BAB II TRANSPORTASI PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TRANSPORTASI PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN"

Transkripsi

1 BAB II TRANSPORTASI PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN Secara konseptual penelitian ini didasari atas beberapa teori yang berkaitan dengan transportasi berkelanjutan dan penentuan indikator keberlanjutan transportasi perkotaan yang akan menggambarkan kinerja transportasi di Kota Soreang. Berbagai teori tersebut akan dipaparkan pada bagian ini. 2.1 Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan telah menjadi paradigma baru dalam perencanaan pembangunan. Kata sustainable pertama kali digunakan dalam tulisan The Limit of Growth pada tahun 1972 (Meadow et al, 1972 dalam Kurniadi, 2007) mengenai pola pembangunan manusia (human development pattern) yang merupakan kajian mengenai pemanfaatan sumber daya global. Pada awal tahun 1970-an banyak pula diskusi lain yang mendorong untuk mempertimbangkan kembali tren pembangunan jangka panjang teruama dalam konferensi Human Environment yang diselenggarakan di Stockholm oleh PBB pada tahun 1973 mengenai Energy Crisis. Pemerhati etika juga berperan dalam membangun konsep keberlanjutan pada pertengahan tahun 1970-an yang memfokuskan pada aspek keadilan sosial. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an konsep pembangunan berkelanjutan diakui secara internasional dengan dipublikasikannya laporan dari World Comission on Environment and Development WCED (the Brundtland Comission) pada tahun 1987 dan Earth Summit yang diselenggarakan PBB pada tahun 1991 (Wheeler, 2000 dalam Kurniadi, 2007:19) Dalam laporan tersebut, Brundlant merumuskan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang. Rumusan tersebut pada dasarnya memuat dua konsep pokok, yaitu (1) konsep kebutuhan, (2) gagasan keterbatasan. Konsep kebutuhan memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan esensial kaum miskin dunia, gagasan keterbatasan menyangkut keterbatasan teknologi dan organisasi sosial terhadap sumber daya lingkungan serta oleh kemampuan biosfer mengadopsi dampak dari kegiatan manusia

2 (WCED, 1987:8). Sasaran pembangunan berkelanjutan menurut Brundlant yaitu : (1) mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengubah kualitas pertumbuhan; (2) memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan penduduk miskin dunia dalam hal pekerjaan, pangan, pelayanan pendidikan, perawatan kesehatan, air dan sanitasi, dan energi; (3) menjamin tingkat pertumbuhan penduduk yang dapat dipertanggung jawabkan; (4) mengkonservasi dan meningkatkan sumber daya dasar; (5) memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi ke dalam proses pengambilan keputusan; (6) menyesuaikan kembali teknologi dan mengelola resiko, dan (7) mendasarkan pengambilan keputusan dan implementasinya pada partisipasi penduduk secara luas (Soussan, 1992:25). Konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh Brundlant masih bersifat normatif, sedangkan aspek operasionalnya masih mengalami kendala. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep tersebut dielaborasi oleh para pakar ke dalam beberapa alternatif pengertian yang lebih operasional. Istilah keberlanjutan dalam pendidikan perencanaan pun terus berkembang. Friedmann (1996) (dalam Gunder, 2006) pertama kali menyadari perlunya sustainability dalam pendidikan perencanaan di Amerika Utara yang diadopsi dari konsep pembangunan berkelanjutan. Proporsi pengajaran mengenai konsep ini terus meningkat hingga saat ini. Bahkan di Inggris pembangunan berkelanjutan lahir sebagai wacana utama selama tahun 1990-an, terutama berkaitan dengan permintaan akan penyediaan perumahan (Murdoch dan Abram dalam Gunder, 2006). Definisi lain mengenai pembangunan berkelanjutan antara lain : Pembangunan berkelanjutan : Pembangunan yang berusaha untuk mencapai pemuasan kebutuhan manusia selamanya dan peningkatan kualitas kehidupan manusia (Robert Allen, How to Save the World, London: Kogan Page, 1980 dalam Jennifer A. Elliot, 1996) Masyarakat yang berkelanjutan adalah masyarakat yang memiliki kehidupan terus menerus dalam batasan lingkungan yang ada. Masyarakat bukan berarti masyarakat yang tidak berkembang, tetapi merupakan masyarakat yang mengenali batas pertumbuhan dan mencari alternatif untuk berkembang.(j. Coomer, Quest for a Sustainable Society, Oxford: Pergamon, 1979 dalam Jennifer A. Elliot, 1996) Istilah pembangunan berkelanjutan menganjurkan bahwa nilai-nilai ekologis dapat dan harus diterapkan dalam proses ekonomi. (Michael Redclift, Sustainable Development: Exploring the Contradictions, London:

3 Methuen 1987 dalam Jennifer A. Elliot, 1996) Pembangunan berkelanjutan tidak hanya mencakup konservasi lingkungan; namun juga merujuk pada equity (kesamaan/keadilan). Baik intra-generasi equity yang memenuhi kebutuhan minimal pada masyarakat dan inter-generasi equity yang menjamin perlakuan adil untuk generasi mendatang yang harus menjamin perlakuan adil untuk generasi mendatang yang harus dipertimbangkan. (Elkin et al dalam Burton, 2000). Pembangunan berkelanjutan didasarkan pada ketentuan bahwa ketersediaan sumber daya alam (natural capital stock) harus tidak berkurang dari waktu ke waktu (David Pearce, 1990 dalam Wheeler, 2000). Meskipun banyak pihak yang telah berusaha mendefinisikan pembangunan berkelanjutan, misalnya terlalu bersifat antroposentris atau mengutamakan konsep kebutuhan yang sangat subjektif. Definisi lain juga mengutamakan hal ekologis yang menekankan pada konsep daya dukung (carrying capacity), tetapi daya dukung manusia baik dalam skala regional dan bumi secara keseluruhan sangatlah sulit untuk ditentukan. Definisi dari sudut pandang ekonomi yang mengutamakan sumber daya alam mengalami permasalahan dalam pengukuran sumber daya alam dan membutuhkan kepercayaan yang sangat tinggi terhadap kemampuan konsep ekonomi dalam mengukur nilai objek-objek non-ekonomi. Wheeler (2000) (dalam Kurniadi, 2007 : 21) menganjurkan strategi dalam pendefinisian pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang meningkatkan kesehatan manusia dan sistem ekologis jangka panjang. Pendekatan ini menekankan perspektif jangka panjang dari pembangunan berkelanjutan dengan menghindari debat mengenai daya dukung, kebutuhan, sumber daya alam atau kondisi keberlanjutan. Dari beberapa definisi di atas dan permasalahan yang ada, terlihat jelas bahwa definisi yang diberikan sangat bergantung dari sudut pandang mana suatu pihak mendefinisikan pembangunan berkelanjutan. Sudut pandang yang seringkali digunakan adalah ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam KTT Rio de Janerio pada tahun 1992, konsep interaksi antara tiga sistem tersebut dibahas dan dikembangkan lebih lanjut sehingga menghasilkan kesepakatan tiga pilar pembangunan berkelanjutan yang saling mengait dan menunjang, yakni pembangunan ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan hidup (Soussan, 1992 (dalam Kurniadi, 2007)).

4 Gambar 2.1 Interaksi Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Lingkungan Maksimalisasi efisiensi energi; Konservasi Sumber daya alam dan habitat; Minimalisasi kerusakan bencana KOTA Positif secara keruangan Berwawasan lingkungan Efisien bagi transportasi Bermanfaat dari sisi sosial Vitalitas bagi pembangunan ekonomi Sosial Meningkatkan kualitas hidup; Mendorong kesetaraan sosial. Ekonomi Mendorong eksistensi ekonomi lokal; Ketersediaan kesempatan kerja. Sumber : Kurniadi, Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan Konsep keberlanjutan dirasakan sangat penting untuk diterapkan dalam perencanaan transportasi (Litman dan Burwell, 2004). Dapat dikatakan bahwa transportasi berkelanjutan (sustainable transportation) merupakan refleksi pembangunan yang berkelanjutan dalam sektor transportasi. Ada beberapa faktor pemicu perlunya strategi transportasi berkelanjutan, yaitu : a. Selama ini kebijakan pemerintah masih berorientasi pada pengembangan infrastruktur jalan; b. kurangnya kajian transportasi yang komprehensif; c. pertumbuhan cepat dalam era ekonomi global lebih menuntut pelayanan transportasi yang lebih beragam baik kualitas maupun kuantitasnya; d. kekhawatiran akan ancaman penurunan kualitas lingkungan Definisi Pada dasarnya, tidak terdapat satu pengertian utuh dan bersifat universal yang dapat mendefinisikan transportasi berkelanjutan (Janic, 2005:83). Bila

