II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara"

Transkripsi

1 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Efektivitas Efektivitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output seharusnya dengan output realisasi atau sesungguhnya. Suatu kegiatan dikatakan efektif jika output seharusnya lebih besar daripada output sesungguhnya (John, 1986 dalam Marisa, 2011). Menurut Hidayat (1986 dalam Marisa, 2011) efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai. Semakin besar persentase yang dicapai, maka semakin tinggi efektivitasnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa efektivitas merupakan gambaran dari seluruh siklus input, proses, dan output yang mengacu pada output dari suatu organisasi, program atau kegiatan yang menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai, serta ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya dan mencapai target-targetnya. 2.2 Pengertian Pupuk Organik Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan organik atau makhluk hidup yang telah mati. Bahan organik ini akan mengalami pembusukan oleh mikroorganisme sehingga sifat fisiknya akan berbeda dari semula. Pupuk organik termasuk pupuk majemuk lengkap karena kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur dan mengandung unsur mikro. Dilihat dari bentuknya, pupuk organik dibedakan menjadi dua, yakni pupuk organik padat dan cair (Hadisuwito, 2012 dalam Yuda, 2011:5).

2 9 1. Pupuk organik padat Pupuk organik padat adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang berbentuk padat. Pupuk organik padat dibedakan lagi menjadi pupuk kandang, humus, kompos dan pupuk hijau. Pemerintah Provinsi Bali sejak tahun 2013 menetapkan subsidi pupuk organik jenis padat untuk petani (usahatani padi, palawija, dan hortikultura) yang tersebar di sembilan kabupaten di Bali. 2. Pupuk organik cair Pupuk organik cair adalah larutan dari hasil pembusukan bahan-bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan dan manusia yang kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur. Kelebihan dari pupuk organik ini adalah mampu mengatasi defisiensi hara secara cepat, tidak bermasalah dalam pencucian hara, dan juga mampu menyediakan hara secara cepat. Dibandingkan dengan pupuk anorganik, pupuk organik cair umumnya tidak merusak tanah dan tanaman meskipun sudah digunakan sesering mungkin. Selain itu, pupuk ini juga memiliki bahan pengikat sehingga larutan pupuk yang diberikan ke permukaan tanah bisa langsung dimanfaatkan oleh tanaman (Hadisuwito, 2012 dalam Yuda, 2011:9). 2.3 Pengertian Pupuk Bersubsidi Menurut Nazir (2004 dalam Marisa, 2011) subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung suatu kegiatan usaha atau kegiatan perorangan oleh pemerintah. Subsidi adalah sebuah pembayaran oleh pemerintah untuk produsen, distributor, dan konsumen bahkan

3 10 masyarakat dalam bidang tertentu. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2005, pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor pertanian. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2013, produsen penerima subsidi pupuk organik Provinsi Bali bukan lagi perusahaan swasta melainkan gabungan kelompok tani atau kelompok tani yang telah memiliki APPO atau RPPPO untuk pengadaan dan penyaluran pupuk organik ke subak yang tersebar di sembilan kabupaten di Bali. Subsidi ini bertujuan untuk memulihkan kesuburan tanah pertanian di Bali. 2.4 Mekanisme Pelaksanaan Subsidi Pupuk Organik Oleh Pemerintah Provinsi Bali Pemerintah Provinsi Bali mengadakan program subsidi pupuk organik yang diberikan kepada kelompok tani pengelola APPO/RPPO dan gabungan kelompok tani Simantri bertujuan untuk: (1) memberdayakan gabungan kelompok tani Simantri dan kelompok tani pengelola APPO atau RPPPO dalam memproduksi pupuk organik sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan, (2) tumbuh dan berkembangnya usaha gabungan kelompok tani Simantri dan kelompok tani pengelola APPO/RPPO dalam memproduksi dan memasarkan pupuk organik di wilayah Bali, (3) memotivasi petani untuk dapat menggunakan pupuk organik yang diproduksi gabungan kelompok tani dan kelompok tani, (4) meringankan beban biaya petani untuk membeli pupuk organik, serta (5) terserapnya tenaga kerja di pedesaan untuk melakukan pengolahan pupuk

