala BLUD Kebun Raya Ragunan. Bupati Kabupaten Raja Ampat telah mengeluarkan keputusan Bupati Nomor 61 Tahun 2014 tentang Penetapan Unit Pelaksana Teknis Daerah KKPD pada Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat Sebagai Unit Kerja Yang Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Keputusan Bupati tersebut ditandatangani tanggal 28 Maret Namun demikian masih ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu dipersiapkan, seperti pengembangan struktur organisasi pengelola, Standard Operating Procedures (SOPs), alokasi dana hasil tiket masuk kawasan, peningkatan kapasitas pengelola BLUD, dan sebagainya. Pekerjaan rumah tersebut saat ini masih dalam proses dan sudah menunjukan kemajuan yang cukup berarti.

14 2.3 Yayasan Yayasan merupakan salah satu bentuk kelembagaan yang sifatnya diluar sistem kelembagaan dan sistem keuangan pemerintah. Yayasan merupakan opsi bagi kawasan yang belum dikelola dengan model BLU/BLUD sehingga mengalami kesulitan untuk mengelola dana non-apbn/apbd. Hal ini disebabkan oleh sistem keuangan pemerintah yang belum memberikan fleksibilitas bagi instansi pemerintah untuk mengelola dana yang berasal dari sumber pendanaan lain. Yayasan juga bisa menjadi pilihan bagi daerah yang ingin mengembangkan Trust Fund sebab Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Wali Amanat hanya memberi mandat bagi pemerintah pusat untuk membentuk Trust Fund. Dengan kata lain, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) tidak memiliki payung hukum untuk membentuk kelembagaan Trust Fund ini. Yayasan dapat mengelola dana abadi (endowment fund) yang berasal dari donor, baik donor lembaga maupun donor individu. Hasil investasi dari dana abadi inilah yang kemudian digunakan untuk mendukung upaya pengelolaan kawasan. Jika pengelola kawasan yang notabene adalah instansi pemerintah mengalami kesulitan mengelola dana dari Yayasan ini, maka yayasan dapat memberikannya kepada mitra pengelola seperti LSM, kelompok masyarakat, dan pihak lainnya dengan catatan bahwa pengelola kawasan memberikan persetujuan atas dukungan pendanaan ini. Karena itu, diperlukan semacam Memorandum of Understanding (MoU) antara pengelola kawasan dan Yayasan untuk memastikan bahwa dana yang akan diberikan kepada mitra harus sesuai dengan rencana pengelolaan kawasan dan mendapat persetujuan dari pengelola. Dasar hukum pembentukan Yayasan adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan. Menurut Undang-Undang ini yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Ketiga bidang tersebut menunjukan bahwa Yayasan bukan organisasi profit yang mencari keuntungan meskipun dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Hal yang membedakan Yayasan dengan organisasi profit adalah Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Pembina, Pengurus, dan Pengawas adalah organ Yayasan yang harus ada dalam pembentukan Yayasan. Pembina memiliki kewenangan yang meliputi keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar, pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas, penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan, pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan, dan penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan. Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Artinya, pengelolaan harian (day to day management) Yayasan dilakukan oleh Pengurus Yayasan. Sementara Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Perlu dicatat bahwa anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota Pengawas, demikian pula sebaliknya.

15 Salah satu contoh Yayasan yang mengelola endowment fund di Indonesia adalah Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI). Yayasan ini mendapat dana dari pemerintah Amerika pada tahun 1995 sebesar $ 19 juta untuk kemudian diinvestikan di beberapa portofolio investasi. Hasil dari investasi tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan konservasi di Indonesia. Organisasi Yayasan KEHATI mengikuti Undang-Undang Yayasan yaitu terdiri dari Pembina (Governing Board), Pengurus (Executive Board), dan Pengawas (Supervisory Board), dan unit lainnya sebagaimana ditunjukan pada bagan berikut: Pembina Governing Board Pengawas Supervisory Board Internal Control Unit Special Program MFP II TFCA Sumatra Pengurus Executive Board Executive Director Grantmaking Committee Investment Committee Resource Development Committee Policy/Planning, Monev Unit Executive Secretary Directorate Conservation and Sustainable of Biodiversity Directorate Communication and Resourcse Development Directorate Finance and Administration

16 Bab 3. Alternatif Sumber Pendanaan Sumber utama pendanaan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan saat ini adalah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini terjadi karena semua Kawasan Konservasi Peraiarn di Indonesia dikelola oleh pemerintah. Pada kenyataannya, jumlah alokasi anggaran pemerintah relatif masih sangat sedikit dibandingkan dengan kebutuhan pengelolaan. Seperti disebutkan sebelumnya, ketersediaan anggaran dari APBN, APBD, dan LSM sebagai pelaksana program donor hanya sekitar 75 milyar rupiah per tahun sementara kebutuhan pengelolaan kawasan mencapai 225 milyar rupiah per tahun. Terdapat kekurangan anggaran sebesar 150 milyar per tahunnya. Dengan kondisi tersebut dibutuhkan sumber pendanaan lain untuk menutupi biaya pengelolaan kawasan. Beberapa potensi sumber pendanaan dapat berasal dari program lembaga donor, Corporate Social Responsibility (CSR) termasuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN, Pengalihan Utang untuk Lingkungan (Debt-for-Nature Swaps), Pasar Karbon (Carbon Market), Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for Ecological Services), Biodiversity Offse, Denda Kerusakan Lingkungan, dan Dana Abadi (Endowment Fund). Uraian tentang potensi sumber pendanaan tersebut adalah sebagai berikut: 3.1 Lembaga Donor Lembaga donor yang membiayai kegiatan lingkungan umumnya dibagi kedalam 3 kelompok besar, yaitu yayasan swasta, lembaga multilateral, dan lembaga bilateral. Yayasan swasta yang dimaksud adalah yayasan (foundation) yang dimiliki oleh korporasi atau pemilik korporasi yang didirikan khusus untuk memberikan bantuan pendanaan dalam bidang pembangunan tertentu, termasuk bidang lingkungan. Beberapa yayasan swasta yang bekerja di Indonesia diantaranya adalah Ford Foundation, Packard Foundation, Walton Foundation, McArthur Foundation, Cargill Foundation, Toyota Foundation, Gates Foundation, dan lain-lain. Donor multilateral umumnya membiayai program pembangunan dengan cakupan geografis yang luas atau merefleksikan prioritas beberapa negara. Selain memberikan hibah, beberapa lembaga donor multilateral, seperti bank pembangunan regional, juga memberikan pinjaman kepada pemerintah. Beberapa lembaga donor kadang melakukan kolaborasi (membentuk konsorsium) untuk membiayai program konservasi dan mengkombinasikan antara pinjaman dan hibah. Program COREMAP, misalnya, dibiayai oleh World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan Global Environment Facility (GEF). World Bank dan ADB memberi dukungan pembiayaan konservasi dalam bentuk pinjaman masing-masing untuk wilayah timur dan barat, sementara GEF memberikan dukungan pembiayaan dalam bentuk hibah. Lembaga donor multilateral biasanya memiliki mekanisme atau prosedur yang rumit, memakan banyak waktu, sangat birokratis, dan persyaratan yang ketat. Beberapa contoh lembaga donor multilateral adalah Global Environment Facility (GEF), World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan beberapa lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti United Nations Development Programme (UNDP) dan United Nations Environment Programme (UNEP). Lembaga donor bilateral berasal dari negara-negara maju yang menyediakan bantuan langsung kepada negara-negara berkembang, seperti Indonesia, melalui kedutaan besar masing-masing negara. Beberapa lembaga donor bilateral yang telah lama bekerja di Indonesia adalah USAID dari pemerintah