5 dikaitkan dengan pengertian pembangunan berkelanjutan, konsep transportasi yang berkelanjutan pada dasarnya merupakan pengembangan perkotaan dan sistem transportasinya secara berkelanjutan dengan tidak merugikan generasi yang akan datang. Center of Sustainable Transport di Kanada (CST, 1999) mendefenisikan transportasi berkelanjutan sebagai suatu sistem transportasi yang dapat : (a) menciptakan keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dengan ekosistem yang sehat; (b) terjangkau, beroperasi secara efisien, menawarkan berbagai pilihan moda transportasi dan mendukung pembangunan regional; (c) membatasi emisi dan pembuangan agar tidak melampaui kemampuan bumi dalam menyerapnya, meminimalisasi dampak penggunaan lahan dan polusi suara. Tujuan transportasi berkelanjutan berdasarkan definisi ini adalah untuk menjamin keterlibatan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam merumuskan kebijakan dalam sektor transportasi. Definisi transportasi berkelanjutan juga dikemukakan oleh Organization of Economic Cooperation and Development dan National Round Table on the Environment and the Economy (OECD,1996; NRTEE,1996) yang mendefinisikan keberlanjutan transportasi dalam 3 aspek yakni ; (a) lingkungan : transportasi yang tidak membahayakan kesehatan publik dan ekosistem serta menyediakan sarana mobilitas dengan memanfaatkan sumber daya yang dapat diperbaharui atau dengan kata lain transportasi yang tidak menimbulkan polusi air, udara dan tanah dan menghindari penggunaan sumberdaya yang berlebihan; (b) ekonomi : transportasi yang dapat menjamin pemenuhan biaya transportasi melalui pembebanan ongkos yang layak bagi masyarakat pengguna sarana transportasi dan dapat mewujudkan keadilan dalam sistem transportasi; (c) sosial : transportasi yang dapat meminimalisasi tingkat kebisingan, kecelakaan, waktu tempuh, kerugian akibat kemacetan, dan dapat meningkatkan keadilan sosial dan tingkat kesehatan dalam komunitas (transportasi yang dapat mendukung terwujudnya lingkungan sosial yang sehat, komunitas yang layak untuk didiami dan kaya akan modal sosial) Berdasarkan definisi tersebut, OECD mengindikasikan bahwa tujuan dari transportasi berkelanjutan adalah menjamin ketersediaan akses, pelayanan, dan penyediaan sarana yang tidak menggunakan sumberdaya yang membahayakan lingkungan dan menjamin terwujudnya keadilan bagi masyarakat (OECD:1996). Transportasi berkelanjutan juga dapat didefinisikan sebagai suatu sistem

6 transportasi yang penggunaan bahan bakar, emisi kendaraan, tingkat keamanan, kemacetan, serta akses sosial dan ekonominya tidak akan menimbulkan dampak negatif yang tidak dapat diantisipasi oleh generasi yang akan datang (Richardson, 1999). Transportasi yang berkelanjutan merupakan sistem transportasi yang dapat meminimalisasi dampak terhadap aspek lingkungan, ekonomi dan sosial dengan memanfaatkan energi dan spasial yang efisien. Keefisienan energi dapat terwujud melalui pengoptimalan penggunaan energi yang dapat diperbaharui dalam bidang transportasi atau penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui secara efektif misalnya melalui proses transit dan ridesharing. Sedangkan tingkat efisien dalam aspek spasial dapat dicapai melalui pemanfaatan lahan secara efektif, mendorong terwujudnya mix used zoning sehingga dapat meningkatkan akses (Ciuffini, 1995). Oleh karena itu transportasi berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan akses (bagi semua level mobilitas), tingkat keamanan, kelestarian lingkungan, kekuatan ekonomi dan mampu mempersingkat waktu perjalanan (Remiz, 1998) Lee (Leslee Hamilton, 2002) mendefinisikan transportasi berkelanjutan ke dalam 5 prinsip yakni : (a) efisien dan seimbang dalam 3 aspek baik ekonomi, lingkungan dan sosial; (b) self sustain, konsumen sebagai benefator mampu membayar biaya pengoperasian dan pengembangan sektor transportasi; (c) mengembangkan moda transportasi yang lebih ramah lingkungan; (d) meminimalisasi penggunaan kendaraan bermotor; (e) meminimalisasi tingkat perjalanan; (f) Lebih ramah lingkungan. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa transportasi berkelanjutan merupakan sistem transportasi yang berkelanjutan dalam tiga aspek yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial. Keberlanjutan dalam aspek lingkungan ditandai dengan adanya sistem transportasi yang mampu meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan, membatasi emisi dan buangan sesuai dengan kemampuan absorbsi alam, dan meminimalkan penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Keberlanjutan dalam aspek ekonomi berkaitan dengan keterjangkauan (akses) masyarakat terhadap transportasi, keefisienan dan ketersediaan moda transportasi bagi masyarakat. Sedangkan keberlanjutan dalam aspek sosial lebih ditekankan pada prinsip keamanan dan perwujudan komunitas yang sehat dan layak huni. Dengan kata

7 lain, sustainable transport sebagai bagian dari sustainable development secara umum dikembangkan melalui tiga syarat, yaitu peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat (economy), meminimasi dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup (environment), serta keberlanjutan sumber daya (equity) Aspek dalam Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan Berpedoman pada definisi transportasi berkelanjutan yang dikemukakan pada bagian sebelumnya, pada dasarnya terdapat tiga aspek dalam transportasi berkelanjutan yakni keberlanjutan dalam aspek lingkungan, sosial dan ekonomi Aspek Lingkungan Keberlanjutan transportasi dalam aspek lingkungan dapat diidefinisikan dalam hal membatasi emisi dan buangan agar tidak melampaui kemampuan absorbsi bumi, meminimumkan penggunaan energi dari sumber yang tak terbarukan, menggunakan komponen yang terdaur ulang, dan meminimalisasi penggunaan lahan serta memproduksi polusi suara yang sekecil mungkin (CST, 1999) atau transportasi yang tidak membahayakan kesehatan publik dan ekosistem dan menyediakan sarana mobilitas dengan memanfaatkan sumber daya yang dapat diperbaharui. Dengan kata lain transportasi yang tidak menimbulkan polusi air, udara dan tanah dan menghindari penggunaan sumberdaya yang berlebihan (OECD,1996; NRTEE,1996). Beberapa hal yang akan dilihat lebih lanjut yang berkaitan dengan keberlanjutan transportasi dalam aspek lingkungan ini antara lain pencemaran udara, tingkat kebisingan, polusi air, tingkat penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, penurunan kualitas lahan, dan kerusakan ekosistem yang ditimbulkan dari sektor transportasi (Litman, 2005) Aspek Sosial Dalam aspek sosial, keberlanjutan transportasi perkotaan dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang menyediakan akses terhadap kebutuhan dasar individu atau masyarakat secara aman dan dalam cara yang tetap konsisten dengan kesehatan manusia dan ekosistem, dan dengan keadilan masyarakat saat ini dan masa datang (CST, 1999) atau transportasi yang dapat meminimalisasi tingkat kebisingan, kecelakaan, waktu tempuh, kerugian akibat

8 kemacetan, dan dapat meningkatkan keadilan sosial dan tingkat kesehatan dalam komunitas (transportasi yang dapat mendukung terwujudnya lingkungan sosial yang sehat, komunitas yang layak untuk didiami dan kaya akan modal sosial) (OECD,1996; NRTEE,1996). Keberlanjutan transportasi perkotaan dalam aspek sosial dapat dilihat melalui dampak sosial yang timbul akibat sistem transportasi yang ada. Dampak sosial ini berkaitan dengan kesetaraan (equity), kesehatan manusia, interaksi dalam suatu komunitas, nilai dan tradisi budaya dan unsur estetika (Forkenbrock dan Weisbrod, 2001; Litman, 2004; VTPI, 2005) Aspek Ekonomi Keberlanjutan transportasi dalam aspek ekonomi adalah transportasi yang terjangkau, beroperasi secara efisien, mampu menyediakan berbagai alternatif pilihan moda transportasi dan mendukung laju pertumbuhan ekonomi (CST, 1999) atau transportasi yang dapat menjamin pemenuhan biaya transportasi melalui pembebanan ongkos yang layak bagi masyarakat pengguna sarana transportasi (OECD,1996; NRTEE,1996) Secara umum pembangunan ekonomi menyangkut peningkatan pendapatan, ketenaga kerjaan, produktivitas dan kesejahteraan sosial. Hal ini juga terkait dengan sektor transportasi. Bagian yang akan dilihat untuk mengidentifikasi keberlanjutan transportasi dalam aspek ekonomi berhubungan dengan ketersediaan moda, aksesibilitas, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk sektor transportasi (Litman, 2005) Penerapan Konsep Transportasi Berkelanjutan di Negara Berkembang Penerapan konsep transportasi berkelanjutan di negara berkembang masih menghadapi tantangan besar. Meskipun demikian, beberapa kota di negara berkembang telah banyak yang menerapkan konsep transportasi berkelanjutan dalam pembangunan wilayahnya. Salah satunya, Kota Curitiba, Brazil menunjukkan adanya usaha mengadopsi konsep ini dengan beberapa penyesuaian. Curitiba merupakan sebuah kota di Brazil yang merupakan ibukota Parana. Wilayah metropolitan Curitiba menjadi salah satu wilayah perkotaan yang berkembang pesat selama 30 tahun terakhir. Saat ini Curitiba dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dari perencaan kota. Pada tahun 1996, para

