BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS"

Transkripsi

1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Sanksi Pidana Seumur Hidup Dalam Peraturan Perundang-undangan a. Sanksi Pidana Seumur Hidup Dalam KUHP Perumusan sanksi pidana seumur hidup dalam KUHP dapat dirumuskan seperti pada tabel dibawah: Tabel 3.1 Rumusan Ancaman Sanksi Pidana dengan PSH Dalam KUHP No. Kelompok Kejahatan Perumusan Ancaman Pidana/ Pasal Mati/SH/20 TH SH/20 TH 1. Keamanan Negara 104, 111 (2), 124 (3) 106, 107 (2), 108 (2), Kejahatan terhadap Negara 140 (3) 3. Membahayakan kepentingan umum 187 ke-3,198 ke-2, 200 ke-3, 202 (2), 204 (2) 4. Terhadap nyawa Pencurian 365 (4) 6. Pemerasan& Pengancaman 368 (2) 7. Pelayaran Penerbangan 479 k (2), 479 o (2) 479 f sub b, 479 k (1), 479 o (1) Sumber: Tongat. Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia,.Penerbitan Universitas Muhamadiyah Malang, Malang, 2004 Keterangan: Mati = Pidana Mati SH = Pidana Seumur Hidup 20 TH = Pidana penjara paling lama 20 tahun 1

2 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perumusan sanksi pidana dalam KUHP menggunakan sistem alternatif yaitu pidana seumur hidup dialternatifkan dengan pidana mati atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Sebagai alternatif pidana mati, pidana seumur hidup berhubungan dengan fungsi subsidair, yaitu sebagai pengganti untuk delik-delik yang diancam dengan maksimum pidana mati. Melihat perumusan pidana seumur hidup dalam KUHP yang secara keseluruhan menggunakan sistem alternatif menunjukkan, bahwa pidana seumur hidup dalam KUHP merupakan jenis sanksi yang dapat dipilih untuk penjatuhannya tidak bersifat imperatif. Berbeda halnya dengan perumusan ancaman pidana penjara selama waktu tertentu yang justru banyak menggunakan perumusan ancaman pidana dengan sistem tunggal yang bersifat imperatif. Hal ini tentu berbeda dengan perumusan sanksi pidana diluar KUHP yang tidak jarang menggunakan sistem gabungan yaitu alternatif kumulasi, meski jumlahnya tidak terlalu besar. Dari perumusan pidana seumur hidup atas delikdelik dalam KUHP diatas, secara rasional, ancaman pidana seumur hidup sebagian besar ditujukan pada tindak pidana berat yang membahayakan nyawa orang dengan kata lain merupakan tindak pidana yang dapat menyebabkan kematian. 2

3 b. Sanksi Pidana Seumur Hidup Di Luar KUHP Perumusan sanksi pidana seumur hidup selain dalam KUHP, juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya diluar KUHP. Sebagai bahan analisis ada 4 (empat) peraturan perundang-undangan diluar KUHP yang memuat rumusan ancaman pidana seumur hidup yang akan diungkap dalam penelitian ini. Keempat peraturan tersebut diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 1). Ancaman pidana seumur hidup dalam Undang-Undang Nomor 5/1997. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika memuat ancaman pidana seumur hidup terhadap tindak pidana seperti yang diatur pada Pasal 59 ayat 2 yang menyatakan jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp ,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Pasal 59 ayat 1 menyatakan perbuatan yang terorganisir yaitu meliputi: 1. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 2. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 3

4 3. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) 4. mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan 5. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I. Ketentuan perumusan ancaman pidana seumur hidup dalam ketentuan Pasal 59 ayat 2 yang mencakup tindak pidana dalam Pasal 59 ayat 1, dirumuskan secara alternatif-kumulasi, artinya bahwa sekalipun pidana seumur hidup dialternatifkan dengan pidana mati atau penjara selama 20 tahun, tetapi juga dikumulasi dengan ditambah pidana denda sebesar Rp ,00 (tujuh ratus lima puluh juta) rupiah. Bentuk perumusan ancaman pidana seumu hidup dengan alternativekumulasi seperti ini tidak terdapat dalam perumusan sanksi pidana seumur hidup pada KUHP. 2). Ancaman pidana seumur hidup dalam Undang-Undang Nomor 20/2001. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi mengatur ancaman pidana seumur hidup seperti pada Pasal 2 ayat1, Pasal 3, Pasal 15 dan Pasal 16. Pasal 2 ayat 1 dinyatakan bahwa: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp ,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (satu milyar rupiah). 4