17 Amerika, Australian AID (sebelumnya AUSAID) dari pemerintah Australia, GIZ dari pemerintah Jerman, JICA dari pemerintah Jepang, DANIDA dari pemerintah Denmark, dan CIDA dari pemerintah Kanada. Setiap negara atau lembaga donor bilateral memiliki prioritas program yang berbeda-beda dan secara umum mencakup bidang kesehatan, pendidikan, penanggulangan bencana, dan lingkungan. Selain prioritas program, donor bilateral juga memiliki prioritas wilayah kerja. Lembaga-lembaga donor yang bekerja di Indonesia, baik multilateral maupun bilateral, telah menandatangani Jakarta Commitment pada tahun 2009 yaitu kesepakatan bersama antara pemerintah Indonesia dan lembaga donor untuk meningkatkan efektifitas pinjaman/hibah luar negeri menuju tercapainya efektifitas pembangunan nasional. Langkah ini merupakan tindak lanjut beberapa kesepakatan internasional yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia, seperti Paris Declaration tentang efektivitas bantuan tahun 2005, Accra Agenda for Action tahun 2008, dan Doha Conference: Review on Financing for Development tahun Setelah Komitmen Jakarta ditandatangani pada 12 Januari 2009, Pemerintah membentuk Sekretariat Aid for Development Effectiveness (A4DES) sebagai komponen untuk melaksanakan Komitmen Jakarta. A4DES mengelola "pooled resources facility" yang disediakan oleh Pemerintah dan Mitra Pembangunan di bawah pimpinan langsung Deputi Menteri bidang Pendanaan Pembangunan, BAPPENAS. A4DES dipimpin oleh Tim Pengarah/Steering Committee (SC) yang terdiri dari pejabat eselon I dari Kementerian Keuangan, Kementerian Kordinator Perekonomian, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, dan Sekretariat Negara. Tim ini bertanggung jawab atas pencapaian sasaran kegiatan A4DES dan pengelolaan sumberdaya yang ada secara efektif dan bertanggung-jawab. Sekretariat A4DES memberikan dukungan, fasilitas, dan pemantauan dalam pelaksanaan matriks aksi peta jalan (roadmap) Komitmen Jakarta. A4DES juga memfasilitasi pengembangan kapasitas para pejabat Pemerintah yang berpartisipasi dalam pelaksanaan roadmap, memberikan usulan kebijakan kepada Pemerintah tentang isu efektivitas bantuan luar negeri, serta dukungan teknis kepada unit pemerintah yang melaksanakan elemen lain di luar roadmap. Di samping itu, A4DES juga mengupayakan dan memfasilitasi perluasan dialog dan kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil dan mitra pembangunan. Jakarta Commitment pada intinya mendorong peran aktif pemerintah dalam mengelola dan mengkoordinasikan bantuan luar negeri pada berbagai sektor. Menurut Sekretariat A4DES (2010), komitmen ini juga menjabarkan standar baru bantuan kerjasama pembangunan dan mensyaratkan enam hal berikut ini: 1. Kepemilikan nasional yang lebih kuat dalam mendefinisikan arsitektur dan proses bantuan. Dalam hal ini harus terlihat bahwa pengelolaan kerjasama pembangunan yang lebih efektif dan efisien, dan prosesnya tidak perlu bersifat donor-driven lagi. Pemerintah Indonesia sudah harus menerapkan sikap kepemilikan yang lebih kuat. Dengan demikian hibah luar negeri akan berjalan lebih selaras. 2. Pergeseran hubungan donor-penerima menjadi paradigma kemitraan yang sederajat dan inovatif. Ini dapat menciptakan harmonisasi yang lebih baik, tidak hanya dalam bantuan teknis dan keuangan semata-mata namun juga dalam aspek lainnya. Upaya melakukan exit strategy sebagai bagian dari keberlanjutan program, apabila bantuan bantuan teknis dan keuangan berakhir, perlu untuk

18 diperhatikan. Maka dari itu, sikap sederajat seperti ini yang dapat menjadi bekal bagi Kementerian/Lembaga dalam mengedepankan paradigma tersebut. 3. Beranjak dari bantuan keuangan menuju bantuan yang lebih strategis dan berperan sebagai katalis. Ini akan menghasilkan dampak bantuan yang maksimal dan efektif karena seluruh stakeholder akan terkonsentrasi pada output yang diharapkan. Hal ini akan sejalan dengan inisiatif yang sudah digariskan oleh Pemerintah Indonesia. 4. Peralihan dari bantuan berdasarkan proyek menjadi bantuan dengan pendekatan program. Dengan pendekatan ini maka level of acceptance bagi mitra lokal akan menjadi tinggi. Disamping itu akan tercipta juga tingkat pencapaian hasil yang lebih baik. 5. Lebih fokus pada pengembangan kapasitas dan berorientasi pada hasil yang melekat pada programprogram nasional. Pengembangan kapasitas ini juga ditekankan pada kapabilitas dari personal dan kekuatan programnya. Dengan demikian hasilnya akan dapat ditindak lanjuti dan terintegrasi. 6. Peningkatan akuntabilitas dan keselarasan antara Pemerintah Indonesia dan development partner. Penekanan dalam konteks ini adalah agar kedua belah pihak akan menarik manfaat yang lebih harmonis satu dengan yang lain. Setiap lembaga donor, baik yayasan swasta, lembaga multilateral, maupun lembaga bilateral, memiliki prosedur dan persyaratan yang berbeda-beda. Informasi detail tentang prosedur dan persyaratan setiap donor dapat dilihat melalui website masing-masing lembaga ataupun melalui publikasi lainnya. Namun secara umum, terdapat beberapa tahapan utama dari proses persetujuan usulan pendanaan seperti yang dirangkum oleh Brown dan Dunais (2005) sebagai berikut: 1. Tahap Pra-pendanaan. Dalam tahap ini diperlukan penilaian dan pembahasan awal terhadap lembaga donor. Lembaga donor umumnya mempublikasikan kriteria persyaratan dan evaluasi, serta tenggat waktu pengajuan usulan. 2. Tahap Pengembangan Konsep. Pada tahap ini lembaga donor mungkin akan melakukan peninjauan gagasan yang diusulkan oleh calon penerima potensial. Beberapa lembaga donor menyediakn bantuan teknis atau dana perencanaan dalam fase ini, khususnya untuk mitra yang telah mapan. 3. Tahap Usulan Proyek. Dalam tahap ini dilakukan pengajuan proposal secara resmi untuk dilakukan peninjauan kembali. Kemungkinan akan banyak dilakukan pembahasan terhadap berbagai hal dalam fase ini, khususnya pada saat mulai bergerak dari proses usulan ke proses perencanaan kerja. 4. Tahap Pengesahan Formal dan Implementasi. Setelah disetujui, berbagai aspirasi dari penerima dana maupun lembaga donor dituangkan dalam dokumen resmi, yang antara lain memuat kesepakatan anggaran, hasil-hasil yang diharapkan, dan tanggungjawab staf. 5. Tahap Pemantauan dan Evaluasi. Selama fase implementasi berlangsung, lembaga donor akan melakukan pemantauan terhadap kegiatan, prosedur, dan hasil-hasil kegiatan. Proses ini dapat meliputi kunjungan tidak resmi ke lokasi, self-evaluation, pemeriksaan formal, dan evaluasi eksternal. Brown dan Dunais (2005) juga merangkum persyaratan umum lembaga donor dalam pemberian dana, meskipun perlu ditekankan sekali lagi bahwa setiap lembaga donor memiliki persyaratan yang berbeda satu sama lain. Rangkuman persyaratan umum tersebut adalah sebagai berikut:

19 1. Kesesuaian Kontribusi. Persyaratan ini berarti penerima dana diharuskan untuk menyediakan sebagian dari sumberdaya yang diperlukan untuk implementasi proyek. Kontribusi dapat berupa non-finansial seperti tenaga relawan, material, atau ruang perkantoran. Bisa juga dalam bentuk kerjasama pendanaan dengan sumber-sumber lain. Semakin besar dana yang diusulkan, semakin besar kemungkinan kesesuaian kontribusi yang dipersyaratkan. 2. Persyaratan Kinerja. Lembaga donor dapat menetapkan persyaratan agar penerima dana melakukan sertifikasi sistem keuangannya, atau melaksanakan pelatihan tertentu untuk meningkatkan ketrampilan di bidang manajemen, fasilitasi, dan sebagainya. Beberapa persyaratan tersebut dapat terkait dengan peningkatan kapasitas manajemen organisasi dan sebagian lagi untuk memenuhi peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah negara setempat. 3. Staf. Lembaga donor dapat menetapkan persyaratan agar penugasan staf tertentu di dalam proyek yang didukung pendanaannnya dilakukan atas persetujuannya. Jika lembaga donor memiliki banyak sumberdaya keahlian yang dapat disumbangkan atau jaringan mitra aktif, lembaga donor dapat meminta lembaga penerima dana untuk menjalin kerjasama dengan individu atau mitra tertentu. 4. Pelaporan dan Evaluasi. Lembaga donor biasanya akan meminta laporan kemajuan proyek, laporan keuangan, dan laporan akhir. Laporan-laporan ini digunakan untuk mengetahui proses proyek dan kinerja penerima dana. Lembaga donor juga dapat menentukan persyaratan bagi monitoring dan evaluasi proyek, khususnya untuk dana bantuan jangka panjang.

