I. PENDAHULUAN 1.1. UMUM. 1 Page. kata

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. PENDAHULUAN 1.1. UMUM. 1 Page. kata"

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN kata 1.1. UMUM encana Strategis (Renstra) Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum disusun sesuai dengan Undang- R Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasonal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun , Peraturan Preside Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun , dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, yang mengamanatkan bahwa setiap Kementerian/Lembaga diwajibkan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang selanjutnya disebut Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra K/L), yang merupakan dokumen perencanaan kementerian/lembaga untuk periode 5 (lima) tahun. Renstra memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian/lembaga yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif. Dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 02/PRT/M/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum Tahun maka Rencana Strategis Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum memiliki pijakan yang kuat. Memasuki tahapan pelaksanaan pembangunan jangka panjang kedua ( ), tatanan pembinaan konstruksi telah memiliki landasan hukum yang kuat dengan ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang tersebut Kementerian Negara mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara. Sesuai Undang-Undang tersebut Kementerian Pekerjaan Umum termasuk ke dalam kelompok kementerian dalam rangka menangani urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Terkait dengan tugas dan fungsi tersebut, selanjutnya di dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Bagian III Pembagian Urusan Pemerintahan Pasal yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, telah ditetapkan secara lebih spesifik tentang mandat yang diberikan kepada Kementerian Pekerjaan Umum yang terbagi ke dalam dua bidang utama 1 Page

2 yaitu urusan bidang Pekerjaan Umum dan urusan bidang Penataan Ruang yang selanjutnya dibagi lagi ke dalam sub-sub bidang urusan. Dalam Pasal 2 PP 38/2000 di atas, urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum terdiri dari 10 sub bidang termasuk di dalamnya sub bidang jasa konstruksi. Sebagai tindak lanjut dari UU 39/2008 tersebut selanjutnya dikeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara yang secara tegas disebutkan bahwa Presiden membentuk Kementerian Pekerjaan Umum pada urutan nomor 18. Untuk melengkapi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 tersebut, selanjutnya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara yang di dalam Pasal 393 dinyatakan bahwa Susunan organisasi eselon I Kementerian Pekerjaan Umum terdiri atas: a. Wakil Menteri Pekerjaan Umum; b. Sekretariat Jenderal; c. Direktorat Jenderal Penataan Ruang; d. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air; e. Direktorat Jenderal Bina Marga; f. Direktorat Jenderal Cipta Karya; g. Inspektorat Jenderal; h. Badan Pembinaan Konstruksi; i. Badan Penelitian dan Pengembangan; j. Staf Ahli Bidang Keterpaduan Pembangunan; k. Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Investasi; l. Staf Ahli Bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat; m. Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga; dan n. Staf Ahli Bidang Pengembangan Keahlian dan Tenaga Fungsional. Selanjutnya, di dalam Pasal 407 disebutkan bahwa Badan Pembinaan Konstruksi mempunyai tugas melaksanakan pembinaan konstruksi, sedangkan di dalam Pasal 408 disebutkan bahwa alam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407, Badan Pembinaan Konstruksi menyelenggarakan fungsi: a. penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program pembinaan konstruksi dan investasi di bidang infrastruktur; b. pelaksanaan pembinaan konstruksi dan investasi di bidang infrastruktur; c. pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pembinaan konstruksi dan investasi di bidang infrastruktur; dan 2 Page

3 d. pelaksanaan administrasi Badan Pembinaan Konstruksi. Penyusunan Renstra Badan Pembinaan Konstruksi tahun ini, di samping berdasarkan pada tugas dan fungsi Badan, juga berlandaskan pada pemetaan kondisi lingkungan serta isu-isu strategis yang terus berkembang serta mengacu pada arah kebijakan yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Susunan Renstra Badan Pembinaan Konstruksi dimulai dengan pemaparan tentang kondisi dan tantangan penyelenggaraan subbidang konstruksi; visi, misi, tujuan dan sasaran Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum; strategi penyelenggaraan pembinaan konstruksi; serta program dan kegiatan. Renstra Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum ini selanjutnya akan menjadi acuan dalam penyusunan rencana strategis dan rencana aksi (action plan) masing-masing unit eselon II (Pusat Pembinaan) dalam lingkup Badan Pembinaan Konstruksi serta Rencana Kerja dan Anggaran Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2010, 2011, 2112, 2013, dan MANDAT, TUGAS, FUNGSI, DAN KEWENANGAN enyusul disahkannya UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, pada tahun 2000 diberlakukan tiga paket Peraturan Pemerintah yang M merupakan turunan dari UU No. 18/1999 tersebut, yaitu: PP No. 4/2010 tentang Perubahan atas PP 28/2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi; PP 59/2010 tentang Perubahan atas PP No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi; dan PP No. 30/2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi. Berdasarkan ketiga PP tersebut, Menteri yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang jasa konstruksi. Selanjutnya, dalam Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Bagian III Pembagian Urusan Pemerintahan Pasal yang dijabarkan dalam PP No. 38/2000 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 2 ayat (4), disebutkan bahwa urusan pemerintahan sub bidang pembinaan jasa konstruksi termasuk dalam urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum. Dengan demikian, Kementerian Pekerjaan Umum secara konstitusional adalah institusi yang bertanggung jawab dalam pembinaan jasa konstruksi. 3 Page

4 Terkait dengan pembinaan sumber daya manusia konstruksi, Badan Pembinaan Konstruksi juga mendapat amanat UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 18 agar tenaga kerja konstruksi mendapatkan pelatihan dan pengakuan kompetensi 1. Selain itu UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 61 mengamanatkan agar pengakuan kompetensi terhadap para tenaga kerja konstruksi dibuktikan dengan menerbitkan sertifikat kompetensi 2. Dalam rangka melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan di atas, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara telah dibentuk badan baru di lingkungan Kementerian PU dengan nama Badan Pembinaan Konstruksi yang dipimpin oleh seorang Kepala Badan setingkat Eselon I dan dilengkapi dengan struktur organisasi yang terdiri atas Sekretariat Badan, Pusat-pusat Pembinaan Konstruksi, serta dilengkapi dengan Balai-Balai sebagai unit pelaksana teknis. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh Kementerian Pekerjaan Umum dengan mengusulkan perubahan organisasi kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi yang direspon oleh Menpan dan Reformasi Birokrasi dengan mengeluarkan Surat No.: B/1509/M.PAN-RB/7/2010 tgl 5 Juli 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PU. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2010 Tanggal 17 Juni 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PU, Badan Pembinaan Konstruksi (BPKons) mempunyai tugas melaksanakan pembinaan konstruksi. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Badan Pembinaan Konstruksi menyelenggarakan fungsi : a. penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program pembinaan konstruksi dan investasi di bidang infrastruktrur meliputi usaha dan kelembagaan, penyelenggaraan konstruksi, sumber daya investasi serta kompetensi dan pelatihan konstruksi; b. pelaksanaan pembinaan konstruksi meliputi usaha dan kelembagaan, penyelenggaraan konstruksi, sumber daya investasi serta kompetensi dan pelatihan konstruksi; c. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan pembinaan konstruksi dan investasi di bidang infrastruktur meliputi usaha dan kelembagaan, penyelenggaraan konstruksi, sumber daya investasi serta kompetensi dan pelatihan konstruksi; dan d. pelaksanaan administrasi Badan Pembinaan Konstruksi. 1 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 18 ayat (1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja. 2 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 61 Ayat (3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. 4 Page

5 1.3. PERAN JASA KONSTRUKSI onstruksi secara umum dipahami sebagai segala bentuk pembuatan/pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, bendung, jaringan K irigasi, gedung, bandara, pelabuhan, instalasi telekomunikasi, industri proses, dan seterusnya) serta pelaksanaan pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur. Namun demikian, konstruksi dapat juga dipahami berdasarkan kerangka perspektif dalam konteks jasa, industri, sektor atau kluster. Menurut UU Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999, jasa konstruksi adalah jasa perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan suatu pekerjaan konstruksi. Dalam terminologi teknis Produk Domestik Bruto (PDB) yang dikeluarkan oleh BPS, Konstruksi adalah suatu kegiatan yang hasil akhirnya berupa bangunan/konstruksi yang menyatu dengan lahan tempat kedudukannya, baik digunakan sebagai tempat tinggal atau sarana kegiatan lainnya. Hasil kegiatan antara lain: gedung, jalan, jembatan, rel dan jembatan kereta api, terowongan, bangunan air dan drainase, bangunan sanitasi, landasan pesawat terbang, dermaga, bangunan pembangkit listrik, transmisi, distribusi dan bangunan jaringan komunikasi. Kegiatan konstruksi meliputi perencanaan, persiapan, pembuatan, pembongkaran dan perbaikan bangunan. Jasa konstruksi adalah kluster industri (lapangan usaha) yang meliputi infrastruktur dan bangunan gedung seperti ditunjukkan dalam Gambar Page

6 Gambar 1.1 Kluster infrastruktur, jasa konstruksi, dan industri konstruksi Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Selain berperan mendukung berbagai bidang pembangunan, jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu, jasa konstruksi nasional diharapkan semakin mampu mengembangkan perannya dalam pembangunan nasional melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. 6 Page

7 Mengingat peran dan posisi jasa konstruksi yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional maka jasa konstruksi perlu dibina dan dikembangkan dengan meningkatkan efisiensi dan daya saingnya melalui tenaga kerja yang profesional dan penciptaan iklim usaha yang dapat menumbuhkembangkan usaha jasa konstruksi. Salah satu perangkat yang digunakan untuk mengembangkan jasa konstruksi adalah produk pengaturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI B erdasarkan amanat UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, PP No. 30/2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi, dan PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pemerintah dan pemerintahan daerah berkewajiban untuk menyelenggarakan pembinaan jasa konstruksi dengan anatomi pembinaan sebagai berikut. 1. Arah Pembinaan Jasa Konstruksi Arah pembinaan jasa konstruksi nasional meliputi: 1) restrukturisasi usaha jasa konstruksi; 2) profesionalisme penyedia jasa konstruksi; dan 3) kemandirian masyarakat jasa konstruksi. Restrukturisasi usaha dilakukan untuk mengatasi adanya struktur usaha yang tidak seimbang dan kurang kondusif dan kebutuhan membentuk struktur usaha konstruksi yang kokoh. Restrukturisasi ditujukan untuk membentuk komposisi yang seimbang antara perusahaan besar, menengah dan kecil serta perusahaan umum, spesialis, dan keterampilan tertentu. Peningkatan profesionalisme penyedia jasa konstruksi baik perorangan maupun badan usaha untuk menjadikan jasa konstruksi semakin berdaya saing tinggi. Peningkatan kemandirian masyarakat jasa konstruksi lebih ditujukan kepada kemampuan mengurus dirinya sendiri, peran aktif seluruh unsur masyarakat jasa konstruksi dan keinginan kuat untuk maju bersama, serta mendahulukan kepentingan bersama. Pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan dilakukan dalam kerangka arah pembinaan tersebut. 7 Page

8 2. Lingkup Pembinaan Pembinaan adalah kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bagi penyedia jasa, pengguna jasa, dan masyarakat. 3 Pengaturan dilakukan dengan menetapkan kebijakan pengembangan jasa konstruksi, menerbitkan dan penyebarluasan peraturan perundang-undangan, norma, standar, pedoman dan kriteria jasa konstruksi serta peraturan perundangan yang terkait dengan usaha jasa konstruksi dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pemberdayaan dilakukan dengan penetapan kebijakan tentang (1) pengembangan sumber daya manusia di bidang jasa konstruksi; (2) pengembangan usaha termasuk upaya mendorong kemitraan fungsional yang sinergis; (3) dukungan lembaga keuangan untuk memberikan prioritas, pelayanan, kemudahan,dan akses dalam memperoleh pendanaan; (4) dukungan lembaga pertanggungan untuk memberikan prioritas, pelayanan, kemudahan, dan akses dalam memperoleh jaminan pertanggungan risiko; (5) peningkatan kemampuan teknologi, sistem informasi serta penelitian dan pengembangan teknologi. Pemberdayaan ini hanya khusus dilakukan kepada jasa konstruksi nasional. Jasa konstruksi nasional yang dimaksud adalah layanan perencanaan, pelaksanaan atau pengawasan yang disediakan oleh orang perorangan warga negara Indonesia atau badan usaha nasional yang dimiliki seluruhnya oleh warga negara Indonesia. Pengawasan dilakukan terhadap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk menjamin terwujudnya ketertiban jasa konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan dilaksanakan untuk menjamin tertib usaha, tertib penyelenggaraan, tertib pemanfaatan jasa konstruksi mengenai : 1) Persyaratan perizinan; 2) Ketentuan keteknikan pekerjaan konstruksi; 3) Ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja; 4) Ketentuan keselamatan umum; 5) Ketentuan ketenagakerjaan; 6) Ketentuan lingkungan; 7) Ketentuan tata ruang; 8) Ketentuan tata bangunan; 9) Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan jasa konstruksi. 3 Sesuai UU 18/1999 Pasal 35 ayat (1) Pemerintah melakukan pembinaan jasa konstruksi dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. 8 Page

9 3. Azas, Maksud dan Tujuan Pembinaan Jasa Konstruksi Pengaturan jasa konstruksi nasional berazaskan pada kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan, dan keselamatan. Azas kejujuran dan keadilan mengandung pengertian bahwa diperlukan tertib dalam penyelenggaraan konstruksi serta bertanggung jawab memenuhi berbagai kewajiban guna memperoleh haknya. Azas manfaat mengandung pengertian bahwa segala kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip-prinsip profesionalisme dalam kemampuan dan tanggungjawab, efisiensi dan efektifitas yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam menyelenggarakan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional. Azas keserasian mengandung pengertian harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan konstruksi yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat tinggi. Azas keseimbangan mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya. Pengguna jasa dalam menetapkan penyedia jasa wajib mematuhi azas ini untuk menjamin terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai dan disisi lain dapat memberikan peluang pemerataan yang proposional dalam kesempatan kerja pada penyedia jasa. Azas kemandirian mengandung pengertian tumbuh dan berkembangnya daya saing jasa konstruksi nasional. Azas keterbukaan mengandung pengertian ketersediaan informasi yang dapat diakses sehingga memberikan peluang bagi para pihak, terwujudnya transparasi dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat melaksanakan kewajibannya secara optimal dan kepastian akan hak dan untuk memperolehnya serta memungkinkan adanya koreksi sehingga dapat dihindari adanya berbagai kekurangan dan penyimpangan. Azas kemitraan mengandung pengertian hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka, bersifat timbal balik dan sinergis. Azas keamanan dan keselamatan mengandung pengertian terpenuhinya tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja, serta pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi dengan tetap memperhatikan kepentingan umum. Tujuan pengaturan jasa konstruksi nasional adalah (i) memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha konstruksi yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas; (ii) menjadikan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi tertib sehingga menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, dan (iii) meningkatkan kepatuhan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta (iv) meningkatkan peran serta masyarakat di bidang jasa konstruksi. Tujuan pembinaan terhadap penyedia jasa konstruksi nasional adalah (i) menumbuhkan pemahaman dan kesadaran penyedia jasa konstruksi akan peran strategisnya dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang membawa konsekuensi timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi; (ii) mendorong terwujudnya penyedia jasa konstruksi agar dapat meningkatkan kemampuannya, baik secara langsung maupun melalui asosiasi serta mampu memenuhi hak dan kewajibannya; dan (iii) menjamin terpenuhinya kewajiban semua pemangku kepentingan usaha 9 Page

10 jasa konstruksi berdasarkan ketentuan yang berlaku sehingga mendorong terwujudnya tertib usaha jasa konstruksi maupun tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Tujuan pembinaan terhadap pengguna jasa konstruksi adalah (i) menumbuhkan pemahaman dan kesadaran akan tugas dan fungsinya serta hak dan kewajibannya dalam pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; dan (ii) menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban berdasarkan ketentuan yang berlaku sehingga mendorong terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Selaras dengan pembinaan untuk penyedia dan pengguna jasa konstruksi, tujuan pembinaan terhadap masyarakat adalah (i) menumbuhkan pemahaman akan peran strategis jasa konstruksi dalam pelaksanaan pembangunan nasional; dan (ii) menumbuhkan kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam mewujudkan tertib usaha jasa konstruksi, tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dan dalam memanfaatkan hasil pekerjaan konstruksi. 4. Sasaran Pembinaan Jasa Konstruksi Sasaran pembinaan jasa konstruksi nasional adalah terwujudnya: (1) pemahaman dan kesadaran akan tugas dan fungsi serta hak dan kewajiban pengguna, penyedia dan masyarakat jasa konstruksi nasional, (2) tertib usaha jasa konstruksi, tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan tertib pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi, (3) ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi untuk menjamin kesetaraan dalam hak dan kewajiban antara pengguna dan penyedia jasa, dan (4) kemitraan yang sinergis antar stakeholders jasa konstruksi nasional yang mencakup Pemerintah, Legislatif, Penegak Hukum, Penyedia Jasa, Pemasok barang dan jasa mitra usaha jasa konstruksi, Asosiasi Profesi dan Asosiasi Badan Usaha, Pakar dan Akademisi, Lembaga Keuangan, serta unsur-unsur lainnya Kerangka Pembinaan Jasa Konstruksi Kerangka utama pembinaan jasa konstruksi terdiri dari (1) kerangka yuridis yang meliputi undang-undang dan peraturan-peraturan terkait pembinaan jasa konstruksi, (2) kerangka kebijakan yang meliputi kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan dan diimplementasikan oleh pemerintah dalam rangka pembinaan jasa konstruksi, dan (3) kerangka institusional yang meliputi bentuk dan struktur kelembagaan yang telah ditetapkan untuk melaksanakan pembinaan jasa konstruksi oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan LPJK. 6. Pengelolaan Pembinaan Jasa Konstruksi 1) Pemerintah Pusat Pembinaan oleh Pemerintah Pusat berupa penetapan kebijakan nasional untuk pengembangan dan pengaturan jasa konstruksi serta penyebarluasannya, pemberdayaan untuk pengembangan SDM dan usaha, dukungan lembaga keuangan dan pertanggungan serta 4 Sejalan dengan amanat UU 18/1999 Pasal 3 mengenai tujuan pengaturan jasa konstruksi. 10 Page

11 pengembangan teknologi, dan pengawasan terhadap ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan jasa konstruksi: keteknikan, keselamatan, tata bangunan, dan lingkungannya, serta syarat perizinan Usaha. 2) Pemerintah Provinsi Pembinaan oleh Pemerintah Provinsi berupa implementasi pengembangan SDM, implementasi kemampuan teknologi, implementasi pengembangan sistem informasi, penerapan hasil-hasil penelitian dan pengembangan jasa konstruksi serta pengawasan tata bangunan dan lingkungan yang bersifat lintas kabupaten/kota dan pelaksanaan atas kebijakan nasional dan penyebarluasannya, melaksanakan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan, monitoring dan evaluasi perizinan usaha jasa konstruksi serta melaksanakan pengawasan sesuai kewenangannya. 3) Pemerintah Kabupaten/Kota Pembinaan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota berupa pelaksanaan atas kebijakan nasional dan penyebarluasannya, melaksanakan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan, menerbitkan perizinan usaha jasa konstruksi serta melaksanakan pengawasan sesuai kewenangannya. 4) Pembinaan oleh Masyarakat Jasa Konstruksi: Pembinaan oleh masyarakat jasa konstruksi berupa pembinaan oleh Masyarakat Jasa Konstruksi yang dalam mekanismenya dilakukan oleh Lembaga yang anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat jasa konstruksi yang mewakili asosiasi perusahaan, asosiasi profesi, perguruan tinggi, pakar dan pemerintah. 5 5 Lihat juga pengaturan mengenai pembinaan jasa konstruksi ini dalam PP 38/2007 Pasal 2 ayat (4) (6). 11 Page

12 II. KONDISI DAN TANTANGAN 2.1. KONDISI UMUM mplementasi kebijakan pembinaan jasa konstruksi selama 8 tahun terakhir, dalam konteks mikro (tata kelola kepemerintahan yang I baik), konteks messo (usaha dan pengusahaan konstruksi), serta konteks makro (kerjasama, persaingan global dan liberalisasi jasa konstruksi) belum mencapai sasaran sebagaimana diamanatkan dalam UU 18/1999. Dalam konteks makro, sektor konstruksi nasional berhasil menempati urutan ke enam dari sembilan sektor utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pada tahun 2009, PDB yang disumbangkan oleh sektor konstruksi tercatat sebesar Rp. 555 trilyun, yang merupakan 9,9% dari PDB nasional. Sementara itu, tenaga kerja yang dapat diserap pada tahun 2009 tercatat berjumlah 5,439 juta orang atau 5,3% dari tenaga kerja nasional dengan tingkat produktivitas 13 orang per milyar rupiah (atas dasar harga berlaku). Tabel 2.1 Kontribusi Sektor-Sektor Perekonomian terhadap PDB ( ) Lapangan Usaha * Rp x milyar % Rp x milyar % Rp x milyar % Rp x milyar % Rp x milyar % Rp x milyar % 1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan 329, , , , , , Pertambangan & Penggalian 205, , , , , , Industri Pengolahan 644, , , ,068, ,380, ,480, Listrik, Gas & Air Bersih 23, , , , , , Konstruksi 151, , , , , , Perdagangan, Hotel & Restoran 368, , , , , , Pengangkutan dan Komunikasi 142, , , , , , Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan 194, , , , , , Jasa-jasa 236, , , , , , Produk Domestik Bruto 2,295, ,774, ,339, ,949, ,951, ,613,441.7 Sumber: BPS, 2010 (diolah) Sampai dengan tahun 2009, tercatat sejumlah badan usaha konstruksi. Peningkatan jumlah badan usaha tersebut ternyata belum diikuti dengan peningkatan kualifikasi dan kinerjanya. Hal ini tercermin pada mutu produk, ketepatan waktu pelaksanaan, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia, modal, serta teknologi dalam penyelenggaraan jasa konstruksi yang belum sesuai dengan yang diharapkan. 12 Page

13 Tabel 2.2 Data Badan Usaha Konstruksi Tahun 2009 No. KUALIFIKASI KONSULTAN KONTRAKTOR PERUSAHAAN % PERUSAHAAN % 1 BESAR , MENENGAH 1, , KECIL 4, , TOTAL 6, , Sumber: LPJKN, November 2009 (diolah) Kondisi tersebut di antaranya disebabkan oleh persyaratan usaha serta persyaratan kualifikasi tenaga kerja terampil dan ahli yang belum diatur sebagaimana mestinya untuk mewujudkan badan usaha konstruksi yang profesional dan dapat diandalkan. Dengan tingkat kualifikasi dan kinerja tersebut, pada umumnya pangsa pasar pekerjaan konstruksi yang berteknologi tinggi belum sepenuhnya dapat dikuasai oleh usaha jasa konstruksi nasional. Dari seluruh pangsa pasar jasa konstruksi Indonesia (100%), hanya 40% yang dikuasai oleh pelaku jasa konstruksi nasional yang jumlahnya 90 %, sedangkan 60% lainnya dikuasai oleh pelaku jasa konstruksi asing yang jumlahnya hanya 10 %. Kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi masih perlu ditingkatkan, termasuk kepatuhan para pihak, yakni pengguna jasa dan penyedia jasa, dalam pemenuhan kewajibannya serta pemenuhan terhadap ketentuan yang terkait dengan aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan, agar dapat mewujudkan bangunan yang berkualitas dan mampu berfungsi sebagaimana yang direncanakan. Bidang jasa konstruksi saat ini masih menghadapi berbagai permasalahan seputar lemahnya penguasaan teknologi, sulitnya akses ke permodalan, serta masih kerap terjadi kegagalan bangunan, kegagalan konstruksi, dan mutu konstruksi yang belum sesuai standar. Sementara itu, Undang-undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi masih dipandang secara sempit sebagai undang-undang bidang pekerjaan umum. Sehingga, pembinaan jasa konstruksi lebih dianggap sebagai bagian dari tanggungjawab Kementerian Pekerjaan Umum dan bukan menjadi tanggungjawab semua instansi terkait. Asosiasi jasa konstruksi, hingga saat ini masih disibukkan oleh proses sertifikasi para anggotanya yang sering penuh dengan konflik kepentingan pribadi dan kelompok. Sehingga, asosiasi jasa konstruksi belum dapat berperan sebagai motor penggerak peningkatan kompetensi dan daya saing para anggotanya. 13 Page

14 Sementara itu, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sebagai representasi dari masyarakat jasa konstruksi dalam pengembangan jasa konstruksi belum dapat melaksanakan seluruh tugas yang diamanahkan dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) Nomor 18 Tahun Sebagian besar dari sumber daya yang ada masih terfokus pada penyelenggaraan registerasi badan usaha dan tenaga kerja konstruksi. Pelaksanaan tugas-tugas lain, yaitu penelitian dan pengembangan jasa konstruksi, pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi serta arbitrase dan mediasi masih sangat terbatas. Di samping itu, forum jasa konstruksi yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun belum berjalan dengan efektif dan produktif dalam menyiapkan rekomendasi kebijakan pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi. Meskipun pelaksanaannya senantiasa diperbaiki dari tahun ke tahun, Ppenyelenggaraan forum jasa konstruksi masih terbatas pada pemenuhan aspek adimistrasi dan prosedural serta masih menjadi ajang pelampiasan perbedaan kepentingan yang mencolok di antara pemangku kepentingan. Di sisi lain, pengembangan sumber daya manusia (SDM) konstruksi melalui pelatihan berbasis kompetensi masih menghadapi berbagai keterbatasan, di antaranya terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana, standar kompetensi kerja, modul pelatihan, standar uji, serta tenaga pelatih yang berkompetensi. Nota kesepahaman antara Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian ttenaga Kerja dan Transmigrasi, dan LPJK tentang penyelenggaraan pelatihan konstruksi serta pencanangan Gerakan Nasional Pelatihan Konstruksi (GNPK) diharapkan dapat menggalang sumber daya yang tersedia di tiap-tiap instansi terkait guna mengatasi kendala yang dihadapi. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, Indonesia telah meratifikasi berdirinya World Trade Organization (WTO) dan menjadi anggota dari 153 negara anggota yang tercatat di WTO. Indonesia juga telah meratifikasi ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) melalui Keppres Nomor 88 Tahun Seluruh kesepakatan dalam perundingan WTO dan AFAS bersifat menngikat. Oleh karena itu Indonesia harus senantiasa aktif dalam setiap perundingan liberalisasi jasa, termasuk jasa konstruksi yang diselenggarakan oleh WTO maupun ASEAN serta forum perundingan liberalisasi regional lainnya. Liberalisasi jasa konstruksi akan menjadi ancaman sekaligus peluang untuk perluasan pangsa pasar jasa konstruksi di luar negeri. Kualitas pelayanan infrastruktur yang ada saat ini tidak memadai untuk mempertahankan pertumbuhan dan daya saing ekonomi yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena realisasi investasi infrastruktur hanya mencapai kurang dari setengah kebutuhan yang diperlukan. Kapasitas fiscal tidak memungkinkan untuk mencukupi kebutuhan dana pembangunan infrastruktur, bahkan hanya mampu menyumbangkan 1% dari PDB padahal dana yang diperlukan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5% dari PDB. 14 Page

15 Tabel 2.3 Jumlah Tenaga Kerja Tahun (dalam ribuan) Lapangan Pekerjaan Pertanian Pertambangan Industri Listrik, Gas, Air Bangunan/ Konstruksi Perdagangan Angkutan Keuangan Lainnya Jumlah Sumber: BPS, 2009 (diolah) 15 Page

16 Tabel 2.4 Produktifitas Tenaga Kerja Menurut Lapangan Kerja (orang per miliar rupiah) No Lapangan Pekerjaan Utama (Nov) 2006 (Agt) 2007 (Agt) 2008 (Agt) 2009 (Agt) org/m org/m org/m org/m org/m org/m 1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bangunan Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah, Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan Sumber: BPS, 2009 (diolah) Page

17 2.2. TANTANGAN DAN ISU STRATEGIS SUB BIDANG JASA KONSTRUKSI etersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu daya tarik suatu kawasan/wilayah, di samping K faktor kualitas lingkungan hidup, image, dan masyarakat (budaya). Sementara itu, kinerja infrastruktur merupakan faktor kunci dalam menentukan daya saing global, selain kinerja ekonomi makro, efisiensi pemerintah, dan efisiensi usaha. Dalam hal daya saing global tersebut, maka World Competitiveness Yearbook 2009 menempatkan Indonesia pada ranking 54 dari 134 negara, di mana ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai (peringkat 84 dengan nilai 3,2) merupakan penyumbang ketiga sebagai faktor problematik dalam melakukan usaha setelah akses pendanaan (25,1 %), birokrasi pemerintah yang tidak efisen (18,5%), dan ketidak tersediaan pasokan infrastruktur (11,4 %) 6. Dengan demikian, tantangan pembangunan infrastruktur ke depan adalah bagaimana untuk terus meningkatkan ketersediaan infrastruktur berkualitas dan kinerjanya semakin dapat diandalkan agar daya tarik dan daya saing Indonesia dalam konteks global dapat membaik. Salah satu isu strategis yang dihadapi adalah bagaimana pembangunan infrastruktur dapat membantu mengatasi besarnya kesenjangan antar-kawasan nusantara : antara Kawasan Barat Indonesia (Kabarin) dengan Kawasan Timur Indonesia (Katimin), antara Pulau Jawa dan pulaupulau lainnya, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, antara kota Jakarta dan kota-kota lainnya. fenomena yang terkait adalah urbanisasi yang cukup tinggi dengan laju antara 1% hingga 1,5% per tahun akibat tingginya mobilitas penduduk. Secara teoritik, kota merupakan mesin pertumbuhan ekonomi (the engine of economic growth), sehingga proses pengembangan wilayah terjadi karena adanya perkembangan kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, yang lalu diikuti dengan penyebaran pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitarnya. Diperkirakan dalam 20 hingga 25 tahun ke depan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia akan mencapai 50-65% (Pustra, 2007), dan pada akhir tahun 2014 jumlah penduduk perkotaan diperkirakan mencapai 53 54%. Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi belum disertai oleh kemampuan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk oleh urbanisasi tersebut maupun backlog yang telah ada sebelumnya. Demikian juga ketersediaan infrastruktur belum merata ke semua golongan masyarakat, terutama masyarakat miskin. Tantangan lainnya adalah berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, dimana sejak bergulirnya era reformasi 1 (satu) dekade yang silam, maka telah terjadi pemekaran wilayah dengan adanya 7 (tujuh) provinsi baru, 135 kabupaten baru, dan 31 kota baru. Dengan demikian hingga saat ini di seluruh wilayah Nusantara terdapat 33 provinsi, 399 kabupaten dan 98 kota. (Sumber Data : Ditjen Otonomi Daerah Depdagri, Juni 2009). 7 Masih adanya kemiskinan absolut yang tinggi (35 juta jiwa atau 15,4% dari total jumlah penduduk pada tahun 2008) dan rendahnya ketersediaan lapangan kerja (9,2 juta jiwa pengangguran terbuka atau 8,5% dari total jumlah usia produktif pada tahun 2008) menjadi bagian yang juga harus diperhatikan dalam penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum Page

18 Pelayanan infrastruktur dasar di Indonesia saat ini kondisinya relatif tertinggal dibandingkan beberapa negara Asia lainnya. Pengelolaan infrastruktur ke-pu-an selama 10 tahun terakhir belum dikelola secara baik seperti ditunjukkan oleh pendanaan infrastruktur yang masih underinvestment (< 2% PDB). Anggaran pemeliharaan terbatas, demand lebih besar dari supply terutama untuk daerah cepat tumbuh, dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) belum sepenuhnya terimplementasi. Sementara di sisi lain kesepakatan MDGs untuk memenuhi sasaran mutu pelayanan infrastruktur terutama penyediaan air bersih dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah sudah tidak bisa ditunda lagi. Selain itu, tidak dapat diabaikan pula berbagai kesepakatan pembangunan infratruktur bersama, seperti pada kesepakatan kerjasama ekonomi regional: APEC, AFTA, BIMP-EAGA, IMT-GT, SIJORI, Program ASEAN Highway, dan Asia Railway yang akan menuntut upaya sungguh-sungguh dari segenap pelaku pembangunan infrastruktur ke-pu-an. Karena itu upaya untuk memobilisasi berbagai sumber pembiayaan perlu terus diupayakan dengan mengembangkan skema pembiayaan melalui kerja sama pemerintah-swasta (KPS), bank, dan dari lembaga non bank khusus infrastruktur, serta dana preservasi jalan. Secara khusus, tantangan pembangunan sub bidang jasa konstruksi dalam mendukung pemenuhan pembangunan infrastruktur di atas dapat diuraikan sebagai berikut. Badan Pembinaan Konstruksi (BP Konstruksi) Kementerian PU menerima mandat sebagai pembina jasa konstruksi nasional untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Tantangan ke depan, pemerintah perlu terus meningkatkan pembinaan jasa konstruksi baik dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan, maupun pengawasan sesuai lingkup pembinaan yang telah diuraikan di muka, sejalan dengan meningkatnya perhatian dan harapan berbagai pihak terhadap jasa konstruksi. Pembinaan jasa konstruksi selama ini dipersepsikan secara sempit sebagai bagian dari tugas Kementerian PU semata dan belum menjadi tanggung jawab semua pihak sesuai tugas dan kewenangannya. Meningkatnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembinaan jasa konstruksi sebagai tindak lanjut Surat Edaran Mendagri No. 601/2006 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi di Daerah dengan membentuk Tim Pembina yang mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi daerah dan pengalokasian APBD untuk pembinaan jasa konstruksi perlu mendapat apresiasi yang positif. Namun sayangnya unit struktural pembina jasa konstruksi daerah yang telah terbentuk belum seluruhnya efektif. Hal ini terjadi di antaranya karena PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa pembinaan jasa konstruksi termasuk dalam rumpun urusan pekerjaan umum. Selain itu, petunjuk teknis mengenai pembentukan unit struktural pembina jasa konstruksi di daerah belum tersedia dan Tim Pembina jasa konstruksi di tingkat pusat sesuai PP 30/2000 yang bertugas untuk mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi antar Kementerian dan Lembaga terkait belum terbentuk. Asosiasi konstruksi juga masih lebih cenderung mengutamakan kepentingan-kepentingan jangka pendek kelompok masing-masing, sementara forum jasa konstruksi belum efektif dalam menumbuhkembangkan usaha jasa konstruksi nasional serta memberi masukan bagi Pemerintah dalam menyelenggarakan pembinaan jasa konstruksi. Memperkuat pasar konstruksi dan meningkatkan profesionalisme industri konstruksi. Termasuk perlunya memperkuat para pelaku usaha konstruksi kecil dan menengah antara lain yang disebabkan oleh lemahnya penguasaan teknologi dan akses permodalan Badan Usaha Jasa Konstruksi. 18 Page

19 Masih seringnya terjadi kegagalan bangunan dan mutu konstruksi yang tidak sesuai standar teknis yang di antaranya disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan belum konsistennya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (SMK3 Konstruksi) serta Sistem Manajemen Mutu Konstruksi (SMM Konstruksi) yang belum berjalan secara konsisten. Berbagai kebijakan percepatan investasi swasta beserta dukungan Pemerintah yang dapat disediakan belum berjalan efektif. Dari sekitar 145 ribu kontraktor di Indonesia hampir semuanya memperebutkan 40% pangsa pasar jasa konstruksi nasional yang umumnya disediakan pemerintah (APBN dan APBD). Sedangkan 60% pasar jasa konstruksi Indonesia lainnya, justru dikuasai oleh kontraktor asing terutama di sektor migas. Sementara itu permintaan keterlibatan badan usaha/tenaga kerja konstruksi Indonesia di luar negeri terus meningkat. Masih belum dimilikinya data base peralatan dan material konstruksi di tiap-tiap provinsi secara lengkap. Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi masih menghadapi permasalahan pada proses sertifikasi yang masih kurang obyektif dan mahal, sehingga langsung atau tidak langsung menyebabkan tenaga ahli dan tenaga terampil bidang konstruksi masih jauh dari cukup yang di antaranya disebabkan oleh pelaksanaan assessment sertifikasi belum sesuai ketentuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Berbagai kebutuhan dana investasi infrastruktur yang harus dipenuhi dari investasi swasta (financing gap sebesar Rp 978 Triliun). Berbagai potensi sumber pendanaan investasi infrastruktur belum dimanfaatkan secara maksimal. Sedangkan isu-isu strategis sub bidang jasa konstruksi dalam mendukung pemenuhan pembangunan infrastruktur di atas dapat diuraikan sebagai berikut. Meningkatkan kompetensi SDM konstruksi Indonesia dalam skala nasional maupun skala internasional. Kementerian Pekerjaan Umum perlu melakukan pelatihan berbasis kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi internasional bagi lulusan perguruan tinggi yang akan bekerja di sektor konstruksi sehingga lulusannya memiliki kompetensi berstandar internasional. Meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi menuju tenaga ahli dan tenaga terampil bidang konstruksi yang berdaya saing tinggi sesuai SKKNI. Meningkatkan kualitas prasarana dan sarana pelatihan mengacu pada kebutuhan pelatihan berbasis kompetensi (kondisi prasarana dan sarana pelatihan saat ini sangat jauh tertinggal dibandingkan beberapa negara tetangga). Meningkatkan kualitas lembaga pelatihan dan lembaga uji/sertifikasi dalam proses pelatihan dan sertifikasi, dengan pengembangan sarana dan prasarana pelatihan dan pendampingan instruktur dan asesor yang berkualitas. Penerapan konsep sustainable/green construction yang merupakan proses konstruksi yang menggunakan metode/konsep serta bahan bangunan yang tepat, efisien, dan ramah lingkungan di bidang pembangunan konstruksi dalam rangka merespon pemanasan global. Lemahnya akses permodalan Badan Usaha Jasa Konstruksi dan belum adanya lembaga pertanggungan untuk memberikan prioritas, pelayanan, kemudahan, dan akses dalam memperoleh jaminan pertanggungan risiko. Praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam industri konstruksi nasional dan perilaku bisnis jasa konstruksi masih menjadi sorotan publik sampai saat ini. Kondisi ini telah membuat persaingan di industri konstruksi belum sepenuhnya berdasarkan 19 Page

20 kompetensi dan profesionalisme, tetapi lebih berdasarkan pada kemampuan negosiasi atau lobby, sehingga menyebabkan kualitas konstruksi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pasar jasa konstruksi nasional masih terdistorsi akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand. Oleh karena itu perlu upaya pembinaan perusahaan jasa konstruksi melalui penerapan kualifikasi/klasifikasi persyaratan kemampuan dalam pendirian badan usaha jasa konstruksi. Liberalisasi perdagangan jasa konstruksi merupakan suatu proses yang sedang berjalan dan tidak perlu diperdebatkan apakah Indonesia siap atau tidak siap. Yang lebih penting adalah menyiapkan penyedia jasa konstruksi yang berdaya saing tinggi, baik di pasar domestik, maupun di pasar internasional. Otonomi daerah sebagai instrumen desentralisasi akan menjadi pendorong perdagangan jasa konstruksi nasional dengan diterapkannya kebijakan penanaman modal langsung ke daerah. Pengarusutamaan gender dalam proses pelaksanaan kegiatan subbidang jasa konstruksi, baik dari segi akses, kontrol, partisipasi, maupun manfaatnya. Perlunya berbagai inovasi pola pembiayaan investasi infrastruktur, khususnya infrastruktur pekerjaan umum. Perlunya mempertajam kebijakan dukungan Pemerintah dalam kerangka Public Private Partnership (PPP) agar kebijakan yang ada dapat berjalan efektif. Perlunya mendorong dan memfasilitasi pemanfaatan sumber-sumber pendanaan investasi infrastruktur yang tersedia ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS 1. Lingkungan Strategis Internal Dengan pendekatan SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threat) atau KEKEPAN (Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman) lingkungan strategis internal Badan Pembinaan Konstruksi terdiri dari kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Berdasarkan data-data dan analisis yang dilakukan secara internal maupun oleh pihak ketiga (konsultan), berikut ini adalah data-data kekuatan yang dimiliki oleh Badan Pembinaan Konstruksi. A. Kekuatan a. Memiliki mandat tugas pembinaan jasa konstruksi sesuai UU No. 18/1999 dan PP No. 4/2010, PP 59/2010, dan PP No. 30/2000, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; b. Tugas pokok dan fungsi BP Konstruksi sudah cukup jelas dengan adanya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 8/PRT/M/2010 tanggal 17 Juni 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum, c. Jumlah personil PNS 488 orang dengan tingkat pendidikan yang cukup baik (S1 111 orang; S2 75 orang dan S3 3 orang); 20 Page

21 d. Prasarana dan sarana untuk pejabat struktural cukup memadai; Seluruh pejabat struktural sampai Eselon IV memiliki alat pengolah data (unit komputer) masing-masing. e. Untuk mendukung mobilitas kerja, seluruh pejabat struktural sampai Eselon III dan beberapa eselon IV difasilitasi dengan kendaraan dinas roda 4. f. Pengalaman para pejabat struktural cukup baik, rata-rata berasal dari satminkal teknis (Ditjen SDA, Bina Marga, dan Cipta Karya) sehingga memberikan dinamika dan peluang koordinasi serta networking yang baik. g. Motivasi kerja dan upaya untuk meningkatkan kapasitas karyawan cukup tinggi. h. Staf Badan Pembinaan Konstruksi dikenal sebagai staf yang memiliki wawasan luas. i. Tersedianya anggaran pembinaan jakon yang memadai; j. Sudah ada konsep road map pembinaan dan pengembangan jakon; k. Peralatan pelatihan konstruksi lengkap; l. Terbentuknya balai pelatihan jasa konstruksi di seluruh wilayah Indonesia sehingga mengakomodir pembinaan jasa konstruksi secara optimal B. Kelemahan Berdasarkan data-data dan analisis yang dilakukan secara internal maupun oleh pihak ketiga (konsultan), berikut ini adalah data-data kelemahan yang dimiliki oleh Badan Pembinaan Konstruksi: a. Belum optimalnya kinerja unit-unit di lingkungan Badan Pembinaan Konstruksi sebagai satu kesatuan tim; b. Budaya kerja dalam bentuk nilai-nilai strategis Bersama KITA Membangun belum tersosialisasi dan tertanam secara baik dalam perilaku kerja sehari-hari. c. Masih adanya staf yang kinerjanya di bawah standar; d. Orientasi kerja staf masih belum sepenuhnya didasarkan pada pencapaian sasaran tugas Badan Pembinaan Konstruksi; e. Rasio/ perbandingan alat pengolah data untuk tingkat staf masih 1 : 3 (satu unit komputer digunakan oleh 3 orang staf), idealnya adalah 1 : 2; f. Jumlah pejabat struktural (Eselon IV Eselon I) yang akan pensiun sampai dengan tahun 2014 ada sebanyak 38 orang dari 100 pejabat struktural, hal ini berarti dalam lima (5) tahun ke depan akan kehilangan sekitar 38 % pejabat strukturalnya. Sedangkan staf senior yang akan pensiun sebanyak 131 orang dari 388 orang staf atau sejumlah 34 %; g. Kemungkinan promosi bagi jabatan yang ditinggalkan oleh pejabat yang pensiun atau mutasi diisi dari luar BP KONSTRUKSI sehingga berpengaruh terhadap motivasi kerja; h. Belum lengkapnya pengaturan (juknis) pembinaan jakon daerah; i. Lemahnya pemantauan dan evaluasi (monev) serta penegakan hukum jasa konstruksi; j. Belum lengkapnya data base pembinaan jasa konstruksi; k. Rendahnya pembinaan daya saing badan usaha dan tenaga kerja konstruksi; l. Staf junior belum memiliki kapasitas untuk pembinaan jasa konstruksi daerah, 21 Page

22 m. Peralatan pelatihan terpusat di Jakarta; n. Terlalu fokus terhadap pembinaan jakon ke-pu-an, belum menyentuh pembinaan konstruksi di luar bidang PU. 2. Lingkungan Strategis Eksternal Pada dasarnya, yang dimaksud dengan lingkungan strategis eksternal Badan Pembinaan Konstruksi adalah unit kerja yang secara langsung berpengaruh dan berinteraksi dengan Badan Pembinaan Konstruksi, baik Satuan Administrasi Pangkal (satminkal) yang ada di Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian terkait lainnya, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi serta masyarakat jasa konstruksi pada umumnya, maupun lembaga di tingkat regional dan internasional yang mempengaruhi jasa konstruksi di Indonesia. Dengan pendekatan SWOT/ KEKEPAN, lingkungan strategis eksternal Badan Pembinaan Konstruksi dapat diklasifikasikan sebagai kelompok peluang dan ancaman bagi eksistensi dan visi serta misi organisasi. A. Peluang a. Dukungan DPR; b. Meningkatnya perhatian pemda terhadap pembinaan jakon; c. Permintaan keterlibatan badan usaha/ tenaga kerja konstruksi di luar negeri; d. Pengaturan kesetaraan kompetensi keahlian di tingkat ASEAN (ACPE); e. Tahun 2020 liberalisasi perdagangan dan jasa berlaku penuh yang akan memperluas wilayah usaha; f. Banyaknya program pendidikan dan kursus peningkatan kapasitas (capacity building) yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Konstruksi, Kementerian PU dan Kementerian terkait lainnya maupun Lembaga Donor Internasional/ Multilateral. g. Kepercayaan lembaga masyarakat jasa konstruksi (LPJK, Asosiasi Jasa Konstruksi, Badan Usaha Jasa Konstruksi, Kementerian PU dan Kementerian terkait lainnya) terhadap Badan Pembinaan Konstruksi dalam rangka mengkoordinasikan upaya-upaya mewujudkan usaha jakons yang profesional, efisien dan berdaya saing. h. Kepercayaan lembaga/ forum kerjasama internasional dalam perundingan kerjasama/ liberalisasi internasional bidang konstruksi. i. Komitmen Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk memberantas KKN di segala bidang, termasuk jasa konstruksi; j. Stabilitas makroekonomi semakin membaik; k. Adanya lembaga ombudsman persaingan usaha (KPPU); l. Terbukanya penanaman modal asing secara langsung; m. Terbukanya akses informasi melalui teknologi informasi dan komunikasi; n. Peningkatan mutu pendidikan tinggi; o. Pelaksanaan reformasi total; p. Kampanye penerapan good governance and good corporate governance; q. investasi infrastruktur padat tenaga kerja (membuka lapangan kerja); r. Perluasan pelayanan publik melalui desentralisasi; s. Pembangunan berkelanjutan (sustainaible development) dalam sektor konstruksi (green construction); 22 Page

LAKIP TAHUN 2012 PUSAT PEMBINAAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

LAKIP TAHUN 2012 PUSAT PEMBINAAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH LAKIP LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH PUSAT PEMBINAAN USAHA DAN KELEMBAGAAN TAHUN 2012 1 PENGANTAR Laporan ini disusun untuk memenuhi ketentuan dalam Inpres Nomor 7 tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2013 TENTANG PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2013 TENTANG PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2013 TENTANG PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi mempunyai peran

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi mempunyai peran

Lebih terperinci

-2- Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REP

-2- Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REP LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2017 PEMBANGUNAN. Konstruksi. Jasa. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam upaya mendorong penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan Tap MPR RI Nomor : XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI. 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI. 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Dinas Tenaga Kerja Permasalahan pembangunan daerah merupakan gap expectation

Lebih terperinci

BAB 1 GAMBARAN UMUM. 1.1 Geografis. 1.2 Demografi

BAB 1 GAMBARAN UMUM. 1.1 Geografis. 1.2 Demografi H a l a m a n 1-1 BAB 1 GAMBARAN UMUM 1.1 Geografis Provinsi Jawa Timur terletak pada 111,0⁰ BT - 114,4⁰ BT dan 7,12⁰ LS - 8,48⁰ LS. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur adalah 47.800 km 2. Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

Ikhtisar Eksekutif. vii

Ikhtisar Eksekutif. vii Kata Pengantar Laporan Kinerja Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi kepada masyarakat (stakeholders) dalam menjalankan visi dan misi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan umum dari penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dengan terbitnya Undang-undang

Lebih terperinci

Rencana Kerja (RENJA ) 2015

Rencana Kerja (RENJA ) 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang - Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU-SPPN) yang telah dijabarkan secara teknis dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Dalam upaya meningkatkan

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

Tahun Jumlah penduduk (jiwa) Kepadatan penduduk (jiwa/ km 2 )

Tahun Jumlah penduduk (jiwa) Kepadatan penduduk (jiwa/ km 2 ) H a l a m a n 1-1 BAB 1 GAMBARAN UMUM 1.1 Geografis Provinsi Kalimantan Selatan terletak pada 114⁰19 13 BT - 116⁰33 28 BT dan - 1⁰21 49 LS - 4⁰10 14 LS. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan adalah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT KATA PENGANTAR Sebagai tindaklanjut dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang mewajibkan bagi setiap pimpinan instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan

Lebih terperinci

LAKIP 2015 DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN

LAKIP 2015 DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan disusun dengan mengacu pada Renstra Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Sulawesi Selatan 2013-2018, Renstra

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 15 TAHUN TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 15 TAHUN TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 15 TAHUN 2009... TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri jasa konstruksi memiliki arti penting dan strategis dalam pembangunan nasional mengingat industri jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi merupakan salah

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 BAB 2 EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 Evaluasi Pelaksanaan Renja Tahun 2013 2.1 BAB 2 EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 2.1. EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 DAN CAPAIAN RENSTRA SAMPAI DENGAN

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 15/PRT/M/2015 TANGGAL 21 APRIL 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Dinas Bina Marga Kabupaten Grobogan. Permasalahan berdasarkan tugas dan fungsi

Lebih terperinci

KERJASAMA PROGRAM PROFESI INSINYUR KEMENTERIAN PUPR DENGAN KEMENTERIAN RISTEK DIKTI. DIREKTUR JENDERAL BINA KONSTRUKSI Jakarta - Senin,10 Oktober 2016

KERJASAMA PROGRAM PROFESI INSINYUR KEMENTERIAN PUPR DENGAN KEMENTERIAN RISTEK DIKTI. DIREKTUR JENDERAL BINA KONSTRUKSI Jakarta - Senin,10 Oktober 2016 KERJASAMA PROGRAM PROFESI INSINYUR KEMENTERIAN PUPR DENGAN KEMENTERIAN RISTEK DIKTI DIREKTUR JENDERAL BINA KONSTRUKSI Jakarta - Senin,10 Oktober 2016 ORGANISASI, TUGAS DAN PROGRAM DIREKTORAT JENDERAL BINA

Lebih terperinci

B. VISI : Indonesia Menjadi Negara Industri yang Berdaya Saing dengan Struktur Industri yang Kuat Berbasiskan Sumber Daya Alam dan Berkeadilan

B. VISI : Indonesia Menjadi Negara Industri yang Berdaya Saing dengan Struktur Industri yang Kuat Berbasiskan Sumber Daya Alam dan Berkeadilan RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 1 : RENCANA PENCAPAIAN SASARAN STRATEGIS PADA KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA TAHUN ANGGARAN : 216 A. KEMENTRIAN : (19) KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN 2015-2019 BADAN STANDARDISASI NASIONAL 2015 Kata Pengantar Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa setiap daerah harus menyusun rencana pembangunan daerah secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman mengenai good governance mulai dikemukakan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman mengenai good governance mulai dikemukakan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemahaman mengenai good governance mulai dikemukakan di Indonesia sejak tahun 1990-an dan semakin populer pada era tahun 2000-an. Pemerintahan yang baik diperkenalkan

Lebih terperinci

RENCANA KERJA KECAMATAN ANGSANA TAHUN 2017

RENCANA KERJA KECAMATAN ANGSANA TAHUN 2017 RENCANA KERJA KECAMATAN ANGSANA TAHUN 2017 PEMERINTAH KABUPATEN TANAH BUMBU KECAMATAN ANGSANA DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... ii Daftar Tabel... iii Daftar Bagan... iv Daftar Singkatan... v BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM

Lebih terperinci

ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 08/PRT/M/2010 TANGGAL 8 JULI 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

Lebih terperinci

KOTA BANDUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN BAPPEDA KOTA BANDUNG TAHUN 2016

KOTA BANDUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN BAPPEDA KOTA BANDUNG TAHUN 2016 KOTA BANDUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN BAPPEDA KOTA BANDUNG TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi, BAB VI. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi dan arah kebijakan merupakan rumusan perencanaan komperhensif tentang bagaimana Pemerintah Daerah mencapai tujuan dan sasaran RPJMD dengan efektif dan efisien.

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Development is not a static concept. It is continuously changing. Atau bisa

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1 Identifikasi Permasalahan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dengan tugas pokoknya merumuskan kebijakan teknis perencanaan pembangunan daerah

Lebih terperinci

Rencana Strategis

Rencana Strategis kesempatan kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan

Lebih terperinci

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEENAM DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA

Lebih terperinci

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI PEMBANGUNAN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN BAB V. PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi pembangunan daerah dalam RPJMD adalah visi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih yang disampaikan pada waktu pemilihan kepala daerah (Pemilukada)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan tuntutan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG \IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi merupakan salah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PRT/M/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PRT/M/2012 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PRT/M/2012 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN

Lebih terperinci

- Laut Seram di sebelah utara - Papua Barat di sebelah timur - Laut Indonesia dan Laut Arafuru di sebelah selatan - Sulawesi di sebelah barat

- Laut Seram di sebelah utara - Papua Barat di sebelah timur - Laut Indonesia dan Laut Arafuru di sebelah selatan - Sulawesi di sebelah barat H a l a m a n 1-1 BAB 1 GAMBARAN UMUM 1.1 Geografis Provinsi Maluku terletak pada 124⁰ BT - 136⁰ BT dan - 2⁰30 LS - 9⁰ LS. Luas wilayah Provinsi Maluku adalah 46.914 km 2. Provinsi Maluku terdiri dari

Lebih terperinci

BAB 1 GAMBARAN UMUM. 1.1 Geografis. 1.2 Demografi

BAB 1 GAMBARAN UMUM. 1.1 Geografis. 1.2 Demografi H a l a m a n 1-1 BAB 1 GAMBARAN UMUM 1.1 Geografis Provinsi Banten terletak pada 105⁰01 11 BT - 106⁰07 12 BT dan - 05⁰07 50 LS - 07⁰01 01 LS. Luas wilayah Provinsi Banten adalah 9.663 km 2. Provinsi Banten

Lebih terperinci

DUKUNGAN SARAN KEBIJAKAN BIDANG EKONOMI SECARA TEPAT WAKTU DAN TEPAT ISI

DUKUNGAN SARAN KEBIJAKAN BIDANG EKONOMI SECARA TEPAT WAKTU DAN TEPAT ISI RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DEPUTI BIDANG PEREKONOMIAN 2010 2014 DUKUNGAN SARAN KEBIJAKAN BIDANG EKONOMI SECARA TEPAT WAKTU DAN TEPAT ISI Kata Pengantar Rancangan Rencana Strategis (Renstra) Deputi bidang

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Pada bagian perumusan isu strategi berdasarkan tugas dan fungsi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan mengemukakan beberapa isu strategis

Lebih terperinci

RENCANA KERJA KECAMATAN ANGSANA TAHUN 2016

RENCANA KERJA KECAMATAN ANGSANA TAHUN 2016 RENCANA KERJA KECAMATAN ANGSANA TAHUN 2016 PEMERINTAH KABUPATEN TANAH BUMBU KECAMATAN ANGSANA DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... ii Daftar Tabel... iii Daftar Bagan... iv Daftar Singkatan... v BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

SINKRONISASI KEBIJAKAN PUSAT DAN DERAH DALAM PENGUATAN IKLIM USAHA DAN INVESTASI

SINKRONISASI KEBIJAKAN PUSAT DAN DERAH DALAM PENGUATAN IKLIM USAHA DAN INVESTASI SINKRONISASI KEBIJAKAN PUSAT DAN DERAH DALAM PENGUATAN IKLIM USAHA DAN INVESTASI KEMENTERIAN DALAM NEGERI PERSPEKTIF PEMERINTAHAN JOKOWI DAN JK 2015-2019 ( 9 AGENDA PRIORITAS ) Nomor PRIORITAS 1 Perlindungan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Koordinasi Dinas Olahraga dan Pemuda Provinsi Jawa Barat Dinas Olahraga dan Pemuda

Lebih terperinci

1. Visi BKPM Terwujudnya Iklim Penanaman Modal Yang Berdaya Saing Untuk Menunjang Kualitas Perekonomian Nasional.

1. Visi BKPM Terwujudnya Iklim Penanaman Modal Yang Berdaya Saing Untuk Menunjang Kualitas Perekonomian Nasional. RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TAHUN 2009-2014 A. Rencana Strategis BKPM Tahun 2009-2014 Rencana Strategis (Renstra) BKPM yang disusun merupakan fungsi manajemen untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT KEMENTERIAN PANRB. Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2015

RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT KEMENTERIAN PANRB. Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2015 RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT KEMENTERIAN PANRB Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2015 Kata Pengantar Sekretariat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Lebih terperinci

TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM BAB X BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI BAGIAN PERTAMA TUGAS DAN FUNGSI

TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM BAB X BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI BAGIAN PERTAMA TUGAS DAN FUNGSI TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM BAB X BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI BAGIAN PERTAMA TUGAS DAN FUNGSI Pasal 721 Badan Pembinaan Konstruksi mempunyai tugas melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) 2016

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) 2016 1.1. Latar Belakang Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) 2016 BAB I PENDAHULUAN Penyusunan Laporan Kinerja Instansi Instansi Pemerintah (LKJiP) Satuan Kerja Perangkat Daerah Dinas Pemberdayaan Masyarakat

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2. PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA 2.1. RENCANA STRATEGIS Rencana Strategis Ditjen Bina Marga memuat visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan penyelenggaraan jalan sesuai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2014 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA

Lebih terperinci

Rencana Kerja Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Pelalawan 2016 BAB. I PENDAHULUAN

Rencana Kerja Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Pelalawan 2016 BAB. I PENDAHULUAN BAB. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil merupakan unsur pelaksanaan Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada dibawah dan bertanggung jawab

Lebih terperinci

KOORDINASI PEMBANGUNAN PERKOTAAN DALAM USDRP

KOORDINASI PEMBANGUNAN PERKOTAAN DALAM USDRP Republik Indonesia Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS KOORDINASI PEMBANGUNAN PERKOTAAN DALAM USDRP DISAMPAIKAN OLEH: DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH BAPPENAS PADA:

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii

Lebih terperinci

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi

Lebih terperinci

DisampaikanOleh : DR. MUH. MARWAN, M.Si DIRJEN BINA BANGDA. 1. Manajemen Perubahan. 4. Penataan Ketatalaksanaan. 6. Penguatan Pengawasan

DisampaikanOleh : DR. MUH. MARWAN, M.Si DIRJEN BINA BANGDA. 1. Manajemen Perubahan. 4. Penataan Ketatalaksanaan. 6. Penguatan Pengawasan REFORMASI BIROKRASI DAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Disampaikan dalam Seminar Kemenpan dan RB bersama Bakohumas, 27/5/13. DisampaikanOleh : DR. MUH. MARWAN, M.Si DIRJEN BINA BANGDA 1 PROGRAM PERCEPATAN

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN KINERJA BAB II PERENCANAAN KINERJA Penyusunan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Tahun 2014 ini, mengacu pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB III ISU ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAPPEDA KABUPATEN LAHAT

BAB III ISU ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAPPEDA KABUPATEN LAHAT ISU ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAPPEDA KABUPATEN LAHAT 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BAPPEDA KABUPATEN LAHAT Sumber daya Bappeda Kabupaten Lahat

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) BIRO HUKUM DAN ORGANISASI

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) BIRO HUKUM DAN ORGANISASI RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) BIRO HUKUM DAN ORGANISASI 2015-2019 SEKRETARIAT JENDERAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2015 KATA PENGANTAR Rencana strategis (Renstra) 2015 2019 Biro Hukum dan Organisasi

Lebih terperinci

KABUPATEN BADUNG LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TAHUN 2014

KABUPATEN BADUNG LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TAHUN 2014 KABUPATEN BADUNG LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TAHUN 2014 BAPPEDA LITBANG KABUPATEN BADUNG TAHUN 2015 DAFTAR ISI Hal DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA BALAI BESAR PULP DAN KERTAS TAHUN ANGGARAN 2015

RENCANA KINERJA BALAI BESAR PULP DAN KERTAS TAHUN ANGGARAN 2015 RENCANA KINERJA BALAI BESAR PULP DAN KERTAS TAHUN ANGGARAN 2015 KATA PENGANTAR R encana Kinerja merupakan dokumen yang berisi target kinerja yang diharapkan oleh suatu unit kerja pada satu tahun tertentu

Lebih terperinci

UU Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (SP3K)

UU Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (SP3K) UU Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (SP3K) PUSAT PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Kerja Satuan Perangkat Kerja Daerah (Renja SKPD) merupakan dokumen perencanaan resmi SKPD yang dipersyaratkan untuk mengarahkan pelayanan publik Satuan Kerja

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan Latar Belakang

Bab I Pendahuluan Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa pembangunan yang berkeadilan dan demokratis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi mempunyai peran strategis dalam

Lebih terperinci

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Pengembangan Kelembagaan Ekonomi dan Iklim Usaha Kondusif 1. Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi Mendukung terciptanya kesempatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang Mengingat : a. bahwa usaha jasa konstruksi

Lebih terperinci

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1 APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH Budiman Arif 1 PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 RKT DIT. PPL TA. 2013 KATA PENGANTAR Untuk

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Kerja Keras Kerja Lebih Keras Kerja Lebih Keras Lagi 1

Kata Pengantar. Kerja Keras Kerja Lebih Keras Kerja Lebih Keras Lagi 1 Kata Pengantar Reformasi birokrasi dilingkungan Kementerian Hukum dan HAM pada hakikatnya adalah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Pelayanan Kondisi lingkungan kerja yang diharapkan tentunya dapat memberikan dukungan optimal

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI,TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI,TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI,TUJUAN DAN SASARAN Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapantahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan, guna pemanfaatan dan pengalokasian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB - I PENDAHULUAN I Latar Belakang

BAB - I PENDAHULUAN I Latar Belakang BAB - I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah mengamanatkan bahwa agar perencanaan pembangunan daerah konsisten, sejalan

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN

PROVINSI SULAWESI SELATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BARRU NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG INDIKATOR KINERJA UTAMA PEMERINTAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2016-2021 BUPATI BARRU, Menimbang: a. bahwa berdasarkan ketentuan dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

RENJA BAGIAN PERTANAHAN TAHUN 2015 (REVIEW)

RENJA BAGIAN PERTANAHAN TAHUN 2015 (REVIEW) 1 RENJA BAGIAN PERTANAHAN TAHUN 2015 (REVIEW) Renja Bagian Pertanahan Tahun 2015 (Review) Page 1 2 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan Puji Syukur Kehadirat Allah SWT Rencana Kerja Bagian Pertanahan Sekretariat

Lebih terperinci

RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016

RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016 DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR JL. GAYUNG KEBONSARI NO. 167 SURABAYA

Lebih terperinci