5 Pasal 15 undang-undang ini menyatakan bahwa percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3. Dengan demikian maka percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi merupakan delik yang selesai karena ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara maksimal 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda. Sanksi pidana dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 juga berlaku bagi Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana korupsi. Delik ini diatur pada Pasal 16 UU Tipikor. Dalam Pasal 12 B ayat 2 diatur pula ancaman pidana seumur hidup mengenai delik gratifikasi, menurut Pasal 12B ayat (2), bukan gratifikasi nya, melainkan perbuatan menerima gratifikasi itu. Pasal tersebut menyatakan bahwa pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). Pada Pasal 12 B ayat 2 khusus pidana seumur hidup dirumuskan secara alternative dengan pidana penjara selama waktu tertentu paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun). 5

6 3). Ancaman pidana seumur hidup dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memuat ancaman pidana seumur hidup diantaranya terdapat pada Pasal 111 ayat 2, 112 ayat 2, 113 ayat 2, 114 (1 dan 2), 115 ayat (2), 116 ayat (2), 118 ayat 2, 119 ayat 2, 121 ayat 2, Pasal 132 dan 133. Pasal 111 ayat 2 menyatakan bahwa dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda. Ancaman pidana seumur hidup pada pasal tersebut menggunakan sistem perumusan alternatif kumulasi, khusus pidana seumur hidup dialternatifkan dengan pidana penjara waktu tertentu paling singkat 5 (lima) tahun dan paling banyak 20 (dua puluh) tahun. Pada Pasal 113 ayat 2 dinyatakan bahwa perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum Rp (sepuluh miliar) ditambah 1/3 (sepertiga). Dalam pasal tersebut pidana seumur hidup dialternatifkan dengan pidana mati tetapi juga dialternatifkan dan dikumulasikan dengan pidana penjara paling lama 20(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp (sepuluh 6

7 miliar). Ketentuan perumusan dengan sistem alternative kumulasi juga terdapat pada Pasal 114 ayat 1 yang merumuskan ancaman pidana seumur hidup yaitu dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda. Jelas terlihat bahwa ancaman pidana seumur hidup dialternatifkan dengan pidana penjara waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun ditambah pidana denda. Pasal 114 ayat 2 yang berkaitan dengan pidana seumur hidup menyatakan bahwa dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda. Ketentuan pada Pasal 132 tentang percobaan dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut termasuk yang diancam dengan pidana seumur hidup maka dipidana dengan pidana sesuai ketentuan dalam Pasal yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa percobaan dan permufakatan jahat dalam undang-undang ini merupakan delik yang dianggap selesai dan merupakan suatu tindak pidana yang ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang diancamkan bagi pelakunya. 4). Ancaman pidana seumur hidup dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun2003. Perumusan ancaman pidana seumur hidup dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terdapat pada Pasal 7

8 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16. Pasal 6 menyatakan bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Melihat ketentuan Pasal diatas ancaman pidana seumur hidup dirumuskan dengan sistem alternative, yaitu dengan pidana mati atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Selanjutnya Pasal 7 menyatakan ancaman pidana seumur selengkapnya berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, sistem perumusan pidana yang digunakan adalah dengan sistem tunggal, terlihat bahwa hanya terdapat satu ancaman pidana yaitu pidana seumur hidup saja. Kelemahan dari sistem 8

9 tunggal salah satunya adalah hakim akan merasa kesulitan menentukan pidana yang tepat untuk dijatuhkan pada pelaku, sebab dalam kondisi seperti ini hakim hanya dihadapkan pada satu jenis ancama pidana. Padahal diketahui bahwa dalam KUHP tidak ditemukan dan tidak diatur mengenai perumusan tunggal untuk pidana mati dan pidana seumur hidup. Salah satu pertimbanganya adalah pidana seumur hidup merupakan pidana terberat satu tingkat setelah pidana mati. Pembuat undang-undang tidak mencantumkan alasan mengapa sanksi pidana pada pasal 7 Undang-Undang Teroris ini hanya memuat ancaman pidana seumur hidup secara tunggal. Selain perumusan tunggal, terdapat sistem alternative yaitu Pasal 9 yang merumuskan dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Ancaman pidana seumur hidup lainnya juga terdapat pada Pasal 14 yaitu: Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Pasal 15 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya. 9

10 Dalam ketentuan tersebut menunjukkan bahwa permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dianggap sebagai delik yang telah selesai karena ancaman pidananya sama dengan pidana yang diancamkan terhadap pelakunya. Ancaman pidana pada Pasal 15 juga berlaku bagi tindak pidana pada Pasal 16 Undang-Undang Teroris. Dari ketentuan pada pasal-pasal yang memuat ancaman pidana seumur hidup pada undang-undang tersebut, menunjukkan bahwa sebagian besar ancaman pidana seumur hidup dirumuskan secara alternatif. Ketentuan ini tentu saja sama dengan sistem perumusan pidana yang terdapat pada KUHP. Ancaman pidana seumur hidup juga berlaku pada Pasal 17 Undang- Undang Nomor 15 Tahun2003 tentang tindak pidana terorisme. 2. Gambaran Tentang Penerapan Pidana Seumur Hidup Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang Sebagai bahan analisis yang menjadi unit amatan penulisan ini disajikan tabel narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane guna memberikan gambaran dalam mengkaji Keputusan Menteri terkait kebijakan remisi sebagai upaya menunjang tujuan pemasyarakatan bagi narapidana seumur hidup khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang sebagai berikut: 1 Tabel Data yang diperoleh penulis dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Semarang atas ijin Kementerian Hukum dan Ham Kantor Wilayah Jawa Tengah pada tanggal 12 November

11 Daftar nama narapidana seumur hidup Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Semarang Tahun 2012 No. Nama/umur Ditahan Perkara/ Nomor/putusan pengadilan Suranto Abdul Ghoni/35 th Sarjiyo/ 32 th sejak 26 April April 2003 Pasal Teroris Teroris 934K/Pid/2004 MARI 10 Maret K/Pid/2004 MARI 10 Maret Rony Wijaya/32 th 22 Juni KUHP 866/Pid/B/2008 PN.Semarang 04 Februari Ruslan Abdul Gani/23 th 31 Agustus KUHP 1329 k/pid/2005 MARI 10 Oktober Agus Santoso/28 th 31 Agustus KUHP 1327 K/Pid/2005 MARI 10 Oktober 2005 Berdasarkan tabel diatas maka dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut: Narapidana atas nama Suranto Abdul dikenai pidana seumur hidup karena melakukan tindak pidana terorisme melalui Putusan Nomor 934K/Pid/2004 MARI tanggal 10 Maret Ghoni Sarjiyo dikenai pidana seumur hidup karena melakukan tindak pidana terorisme yang ditegaskan dengan Putusan Nomor 1191 K/Pid/2004 MARI tanggal 10 Maret Narapidana atas nama Rony Wijaya dikenai pidana seumur hidup karena memenuhi Pasal 365 KUHP tentang Pencurian yang ditegaskan dalam Putusan Nomor 866/Pid/B/2008 PN. Semarang tanggal 4 Februari Ruslan Abdul Gani dikenai pidana seumur 11

12 hidup karena melakukan tindak pidana Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, hal tersebut dikuatkan dengan Putusan Nomor 1329 k/pid/2005 MARI tanggal 10 Oktober 2005 dan narapidana atas nama Agus Santoso yang dipidana seumur hidup karena melakukan tindak pidana Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan dikuatkan dengan Putusan Nomor 1327 K/Pid/2005 MARI tanggal 10 Oktober Semua tindak pidana diatas tergolong dalam tindak pidana berat. Tabel diatas, menunjukkan bahwa Kelima narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane Semarang sedang menjalani pidana seumur hidup samapai dengan tahun B. Analisis 1. Pidana Seumur Hidup Dari Perspektif Pokok-Pokok Tujuan Pemidanaan Tindak pidana yang dipidana seumur hidup tergolong tindak pidana berat seperti tindak pidana narkotika, terorisme, pembunuhan, maker, kejahatan terhadap Negara dan lainnya sebagaiman telah dipaparka sebelumnya. Penjatuhan sebuah pidana seyogianya mampu memberikan tujuan yang adil baik dalam rangka perlindungan masyarakat maupun perlindungan individu. Pidana seumur hidup ini mengantarkan Penulis pada penerapan tujuan pemidanaan yang dapat dicapai melalui pidana seumur hidup saat ini. Tujuan pemidanaan berangkat dari teori-teori pemidanaan sebelumnya seperti teori retributive atau teori absolut, yang menyatakan bahwa pidana dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana sebagai 12

13 akibat dari tindak pidana yang dilakukan. Menurut pandangan teori ini pidana mutlak diberikan bagi mereka yang telah melakukan kejahatan. Selanjutnya teori teleologis atau relative, teori ini menyatakan bahwa pidana digunakan sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai kemanfaatan. Teori ini dimaksudkan sebagai alat pencegahan baik secara umum maupun khusus. Sedangkan teori retributivisme teleologis (gabungan) menganggap bahwa selain sebagai konsekuensi yang harus diterima pelaku tindak pidana, pemidanaan juga harus memberikan kemanfaatan baik melalui pencegahan secara umum maupun pencegahan secara khusus. a. Pidana Seumur Hidup Menurut Teori Retributif Pidana seumur hidup dipandang dari tujuan pembalasan dalam teori ini merupakan perwujudan yang nyata bahwa tindak pidana pencurian, teroris dan pembunuhan sebagaimana merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana seumur hidup bagi pelakunya adalah konsekuensi yang harus diterima narapidana. Pidana seumur hidup merupakan bentuk perampasan kemerdekaan seseorang. Jika tujuan pidana adalah semata-mata untuk sarana pembalasan saja maka tak ada ruang bebas bagi pelaku tindak pidana yang dipidana seumur hidup. Dalam pandangan teori absolute, tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dari suatu pemidanaan cenderung pada sifat pembalasan, bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana adalah wajib menerima sanksi atas perbuatannya tersebut. Bertolak dari tujuan tersebut dalam kaitannya dengan pidana seumur 13