20 3.2 Tanggungjawan Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Ada beragam definisi tentang Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial korporasi, salah satunya dikembangkan oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD). Menurut organisasi bisnis ini, CSR adalah komitmen berkelanjutan dari bisnis untuk berperilaku etis dan berkontribusi bagi pembangunan ekonomi, sekaligus meningkatkan kualitas hidup karyawannya beserta keluarga, serta masyarakat lokal ataupun masyarakat luas. Definisi ini memberikan arah baru dalam pengelolaan perusahaan yaitu bukan hanya berkontribusi ke shareholder (pemegang saham) tapi lebih luas lagi ke stakeholder, termasuk dalam hal ini masyarakat lokal dimana lokasi bisnis beroperasi. Komisi Eropa (European Comission) memberikan definisi yang cukup sederhana tentang CSR, yaitu tanggungjawab perusahaan terhadap dampak yang ditimbulkannya terhadap masyarakat. Namun demikian, Komisi ini memberikan penjelasan lanjutan bahwa untuk memenuhi CSR, perusahaan harus mampu mengintegrasikan urusan sosial, lingkungan, etika, hak asasi manusia, dan pelanggan ke dalam operasi bisnis dan strategi inti melalui kolaborasi yang erat dengan stakeholder. Dengan demikian, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line yaitu kondisi finansial saja, tapi harus berpijak pada triple bottom lines, yaitu finansial, sosial, dan lingkungan yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan 3P, yaitu Profit, People, dan Planet. Menurut sejarahnya, gagasan CSR berkembang pesat setelah adanya keprihatinan terhadap perilaku korporasi yang lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi demi memaksimalkan laba. kampanye dalam skala global melawan perilaku buruk tersebut pada gilirannya menjatuhkan reputasi perusahanperusahaan ini, termasuk korporasi transnasional. Dengan latar belakang tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa program CSR pada dasarnya harus dilakukan untuk kepentingan keberlanjutan bisnis perusahaan. Setidaknya terdapat beberapa manfaat bagi perusahaan yang menjalankan program CSR, yaitu mendapat citra positif dari masyarakat, lebih mudah memperoleh akses terhadap modal, dapat mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas, dan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal kritis serta mempermudah pengelolaan resiko. Pelaksanaan CSR di dunia juga diakselerasi oleh beberapa kesepakatan internasional, seperti Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro-Brasil tahun 1992, Pertemuan Yohannesburg tahun 2002, dan pertemuan UN Global Compact di Jenewa-Swiss tahun Earth Summit menyepakati paradigma baru pembangunan yang dikenal dengan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dimana pembangunan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan, tidak boleh mengorbankan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Pertemuan Yohannesburg memunculkan konsep tanggungjawan sosial, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu keberlanjutan ekonomi dan lingkungan. Sementara pertemuan UN Global Compact secara gamblang meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility. Dalam perkembangannya, perhatian pelanggan perusahaan-perusahaan dunia terhadap isu sosial dan lingkungan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kombinasi antar berbagai akselarator tersebut pada gilirannya mempengaruhi paradigma berpikir para pemilik dan pengelola korporasi untuk

21 mengintegrasikan isu sosial dan lingkungan tersebut ke dalam operasi bisnis mereka. Dengan kondisi ini, the International Organization for Standardization (ISO) atau organisasi internasional untuk standarisasi berinisiatif membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. ISO menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun sektor swasta baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan ISO ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara: 1) mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya; 2) menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif; dan 3) memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional (Daniri, 2008). Namun perlu digarisbawahi bahwa ISO bukan merupakan standar untuk sertifikasi yang memuat persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan/organisasi, melainkan lebih kepada penyediaan panduan teknis bagi perusahaan/organisasi dalam menerapkan social responsibility. Selain ISO 26000, terdapat beberapa standard CSR yang bisa diterapkan oleh perusahan seperti AccountAbility s (AA1000) standard, Global Reporting Initiative s (GRI), Social Accountability International s SA8000 standard, dan ISO Environmental Management Standard. Untuk lembaga perbankan dan keuangan dunia umumnya menerapkan the Equator Principles yang merupakan prinsip pendanaan dan manajemen risiko proyek yang mendorong (atau setidaknya tidak mengganggu) kemakmuran ekonomi, perlindungan lingkungan hidup, dan keadilan sosial. Prinsip-prinsip ini terutama diterapkan pada jenis pendanaan proyek-proyek yang besar, kompleks, dan mahal seperti penghasil daya, pertambangan, infrastruktur transportasi, dan pengelolaan wilayah. Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai corporate sustainability dengan salah satu kriterianya adalah praktik CSR. Begitu pula London Stock Exchange yang memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang memiliki FTSE4Good sejak Inisiatif ini mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hanseng Stock Exchange dan Singapore Stock Exchange. Konsekuensi dari adanya indeks-indeks tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan asuransi yang hanya akan menanamkan dananya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam indeks ini (Daniri, 2008).

22 Kotak 2. Aqua Benahi Hutan Mangrove Pemerintah Kabupaten Pasuruan dan Aqua Danone menggulirkan dana sebesar Rp3 miliar untuk membenahi hutan mangrove. Penataan itu diharapkan mampu membuat hutan mangrove daerah ini menjadi kawasan konservasi, wisata, dan pengembangan ilmu pengetahuan. "Dana itu diharapkan mampu membenahi hutan mangrove di Pasuruan dan sekitarnya. Banyak peneliti datang ke Pasuruan untuk meneliti mangrove," ujar Wakil Bupati Pasuruan Eddy Paripurna. Salah satu langkah awal yang dilakukan ialah menggelar Festival Mangrove 2010 dan gelar budaya dan usaha kecil mandiri di Nguling, Pasuruan. Direktur Utama PT Aqua Golden Mississipi Parmaning-sih Hadinegoro mengatakanfestival mangrove adalah sarana pembelajaran dan penyadaran bagi masyarakat bahwa penanaman dan pemeliharaan pohon mangrove sangat penting. "Ini bisa jadi embrio wisata mangrove di pesisir Pasuruan, yang ada di sekitar Pantai Nguling." Program untuk Pasuruan bukan untuk pertama kalinya. Beberapa tahun silam, Danone Aqua telah memulai dengan melakukan penanaman pohon mangrove di pantai. Hingga saat ini, jumlah pohon yang sudah ditanam sekitar dan sampai 2012 ditargetkan bakal mencapai pohon. Manajer CSR PT Tirta Investama Arifatullah mengatakan festival mangrove diharapkan bisa menjadi cikal bakal terbentuknya kampung wisata budaya mangrove. Sumber: Media Indonesia Di Indonesia, CSR merupakan kewajiban sebagimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas. Menurut Undang-Undang Penanaman Modal, setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, noma, dan budaya masyarakat setempat. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas hanya memberi kewajiban CSR pada Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Terminologi yang digunakan oleh Undang-Undang ini adalah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang didefinisikan sebagai komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Ketentuan tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam Undang-Undang Perseroran Terbatas ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat, maka ditentukan bahwa Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Untuk melaksanakan kewajiban Perseroan tersebut, kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kegiatan tersebut dimuat dalam laporan tahunan Perseroan. Dalam hal Perseroan tidak melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan maka Perseroan yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang lain yang terkait dengan CSR di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Undang-Undang ini memang tidak secara spesifik menggunakan istilah tanggungjawab sosial perusahaan, namun dalam ketentuannya mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk menyusun rencana dan melaksanakan program

23 pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan Masyarakat yang dimaksud adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. Terdapat juga ketentuan khusus bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melaksanakan CSR melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Peraturan Menteri (Permen) Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per-05/Mbu/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan. Permen ini mewajibkan BUMN (Perusahan Umum dan Persero) untuk melaksanakan PKBL. Peraturan Menteri BUMN ini bahkan menyebutkan bahwa BUMN harus mengalokasikan dana untuk PKBL sebesar maksimal 2% dari laba perusahaan setelah pajak.

