ANALISIS SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN UNTUK DESKRIPSI KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
|
|
- Leony Agusalim
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 ANALISIS SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN UNTUK DESKRIPSI KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Yenni Vetrita* 1, Indah Prasasti*, Nur Febrianti*, Widya Ningrum* * Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN yenni.vetrita@gmail.com ABSTRAK Sistem peringatan dini untuk bahaya kebakaran sudah cukup lama dikembangkan, baik di dunia internasional maupun secara nasional. Sistem ini digunakan dengan tujuan untuk meminimalkan risiko kebakaran hutan/lahan. Salah satu sistem yang banyak digunakan di Indonesia adalah Fire Danger Rating System (SPBK) atau Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) yang diadopsi dari Kanada. Lembaga Penerbangan Antariksa dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah mengembangkan sistem ini dan dioperasionalisasikan sejak tahun 2005 menggunakan data penginderaan jauh. Dalam penelitian ini kami melakukan validasi untuk menguji sensitivitas dua kode SPBK dalam mendeteksi kebakaran yang telah terjadi di Kalimantan Tengah pada tahun 2011 yaitu Fine Fuel Moisture Code (FFMC) dan Drought Code (DC). Data yang digunakan adalah SPBK LAPAN yang dianalisis secara time series selama periode 2 bulan menjelang terjadinya kebakaran hingga 1 bulan setelah kebakaran, data pemadaman dari Kementerian Kehutanan, hotspot Terra/Aqua MODIS, dan administrasi wilayah Kalimantan Tengah. Dari analisis sebaran waktu data SPBK sebelum kebakaran hingga puncak waktu kebakaran, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Drought Code (DC) menunjukkan nilai yang signifikan terus meningkat sejak 2 bulan menjelang kejadian kebakaran dan mengalami penurunan sesudah kebakaran. Demikian pula dengan FFMC yang juga menunjukkan peningkatan dari kelas rendah hingga mencapai ekstrim pada periode kebakaran. Kedua parameter terlihat dapat mendeskripsikan kejadian kebakaran dengan baik. Namun DC yang diperoleh dari dua buah input, yaitu curah hujan dan suhu, lebih terlihat signifikan naik 2 bulan menjelang kebakaran dibandingkan FFMC. Faktor curah hujan merupakan pengaruh paling utama dalam mendeteksi kejadian kebakaran. Oleh karena itu, DC dan FFMC dapat dijadikan sebagai parameter utama yang harus diperhatikan dalam mendeteksi kebakaran hutan menggunakan data SPBK berbasiskan penginderaan jauh.
2 Kata kunci: Drought Code, Fine Fuel Moisture Code, Validasi, Kebakaran hutan/lahan, Kalimantan Tengah. ABSTRACK Early warning systems for fire danger has long been developed, both internationally and nationally. This system is used to minimize the risk of forest/land fires. One widely used system in Indonesia is the Fire Danger Rating System (FDRS )adopted from Canada. Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) has developed this system and operationalized since 2005 using remote sensing data. In this study we perform validation to investigate the sensitivity of the two codes i.e. the Fine Fuel Moisture Code (FFMC) and Drought Code (DC) for detecting fires occurred in Central Kalimantan in The data used are FDRS LAPAN which analyzed time series over a period of 2 months before the fire until 1 month after the fire, suppression data from the Ministry of Forestry, hotspot Terra / Aqua MODIS, and administrative areas of Central Kalimantan. The results indicate that the Drought Code (DC) showed significant rise since 2 months before fires and decreased after the fire. It is similar to that found in the FFMC. However, DC which obtained from two inputs i.e. rainfall and temperature, was significantly increased 2 months before the fire than that FFMC. Therefore, these two parameters appear well to describe fires. Rainfall is the most important factor influence in fire behaviour. Therefore, DC and FFMC can be used as the main parameter that must be considered to mitigate forest/land fires using FDRS based remote sensing data. Key Words: Drought Code, Fine Fuel Moisture Code, Validation, Forest/land fires, Central Kalimantan. Pendahuluan Lahan gambut di wilayah tropis merupakan salah satu wilayah penyimpan karbon organik yang sangat terkait dengan perubahan iklim global (Page et al., 2002) dimana kerusakan gambut dapat melepaskan karbon dalam jumlah besar ke atmosfir. Kebakaran di lahan gambut merupakan kontribusi utama dalam bencana asap kebakaran di Indonesia (Page et al., 2002). Pada kejadian kebakaran terbesar tahun 1997 telah diperkirakan sekitar 94% dari total bahan emisi kebakaran bersumber dari kebakaran di lahan gambut (Levine et al., 1999). Untuk mengantisipasi meluasnya kebakaran dengan risiko yang tinggi, salah satu langkah preventif di Indonesia adalah dengan mengembangkan sistem peringatan dini