14 hidup, pidana seumur hidup merupakan konsekuensi yang mutlak diterima bagi pelakunnya sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku atas tindak pidana yang dilakukan. Menurut Penulis tujuan pemidanaan dari sudut teori absolute hanya melihat satu aspek saja yaitu bahwa narapidana hanya dijadikan obyek dalam penjatuhan pidana tanpa memandang bahwa selain obyek pidana, narapidana adalah subyek dalam hukum pidana yang patut dihormati hak-haknya, sebab dalam pandangan teori absolute pelaku tindak pidana adalah mutlak untuk dipidana. b. Pidana Seumur Hidup Menurut Teori Teleologis Menurut pandangan teori ini, pemidanaan harus bertujuan untuk memberikan kemanfaatan. Pidana dianggap sah apabila dapat memberikan manfaat yang lebih baik. Pidana ditujukan sebagai sarana pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan secara umum, pidana seumur hidup yang dijatuhkan,setidak-tidaknya memberikan perlindungan kepada masyarakat umum karena pelaku tindak pidana dijauhkan dari lingkungan masyarakat. Dengan demikian dapat mengurangi keresahan yang terjadi dalam masyarakat serta dapat memulihkan keadaan yang sempat terganggu akibat tindak pidana yang ditimbulkan. Tindak pidana pencurian, teroris dan pembunuhan sebagaimana merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan pidana seumur hidup memberikan gambaran bagi masyarakat luas akan sangat besar resiko yang akan diterima bagi pelakunya. Oleh karena itu, penjatuhan pidana seumur hidup memberikan gambaran bagi masyarakat luas 14

15 sebagai upaya mencegah masyarakat umumnya tidak melakukan tindak pidana. Pencegahan secara khusus dimaksudkan agar pidana seumur hidup yang dijatuhkan dapat memberikan pembelajaran bagi narapidana agar menginsyafi perbuatannya dan menjadi lebih baik. Pencegahan secara khusus juga dimaksudkan agar narapidana mampu menahan diri untuk tidak mengulangi perbuatannya. Bertitik tolak dari tujuan pemidanaan sebagai pencegahan baik secara umum dan khusus, pidana seumur hidup akan dianggap benar dijatuhkan bagi para pelakunya, sepanjang dapat memberikan manfaat baik bagi masyarakat maupun diri pelaku tindak pidana tersebut. c. Pidana Seumur Hidup Dari Sudut Pandang Teori Retributivisme Teleologis Tujuan pidana dalam teori ini adalah gabungan antara unsur dalam teori absolute (pembalasan) dan unsur dalam teori teleologis/ relatif (kemanfaatan). Teori gabungan ini menjadi landasan pemidanaan yang ada di Indonesia saat ini karena dinilai lebih efektif dari teori-teori sebelumnya. Pidana seumur hidup yang dijatuhkan terhadap narapidana seumur hidup jika dilihat dari sudut pandang teori ini, menurut Penulis perlu dilihat terlebih dahulu sejauh apa kemanfaatan yang bisa dirasakan bagi penjatuhan pidana seumur hidup. Tujuan pidana dari penjatuhan pidana seumur hidup terhadap pelaku tindak pidana dalam hal ini narapidana seumur hidup, harus dapat memberikan manfaat nyata yang dapat diterima narapidana sebagai implementasi dari unsur kemanfaatan yang ada 15

16 dalam teori gabungan. Manfaat tersebut tidak cukup hanya dengan pembinaan dan pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan, tetapi juga manfaat lain khususnya manfaat yang menjadi harapan terbesar dari suatu pidana khususnya pidana seumur hidup yaitu pelaksanaan resosialisasi atau kembali ke dalam masyarakat lagi. Tujuan pemidanaan dalam teori gabungan ini ingin menunjukkan bahwa pemidanaan tidak saja sebagai unsure pembalasan seperti pada teori relative, tetapi harus memberikan perlindungan baik bagi masyarakat maupun individu dalam hal ini pelaku tindak pidana, sebab pada prinsipnya teori ini adalah pembaharuan dari teori-teori pemidanaan sebelumnya yang berusaha ingin memandang bahwa pidana dijatuhkan tidak semata-mata untuk pembalasan. Dengan dipidananya seorang pelaku tindak pidana dengan pidana seumur hidup, menurut Penulis cenderung hanya diorientasikan pada aspek perlindungan masyarakat yaitu pencegahan secara umum dengan mengabaikan aspek perlindungan individu yaitu pencegahan khusus, disatu sisi masyarakat merasa terhindar dari pengaruh dan akibat yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana namun disis lain pelaku tindak pidana yang menjalani pidana seumur hidup ini jelas harus menghabiskan hidupnya dengan menjalani pidana di sebuah lembaga pemasyarakatan. Kenyataan yang demikian memperjelas bahwa pidana dijatuhkan dengan mengabaikan kepentingan individu yaitu pelaku tindak pidana. Tujuan pemidanaan yang ingin dicapai tidak hanya terbatas pada salah satu aspek 16