4 11 organik. Mekanisme pelaksanaan program subsidi pupuk organik Pemerintah Provinsi Bali ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Gubernur Bali MoU Gapoktan Simantri/ Poktan Produsen Pupuk Organik Distan Prov. Bali Distan Kab/Kota Keterangan : Komando Koordinasi Pengajuman Klaim Pembinaan Pengawalan/Pengawasan Audit/ Verifikasi Kelompok Tani/ Subak (ditetapkan dg Kep. Gubernur) Menyusun RDKK KP3 Prov/Kab, KCD/PPL Mengawal RDKK, Pengawasan penyaluran dan penggunaan pupuk Gambar 2.1 Mekanisme Pelaksanaan Subsidi Pupuk Organik Pemerintah Provinsi Bali Penjelasan : 1. Gubernur Bali memerintahkan Dinas Pertanian Provinsi Bali untuk melaksanakan program subsidi pupuk organik. Tugas Dinas Pertanian Provinsi Bali yaitu berkoordinasi dengan dinas pertanian kabupaten untuk menentukan calon produsen pupuk organik yang berasal dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simantri atau Kelompok Tani (Poktan) pengelola APPO/RPPO, berkoordinasi dengan dinas/lembaga terkait di tingkat provinsi dalam rangka audit/verifikasi gabungan kelompok tani tersebut dan melakukan pembinaan Gapoktan/Poktan selaku produsen pupuk organik dan subak selaku penerima subsidi pupuk organik.

5 12 2. Tugas Dinas Pertanian Kabupaten membantu sosialisasi, medata dan melakukan pembinaan Gapoktan/Poktan yang memenuhi persyaratan sebagai produsen pupuk organik dan subak selaku penerima subsidi pupuk organik yang selanjutnya diserahkan kepada Dinas Pertanian Provinsi Bali. 3. Setelah ditetapkannya Gapoktan/Poktan produsen pupuk organik bersubsidi selanjutnya menetapkan perjanjian kerjasama antara Gubernur Bali dengan Gapoktan/Poktan tersebut. 4. Subak yang telah ditetapkan sebagai penerima subsidi pupuk organik menyusun RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) dengan dibantu oleh Kepala Subak, PPL setempat dan dinas pertanian kabupaten terkait pengawalan dan pengawasan RDKK yang selanjutnya diserahkan kepada Gapoktan/Poktan selaku produsen pupuk organik dan Dinas Pertanian Provinsi Bali. Untuk pengawasan penggunaan pupuk organik bersubsidi dilakukan oleh Kepala Subak, PPL dan petugas kabupaten atau provinsi. 5. Gapoktan/Poktan produsen pupuk organik melakukan koordinasi dengan penerima subsidi pupuk organik dalam rangka penyaluran pupuk organik ke subak tersebut. Gapoktan/poktan mengajukan klaim pembayaran pupuk organik kepada Dinas Pertanian Provinsi Bali yang kemudian diteruskan kepada Biro Keungan Provinsi Bali kemudian pembayaran pupuk akan ditransfer langsung ke rekening Gapoktan/Poktan produsen tersebut.

6 Usahatani Padi Sawah Karakteristik tanaman padi Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman pertanian kuno ini berasal dari dua benua, yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi di Zheziang (China) sudah dimulai pada 3000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesa India sekitar SM (Purnamawati & Purwono, 2002 dalam Aulia, 2008). Batang padi berbuku dan berongga, dari buku batang ini tumbuh anakan dan daun, bunga atau malai muncul dari buku terakhir pada tiap anakan. Akar padi adalah akar serabut yang sangat efektif dalam penyerapan hara, tetapi peka terhadap kekeringan. Akar padi terkonsentrasi pada kedalaman antara cm (Purnamawati & Purwono, 2002 dalam Aulia, 2008). Berikut ini merupakan klasifikasi dari tanaman padi. Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas : Commelinidae Ordo : Poales Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Oryza Spesies : Oryza sativa L Budidaya padi sawah Padi dibudidayakan dengan tujuan mendapatkan hasil yang setinggitinginya dengan kualitas sebaik mungkin, untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan maka, tanaman yang akan ditanam harus sehat dan subur. Teknik