3 yang disebut dengan Fire Danger Rating System (SPBK) yang diadobsi dari Kanada (Field et al., 2004; De Groot et al, 2006). Parameter yang digunakan dalam sistem ini menggunakan input dari data cuaca (deskripsi tentang sistem SPBK dijelaskan dalam Bab Metode). Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagai lembaga yang berwenang dalam informasi menggunakan data cuaca di Indonesia, telah melakukan operasionalisasi SPBK secara nasional sejak Februari 2002 (Guswanto et al., 2009). Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang memungkinkan untuk diperolehnya data secara sistematis dan spasial, dan terkini (update) menjadikan data ini sebagai data yang handal untuk kegiatan pemantauan. Estimasi parameter cuaca sudah cukup banyak dilakukan antara lain curah hujan (Dinku et al., 2011; National Weather Service, 2012), suhu udara (Vancutsem et al., 2010) dan kelembaban relatif (Han et al., 2003; Khomarudin et al., 2005). Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) yang salah satu fungsinya adalah melakukan pengembangan dan pemanfaatan bidang penginderaan jauh, serta pengembangan bank data penginderaan jauh nasional dan pelayanannya (LAPAN, 2012), sejak tahun 2005 telah melakukan operasionalisasi SPBK dengan semua data bersumber dari penginderaan jauh. Semua input SPBK LAPAN telah divalidasi (Noviar et al., 2005) namun beberapa parameter seperti DC tidak menunjukkan korelasi yang baik dengan data cuaca observasi (BMKG). Kalibrasi maupun validasi komponen SPBK menggunakan input data cuaca observasi telah dilakukan, seperti FFMC, DC, ISI, dan FWI (Field et al., 2004; Dymond et al., 2004; Dymond et al., 2005; De Groot et al., 2006). Namun validasi untuk SPBK LAPAN yang menggunakan estimasi dari data penginderaan jauh masih sedikit dilakukan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh International Research Institute bersama Central Kalimantan Peatlands Project/CKPP (CKPP, 2008) di Provinsi Kalimantan Tengah menemukan bahwa input untuk parameter suhu, kelembaban relatif dan dan kecepatan angin tidak berpengaruh nyata dalam analisis prilaku kebakaran di wilayah tersebut. Sebaliknya, curah hujan, khususnya anomali curah hujan memiliki korelasi yang sigifikan dalam perilaku kebakaran di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis secara series data di lokasi kebakaran yang terjadi di Kalimantan Tengah (Gambar 1), yang berada di lokasi lahan gambut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan analisis tentang sejauhmana sebaran nilai series data
4 FFMC dan DC sebelum kejadian kebakaran dapat menjelaskan kejadian kebakaran yang terjadi pada tahun 2011 pada beberapa kejadian kebakaran di wilayah studi. Hipotesis Deteksi kebakaran yang lebih baik ditunjukkan dengan peningkatan nilai DC dan FFMC secara signifikan sebelum kejadian kebakaran hingga terjadinya kebakaran. Metodologi Lokasi Penelitian Provinsi Kalimantan Tengah/Kalteng (Gambar 1) dipilih menjadi lokasi penelitian mengingat wilayah ini menjadi daerah rawan kebakaran (Kementerian Kehutanan, 2011). (A) (B) Gambar 1 Lokasi penelitian di Provinsi Kalimantan Tengah, (A) kotak biru merupakan wilayah studi, (B) fokus wilayah penelitian Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari (1) data lapangan pemadaman kebakaran yang diperoleh dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2011, (2) hotspot Terra/Aqua MODIS yang diperoleh dari Indofire Map Service ( dan NASA, (3) Drought Code (DC), Fine Fuel Moisture Code (FFMC), suhu, dan curah hujan (CH) yang diperoleh dari
5 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan (4) administrasi wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Pengolahan dan Analisis Data Semua data yang diperoleh ditumpangtindihkan (overlay), untuk selanjutnya diekstraksi nilai tengah (median) DC, FFMC, suhu dan CH di wilayah sekitar kejadian kebakaran (kotak biru pada Gambar 2). Mengingat semua kejadian kebakaran (ditandai bendera merah pada Gambar 2) sebagian besar terjadi pada bulan Agustus-September 2011, maka nilai yang diekstraksi merupakan periode sebelum hingga waktu kebakaran (Juni- September 2011). Gambar 2 Metode ekstraksi nilai DC, FFMC, suhu dan CH di sekitar lokasi kebakaran Analisis dilakukan dengan melihat pola series data tiap parameter dalam waktu 1-2 bulan menjelang puncak kejadian kebakaran (Agustus 2011). Nilai FFMC dan DC dengan pola distribusi yang cenderung meningkat menjelang puncak kejadian kebakaran dianggap sebagai nilai yang dapat mendeskripsikan kejadian kebakaran dengan lebih baik. Deskripsi Operasionalisasi Fire Danger Rating System di LAPAN LAPAN mulai mengoperasionalisasikan SPBK sejak bulan Juni 2005 (Noviar et al., 2005; Khomarudin et al., 2005)). Secara umum struktur pembangunan SPBK sebagaimana yang diadobsi dari SPBK Kanada dapat dilihat pada Gambar 1 (De Groot et al., 2006).
6 Gambar 3 Struktur sistem Fire Weather Index (FWI) FFMC merupakan peringkat numerik kandungan kadar air bahan bakaran halus. FFMC digunakan sebagai indikator potensi tingkat kemudahan penyulutan api (kebakaran). Sedangkan DC merupakan peringkat numerik kandungan kadar air di lapisan organik yang berada cm di bawah permukaan tanah. DC digunakan sebagai indikator potensi kekeringan dan potensi terjadinya kabut asap. Berdasarkan sistem FWI (Gambar 3) dapat dilihat bahwa sistem ini menggunakan beberapa parameter cuaca. Sumber data yang digunakan untuk SPBK LAPAN, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan Sumber data SPBK LAPAN Jenis input Sumber data Referensi Suhu udara (temperature) NOAA-AVHRR Kelembaban (relative humidity) relatif Kecepatan angin (wind speed) Curah Hujan (rain) NOAA-AVHRR Bureau of Meteorology (BOM-Australia). Qmoprh dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP) Khomarudin et al., 2005; Noviar et al., 2005 Khomarudin et al., 2005; Noviar et al., ftp://ftp.cpc.ncep.noaa.gov/precip /qmorph/30min_8km