9 perencana yang hadir pada Habitat II Summit memcerikan Curitiba predikat sebagai kota yang terinovatif di dunia. Curitiba mampu mengantisipasi perkembangan yang pesat sehingga dapat menfasilitasi pertumbuhan dengan menyediakan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat kota. Antisipasi terhadap perkembangan ini dimulai sejak tahun 1960-an. Walikota Curitiba memimpin sebuah tim Universidade Federal do Parana yang merekomendasikan pada kontrol pertumbuhan kota acak (urban sprawl), mengurangi kemacetan lalu lintas di pusat kota, dan mengembangkan sistem transportasi publik (Mulyanto, 2005). Sistem infrastruktur Curitiba membuat perjalanan bus menjadi lebih cepat dan nyaman sehingga secara efektif mendorong orang untuk menggunakan bus, sedangkan sistem infrastruktur sebelumnya mendorong penduduk untuk menggunakan kendaraan pribadi (Rosyidie, 2004). Kunci utama dalam perencanaan kota di Curitiba adalah manajemen tata lahan dan perencanaan jaringan jalan dan transportasi. Curitiba cenderung untuk membangun wilayah sekitar pusat kota dengan kerangka utama pembangunan sepanjang koridor arteri. Aktivitas perkotaan tidak hanya di pusat kota tetapi juga di wilayah sekitar karena daerah sekitarnya perlu juga untuk dibangun. Curitiba juga membangun pusat kota menjadi kawasan kegiatan sosial dan ekonomi yang nyaman untuk berjalan kaki dan terdapat mall, perpustakaan umum dan lain-lain (Mulyanto, 2005). Kota Curitiba telah memberikan contoh kepada dunia suatu model bagaimana mengintegrasikan pertimbangan transportasi berkelanjutan ke dalam pengembangan bisnis, pengembangan prasarana dan pengembangan masyarakat serta peningkatan kualitas lingkungan (Rosyidie, 2004). 2.3 Indikator Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan Hal penting dalam mengidentifikasi keberlanjutan transportasi perkotaan adalah dengan melihat karakteristik sistem transportasi berdasarkan indikator tertentu. Indikator keberlanjutan transportasi perkotaan secara tidak langsung dapat menggambarkan kinerja transportasi di suatu kota Definisi Indikator Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan Indikator merupakan sesuatu yang diukur untuk mengevaluasi sejauh mana tujuan yang ingin dicapai dari suatu kegiatan (Litman, 2005). Indikator dapat

10 menggambarkan trend yang terjadi, memprediksi permasalahan, dan melihat kinerja suatu wilayah atau organisasi. Indikator memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam proses perencanaan. Karena itu, sangat penting untuk lebih cermat dalam memilih dan menentukan indikator yang akan digunakan. Indikator dapat digunakan untuk melihat beberapa hal, yaitu : a. Proses perencanaan, untuk melihat apakah perencanaan dan investasi yang dilakukan telah bersifat komprehensif, tidak bias atau inklusif; b. Opsi dan insentif, untuk melihat apakah masyarakat mempunyai alternatif pilihan yang cukup dan melihat tingkat keefisienan kondisi di lingkungan masyarakat; c. Budaya berkendara masyarakat, misalnya kepemilikan kendaraan, tingkat perjalanan, pilihan moda; d. Dampak fisik, misalnya emisi kendaraan, tingkat kecelakaan, penggunaan lahan; e. Dampak terhadap sosial dan lingkungan sekitar, misalnya tingkat kematian dan degradasi lingkungan; f. Dampak terhadap perekonomian, seperti penurunan produktivitas, peningkatan beban kebutuhan masyarakat; g. Target yang ingin dicapai. Indikator bukanlah data, perbedaan utama antara indikator dan jenis data yang lain adalah keterkaitan dengan kebijakan yang eksplisit. Indikator adalah interface antara kebijakan dan data. Kaitan antara data dan indikator dapat dilihat pada gambar 2.2. Data merupakan input dasar yang dapat digunakan dalam perhitungan-perhitungan statistik sehingga dapt membentuk indikatorindikator. Indikator merupakan sebuah model yang menyederhanakan subjek yang kompleks dalam angka-angka sederhana yang dapat ditangkap dan dimengerti oleh pengambil kebijakan dan publik. Indikator harus user driven dan biasanya merupakan agregat secara umum, berupa angka tunggal atau rasio, sehingga perubahan atau perbedaan nilai sebuah indikator mungkin lebih penting bila dibandingkan dengan nilai mutlaknya. Perumusan indikator harus mempertimbangkan ketersediaan data dan perhitungan statistik yang dapat digunakan. Pada akhirnya gabungan komposit dari beberapa indikator-indikator dapat membentuk indeks.

11 Gambar 2.2 Segitiga Data Indeks Indikator Statistik Data Sumber : Kurniadi, Pertimbangan Pemilihan Indikator Transportasi Berkelanjutan Pada dasarnya tidak semua indikator dapat dikatakan baik dan dapat digunakan untuk melihat tingkat keberlanjutan transportasi perkotaan (Janic, 2003). Menurut Litman (2003) terdapat beberapa pertimbangan dalam memilih indikator transportasi berkelanjutan, yaitu ; a. Beragam (diversity) : indikator yang dipilih adalah indikator yang dapat mencerminkan semua aspek baik ekonomi, lingkungan maupun sosial; b. berguna (usefulness) : indikator yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan dalam perencanaan; c. mudah dimengerti (ease of understanding) : indikator yang mudah dimengerti oleh ahli dan masyarakat banyak; d. ketersediaan data dan biaya (data availability and collection cost) : indikator yang berdasarkan pada data yang mudah diperoleh dan tersedia; e. dapat dibandingkan (comparability) : indikator yang dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dalam membuat keputusan; f. tujuan pelaksanaan (performance targets) : indikator yang dapat digunakan dalam pencapaian tujuan yang diinginkan. Sementara itu, Kely (1998) mengidentifikasikan beberapa kriteria indikator transportasi berkelanjutan yang baik, yakni : a. Indikator dikumpulkan dengan pertimbangan ketersediaan data dan mengandung informasi yang dibutuhkan;

12 b. mudah dimengerti dan tidak tumpang tindih (overlap); c. mampu menggambarkan hal penting yang terkandung di dalamnya; d. dapat dikumpulkan dalam waktu yang singkat; e. dapat dijadikan bahan perbandingan dalam lingkungan geografis, skala kegiatan dan aktor yang berbeda; f. fleksibel; g. relevan dengan kebijakan yang ada; h. cakupan yang luas. Mineta Transportation Institute (2005) mendefinisikan indikator yang baik tersebut sebagai berikut : a. Menggambarkan elemen dasar komunitas dan wilayah tertentu; b. jelas, mudah dimengerti dan mudah dikomunikasikan; c. menggambarkan nilai dan berguna untuk komunitas dan wilayah; d. data selalu bisa dievaluasi dengan menggunakan alat ukur statistik; e. data bersifat time series; f. data mudah dikumpulkan dan dianalisis; g. data berasal dari sumber yang dapat dipercaya; h. informasi yang dikumpulkan harus didukung dengan ilmu dan pengetahuan terkait; i. menggunakan alat uji statistik yang tepat; j. lebih menggambarkan output daripada input. Dalam penelitian ini, pertimbangan pemilihan indikator lebih didasari atas ketersediaan data, kegunaan dalam pengambilan keputusan (perumusan solusi permasalahan transportasi), tidak tumpang tindih (overlap) dan mudah untuk dimengerti, mengingat data yang dikumpulkan melibatkan masyarakat pengguna jasa transportasi sebagai responden utama. 2.4 Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan Konsep dan prinsip transportasi berkelanjutan yang telah dipaparkan di atas telah dkembangkan oleh para peneliti hingga menurunkan indikatorindikator transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Dengan demikian derajat keberlanjutan (sustainable) dari transportasi di suatu wilayah perkotaan dapat diukur dengan menggunakan indikator-indikator tersebut. Indikator-indikator transportasi perkotaan yang berkelanjutan yang dikembangkan oleh setiap

13 peneliti memiliki perbedaan penekanan dan sudut pandang karena disesuaikan dengan latar belakang peneliti, maksud kajian dan kondisi lokal wilayah studi. Maka dalam pengembangan indikator transportasi perkotaan yang berkelanjutan dalam mengidentifikasi karakteristik sistem transportasi di Kota Soreang ini pun perlu disesuaikan dengan konteks lokal wilayahnya. Pada sub bab ini akan dibahas mengenai indikator-indikator transportasi perkotaan yang berkelanjutan berdasarkan tinjauan literatur dan pengembangan indikator tersebut yang digunakan dalam kajian keberlanjutan transportasi di Kota Soreang Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan Berdasarkan Tinjauan Literatur Pada dasarnya terdapat perbedaan antara negara maju dan berkembang dalam memandang pembangunan berkelanjutan (Mitchel, 2000). Konsep pembangunan berkelanjutan pada negara maju cenderung lebih berorientasi pada kelestarian lingkungan, sedangkan negara berkembang masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan dasar, sehingga pertimbangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat masih memiliki prioritas tinggi dibandingkan kelestarian lingkungan. Pertimbangan ini tentunya berlaku juga untuk sektor transportasi. Berbagai organisasi tingkat internasional telah mengeluarkan berbagai bentuk indikator keberlanjutan transportasi dalam aspek ekonomi. Berikut merupakan indikator ekonomi dalam transportasi berkelanjutan.