24 3.3 Pengalihan Utang Untuk Lingkungan (Debt-for-Nature Swaps) Konversi utang atau debt conversion secara umum dapat dipahami sebagai pertukaran utang dengan ekuitas atau dana dalam mata uang lokal untuk pembiayaan suatu proyek atau program (OECD, 2000). Berdasarkan peruntukannya, skema debt conversion dibedakan menjadi debt for equity dan debt for development swap. Debt for equity adalah skema yang lebih diarahkan untuk mendukung program privatisasi dan investasi bagi perusahaan-perusahaan milik negara yang dikaitkan dengan upaya pembayaran utang luar negeri pemerintah. Sementara debt for development swap diarahkan sebagai upaya untuk membantu negara-negara debitor dalam mencapai sasaran-sasaran jangka panjang pada bidang-bidang yang lazimnya mengalami kesulitan pendanaan akibat tekanan-tekanan atau kesulitan keuangan jangka pendek. Debt-for-Nature Swaps (DNS) adalah salah satu skema dari debt for development swap, selain Debt for Poverty Swap, Debt for Education Swap (Mukherjee, 1992). Dalam sejarahnya, skema Debt-For-Nature Swaps mulai berkembang pada awal dasawarsa 1982 ketika terjadi krisis utang yang dialami negaranegara di kawasan Amerika Latin. Pada waktu itu kaum environmentalist/conservationist gencar mempromosikan skema ini. Argumen yang mereka kemukakan adalah bahwa upaya negara-negara tersebut mengakumulasi devisa dalam rangka pembayaran utang luar negeri (debt service) telah menyebabkan kerusakan dan penurunan daya dukung lingkungan dan sumber daya alam, terlebih bagi negara-negara yang mengandalkan ekspornya pada produk-produk primer (Occhiolini, 1990). Thomas Lovejoy, salah seorang environmentalist/conservationist, menulis artikel di New York Time pada tahun 1984 bahwa krisis utang di negara-negara Amerika Latin merupakan katalis dalam pengembangan konsep Debt-for-Nature Swaps. Dia kemudian mendorong kelompok konservasi untuk memanfaatkan mekanisme ini. Pada tahun 1987, Conservation International (CI) dan pemerintah Bolivia menandatangani kesepakatan Debt-For-Nature Swaps pertama di dunia, yaitu penghapusan utang luar negeri Bolivia sebesar $ yang ditukar dengan program perlindungan Kawasan Biosfir Beni senilai $ pada mata uang lokal. Dengan kata lain, terdapat diskon utang pemerintah Bolivia yang cukup signifikan yaitu sebesar hampir 85%. Sebagai tambahan, pemerintah Bolivia membentuk dana abadi (endowment fund) senilai $ pada mata uang lokal untuk menangani biaya operasional pengelolaan Kawasan Biosfir Beni. Dalam kesepakatan ini, pemerintah Bolivia bekerjasama dengan NGO lokal melindungi sekitar 2 juta hektar hutan dan padang rumput di Taman Biosfir Beni yang berlokasi di lembah sungai Hutan Hujan Amazon dengan perlindungan maksimum. Pertukaran ini juga menciptakan tiga kawasan perlindungan yang berdekatan sebagai kawasan penyangga (buffer zone). Kesepakatan ini membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 8 bulan yang disebabkan sebagian oleh lemahnya partisipasi terbuka dari organisasi-organisasi di Bolivia dan sebagian lagi karena kesalahpahaman tentang mekanisme kerja DNS. Sebagi contoh kesalahpahaman adalah banyak masyarakat Bolivia berpandangan bahwa lahan-lahan lokasi program konservasi ini akan dialihkan kepemilikannya kepada CI. CI sendiri berperan sebagai penasehat resmi pemerintah Bolivia dalam merancang dan merencanakan Kawasan Biosfir Beni, serta bekerjasama dengan pengelola kawasan. Pada tahapan berikutnya CI bertanggungjawab dalam menyediakan dukungan teknis, keuangan, sains, dan pengelolaan kawasan. Dalam hal ini termasuk berperan dalam penyediaan dana awal (start-up funding), pengembangan

25 kelembagaan, pelatihan, dan melakukan koordinasi dengan lembaga internasional lainnya dalam pengelolaan kawasan Biosfir ini. Kotak 3. Pengalaman Beberapa Negara Menerapkan Skema DNS 1. Conservation International (CI) membeli utang pemerintah Bolivia sebesar $ dengan harga yang disetujui sebesar $ Sebagai gantinya pemerintah Bolivia menetapkan tiga kawasan konservasi untuk dikelola dan menyuntik dana lokal sebesar $ Dari utang sebesar $ 50 juta, pemerintah Ghana, di Afrika berhasil berunding untuk mengalihkan sebagian utang yang dialihkan kepada lembaga-lembaga nirlaba dalam kegiatan kesehatan, pendidikan dan pengentasan kemiskinan. 2. Pemerintah Filipina juga berhasil mengkonversi utang bilateral Perancis, Jerman dan Swiss serta utang komersial untuk DNS pada tahun sehingga rasio utang dan kemampuan pembayaran utang menjadi lebih baik. 3. Di Peru, tiga lembaga internasional CI, TNC dan WWF masing-masing menyumbang $ sehingga diperoleh dana total $ sebagai jaminan untuk pelaksanaan kegiatan konservasi. Pemerintah AS menyediakan $5,5 juta untuk mengurangi sebagian utang Peru ke AS. Dengan perjanjian ini Peru menghemat utang sebesar $14 juta dengan menyediakan dana lokal senilai $10.6 juta untuk pelaksanaan konservasi selama 12 tahun dari jadwal pembayaran utang selama 16 tahun ke depan. Dengan cara ini sebagian beban utang pemerintah diganti dengan komitmen untuk konservasi. Pemerintah menyediakan sebagian dana dalam bentuk uang lokal yang akan disalurkan kepada lembaga-lembaga konservasi lokal. Sumber: CIFOR (2003) Tahapan pelaksanaan DNS pada kasus Bolivia adalah tipe Three-party DNS yang melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini organisasi lingkungan seperti CI, TNC, dan WWF. Dalam Three-party DNS, organisasi lingkungan berperan sebagai donor yang membeli utang dari komersial bank di pasar sekunder. Organisasi lingkungan ini kemudian mentransfer utang ke negara yang berutang (debitor) dan sebagai gantinya negara debitor tersebut setuju untuk melakukan kebijakan lingkungan atau menempatkan dana abadi (endowment fund) untuk tujuan program konservasi. Secara total tercatat three-party DNS telah mengumpulkan hampir $140 juta untuk dana konservasi dalam kurun waktu (Sheikh, 2010). Mekanisme kerja Three-party DNS dalam kasus Bolivia digambarkan pada bagan berikut: Lembaga Kreditor Debitor Pemerintah USD USD Endowment Fund dalam mata uang lokal setara dengan USD Organisasi Lingkungan Trust Fund Program Konservasi Lingkungan