7 Keunggulan menggunakan data ini adalah diperolehnya data secara spasial yang dapat menurunkan unsur-unsur cuaca tersebut secara langsung dengan resoluasi spasial 1 x 1 km (Noviar et al 2005). Namun disebutkan pula bahwa kendala yang dimiliki adalah bila liputan awan tinggi pada suatu daerah, maka parameter seperti suhu permukaan dan NDVI tidak dapat ditentukan. Nilai ini didekati dengan data ketinggian. Keempat unsur cuaca tersebut diolah untuk mendapatkan nilai FFMC, DC, ISI, dan FWI menggunakan software SFMS (Spatial Fire Management System). Resolusi spasial data akhir yang diperoleh adalah 2.5 km x 2.5 km setelah sebelumnya diinterpolasi menjadi grid. Informasi ini kemudian diunggah setiap hari ke dalam website LAPAN di alamat Berdasarkan hasil kalibrasi yang telah dilakukan sebelumnya di wilayah Indonesia dan Malaysia (De Groot et al), LAPAN juga mengklasifikasi FFMC dan DC sesuai dengan hasil tersebut. Pengkelasan kedua parameter tersebut dengan interpretasinya sebagaimana yang diunggah dalam website, dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2 Kelas rawan FFMC dan interpretasinya Kelas Nilai Interpretasi (potensi tingkat kemudahan penyulutan api) Rendah 0-72 Kemungkinan terpicunya api sangat rendah Sedang Kemungkinan api terpicu pada daerah kering dan terisolasi sangat rendah Tinggi Bahan bakaran halus (seperti alang-alang) sangat mudah terpicu api tinggi Ekstrim >83 Bahan bakaran halus sangat mudah terpicu api, kemungkinan terpicunya api sangat tinggi
8 Tabel 3 Kelas rawan DC dan interpretasinya Kelas Nilai Interpretasi Hari kering sebelum kekeringan* Rendah <140 Sedang Tinggi Kondisi musim basah,kabut asap tidak terjadi kondisi normal pertengahan musim kering, pembakaran harus dipantau Kondisi normal puncak musim kering seluruh pembakaran di atas lahan gambut, dilarang > Ekstrim >350 Kondisi bahaya kekeirngan, pembakaran sepenuhnya dilarang <6 *berdasarkan Field et al (2004) Hasil dan Pembahasan Mengingat data yang dimiliki merupakan data harian, yang kemungkinan masih terganggu oleh awan, maka data series difilter dengan metode sederhana yaitu peratarataan nilai 5 hari sebelum dan sesudah dari tanggal pengamatan. Pada Gambar 4 dapat dilihat nilai FFMC awal (FFMC) yang sebarannya sangat drastis meningkat atau menurun tampak lebih berpola halus setelah difilter (FFMC-f). Demikian pula dengan data DC sebelum difilter (DC) dan sesudahnya (DC-f) yang tidak terdapat banyak perubahan kecuali pada waktu hujan (Gambar 5). Gambar 4 Hasil filter data FFMC
9 Gambar 5 Hasil filter data DC Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi paling rawan kebakaran. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata jumlah hotspot sejak tahun di beberapa provinsi rawan di Indonesia (Kementerian Kehutanan, 2011) yang menunjukkan bahwa Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi yang memiliki jumlah tertinggi sepanjang periode waktu tersebut (Gambar 6). Data hotspot ini, menurut Dymond et al (2005), dapat digunakan sebagai alat kalibrasi komponen SPBK ketika data lapangan tidak tersedia. Gambar 6 Rata-rata jumlah hotspot selama tahun (Sumber data: Terra/Aqua MODIS) Kebakaran yang terjadi pada lokasi studi ini kemungkinan besar merupakan kebakaran bawah tanah. Hal ini dapat diketahui dari waktu pemadaman dalam waktu yang berbeda secara berturut-turut selama hampir 1 bulan sejak awal diketahuinya kebakaran. Dari informasi lapangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Kalimantan Tengah diketahui bahwa titik pemadaman api dilakukan di lokasi tersebut pada tanggal 24 Juli 2011, dan bulan Agustus 2011 (tanggal 1, 3, 7, 8, 9, 10, 13, 16, 19, 20, 22, 23, dan 24).
10 Telah dilaporkan pula bahwa kondisi asap sangat mengganggu wilayah di sekitar kejadian. Menurut De Groot et al (1988), indikasi kondisi kekeringan pada lahan gambut, dan potesial untuk kebakaran dalam (bawah tanah) dapat diindikasikan oleh tingginya nilai DC. Bila dilihat hasil analisis DC hasil ekstraksi di lokasi kejadian kebakaran, terlihat bahwa pada awal Juni 2011 (sebelum kebakaran), nilai DC masih dalam kondisi rendah (Gambar 7). Nilai ini terus meningkat dan mencapai nilai tinggi karena diikuti oleh curah hujan yang rendah hingga akhir Juni Meskipun mengalami penurunan namun nilai DC cenderung tetap naik pada hari berikutnya hingga mencapai nilai DC tinggi pada pertengahan Juli Lingkaran hitam pada Gambar 7 menunjukkan penurunan nilai DC yang diakibatkan adanya hujan selama beberapa hari. Periode kebakaran dimulai sesudah itu, yang diikuti oleh hari kering tanpa hujan lebih dari 6 hari sepanjang periode tersebut. Nilai DC pada saat kebakaran melebihi nilai threshold 350 (Tabel 3) yang berarti kondisi bahaya kekeringan, pembakaran sepenuhnya dilarang. Kondisi serupa juga ditemukan pada FFMC, dimana sepanjang periode kebakaran kelas FFMC berada pada kondisi ekstrim (Tabel 2), yang berarti bahan bakaran halus akan sangat mudah terpicu api. Nilai FFMC cenderung lebih sensitif pada saat terdapat hujan. Namun demikian, untuk kasus di lokasi kebakaran ini, nilai FFMC cenderung terus meningkat dan turun setelah kebakaran usai yang diikuti oleh turunnya hujan di wilayah tersebut.