17 dan mengabaikan aspek lainnya melainkan harus dapat terpenuhi secara seimbang baik itu dari aspek perlindungan masyarakat maupun perlindungan individu. Dengan demikian tujuan pemidanaan yang terkandung dalam teori teleologis relative ini pada dasarnya ingin menunjukkan dua aspek penting yang menjadi tujuan utama suatu pemidanaan yaitu pemidanaan harus mampu menunjang aspek perlindungan masyarakat, dan aspek perlindungan individu. Penulis beranggapan bahwa penjatuhan pidana seumur hidup ini cenderung mengabaikan salah satu aspek perlindungan yang menjadi tujuan utama dari pemidanaan pada teori gabungan yaitu aspek perlindungan individu, karena narapidana seumur hidup ini harus kehilangan kesempatannya berperan aktif dalam kapasitasnya sebagai subyek hokum. Oleh karena itu Penulis menganggap bahwa pidana seumur hidup ini tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. 1. Pidana Seumur Hidup Dari Perspektif Tujuan Pemasyarakatan a. Pidana Seumur Hidup Menurut Tujuan Resosialisasi 17

18 Dalam pandangan teoretis konsep pemasyarakatan pada dasarnya merupakan konsep resosialisasi dalam arti pemasyarakatan adalah memasyarakatkan kembali para narapidana sehingga menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. Dari pandangan teoretis tersebut maka diperoleh pengertian bahwa sebenarnya pemasyarakatan ini bertujuan untuk dapat memasyarakatkan kembali setiap narapidana yang dipidana. Terkait dengan pidana penjara seumur hidup, maka tujuan dari pemasyarakatan ini menurut Penulis juga berlaku bagi narapidana seumur hidup. Penulis menganggap bahwa narapidana seumur hidup juga manusia yang tidak hanya dijadikan obyek pemidanaan melainkan juga sebagai subyek dalam tata kehidupan hukum yang berlaku. Artinya narapidana seumur hidup tidak dapat begitu saja dipandang sebagai orang yang harus kehilangan haknya karena harus menjalani pidana seumur hidupnya. Pada dasarnya konsep pemasyarakatan yang bertujuan untuk memasyarakatkan kembali narapidana dibangun dengan pemikiran yang lebih manusiawi guna menggantikan prinsip kepenjaraan sebelumnya. Pemikiran ini yang kemudian menjadi asas dari pelaksanaan pemasyarakatan. Pelaksanaan pemasyarakatan diantaranya harus berasaskan pengayoman, yaitu perlakuan terhadap narapidana dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindakan pidana oleh narapidana, juga memberikan bekal hidup kepada narapidana agar menjadi warga yang berguna. Asas penghormatan harkat dan martabat, yang berarti bahwa sebagai orang yang tersesat narapidana harus diperlakukan sebagai manusia dan juga asas kehilangan kemerdekaan merupakan 18

19 satu-satunya penderitaan, yang dimaksud kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalah narapidana harus berada dalam lembaga pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu, sehingga Negara mempunyai kesempatan untuk memperhatikannya. Bertitik tolak dari asas dalam pelaksanaan pemasyarakatan tersebut, pidana seumur hidup dalam pengertiannya merupakan bentuk perampasan kemerdekaan seseorang. Narapidana yang dipidana seumur hidup harus menjalani pidana sepanjang sisa hidupnya dalam sebuah lembaga pemasyarakatan. Hal ini membuat narapidana pidana seumur hidup kehilangan kesempatannya kembali ke tengah-tengah masyarakat. Dalam melaksanakan pemasyarakatan ada 3 (tiga) hal penting yang terlebih dahulu harus dipahami yaitu: a. Bahwa proses pemasyarakatan diatur dan dikelola dengan semangat pengayoman dan pembinaan bukan pembalasan dan penjaraan. b. Bahwa proses pemasyarakatan mencakup pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga (intramural dan extramural). c. Proses pemasyarakatan memerlukan partisipasi, keterpaduan dari para petugas pemasyarakatan pada narapidana dan anak didik pemasyarakatan serta masyarakat umum. Berangkat dari pemahaman tentang pelaksanaan pemasyarakatan diatas maka dapat diketahui bahwa proses pemasyarakatan yang ada diatur dan dikelola dengan semangat pengayoman dan pembinaan bukan pembalasan dan penjaraan,sedangkan pidana seumur ini cenderung bersifat sebagai pembalasan 19