7 14 bercocok tanam yang baik sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan. Hal ini harus dimulai dari awal, yaitu sejak dilakukan persemaian sampai tanaman itu bisa dipanen. Satu hektar padi sawah diperlukan kg benih tergantung pada jenis padinya. Pengolahan tanah dapat dilakukan secara intensif, yakni dengan menggunakan mesin traktor atau bajak dan cangkul. Bibit padi yang digunakan sebaiknya dari benih yang berlabel dari varietas unggul. Setelah hari setelah persemaian, benih padi sudah siap untuk pindah tanam. Dosis pemupukan sesuai dengan dosis anjuran setempat. Berdasarkan anjuran pemupukan secara berimbang oleh Kementrian Pertanian, dalam satu hektar padi sawah dosis pemupukannya adalah 5:3:2 artinya dalam satu hektar sawah diperlukan 500 kg pupuk organik yang diaplikasikan pada saat pengolahan lahan, selanjutnya digunakan 300 kg pupuk NPK dan 200 kg pupuk urea. Penyulaman dilakukan bagi bibit yang tidak tumbuh, rusak, mati, dan terkena hama penyakit. Penyiangan dilakukan untuk membersihkan rumput dan tanaman yang tidak dikehendaki keberadaannya (gulma). Penyiangan dilakukan menjelang 21 hari setelah tanam yang manfaatnya adalah dapat meningkatkan jumlah udara dalam tanah dan merangsang pertumbuhan akar menjadi lebih baik. Pengendalian organisme pengganggu tanaman untuk lahan sawah dilakukan sesuai dengan jenis gejalanya. Hama penyakit yang menyerang padi diantaranya penggerek batang padi, tikus, walang sangit, ulat grayak, dan tungro. Penyulaman dilakukan seminggu setelah tanam. Secara umum, padi dipanen saat berumur hari.

8 15 Pemanenan dilakukan paling tepat saat 90% gabah menguning. Setelah panen malai jangan ditumpuk terlalu lama dan keringkan gabah segera setelah panen dengan sinar matahari atau mesin pengering agar mendapatkan kualitas beras yang baik (Martodireso dan Suryanto, 2011). 2.6 Indikator Enam Tepat Kebijakan Subsidi Pupuk Salah satu indikator untuk meguji efektivitas kebijakan pemerintah terhadap pupuk organik bersubsidi adalah prinsip enam tepat (tepat waktu, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat mutu, dan tepat jenis). Indikator yang digunakan dalam penelitian ini terfokus pada empat indikator utama yaitu tepat waktu, tepat jumlah, tepat harga, dan tepat tempat. Pemilihan keempat indikator tersebut berdasarkan pertimbangan empat indikator ketepatan tersebut dapat dikuantifikasikan sehingga dapat diinterprestasikan. Menurut Syafa at (2007 dalam Elisa, 2013) pengertian tepat harga adalah suatu kondisi dimana harga pembelian pupuk organik bersubsidi oleh petani secara kontan di tingkat pengecer atau kios resmi per saknya sama dengan HET (Harga Eceran Tertinggi). Pengertian tepat tempat adalah suatu kondisi dimana pupuk organik bersubsidi tersedia di dekat lahan petani. Pengertian tepat waktu adalah suatu kondisi dimana pupuk organik bersubsidi secara fisik tersedia pada saat dibutuhkan oleh petani. Pengertian tepat jumlah adalah jumlah pupuk organik bersubsidi yang diterima responden sesuai dengan dosis yang dianjurkan oleh Pemerintah Provinsi Bali (500kg/ha).

9 Ruang Lingkup Usahatani Menurut Soekartawi (2006 dalam Sari, 2011) ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada di lapangan pertanian secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Hernanto (1989 dalam Sari, 2011) terdapat empat unsur pokok dalam usahatani atau sering juga disebut sebagai faktor-faktor produksi. Keempat unsur tersebut antara lain adalah. 1. Lahan. Lahan merupakan faktor produksi yang mewakili unsur alam dan merupakan jenis modal yang sangat penting. Lahan usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah, dan sebagainya. Lahan tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil, pemberian negara, warisan ataupun wakaf. 2. Tenaga kerja. Tenaga kerja dalam usahatani sangat diperlukan dalam menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Jenis tenaga kerja manusia dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan, dan faktor alam seperti iklim dan

10 17 kondisi lahan. Tenaga kerja usahatani dibedakan menurut sumbernya yaitu tenaga kerja dalam usahatani dapat berasal dari dalam dan luar keluarga. 3. Modal. Penggunaan modal berfungsi membantu meningkatkan produktivitas, baik lahan maupun tenaga kerja untuk menciptakan kekayaan dan pendapatan usahatani. Modal dalam suatu usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa. 4. Pengelolaan (manajemen) usahatani. Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dengan sebaik-baiknya sehingga memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. 2.8 Analisis Pendapatan Usahatani Ada tiga variabel yang perlu diketahui dalam melakukan analisis usahatani yaitu penerimaan, biaya, dan pendapatan. 1. Penerimaan usahatani Menurut Hernanto (1988 dalam Sumartini, 2011), menyatakan bahwa penerimaan usahatani adalah penerimaan dari semua usahatani meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai yang dikonsumsi. Penerimaan usahatani merupakan total penerimaan dari kegiatan usahatani yang diterima pada akhir proses produksi. Penerimaan usahatani dapat pula

11 18 diartikan sebagai keuntungan material yang diperoleh seorang petani atau bentuk imbalan jasa petani maupun keluarganya sebagai pengelola usahatani maupun akibat pemakaian barang modal yang dimilikinya. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Penerimaan usahatani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penerimaan bersih usahatani dan penerimaan kotor usahatani. Penerimaan bersih usahatani adalah merupakan selisih antara penerimaan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Pengeluaran total usahatani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai dalam proses produksi, tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga petani. Penerimaan kotor usahatani adalah nilai total produksi usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun tidak dijual (Soekartawi, 1995 dalam Sari, 2011). 2. Biaya usahatani Biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani, sedangkan yang dimaksud dengan pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Hernanto (1989 dalam Sari, 2011) mengungkapkan bahwa biaya produksi dalam usahatani dapat dibedakan menjadi. 1) Berdasarkan jumlah output yang dihasilkan, biaya terdiri dari: a. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alat-alat bangunan pertanian, dan bunga pinjaman.

12 19 b. Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalkan pengeluaran untuk bibit, pupuk, obatobatan, dan biaya tenaga kerja. 2) Berdasarkan yang langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri dari: a. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap misalnya pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan, dan tenaga luar keluarga. Biaya tunai ini berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani. b. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri (biaya tetap), dan tenaga dalam keluarga (biaya variabel). Biaya tidak tunai ini untuk melihat bagaimana manajemen suatu usahatani. 3. Pendapatan usahatani Pendapatan usahatani adalah total pendapatan bersih yang diperoleh dari seluruh aktivitas usahatani yang merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan (Hadisapoetra, 1979 dalam Maryana, 2007). Pendapatan usahatani terbagi atas pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya tunai usahatani. Pendapatan kotor mengukur pendapatan kerja petani tanpa memasukkan biaya yang diperhitungkan sebagai komponen biaya. Pendapatan total usahatani mengukur pendapatan kerja petani dari seluruh biaya usahatani yang dikeluarkan. Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari

13 20 selisih penerimaan usahatani dengan biaya total usahatani (Soekartawi, 2006 dalam Suwarthiani, 2014). 4. Perbandingan penerimaan dengan biaya (R/C ratio) Analisis R/C ratio (Revenue Cost ratio) menunjukkan besar penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani. Semakin besar nilai R/C maka semakin besar pula penerimaan yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani yang dilakukan tersebut menguntungkan dan layak untuk diusahakan (Soekartawi, 2006 dalam Sari, 2010). Kegiatan usahatani dapat dikatakan layak apabila nilai R/C ratio lebih besar dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani tersebut menguntungkan. Sebaliknya apabila nilai R/C ratio lebih kecil dari satu, artinya setiap tambahan biaya menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil sehingga kegiatan usahatani dikatakan tidak menguntungkan. Nilai R/C ratio sama dengan satu, maka kegiatan usahatani memperoleh keuntungan normal. 5. Uji Independent Test (Sampel Tidak Berhubungan) Uji Independent Test merupakan salah satu teknik statistik parametrik dilakukan untuk membandingkan mean (rata-rata) dari sampel yang tidak berhubungan (Setyawan, 2008).

14 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang berhubungan baik berupa penelitian tentang subsidi pupuk maupun penelitian tentang efektivitas suatu kebijakan publik dijadikan rujukan dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu tentang efektivitas kebijakan subsidi pupuk adalah penelitian Suhaila Marisa (2011) tentang Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efektivitas kebijakan subsidi pupuk di Kabupaten Bogor dan pengaruhnya terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor. Metode yang digunakan adalah indikator empat tepat penyaluran pupuk bersubsidi dan regresi linier berganda. Hasil dari penelitian ini adalah kebijakan subsidi pupuk dikatakan belum efektif berdasarkan indikator empat tepat dan Variabel harga TSP, harga padi, dan luas kahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan pupuk area. Variabel luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk, dummy benih, dan dummy efektivitas harga yang mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produksi padi. Persamaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama-sama mengukur efektivitas dari suatu kebijakan pupuk yang dilakukan pemerintah dengan metode pengukuran empat tepat kebijakan pupuk yang dilakukan (tepat tempat, tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat harga). Penelitian lain yang berkaitan dengan penelitian ini adalah penelitian Verina Elisa (2013) tentang Analisis Efektivitas Kebijakan Pemerintah terhadap Subsidi Pupuk (Studi Kasus pada Petani di Kabupaten Pringsewu Lampung). Tujuan Penelitian Verina adalah untuk mengetahui efektivitas kebijakan

15 22 pemerintah terhadap subsidi pupuk di Kabupaten Pringsewu Lampung. Metode yang digunakan adalah indikator enam tepat penyaluran pupuk (tepat harga, waktu, mutu, jenis, jumlah, dan tempat). Hasil penelitian ini adalah kebijakan pemerintah terhadap subsidi pupuk di Kabupaten Pringsewu Lampung dikatakan efektif ditinjau dari indikator enam tepat. Persamaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama-sama mengukur efektivitas dari suatu kebijakan pupuk yang dilakukan pemerintah dengan metode pengukuran empat dari enam tepat distribusi pupuk (tepat tempat, tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat harga ). Hal yang membedakan penelitian-penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah berdasarkan lokasi dan alat analisis yang digunakan. Perbedaan lainnya yaitu kebijakan subsidi pupuk organik yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali ini yang baru dilakukan pada tahun 2013 dengan produsen pupuk dari gabungan kelompok tani binaan Pemerintah Provinsi Bali ini merupakan hal yang baru dan belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Penelitian-penelitian terdahulu yang dijadikan acuan dalam penelitian ini dijelaskan pada Tabel 2.

16 23 Tabel 2 Penelitian-Penelitian Terdahulu No Penulis Tahun Judul 1 Suhaila Marisa 2011 Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi Kasus: Kabupaten Bogor) 2 Verina Elisa 2013 Analisis Efektivitas Kebijakan Pemerintah terhadap Subsidi Pupuk (Studi Kasus pada Petani di Kabupaten Pringsewu Lampung) Variabel dan alat analisis Variabel yang digunakan adalah harga pupuk, jumlah pupuk, luas lahan, tenaga kerja, benih, dummy benih dan dummy efekrivitas harga. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif dan kuantitatif serta regresi linier berganda Variabel yang digunakan adalah indikator enam tepat penyaluran subsidi pupuk (tepat harga, tepat jumlah, tepat jenis, tepat waktu, tepat mutu dan tepat tempat. Metode analisisnya adalah metode kuantitatif perbandingan keadaan real dengan kebijakan subsidi pupuk Hasil penelitian kebijakan subsidi pupuk masih dikatagorikan belum efektif berdasarkan prinsip empat tepat. Variabel harga TSP, harga padi, dan luas kahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan pupuk area. Variabel luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk, dummy benih dan dummy efektivitas harga yang mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produksi padi. kebijakan pemerintah terhadap subsidi pupuk di Kabupaten Pringsewu Lampung dikatakan efektif ditinjau dari indikator enam tepat Kerangka Pemikiran Teoritis Kebijakan subsidi pupuk organik yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Bali sejak tahun 2013 mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi adalah terletak pada produsen penyedia pupuk organik tidak lagi perusahaan pupuk swasta melainkan gabungan kelompok tani Simantri dan kelompok tani yang mempunyai APPO atau RPPPO.

17 24 Pengadaan pupuk organik yang dilakukan oleh gabungan kelompok tani Simantri dan kelompok tani pengelola APPO/RPPO kemudian disalurkan langsung kepada subak pelaksana pemupukan menggunakan pupuk organik sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan subak. Kebutuhan pupuk organik untuk luas lahan 223 ha di Subak Sungsang dipenuhi oleh gabungan kelompok tani UD Timan Agung yang terletak di Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan. Efektivitas distribusi subsidi pupuk organik dianalisis menggunakan indikator empat tepat penyaluran pupuk (tepat waktu, harga, jumlah, dan tempat), dan dampak kebijakan subsidi pupuk organik terhadap pendapatan usahatani di Subak Sungsang dianalisis dengan melihat perbandingan pendapatan petani menggunakan pupuk kimia secara penuh dan menggunakan pupuk majemuk berimbang pada musim tanam berbeda. Hasil yang diperoleh direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Bali dalam merumuskan pelaksanaan distribusi subsidi pupuk organik yang paling efektif dan mengetahui dampak penggunaan pupuk majemuk berimbang untuk mendukung sektor pertanian di Bali. Kerangka pemikiran penelitian dijelaskan pada Gambar 2.2.

18 25 Kebijakan Subsidi Pupuk Organik Pemerintah Provinsi Bali Efektivitas Distribusi Subsidi Pupuk Organik Pendapatan Usahatani Indikator empat tepat 1. Tepat hargga 2. Tepat waktu 3. Tepat tempat 4. Tepat jumlah Analisis Kesimpulan Rekomendasi Keterangan : = Ruang lingkup penelitian Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Efektivitas Distribusi Subsisi Pupuk Organik dan Dampaknya terhadap Pendapatan Usahatani Padi Sawah di Subak Sungsang, Desa Tibubiu, Kabupaten Tabanan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio). III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini meliputi konsep usahatani, biaya usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terbesar kedua setelah sektor pariwisata (perdagangan, hotel, dan restoran).

I. PENDAHULUAN. terbesar kedua setelah sektor pariwisata (perdagangan, hotel, dan restoran). 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Bali merupakan sektor penyumbang pendapatan daerah terbesar kedua setelah sektor pariwisata (perdagangan, hotel, dan restoran). Berdasarkan data

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. golongan rumput berumpun dengan klasifikasi sebagai berikut: : ada 25 spesies, dua di antaranya adalah Oryza sativa L dan Oryza

TINJAUAN PUSTAKA. golongan rumput berumpun dengan klasifikasi sebagai berikut: : ada 25 spesies, dua di antaranya adalah Oryza sativa L dan Oryza II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspek Teknis Komoditi Padi Tanaman padi merupakan tanaman semusim yang termasuk dalam golongan rumput berumpun dengan klasifikasi sebagai berikut: Genus Famili Spesies : Oryza

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sub tropis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina)

PENDAHULUAN. sub tropis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) PENDAHULUAN Latar belakang Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman pertanian kuno ini berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan sub tropis. Bukti sejarah menunjukkan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG 7.1 Keragaan Usahatani Padi Varietas Ciherang Usahatani padi varietas ciherang yang dilakukan oleh petani di gapoktan Tani Bersama menurut hasil

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani Ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu,

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. uji perbandingan. Komparasi juga merupakan salah satu metode penelitian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. uji perbandingan. Komparasi juga merupakan salah satu metode penelitian yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komparasi Komparasi adalah sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari jawaban secara mendasar tentang sebab-akibat, yang kemudian dilakukan analisis dengan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI 6.1. Keragaan Usahatani Padi Keragaan usahatani padi menjelaskan tentang kegiatan usahatani padi di Gapoktan Jaya Tani Desa Mangunjaya, Kecamatan Indramayu, Kabupaten

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO TAHUN

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI, REALOKASI DAN RENCANA KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAPUAS

Lebih terperinci

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG BUPATI MALANG, BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANGGARAN 2013 BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TAPIN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. padi merupakan komoditas utama dalam menyokong pangan masyarakat.

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. padi merupakan komoditas utama dalam menyokong pangan masyarakat. II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Padi Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan penting yang telah menjadi makanan pokok lebih dari setengah penduduk dunia.

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik KONSEP GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 73 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DI KABUPATEN

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN MADIUN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SINJAI TAHUN ANGGARAN 2016

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN

Lebih terperinci

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT Handoko Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Lahan sawah intensif produktif terus mengalami alih fungsi,

Lebih terperinci

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU Jl. Let. Jend. S. Pa[ PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BENGKULU

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

III. METODELOGI PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan III. METODELOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT 7.1. Penerimaan Usahatani Padi Sehat Penerimaan usahatani padi sehat terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Penerimaan tunai adalah penerimaan

Lebih terperinci

BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGGAMUS,

Lebih terperinci

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011

Lebih terperinci

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS, PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa peranan pupuk

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN BUPATI SAMPANG NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SAMPANG

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BADUNG TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani Definisi usahatani ialah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2011 BUPATI KUDUS, Menimbang

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Konsep Ekonomi 3.1.1. Fungsi Produksi Dalam proses produksi terkandung hubungan antara tingkat penggunaan faktor-faktor produksi dengan produk atau hasil yang akan diperoleh.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG Usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang menurut bentuk dan coraknya tergolong ke dalam usahatani perorangan dimana pengelolaannya dilakukan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Peranan Kredit dalam Kegiatan Usahatani Ada dua sumber permodalan usaha yaitu modal dari dalam (modal sendiri) dan modal dari luar (pinjaman/kredit).

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI TAHUN ANGGARAN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA BOGOR TAHUN

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benih Pengertian 2.2. Klasifikasi Umum Tanaman Padi

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benih Pengertian 2.2. Klasifikasi Umum Tanaman Padi II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benih 2.1.1. Pengertian Benih adalah biji tanaman yang dipergunakan untuk keperluan dan pengembangan di dalam usaha tani, yang mana memiliki fungsi secara agronomis atau merupakan

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Konsep formal

II. TINJAUAN PUSTAKA. dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Konsep formal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kemitraan Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlu untuk ditingkatkan. Peningkatan produksi padi dipengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. perlu untuk ditingkatkan. Peningkatan produksi padi dipengaruhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan tanaman serealia penting dan digunakan sebagai makanan pokok oleh bangsa Indonesia. Itulah sebabnya produksi padi sangat perlu untuk ditingkatkan. Peningkatan

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA : a. bahwa peranan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

BERITA DAERAH KOTA BOGOR BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus di Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penentuan

Lebih terperinci

1. JUMLAH RTUP MENURUT GOL. LUAS LAHAN

1. JUMLAH RTUP MENURUT GOL. LUAS LAHAN GOL. LUAS LAHAN (m 2 ) 1. JUMLAH RTUP MENURUT GOL. LUAS LAHAN ST.2003 ST.2013 PERUBAHAN RTUP RTUP (juta) (%) (juta) (juta) < 1000 9.38 4.34-5.04-53.75 1000-1999 3.60 3.55-0.05-1.45 2000-4999 6.82 6.73-0.08-1.23

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) termasuk dalam keluarga Leguminoceae dan genus Arachis. Batangnya berbentuk

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN TANJUNG JABUNG

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN WALIKOTA TEBING TINGGI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA TEBING

Lebih terperinci

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

SALINAN NOMOR 5/E, 2010 SALINAN NOMOR 5/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2010 WALIKOTA MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT VIII PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT 8.1. Penerimaan Usahatani Padi Sehat Produktivitas rata-rata gabah padi sehat petani responden sebesar 6,2 ton/ha. Produktivitas rata-rata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BLORA TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Efektivitas Distribusi Subsidi Pupuk Organik dan Dampaknya terhadap Pendapatan Usahatani Padi Sawah di Subak Sungsang, Desa Tibubiu, Kabupaten Tabanan

Efektivitas Distribusi Subsidi Pupuk Organik dan Dampaknya terhadap Pendapatan Usahatani Padi Sawah di Subak Sungsang, Desa Tibubiu, Kabupaten Tabanan Efektivitas Distribusi Subsidi Pupuk Organik dan Dampaknya terhadap Pendapatan Usahatani Padi Sawah di Subak Sungsang, Desa Tibubiu, Kabupaten Tabanan NI WAYAN WINDA ARISANDI, I MADE SUDARMA, I KETUT RANTAU

Lebih terperinci

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2009

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Usahatani Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Tempat Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah respon petani terhadap kegiatan penyuluhan PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG 1 BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN 2014

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN 6.1. Analisis Budidaya Kedelai Edamame Budidaya kedelai edamame dilakukan oleh para petani mitra PT Saung Mirwan di lahan persawahan.

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PATI TAHUN ANGGARAN 2016

Lebih terperinci

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BLITAR

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014 BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN KUANTAN

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU

Lebih terperinci

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG 1 BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tinjauan Agronomis Padi merupakan salah satu varietas tanaman pangan yang dapat dibudidayakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Padi adalah salah satu bahan makanan

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

BUPATI PENAJAM PASER UTARA BUPATI PENAJAM 9 PASER UTARA PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2014 DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BIMA TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan merupakan suatu rancangan kerja penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan konsep dan teori dalam menjawab

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA SURABAYA TAHUN

Lebih terperinci

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH 11:33 PM MASPARY Selain ditanam pada lahan sawah tanaman padi juga bisa dibudidayakan pada lahan kering atau sering kita sebut dengan budidaya padi gogo rancah. Pada sistem

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO MOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA MOJOKERTO TAHUN 2010 WALIKOTA MOJOKERTO, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJARMASIN

WALIKOTA BANJARMASIN WALIKOTA BANJARMASIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN WALIKOTA BANJARMASIN NOMOR r. TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DIKOTA BANJARMASIN TAHUN ANGGARAN 2015 «DENGAN

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. yang tidak mengalami kelangkaan pupuk dilihat berdasarkan produktivitas dan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. yang tidak mengalami kelangkaan pupuk dilihat berdasarkan produktivitas dan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Petani Padi Petani padi dalam menghadapi kelangkaan pupuk dibedakan berdasarkan pengaruh kelangkaan pupuk terhadap produktivitas dan pendapatan dalam usahatani padi. Pengaruh

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Pembiayaan dalam dunia usaha sangat dibutuhkan dalam mendukung keberlangsungan suatu usaha yang dijalankan. Dari suatu usaha yang memerlukan pembiayaan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida 5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida Berdasarkan hasil perhitungan terhadap rata-rata penerimaan kotor antar varietas padi terdapat perbedaan, kecuali antara

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi

METODE PENELITIAN. merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi III. METODE PENELITIAN Penelitian tentang pengembangan usahatani mina padi dengan sistem jajar legowo ini dilakukan di Desa Mrgodadi, Kecamatan sayegan, Kabupaten Sleman. Penelitian ini menggunakan metode

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2014

Lebih terperinci