11 Gambar 7 Sebaran nilai DC, FFMC, dan curah hujan di lokasi kebakaran. Kotak merah dengan garis putus-putus merupakan waktu pemadaman kebakaran, Garis horizontal warna hijau merupakan threshold DC ekstrim sedangkan garis horizontal warna biru merupakan threshold FFMC ekstrim. Dari hasil analisis ini dapat dilihat bahwa DC LAPAN dapat menjelaskan peringatan dini terkait dengan kemungkinan kejadian asap yang cukup serius akibat kebakaran. Sedangkan FFMC LAPAN dapat dijadikan sebagai indikasi potensi untuk mulainya kejadian kebakaran dalam jumlah besar. Dari review Field et al (2004) diketahui bahwa DC dapat mengestimasi kandungan kelembaban hingga kedalaman cm, termasuk kandungan organik dalam gambut (Lee et al, 2002) sesuai dengan lokasi kebakaran di wilayah studi. DC juga digunakan sebagai indikator kekeringan dalam waktu yang lama serta penyulutan api (McAlpine, 1990). Meskipun hasil validasi DC LAPAN yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Noviar et al (2005) menemukan tidak adanya korelasi yang baik antara DC LAPAN dan BMKG, namun kami menemukan bahwa DC LAPAN sangat baik untuk mendeskripsikan suatu kejadian kebakaran. Salah satu penyebab yang kami duga membuat DC LAPAN baik untuk mendukung informasi deteksi dini kebakaran hutan/lahan adalah mengingat input utamanya yang berasal dari curah hujan dan suhu. Menurut CKPP (2008) perilaku kebakaran di Provinsi Kalimantan Tengah lebih berkorelasi dengan curah hujan,
12 khususnya anomali curah hujan, dibandingkan parameter cuaca lainnya (suhu, kelembabab relatif) yang cenderung lebih konstan. Kesimpulan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran yang diadopsi dari Kanada oleh LAPAN dapat memberikan informasi yang baik untuk penanggulangan kebakaran hutan/lahan di Provinsi Kalimantan Tengah. Sistem ini diharapkan dapat membantu pemerintah setempat dalam mengantisipasi kebakaran yang kemungkinan akan terjadi dengan menampilkan tingkat kerawanan dan cara antisipasi yang harus dilakukan. Untuk selanjutnya, perlu dilakukan validasi dengan seri data dan kebakaran lapangan yang lebih banyak. Ucapan Terima Kasih Riset ini merupakan bagian dari kegiatan PKPP RISTEK yang berjudul Penguatan Kapasitas Daerah dan Sinergi Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Penanggulangan Kebakaran Hutan/Lahan-Perkebunan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada PKPP RISTEK yang telah mendanai penelitian ini. Disamping itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Dody Andreas dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Provinsi Kalimantan Tengah yang banyak membantu dalam pemberian informasi lapangan. Penghargaan juga kami sampaikan kepada DR.Orbita Roswintiarti, Bapak Agus Hidayat dan DR.M.Rokhis Komaruddin atas ide dan masukannya untuk riset ini. Daftar Pustaka Barbero, R., V. Moron, M. Mangeas, M. Despinoy, and C. Hély Relationships between MODIS and ATSR fires and atmospheric variability in New Caledonia (SW Pacific). Journal of Geophysical Research, Vol. 116, D21110, doi: /2011jd CKPP (Central Kalimantan Peatlands Project) Development of a Fire Early Warning System Using Climate Information and Institutional Mapping to Enable Fire Early Response. Narrative Report On March May 2008 Activities. De Groot, W.J., Robert D. Field, Michael A. Brady Orbita Roswintiarti, and Maznorizan Mohamad Development of the Indonesian and Malaysian Fire Danger Rating Systems. Mitigation Adaptation Strategy Global Change, 12: Dinku, T., Pietro Ceccato, Stephen J. Connor Challenges of satellite rainfall estimation over mountainous and arid parts of east Africa. International Journal of Remote Sensing Vol. 32, Iss. 21.
13 Dymond, C.C., Robert D. Field, Orbita Roswintiarti, Guswanto Using Satellite Fire Detection to Calibrate Components of the Fire Weather Index System in Malaysia and Indonesia. Environmental Management Vol. 35, No. 4, pp Dymond, Caren C., Orbita Roswintiarti, and Michael Brady Characterizing and mapping fuels for Malaysia and western Indonesia. International Journal ofwildland Fire, 2004, 13, Field, R.D., Yonghe Wang, Orbita Roswintiarti, Guswanto A Drought-Based Predictor of Recent Haze Events in Western Indonesia. Atmospheric Environment 38, Guswanto dan Eko Heriyanto Operational Weather Systems For National Fire Danger Rating. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Volume 10 Nomor 2 November Han, K.S., Alain A Viau, François Anctil High-resolution forest fire weather index computations using satellite remote sensing. Canadian Journal of Forest Research, 33(6): , /x Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Sebaran Hotspot dan Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan. Siaran Pers Nomor: 389/PHM-2/ [Diakses tanggal 24 September 2011]. Khomarudin, M.R., O. Roswintiarti, dan A. Tjahjaningsih Estimasi Unsur-Unsur Cuaca untuk Mendukung Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan dengan Data MODIS. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa, Surabaya, September. LAPAN. Tugas pokok dan fungsi LAPAN. [diakses tanggal 30 Mei 2012] Lee, B.S., Alexander, M.E., Hawkes, B.C., Lynham, T.J., Stocks, B.J., Englefield, P Information systems in support of wildland fire management decision making in Canada. Computers and Electronics in Agriculture 37, McAlpine, R.S., Seasonal trends in the drought code component of the Canadian forest fire weather index system. Information Report PI-X-97 E/F. Forestry Canada, Petawawa, Ont., 36p. National Weather Service. National Center for Environmental Predictions. [Diakses 30 Mei 2012]. Noviar, H., M. R. Khomarudin, dan O. Roswintiarti Operasionalisasi Sistem Peringatan Dini Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan Dengan Data NOAA-AVHRR. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa, Surabaya, September. Page. S. E., Siegert, F., Rieley. J.O., Boehm. H. -D. V., Jaya. A. & Limin. S. H The amount of carbon released from peat forest fire in Indonesia during Nature 420: Vancutsem, C., Ceccato, P., Dinku, T., Connor, S.J. (2010). Evaluation of MODIS Land surface temperature data to estimate air temperature in different ecosystems over Africa. Remote Sensing of Environment, 114(2):
ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS
ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS M. Rokhis Khomarudin 1, Orta Roswintiarti 1, dan Arum Tjahjaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan
Lebih terperinciJurnal Geodesi Undip April 2017
ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PARAMETER SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN (SPBK) DENGAN KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN UNTUK MENENTUKAN NILAI AMBANG BATAS KEBAKARAN Nur Itsnaini, Bandi Sasmito,
Lebih terperinciPENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGI PEMANFAATAN INFORMASI KEBAKARAN HUTAN/LAHAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
[ kode kegiatan : H-27 27] PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGI PEMANFAATAN INFORMASI KEBAKARAN HUTAN/LAHAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH 1. Yenni Vetrita 2. Indah Prasasti 3. Nanik Suryo
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan aset kekayaan yang bukan saja penting bagi bangsa Indonesia, namun juga bagi sebagian penduduk dunia. Keragaman hayati yang tinggi terdapat pada hutan
Lebih terperinciKEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?
KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September
Lebih terperinciPengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014
Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 *Yenni Vetrita, Parwati Sofan, Any Zubaidah, Suwarsono, M. Rokhis
Lebih terperinciPUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LAPAN LITBANG PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK KEKERINGAN DAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN
2015 PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LAPAN Landsat-8/1 September 2014 Landsat-8/3 Oktober 2014 LITBANG PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK KEKERINGAN DAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN LAPORAN KEGIATAN
Lebih terperinciLAPORAN PELATIHAN PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGI PEMANFAATAN INFORMASI KEBAKARAN HUTAN/LAHAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
LAPORAN PELATIHAN PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGI PEMANFAATAN INFORMASI KEBAKARAN HUTAN/LAHAN PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Peneliti Utama: Yenni Vetrita, S.Hut., M.Sc. Jenis Insentif:
Lebih terperinci1* 2 3. Eko Heriyanto, Lailan Syaufina dan Sobri Effendy. Puslitbang, BMKG 2. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB 3
PERBANDINGAN INDEKS FINE FUEL MOISTURE CODE (FFMC) DAN FIRE WEATHER INDEX (FWI) PADA SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN LUARAN WRF DENGAN OBSERVASI ( PERIODE: JUNI - AGUSTUS 2013) COMPARISON
Lebih terperinciANALISIS HUBUNGAN KODE-KODE SPBK (SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN) DAN HOTSPOT DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 2 No. 2 (Desember 212): 91-11 ANALISIS HUBUNGAN KODE-KODE SPBK (SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN) DAN HOTSPOT DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan suatu tempat yang luas yang didalamnya terdapat berbagai macam makhluk hidup yang tinggal disana. Hutan juga merupakan suatu ekosistem yang memiliki
Lebih terperinciPOLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS
POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPANInstitusi Penulis Email: mar_lapan@yahoo.com Abstract Indian
Lebih terperinciDETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU)
TESIS DETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU) TRI HANDAYANI No. Mhs. : 125301914 PROGRAM STUDI MAGISTER
Lebih terperinciSistem Informasi Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan Dengan Menggunakan Fire Weather Index (FWI) dan SIG Arcview.
1 Sistem Informasi Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan Dengan Menggunakan Fire Weather Index (FWI) dan SIG Arcview Suciarti (1) Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura
Lebih terperinciABSTRAK. Kata Kunci: kebakaran hutan, penginderaan jauh, satelit Landsat, brightness temperature
ABSTRAK Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki hamparan hutan yang luas tidak terlepas dengan adanya masalah-masalah lingkungan yang dihasilkan, khususnya kebakaran hutan. Salah satu teknologi yang
Lebih terperinci5. Restaurasi merupakan konsep mengenai kegiatan yang dilakukan terhadap wilayah atau daerah pasca kebakaran.
A. PENDAHULUAN Kecenderungan bergesernya pola iklim terhadap harga normalnya sejak beberapa tahun terakhir telah memberikan banyak dampak yang kurang bersahabat kepada manusia. Walaupun disadari bahwa
Lebih terperinciSIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT
SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously
Lebih terperinciKEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN LAPORAN POSKO PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TANGGAL11
Lebih terperinciProof of Concept 2016 LAPAN Fire Hotspot: Sistem Peringatan Dini Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Berbasis Web Dan Android
Proof of Concept 2016 LAPAN Fire Hotspot: Sistem Peringatan Dini Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Berbasis Web Dan Android I. Pengantar Kapustekdata Kegiatan ini merupakan penjabaran dari tujuan dan sasaran
Lebih terperinciIDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS: KEBAKARAN HUTAN DI SUMATERA DAN KALIMANTAN 15 SEPTEMBER 2015)
Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 19 November 2016 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor IDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS:
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak
Lebih terperinciPENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI
PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI Maulani Septiadi 1, Munawar Ali 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan
Lebih terperinciINFORMASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN INDEKS KEKERINGAN DAN TITIK PANAS DI KABUPATEN SAMOSIR
INFORMASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN INDEKS KEKERINGAN DAN TITIK PANAS DI KABUPATEN SAMOSIR Oleh Perdamean Abadi. P 061201018 Manajemen Hutan DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS
Lebih terperinciKATA PENGANTAR Aplikasi Penginderaan Jauh dalam Mendeteksi Kebakaran Hutan Menggunakan Citra Satelit Landsat
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-nya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Aplikasi Penginderaan
Lebih terperinciIDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)
IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas
Lebih terperinci3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian
18 3 METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011 dengan lokasi penelitian yaitu Perairan Selat Makassar pada posisi 01 o 00'00" 07 o 50'07"
Lebih terperinciIDENTIFIKASI PERUBAHAN DISTRIBUSI CURAH HUJAN DI INDONESIA AKIBAT DARI PENGARUH PERUBAHAN IKLIM GLOBAL
IDENTIFIKASI PERUBAHAN DISTRIBUSI CURAH HUJAN DI INDONESIA AKIBAT DARI PENGARUH PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Krismianto Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl.