26 Tipe lainnya adalah Bilateral DNS yang hanya melibatkan dua pemerintahan. Dalam bilateral DNS, negara pemberi utang (kreditor) menghapuskan sebagian hutang pemerintah negara yang berutang (debitor) dan sebagai gantinya negara debitor memberikan komitmen terhadap penyelamatan lingkungan. Sebagai contoh, pemerintah Amerika menghapus sebagian utang pemerintah Jamaika dan memperkenankan pembayaran utang melalui dana nasional untuk membiayai konservasi lingkungan. Selain itu, dana ini juga digunakan untuk mendirikan Yayasan Lingkungan Jamaika tahun Terdapat juga tipe Multilateral DNS yang sebenarnya mirip dengan Bilateral DNS tapi melibatkan lebih dari dua pemerintahan. Tercatat Bilateral dan Multilateral DNS telah menghasilkan hampir $900 juta bagi dana konservasi selama tahun (Sheikh, 2010). Mekanisme kerja Bilateral DNS digambarkan pada bagan berikut: Kreditor Pemerintah USD USD Program Konservasi Lingkungan Debitor Pemerintah Alokasi pembiayaan dalam mata uang lokal yang jumlahnya setara dengan USD Di Indonesia, penerapan DNS telah diamanatkan oleh Tap MPR RI No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun Tap MPR ini menugaskan kepada Presiden sebagai berikut: Hutang Luar Negeri Indonesia wajib dibayar tetapi Pemerintah perlu mengupayakan program restrujturisasi hutang luar negeri baik melalui penjadwalan hutang (pokok dan bunga), penukaran hutang yang relatif mahal dengan hutang yang sangat lunak (IDA/International Development Agency), program debt to poverty swap maupun debt to nature swap dalam rangka mengurangi beban APBN. Salah satu implementasi DNS di Indonesia adalah Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) atau disebut juga Aksi Nyata Konservasi Hutan Tropis Sumatera. Program ini adalah sebuah skema pengalihan utang untuk lingkungan (Debt-For-Nature Swaps) yang dibuat oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia yang ditujukan untuk melestarikan kawasan hutan tropis di Sumatera yang tingkat deforestasinya sangat tinggi. Kesepakatan antara kedua negara dan para pihak yang terlibat (Yayasan KEHATI dan Conservation International Indonesia) ditandatangani pada tanggal 30 Juni 2009 bertempat di Manggala Wanabhakti, Jakarta. Pemerintah Amerika Serikat sepakat untuk menghapus hutang luar negeri Indonesia, sebesar hampir 20 juta dolar AS selama 8 tahun. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyalurkan dana pembayaran hutangnya bukan ke Pemerintah Amerika Serikat namun dialihkan untuk mendukung penyediaan dana hibah bagi perlindungan dan pebaikan hutan tropis Indonesia. Kesepakatan yang merupakan pengalihan hutang (debt-swap) ini terlaksana dengan melibatkan dua Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai mitra pelaksana kegiatan (swap partner) yaitu Conservation International dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang masing-masing berkontribusi sebesar $1 juta sehingga program ini juga

27 disebut Subsidized Debt-For-Nature Swaps. Ini merupakan skema yang pertama kalinya dilakukan di Indonesia dan merupakan pengalihan hutang lingkungan dalam jumlah terbesar yang dibuat Amerika Serikat dengan negara-negara lainnya. Program ini dikelola oleh suatu badan yang bernama Oversight Committee (OC) dengan anggota tetap terdiri dari Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Kehutanan, Pemerintah Amerika Serikat yang diwakili oleh USAID dan wakil-wakil dari swap partners yaitu CI dan KEHATI. Dalam pelaksanaannya, untuk memberikan keputusan-keputusan yang lebih transparan dan akurat maka keanggotaan OC ditambah dengan tiga anggota tidak tetap (designated member) dari lembaga-lembaga independen dengan masa jabatan 3 tahun. Sejak akhir tahun 2009 hingga 2012 perwakilan anggota OC tidak tetap telah ditunjuk dari lembaga-lembaga Transparency International Indonesia, Indonesia Business Link, dan Univerversitas Syiah Kuala. Oversight Committee memegang kewenangan tertinggi dalam pengelolaan dana hibah yang dalam pelaksanaan hariannya dibantu oleh Administrator dan merangkap sebagai Sekretariat OC (KEHATI). Selain program DNS dengan pemerintah Amerika melalui skema TFCA diatas, beberapa program debt swap lainnya disajikan pada tabel berikt ini: Country Debt Swap/Project Name Amount Commitment Realization Germany Debt Swap I - for Elementary Education Debt Swap II - for Junior Secondary Education EUR ,03 EUR 25,564, Telah dihapuskan sebesar EUR 25,564, (Selesai) EUR ,00 EUR 23,000, Telah dihapus sebesar EUR 23,000, (Selesai) Australia Debt Swap III - Strengthening the Development of National Parks in Fragile Ecosystems Debt Swap IV for Education school Reconstruction and Rehabilitation in Earthquake Area in Yogyakarta and Central Java Debt Swap V through Global Fund to Fight AIDS, Tubercolosis and Malaria (GFATM) Debt Swap VI-Climate Change Debt Swap VII-(Indonesian- German Scholarship Program) Debt2Health Australia Through The Global Fund EUR 6,250, EUR 12,500, Proses review audit report oleh KfW EUR 10,000,000 EUR 20,000, Telah dihapuskan EUR 20,000, (Selesai) EUR 25,000, EUR 50,000, Telah dihapuskan sebesar EUR 40 juta atas realisasi tahun 2008 dan 2009, 2010, dan 2011 EUR 20,000, (Indikasi) EUR 20,000, (Indikasi) Dalam proses persiapan. EUR 9,384, EUR 18,768, Telah ditandatangani pada tanggal 15 Desember 2011, dalam proses pelaksanaan kegiatan. AUD 37,500, AUD 75,000, Realisasi sampai saat ini sebesar AUD 7,460, Italia Debt for Development Swap Realisasi Fase I (Tahun 2007) EUR 5,752, USD24,200, EUR 5,752, USD24,200, EUR 1,425, USD 5,027, Total Realisasi:

28 Debt for Development Swap Realisasi Fase II (Tahun 2009) Debt for Development Swap Realisasi Fase III (Tahun 2010) USA Debt Development Swap Tropical Forest Conservation Act/ TFCAUSD Sumber: Kementerian Keuangan 2012 EUR 2,497, USD 11,635, EUR 1,829, USD 7,538, USD 20,000,000 USD 22,000,000 USD 22,000,000 EUR 5,752, USD24,200, (Selesai) Tabel diatas menunjukan bahwa saat ini belum ada skema DNS khusus untuk program pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Untuk mewujudkan skema tersebut langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pembahasan skema Debt Swap yang dipimpin Deputi Menko Perekonomian. 2. Pihak kreditor menyampaikan usulan secara resmi. Perlu digarisbawahi bahwa usulan formal pengurangan utang melalui skema DNS ini tidak berasal dari pemerintah Indonesia sebagai debitor sebab jika hal ini dilakukan dapat diartikan oleh dunia internasional bahwa Indonesia sedang tidak mampu membayar utang. 3. Kementerian Keuangan melakukan pembahasan teknis perjanjian dengan pihak kreditor. 4. Kementerian/Lembaga sebagai pelaksana kegiatan akan melaksanakan kegiatan sesuai perjanjian debt swap yang dilakukan melalui mekanisme APBN. 5. Penghapusan utang akan diberikan ketika kegiatan telah melalui tahapan implementasi, evaluasi akhir, dan proses audit berdasarkan sistem pengelolaan APBN yang berlaku.