14 Tabel II.1 Kompilasi Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Berkelanjutan Dari Berbagai Literatur Indikator Transport demand and intensity Accessibility Supply of transport infrastructure and services Transport costs and prices Macroeconomic Model Regional Economic Model: Commute Time Land Use Mix Electronic communication Congestion delay Freight efficiency Delivery services Commercial transport Planning quality Mobility management Pricing reforms Economy, GDP and Trade Money, Debt, Assets and Net Worth Janic, 2003 Schade, 2003 Litman, 2005 Pembina Institute, 2001 CST, 2005 WBC, 2001 TERM, 2001 Sumber SUMMA, 2005 LYON REG, 2003 OECD, 1999 EEA, 2002 WB, 2003 ORTEE, 1999 PROSPECTS, 2001

15 Income Inequality, Wealth, Poverty and Living Wages Public and Household Infrastructure Employment Transport activity User concern Social concern Business concern Productivity/Efficiency Costs to economy Benefits to economy Service provided Organization of urban mobility Taxation and subsidies Investment in transport infrastructures Fuel price Expenditure for personal mobility per person Paved roads Economic efficiency Sumber : Analisis Kajian Literatur, 2008

16 Dari berbagai indikator yang dikeluarkan oleh organisasi/ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa set indikator keluaran Center for Sustainable Transportation (CST), 2005 yang lebih lengkap. Karena indikator-indikator tersebut terlebih dahulu dikelompokkan ke dalam beberapa kategori utama dan telah memiliki tolok ukur indikator yang lebih jelas. Berikut merupakan set indikator keluaran CST yang dilengkapi dengan tolok ukur pada masing-masing indikator. Tabel II.2 Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan Yang Berkelanjutan Keluaran Center for Sustainable Transportation Kategori/Dimensi Indikator Tolok Ukur Besarnya PDRB per kapita Terjadinya peningkatan jumlah PDRB tiap tahunnya (Gifford, 2004) Kondisi Ekonomi Masyarakat Tingkat kemiskinan Tingkat pengangguran Terjadinya penurunan tingkat kemiskinan tiap tahunnya (Gifford, 2004) Terjadinya penurunan tingkat pengangguran tiap tahunnya (Gifford, 2004) Supply dan Demand Ketersediaan moda transportasi Kapasitas jaringan jalan Kondisi jaringan jalan Kapasitas terminal 50 % masyarakat menyatakan jumlah angkutan yang tersedia cukup untuk mengangkut penumpang dan barang yang ada (Winston, 2003) 50 % masyarakat menyatakan kapasitas jaringan jalan yang tersedia telah memadai (Winston, 2003) Persentase jaringan jalan dengan kondisi baik lebih besar daripada jaringan jalan dengan kondisi rusak (Litman, 2004) 50 % masyarakat menyatakan kapasitas terminal yang ada telah mencukupi (Winston, 2003) Aksesibilitas Akses ke basic service (tempat kerja, sekolah, pasar, pusat kesehatan) Akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi Mixed use lahan 50 % masyarakat menyatakan mudah untuk menjangkau tempat kerja, sekolah, pasar dan pusat kesehatan (Winston, 2003) 50 % masyarakat menyatakan mudah untuk mendapatkan pelayanan transportasi (Winston, 2003) Terdapatnya mixed use lahan &Terjadinya peningkatan mixed use lahan dari tahun ke tahun. (Litman, 2004)

17 Aktivitas Transportasi (Transport Activity) Biaya Transportasi (Transport Cost) Rata-rata frekuensi perjalanan harian Rata-rata waktu tempuh perjalanan Jarak tempuh perjalanan Alokasi income yang diperoleh untuk transportasi Travel Cost (ongkos/biaya perjalanan) Facility & Crash Cost (biaya parkir, harga bahan bakar, pajak, dan biaya pemeliharaan/perbaikan kendaraan akibat kerusakan ) Mengindikasikan tingkat tarikan antar zona (attractiveness by zone) Mengindikasikan tingkat kedekatan antar zona. 50 % masyarakat menyatakan alokasi pengeluaran untuk sektor transportasi masih proporsional. (Winston, 2003) 50 % masyarakat menyatakan biaya transportasi (travel cost, facility cost dan crash cost) yang harus ditanggung ringan dan terjangkau. (Winston, 2003) Sumber : Kajian Literatur, 2008 Hasil dari identifikasi indikator-indikator di atas akan dijadikan acuan dalam mengidentifikasi indikator transportasi perkotaan yang berkelanjutan dalam aspek ekonomi yang akan digunakan lebih lanjut untuk dilihat aplikasinya di Kota Soreang. Penyesuaian terhadap indikator indikator ini mutlak diperlukan dengan mempertimbangkan kondisi dan permasalahan lokal yang ada. Pengembangan terhadap indikator-indikator juga masih perlu melihat hal-hal lain yang menjadi acuan dalam penetapan indikator-indikator agar memiliki makna dan relevan dengan wilayah dan studi yang dilakukan Penentuan Indikator Untuk Mengidentifikasi Kinerja Sistem Transportasi di Kota Soreang Seringkali dalam menentukan kebijakan perkotaan, pemerintah menemukan kendala karena kurangnya data yang dapat dijadikan landasan dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan dalam hal pengelolaan pertumbuhan kota yang terjadi begitu pesat, dimana ketersediaan sumber daya pemerintah yang terbatas, harus dilakukan secara optimal untuk mengarahkan dan mengantisipasi pertumbuhan dalam rangka mencari solusi permasalahan perkotaan yang terjadi baik saat ini maupun di masa datang. Dalam melakukan kajian transportasi perkotaan yang berkelanjutan ini dikembangkan indikatorindikator yang sesuai dan relevan untuk digunakan dalam mengidentifikasi karakteristik sistem transportasi di Kota Soreang.

18 Penentuan indikator ini merupakan hal yang penting karena pada dasarnya pengembangan sistem indikator diperlukan dalam mengukur berbagai macam aspek sesuai dengan kepentingannya. Jenis indikator yang umumnya digunakan dalam kebijakan adalah : a. Indikator Kinerja (Performance Indicators), yang mengukur aspek kinerja organisasi, sektor atau kota-kota dan dimaksudkan untuk mengidentifikasi departemen, distrik atau kebijakan yang mencapai tujuan yang diinginkan. b. Indikator Berdasarkan isu (issue-based indicators), yang dimaksudkan untuk memberikan perhatian pada isu-isu tertentu. Contoh umum dari indikator ini meliputi kriminalitas dan keamanan, penganguran, urban sprawl, kualitas udara, dll. c. Indikator kebutuhan (needs indicators), yang mengukur kebutuhan atau kerugian, dan secara umum bertujuan untuk mengalokasikan sumber daya untuk kelompok-kelompok yang benar-benar membutuhkan. Indikator kemiskinan dan kerugian adalah contoh utama indikator jenis ini. Studi ini lebih menekankan pada bentuk indikator berdasarkan kinerja (performance indicators) yang berkaitan dengan kinerja sektor transportasi. Pertimbangan yang digunakan dalam menentukan indikator untuk digunakan dalam kajian ini adalah : a. Kesesuaian dengan konsep transportasi perkotaan yang berkelanjutan dalam aspek ekonomi Indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini akan mengacu pada prinsip dan konsep keberlanjutan transportasi perkotaan dalam aspek ekonomi yang selanjutnya akan digunakan untuk melihat karakteristik permasalahan transportasi di Kota Soreang berdasarkan indikator tersebut. Kompilasi indikator-indikator dari berbagai sumber yang telah diulas pada bagian sebelumnya akan dijadikan pertimbangan utama dalam penentuan indikator yang terpilih. b. Kesesuaian dengan konteks wilayah studi Kondisi wilayah memiliki karakteristik berbeda satu sama lain, sehingga dalam penentuan indikator ini dipertimbangkan pula karakteristik Kota Soreang sehingga indikator-indikator yang digunakan dapat bermakna dalam konteks lokal. Beberapa indikator disesuaikan agar dapat

19 digunakan dalam studi ini. c. Ketersediaan data Indikator sangat terkait erat dengan data yang tersedia dan terkumpul, oleh karena itu ketersediaan data juga merupakan hal yang perlu untuk dipertimbangkan. Hal ini terkait juga bahwa indikator haruslah dapat diukur dan mudah untuk diperoleh sehingga pemutakhiran data dapat dilakukan dengan mudah di masa datang. Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk mengelompokkan indikator transportasi berkelanjutan dalam aspek ekonomi tersebut ke dalam 5 kategori. Pengelompokan dalam 5 kategori ini lebih mengacu pada indikator yang dikeluarkan oleh Center of Sustainable Transportation (2005), karena set indikator yangyang dikeluarkan oleh CST ini lebih lengkap dan jelas dibandingkan dengan set indikator yang dikeluarkan oleh ahli atau organisasi lain. Namun set indikator dari CST ini dilengkapi terlebih dahulu disesuaikan dan dilengkapi dengan indikator lainnya. Selain itu, hal ini didasari atas terdapatnya beberapa indikator yang mengarah kepada kategori yang sama dan dapat mempermudah proses analisis lebih lanjut mengingat cukup banyaknya jumlah indikator yang dapat digunakan dan untuk mencegah terjadinya overlapping indikator. Dalam hal ini banyak indikator yang dieliminir karena terlebih dahulu disesuaikan dengan konteks wilayah studi. Kategori indikator tersebut, meliputi : a. Kondisi Ekonomi Masyarakat b. Supply dan Demand c. Aksesibilitas d. Aktivitas Transportasi (Transport Activity) e. Biaya Transportasi (Transport Cost) Kondisi Ekonomi Masyarakat Kondisi perekonomian masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan sektor transportasi di suatu wilayah, begitupun sebaliknya. Masyarakat yang memiliki kondisi perekonomian yang baik akan mempunyai daya mobilitas dan tingkat aktivitas transportasi yang lebih tinggi. Sedangkan kondisi transportasi yang baik secara langsung akan dapat meningkatkan taraf perekonomian masyarakat di suatu daerah. Kondisi ekonomi masyarakat ini digambarkan

20 melalui 3 indikator yaitu : a. Besarnya PDRB per kapita Pada dasarnya jumlah PDRB per kapita memperlihatkan taraf perekonomian masyarakat di suatu wilayah. Semakin tinggi tingkat PDRB per kapita, semakin baik kondisi perekonomian di daerah tersebut. Dalam hal ini, diharapkan terjadinya peningkatan jumlah PDRB perkapita pada tiap tahunnya. b. Tingkat kemiskinan Kondisi ekonomi masyarakat yang baik dapat dilihat berdasarkan rendahnya tingkat kemiskinan yang terdapat di daerah yang bersangkutan. c. Tingkat pengangguran Sama halnya dengan kemiskinan, rendahnya tingkat pengangguran juga merupakan indikator baiknya kondisi perekonomian di suatu wilayah Supply dan Demand Keseimbangan Supply dan Demand menggambarkan baiknya kualitas sarana dan prasarana sektor transportasi. Supply di sini berkaitan erat dengan penyediaan moda transportasi, jaringan jalan dan simpul jaringan transportasi yang akan menentukan kelancaran arus barang dan jasa, serta penghubung antar sistem kegiatan. Dengan kata lain supply menyangkut kapasitas dan kualitas sarana dan prasarana transportasi yang tersedia. Sedangkan demand menunjukkan jumlah permintaan/kebutuhan transportasi yang akan diangkut. Transportasi yang ideal pada dasarnya harus memiliki keseimbangan/kesesuaian antara supply dan demand. Indikator yang termasuk ke dalam kategori ini adalah : a. Ketersediaan moda transportasi Moda transportasi sebagai sarana utama dalam sektor transportasi harus memiliki tingkat ketersediaan yang memadai dan mampu melayani aktivitas pergerakan masyarakat. b. Kapasitas dan kondisi jaringan jalan Jaringan jalan yang tersedia di setiap kota juga harus mempunyai kondisi dan kapasitas yang memadai sehingga mampu menampung mobilitas yang terjadi.