Lebih terperinciVALIDASI HOTSPOT DI WILAYAH RAWAN KEBAKARAN TAHUN 2012: KASUS LAHAN GAMBUT DAN KEBAKARAN KECIL
VALIDASI HOTSPOT DI WILAYAH RAWAN KEBAKARAN TAHUN 2012: KASUS LAHAN GAMBUT DAN KEBAKARAN KECIL Yenni Vetrita *), Any Zubaidah *), M. Priyatna *),Kusumaning D.A.Sukowati *) *) Pusat Pemanfaatan Penginderaan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)
xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh
Lebih terperinciPENERAPAN LOGIKA FUZZY UNTUK MEMPREDIKSI CUACA HARIAN DI BANJARBARU
PENERAPAN LOGIKA FUZZY UNTUK MEMPREDIKSI CUACA HARIAN DI BANJARBARU Uli Mahanani 1, Arfan Eko Fahrudin 1, dan Nurlina 1 ABSTRACT. Information about the weather is very important because the weather is
Lebih terperinciANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA)
ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) Oleh : Dawamul Arifin 3508 100 055 Jurusan Teknik Geomatika
Lebih terperinciDedi Irawadi Kepala Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh. KLHK, Jakarta, 25 April 2016
Dedi Irawadi Kepala Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh KLHK, Jakarta, 25 April 2016 Dukungan teknologi satelit penginderaan jauh terhadap REDD+ di Indonesia Pemanfaatan penginderaan jauh sektor
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan
Lebih terperinciINFORMASI TITIK PANAS (HOTSPOT) KEBAKARAN HUTAN/LAHAN PANDUAN TEKNIS (V.01)
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL PANDUAN TEKNIS (V.01) INFORMASI TITIK PANAS (HOTSPOT) KEBAKARAN HUTAN/LAHAN Disusun oleh: Deputi Bidang Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Lebih terperinciPEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS POTENSI BANJIR. Indah Prasasti*, Parwati*, M. Rokhis Khomarudin* Pusfatja, LAPAN
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS POTENSI BANJIR Indah Prasasti*, Parwati*, M. Rokhis Khomarudin* Pusfatja, LAPAN Datangnya musim penghujan tidak hanya menjadikan berkah bagi sebagian orang,
Lebih terperinciPENYUSUNAN SOFTWARE APLIKASI SPASIAL UNTUK MENENTUKAN TINGKAT KEKERINGAN METEOROLOGI DI INDONESIA
PENYUSUNAN SOFTWARE APLIKASI SPASIAL UNTUK MENENTUKAN TINGKAT KEKERINGAN METEOROLOGI DI INDONESIA Adi Witono, Lely Q.A, Hendra Sumpena Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN witonoadi@yahoo.com,
Lebih terperinci1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan
Lebih terperinciBulan Januari-Februari yang mencapai 80 persen. Tekanan udara rata-rata di kisaran angka 1010,0 Mbs hingga 1013,5 Mbs. Temperatur udara dari pantauan
Menjadi bagian dari negara Kepulauan Indonesia, Surabaya dikaruniai oleh iklim tropis dengan kelembaban udara cukup tinggi sepanjang tahun, yakni antara 70-90%. Secara geografis, Kota Pahlawan ini berada
Lebih terperinciPENENTUAN DISTRIBUSI TIPE AWAN DI PROVINSI RIAU MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MTSAT IR1
PENENTUAN DISTRIBUSI TIPE AWAN DI PROVINSI RIAU MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MTSAT IR1 Saraswati Dewi Intisari Penentuan distribusi tipe awan berdasarkan diagram temperatur kecerahan (TBB) perbedaan TBB dilakukan
Lebih terperinciKAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE
KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE 2005 2013 Herin Hutri Istyarini 1), Sri Cahyo Wahyono 1), Ninis
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).
3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga
Lebih terperinciKARAKTERISTIK WAKTU TERJADI HOTSPOT MENGGUNAKAN K-MEANS CLUSTERING DI WILAYAH KALIMANTAN SELATAN. Nur Armina Rahmah
Technologia Vol 8, No.1, Januari Maret 2017 20 KARAKTERISTIK WAKTU TERJADI HOTSPOT MENGGUNAKAN K-MEANS CLUSTERING DI WILAYAH KALIMANTAN SELATAN Nur Armina Rahmah (nur.armina@fti.uniska-bjm.ac.id) ABSTRAK
Lebih terperinciESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI KEBAKARAN LAHAN GAMBUT
34 ESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI KEBAKARAN LAHAN GAMBUT Maswar Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12 Bogor 16114 (maswar_bhr@yahoo.com) Abstrak.
Lebih terperinciPENGARUH TOPOGRAFI TERHADAP CURAH HUJAN MUSIMAN DAN TAHUNAN DI PROVINSI BALI BERDASARKAN DATA OBSERVASI RESOLUSI TINGGI
PENGARUH TOPOGRAFI TERHADAP CURAH HUJAN MUSIMAN DAN TAHUNAN DI PROVINSI BALI BERDASARKAN DATA OBSERVASI RESOLUSI TINGGI Sartono Marpaung Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan
Lebih terperinciREMOTE SENSING APPLICATION FOR DISASTER MANAGEMENT IN INDONESIA
REMOTE SENSING APPLICATION FOR DISASTER MANAGEMENT IN INDONESIA M. Rokhis Khomarudin Remote Sensing Application Center National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) http://www.lapanrs.com/simba LEMBAGA
Lebih terperinciMODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI
MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya
Lebih terperinciInformasi Data Pokok Kota Surabaya Tahun 2012 BAB I GEOGRAFIS CHAPTER I GEOGRAPHICAL CONDITIONS
BAB I GEOGRAFIS CHAPTER I GEOGRAPHICAL CONDITIONS Indonesia sebagai negara tropis, oleh karena itu kelembaban udara nya sangat tinggi yaitu sekitar 70 90% (tergantung lokasi - lokasi nya). Sedangkan, menurut
Lebih terperinciSKRIPSI. Disusun Oleh : TYAS ESTININGRUM