20 terhadap narapidana. Pelaksanaan proses pemasyarakatan mencakup pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga. Narapidana yang dipidana seumur hidup tetap memperoleh pembinaan di dalam dan diluar lembaga karena system kepenjaraan saat ini sudah meninggalkan pola atau falsafah pemidanaan dengan system kepenjaraan, dan menuju system pembinaan bagi narapidana. Dalam melaksanakan proses pemasyarakatan diperlukan partisipasi, keterpadan dari petugas pemasyarakatan, narapidana serta masyarakat umum. Artinya bahwa selama proses pemasyarakatan berlangsung diharapkan adanya sinkronisasi dan harmonisasi dari ketiga subyek tersebut agar terjadi pelaksanaan pemasyarakatan yang baik. Petugas pemasyarakatan harus dapat memberikan pembinaan dan pelayanan tanpa membeda-bedakan narapidana, masyarakat umum pun diharapkan memberikan pandangan yang positif terhadap narapidana dan mampu menyadari bahwa narapidana adalah seseorang yang sedang butuh dibina menjadi lebih baik. Proses pemasyarakatan merupakan suatu prosesbyang tidak hanya terfokus kepada proses resosialisasi saja. Dalam pandangan Penulis tujuan dari pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan merupakan bentuk implementasi dari beberapa teori pemidanaan seperti melindungi kepentingan masyarakat, sarana pencegahan agar pelaku tidak mengulangi tindak pidananya dan tujuan utama dari pemasyarakatan itu sendiri yaitu memasyarakatkan pelaku tindak pidana hingga menjadi anggota masyarakat yang baik. Bertitik tolak dari tujuan pemasyarakatan yaitu ssebagai proses resosialisasi bagi narapidana, penerapan pidana seumur hidup menjadi suatu 20

21 bentuk pemidanaan yang tidak sejalan dengan konsep pemasyarakatan, karena pidana seumur hidup pada prinsipnya adalah pidana yang harusn dijalani oleh narapidana untuk waktu yang tidak bisa ditentukan yaitu selama sisa hidup narapidana. Dengan demikian pidana seumur hidup menurut Penulis tidak sesuai dengan tujuan pemasyarakatan yang hendak dicapai dari proses pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan yaitu memasyarakatkan narapidana ke dalam masyarakat kembali atau proses resosialisasi. 3. Pidana Seumur Hidup Ditinjau Dari Penerapan Kebijakan Remisi Pada Narapidana Seumur Hidup Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang Seperti telah diketahui bahwa pemidanaan dengan sistem pemasyarakatan bertujuan untuk melaksanakan proses resosialisasi atau memasyarakatkan kembali narapidana yang telah menjalani pidana di suatu lembaga pemasyarakatan. Guna menunjang tujuan pemasyarakatan bagi pidana seumur hidup, maka diatur kebijakan remisi dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara, sehingga pencapaian tujuan memasyarakatkan kemabli narapidana juga berlaku bagi narapidana yang dipidana seumur hidup. Kebijakan remisi diatur dalam Pasal 9 Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi dan pelaksanaanya diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.03-PS Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. 21

22 Sebagai bahan analisis pidana seumur hidup dari perspektif tujuan pemasyarakatan dilihat dengan merujuk pada data yang telah dipaparkan dalam hasil penelitian terkait tentang narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang melalui kebijakan remisi dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara. Pada pada tabel 3.2 hasil penelitian daiatas, menunjukkan bahwa Kelima narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang tahun 2012 merupakan narapidana yang sedang menjalani pidana seumur hidup. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Farida, salah satu pegawai bagian Bimpas Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane Semarang tanggal 12 November Dirinya mengatakan bahwa kelima narapidana tersebut sampai dengan tahun 2012 masih berstatus narapidana seumur hidup karena belum memenuhi persyaratan mengajukan permohonan remisi menjadi pidana sementara sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomo 174 tentang Remisi dan juga peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-03.PS Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjalani Pidana Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Surat pengajuan permohonan remisi dibuat oleh narapidana yang bersangkutan atau pihak lain selaku kuasa narapidana. Surat permohonana ditujukan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM sebagaimana diatur dalam Keputusana Menteri diatas. Penjatuhan pidana 22

23 seumur hidup kepada kelima narapidana seperti pada tabel 3.2, menurut Penulis merupakan salah satu bentuk sarana pengimbalan atau pembalasan dari suatu tindak pidana. Kelima narapidana akan menerima sanksi atas tindak pidana yang mereka lakukan. Merujuk pada syarat pertama pengajuan permohonan remisi yaitu telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun maka dari data pada table 3.2 diatas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut: Narapidana masingmasing bernama Suranto Abdul Goni dan Sarjiyo yang ditahan sejak April tahun 2003 atas tindak pidana terorisme, sampai dengan tahun 2012 mereka telah menjalani masa pidana selama 9 (Sembilan) tahun, kemudian Ruslan Abdul Gani dan Agus Santoso yang ditahan sejak Agustus tahun 2004 atas tindak pidana pembunuhan (Pasal 340) KUHP sampai dengan tahun 2012 mereka telah menjalani masa pidana selama 8 (delapan) tahun. Selanjutnya untuk narapidana bernama Roni Wijaya yang ditahan sejak Juni 2008 atas tindak pidana pencurian (Pasal 365) sampai tahun 2012 baru menjalani pidana kurang lebih 4 (empat) tahun atau belum memenuhi persyaratan minimal menjalani pidana. Dari 5 (lima) narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang, empat diantaranya telah memenuhi syarat minimal menjalani pidana sesuai ketentuan perundangundangan yaitu minimal 5 (lima) tahun. Selain syarat minimal menjalani pidana syarat lain yang harus dipenuhi adalah telah berkelakuan baik sejak penahanan. Narapidana dapat mengajukan permohonan remisi menjadi pidana sementara paling lambat 4 (empat) bulan 23

24 sebelum tanggal 17 Agustus tahun yang berjalan. Surat permohonan tersebut ditujukan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM sesuai dengan tata cara pengajuan permohonan remisi pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.03-PS Tahun 2000 yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam hal permohonan remisi dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara dikabulkan, maka untuk selanjutnya narapidana berhak mengajukan remisi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi. Kebijakan remisi bagi pidana seumur hidup tentu dapat menjadi harapan bagi setiap narapidana yang dipidana seumur hidup untuk nantinya dapat kembali ke masyarakat. Merujuk pada narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane tersebut, keempat narapidana sampai dengan tahun 2012 masih berstatus narapidana yang sedang menjalani pidana seumur hidup. Menurut keterangan salah satu pegawai Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane, keempat narapidana tersebut belum dapat mengajukan permohonan remisi karena persyaratan permohonan dan data-data pendukung dari narapidana belum memenuhi persyaratan. Selain telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima tahun), narapidana harus telah berkelakuan baik, selama menjalani pidana minimal 5 (lima) tahun. Berkelakuan baik ini masuk dalam daftar F yang memuat pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama minimal 5 (lima) tahun. Namun sampai tahun 2012 keempat narapidana masih menjalani pidana semur 24

25 hidup. Salinan daftar F bagi keempat narapidana belum terpenuhi sebagai syarat mengajukan permohonan remisi menjadi pidana penjara sementara. Penulis memandang bahwa meskipun kebijakan mengenai remisi juga berlaku bagi pidana seumur hidup untuk dapat pengurangan pidana menjadi pidana sementara, namun pelaksanaan remisi tersebut sangat selektif dan terbatas. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebijakan remisi bagi narapidana seumur hidup seperti pada Keputusan Menteri terkait, belum mampu menunjang pelaksanaan remisi bagi narapidana seumur hidup. Kebijakan remisi bagi pidana seumur hidup dimaksudkan agar narapidana seumur hidup dapat dimasyarakatkan kembali dan berperan serta dalam masyarakat sehingga mampu menunjang tujuan pemasyarakatan yang hendak dicapai yaitu pelaksanaan resosialisasi. Namun dalam kenyataannya remisi yang ada belum mampu mengurangi ketajaman sifat pembalasan dari pidana seumur hidup ini. Untuk dapat memperoleh remisi syarat dan tata cara yang harus dipenuhi narapidana seumur hidup sangat selektif dan terbatas, tidak ada jaminan apabila mengajukan remisi pasti akan dikabulkan. Oleh karena itu menurut Penulis kebijakan pidana seumur hidup sejatinya tidak sesuai dengan tujuan pemasyarakatan. Di satu sisi pemasyarakatan bertujuan untuk memasyarakatkan kembali narapidana, namun disisi lain narapidana seumur hidup mengalami kesulitan untuk dapat dimasyarakatkan kembali terlebih 25

26 jika permohonan remisi dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara ditolak. Narapidana harus kehilangan haknya untuk kembali ke masyarakat. Menurut pandangan Penulis kemungkinan kecil memperoleh remisi bagi narapidana seumur hidup diantaranya disebabkan oleh beberapa alasan seperti: 1. Belum terpenuhinya syarat-syarat untuk dapat memperoleh pengurangan masa pidana (remisi) yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani pidana paling singkat 5 (lima) tahun. 2. Tidak ada jaminan apabila mengajukan permohonan remisi dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara pasti akan dikabulkan. 3. Masih menimbulkan kekhawatiran atau keresahan dalam masyarakat. Yang dimaksud menimbulkan kekhawatiran atau keresahan dalam masyarakat adalah, narapidana dikhawatirkan akan melakukan atau mengulangi tindak pidana lagi yang dapat merugikan masyarakat setelah bebas nanti. Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa kecilnya kemungkinan memperoleh remisi bagi narapidana seumur hidup, menurut Penulis juga dimaksudkan agar selama dalam proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan, narapidana ini benar-benar dibina dan dididik untuk menjadi manusia yang nantinya dapat berperan serta dalam masyarakat setelah bebas. Berdasarkan keseluruhan uraian diatas Penulis menyimpulkan bahwa pidana seumur hidup yang merujuk pada narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang belum dapat menunjukkan adanya keberhasilan remisi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri terkait 26