21 c. Kapasitas terminal Terminal sebagai simpul utama transportasi dan wadah bongkar muat penumpang dan barang sebaiknya memiliki kapasitas yang memadai dan mampu mendukung kelancaran aktivitas transportasi masyarakat Aksesibilitas Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi guna lahan berinteraksi satu sama lain, dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai dengan sistem jaringan transportasi (Black,1981). Konsep yang paling sederhana aksesibilitas dinyatakan dalam jarak. Edmonds (1998) dan Parikesit, dkk (2004) menyatakan bahwa indikator aksessibilitas adalah suatu nilai yang mengindikasikan mudah atau sulitnya mencapai tempat tertentu. Jika jarak di antara dua tempat berdekatan maka dikatakan aksesibilitas di antara kedua tempat tersebut tinggi, sebaliknya jika jaraknya jauh maka aksesibilitasnya rendah. Tingkat aksesibilitas yang akan dilihat lebih lanjut dalam penelitian ini terdiri atas 3 indikator, yaitu: a. Akses ke basic sevice (tempat kerja, sekolah, pasar, pusat kesehatan) Burwell (2004) menyatakan yang lokasi yang termasuk ke dalam basic services dalam lingkungan perkotaan adalah tempat kerja, sekolah, pasar dan pusat kesehatan. Dalam segi aksesibilitas, sistem transportasi dikatakan memiliki kinerja yang baik apabila masyarakatnya memiliki akses yang mendukung ke basic service yang ada. b. Akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi Produktivitas akan meningkat apabila semua lapisan masyarakat telah mendapatkan pelayanan transportasi secara merata. Akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi ini dilihat berdasarkan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh layanan angkutan umum dalam melakukan pergerakan internal dan eksternal. Pergerakan internal merupakan pergerakan yang mempunyai zona asal dan tujuan yang berada di dalam daerah kajian/ pergerakan yang dilakukan masyarakat di dalam Kota Soreang. Sedangkan pergerakan eksternal merupakan pergerakan yang mempunyai salah satu zona (asal dan tujuan) yang berada di luar daerah kajian/ yang menghubungkan Kota Soreang dengan daerah sekitarnya.

22 c. Mixed use lahan Mixed use penting untuk dilihat dalam menentukan tingkat aksesibilitas di suatu wilayah. Semakin banyak mixed use lahan yang terjadi, semakin tinggi pula tingkat aksesibilitas yang ada di tempat tersebut. Tingkat aksessibilitas dalam penelitian ini diukur berdasarkan persepsi masyarakat sebagai pengguna jasa transportasi Aktivitas Transportasi (Transport Activity) Aktivitas transportasi yang dimaksud berkaitan dengan rata-rata pergerakan harian masyarakat, yang dilihat berdasarkan beberapa indikator : a. Rata-rata frekuensi perjalanan b. Rata-rata waktu tempuh c. Jarak perjalanan Hal ini penting untuk dilihat sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dalam sektor transportasi yang akan ditetapkan Biaya Transportasi (Transport Cost) Biaya transportasi menunjukkan besarnya beban yang harus ditanggung masyarakat dalam melakukan kegiatan transportasi. Sistem transportasi yang baik adalah yang dapat dijangkau harganya oleh seluruh masyarakat sehingga masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pelayanan transportasi. Selain itu besarnya income yang dialokasikan untuk sektor transportasi ini jumlahnya harus proporsional. Biaya transportasi ini terdiri atas 3 indikator, yaitu: a. Alokasi income untuk transportasi Alokasi pendapatan yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk sektor transportasi haruslah bersifat proporsional. b. Travel cost : Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan (ongkos) c. Facility & crash cost : Besarnya yang dikeluarkan untuk biaya parkir, harga bahan bakar, pajak dan biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan / perbaikan kendaraan apabila terjadi kerusakan. Indikator-indikator yang terdapat pada bagian di atas, selanjutnya digunakan untuk menilai keberlanjutan sistem transportasi di Kota Soreang dalam

23 sektor ekonomi. Menurut Howe (2004), sektor transportasi di suatu kawasan dapat dikatakan berkelanjutan bila memenuhi kriteria ideal pada semua indikator pada satu set indikator yang telah dipilih untuk digunakan. Parameter yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap masing-masing indikator bisa dilakukan secara kuantitatif ataupun kualitatif tergantung pada ketersediaan data. Data kuantitatif bisa dilihat berdasarkan trend yang terjadi. Sedangkan data kualitatif dilihat berdasarkan persepsi masyarakat sebagai pengguna utama sarana transportasi. Khusus untuk data kualitatif, opsi yang disediakan sebagai pilihan bagi masyarakat harus mudah dimengerti (Litman, 2003). Lebih lanjut, penjelasan dan rasionalitas dari indikator-indikator yang digunakan dalam studi ini diberikan pada tabel II.3, tolok ukur indikator yang digunakan terdapat pada tabel II.4. Sedangkan indikator-indikator yang digunakan dalam studi ini dapat dilihat pada tabel II.5. Tabel II.3 Rasionalitas Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan Yang Berkelanjutan Kategori/Dimensi Indikator* Kondisi Ekonomi Masyarakat Rasionalitas Keberadaan sektor transportasi akan mempengaruhi tingkat perekonomian masyarakat. Begitupun sebaliknya. Kondisi transportasi yang baik secara tidak langsung akan dapat menunjang tingkat perekonomian masyarakat tersebut. Sedangkan kondisi ekonomi masyarakat yang baik, akan dapat pula menunjang perkembangan dan kemajuan sektor transportasi di daerahnya. Kondisi ekonomi masyarakat akan dilihat berdasarkan besarnya PDRB per kapita yang ada, tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan. Supply dan Demand Dimensi supply demand mengukur keseimbangan antara supply yang tersedia dengan demand yang akan dilayani. Supply yang dimaksud menyangkut varietas moda baik untuk penumpang maupun barang, dan kapasitas dan kualitas infrastruktur transportasi (jalan,terminal). Sedangkan demand berkaitan dengan jumlah penumpang dan barang yang harus diangkut. Supply dan demand merupakan hal utama yang harus dilihat dalam mengukur ketersediaan sarana dan prasarana termasuk dalam sektor transportasi. Keseimbangan antara supply dan demand akan menunjukkan kinerja yang baik dari sektor transportasi.

24 Aksesibilitas Aksessibilitas sangat erat kaitannya dengan sektor transportasi. Dimensi ini melihat tingkat akses ke basic service,akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi dan ada atau tidaknya mixed use guna lahan. Semakin baik persepsi masyarakat dalam menilai akses ke basic service dan pelayanan transportasi, dan semakin banyak terdapatnya mixed use guna lahan, menunjukkan tingkat aksessibilitas yang semakin tinggi. Dengan demikian, aksessibilitas yang tinggi, menunjukkan kinerja sektor transportasi yang baik pula. Aktivitas Transportasi (Transport Activity) Aktivitas/kegiatan yang berkaitan dengan transportasi itu sendiri merupakan parameter penentu kebijakan yang akan dilaksanakan dalam sektor transportasi ini. Semakin tinggi aktivitas yang terjadi menyebabkan semakin tinggi pula permintaan akan kinerja sektor transportasi yang baik. Aktivitas transportasi yang dimaksud berkaitan dengan rata-rata frekuensi perjalanan, waktu/lama perjalanan, dan jarak perjalanan. Transportasi juga sangat erat kaitannya dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk sektor ini. Biaya transportasi yang dimaksud menyangkut travel cost, facility cost dan crash cost. Biaya Transportasi (Transport Cost) Biaya transportasi yang ideal besarnya akan terjangkau oleh masyarakat. Semakin kecil/ringan biaya transportasi yang dibebankan, akan semakin terjangkau bagi masyarakat dan alokasi income untuk sektor ini akan semakin proporsional. Sumber : Hasil Analisis, 2008 *) : Klasifikasi kategori/dimensi secara umum mengacu pada Center for Sustainable Transportation, 2005

25 Tabel II.4 Rasionalitas dan Tolok Ukur Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan Yang Berkelanjutan Kategori/Dimensi Rasionalitas Indikator Tolok Ukur Kondisi Ekonomi Masyarakat Keberadaan sektor transportasi akan mempengaruhi tingkat perekonomian masyarakat, begitupun sebaliknya. Kondisi transportasi yang baik secara tidak langsung akan dapat menunjang tingkat perekonomian masyarakat tersebut. Sedangkan kondisi ekonomi masyarakat yang baik, akan dapat pula menunjang perkembangan dan kemajuan sektor transportasi di daerahnya Besarnya PDRB per kapita Tingkat kemiskinan Tingkat pengangguran Terjadinya peningkatan jumlah PDRB tiap tahunnya (Gifford, 2004) Terjadinya penurunan tingkat kemiskinan tiap tahunnya (Gifford, 2004) Terjadinya penurunan tingkat pengangguran tiap tahunnya (Gifford, 2004) Supply dan Demand Supply dan demand merupakan hal utama yang harus dilihat dalam mengukur ketersediaan sarana dan prasarana termasuk dalam sektor transportasi. Keseimbangan antara supply dan demand akan menunjukkan kinerja yang baik dari sektor transportasi. Ketersediaan moda transportasi Angkutan penumpang (internal) Angkutan penumpang (eksternal) Angkutan barang Kapasitas jaringan jalan Kondisi jaringan jalan 50 % masyarakat menyatakan jumlah angkutan yang tersedia cukup untuk mengangkut penumpang dan barang yang ada (Winston, 2003) 50 % masyarakat menyatakan kapasitas jaringan jalan yang tersedia telah memadai (Winston, 2003) Persentase jaringan jalan dengan kondisi baik lebih besar daripada jaringan jalan dengan kondisi rusak(litman, 2004)

26 Kapasitas terminal 50 % masyarakat menyatakan kapasitas terminal yang ada telah mencukupi (Winston, 2003) Aksesibilitas Aksessibilitas sangat erat kaitannya dengan sektor transportasi. Aksessibilitas yang tinggi, menunjukkan kinerja sektor transportasi yang baik, demikian sebaliknya. Akses ke basic service (tempat kerja, sekolah, pasar, pusat kesehatan) Akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi (pergerakan internal & eksternal) Mixed use lahan 50 % masyarakat menyatakan mudah untuk menjangkau tempat kerja, sekolah, pasar dan pusat kesehatan (Winston, 2003) 50 % masyarakat menyatakan mudah untuk mendapatkan pelayanan transportasi (Winston, 2003) Terdapatnya mixed use lahan. Terjadinya peningkatan mixed use lahan dari tahun ke tahun. (Litman, 2004) Aktivitas Transportasi (Transport Activity) Aktivitas/kegiatan yang berkaitan dengan transportasi itu sendiri merupakan parameter penentu kebijakan yang akan dilaksanakan dalam sektor transportasi ini. Semakin tinggi aktivitas yang terjadi menyebabkan semakin tinggi pula permintaan akan kinerja sektor transportasi yang semakin baik. Melalui aktivitas transportasi dapat mengindikasikan tingkat tarikan zona, dan tingkat kedekatan antar zona. Rata-rata frekuensi perjalanan harian Rata-rata waktu tempuh perjalanan (pergerakan internal & eksternal) Jarak tempuh perjalanan (pergerakan internal & eksternal) Mengindikasikan tingkat tarikan antar zona (attractiveness by zone) Mengindikasikan tingkat kedekatan antar zona.

27 Biaya Transportasi (Transport Cost) Transportasi juga sangat erat kaitannya dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk sektor ini. Biaya transportasi yang ideal, besarnya akan terjangkau oleh masyarakat. Alokasi income yang diperoleh untuk transportasi Travel Cost (ongkos/biaya perjalanan) Facility & Crash Cost (biaya parkir, harga bahan bakar, pajak, dan biaya pemeliharaan/perbaikan kendaraan akibat kerusakan ) 50 % masyarakat menyatakan alokasi pengeluaran untuk sektor transportasi masih proporsional. (Winston, 2003) 50 % masyarakat menyatakan biaya transportasi (travel cost, facility cost dan crash cost) yang harus ditanggung ringan dan terjangkau. (Winston, 2003) Sumber : Hasil Analisis, 2008

28 Tabel II.5 Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan Yang Berkelanjutan Untuk Mengidentifikasi Kinerja Sektor Transportasi di Kota Soreang Kategori/Dimensi Indikator Keterangan Kondisi Ekonomi Masyarakat Supply dan Demand Aksesibilitas Aktivitas Transportasi (Transport Activities) Biaya Transportasi (Transport Cost) Sumber : Hasil Analisis, 2008 Besarnya PDRB per kapita Data tahun terakhir ( ) Tingkat pengangguran tahun Tingkat kemiskinan tahun Ketersediaan moda transportasi (Angkutan penumpang (internal), Angkutan penumpang (eksternal), Angkutan barang) persepsi masyarakat Kapasitas jaringan jalan persepsi masyarakat Kondisi jaringan jalan data tahun terakhir Kapasitas terminal persepsi masyarakat Akses ke basic service (tempat kerja, sekolah, pasar, pusat kesehatan ) persepsi masyarakat Akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi (pergerakan internal, eksternal) persepsi masyarakat Mixed use guna lahan hasil observasi Rata-rata frekuensi perjalanan per hari/persepsi masyarakat Rata-rata waktu perjalanan (pergerakan internal, eksternal) per hari/persepsi masyarakat Jarak perjalanan (pergerakan internal, eksternal) per hari/persepsi masyarakat Alokasi income untuk transportasi persepsi masyarakat Travel Cost (ongkos/biaya perjalanan) persepsi masyarakat Facility & Crash Cost (biaya parkir, harga bahan bakar, pajak biaya pemeliharaan/perbaikan kendaraan) persepsi masyarakat

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan membahas mengenai temuan studi, kesimpulan dan rekomendasi yang merupakan sintesa dari hasil kajian indikator ekonomi dalam transportasi berkelanjutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu hal yang menjadi fokus perhatian di berbagai bidang saat ini adalah berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Definisi berkelanjutan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KINERJA TRANSPORTASI DI KOTA SOREANG BERDASARKAN INDIKATOR EKONOMI DALAM TRANSPORTASI BERKELANJUTAN

BAB IV ANALISIS KINERJA TRANSPORTASI DI KOTA SOREANG BERDASARKAN INDIKATOR EKONOMI DALAM TRANSPORTASI BERKELANJUTAN BAB IV ANALISIS KINERJA TRANSPORTASI DI KOTA SOREANG BERDASARKAN INDIKATOR EKONOMI DALAM TRANSPORTASI BERKELANJUTAN Indikator-indikator keberlanjutan transportasi perkotaan dalam aspek ekonomi yang telah

Lebih terperinci

KAJIAN INDIKATOR EKONOMI DALAM TRANSPORTASI PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN (Studi Kasus : Kota Soreang) TUGAS AKHIR. Oleh : LYDIA

KAJIAN INDIKATOR EKONOMI DALAM TRANSPORTASI PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN (Studi Kasus : Kota Soreang) TUGAS AKHIR. Oleh : LYDIA KAJIAN INDIKATOR EKONOMI DALAM TRANSPORTASI PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN (Studi Kasus : Kota Soreang) TUGAS AKHIR Oleh : LYDIA 15402011 PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota sebagai pusat pertumbuhan menyebabkan timbulnya daya tarik yang tinggi terhadap perekonomian sehingga menjadi daerah tujuan untuk migrasi. Dengan daya tarik suatu

Lebih terperinci

KEBIJAKAN TRANSPORTASI BERKELANJUTAN

KEBIJAKAN TRANSPORTASI BERKELANJUTAN KEBIJAKAN TRANSPORTASI BERKELANJUTAN : Suatu Penerapan Metodologi yang Komprehensif Oleh: R. Aria Indra P Kasubdit Lintas Sektor dan Lintas Wilayah, Dit. Wilayah Tarunas, Ditjen Taru, Kemen PU Sustainability

Lebih terperinci

Konsep Penataan Kota berbasis Berkelanjutan: Belajar di Eropa WIDIASTUTI

Konsep Penataan Kota berbasis Berkelanjutan: Belajar di Eropa WIDIASTUTI Konsep Penataan Kota berbasis Berkelanjutan: Belajar di Eropa WIDIASTUTI PENGERTIAN Kota yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang (Brundtland,1987) suatu interaksi

Lebih terperinci

KAJIAN DAYA TAMPUNG RUANG UNTUK PEMANFAATAN LAHAN KOTA TARAKAN TUGAS AKHIR

KAJIAN DAYA TAMPUNG RUANG UNTUK PEMANFAATAN LAHAN KOTA TARAKAN TUGAS AKHIR KAJIAN DAYA TAMPUNG RUANG UNTUK PEMANFAATAN LAHAN KOTA TARAKAN TUGAS AKHIR Oleh : M. HELWIN SETIAWAN L2D 099 434 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Perkembangan Kota Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor

Lebih terperinci

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : Arif Rahman Hakim L2D 303 283 JURUSAN

Lebih terperinci

3/1/2018. Millennium Development Goals and Sustainable Development Goals. Pembangunan harus BERKELANJUTAN

3/1/2018. Millennium Development Goals and Sustainable Development Goals. Pembangunan harus BERKELANJUTAN Millennium Development Goals and Sustainable Development Goals PEMBANGUNAN adalah usaha yang terus menerus dilakukan untuk menuju perubahan yang lebih baik menuju terjadinya peningkatan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Provinsi Banten adalah salah satu daerah pemekaran yang dulu termasuk dalam wilayah Karesidenan Banten - Provinsi Jawa Barat dan terbentuk melalui Undang undang No. 23 Tahun

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Kota Surakarta

BAB V PEMBAHASAN. Kota Surakarta BAB V PEMBAHASAN Pada bab ini akan berisi pembahasan tentang posisi hasil penelitian terhadap teori yang digunakan sehingga mampu menjawab permasalahan penelitian. Pembahasan akan secara kritis dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi kebutuhan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi kebutuhan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi kebutuhan manusia untuk menunjang kehidupan perekonomian di masyarakat, baik dalam bentuk

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UNTUK PENATAAN RUANG

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UNTUK PENATAAN RUANG DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UNTUK PENATAAN RUANG Setyo S. Moersidik Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia (smoersidik@yahoo.com) DDL Adalah kemampuan lingkungan hidup untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia merupakan pusat pemerintahan dan bisnis dengan jumlah penduduk pada tahun 2016 mencapai 10,277 juta jiwa. Kepadatan penduduk di Jakarta

Lebih terperinci

Makalah Pembangunan Berkelanjutan BAB I PENDAHULUAN

Makalah Pembangunan Berkelanjutan BAB I PENDAHULUAN Makalah Pembangunan Berkelanjutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan pembangunan berkelanjutan sekarang telah merupakan komitmen setiap orang, sadar atau tidak sadar, yang bergelut

Lebih terperinci

TEORI Kota Cerdas dari Dimensi Mobilitas Cerdas

TEORI Kota Cerdas dari Dimensi Mobilitas Cerdas TEORI Kota Cerdas dari Dimensi Mobilitas Cerdas Mobilitas adalah gerak perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain (Malik, 2014). Alberti (2011) menyatakan pendapatnya mengenai mobilitas cerdas sebagai

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN V.1. Visi Menuju Surabaya Lebih Baik merupakan kata yang memiliki makna strategis dan cerminan aspirasi masyarakat yang ingin perubahan sesuai dengan kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

KENAPA TRANSPORTASI PERLU DIRENCANAKAN?

KENAPA TRANSPORTASI PERLU DIRENCANAKAN? Pertemuan Keenam Prodi S1 Teknik Sipil DTSL FT UGM KENAPA TRANSPORTASI PERLU DIRENCANAKAN? Supaya tercipta: - Transportasi yang efisien - Transportasi yang berkualitas - Transportasi untuk siapa saja 1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Green roads Definisi green roads adalah kegiatan penyelenggaraan jalan yang menerapkan prinsip lingkungan dimulai dari tahap pembiayaan, perencanaan, desain, konstruksi, dan

Lebih terperinci

INDIKATOR KAWASAN PETERNAKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP FAKULTAS PETERNAKAN

INDIKATOR KAWASAN PETERNAKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP FAKULTAS PETERNAKAN INDIKATOR KAWASAN PETERNAKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN INDIKATOR KAWASAN PETERNAKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP Pengembangan Kawasan Peternakan dalam dimensi

Lebih terperinci

SUSTAINABLE MOBILITY PADA STASIUN MRT DAN TERMINAL DI LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN

SUSTAINABLE MOBILITY PADA STASIUN MRT DAN TERMINAL DI LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN SUSTAINABLE MOBILITY PADA STASIUN MRT DAN TERMINAL DI LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN Hendra Halim, Michael Tedja, Widya Katarina Jurusan Arsitektur, Universitas Bina Nusantara, Jalan KH Syahdan No.9 Jakarta

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL PENENTUAN PRIORITAS PERENCANAAN TRANSPORTASI JANGKA PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MULTI CRITERIA DECISION MAKING (MCDM)

PENGEMBANGAN MODEL PENENTUAN PRIORITAS PERENCANAAN TRANSPORTASI JANGKA PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MULTI CRITERIA DECISION MAKING (MCDM) PENGEMBANGAN MODEL PENENTUAN PRIORITAS PERENCANAAN TRANSPORTASI JANGKA PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MULTI CRITERIA DECISION MAKING (MCDM) Oleh: Indah Apriliana Sari (2508.201.002) Pembimbing Ko-pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu keberlanjutan (sustainability) merupakan isu yang kian melekat dengan proses perencanaan dan perancangan lingkungan binaan. Dengan semakin rumitnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permintaan akan transportasi dalam suatu wilayah merupakan kebutuhan akan akses untuk menuju fungsi-fungsi pelayanan kota di lokasi berbeda yang ditentukan oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan perekonomian dan pembangunan di Indonesia yang didukung kegiatan di sektor industri sebagian besar terkonsentrasi di daerah perkotaan yang struktur dan infrastrukturnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Latar Belakang Perancangan. Pusat perbelanjaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Latar Belakang Perancangan. Pusat perbelanjaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Latar Belakang Perancangan Pusat perbelanjaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. Khususnya di DKI Jakarta. Di berbagai wilayah terus tumbuh pusat-pusat

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORI SUSTAINABLE ARCHITECTURE

BAB III TINJAUAN TEORI SUSTAINABLE ARCHITECTURE BAB III TINJAUAN TEORI SUSTAINABLE ARCHITECTURE 3.1. SUSTAINABLE ARCHITECTURE Sustainable Architecture (arsitektur berkelanjutan) memiliki tujuan untuk mencapai kesadaran lingkungan dan memanfaatkan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan atau perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH Strategi pembangun daerah adalah kebijakan dalam mengimplementasikan program kepala daerah, sebagai payung pada perumusan program dan kegiatan pembangunan di dalam mewujdkan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN

PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN Agus Sugiyono Bidang Perencanaan Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Gedung BPPT II, Lantai 20, Jl. M.H. Thamrin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. merupakan Upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dulu

BAB 2 LANDASAN TEORI. merupakan Upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dulu 15 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Redevelopment Salah satu pengertian redevelopment menurut Prof. Danisworo merupakan Upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dulu melakukan pembongkaran

Lebih terperinci

BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI

BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI A. Pendekatan Kajian Pelaksanaan studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan dan Hemat Energi diharapkan menghasilkan suatu konsep pengembangan

Lebih terperinci

INDIKATOR PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM SISTEM TRANSPORTASI BERKELANJUTAN

INDIKATOR PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM SISTEM TRANSPORTASI BERKELANJUTAN INDIKATOR PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM SISTEM TRANSPORTASI BERKELANJUTAN Herman Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional Jl. PHH Mustapa No. 23 Bandung, 40124 022-7272215 (F): 022-7202892 herman@itenas.ac.id

Lebih terperinci

Pembangunan Kota Berkelanjutan

Pembangunan Kota Berkelanjutan Pembangunan Kota Berkelanjutan Uke M Hussein Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Mei 2017 1 Outline Urbanisasi di Indonesia Peluang, tantangan,

Lebih terperinci

SEMARANG. Ngaliyan) Oleh : L2D FAKULTAS

SEMARANG. Ngaliyan) Oleh : L2D FAKULTAS PENGARUH KENAIKAN HARGA BBM PADA BIAYA PERJALANAN TERHADAP PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI MASYARAKAT DI DAERAH PINGGIRAN KOTA SEMARANG (Studi Kasus : Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Pedurungan dan Kecamatan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG POLA PENGEMBANGAN TRANSPORTASI WILAYAH

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG POLA PENGEMBANGAN TRANSPORTASI WILAYAH SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG POLA PENGEMBANGAN TRANSPORTASI WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro (Dwihatmojo)

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro (Dwihatmojo) BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Ruang terbuka merupakan ruang publik yang digunakan masyarakat untuk berinteraksi, berolahraga, dan sebagai sarana rekreatif. Keberadaan ruang terbuka juga bermanfaat

Lebih terperinci

PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN

PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN Agus Sugiyono Bidang Perencanaan Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Gedung BPPT II, Lantai 20, Jl. M.H. Thamrin

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Studi ini menyajikan analisis mengenai kualitas udara di Kota Tangerang pada beberapa periode analisis dengan pengembangan skenario sistem jaringan jalan dan variasi penerapan

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Ilmu Lingkungan Wahyu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam aktivitas kegiatan perkotaan telah didiskusikan sejak tahun 1970-an di negara maju sebagai strategi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian khususnya perkotaan. Hal tersebut dikarenakan transportasi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian khususnya perkotaan. Hal tersebut dikarenakan transportasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transportasi memegang peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian khususnya perkotaan. Hal tersebut dikarenakan transportasi berhubungan dengan kegiatan-kegiatan

Lebih terperinci

III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN. Kebijaksanaan pembangunan nasional di sektor transportasi adalah

III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN. Kebijaksanaan pembangunan nasional di sektor transportasi adalah 1 III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Pikir Penelitian Kebijaksanaan pembangunan nasional di sektor transportasi adalah untuk memperlancar arus barang dan jasa serta meningkatkan mobilitas manusia,

Lebih terperinci

ANALISIS PEMBANGUNAN PERKOTAAN DALAM PERSPEKTIF GREEN ECONOMIC DEVELOPMENT

ANALISIS PEMBANGUNAN PERKOTAAN DALAM PERSPEKTIF GREEN ECONOMIC DEVELOPMENT ANALISIS PEMBANGUNAN PERKOTAAN DALAM PERSPEKTIF GREEN ECONOMIC DEVELOPMENT (Studi Pada Pemanfaatan dan Pengendalian Kawasan Budidaya Kota Malang) SKRIPSI Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana Pada Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS BANGKITAN DAN TARIKAN PERGERAKAN PENDUDUK BERDASARKAN DATA MATRIKS ASAL TUJUAN KOTA MANADO ABSTRAK

ANALISIS BANGKITAN DAN TARIKAN PERGERAKAN PENDUDUK BERDASARKAN DATA MATRIKS ASAL TUJUAN KOTA MANADO ABSTRAK ANALISIS BANGKITAN DAN TARIKAN PERGERAKAN PENDUDUK BERDASARKAN DATA MATRIKS ASAL TUJUAN KOTA MANADO Meike Kumaat Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Jl Hayam

Lebih terperinci

SUSTAINABLE DEVELOPMENT : Paradigma baru metode Memadukan Pembangunan Ekonomi Dan Lingkungan. Oleh Dewi Triwahyuni

SUSTAINABLE DEVELOPMENT : Paradigma baru metode Memadukan Pembangunan Ekonomi Dan Lingkungan. Oleh Dewi Triwahyuni SUSTAINABLE DEVELOPMENT : Paradigma baru metode Memadukan Pembangunan Ekonomi Dan Lingkungan Oleh Dewi Triwahyuni PENGERTIAN & PRINSIP-PRINSIP DALAM SUSTAINABLE DEVELOPMENT DEFINISI : SUSTAINABLE DEVELOPMENT

Lebih terperinci

Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi BAB VIII PENUTUP

Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi BAB VIII PENUTUP BAB VIII PENUTUP A. Kesimpulan 1) Dari hasil kajian dan analisis terhadap berbagai literatur dapat ditarik satu kesimpulan sebagai berikut : a) Ada beberapa definisi tentang angkutan massal namun salah

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN

BAB III METODE PERANCANGAN BAB III METODE PERANCANGAN 3.1. Data Proyek 3.1.1 Data Umum Proyek DATA SITE Lokasi Selatan : Jl. Raya Pasar Jum at, Kel. Lebak Bulus, Kec. Cilandak, Jakarta Luas Lahan : ± 22.000 m² KDB : 60% KLB : 2,0

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendapatan yang rendah, terbatasnya sumber daya, khususnya dana, kualitas dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendapatan yang rendah, terbatasnya sumber daya, khususnya dana, kualitas dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi perkotaan di banyak negara berkembang menghadapi permasalahan dan beberapa diantaranya sudah berada dalam tahap kritis. Permasalahan yang terjadi bukan

Lebih terperinci

GREEN TRANSPORTATION

GREEN TRANSPORTATION GREEN TRANSPORTATION DIREKTORAT PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DIRJEN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Jakarta 2016 - 23 % emisi GRK dari fossil

Lebih terperinci

PENGERTIAN GREEN CITY

PENGERTIAN GREEN CITY PENGERTIAN GREEN CITY Green City (Kota hijau) adalah konsep pembangunan kota berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dicapai dengan strategi pembangunan seimbang antara pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya.

BAB I PENDAHULUAN. oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Air sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia seharusnya dapat di akses oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya. Tapi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI BENTUK-BENTUK INVESTASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH SEKTOR INDUSTRI

IDENTIFIKASI BENTUK-BENTUK INVESTASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH SEKTOR INDUSTRI IDENTIFIKASI BENTUK-BENTUK INVESTASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH SEKTOR INDUSTRI (Studi Kasus: PT Coca Cola Bottling Indonesia Divisi Jawa Tengah, PT. Leo Agung Raya, PT Djarum Kudus, dan Sentra Industri

Lebih terperinci

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi dan misi merupakan gambaran apa yang ingin dicapai Kota Surabaya pada akhir periode kepemimpinan walikota dan wakil walikota terpilih, yaitu: V.1

Lebih terperinci

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG Misi untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang cerdas, sehat, beriman dan berkualitas tinggi merupakan prasyarat mutlak untuk dapat mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera. Sumberdaya manusia yang

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk

BAB III LANDASAN TEORI. International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Konsep 3.1.1. Konsep partisipasi Kegiatan Perencanaan Angkutan Pemadu Moda New Yogyakarta International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan pengembangan wilayah yang mencoba merubah sistem sentralistik menjadi desentralistik. Melalui kebijakan ini, diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota sangat erat kaitannya dengan jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang banyak dan berkualitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mengangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Sementara menurut Papacostas

TINJAUAN PUSTAKA. mengangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Sementara menurut Papacostas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi Pengertian transportasi menurut Morlok (1981) adalah memindahkan atau mengangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Sementara menurut Papacostas (1987), transportasi

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika A. Permasalahan Adapun Permasalahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan secara luas kepada

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan secara luas kepada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan secara luas kepada Pemerintahan Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang dilakukan banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang dilakukan banyak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang dilakukan banyak negara di berbagai penjuru dunia dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di masing-masing

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA DAERAH

EXECUTIVE SUMMARY PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA DAERAH EXECUTIVE SUMMARY PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA DAERAH Pemerintahan yang sentralistik di masa lalu terbukti menghasilkan kesenjangan pembangunan yang sangat mencolok antara pusat dan daerah. Dengan adanya

Lebih terperinci

PENGANTAR TEKNIK TRANSPORTASI

PENGANTAR TEKNIK TRANSPORTASI PENGANTAR TEKNIK TRANSPORTASI PENDAHULUAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224 PENDAHULUAN Pengantar Rekayasa transportasi merupakan tinjauan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di sektor transportasi, peningkatan mobilisasi dengan kendaraan pribadi menimbulkan peningkatan penggunaan kendaraan yang tidak terkendali sedangkan penambahan ruas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Angkutan umum sebagai bagian sistem transportasi merupakan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Angkutan umum sebagai bagian sistem transportasi merupakan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angkutan umum sebagai bagian sistem transportasi merupakan kebutuhan masyarakat untuk menunjang aktivitas sehari-hari dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

TEMA 1- Kohesi Sosial dan Ekuitas Kota Layak Huni

TEMA 1- Kohesi Sosial dan Ekuitas Kota Layak Huni LOMBA JURNALISTIK "AGENDA BARU PERKOTAAN" TEMA 1- Kohesi Sosial dan Ekuitas Kota Layak Huni Dalam mewujudkan tujuan dari konferensi Habitat III yang bertemakan Leave No One Behind, Urban Equity and Poverty

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dengan melihat karakteristik Kabupaten Garut bagian selatan dapat dilihat bagaimana sifat ketertinggalan memang melekat pada wilayah ini. Wilayah Garut bagian selatan sesuai

Lebih terperinci

Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang

Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang (Berdasarkan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang) PENGATURAN Penataan ruang sebagai acuan pembangunan sektoral dan wilayah; Pendekatan sistem dilakukan dalam penataan

Lebih terperinci

18 Desember STRATEGI PEMBANGUNAN METROPOLITAN Sebagai Pusat Kegiatan Global yang Berkelanjutan

18 Desember STRATEGI PEMBANGUNAN METROPOLITAN Sebagai Pusat Kegiatan Global yang Berkelanjutan 18 Desember 2013 STRATEGI PEMBANGUNAN METROPOLITAN Sebagai Pusat Kegiatan Global yang Berkelanjutan Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup 18 Desember 2013 Peran Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wacana CSR berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992

BAB I PENDAHULUAN. wacana CSR berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Saat ini persoalan lingkungan sudah menjadi persoalan yang menarik dan menjadi isu sentral bagi negara-negara di dunia. Semenjak tahun 1980-1990, wacana CSR

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS A. Permasalahan Pembangunan Dari kondisi umum daerah sebagaimana diuraikan pada Bab II, dapat diidentifikasi permasalahan daerah sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketepatan waktu, sehingga kereta api sangat dapat diandalkan (reliable). Pesaing

BAB I PENDAHULUAN. ketepatan waktu, sehingga kereta api sangat dapat diandalkan (reliable). Pesaing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yogyakarta sebagai kota tujuan dari beberapa kota sekitar. Hal tersebut menuntut kota tersebut memenuhi kebutuhan transportasi. Kebutuhan transportasi umum hendaklah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

Kebijakan Perencanaan Tata Ruang dan Transportasi

Kebijakan Perencanaan Tata Ruang dan Transportasi Kebijakan Perencanaan Tata Ruang dan Transportasi Tren Perencanaan Tata Ruang Untuk Transportasi Peningkatan mobilitas memerlukan lahan yang lebih luas untuk transportasi Pemilikan kendaraan bermotor yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini isu mengenai Global Warming dan keterbatasan energi kerap menjadi perbincangan dunia. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui kelompok penelitinya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal dengan kepadatan penduduknya dengan berada ditingkat keempat. Angka kepadatan penduduk yang terus

Lebih terperinci

PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR

PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR Oleh: FIERDA FINANCYANA L2D 001 419 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Terwujudnya Masyarakat Bengkulu Utara yang Mandiri, Maju, dan Bermartabat Visi pembangunan Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011-2016 tersebut di atas sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobilitas berarti pergerakan atau perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Dalam implementasinya mobilitas membutuhkan alat (instrument) yang dapat mendukung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Gambaran Umum BPLH Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN Gambaran Umum BPLH Kota Bandung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum BPLH Kota Bandung I su-isu kerusakan lingkungan saat ini bukan lagi hanya merupakan isu lokal daerah, akan tetapi sudah menjadi isu global, dimana negara-negara di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persoalan transportasi merupakan masalah dinamis yang hampir ada di kota-kota besar di Indonesia. Permasalahan ini berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sarana dan Prasarana Transportasi di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sarana dan Prasarana Transportasi di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Sarana dan Prasarana Transportasi di Indonesia Karakteristik transportasi Indonesia dihadapkan pada kualitas pelayanan yang rendah, dan kuantitas atau cakupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi memiliki peran yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pergerakan manusia, seperti pergerakan dari rumah (asal) sekolah, tempat kerja, dan lain-lain

Lebih terperinci