APLIKASI METODE PUNCAK AMBANG BATAS MENGGUNAKAN PENDEKATAN DISTRIBUSI PARETO TERAMPAT DAN ESTIMASI PARAMETER MOMEN-L PADA DATA CURAH HUJAN (Studi Kasus : Data Curah Hujan Kota Semarang Tahun 2004-2013)
Lebih terperinciPEMODELAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PREDIKSI PANJANG MUSIM HUJAN BERDASAR SEA SURFACE TEMPERATURE
PEMODELAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PREDIKSI PANJANG MUSIM HUJAN BERDASAR SEA SURFACE TEMPERATURE Agus Buono 1, M. Mukhlis 1, Akhmad Faqih 2, Rizaldi Boer 2 1 Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika
Lebih terperinciIklim / Climate BAB II IKLIM. Climate. Berau Dalam Angka 2013 Page 11
BAB II IKLIM Climate Berau Dalam Angka 2013 Page 11 Beraua dalam Angka 2013 Page 12 Kondisi iklim di Berau sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim di Samudra Pasifik. Secara umum iklim akan dipengaruhi oleh
Lebih terperinciBAB III KELEMBAGAAN PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
BAB III KELEMBAGAAN PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN 1. Kebakaran Hutan dan Lahan berdampak pada dimensi Pembangunan Berkelanjutan, yaitu dimensi : Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan. Karhutla telah menimbulkan
Lebih terperinciBMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA
BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG OUTLINE I. GEMPABUMI TSUNAMI KEPULAUAN MENTAWAI (25 - oktober 2010); Komponen Tsunami Warning System (TWS) : Komponen Structure : oleh
Lebih terperinciANALISIS PERBANDINGAN ESTIMASI CURAH HUJAN DENGAN DATA SATELIT DAN RADAR INTEGRASI DI BALIKPAPAN
ANALISIS PERBANDINGAN ESTIMASI CURAH HUJAN DENGAN DATA SATELIT DAN RADAR INTEGRASI DI BALIKPAPAN Raa ina Farah Nur Annisa 1,2 Ana Oktavia Setiowati 2 Iddam Hairuly Umam 2 1, Jakarta 2 Badan Meteorologi
Lebih terperinciEstimasi Curah Hujan Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan Menggunakan Metode Jaringan Syaraf Tiruan
Estimasi Curah Hujan Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan Menggunakan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Muhammad izalihadi ), Simon S Siregar ) dan Sudarningsih ) Abstract: ain is weather phenomenon caused by
Lebih terperinciPENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA
PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :
Lebih terperinciPENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA
Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Indonesia (Mulyana) 39 PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Erwin Mulyana 1 Intisari Hubungan antara anomali suhu permukaan laut di Samudra
Lebih terperinciPendugaan Emisi Karbon (CO 2 ) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Propinsi Riau Tahun
JURNAL 130 Bambang SILVIKULTUR Hero Saharjo TROPIKA et al. J.Silvikultur Tropika Vol. 04 No. 3 Desember 2013, Hal. 130 135 ISSN: 2086-8227 Pendugaan Emisi Karbon (CO 2 ) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan
Lebih terperinciANALISIS HUJAN JUNI 2016 DAN PRAKIRAAN HUJAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2016 DI SUMATERA SELATAN
ANALISIS HUJAN JUNI 2016 DAN PRAKIRAAN HUJAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2016 DI SUMATERA SELATAN KATA PENGANTAR Analisis Hujan Bulan Juni 2016 dan Prakiraan Hujan Bulan Agustus, September dan Oktober
Lebih terperinciPerubahan Iklim Wilayah DKI Jakarta: Studi Masa Lalu Untuk Proyeksi Mendatang
Perubahan Iklim Wilayah DKI Jakarta: Studi Masa Lalu Untuk Proyeksi Mendatang Armi Susandi 1, Yoshida Aditiawarman 1, Edison Kurniawan 2, Ina Juaeni 2, 1 Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, Institut Teknologi
Lebih terperinciAnomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ
Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ Erma Yulihastin* dan Ibnu Fathrio Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis terjadinya anomali curah
Lebih terperinciPerbandingan Akurasi Backpropagation Neural Network dan ANFIS Untuk Memprediksi Cuaca
NATURALA Journal of Scientific Modeling & Computation, Volume 1 No.1 2013 7 ISSN 23030135 Perbandingan Akurasi Backpropagation Neural Network dan ANFIS Untuk Memprediksi Cuaca Candra Dewi 1, M. Muslikh
Lebih terperinciDampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair
Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Iklim merupakan rata-rata dalam kurun waktu tertentu (standar internasional selama 30 tahun) dari kondisi udara (suhu,
Lebih terperinciREVIEW JURNAL INTERNASIONAL TENTANG PENGINDRAAN JAUH (REMOTE SENSING)
REVIEW JURNAL INTERNASIONAL TENTANG PENGINDRAAN JAUH (REMOTE SENSING) Poin Review Judul Jurnal Remote Sensing of the Seasonal Variability of Penulis/Peneliti Abstract Pendahuluan Vegetation in A Semi-Arid
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna
Lebih terperinciSTUDI ESTIMASI CURAH HUJAN, SUHU DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION
STUDI ESTIMASI CURAH HUJAN, SUHU DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION Muh. Ishak Jumarang 1), Lyra Andromeda 2) dan Bintoro Siswo Nugroho 3) 1,3) Jurusan Fisika,
Lebih terperinciFakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan
Lebih terperinciANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI
ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
Lebih terperinciD4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.