27 serta perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang remisi bagi pidana seumur hidup. Remisi ini merupakan hak yang bagi setiap narapidana selama dalam lembaga pemasyarakatan sebagai salah satu bentuk upaya mewujudkan tujuan pemasyarakatan yaitu proses resosialisasi. Disatu sisi pemasyarakatan bertujuan untuk memasyarakatkan kembali narapidana,(resosialisasi) namun disisi lain penjatuhan pidana seumur hidup yang diterapkan saat ini menutup kemungkinan narapidana untuk melakukan resosialisasi. Salah satu upaya mewujudkan resosialisasi melalui remisi bagi narapidana seumur hidup sangat selektif dan terbatas, mengingat langkah yang harus ditempuh narapidana seumur hidup guna memperoleh remisi harus melalui tahapan yang panjang yaitu bermula dari narapidana yang bersangkutan hingga kepada Presiden. Remisi yang dimohonkan bagi narapidana seumur hidup juga tidak ada jaminan bahwa permohonan remisi menjadi pidana sementara pasti akan dikabulkan. Oleh karena itu menurut pandangan Penulis penerapan kebijakan remisi dalam peraturan perundang-undangan yang salah satunya diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M-03.PS Tahun 2000 dengan merujuk pada narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang dapat memberikan gambaran bahwa pelaksanaan remisi bagi narapidana seumur hidup khususnya pada keempat narapidana seumur hidup diatas, sangat selektif dan terbatas. 27

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Apa sanksi hukum penyalahguna narkoba? Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Pasal 111 UU RI No. 35 Tahun 2009 [bagi tersangka kedapatan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB IV KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME

BAB IV KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME BAB IV KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME A. Persamaan Hukuman Pelaku Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif dan Pidana Islam Mengenai

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA RUU TENTANG KUHP ------------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang : 2015-2016. Masa Persidangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Lampiran1: Catatan Kritis Terhadap RKUHP (edisi 2 Februari 2018) 1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Serupa dengan semangat penerapan pidana tambahan uang pengganti, pidana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika I. PEMOHON Sutrisno Nugroho Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 A. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

Lebih terperinci

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada PELATIHAN APARATUR PEMERINTAH DESA DALAM BIDANG MANAJEMEN PEMERINTAHAN DESA BAGI APARATUR PEMERINTAH DESA Oleh : IPTU I GEDE MURDANA, S.H. (KANIT TIPIDKOR

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Lampiran 1 KATA PENGANTAR Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Sekarang saya sedang menyusun sebuah Skripsi dengan judul Survei Mengenai Self Efficacy pada Warga Binaan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 I. PEMOHON/KUASA Ir Dawud Djatmiko II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIV/2016 Frasa dapat merugikan keuangan negara dan Frasa atau orang lain atau suatu korporasi Sebagai Ketentuan Menjatuhkan Hukuman Pidana Bagi Tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA, SH., MH 1 Abstrak : Dengan melihat analisa data hasil penelitian, maka telah dapat ditarik kesimpulan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan hukum pidana nasional Negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP 2012 A. Pengertian Zina Lajang Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan Cabul yang sekarang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] Pasal 59 (1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 1 ; atau b. memproduksi

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) Pasal 45 Ayat 1 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut :

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut : 1 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa konsep Korporasi sebagai subyek tindak pidana telah dirumuskan

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R.

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pendahuluan Istilah Hukum Pidana menurut Prof. Satochid mengandung beberapa arti atau dapat dipandang dari beberapa sudut,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661]

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] Pasal 102 Setiap orang yang: a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Fungsi hukum

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU. pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan

BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU. pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan 24 BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU A. Defenisi Pidana Penjara Jenis pidana yang paling sering dijatuhkan pada saat ini adalah pidana pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara.

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

Tabel Periode Pengaturan Pendanaan Terorisme

Tabel Periode Pengaturan Pendanaan Terorisme Lampiran I Tabel Periode Pengaturan Pendanaan Terorisme Rumpunan Periode Sebelum UU no. 9 tahun 2013 - Undang-Undang Nomor 15 Pengaturan Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Lebih terperinci

PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA 1 Oleh: Henny C. Kamea 2

PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA 1 Oleh: Henny C. Kamea 2 PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA 1 Oleh: Henny C. Kamea 2 ABSTRAK Dasar pembenaran dari penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana terletak pada adanya atau terjadinya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci