Persoalan Selat Malaka à â â œ Singapura

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Persoalan Selat Malaka à â â œ Singapura"

Transkripsi

1 Persoalan Selat Malaka à â â œ Singapura Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A. Mantan Duta Besar, kini anggota Dewan Maritim Indonesia, Maheswara Lemhannas, dan Pengamat Masalah Kelautan dan Hukum Laut Asal Mulanya Persoalan Selat Malaka Singapura, pada mulanya, timbul karena adanya perkembangan yang penting di bidang perkapalan dan perubahan-perubahan dalam strategi militer secara global dari negara-negara besar. Seperti diketahui bahwa, sejak 1967, terutama sejak pecahnya Perang Arab-Israel, kapal-kapal tangki raksasa mulai lahir. Banyak di antara kapal tangki itu yang membawa minyak dari Timur Tengah ke Jepang dan Timur Jauh. Dalam kaitan dengan itu, Selat Malaka-Singapura adalah urat nadi perekonomian dunia, terutama Jepang. Kemampuan Selat Malaka-Singapura yang sebenarnya sempit, dangkal, berbelok-belok, dan ramai itu semakin lama semakin terbatas untuk dapat melayani kapal-kapal tangki raksasa yang semakin lama semakin besar dan banyak itu. Dalam kondisi demikian, kecelakan besar pun seringkali terjadi. Kecelakaan ini tidak saja membawa kerugian bagi pemiliknya, tetapi juga menimbulkan bencana pengotoran laut yang pada akhirnya mempengaruhi kelestarian lingkungan laut dan kehidupan rakyat Negara-negara pantai. Sejak 1971, kecelakan kapal tangki raksasa di Selat Malaka-Singapura sudah puluhan kali terjadi. Jadi, jumlah kecelakaan sebanyak itu sudah cukup untuk membuat setiap orang harus merasa prihatin dengan kemungkinankemungkinan bahaya yang selalu harus dihadapi oleh negara-negara pantai. Frekuensi kecelakan yang jumlahnya sudah sedemikian besar terjadi, antara lain, karena kepadatan lalu-lintas dan keadaan fisik Selat ini. - Kira-kira kapal setiap hari lewat di Selat ini. Sebagian di antaranya adalah kapal-kapal tangki raksasa yang berukuran dwt ke atas. - Bagian Selat yang dapat dilayari di Philip Channel hanyalah kira-kira 800 meter lebarnya. Arus laut dapat mencapai kecepatan 3 mil dengan perubahan kecepatan yang tidak teratur. - Nelayan-nelayan setempat banyak pula yang menangkap ikan di perairan itu, selain ramainya lalu-lintas laut yang memotong antara Singapura dan Batam. - Berbagai kedangkalan yang kurang dari 23 meter banyak terdapat di Selat ini. Tentu saja, kedangkalan ini sangat berbahaya bagi kapal-kapal raksasa yang sarat-bebannya lebih dari 19 meter. - Hujan dan angin kuat yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Selain itu, perubahan strategi militer, negara-negara besar di dunia juga telah membawa persoalan bagi Selat Malaka- Singapura. Seperti diketahui bahwa pada 1970-an, Uni Soviet (kini Rusia) yang mulai bangkit pada akhir 1960-an telah berkembang menjadi negara maritim yang penting di dunia telah meningkatkan kehadiran armadanya di Samudera Hindia. Kehadiran kekuatan maritim Uni Soviet itu erat pula hubungannya dengan keperluannya untuk lewat secara bebas melalui Selat Malaka-Singapura yang menghubungkan Rusia di Eropa dengan Rusia di Timur Jauh. Karena itu, Selat Malaka-Singapura semakin lama juga semakin penting bagi strategi global Uni Soviet, terutama bagi angkatan lautnya. Hal yang sama juga terjadi dengan perubahan strategi Amerika Serikat di Pasifik Barat sejak Guam Doctrine, tepatnya sejak Amerika Serikat, pada 1969, menetapkan untuk mengalihkan tulang-punggung pertahanannya di wilayah ini secara besar-besaran di daratan Asia menjadi kehadiran lepas pantai Asia.Persoalan yang Mengemuka Faktor-faktor tersebut membawa persoalan-persoalan baru bagi Selat Malaka-Singapura karena faktor itu sangat mempengaruhi kelestarian dan keamanan negara pantai. Di sisi lain, kemampuan negara pantai untuk menanggulangi bahaya yang mungkin timbul dari kapal-kapal tangki raksasa, kapal-kapal perang dan kapal-kapal nuklir masih sangat minimal untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Pelayaran bagi kapal-kapal dagang biasa tidak ada kesulitan karena kapal-kapal dagang tersebut, selama ini, tidak pernah ada persoalan. Karena itu, semakin lama semakin terasa perlunya pengadaan aturan-aturan di selat tersebut untuk menjamin keselamatan negara-negara pantai, dan menjamin kelancaran lalu-lintas pelayaran internasional secara wajar. Di bidang hukum laut internasional, persoalan ini memunculkan akibat yurisdiksi negara pantai untuk membuat aturan-aturan bagi pelayaran melalui selat yang dipakai bagi pelayaran internasional dan persoalan regim (ketentuan hukum) pelayaran bagi kapal-kapal yang lewat. Seiring dengan semakin berkembangnya ketentuan lebar laut wilayah 12 mil yang semula hanya 3 mil, negara-negara maritim besar, karena kepentingannya sendiri, ingin mengubah ketentuan hukum internasional yang ada, khususnya pasal 16 ayat 4 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Wilayah dan Zone Berdekatan. Konvensi ini menetapkan bahwa rezim innocent passage walaupun dengan ketentuan bahwa innocent passage tersebut tidak boleh ditangguhkan ( suspended ). Selain persoalan hukum tersebut, persoalan Selat Malaka-Singapura juga mempunyai segi-segi politis dan teknis. Segisegi politis yang penting, antara lain, cara menggalang kesatuan pandangan di antara ketiga negara pantai untuk