29 3.4 Pasar Karbon (Carbon Market) Pasar karbon atau carbon market terkait erat dengan gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global. Gas rumah kaca berperan sebagai selimut yang memanasi dan kemudian mengubah iklim bumi secara global. Karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca dengan kontribusi paling besar, lebih dari 50%, selain metana (CH 4 ), nitrat oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorocarbons (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF 6 ). Gas rumah kaca merupakan gas yang dilepaskan oleh hasil pembakaran bahan bakar fosil (combustion process), seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam, yang digunakan untuk kendaraan bermotor, pembangkit listrik, dan kegiatan industri oleh hampir semua negara-negara di dunia. Selain itu, tingginya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer diperparah dengan maraknya penebangan hutan (deforestasi) di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Bahkan untuk Indonesia, kombinasi dari kegiatan deforestasi, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, bersama Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Untuk memperlambat laju perubahan iklim dan pemanasan global, maka hal yang perlu dilakukan adalah mengurangi dan atau mencegah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan akibat perbuatan manusia. Tindakan ini disebut dengan tindakan mitigasi yang mencakup pengurangan penggunaan BBM untuk kendaraan, penggunaan energi bersih terbarukan, penghematan pemakaian listrik, mendaur ulang limbah, memelihara hutan, dan sebagainya. Salah satu instrumen ekonomi yang berperan penting memberikan insentif bagi kegiatan mitigasi perubahan iklim adalah pasar karbon. Dalam pasar karbon, yang diperdagangkan sesungguhnya adalah hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-co 2 (ton CO 2 equivalent). Hak di sini dapat berupa hak untuk melepaskan gas rumah kaca ataupun hak atas penurunan emisi gas rumah kaca. Pasar karbon berdasarkan pembentukannya terdiri atas pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) dan pasar karbon wajib (compliance market). Pasar Karbon Sukarela Pasar karbon sukarela memungkinkan perusahaan dan individu melakukan pembelian dan penjualan carbon offsets berbasis kerelaan. Perbedaannya dengan pasar karbon wajib, pasar karbon sukarela memperkenankan sektor-sektor yang belum diatur atau di negara yang belum memiliki rejim kewajiban untuk melakukan perdagangan emisi karbon secara sukarela. Pasar ini bisa mengembangkan program secara lebih fleksibel yang tidak bisa dilakukan dibawah rejim pasar karbon wajib. Selain itu memberikan kesempatan kepada perusahaan dan LSM untuk memperoleh pengalaman dalam penghitungan karbon, pengurangan emisi, dan pasar karbon. Perdagangan karbon dalam pasar sukarela ini umumnya bersumber dari program energi terbarukan, pemanfaatan lahan, dan pelestarian hutan. Saat ini telah berkembang program mitigasi perubahan iklim melalui program konservasi ekosistem pesisir, yaitu mangrove, lamun, dan rawa pasang surut (tidal marshes) yang kemudian terkenal dengan istilah blue carbon. Program-program tersebut menghasilkan sumber pendapatan bagi kegiatan konservasi keanekaragaman hayati dan juga memperoleh keuntungan karbon.

30 Permintaan (demand) pada pasar karbon ini terbentuk semata karena adanya keinginan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan bukan karena adanya kewajiban untuk itu. Keinginan ini memicu terjadinya perdagangan karbon antara si empunya keinginan dengan penyedia karbon yang kerap kali terjadi secara langsung (over the counter). Dalam beberapa kasus, keinginan tersebut digabungkan menjadi komitmen kolektif sehingga pasarnya membesar dan dapat menarik keterlibatan pihak lain seperti perantara, investor, maupun layanan bursa. Pasar karbon sukarela menggunakan mekanisme dengan system crediting atau sering juga disebut baseline-and-crediting. Dalam mekanisme ini, penurunan emisi adalah selisih dari skenario emisi tanpa adanya proyek penurunan emisi (baseline) dengan emisi aktual setelah adanya proyek. Komoditi yang diperdagangkan adalah penurunan emisi yang telah disertifikasi berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di pasar tersebut. Komoditi ini disebut juga sebagai kredit karbon dimana satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton karbon dioksida. Kotak 4. Proyek Karbon Kawasan Konservasi Juma, Brasil Kawassan konservasi Juma mencakup areal seluas acre di hutan Amazon Brasil. Melalui inisiatif perdagangan karbon sukarela, pemerintah Brasil menciptakan mekanisme keuangan untuk menghasilkan dana dari kegiatan pengurangan emisi yang disebabkan oleh deforestasi. Dengan mengeluarkan kredit untuk dijual, pemerintah Brasil akan menutupi biasa operasional pengelolaan kawasan, menjamin perlindungan dan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan. Proyek Juma ini dilaksanakan oleh the Amazonas Sustainable Foundation (FAS) bekerjasama dengan pemerintah Brasil. FAS mengantisipasi memperoleh hampir 60 persen dari anggaran operasional yang dibutuhkan untuk Juma Proyek melalui kerjasama dengan perusahaan Marriot yang sebelumnya telah memberikan kontribusi awal sebesar $2,5 juta. Marriot sendiri telah meluncurkan program internal yang disebut dengan Green Your Stay for $1.00 Per Day yaitu program bagi tamu hotel untuk mengganti perkiraan karbon footprint selama menginap di hotel. Dana yang terkumpul dari tamu disumbangkan kepada Proyek Juma dan sebagai imbalannya sejumlah kredit akan dibayarkan oleh FAS untuk setiap guestday. Marriot memperkirakan memperoleh $4 juta selama 4 tahun program berjalan. Hal yang paling penting adalah bahwa ini bukan merupakan perdagangan resmi melainkan kontribusi sukarela oleh para tamu untuk mengurangi karbon footprint dan mendukung kawasan konservasi hutan hujan yang penting. Proyek Juma dikembangkan dengan menggunakan standar the Climate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA) untuk menentukan manfaat sosial dan lingkungan dari proyek dan bukan dampak dari emisi karbon. Karena CCBA tidak menyediakan perhitungan dan validasi karbon, kredit karbon ini hanya digunakan oleh Marriot untuk tujuan internal mereka. Dengan demikain, ini lebih merupakan proyek filantropi ketimbang jejak emisi karbon. Pengembang Juma proyek mengusulkan untuk menggunakan Voluntary Carbon Standards (VCS) dalam menghitung dan memvalidasi pengurangan emisi karbon. Estimasi awal adalah sekitar 3,6 juta ton emisi CO 2 dapat dihindari selama 10 tahun pertama proyek. Jika divalidasi dan diregistrasi, pengurangan ini dapat dijual sebagai kredit pada pasar karbon sukarela yang dapat memberi kontribusi untuk menutupi biaya pengelolaan dan menyediakan manfaat keuangan bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi Juma. Sumber: Kredit yang dihasilkan dari suatu proyek yang sudah terverifikasi dapat dijual dan digunakan oleh pembeli (buyer) untuk memenuhi target penurunan emisi atau bahkan untuk menjadikan kegiatan yang dilakukan pembeli menjadi netral karbon (carbon neutral) atau nol emisi (zero emission). Mekanisme system crediting digambarkan pada bagan berikut:

31 Mekanisme tersebut diatas memerlukan proses sertifikasi, baik untuk pasar karbon sukarela maupun pasar karbon wajib. Beberapa program sertifikasi kredit karbon untuk pasar sukarela adalah Verified Carbon Standard (VCS), the Climate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA), Gold Standard (GS), Plan Vivo, Panda Standard, American Carbon Registry, dan sebagainya. Mekanisme sistem crediting untuk pasar karbon sukarela menurut DNPI (2013) secara umum mempunyai tahapan sebagai berikut: 1. Tahap pengusulan, dimana proyek menyusun dokumen usulan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Tahap validasi, dimana kesesuaian dokumen usulan dengan persyaratan dan ketentuan diperiksa. 3. Tahap registrasi, dimana proyek dinyatakan memenuhi syarat dan dicatat sebagai peserta skema crediting bersangkutan. 4. Tahap verifikasi, dimana hasil penurunan emisi dalam suatu periode tertentu diperiksa kebenaran dan kesesuaiannya. 5. Tahap penerbitan kredit karbon, dimana sejumlah kredit karbon diterbitkan berdasarkan hasil verifikasi. Pasar Karbon Wajib Sumber: DNPI (2013) Pasar karbon wajib (compliance market) adalah kebalikan dari pasar karbon sukarela, terbentuk karena ada kebijakan yang mewajibkan pengurangan dan atau pembatasan jumlah emisi gas rumah kaca, seperti kewajiban yang diatur dalam Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara-negara yang meratifikasinya dan mewajibkan negara-negara maju (Annex-1) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% selama 5 tahun, antara , dibandingan dengan emisi tahun Saat ini para pihak sedang mengembangkan protokol baru sebagai pengganti Protokol Kyoto yang sudah selesai sejak tahun 2012 lalu. Protokol Kyoto menggunakan prinsip common but differentiated responsbilities yang berarti bahwa negara-negara di dunia mempunyai tanggungjawab bersama tetapi dengan porsi yang berbeda. Dalam hal ini negara-negara maju yang masuk dalam Annex-1 berkewajiban mengurangi produksi gas rumah kaca, sementara negara-negara berkembang yang masuk dalam Non-Annex-1 berkewajiban mencegah gas rumah kaca dilepas ke atmosfir.