D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat
Lebih terperinci1 Peneliti Pusbangja, LAPAN 2 Dosen Statistika, IPB 3 Mahasiswa Statistika, IPB. Abstrak
ANALISIS PENERAPAN METODE KRIGGING DAN INVERS DISTANCE PADA INTERPOLASI DATA DUGAAN SUHU, AIR MAMPU CURAH (AMC) DAN INDEKS STABILITAS ATMOSFER (ISA) DARI DATA NOAA-TOVS (The Analizys of Application of
Lebih terperinciFakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan
Lebih terperinci3 METODOLOGI PENELITIAN
19 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia berkaitan erat dengan dua faktor utama yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kemungkinan terdapat karakteristik
Lebih terperinciKEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
1. Ringkasan Kondisi Terkini No. Provinsi Uraian 10 1. Riau 2. Jambi 3. Sumsel 4. Kalbar KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT PENGENDALIAN
Lebih terperinciANALISIS KORELASI KERAPATAN TITIK API DENGAN CURAH HUJAN DI PULAU SUMATERA DAN KALIMANTAN
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol.18 No.1, 2017: 17-24 17 ANALISIS KORELASI KERAPATAN TITIK API DENGAN CURAH HUJAN DI PULAU SUMATERA DAN KALIMANTAN M. Bayu Rizky Prayoga 1), Ardila Yananto
Lebih terperinciBuletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017
Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA Volume 7, Agustus 2017 IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN April - Juni 2017 Rendahnya kejadian kebakaran hutan Musim panen utama padi dan jagung lebih tinggi dari
Lebih terperinciPEMANFAATAN DATA READY-ARL NOAA DAN CMORPH UNTUK PENGEMBANGAN MODEL RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH INDAH PRASASTI
PEMANFAATAN DATA READY-ARL NOAA DAN CMORPH UNTUK PENGEMBANGAN MODEL RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH INDAH PRASASTI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN
Lebih terperinciPREDIKSI SEBARAN ASAP KEBAKARAN HUTAN/LAHAN MENGGUNAKAN WRF/CHEM (Studi Kasus: Tanggal 14 dan 20 Juni 2012, Pekanbaru-Riau)
PREDIKSI SEBARAN ASAP KEBAKARAN HUTAN/LAHAN MENGGUNAKAN WRF/CHEM (Studi Kasus: Tanggal 14 dan 20 Juni 2012, Pekanbaru-Riau) PREDICTION OF FOREST/LAND FIRE SMOKE DISTRIBUTION USING WRF/CHEM (Case Study:
Lebih terperinciSeminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Stasiun Meteorologi kelas III Nangapinoh-Melawi,Kalimantan Barat 2
Pemanfaatan Data Satelit Ir 1 Himawari-8 untuk Mengurangi Dampak Kerugian Materiil dan Jiwa Akibat Bencana Alam di Wilayah Melawi Kalimantan Barat The Utilization of Ir 1 Himawari-8 Satellite Data to Reduce
Lebih terperinciRencana Strategis BMKG Tahun
2012, No.167 4 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BMKG NOMOR : KEP.06 TAHUN 2011 TANGGAL : 9 Desember 2011 Rencana Strategis BMKG Tahun 2010-2014 5 2012, No.167 BMKG TUGAS POKOK dan FUNGSINYA Dasar Hukum Fungsi
Lebih terperinciPemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)
Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik
Lebih terperinciMEMPRAKIRAKAN KEDATANGAN FENOMENA EL-NINO TAHUN 2002~2003
Memprakirakan Kedatangan Fenomena El-Nino Tahun 2002-2003 (Syaifullah) 63 MEMPRAKIRAKAN KEDATANGAN FENOMENA EL-NINO TAHUN 2002~2003 Djazim Syaifullah 1 Intisari Setelah kejadian bencana banjir maka wilayah
Lebih terperinciAnalisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b
Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak b Program Studi
Lebih terperinciSKRIPSI. Oleh: RENGGANIS PURWAKINANTI
APLIKASI METODE MOMEN MOMEN PROBABILITAS TERBOBOTI UNTUK ESTIMASI PARAMETER DISTRIBUSI PARETO TERAMPAT PADA DATA CURAH HUJAN (Studi Kasus Data Curah Hujan Kota Semarang Tahun 2004-2013) SKRIPSI Oleh: RENGGANIS
Lebih terperinciPENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun
Lebih terperinciLAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN
LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN Tanggal : 10 Oktober 2016 Jam : 11:00 WITA Sumber : Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Kalimantan, KLHK 1. Jumlah update laporan hotspot
Lebih terperinciKEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
1. Ringkasan Kondisi Terkini No. Provinsi KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN LAPORAN POSKO PENGENDALIAN
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA ANOMALI SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN CURAH HUJAN DI JAWA
Hubungan antara Anomali Suhu Permukaan Laut.(Mulyana) 125 HUBUNGAN ANTARA ANOMALI SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN CURAH HUJAN DI JAWA Erwin Mulyana 1 Intisari Perubahan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik
Lebih terperinciPENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN
Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 06 No. 2, Agustus 2015, Hal 132-138 ISSN: 2086-8227 PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA
Lebih terperinciABSTRAK Kata kunci : ABSTRACT Key word :
ABSTRAK Keterbatasan data observasi menyebabkan analisis dan prediksi curah hujan sulit dilakukan. Salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan tersebut adalah penggunaan data satelit seperti GSMaP, namun
Lebih terperinciPREDIKSI ENSEMBLE MENGGUNAKAN CCAM (CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL) UNTUK PRAKIRAAN PELUANG KEJADIAN HUJAN DI PULAU JAWA
PREDIKSI ENSEMBLE MENGGUNAKAN CCAM (CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL) UNTUK PRAKIRAAN PELUANG KEJADIAN HUJAN DI PULAU JAWA TUGAS AKHIR Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kurikuler Program Sarjana Strata-1
Lebih terperinciVALIDASI HOTSPOT MODIS DI WILAYAH SUMATERA DAN KALIMANTAN BERDASARKAN DATA PENGINDERAAN JAUH SPOT-4 TAHUN 2012
VALIDASI HOTSPOT MODIS DI WILAYAH SUMATERA DAN KALIMANTAN BERDASARKAN DATA PENGINDERAAN JAUH SPOT-4 TAHUN 2012 Any Zubaidah *), Yenni Vetrita *), M. Rokhis Khomarudin *) *) Pusat Pemanfaatan Penginderaan
Lebih terperinciPENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG
Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil
Lebih terperinciESTIMASI PARAMETER TURBULENSI UNTUK JASA PENERBANGAN BERBASIS ANALISIS DATA RADIOSONDE ZAINAL ABIDIN
ESTIMASI PARAMETER TURBULENSI UNTUK JASA PENERBANGAN BERBASIS ANALISIS DATA RADIOSONDE ZAINAL ABIDIN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN
Lebih terperinciMedan (Penulis Korespondensi, Abstract
INFORMASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN INDEKS KEKERINGAN DAN TITIK PANAS DI KABUPATEN SAMOSIR Forest and Land Fire Information Based on Dryness Index and Hotspots at Samosir District Perdamean
Lebih terperinciANALISIS DERET BERKALA MULTIVARIAT DENGAN MENGGUNAKAN MODEL FUNGSI TRANSFER: STUDI KASUS CURAH HUJAN DI KOTA MALANG
ANALISIS DERET BERKALA MULTIVARIAT DENGAN MENGGUNAKAN MODEL FUNGSI TRANSFER: STUDI KASUS CURAH HUJAN DI KOTA MALANG Fachrul Ulum Febriansyah dan Abadyo Universitas Negeri Malang E-mail: fachrul.febrian@gmail.com
Lebih terperinci