2 menghadapi dunia luar, terutama Jepang (karena kepentingannya yang sangat besar terhadap kebebasan lalu-lintas kapal-kapal tangki raksasa) dan negara-negara besar, khususnya USA, RRC, dan India. Negara-negara tersebut mempunyai kepentingan-kepentingan yang sangat besar pula di bidang lalu-lintas kapal militer. Usaha-usaha penyatuan pandangan dan sikap negara-negara pantai ini sangat penting terutama jika diingat posisi geografis ketiga negara pantai yang sangat berbeda. Di satu sisi, Singapura dengan luas pantai yang tidak begitu panjang menjadi salah satu pelabuhan yang sangat besar di dunia. Hidup mati Pelabuhan Singapura ini banyak dan sangat bergantung pada perkapalan yang melalui selat tersebut. Jadi, Singapura melihat fungsi Selat Malaka-Singapura terutama sebagai wadah komunikasi atau pelayaran. Di sisi lain, Indonesia dan Malaysia dengan luas pantai yang sangat panjang dan kehidupan rakyat pantai yang sebagian besar masih sebagai nelayan, lebih mementingkan fungsi pemeliharaan lingkungan laut untuk menjaga sumber-sumber perikanan selain sebagai wadah komunikasi. Secara teknis, persoalan Selat Malaka-Singapura juga tidak kalah pentingnya karena ia menyangkut usaha ketiga negara pantai untuk meningkatkan keselamatan pelayaran. Jadi, pemeliharaan fungsi Selat Malaka-Singapura diharapkan dapat meningkatkan kelestarian lingkungan di selat tersebut.pendekatan Segi Hukum Seperti diketahui, sejak 1957, Indonesia sudah menerima lebar laut wilayah 12 mil. Indonesia juga menyatakan bahwa di selat-selat yang lebarnya kurang dari 24 mil, garis batas laut wilayah Indonesia dengan negara tetangga di tarik di tengah selat ( median line ). Lalu, pada 1969, Malaysia juga menerima ketetapan lebar laut wilayah yang 12 mil tersebut. Karena lebar bagian selatan dari Selat Malaka tersebut kurang dari dua kali 12 mil (di bagian paling selatan lebar Selat Malaka kurang lebih 8 mil), setelah mengadakan perundingan di Jakarta pada Maret 1970, perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang garis batas laut wilayah masing-masing telah disepakati dan ditanda-tangani. Kesepakatan tentang luas wilayah negara di selat tersebut diambil dari garis tengah yang ditarik dari titik-titik terluar masing-masing negara di Selat Malaka tersebut. Perjanjian ini telah diratifikasi oleh kedua negara dan mulai diberlakukan sejak pertukaran Piagam Ratifikasi pada 8 Oktober Jadi, bagian Selat Malaka yang lebarnya kurang dari 24 mil, sejak saat itu, secara otomatis menjadi laut wilayah Indonesia dan Malaysia yang berada di bawah kedaulatan Indonesia dan Malaysia. Dengan Singapura, Indonesia juga telah melakukan kesepakatan perjanjian tentang garis batas laut wilayah di bagian tengah Selat Singapura. Namun, kedua garis batas tersebut belum bersambungan, baik di sebelah Barat maupun Timur Singapura. Dalam pada itu, negara-negara maritim yang saat itu tetap berpegang kepada lebar laut wilayah 3 mil, pada mulanya, tetap mengakui wewenang Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka hanya sejauh 3 mil dari pantai masing-masing. Ini berarti, dalam pandangan mereka, di bagian Selat Malaka yang lebarnya lebih dari 6 mil, pada hakikatnya, masih terdapat bagian dari laut bebas; artinya, pelayaran internasional adalah daerah bebas dan tidak tunduk kepada prinsipprinsip kedaulatan negara pantai. Selat Singapura sangat sempit yang di bagian-bagian tertentu lebarnya bahkan kurang dari 3 mil. Jadi, dengan atau tanpa lebar laut wilayah 12 mil, Selat Singapura juga selamanya dianggap sebagai laut wilayah negara pantainya. Karena itu, sesuai dengan pasal 16 ayat 4 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Wilayah dan Zone Berdekatan, rezim pelayaran melalui selat tersebut seharusnya adalah rezim innocent passage dengan ketentuan bahwa innocent passage di selat tersebut tidak boleh ditangguhkan. Seperti diketahui, pasal 16 ayat 4 tersebut menyatakan there shall be not suspension of the innocent passage of foreign ships through straits are used for international navigation between one part of the high seas and another part of the high seas or the territorial sea of foreign state. Jika Selat Singapura yang sempit dan dangkal itu dianggap sebagai selat yang dipakai bagi pelayaran, menurut hukum laut lama (Konvensi Geneva 1958), satu-satunya perbedaan dengan pelayaran melalui laut wilayah lainnya hanyalah innocent passage. Salah satu ketentuannya, kapal-kapal asing tidak boleh ditangguhkan di selat tersebut. Tetapi, rezim pelayarannya tetaplah rezim innocent passage. Namun, negara-negara maritim menuntut bahwa rezim pelayaran melalui selat-selat yang dipakai bagi pelayaran internasional haruslah rezim pelayaran bebas atau apa yang dinamakan free transit karena sebagian dari selat tersebut sebelumnya merupakan laut bebas yang terletak di luar laut wilayah. Jadi, persoalan hukum dan politik Selat Malaka-Singapura bagi Indonesia adalah (1) mempertahankan kedaulatan dan undang-undangnya (12 mil); (2) membela perjanjian yang telah dibuatnya dengan Malaysia dan Singapura; (3) mempertahankan ketentuan-ketantuan hukum internasional yang menjamin keseimbangan antara kepentingan negaranegara selat dan negara-negara maritim; (4) memelihara kesatuan pandangan dan sikap antara ketiga negara pantai sebagai negara sahabat dan yang bertetangga baik dalam lingkungan ASEAN dalam menghadapi sikap negara-negara maritim; dan (5) membela keselamatan pelayaran, keamanan, dan kelestarian pantainya dari berbagai pencemaran laut yang semakin lama semakin besar, terutama dari kapal-kapal tangki raksasa yang lewat di selat tersebut.dasar Hukum 12 Mil Lebar laut wilayah suatu negara ditetapkan oleh negara itu berdasarkan kepentingan-kepentingannya yang umum. Jika beberapa negara menetapkan lebar 3 mil untuk kepentingan-kepentingan mereka, negara yang sedang berkembang

3 seperti Indonesia dan Malaysia juga berhak untuk menetapkan lebar yang mereka perlukan (dalam hal ini, 12 mil) untuk memelihara kepentingan-kepentingan mereka yang vital. Lebar 3 mil, kini, jelas sekali tidak memenuhi lagi kebutuhan negara-negara di dunia, termasuk kebutuhan negara yang dulunya hanya menganut lebar 3 mil tersebut. Karena itu, semakin lama semakin banyak negara yang menganut 12 mil. Lebar ini kemudian telah diterima dan dimasukkan ke dalam pasal 3 Konvensi HUKLA Seiring dengan ketetapan lebar laut wilayah 12 mil tersebut, Indonesia dan Malaysia hanya menggunakan aturan-aturan yang telah dianut oleh hukum Internasional. Karena itu, Indonesia dan Malaysia tidak melanggar ketentuan hukum atau kepentingan masyarakat internasional.hydrographic Survey dan Kepentingan Jepang Sebagai salah satu negara yang sangat berkepentingan atas keselamatan lalu-lintas di Selat Malaka-Singapura, sejak 1970-an, Jepang menawarkan kepada ketiga negara pantai untuk mengadakan survey bersama untuk memperoleh data hidrografis yang diperlukan. Indonesia telah menerima tawaran ini mengingat hasil-hasilnya juga akan sangat bermanfaat bagi Indonesia. Berdasarkan memorandum of understanding (MoU) pertama yang telah ditandatangani pada 21 Januari 1969 diadakanlah preliminary survey sejak 28 Januari-14 Maret Saat itu, telah diketemukan kira-kira 20 kedangkalan di beberapa wilayah laut yang sangat berbahaya. Karena itu, ia sangat memerlukan detailed hydrographic survey. Beberapa pembicaraan lanjutan antara Jepang dan ketiga negara pantai menghasilkan memorandum of understanding kedua yang ditanda-tanngani pada 14 Juli Pada MoU II ini berhasil diadakan detailed survey dalam dua bagian. Bagian pertama dari survey tersebut telah diadakan pada akhir Namun, kelanjutan dari detailed hydrographic survey bagian kedua mengalami kesulitan. Ini terjadi karena adanya draft agreement yang disebarkan secara tidak resmi oleh Jepang kepada negara-negara tertentu di dunia yang, antara lain, mengemukakan perlunya pembentukan Badan Internasional untuk mengurusi kedua selat tersebut. Badan Internasional yang akan dibentuk itu disarankan terdiri dari negara-negara pemakai selat ditambah ketiga negara pantai. Akhirnya, draf ini beredar juga dalam sidang IMCO ( Inter-Governmental Maritime Consultative Organization ). Indonesia dan Malaysia segera menanggapi usul ini dan menentang dengan keras adanya usaha-usaha untuk menginternasionalisasikan kedua selat itu. Indonesia dan Malaysia menentang prinsip yang menyatakan bahwa selat-selat mereka akan dimanage oleh Badan Internasional. Kedua negara bertetangga ini menghendaki bahwa yang harus mengatur selat tersebut adalah negara-negara pantai itu sendiri, bukan negara lain. Sebagai salah satu akibat dari move tidak resmi Jepang ini, pengumuman dari hasil-hasil detailed hydrographic survey bagian pertama dan pelaksanaan survey bagian kedua menjadi tertunda lebih dari setahun. Indonesia dan Malaysia merasa bahwa ketiga negara pantai seharusnya menyepakati lebih dulu sebelum mereka mengadakan atau menyetujui kegiatan-kegiatan lanjutan tentang selat tersebut. Singapura, kemudian, menyetujui untuk mengadakan konsultasi terlebih dahulu. Konsultasi ketiga negara pantai diadakan di Kuala Lumpur pada Juni Dalam pertemuan konsultasi ini, antara lain, disepakati bahwa survey harus dilanjutkan atau segera diumumkan tentang hasil-hasil survey yang pertama. Namun, pengumuman itu sama sekali tidak berarti adanya komitmen tertentu dari negara pantai untuk, misalnya, menginternasionalisasi selat tersebut ( such as the internationalisation of the straits ). Pemerintah Singapura, ternyata, idak dapat menerima ketentuan non-internasonalisasi ini. Dengan demikian, usaha selanjutnya yang harus dilakukan adalah menyatukan pandangan ketiga negara pantai, yaitu Indonesia dan Malaysia di satu pihak yang sangat ingin mempertahankan klausul tersebut, dan Singapura, di pihak lain, yang sama sekali tidak mau kalau non-internationalisation clause tersebut dipertahankan.selat Malaka dan IMCO Tampak jelas bahwa ada banyak upaya untuk mencantumkan masalah keselamatan pelayaran di Selat Malaka ini dalam pembicaraan-pembicaraan di sidang Sub-Komite IMCO tentang Keselamatan Pelayaran di London, 5-9 Juli Saat itu, Jepang mengajukan konsep traffic separation scheme (TSS) untuk menjamin keselamatan pelayaran di selat itu. Indonesia, dengan tegas, mengemukakan bahwa Selat Malaka adalah wilayah negara pantai dan Indonesia tidak dapat menerima gagasan-gagasan yang dapat menjurus ke arah internasionalisasi selat itu. Pernyataan ini disokong oleh Malaysia, tetapi Singapura tidak hadir. Karena sikap Indonesia dan Malaysia ini, draf TSS yang telah diajukan, akhirnya, tidak dibicarakan oleh IMCO dan ditangguhkan. Penangguhan ini dilakukan untuk menunggu selesainya draf yang akan diusahakan oleh negara-negara pantai sendiri. Pada September 1971, atas permintaan Sekjen IMCO, pembicaraan-pembicaraan tidak resmi antara delegasi-delegasi ketiga negara pantai dan Sekjen IMCO di London diadakan kembali. Dalam kesempatan tersebut, delegasi-delegasi Indonesia dan Malaysia kembali menegaskan posisi mereka yang menekankan wewenang negara pantai atas selat tersebut. Delegasi tersebut juga menambahkan bahwa ketiga pemerintah tersebut akan mengadakan pembicaraanpembicaraan untuk mengambil tindakan lanjutan guna meningkatkan keselamatan pelayaran di selat itu. Sekjen IMCO mengharapkan agar ketiga pemerintahan dapat mengumumkan politik dan rencananya untuk keselamatan pelayaran di kedua selat tersebut.posisi Indonesia dan Malaysia