32 Negara-negara yang telah mendapat target emisi karbon berdasarkan Protokol Kyoto kemudian mendistribusikan target tersebut ke perusahaan-perusahaan dengan emisi karbon tinggi yang disebut dengan cap. Umumnya cap diterapkan dalam bentuk pengalokasian kuota (allowance) emisi bagi para peserta pasar yang dilakukan di awal periode. Di akhir periode, para peserta harus menyetorkan (surrender) unit kuota kepada lembaga yang ditentukan sejumlah emisi aktual yang telah mereka lepaskan. Peserta yang melewati cap-nya dapat membeli tambahan unit kuota dari mereka yang kuotanya tidak terpakai sehingga terjadilah perdagangan karbon. Protokol Kyoto memungkinkan kerjasama antara negara maju dan negara berkembang dalam mengurangi gas rumah kaca, yaitu melalui mekanisme Clean Development Mechanism (CDM). Dengan mekanisme ini, negara maju yang belum berhasil mencapai target emisi karbon dapat menggantinya dengan melaksanakan proyek karbon di negara berkembang, seperti proyek renewable energy (pembangkit listrik tenaga air, angin, matahari), proyek efisiensi energi, proyek konservasi lingkungan, dan sebagainya. Jumlah gas rumah kaca yang berhasil dicegah untuk tidak lepas ke atmosfir melalui proyek CDM di negara berkembang tersebut kemudian dijadikan sebagai kredit karbon oleh negara maju. Kredit karbon selanjutnya diperhitungkan dalam pencapaian negara maju terhadap target emisi karbon. Mekanisme yang digunakan untuk pasar wajib ini dikenal dengan emission trading system (sistem perdagangan karbon). Nama lain dari sistem ini adalah cap-and-trade. Konsep cap-and-trade ini sebelumnya sudah diterapkan di Amerika khususnya bagi perusahaan yang menghasilkan limbah sulfur dioxide (SO 2 ). Mekanisme ini dikembangkan untuk mengurangi terjadinya hujan asam (acid rain) yang disebabkan oleh emisi gas SO 2 pada tahun Sistem ini secara sistematis berhasil mengurangi emisi gas tersebut di Amerika. Dengan mekanisme ini, setiap pihak yang terkena pembatasan emisi harus melaporkan emisi gas rumah kacanya secara periodik (biasanya tahunan) kepada lembaga yang ditentukan. Dari laporan tersebut dapat diketahui apakah emisi pihak tersebut melebihi batas yang ditentukan atau tidak. Untuk pembuat kebijakan, laporan ini juga digunakan sebagai dasar menentukan batas emisi di tahun berikutnya. Mekanisme system trading digambarkan pada bagan berikut: Sumber: DNPI (2013)

PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT

PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT Oleh: Rony Megawanto Tekanan terhadap sumber daya perikanan semakin tinggi seiring dengan meningkatkan permintaan pasar (demand) terhadap produk-produk

Lebih terperinci

Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008

Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008 1 Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008 2 3 Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK

Lebih terperinci

ATAS RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA

ATAS RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN, EMITEN, DAN PERUSAHAAN PUBLIK BATANG TUBUH RANCANGAN PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.437, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL. Pembentukan. Lembaga. Wali Amanat. PERATURAN MENTERI NEGARA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.915, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BAPPENAS. Lembaga Wali Amanat. Dana Perwakilan. Perubahan Iklim. PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia. Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia. Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan sekuritas di Indonesia. Dahulu terdapat dua bursa efek di Indonesia, yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ditengah perkembangan ekonomi yang semakin meningkat, hampir

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ditengah perkembangan ekonomi yang semakin meningkat, hampir BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ditengah perkembangan ekonomi yang semakin meningkat, hampir seluruh perusahaan yang ada di setiap negara berlomba-lomba untuk menjalankan bisnisnya dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. revolusi industri (akuntansi konvensional) menyebabkan pelaporan akuntansi

BAB I PENDAHULUAN. revolusi industri (akuntansi konvensional) menyebabkan pelaporan akuntansi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah perkembangan akuntansi yang berkembang pesat setelah terjadi revolusi industri (akuntansi konvensional) menyebabkan pelaporan akuntansi lebih banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan keunggulan kompetitif (competitive advantage) bisnisnya agar

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan keunggulan kompetitif (competitive advantage) bisnisnya agar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi telah mempengaruhi beberapa aspek kehidupan manusia. Salah satu aspek yang paling signifikan perubahannya adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN PADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, perusahaan merupakan salah satu bentuk organisasi yang memiliki tujuan. Salah satu tujuan perusahaan yaitu untuk memenuhi kepentingan para stakeholder.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN PADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modalnya kepada perusahaan tersebut (Haruman, 2008). informasi tersebut akan meningkatkan nilai perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. modalnya kepada perusahaan tersebut (Haruman, 2008). informasi tersebut akan meningkatkan nilai perusahaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan. Peningkatan nilai perusahaan tercermin pada harga sahamnya. Nilai perusahaan yang tinggi

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang: Mengingat: a. bahwa untuk mendorong

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperluas investasi pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperluas investasi pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HIBAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi

Lebih terperinci

Puskesmas Sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Ditulis oleh Administrator Selasa, 24 May 2011 08:55 -

Puskesmas Sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Ditulis oleh Administrator Selasa, 24 May 2011 08:55 - Badan Layanan Umum Daerah atau disingkat BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah di Indonesia yang dibentuk untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SERANG SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SERANG SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SERANG SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PERMENTAN/OT.140/2/2015

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PERMENTAN/OT.140/2/2015 PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PERMENTAN/OT.140/2/2015 TENTANG PEDOMAN KERJASAMA BIDANG PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

WALIKOTA BAUBAU PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA BAUBAU PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG WALIKOTA BAUBAU PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BAUBAU SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 52 /PMK. 010 /2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN HIBAH KEPADA DAERAH MENTERI KEUANGAN,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 52 /PMK. 010 /2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN HIBAH KEPADA DAERAH MENTERI KEUANGAN, PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 52 /PMK. 010 /2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN HIBAH KEPADA DAERAH MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 6 Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan community empowerment developing program, community. based resources management, community based development

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan community empowerment developing program, community. based resources management, community based development BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Community development merupakan cikal bakal dari munculnya CSR. Community development (comdev) dengan berbagai istilah banyak dikenal dengan community empowerment developing

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 52 /PMK. 010 /2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN HIBAH KEPADA DAERAH MENTERI KEUANGAN,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 52 /PMK. 010 /2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN HIBAH KEPADA DAERAH MENTERI KEUANGAN, PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 52 /PMK. 010 /2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN HIBAH KEPADA DAERAH MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 6 Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memperluas investasi pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Penanggulangan Kemiskinan. Pendanaan. Pusat. Daerah. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Penanggulangan Kemiskinan. Pendanaan. Pusat. Daerah. Pedoman. No.418, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Penanggulangan Kemiskinan. Pendanaan. Pusat. Daerah. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 168 /PMK.07/2009 TENTANG

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR 4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma para pemegang saham dan

BAB I PENDAHULUAN. Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma para pemegang saham dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era yang sekarang ini, sektor bisnis di Indonesia mulai berkembang. Tentu saja kebanyakan dari mereka masih memfokuskan tujuan utamanya pada pencarian

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

DAFTAR ISI 1. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH...

DAFTAR ISI 1. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH... a b DAFTAR ISI 1. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH... 2. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN LAYANAN UMUM DAERAH DAN PENGELOLAAN KEUANGAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN LAYANAN UMUM DAERAH DAN PENGELOLAAN KEUANGAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN LAYANAN UMUM DAERAH DAN PENGELOLAAN KEUANGAN 2.1 Tinjauan Umum Tentang Badan Layanan Umum Daerah 2.1.1. Definisi dan Dasar Pengaturan Badan Layanan Umum Daerah Sebelum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

2011, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nom

2011, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nom BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.761, 2011 BAPPENAS. Prosedur Kegiatan. Biaya Luar Negeri. Hibah. PERATURAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

-2- salah satu penyumbang bagi penerimaan Daerah, baik dalam bentuk pajak, dividen, maupun hasil Privatisasi. BUMD merupakan badan usaha yang seluruh

-2- salah satu penyumbang bagi penerimaan Daerah, baik dalam bentuk pajak, dividen, maupun hasil Privatisasi. BUMD merupakan badan usaha yang seluruh TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PEMERINTAH DAERAH. Badan Usaha Milik Daerah. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 305) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perusahaan dalam melakukan kegiatan operasinya selalu berusaha untuk memaksimalkan laba untuk mempertahankan keberlangsungannya. Dalam upaya memaksimalkan laba

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.09/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.09/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.09/MEN/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERJALANAN DINAS LUAR NEGERI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Menimbang BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disahkan 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini.

BAB I PENDAHULUAN. disahkan 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang dikemukakan H. R. Bowen (1953), muncul sebagai akibat karakter perusahaan yang

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR LEMBAGA PENGELOLA MODAL USAHA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 11/PER-LPMUKP/2017 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR LEMBAGA PENGELOLA MODAL USAHA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 11/PER-LPMUKP/2017 TENTANG KEMENTERIAN K 1 ELAUTAN DAN PERIKANAN SEKRETARIAT JENDERAL SATKER LEMBAGA PENGELOLA MODAL USAHA KELAUTAN DAN PERIKANAN Jl. Medan Merdeka Timur No.16 Lt.17 Gd.Mina Bahari II, Jakarta Pusat 10110 Telp (021)

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH. BAB I KETENTUAN UMUM

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH. BAB I KETENTUAN UMUM www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI DAN PENERIMAAN HIBAH PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN LUAR NEGERI I. UMUM DAN PENERIMAAN HIBAH Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai awal munculnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai awal munculnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai awal munculnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah karena perhatian kepada lingkungan. Terutama sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui sedang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 7 TAHUN TENTANG KERJASAMA DAERAH

BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 7 TAHUN TENTANG KERJASAMA DAERAH BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 7 TAHUN 2014. TENTANG KERJASAMA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 8 Tahun : 2012 Seri : E PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA KERJA SAMA PEMERINTAH

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini perusahaan tidak hanya beroperasi untuk kepentingan para pemegang saham (shareholders), tetapi juga untuk kemaslahatan sosial. Dari segi ekonomi, perusahaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Weygandt et al., 2008). Keseluruhan proses akuntansi pada akhirnya akan menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. (Weygandt et al., 2008). Keseluruhan proses akuntansi pada akhirnya akan menghasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Akuntansi merupakan sistem informasi yang mengidentifikasi, merekam dan mengkomunikasikan kejadian ekonomik dari suatu entitas pada pengguna yang berkepentingan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN, PENGAJUAN USULAN, PENILAIAN, PEMANTAUAN,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN 168/PMK.07/2008 TENTANG HIBAH DAERAH MENTERI KEUANGAN,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN 168/PMK.07/2008 TENTANG HIBAH DAERAH MENTERI KEUANGAN, PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 168/PMK.07/2008 TENTANG HIBAH DAERAH MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatnya kesadaran dan kepekaan para stakeholders perusahaan, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatnya kesadaran dan kepekaan para stakeholders perusahaan, maka 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama kurun waktu 20-30 tahun terakhir ini, kesadaran masyarakat akan peran perusahaan dalam lingkungan sosial semakin meningkat. Banyak perusahaan besar

Lebih terperinci

WALIKOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG WALIKOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENGADAAN DAN PENERUSAN PINJAMAN DALAM NEGERI OLEH PEMERINTAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENGADAAN DAN PENERUSAN PINJAMAN DALAM NEGERI OLEH PEMERINTAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENGADAAN DAN PENERUSAN PINJAMAN DALAM NEGERI OLEH PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERMENDAGRI NOMOR 32 TAHUN 2011 PERMENDAGRI NOMOR 39 TAHUN 2012 PERMENDAGRI NOMOR 14 TAHUN 2016

PERMENDAGRI NOMOR 32 TAHUN 2011 PERMENDAGRI NOMOR 39 TAHUN 2012 PERMENDAGRI NOMOR 14 TAHUN 2016 MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH, PERATURAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dikelola untuk menghasilkan barang atau jasa (output) kepada pelanggan

BAB 1 PENDAHULUAN. dikelola untuk menghasilkan barang atau jasa (output) kepada pelanggan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum, perusahaan atau business merupakan suatu organisasi atau lembaga dimana sumber daya (input) dasar seperti bahan baku dan tenaga kerja dikelola

Lebih terperinci

Pasal 68 UU no. 1 Tahun 2004

Pasal 68 UU no. 1 Tahun 2004 BADAN LAYANAN UMUM Dasar Hukum 1. UU no. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 2. PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum 3. PP No. 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN PADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

2016, No Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Menteri Keuangan dapat menetapkan pola pengelolaan k

2016, No Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Menteri Keuangan dapat menetapkan pola pengelolaan k BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1792, 2016 KEMENKEU. PPK-BLU Satker. Penetapan. Pencabutan Penerapan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 180/PMK.05/2016 TENTANG PENETAPAN DAN PENCABUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pengungkapan (disclosure) maupun perangkat evaluasi dan monitoring

BAB I PENDAHULUAN. media pengungkapan (disclosure) maupun perangkat evaluasi dan monitoring BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaporan merupakan komponen penting dalam setiap kegiatan, baik sebagai media pengungkapan (disclosure) maupun perangkat evaluasi dan monitoring bagi perusahaan terbuka.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih singkatnya CSR (Corporate

BAB I PENDAHULUAN. Tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih singkatnya CSR (Corporate BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih singkatnya CSR (Corporate Social Responsibility) adalah merupakan suatu komitmen yang berkelanjutan dari suatu perusahaan

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul : Jenis Kegiatan : Adaptasi dan Ketangguhan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN PADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

SURAT EDARAN Nomor: 348/C/KU/2009

SURAT EDARAN Nomor: 348/C/KU/2009 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH Komplek Depdiknas Gedung E Lt. 5 Jalan Jenderal Sudirman Senayan 5725061-5725613 Fax 5725606; 5725608, Jakarta

Lebih terperinci

BAB I. Pada awalnya bisnis dibangun dengan paradigma single bottom line

BAB I. Pada awalnya bisnis dibangun dengan paradigma single bottom line BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian besar perusahaan, terutama di Indonesia saat ini masih fokus untuk mengungkapkan laporan keuangan yang berkaitan dengan kinerja keuangan saja. Laporan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2012 KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Urusan Pemerintah. Pelimpahan dan Penugasan. Tahun Anggaran 2012. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN

Lebih terperinci

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2014

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN KEUANGAN PADA BADAN LAYANAN UMUM

POLA PENGELOLAAN KEUANGAN PADA BADAN LAYANAN UMUM POLA PENGELOLAAN KEUANGAN PADA BADAN LAYANAN UMUM http://www.radarjogja.co.id I. PENDAHULUAN Paket undang-undang bidang keuangan negara merupakan paket reformasi yang signifikan di bidang keuangan negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN, PENGAJUAN USULAN, PENILAIAN,

Lebih terperinci

KONSEP PEMBENTUKAN POLA PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH (PPK-BLUD)

KONSEP PEMBENTUKAN POLA PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH (PPK-BLUD) KONSEP PEMBENTUKAN POLA PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH (PPK-BLUD) Oleh: Ahmad Mu am 1. PENDAHULUAN Sesuai dengan Peraturan perundang-undangan definisi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DIBIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN UMUM DARATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berkaitan dengan lingkungan, khususnya masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berkaitan dengan lingkungan, khususnya masalah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu menarik yang sedang menjadi perhatian dunia adalah masalah yang berkaitan dengan lingkungan, khususnya masalah yang berkaitan dengan etika dan tanggungjawab

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG KERJA SAMA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG KERJA SAMA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG KERJA SAMA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO TAHUN 2012 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development)

BAB 1 PENDAHULUAN. kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), juga aspek sosial dan lingkungan yang biasa

Lebih terperinci

- 2 - sistem keuangan dan sukses bisnis dalam jangka panjang dengan tetap berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Tujuan pemba

- 2 - sistem keuangan dan sukses bisnis dalam jangka panjang dengan tetap berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Tujuan pemba PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 51 /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN, EMITEN, DAN PERUSAHAAN PUBLIK I. UMUM Untuk mewujudkan perekonomian

Lebih terperinci