4 Karena Selat Malaka-Singapura adalah bagian dari laut wilayah negara pantai, negara yang sangat berkepentingan mengenai keselamatan pelayaran di selat adalah negara-negara pantainya. Karena itu, Indonesia dan Malaysia menolak tegas gagasan-gagasan yang dapat menjurus ke arah internasionalisasi selat dan menentang campur-tangan pihak luar dalam pengurusan dan pengaturan selat tersebut. Menurut Indonesia dan Malaysia, upaya penggunaan selat itu harus mengutamakan kepentingan nasional negara tepinya tanpa merugikan pelayaran internasional yang tidak mengganggu. Karena itu, rezim pelayaran bagi kapal-kapal asing melalui selat tersebut seharusnya rezim innocent passage, bukan rezim free transit. Kapal-kapal yang lewat jangan mengganggu peace, good order and security dari negara pantai. Ini berarti bahwa lewatnya kapal-kapal perang harus sepengatahuan negara pantai, atau setidak-tidaknya, tidak membawa bahaya bagi keamanan negara pantai. Kapal selam pun harus berlayar di atas permukaan air. Kapal-kapal tangki dan kapal-kapal raksasa lainnya pun hendaknya tidak membawa pencemaran laut saat mereka lewat di selat tersebut. Karena Selat Malaka-Singapura dibatasi oleh tiga negara pantai, usaha menyatukan pandangan dan tindakan ketiga negara pantai ( Indonesia, Malaysia, dan Singapura) menjadi sesuatu yang sangat penting. Ini dilakukan karena akan banyak yang harus dihadapi untuk menghadapi segala hal yang berhubungan dengan selat tersebut, baik yang berhubungan dengan keselamatan dan pelayaran maupun dalam menghadapi reaksi-reaksi dari luar ( non-coastal States ). Seiring dengan terbatasnya kemampuan selat tersebut secara fisik (panjang, sempit, berbelok-belok, dangkal) untuk melayani kapal-kapal tangki raksasa, perlu diadakan pembatasan-pembatasan terhadap besarnya kapal-kapal yang lewat. Ini dilakukan demi keselamatan negara-negara pantai sendiri dan demi kepentingan kapal-kapal tangki itu sendiri agar tidak terjadi kecelakaan.posisi Singapura Singapura yang menganut lebar 3 mil, sudah lama menyatakan tidak bersedia bahwa Selat Singapura dan Selat Malaka adalah laut wilayah ( territorial sea ) negara pantainya atau sebagai bukan selat internasional. Singapura merasa khawatir bahwa kalau hal itu diberlakukan pelayaran internasional dapat terganggu. Kepentingan perdagangan dan perkapalan pun akan sangat dirugikan. Pada mulanya, Singapura lebih suka menunggu penyesuaian soal ini oleh Konferensi Hukum Laut PBB III yang saat itu sedang berlangsung. Hakikat dari perbedaan pandangan antara Indonesia dan Malaysia, di satu pihak, dan Singapura, di pihak lain. Jika Selat Malaka-Singapura diakui sebagai laut wilayah negara pantainya, menurut hukum internasional dan Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Wilayah, pelayaran kapal-kapal asing melalui perairan tersebut hanya dapat diperkenankan atas dasar prinsip innocent passage, yaitu tidak merugikan negara pantainya ( peace, good order and security ). Jadi, negara pantai lebih banyak haknya untuk mengatur selat-selat tersebut karena penentuan innocent - tidaknya sesuatu passage ditetapkan oleh negara pantai itu sendiri. Dalam hal ini, Indonesia dan Malaysia berpegang pada prinsip itu. Sebaliknya, jika Selat Malaka-Singapura tidak diakui sebagai laut wilayah, tetapi merupakan laut bebas atau selat internasional, wewenang negara pantai akan sangat terbatas di selat itu. Ini terjadi karena perairan itu, pada hakikatnya, bukanlah wilayah mereka. Di perairan itu dapat berlaku prinsip free transit, yakni negara pantai tidak banyak dapat berbuat, walaupun sesuatu passage dinilai dapat merugikan negara pantai. Untuk menjamin kepentingannya, Singapura lebih menyukai konsep ini. Berdasarkan faktor-faktor itu, kepentingan atau pandangan Singapura, agaknya, sejak semula lebih dekat dengan negara-negara maritim lainnya di dunia, khususnya Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris daripada Negara pantai lainnya yang merupakan negara tetangga-tetangganya yang terdekat. Sebaliknya, posisi Indonesia dan Malaysia jelas lebih dekat dengan posisi negara-negara selat lainnya seperti Spanyol, Moroko, Iran, Oman, dan Yaman Selatan.Usaha Menyatukan Pandangan Negara-negara Pantai Karena perbedaan-perbedaan pandangan yang ada di antara negara pantai, khususnya antara Indonesia dan Malaysia, di satu pihak, dan Singapurta, di pihak lain, sudah layak politik Indonesia berusaha menyatukan pandangan ketiga negara pantai, khususnya dalam mengahadapi dunia luar. Karena itu, Indonesia berusaha untuk melaksanakan berbagai konsultasi, antara lan, mengikuti Pertemuan Tingkat Menteri Oktober dan Nopember Pertemuan ini kemudian menghasilkan Pernyataan Bersama Tiga Negara pada 16 Nopember 1971 sebagai berikut: - The three government agreed thet the safety of navigation in the straits of Malacca and Singapore is the responsibility of the coastal states concerned; - The three governmet agreed on the need for tripartite cooperation on the safety of navigation in the two straits; - The three government agreed that a body for cooperation to coordinate efforts for the safety of navigation in the straits of Mallaca and Singapore be established as soon as possible and that such body should be composed of only the three coastal states concerned; - The three government also agreed that the problem of the safety of navigation and the question of internasionalisation of the straits are two separate issues; - The government of the Republic of Indonesia and of Malaysia agreed that the straits of Malacca and Singapore are not international Straits while fully recognizing their use for international shiping in accordance with the princple of innocent passage. The Government of Singapore takes note of the position of the Government of the Republic of Indonesia and Malaysia on this point;

5 - On the basis of this understanding the three government approved the continuation of the hydrographic survey. Pernyataan tiga negara Selat Malaka dan Singapura, 16 Nopember 1971, itu merupakan pernyataan yang sangat penting artinya dalam sejarah kedua selat tersebut. 1. Pernyataan ini berarti bahwa, mulai saat itu, dalam soal keselamatan pelayaran Selat Malaka dan Selat Singapura tidak lagi dianggap sebagai dua selat, tetapi sebagai satu selat. Ini sangat penting artinya karena masalahnya kini telah menjadi masalah segitiga (tripartit) antara ketiga negara pantai ( Indonesia, Malaysia dan Singapura). 2. Sesuai dengan prinsip unity antara Selat Malaka dan Selat Singapura itu, ketiga negara pantai telah mengambil tanggung jawab untuk mengatur keselamatan pelayaran di selat-selat tersebut. Ini berarti bahwa, sejak saat itu, pengelolaan selat-selat tersebut dilakukan oleh atau melalui ketiga negara pantainya. Prinsip tripartit ini ditegaskan pula oleh ketentuan yang menyatakan bahwa Badan Kerja Sama yang mengurus hal ini hanya terdiri dari ketiga negara pantainya. 3. Masalah Selat Malaka-Singapura dipecah menjadi masalah status hukum selat dan keselamatan pelayaran. Ini berarti bahwa sekalipun ketiga negara bersedia bekerja sama dalam soal-soal keselamatan pelayaran, namun, status atau kedudukan hukum dari selat-selat tersebut sebagai wilayah masing-masing negara tidak terpengaruh. 4. Ketiga negara bersedia melaksanakan hydrographic survey secara bersama-sama di selat tersebut atas dasar pengertian seperti tersebut. Jika pelaksanaan survey itu dilakukan melalui kerja sama dengan negara lain (seperti Jepang), ia tidak akan menimbulkan implikasi bahwa ketiga negara pantai tersebut telah melepaskan posisi mereka mengenai persoalan Selat Malaka. 5. Kesediaan Indonesia untuk menerima prinsip tripartit dalam pengaturan keselamatan pelayaran ini merupakan bentuk konsensi yang sangat besar dari pihak Indonesia (dan Malaysia) karena masalahnya terletak pada semangat bilateral atau unilateral. Kesediaan ini didorong oleh politik bertetangga baik yang dijalankan oleh Indonesia dan adanya keinginan untuk dapat mengambil tindakan-tindakan yang efektif dan wajar untuk melindungi kepentingan bersama dan pelayaran internasional. Sejalan dengan kesepakatan tersebut, ketiga negara mulai merundingkan batas-batas laut wilayah masing-masing di kedua selat tersebut. Ketiga negara bersepakat untuk mengadakan perjanjian garis batas laut wilayah, yaitu antara Indonesia-Malaysia di Selat Malaka, dan antara Indonesia-Singapura di sebagian Selat Singapura. Tetapi, kedua garis batas itu belum bersambungan antara Selat Malaka dan Selat Singapura. Juga, belum ada garis batas laut wilayah antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura ke sebelah timur dari Singapura menuju Laut Cina Selatan. Sejak 30 tahun terakhir ini, Indonesia telah berusaha untuk menyelesaikan garis batas laut wilayah yang belum terselesaikan di Selat Singapura. Tetapi, usaha-usaha tersebut tidak atau belum memperlihatkan hasil-hasil yang nyata, terutama karena kelihatannya Singapura tidak terlalu berminat untuk menyelesaikan masalah ini. Inilah yang menjadi pemicu munculnya persoalan antara kedua negara akhir-akhir ini. Berdasarkan kesepakatan 1971 itu, pada dasarnya, persoalan Selat Malaka-Singapura ditandatangani oleh pejabatpejabat senior dari ketiga negara tersebut. Masalah-masalah teknisnya dibahas oleh Panitia Teknis Tiga Negara, yaitu Tri-Partite Technical Experts Group (TTEG). Panitia Selat Malaka-Singapura (tingkat Senior) membahas hal-hal yang berkaiatan dengan kebijakan-kebijakan tentang Selat Malaka-Singapura, termasuk penanganannya selama Konferensi Hukum Laut, pembicaraan-pembicaraan dengan Jepang, penanganan masalahnya di IMO, London (dulu, IMCO), dan masalah-masalah lainnya yang bersifat kebijakan. Di Indonesia, panitia teknis tersebut dulu diketuai oleh DEPLU (pada waktu itu Direktorat ASPAS, dan Wakil Ketuanya Direktorat Hukum dan Perjanjian Internasional DEPLU), sedangkan TTEG-nya di Indonesia dipimpin oleh pejabat di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Tetapi, Panitia Selat Malaka tersebut, kecualai TTEG-nya, sudah lama tidak bekerja. Sayangnya lagi, masalah Selat Malaka dan Singapura, kini, telah direduksi menjadi persoalan teknis keselamatan pelayaran semata-mata, padahal masalah yang muncul di dalamnya sudah sangat rumit dan kompleks.hydrographic Survey dan Hasil-hasilnya Setelah Pernyataan Bersama yang diumumkan pada 16 Nopember 1971, bagian kedua dari joint hydrographic survey, oleh tim dari Indonesia, Malayasia, dan Singapura (dibantu oleh Jepang), pernyataan itu dilanjutkan kembali sesuai dengan isi memorandum of understanding pada Bagian pertama dari survey tersebut meliputi daerah-daerah yang sangat kritis di Selat Singapura, yaitu Main Straits, Philip Channel, dan perairan-perairan yang berdekatan. Survey ini telah dilaksanakan pada 1 Oktober 21 Desember 1970 yang hasil-hasilnya telah diumumkan pada 5 januari Survey bagian kadua dilakukan pada Pebruari-Juni 1972 yang meliputi perairan di Ujung Selatan Selat Malaka dan bagian Utara Selat Malaka yang hasil-hasilnya telah diumumkan pada 20 April Di dalam klausul memorandum of understanding ketiga yang dibuat pada 1973 telah disepakati pula untuk mengadakan survey ketiga di daerah-daerah dekat Rumenia Channel, yaitu pintu masuk ke Selat Singapura dari Laut Cina Selatan dan perairan-perairan di Selat Singapura sendiri yang belum pernah dilakukan survey. Survey ketiga dilakukan antara 4 Nopember 1973 dan 12 Mei 1974 yang hasil-hasilnya juga telah diumumkan. Pada Nopember 1973 itu, disepakati pula untuk mengadakan survey yang keempat untuk daerah-daerah yang belum di survey di Selat Singapura bagian Timur. Survey ini telah dilaksanakan pada 1974 yang hasil-hasilnya telah diumumkan pada 1975.

6 Keempat survey hidrografis yang telah dilakukan selama kira-kira empat tahun itu telah memberikan informasi-informasi yang cukup lengkap dan sangat penting mengenai keadaan fisik dan lingkungan laut di selat tersebut. Tentu saja, hasil survey ini sangat berguna bagi penentuan berbagai kebijaksanaan selanjutnya, terutama dalam mengambil tindakantindakan untuk keselamatan pelayaran si selat-selat tersebut.kerja Sama Keselamatan Pelayaran Sebagai follow-up dari Pernyataan Bersama tiga negara pantai pada 16 Nopember 1971, pertemuan konsultasi pertama antara ketiga negara pantai itu diadakan di Jakarta pada 4-5 Juli Pertemuan ini dilaksanakan untuk mencari jalan bagi peningkatan upaya keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan Selat Singapura. Pertemuan ini pun berhasil meletakkan dasar-dasar bagi pertemuan-pertemuan berikutnya yang diadakan di Kuala Lumpur, Juni Pembicaraan-pembicaraan dalam pertemuan konsultasi kedua lebih terarah daripada pertemuan sebelumnya, antara lain, dan berhasil menghasilkan kesepakatan perlunya mengadakan traffic separation scheme (TSS) di selat itu, segera mengadakan tindakan-tindakan keselamatan pelayaran tambahan, membentuk Badan Kerja Sama tiga negara pantai, dan melanjutkan survey hidrografis untuk melengkapi data-data yang telah dikumpulkan pada survey hidrografis sebelumnya. Tentang beberapa kesepakatan itu, Indonesia berpendapat bahwa TSS di selat tersebut terutama harus ditujukan untuk menjaga keselamatan ketiga negara pantai tanpa melupakan kepentingan kapal yang lewat. Walaupun Indonesia bersedia mengajukan konsep TSS itu kepada IMCO untuk mendapatkan nasihat-nasihat teknis, namun, Indonesia merasa bahwa negara pantai sendirilah yang harus menetapkannya sendiri karena merekalah yang lebih mengetahui keadaan dan kepentingan daerahnya. Hal ini sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan IMCO yang saat itu hanya berupa badan konsultatif yang sangat menjunjung tinggi prinsip sovereignity negara atas laut wilayahnya. Selain itu, TSS ini juga harus memberikan tingkat keselamatan yang sebesar mungkin bagi kapal yang lewat dan bagi negara pantai. Karena pelaksanaan survey hidrografis, selama ini, berdasarkan pemikiran untuk mencari kedalaman air 23 meter bagi kemungkinan lewatnya kapal-kapal tangki yang bersarat 19 meter bisa lewat dengan aman di selat tersebut, Indonesia mengusulkan agar sarat kapal-kapal yang lewat di Selat Malaka Singapura itu dibatasi sampai maksimun 19 meter. Sarat 19 meter ini, kira-kira, sama dengan kapal tangki yang berukuran sekitar 200 ribu dwt. Singapura merasa bahwa walapun keselamatan negara pantai itu lebih penting, namun kepentingan kapal yang lewat tidak kalah pentingnya. Menurut Singapura, soal sarat kapal, pada dasarnya, terserah kepada pertimbangan nakhoda kapal yang tentunya tidak ingin melihat kecelakaan terjadi atas kapalnya. Tetapi, jika sarat itu harus ditetapkan, standar yang harus memperhitungkan adalah pasang surut dan pasang naik di selat tersebut; dalam hal ini, Singapura menghendaki sarat maksimun 22 meter. Selain itu, Malaysia mengusulkan sarat yang berbeda bagi kapal yang menuju ke Selatan dan kapal yang menuju ke utara melalui Selat Malaka. Walaupun terdapat perbedaan yang sangat besar tentang sarat kapal-tangki yang akan diperkenankan lewat, namun, ketiganya sepakat untuk menyetujui perlunya pembatasan sarat kapal yang lewat berdasarkan terbatasnya kemampuan fisik selat. Ketiganya juga bersepakat untuk membentuk tim ahli yang akan mempelajari dan menelaah soal-soal yang berhubungan dengan pembentukan TSS. Tim ini akan selalu menjaga tingkat keselamatan yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan negara pantai dan juga akan menjamin kepentingan pihak-pihak yang mempergunakan selatselat tersebut. Tindakan-tindakan lanjutan dari pertemuan konsultasi yang kedua di Kuala Lumpur tersebut kelihatannya berjalan lamban. Pertemuan konsultasi ketiga yang seharusnya diadakan di Singapura pada Desember 1973, ternyata, sulit diadakan tepat waktu. Adanya perbedaan pikiran antara ketiga negara itu mengenai pembatasan yang perlu diadakan, walaupun telah disepakati adanya pembatasan, berjalan sangat alot. Masalah yang kemudian muncul menjadi semakin kompleks dan rumit seiring dengan kandasnya kapal tangker bernama Showa Maru yang berukuran lebih dari 237 ribu dwt di perairan Indonesia di Selat Singapura pada 6 Januari Kapal ini telah menumpahkan lebih dari ton minyak mentah. Indonesia dan Malaysia merasa prihatin yang mendalam atas masalah ini. Kekhawatiran itu mulai timbul berkaitan dengan efektivitas dari usaha-usaha tripartit yang kelihatannya berjalan lamban. Beberapa orang di Indonesia mulai berpikir apakah jalan bilateral sesungguhnya tidak lebih baik untuk mengatasi soal ini. Jika langkah bilateral dianggap sangat perlu dan harus dilakukan, langkah atau jalan unilateral perlu dipertimbangkan.pertemuan Menteri Luar Negeri Tiga Negara Pantai Indonesia kemudian mengusulkan diadakannya Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri di antara ketiga negara pantai untuk membahas masalah Selat Malaka-Singapura tersebut. Pertemuan pun diadakan di Singapura pada 19 Februari 1975 yang sebelumnya didahului oleh pertemuan tiga negara pantai tingkat pejabat senior. Dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri, Indonesia dan Malaysia berpendapat bahwa dengan sering terjadinya kecelakaan kapal-kapal tangki raksasa di selat tersebut, puncaknya pada kejadian kecelakaan Showa Maru, sudah tiba waktunya bagi negaranegara pantai untuk mengambil tindakan konkret untuk mengatur keselamatan sistem pelayaran, termasuk tindakantindakan membatasi kapal yang lewat demi keselamatan dan kesejahteraan negara-negara pantai dan kapal yang lewat itu sendiri. Pertemuan tersebut, antara lain, membicarakan tindakan-tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keselamatan pelayaran, masalah-masalah yang berhubungan erat dengan ganti-rugi yang ditimbulkan oleh pencemaran laut karena

7 minyak yang berasal dari kapal dan masalah pembentukan Badan Koordinasi yang akan mengkoordinasikan dan melaksanakan tindakan-tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keselamatan pelayaran. Tentang usaha-usaha serius yang harus dilakukan untuk meningkatkan keselamatan pelayaran, Indonesia dan Malaysia menekankan perlunya pembatasan bagi kapal yang lewat. Dua negara jiran ini juga mengusulkan kembali pembatasan sarat kapal 19 meter yang mencakup kapal yang berukuran lebih dari dwt jika lewat dengan membawa minyak. Pembatasan yang diusulkan itu akan memberikan safety margin kira-kira 20% dari sarat kapal. Ketetapan ini merupakan sesuatu yang lumrah dan perlu diadakan untuk meningkatkan keselamatan. Sebaliknya, dengan memperhitungkan pasang-naik dan pasang-surut yang bisa mencapai 23 meter, Singapura tetap merasa bahwa pembatasan sarat itu harus 22 meter karena marjin keselamatan yang diperlukan di bawah air cukup 10% dari sarat kapal. Singapura juga merasa bahwa pembatasan itu harus berdasarkan sarat kapal, bukan tonnage kapal yang dimaksud. Ketiga negara tersebut kemudian bersepakat untuk mempelajari kembali soal ini secara lebih mendalam. Dalam rangka peningkatan keselamatan pelayaran ini pula, ketiga negara juga sepakat untuk menambah alat-alat pembantu navigasi di selat-selat tersebut. Tetapi, masalah pembiayaan atas pengadaan peralatan itu masih harus dipelajari secara lebih mendalam. Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam hubungan dengan masalah ini adalah adanya kesepakatan tiga negara untuk segera mengadakan traffic separation scheme (TSS) di selat-selat tersebut. Untuk itu, pertemuan telah membentuk dan menugaskan Tim Teknis untuk segera menyelesaikan pemetaannya. Tentang usaha-usaha tindakan anti-polusi, ketiga negara juga sepakat untuk bekerja sama dan mengadakan koordinasi dari kebijakan-kebijakan mereka. Berhubungan dengan kebijakan anti-polusi ini adalah masalah kompensasi terhadap kecelakaaan yang timbul karena tumpahan minyak dari kapal tangker. Indonesia dan Malaysia, dalam hal ini, yang mempunyai pantai-pantai terpanjang di dunia dengan pendudukan pantai yang banyak terdiri dari para nelayan yang kehidupan sehari-harinya banyak bergantung pada sumber perikanan di laut merasa adanya ketidak-adilan jika kompensasi tersebut hanya dibatasi oleh ongkos-ongkos pembersihan polusi. Karena itu, mereka menghendaki agar kompensasi tersebut juga mencakup kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh polusi, baik terhadap pendapatan para nelayan ( consequential damage ) maupun kelestarian lingkungan laut dalam jangka jauh ( ecological damage ). Singapura yang tidak mempunyai pantai yang panjang dan fungsi selat baginya terutama hanya sebagai space untuk berlayar hanya menekankan pada penggantinya biaya-biaya operasi pembersihan polusi. Ketiga negara juga sepakat untuk mempelajari soal ini secara lebih mendalam. Masalah lain yang berkaitan erat dengan kompensasi ini adalah asuransi TOVALOP ( Tankers Owners Voluntary Agreement Concerning Liability for Oil Pollution ) dan CRISTAL ( Contract Regarding an Interim Supplement to Tanker Liability for Oil Pollution ). Kedua asuransi ini menjamin adanya pembayaran ganti-rugi hingga mencapai jumlah US$ 30 juta untuk setiap kecelakaan kapal tangki raksasa. Ketiga negara merasakan bahwa jumlah ini mungkin tidak akan mencukupi untuk mengganti kerugian bagi kecelakaan kapal tangki. Ketiga negara juga sependapat agar penggantian kerugian bagi negara pantai atas kerugian yang disebabkan oleh kecelakan kapal-kapal tangki raksasa dapat dilakukan secara cepat, wajar, dan sepadan. Mereka sepakat untuk memepelajari soal ini lebih lanjut. Pertemuan ini juga sepakat untuk menyatakan prihatin atas kecelakaan Showa Maru dan membentuk badan setingkat Menteri Luar Negeri yang disebut Council for the Safety of Navigation and the Control of Marine Pollution in the Straits of Mallacca anda Singapore. Council of Minister itu akan bertugas untuk mengatur soal-soal yang berhubungan dengan keselamatan pelayaran, usaha-usaha anti-polusi, dan soal-soal yang berhubungan dengan kompensasi pencemaran laut karena tumpahan minyak. Hingga kini, belum diketahui pasti adakah follow-up dari Council of Minister tersebut dalam bentuk program aksi yang nyata dan sudah dilaksanakan di lapangan. Karena pertemuan Menteri Luar Negeri tersebut belum mencapai kata sepakat tentang pembatasan draf (sarat) kapal yang lewat, masalah ini diserahkan kepada Tim Ahli untuk dipelajari lebih lanjut. Tim Ahli tersebut mengadakan pertemuan di Singapura pada 30 Juni - 2 Juli 1975 dan dilanjutkan kemudian pada pertemuan berikutnya di Jakarta pada September Tampaknya, masalah terbesar yang dihadapi untuk menentukan pembatasan draf kapal yang lewat adalah Under Keel Clearance (UKC), yaitu kedalaman air di bawah kapal yang diperlukan oleh kapal tangki raksasa untuk melewati Selat Malaka-Singapura dengan aman. Dapat diduga, kesulitan yang terjadi adalah karena Indonesia dan Malaysia menginginkan safety margin yang sebesar mungkin, dan karena itu menghendaki UKC yang cukup besar pula (Indonesia dan Malaysia mulanya mengusulkan 4.4 meter), sedangkan Singapura merasa puas dengan safety margin yang benar-benar diperlukan saja, dan karena itu menghendaki UKC yang secukupnya saja untuk memperbesar draf dan tonnage kapal-kapal yang lewat (Singapura mulanya mengusulkan UKC 2.5 meter). Setelah melalui perundingan dan studi yang lama dan mendalam, bahkan kadang-kadang tidak mudah, dalam pertemuan tripartit di Jakarta pada Desember 1976, ketiga negara akhirnya sepakat untuk menerima UKC setinggi 3.5 meter. Kesepakatan ini kemudian direstui oleh Pertemuan Menteri Luar Negeri ketiga negara pantai pada Pebruari 1977 di Manila, tepatnya saat Pertemuan Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN berlangsung. Jelaslah bahwa beberapa kemajuan yang sangat berarti telah dicapai tentang perlunya keselamatan pelayaran di Selat Malaka-Singapura ini. Beberapa kesepakatan yang dihasilkan adalah pemberlakuan traffic separation scheme (TSS) dan ketiga negara pantai itu pada dasarnya juga telah mempersiapkan konsep TSS itu. Ketiga negara pantai juga telah bersepakat bahwa TSS tersebut akan disertai aturan-aturan tersendiri yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan khusus di Selat Malaka-Singapura, termasuk perlunya ketentuan tentang pembatasan UKC minimum 3.5 meter bagi setiap kapal

8 yang melewati selat dan bahwa pembatasan UKC itu harus merupakan bagian integral dari pengaturan keselamatan di selat itu.penyelesaian Soal Selat Malaka dalam IMCO Seiring dengan tercapainya kesepakatan di antara ketiga negara pantai itu tentang pembatasan UKC minimum 3.5 meter yang harus dipertahankan oleh setiap kapal yang lewat di sepanjang Selat Malaka-Singapura, masalah-masalah yang telah matang itu akan segera dikonsultasikan dengan IMCO ( Inter Governmental Maritime Consultative Organization ) yang berpusat di London. Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan pandangan-pandangan teknis dari badan organisasi internasional tersebut. Pertemuan pertama antara ketiga negara pantai dengan sub-komite IMCO tentang keselamatan pelayaran diadakan di London pada Oktober Dalam pertemuan itu, rencana TSS negara pantai pada umumnya mendapat dukungan, kecuali di beberapa tempat tertentu para ahli IMCO mengusulkan beberapa perubahan-perubahan karena pertimbanganpertimbangan teknis atas keselamatan pelayaran. Setelah mendapatkan beberapa pandangan teknis dari IMCO, para anggota Tim Ahli ketiga negara pantai akan mempertimbangkan kembali. Kesepakatan pun dicapai untuk sejauhmungkin mengambil manfaat dari usul para ahli IMCO tersebut. Konsep ketiga negara pantai tentang TSS yang disertai oleh berbagai aturan pelengkap itu, termasuk pembatasan UKC minimum 3.5 meter bagi setiap kapal yang berlayar di Selat Malaka-Singapura, diajukan kembali pada Sidang Assembly IMCO yang diadakan pada Nopember 1977 di London. Assembly IMCO juga menerima saran dan menyetujui ( adopt ) konsep dari negara pantai yang sejauh mungkin telah disesuaikan dengan usul-usul para ahli IMCO. Usulan lanjutan ini disertai oleh segala macam aturan khusus yang perlu diperhatikan untuk keselamatan pelayaran di selat tersebut. Hemat kami, persoalan ini menjadi sangat unik dan menarik. Dikatakan demikian karena baru pertama kali, sepanjang sejarah hukum laut, terjadi TSS yang disertai oleh aturan-aturan khusus, terutama pembatasan-pembatasan terhadap UKC. Biasanya, TSS yang diterima oleh IMCO hanya sebatas routing system yang diatur sesuai dengan aturan-aturan TSS IMCO ( rule 10 ) tanpa ada pembatasan terhadap UKC. Jadi, perjuangan politis Indonesia bersama negara-negara pantai lainnya untuk menyatukan pandangan dalam memajukan keselamatan pelayaran selat Malaka-Singapura mencapai hasil yang positif. Kini, tantangan berat yang harus dihadapi adalah langkah pelaksanaan TSS dengan segala aturan-aturannya yang telah mendapat restu dan pengakuan dunia internasional. Ternyata, tahap pelaksanaan TSS dengan aturan UKC 3.5 meter tersebut dihadapkan pada persoalan yang rumit dengan Jepang. Sejak semula, Jepang merasa keberatan dengan ketentuan UKC 3.5 meter tersebut. Negara bunga sakura ini merasa bahwa UKC 3 meter lebih dari cukup karena delegasi menurut Jepang, UKC 2.5 meter saja sudah memadai. Karena ketetapan negara pantai UKC 3.5 meter itu, Jepang menghendaki agar prinsip transitional period yang batasan waktunya 5 tahun dapat diterima. Pelaksanaan prinsip dimulai sejak berlakunya TSS atau sejak diterimanya TSS tersebut oleh IMCO, terutama terhadap kapal tangki Jepang atau kapal-kapal tangki yang di charter oleh Jepang yang selama ini telah berlayar melalui selat-selat tersebut dengan UKC 3 meter. Kini, masa transisi telah berlalu sehingga yang berlaku di Selat Malaka-Singapura adalah UKC 3.5 meter.perkembangan dalam Konferensi Hukum Laut Selat Malaka-Singapura menjadi relevan dalam perdebatan-perdebatan di Konferensi Hukum Laut mengenai selat secara umum, khususnya dalam Sub-komite II dari United of Nations Seabed Committee dan Komite II Konferensi Hukum Laut. Dua badan atau lembaga internasional ini bertugas untuk membahas rezim hukum yang akan berlaku bagi selat-selat yang dipakai bagi pelayaran internasional. Dalam United of Nations Seabed Committee itu, Indonesia yang disokong oleh negara-negara selat lainnya seperti Malaysia, Filipina, Spanyol, Maroko, Yunani, dan Yaman tidak mengakui adanya konsepsi international straits dengan rezim free transit seperti yang diinginkan Amerika Serikat dan Uni Soviet (waktu itu). Sebaliknya, Indonesia justru menghendaki konsepsi straits used for international navigation yang di dalamnya rezim yang diberlakukan adalah rezim innocent passage, bukan free transit. Hakikat dari perbedaan kedua rezim tersebut sangat jelas. Konsepsi international straits bertolak dari pangkal pikiran bahwa selat tersebut berstatus internasional, walaupun mengakui adanya kepentingan-kepentingan negara pantai yang bersangkutan dan perlu diperhitungkan. Misalnya, dalam soal-soal pencegahan pencemaran laut. Namun, dalam konsepsi ini, klausul yang lebih diutamakan adalah kepentingan pelayaran internasional yang tidak bolah terganggu, bukan kepentingan negara pantai. Sebaliknya, konsepsi straits used for international navigation bertolak pangkal dari pikiran bahwa selat-selat tersebut menjadi bagian dari perairan nasional negara tepinya yang hanya secara kebetulan dipergunakan bagi pelayaran internasional. Karena itu, pertimbangan yang penting harus diberikan kepada kepentingan negara pantai, walaupun kepentingan pelayaran internasional harus tetap dipertimbangkan dan diperhatikan secara seimbang. Konsep straits used for international navigation inilah yang kemudian diterima dalam Konvensi Hukum Laut (Hukla) 1982, Part II pasal Konsepsi innocent passage menekankan pertimbangan tentang pentingnya pemeliharaan kepentingan negara pantai karena, menurut hukum internasional yang ada waktu itu ( Geneva Convention, 1958), pelayaran kapal-kapal asing melalui laut wilayah harus innocent terhadap negara pantai. Misalnya, kapal selam harus berlayar di permukaan air. Sebaliknya, konsepsi free transit menekankan perlunya kapal, termasuk kapal perang dan kapal selam untuk secara

9 bebas dapat melewati perairan selat itu. Jika konsepsi free transit diterima, kapal selam, misalnya, akan dapat berlayar melalui selat itu di bawah permukaan air, sedangkan kapal terbang militer akan dapat terbang dengan bebas di atas selat-selat tersebut. Perumusan Indonesia tersebut dapat dipertahankan dalam draf yang dibuat oleh Kelompok Asia Afrika. Lalu, setelah perundingan-perundingan yang cukup lama dengan negara-negara Amerika Latin, rumusan itu pun dapat dipertahankan dalam list of issues yang dibuat oleh negara-negara yang sedang berkembang (Kelompok 77). Perumusan itu kemudian secara resmi diajukan kepada Sub-Komite II yang disponsori oleh 56 negara (selain Singapura), termasuk RRC dan Rumania yang menyatakan dukungan atas list of issues yang dibuat oleh Kelompok 77 tersebut. Perumusan seperti yang dikehendaki oleh Indonesia-Malaysia dan disokong oleh kira-kira 2/3 anggota United of Nations Seabed Committee. Rumusan yang berbunyi straits: used for international navigation, innocent passage, ternyata mendapat tantangan yang sangat hebat dari Amerika Serikat, Uni Soviet (saat itu), dan negara-negara Komunis Eropa Timur lainnya yang menghendaki diterimanya konsepsi international straits dan free transit. Setelah perdebatanperdebatan yang cukup alot dan konsultasi-konsultasi yang lama, United of Nations Seabed Committee, akhirnya berhasil mencapai perumusan kompromi yang akan dimasukkan ke dalam Konferensi Hukum Laut tentang masalah ini, yaitu poin 4 yang bernama straits used for international navigation dengan subpoin innocent passage dan other related matters including the question of the right of transit. Karena itu, posisi negara-negara selat dalam membela prisip-prinsip innocent passage melalui selat-selat yang dipakai bagi pelayaran internasional pada mulanya cukup kuat karena mendapat dukungan yang cukup dari negara-negara sedang berkembang. Posisi itu mendapat dukungan yang penting pula dari Organisasi Persatuan Afrika (OPA) yang dalam Deklarasi Addis Adeba (1973) menyatakan bahwa the African States, in view of the important of international navigation through straits udes as such, endorse the regim of innocent passage in principle but recognice the need for futher precision of the regim. Tetapi, dalam Konferensi Hukum Laut, negara-negara maritim besar, khususnya Amerika Serikat dan Uni Soviet melancarkan kampanye besar-besaran di seluruh dunia. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak menerima konferensi yang tidak mengakui rezim pelayaran free transit atau unimpeded transit passage melalui selat-selat yang dipakai bagi pelayaran internasional. Dukungan kepada prinsip-prinsip innocent passage yang dipegang teguh oleh negara-negara selat mulai merosot. Masalah ini ditambah lagi oleh semakin berkurangnya perhatian di kalangan negara-negara Afrika dan Amerika Latin untuk mendukung konsepsi innocent passage melalui selat tersebut secara konsekuen. Negara-negara ini, pada dasarnya, bukanlah negara-negara yang mempunyai selat-selat terpenting yang dipakai bagi pelayaran internasional, kecuali beberapa negara yang kebetulan terletak di pinggir selat-selat tersebut (misalnya, Maroko). Selain itu, di kalangan negara-negara selat sendiri terdapat perbedaan-perbedaan pikiran dan praktek tentang masalah ini. Karena itu, dalam Konferensi Hukum Laut terdapat tendensi yang cukup kuat untuk mencarikan rezim pelayaran tersendiri dan objektif melalui selat, yaitu rezim pelayaran yang bukan innocent passage atau free transit, tetapi rezim kompromi yang di satu pihak mengakui soverenitas dan wewenang-wewenang tertentu negara-negara selat atas selat mereka, di lain pihak, memberi jaminan tidak akan diganggunya pelayaran transit yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara internasional dalam Konvensi. Rezim kompromi itu merupakan konsesi yang sangat besar dari negara-negara selat, khususnya Indonesia, kepada negara-negara maritim besar. Pasal 16 ayat 4 Konvensi Geneva 1958 mengakui dan menetapkan bahwa rezim pelayaran melalui selat-selat yang dipakai bagi pelayaran internasional adalah rezim innocent passage. Ketentuannya, innocent passage itu tidak boleh di suspended (perbedaan dengan rezim innocent passage melalui laut wilayah yang biasa adalah dalam laut wilayah yang biasa innocent passage tersebut boleh di suspended karena alasan-alasan keamanan dan lain-lain.penyelesaian dalam Konferensi Hukum Laut Setelah berbagai pertemuan, perundingan, dan konsultasi berjalan selama beberapa tahun antara negara-negara selat dan negara-negara maritim, akhirnya, tercapailah rezim kompromi dari kedua pandangan tersebut. Salah satu rezim yang dimaksud adalah rezim transit passage sebagaimana yang dirumuskan dalam Konferensi Hukum Laut 1982, pasal Menurut rezim kompromi ini, kedaulatan wilayah ( sovereignty ) negara pantai atas wilayah lautnya di selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional, termasuk kewenangan atas air, udara, dasar laut dan tanahnya diakui secara resmi, dan bahwa rezim transit passage yang akan diberlakukan bagi selat-selat yang digunakan bagi pelayaran internasional itu tidak akan mempengaruhi pelaksanaan soverenitas atau yurisdiksi negara pantai atas perairan tersebut, baik atas udara maupun dasar lautnya (pasal 34 ayat 1 UNCLOS, 1982). Ketentuan ini sangat penting artinya karena dengan demikian, sepanjang yang berhubungan dengan Indonesia, hal tersebut merupakan pengakuan atas soverenitas (kedaulatan) wilayah Indonesia atas Selat Malaka dan Selat Singapura yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Sebaliknya, di selat yang dipakai bagi pelayaran internasional tersebut (Selat Malaka-Singapura), rezim pelayaran yang diberlakukan bukanlah rezim innocent passage seperti ketetapan bagi laut Indonesia lainnya, tetapi rezim transit passage, yaitu rezim pelayaran yang memberikan kebebasan untuk lewat bagi kapal-kapal pengangkut dan kapal-kapal terbang asing untuk berkomunikasi dari bagian laut bebas (Zone Ekonomi Eksklusif, ZEE) ke laut bebas ZEE lainnya (pasal 38 ayat 2 UNCLOS). Kebebasan yang diakui itu hanyalah kebebasan untuk lewat dengan disertai syarat-syarat

Internasionalisasi Selat Malaka

Internasionalisasi Selat Malaka Internasionalisasi Selat Malaka 20 June 2016 Edy Burmansyah Harian Indoprogress http://indoprogress.com/2016/06/internasionalisasi-selat-malaka/ BERAKHIRNYA Perang Dingin telah menciptakan ketidakpastian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN BARAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi Hukum Internasional Kl Kelautan Riza Rahman Hakim, S.Pi Hukum laut mulai dikenal semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT KONVENSI MENGENAI PENGAMBILAN IKAN SERTA HASIL LAUT DAN PEMBINAAN

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) PARA PIHAK DALAM KONVENSI MEMPERHATIKAN arti penting yang tercantum dalam beberapa konvensi mengenai pemberian

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa berhubung dengan akan diselenggarakannya Sidang ke III Konperensi Hukum Laut di Geneva, Swiss, pada,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009 Sayidiman Suryohadiprojo Jakarta, 24 Juni 2009 Pada tanggal 23 Juni 2009 di Markas Besar Legiun Veteran RI diselenggarakan ceramah tentang masalah Ambalat. Yang bertindak sebagai pembicara adalah Laksma

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1983 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN MALAYSIA TENTANG REJIM HUKUM NEGARA NUSANTARA DAN HAK-HAK MALAYSIA DI LAUT TERITORIAL DAN

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1 ABSTRAK KAJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH INDONESIA, MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN DI SELAT MALAKA Selat Malaka merupakan jalur pelayaran yang masuk dalam wilayah teritorial

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT

Lebih terperinci

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Oleh : Ida Kurnia * Abstrak Sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982, Indonesia telah mempunyai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.10, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA AGREEMENT. Pengesahan. RI - Republik Singapura. Timur Selat Singapura. Wilayah. Laut. Garis Batas. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 K-158 Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK

PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencemaran laut adalah perubahan pada lingkungan laut yang terjadi akibat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencemaran laut adalah perubahan pada lingkungan laut yang terjadi akibat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencemaran laut adalah perubahan pada lingkungan laut yang terjadi akibat dimasukkannya oleh manusia secara langsung ataupun tidak langsung bahanbahan atau energi

Lebih terperinci

PRINSIP PENCEGAHAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PRINSIP KEBEBASAN BERLAYAR DI WILAYAH SELAT

PRINSIP PENCEGAHAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PRINSIP KEBEBASAN BERLAYAR DI WILAYAH SELAT Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal No. 58, Th. XIV (Desember, 2012), pp. 377-389. PRINSIP PENCEGAHAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PRINSIP KEBEBASAN BERLAYAR DI WILAYAH SELAT INTERNATIONAL LAW OF THE SEA REGARDING

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

K98 BERLAKUNYA DASAR-DASAR DARI HAK UNTUK BERORGANISASI DAN UNTUK BERUNDING BERSAMA

K98 BERLAKUNYA DASAR-DASAR DARI HAK UNTUK BERORGANISASI DAN UNTUK BERUNDING BERSAMA K98 BERLAKUNYA DASAR-DASAR DARI HAK UNTUK BERORGANISASI DAN UNTUK BERUNDING BERSAMA 1 K 98 - Berlakunya Dasar-dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama 2 Pengantar Organisasi Perburuhan

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR PERENCANAAN KAWASAN PESISIR Hukum Laut Internasional & Indonesia Aditianata Page 1 PENGERTIAN HUKUM LAUT : Bagian dari hukum internasional yang berisi normanorma tentang : (1) pembatasan wilayah laut;

Lebih terperinci

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Disusun oleh: Adrianus Terry Febriken 11010111140685 Styo Kurniadi 11010111150006 Riyanto 11010111150007 Wahyu Ardiansyah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain. SELAT NAVIGASI Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Dalam arti geografis:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON PRINCIPLES GOVERNING THE ACTIVITIES OF STATES IN THE EXPLORATION AND USE OF OUTER SPACE, INCLUDING THE MOON AND OTHER CELESTIAL

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647); Lampiran 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun terakhir menjadi semakin buruk. Penyebabnya adalah pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) yang semakin

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM MUHAMMAD NAFIS 140462201067 PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM Translated by Muhammad Nafis Task 8 Part 2 Satu hal yang menarik dari program politik luar negeri Jokowi adalah pemasukan Samudera Hindia sebagai

Lebih terperinci

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 1, Tambahan Lem

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 1, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 272, 2015 KEMENHUB. Keselamatan Pelayaran. Standar. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 20 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR KESELAMATAN PELAYARAN DENGAN

Lebih terperinci

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Di awal tahun 2005, bangsa ini gempar oleh satu kata Ambalat. Media massa memberitakan kekisruhan yang terjadi di Laut Sulawesi perihal sengketa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 37/2002, HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN *39678 PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 185 CONCERNING REVISING THE SEAFARERS IDENTITY DOCUMENTS CONVENTION, 1958 (KONVENSI ILO NO. 185 MENGENAI KONVENSI PERUBAHAN DOKUMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut

Lebih terperinci

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi telah menjadi fenomena yang terjadi secara global yang cukup mempengaruhi tatanan dunia hubungan internasional dewasa ini. Globalisasi merupakan proses

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

ANTARA PIRACY DAN ARMED ROBBERY DI LAUT (Tinjauan Singkat Keamanan di Selat Malaka)

ANTARA PIRACY DAN ARMED ROBBERY DI LAUT (Tinjauan Singkat Keamanan di Selat Malaka) ANTARA PIRACY DAN ARMED ROBBERY DI LAUT (Tinjauan Singkat Keamanan di Selat Malaka) Oleh: BUNTORO Dosen Fakultas Hukum UIEU buntoro_kresno@yahoo.com ABSTRAK Selat Malaka merupakan Selat yang lazim digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup bersama dengan berbagai jenis benda tidak

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup bersama dengan berbagai jenis benda tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh makhluk hidup bersama dengan berbagai jenis benda tidak hidup lainnya. 1 Konsep lingkungan hidup mengarahkan kita kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

Undang Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang : Landas Kontinen Indonesia

Undang Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang : Landas Kontinen Indonesia Undang Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang : Landas Kontinen Indonesia Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 1 TAHUN 1973 (1/1973) Tanggal : 6 JANUARI 1973 (JAKARTA) Sumber : LN 1973/1; TLN NO. 2994 Menimbang

Lebih terperinci

BAB I Pengertian Pencemaran Lingkungan Laut

BAB I Pengertian Pencemaran Lingkungan Laut BAB I Pengertian Pencemaran Lingkungan Laut Pengertian lingkungan laut ( marine environment) di dapat dari Agenda 21 yang merupakan salah satu dokumen penting hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992 yang

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa dalam rangka persidangan Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa ke XXX di New York, dipandang perlu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya perang dingin telah membawa kecenderungan menyusutnya

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya perang dingin telah membawa kecenderungan menyusutnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berakhirnya perang dingin telah membawa kecenderungan menyusutnya dimensi militer dan terangkatnya dimensi ekonomi. Dua gejala penting yang dapat langsung dirasakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bedasarkan pembahasan dari bab-bab sebelumnya, maka penulis mencoba menarik kesimpulan, yaitu: Pertama, telah terjadinya pelanggaran klaim kedaulatan wilayah yang dilakukan

Lebih terperinci

K69 SERTIFIKASI BAGI JURU MASAK DI KAPAL

K69 SERTIFIKASI BAGI JURU MASAK DI KAPAL K69 SERTIFIKASI BAGI JURU MASAK DI KAPAL 1 K-69 Sertifikasi Bagi Juru Masak Di Kapal 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA UPAYA JEPANG DALAM MENJAGA STABILITAS KEAMANAN KAWASAN ASIA TENGGARA RESUME SKRIPSI Marsianaa Marnitta Saga 151040008 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga,

Lebih terperinci

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang. BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik

Lebih terperinci

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA.

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 36 TAHUN 2002 (36/2002) TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. amanat Undang-Undang No.17 Tahun 2008 menjadi suatu yang sangat strategis

I. PENDAHULUAN. amanat Undang-Undang No.17 Tahun 2008 menjadi suatu yang sangat strategis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelayaran merupakan bagian dari sarana transportasi laut sebagaimana amanat Undang-Undang No.17 Tahun 2008 menjadi suatu yang sangat strategis bagi wawasan nasional serta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN MARITIME LABOUR CONVENTION, 2006 (KONVENSI KETENAGAKERJAAN MARITIM, 2006)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN MARITIME LABOUR CONVENTION, 2006 (KONVENSI KETENAGAKERJAAN MARITIM, 2006) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN MARITIME LABOUR CONVENTION, 2006 (KONVENSI KETENAGAKERJAAN MARITIM, 2006) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Illegal fishing merupakan masalah klasik yang sering dihadapi oleh negara yang memiliki banyak pantai karena masalah tersebut sudah ada sejak dulu. Namun hingga

Lebih terperinci

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82)

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82) PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82) Mufti Fathonah Muvariz Prodi Teknik Informatika Konsentrasi Teknik Geomatika Course Outline Perairan Pedalaman Laut Teritorial Zona

Lebih terperinci

HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN. Dewi Triwahyuni

HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN. Dewi Triwahyuni HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN Dewi Triwahyuni International Relation Department, UNIKOM 2013 Backgroud History 1950an 1980an Hubungan internasional di Asia Tenggara pada

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci