BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian Etika Profesi Wheelwright dalam Robertson Jack C. dan Timothy J. Louwers (2002: 462) mendefinsikan etika sebagai berikut, That branch of philosophy which is the systematic study of reflective choice, of the standards of right and wrong by which it is to be guided, and of the goods toward which it may ultimately directed (Cabang filosofi yang merupakan studi sistematis pilihan reflektif, yaitu standar yang menentukan benar dan salah dan ke arah mana diarahkan pada akhirnya) Boynton, et.al, (2001: 97) menyatakan, Etika (ethics) berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti karakter. Kata lain untuk etika ialah moralitas (morality), yang berasal dari bahasa latin mores, yang berarti kebiasaan. Oleh karena itu, etika berkaitan dengan pertanyaan tentang bagaimana orang akan berperilaku terhadap sesamanya. Maryani T. dan Ludigdo (2001) mendefinisikan etika sebagai, Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan manusia atau masyarakat atau profesi. Menurut Arens, Alvin A., et.al (2008: 98) etika secara garis besar dapat didefinisikan sebagai serangkaian prinsip atau nilai moral. Menurut Martandi Indriana Farid dan Sri Suranta (2006) dalam bahasa latin etika yaitu ethica berarti falsafah moral. Etika merupakan pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, susila, serta agama. 9

2 10 Di Indonesia etika diterjemahkan menjadi kesusilaan karena sila berarti dasar, kaidah, atau aturan, sedangkan su berarti baik, benar dan bagus (Sihwajoeni dan Gudono: 2000). Pengertian profesi menurut Danim Sudarwan (2002: 20), Secara estimologi, istilah profesi berasl dari bahasa Inggris yaitu profession atau bahasa latin profecus yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan pekerjaan. Sedangkan secara terminologi, profesi berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental. Sedangkan Bell Danien (1973) memberikan definisi profesi, Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok/ badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan mengimplementasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan teknis dan moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badudu J.S. dan Sutan, 2002:848), Profesi adalah pekerjaan dimana dari pekerjaan tersebut diperoleh nafkah untuk hidup, definisi profesionalisme adalah mutu, kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau ciri orang yang profesional. Sementara kata profesional sendiri berarti, 1) Bersifat profesi; 2) Memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan; 3) Latihan. Selanjutnya, selain kaidah etika masyarakat juga terdapat apa yang disebut dengan kaidah profesional yang khusus berlaku dalam kelompok profesi yang bersangkutan, yang mana dalam penelitian ini adalah auditor. Oleh karena merupakan konsensus, maka etika tersebut dinyatakan secara tertulis atau formal dan selanjutnya disebut sebagai kode etik. Sifat sanksinya juga moral psikologik, yaitu dikucilkan atau disingkirkan dari pergaulan kelompok profesi yang bersangkutan (Desriani dalam Sihwajoeni dan Gudono: 2000).

3 11 berikut, Menurut Boyton, et.al (2001: 98), Etika profesional adalah standar perilaku bagi seorang profesional yang dirancang untuk tujuan praktis dan idealistik. Sedangkan kode etik profesional dapat dirancang sebagian untuk mendorong perilaku yang ideal, sehingga harus bersifat realistis dan dapat ditegakkan. Russell J.P. (2000: 1) memberikan definisi terkait etika professional, The manner in the auditor conducts him/herself. Objectivity, courtesy, honesty, and many other character attributes combine to make up the particular conduct of any auditor during an audit. (Cara auditor memperlakukan dirinya. Objektivitas, kesopanan, kejujuran, dan banyak atribut karakter lainnya menggabungkan untuk membuat perilaku auditor selama audit) Yusuf Haryono (2001) menyatakan, Etika profesional lebih luas dari prinsip-prinsip moral. Etika tersebut mencakup prinsip-prinsip untuk orang-orang profesional yang dirancang untuk tujuan praktis maupun untuk tujuan idealistis. Oleh karena kode etik profesional antara lain dirancang untuk mendorong perilaku ideal, maka kode etik harus realistis dan dapat dilaksanakan. Agar bermanfaat, kode etik seyogyanya lebih tinggi dari undang-undang tetapi dibawah ideal. Sihwajoeni dan Gudono (2000) membuat definsi kode etik profesi sebagai Kode etik profesi merupakan suatu prinsip moral dan pelaksanaan aturanaturan yang memberi pedoman dalam berhubungan dengan klien, mayarakat, anggota sesama profesi serta pihak yang berkepentingan lainnya. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai auditor, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan, Etika profesional bagi praktik auditor di Indonesia dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Tujuan profesi akuntan adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tinggi, mencapai tingkat kinerja yang tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat 4 (empat) kebutuhan dasar yang harus dipenuhi,

4 12 - Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi. - Profesionalisme. Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa akuntan sebagai profesional dibidang akuntansi. - Kualitas jasa. Pemakai jasa harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan. - Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan. (Kongres IAI: 1998 dalam Sasongko Nanang:1999). Terdapat dua sasaran pokok dari diterapkannya kode etik, yaitu, 1. Kode etik ini bermaksud untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari kaum profesional. 2. Kode etik ini bertujuan untuk melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku buruk orang-orang tertentu yang mengaku dirinya profesional. (Keraf Sonny: 1998). Kode Etik IAI dibagi menjadi empat bagian berikut ini: (1) Prinsip Etika, (2) Aturan Etika, (3) Interpretasi Aturan Etika, (4) Tanya dan Jawab (SPAP: 2001). Dalam hal ini Prinsip Etika memberikan rerangka dasar bagi aturan etika yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres IAI dan berlaku bagi seluruh anggota IAI, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Kompartemen dan hanya mengikat

5 13 anggota Kompartemen yang bersangkutan. Interpretasi etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Pengurus Kompartemen setelah memperlihatkan tanggapan dari anggota dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, sebagai panduan penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup penerapannya. Tanya dan jawab memberikan penjelasan atas setiap pertanyaan dari anggota Kompartemen tentang Aturan Etika beserta interpretasinya. Dalam Kompartemen Akuntan Publik, Tanya dan Jawab ini dikeluarkan oleh Dewan Standar Profesional Akuntan Publik (Agoes Sukrisno, 2012: 43). Untuk menjadi akuntan publik yang dapat dipercaya oleh masyarakat, maka dalam menjalankan praktik profesinya harus patuh pada prinsip-prinsip etika yaitu, 1. Tanggung jawab Profesi Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. 2. Kepentingan Publik Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. 3. Integritas Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin. Dalam SPAP (2001) menjelaskan bahwa dalam menjalankan

6 14 tugasnya anggota KAP harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain. 4. Objektivitas Setiap anggota harus menjaga obyektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. 5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional Setiap anggota harus melakukan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir. 6. Kerahasiaan Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. 7. Perilaku Profesional Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. 8. Standar Teknis

7 15 Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan objektivitas. (Mulyadi, 2002: 53). Aturan etika yang telah disahkan oleh Kompartemen Akuntan Publik Ikatan Akuntan Indonesia adalah sebagai berikut, 1. Indepedensi, integritas, dan objektivitas - Indepedensi. Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana di atur dalam standar profesional akuntan publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun penampilan (in appearance). - Integritas dan objektivitas. Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus mempertahankan integritas dan objektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain.

8 16 2. Standar umum dan standar akuntansi - Standar umum. Anggota KAP harus mematuhi standar berikut ini beserta interpretasi yang terkait yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI: a. Kompetensi profesional. Anggota KAP hanya boleh melakukan pemberian jasa profesional secara layak (reasonable) diharapkan dapat diselesaikan dengan kompetensi profesional. b. Kecermatan dan keseksamaan profesional. Anggota KAP wajib melakukan pemberian jasa profesional dengan kecermatan dan kesaksamaan profesional. c. Perencanaan dan supervisi. Anggota KAP wajib merencanakan dan mensupervisi secara memadai setiap pelaksanaan pemberian jasa profesional. d. Data relevan yang memadai. Anggota KAP wajib memperoleh data relevan yang memadai untuk menjadi dasar yang layak bagi simpulan atau rekomendasi sehubungan dengan pelaksanaan jasa profesionalnya. - Kepatuhan terhadap standar. Anggota KAP yang melaksanakan penugasan jasa auditing, atestasi, review, kompilasi, konsultasi manajemen, perpajakan, atau jasa profesional lainnya wajib mematuhi standar yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan oleh IAI.

9 17 - Prinsip - standar akuntansi. Anggota KAP tidak diperkenankan: (1) menyatakan pendapat atau memberikan penegasan bahwa laporan keuangan atau data keuangan lain suatu entitas disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum atau (2) menyatakan bahwa ia tidak menemukan perlunya modifikasi material yang harus dilakukan terhadap laporan atau data tersebut agar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku, apabila laporan tersebut memuat penyimpangan yang berdampak material terhadap laporan atau data secara keseluruhan dari standar akuntansi yang ditetapkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI. Dalam keadaan luar biasa, laporan atau data mungkin memuat penyimpangan seperti tersebut diatas, dalam kondisi tersebut, anggota KAP dapat tetap mematuhi ketentuan dalam butir ini selama anggota KAP dapat menunjukkan bahwa laporan atau data akan menyesatkan apabila tidak memuat penyimpangan seperti itu, dengan cara mengungkapkan penyimpangan dan estimasi dampaknya (bila praktis), serta alasan mengapa kepatuhan atas standar akuntansi yang berlaku umum akan menghasilkan laporan yang menyesatkan.

10 18 3. Tanggung jawab kepada klien - Informasi klien yang rahasia. Anggota KAP tidak diperkenankan mengungkapkan informasi klien yang rahasia, tanpa persetujuan dari klien. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk: (1) Membebaskan anggota KAP dari kewajiban profesionalnya sesuai dengan aturan etika kepatuhan terhadap standar dan standar akuntansi. (2) Mempengaruhi kewajiban anggota KAP dengan cara apapun untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti panggilan resmi penyidikan pejabat pengusut atau melarang kepatuhan anggota KAP terhadap ketentuan peraturan yang berlaku. (3) Melarang review praktik profesional (review mutu) seorang anggota sesuai dengan kewenangan IAI atau (4) Menghalangi anggota dari pengajuan pengaduan keluhan atau pemberian komentar atas penyidikan yang dilakukan oleh badan yang dibentuk IAI-KAP dalam rangka penegakan disiplin anggota. Anggota yang terlibat dalam penyidikan dan review diatas, tidak boleh memanfaatkannya untuk kepentingan diri pribadi mereka atau mengungkapkan informasi klien yang harus dirahasiakan yang diketahuinya dalam pelaksanaan tugasnya. Larangan ini tidak boleh membatasi Anggota dalam pemberian informasi sehubungan dengan

11 19 proses penyidikan atau penegakkan disiplin sebagimana telah diungkapkan dalam butir (4) di atas atau review praktik profesional (review mutu) seperti telah disebutkan dalam butir (3) diatas. - Fee Profesional a. Besaran fee. Besarnya fee anggota dapat bervariasi tergantung antara lain: risiko penugasan, kompleksitas jasa yang diberikan, tingkat keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan jasa tersebut, struktur biaya KAP yang bersangkutan dan pertimbangan profesional lainnya. Anggota KAP tidak diperkenankan mendapatkan klien dengan cara menawarkan fee yang dapat merusak citra profesi. b. Fee kontijen. Fee kontijen adalah fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa profesional tanpa adanya fee yang akan dibebankan, kecuali ada temuan atau hasil tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil tertentu tersebut. Fee dianggap tidak kontijen jika ditetapkan oleh pengadilan atau badan pengatur tahu dalam hal perpajakan, jika dasar penetapan adalah hasil penyelesaian hukum atau temuan badan pengatur. Anggota KAP tidak diperkenankan untuk menetapkan fee kontijen apabila penetapan tersebut dapat mengurangi indepedensi. 4. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi

12 20 - Tanggung jawab kepada rekan seprofesi. Anggota wajib memelihara citra profesi, dengan tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang dapat merusak reputasi rekan seprofesi. - Komunikasi antar akuntan publik. Anggota wajib berkomunikasi tertulis dengan akuntan terdahulu bila akan mengadakan perikatan (engagement) audit menggantikan akuntan publik terdahulu atau untuk tahun buku yang sama ditunjuk akuntan publik lain dengan jenis dan periode serta tujuan yang berlainan. Akuntan publik terdahulu wajib menanggapi secara tertulis permintaan komunikasi dari akuntan pengganti secara memadai. - Perikatan atestasi. Akuntan publik tidak diperkenankan mengadakan perikatan atestasi yang jenis atestasi dan periodenya sama dengan perikatan yang dilakukan oleh akuntan yang lebih dahulu ditunjuk klien, kecuali apabila perikatan tersebut dilaksanakan untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan atau peraturan yang dibuat oleh badan yang berwenang. 5. Tanggung jawab dan praktik lain - Perbuatan dan perkataan yang mendiskreditkan. Anggota tidak diperkenankan melakukan tindakan dan/atau mengucapkan perkataan yang mencemarkan profesi. - Iklan, promosi, dan kegiatan pemasaran lainnya. Anggota dalam menjalankan praktik akuntan publik diperkenankan mencari klien

13 21 melalui pemasangan iklan, melakukan promosi pemasaran dan kegiatan pemasaran sepanjang tidak merendahkan citra profesi. - Komisi dan fee referal a. Komisi. Komisi adalah imbalan dalam bentuk uang atau barang atau bentuk lainnya yang diberikan kepada atau diterima dari klien/pihak lain untuk memperoleh perikatan dari klien/pihak lain. Anggota KAP tidak diperkenankan untuk memberikan/menerima komisi apabila pemberian/penerimaan komisi tersebut dapat mengurangi indepedensi. b. Fee referal. Fee referal (rujukan) adalah imbalan yang dibayarkan/diterima kepada/dari sesama penyedia jasa profesional akuntan publik. Fee referal (rujukan) hanya diperkenankan bagi sesama profesi. - Bentuk organisasi dan KAP. Anggota hanya dapat berpraktik akuntan publik dalam bentuk organisasi yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau yang tidak menyesatkan dan merendahkan citra profesi. (SPAP: 2001). Ketentuan kode etik akuntan Indonesia juga telah disahkan yaitu pada tanggal 22 September 1990 yang didalamnya berisi delapan bab yang terdiri dari kepribadian, kecakapan profesional, tanggung jawab, ketentuan khusus, pelaksanaan kode etik, suplemen dan penyempurnaan dan penutup. (Kongres IAI: 1990 dalam Sasongko Nanang: 1999).

14 22 Untuk interpretasi dari kode etik akuntan indonesia sampai saat ini berjumlah enam pernyataan etika profesi. Secara garis besar pernyataan etika profesi itu yaitu, Pernyataan no. 1 integritas, objektivitas, dan indepedensi Pernyataan no. 2 kecakapan profesional Pernyataan no. 3 pengungkapan informasi rahasia klien Pernyataan no. 4 iklan bagi kantor akuntan publik Pernyataan no. 5 komunikasi antar akuntan publik Pernyataan no. 6 perpindahan staf/partner dari satu kantor akuntan ke kantor akuntan lain. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, AICPA (American Institute of Certified Public Accountants) merumuskan kode etik dalam Code of Professional Conduct yang terdiri dari, 1. Responsibilities 2. The public interest 3. Integrity 4. Objectivity and Indepedence 5. Due Care 6. Scope and Nature of Service AICPA (American Institute of Certified Accountants) merumuskan kode kedalam tiga bagian yaitu principles (prinsip), rules (aturan), interpretations (interpretasi), dan ethics rulings (aturan etika). Principles adalah orientasi tujuan yang hendak dicapai yang berisi semua hal mengenai kerangka dari kode etik itu

15 23 sendiri. Rules yaitu aturan pelaksanaan etika yang dibentuk berdasarkan prinsip yang telah ditetapkan sebelumnya. Interpretations adalah sebuah pedoman untuk pengaplikasian aturan dan ruang lingkup yang dikeluarkan AICPA. Ethic Rulings yaitu menjelaskan pengaplikasian dari aturan (rules) dan interpretasi aturan etika (interpretations) yang lebih spesifik yang menyangkut mengenai keadaan faktual dari pelaksanaan etika profesional. (Pany Kurt, 2001: 69). Code of professional Conduct Principles (Provide Overall Framework) Additional Guidance Rules (Govern Performance of Professional Serices) Interpretations (Provide Guidenlines as to the scope and Application of Rules) Ethics Rulings (Summarize Apication of Rules and Interpretations to Particular Factual Cirumstances) Gambar 2.1 Etika Profesional AICPA (Pany Kurt, 2001:69) Hubungan antara pelaksanaan etika profesional yang dilakukan oleh auditor dalam penentuan tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan adalah pengambilan keputusan berdasarkan etika yang berlaku (Pany Kurt, 2001: 63). Pany Kurt menjelaskan bahwa dalam penentuan keputusan

16 24 berdasarkan etika profesional mengharuskan seorang auditor melakukan langkahlangkah sebagai berikut, 1. Identifikasi masalah (Identify the problem) 2. Identifikasi kemungkinan tindakan yang bisa diambil (Identify possible courses of action) 3. Identifikasi kendala yang akan muncul dalam keputusan yang diambil (Identify any constrains relating to the decision) 4. Identifikasi efek yang ditimbulkan dari keputusan yang diambil (Analyze the likely effects of the possible courses of action) 5. Pilih keputusan yang terbaik (Select the best course of action) Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa etika profesi adalah serangkaian prinsip atau nilai-nilai moral yang harus ditegakkan oleh setiap profesional dalam hal ini akuntan agar hubungan yang terjadi antara akuntan dengan akuntan, akuntan dengan klien, akuntan dengan masyarakat dan akuntan dengan pihak lainnya dapat berjalan dengan baik dengan diterapkannya kode etik juga kode etik ini harus dijadikan dasar dalam penentuan keputusan yang diambil oleh auditor. Kode etik profesi yang harus dipatuhi oleh seorang auditor adalah (1) indepedensi, integritas dan objektivitas; (2) standar umum dan standar akuntansi; (3) tanggung jawab kepada klien; (4) tanggung jawa kepada rekan seprofesi; (5) tanggung jawab dan praktik lain Materialitas PSA 25 (SA seksi 312) mendefinisikan materialitas sebagai berikut,

17 25 Materialitas adalah besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, mungkin dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut. Arens, Alvin A., et.al (2008:72) memberikan pengertian materialitas sebagai besarnya penghapusan atau suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat dianggap material jika pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan yang rasional. Mulyadi (2002:158) mendefinisikan materialitas sebagai berikut: Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu. Financial Accounting Standard Board (1999) dalam Arens, Alvin A., et.al (2008:318) memberikan definisi terhadap materialitas yaitu Besarnya penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang, dengan memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan seseorang yang bijaksana yang mengandalkan informasi tersebut mungkin akan berubah atau terpengaruh oleh penghapusan atau salah saji tersebut. Berdasarkan definisi - definisi diatas dapat disimpulkan bahwa materialitas adalah besaran jumlah nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, dimana salah saji dapat dikatakan material jika pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan para pengguna laporan keuangan dalam membuat suatu keputusan. Tujuan dari penetapan materialitas adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang cukup. Jika auditor menetapkan jumlah yang rendah, lebih banyak bahan bukti yang dikumpulkan daripada jumlah

18 26 yang tinggi tetapi sedikit mengumpulkan bahan bukti (Ariffudin dan Sri Anik: 2002). Kecukupan bukti audit digunakan sebagai dasar yang layak untuk menyatakan pendapat untuk auditor atas laporan keuangan yang diaudit (Yendrawati Reni: 2008). Hastuti., et.al (2003) menyatakan bahwa materialitas dalam akuntansi adalah suatu yang relatif, nilai kuantitatif yang penting dari beberapa informasi keuangan, dalam konteks pembuatan keputusan. Peran konsep materialitas mempengaruhi kuantitas dan kualitas informasi akuntansi yang diperlukan auditor dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan bukti. Konsep materialitas menyatakan bahwa tidak semua informasi keuangan diperlukan atau tidak semua informasi keuangan seharusnya dikomunikasikan dalam laporan akuntansi, hanya informasi material yang seharusnya disajikan. Informasi yang tidak material seharusnya diabaikan atau dihilangkan. Hal tersebut dapat dianalogikan bahwa konsep materialitas juga tidak memandang secara lengkap terhadap semua kesalahan, hanya kesalahan yang mempunyai pengaruh material yang wajib diperbaiki. Menurut Mulyadi (2002:158), dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan jasa assurance berikut ini : 1. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan dan dikompilasi.

19 27 2. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan klien. 3. Auditor dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk pendapat, bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan ketidakberesan. Tabel 2.1 Langkah-langkah dalam menetapkan materialitas Menetapkan pertimbangan awal Langkah 1 Merencanakan pendahuluan tentang materialitas Mengalokasi pertimbangan Luas Langkah 2 pendahuluan tentang materialitas Pengujian kedalam segmen Mengestimasikan total salah saji Langkah 3 dalam segmen Langkah 4 Memperkirakan salah saji gabungan Mengevaluasi Membandingkan salah saji gabungan Hasil dengan pertimbangan pendahuluan Langkah 5 atau yang direvisi tentang materialitas Sumber: Arens, Alvin A., et.al (2008:319) Menurut Arens, Alvin A., et.al (2008: 320) langkah-langkah dalam menetapkan materialitas adalah, 1. Menetapkan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas (preliminary judgement about materiality) Pertimbangan pendahuluan tentang materialitas adalah jumlah maksimum yang membuat auditor yakin bahwa laporan keuangan akan salah

20 28 saji tetapi tidak mempengaruhi keputusan para pemakai yang bijaksana. Auditor menetapkan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas untuk membantu merencanakan pengumpulan bukti yang tepat. Semakin rendah nilai uang pertimbangan pendahuluan ini, semakin banyak bukti audit yang dibutuhkan. Auditor seringkali mengubah pertimbangan pendahuluan tentang materialitas yang disebut dengan pertimbangan tentang materialitas yang direvisi (revised judgement about materiality). Hal ini terjadi karena auditor memutuskan bahwa pertimbangan pendahuluan terlalu besar atau terlalu kecil. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan pendahuluan auditor tentang materialitas adalah materialitas yang memiliki konsep yang relatif, dasar yang diperlukan untuk mengevaluasi materialitas, dan faktor-faktor kualitatif. 2. Mengalokasikan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas ke segmen-segmen (salah saji yang dapat ditoleransi) Hal ini perlu dilakukan karena auditor mengumpulkan bukti per segmen dan bukan untuk laporan keuangan secara keseluruhan yang nantinya akan membantu auditor dalam memutuskan bukti audit yang tepat yang harus dikumpulkan. Ketika auditor mengalokasikan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas ke saldo akun, materialitas yang dialokasikan ke saldo akun tertentu itu disebut dalam SAS 107 (AU 312) sebagai salah saji yang dapat ditoleransi. (tolerable misstatement).

21 29 3. Mengestimasi total salah saji dalam segmen Salah saji yang diketahui (known misstatement) adalah salah saji dalam akun yang jumlahnya dapat ditentukan oleh auditor. Salah saji yang mungkin (likely misstatement) terbagi menjadi dua jenis yaitu salah saji yang berasal dari perbedaan antara pertimbangan manajemen dan auditor tentang estimasi saldo akun, contohnya adalah perbedaan estimasi penyisihan piutang tak tertagih atau kewajiban garansi. Jenis kedua adalah proyeksi salah saji berdasarkan pengujian auditor atas sampel dari suatu populasi, contohnya adalah auditor menggunakan salah saji yang ditemukan yaitu 6 dari jumlah sampel 200 untuk mengestimasi total salah saji yang mungkin dalam persediaan. Total ini disebut estimasi atau proyeksi atau ekstrapolasi karena hanya sampel yang diaudit, bukan keseluruhan populasi. 4. Memperkirakan salah saji gabungan Jumlah salah saji yang diproyeksikan dalam langkah ketiga untuk setiap akun kemudian digabungkan dalam kertas kerja. 5. Membandingkan salah saji gabungan dengan pertimbangan pendahuluan atau yang direvisi tentang materialitas Langkah terakhir setelah dilakukan langkah ketiga dan keempat yaitu gabungan salah saji yang mungkin dibandingkan dengan materialitas. Menurut Arens, Alvin A., et.al (2008:72) dalam menerapkan definisi diatas, digunakan tiga tingkatan materialitas dalam mempertimbangkan jenis laporan yang harus dibuat. Tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Jumlahnya Tidak Material

22 30 Jika terdapat salah saji dalam laporan keuangan, tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai laporan, salah saji tersebut dianggap tidak material. Dalam hal ini pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan. 2. Jumlahnya Material Tetapi Tidak Mengganggu Laporan Keuangan Secara Keseluruhan Tingkat materialitas kedua terjadi jika salah saji di dalam laporan keuangan dapat mempengaruhi keputusan pemakai, tetapi keseluruhan laporan keuangan tersebut tersaji dengan benar, sehingga tetap berguna. Untuk memastikan materialitas jika terdapat kondisi yang menghendaki adanya penyimpangan dari laporan wajar tanpa pengecualian, auditor harus mengevaluasi segala pengaruhnya terhadap laporan keuangan, 3. Jumlah Sangat Material atau Pengaruhnya Sangat Meluas Sehingga Kewajaran Laporan Keuangan Secara Keseluruhan Diragukan Tingkat materialitas tertinggi terjadi jika para pemakai dapat membuat keputusan yang salah jika mereka mengandalkan laporan keuangan secara keseluruhan. Dalam kondisi kesalahan sangat material, auditor harus memberikan pernyataan tidak memberi pendapat atau pendapat tidak wajar, tergantung pada kondisi yang ada. Dalam menentukan materialitas suatu pengecualian, harus dipertimbangkan sejauh mana pengecualian itu mempengaruhi bagian bagian lain laporan keuangan. Ini disebut penyebaran (pervasiveness). Salah klasifikasi antara kas dan piutang hanya akan mempengaruhi dua akun itu dan oleh

23 31 karenanya tidak mempengaruhi akun lain. Di pihak lain, kelalaian mencatat penjualan yang material sangat akan mempengaruhi penjualan, piutang usaha, beban pajak penghasilan, utang pajak penghasilan, dan laba ditahan yang pada gilirannya mempengaruhi aktiva lancar, total aktiva, kewajiban lancar, total kewajiban, kekayaan pemilik marjin kotor dan laba operasi. Semakin meluas pengaruh suatu salah saji, kemungkinan untuk menerbitkan pendapat tidak wajar akan lebih besar daripada pendapat wajar dengan pengecualian. Selain itu, tanpa memperdulikan berapa jumlah materialitasnya, pernyataan untuk tidak memberikan pendapat harus diberikan apabila auditor tidak independen. Ketentuan ketat ini mencerminkan betapa pentingnya independensi yang harus dimiliki oleh seorang auditor. Menurut Mulyadi (2002: 160) Dalam perencanaan audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat berikut ini: a. Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas kewajaran mencakup laporan keuangan sebagai keseluruhan b. Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan yang menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan. Faktor yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas pada setiap tingkat dijelaskan berikut ini: Materialitas pada tingkat laporan keuangan, auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas dalam perencanaan audit dan kedua, pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksaaan audit. Pada saat merencanakan

24 32 audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan yang terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan. Oleh karena itu auditor harus mempertimbangkan dengan baik penaksiran materialitas pada tahap perencanaan audit. Jika auditor menentukan jumlah rupiah materialitas terlalu rendah, auditor akan mengkonsumsi waktu dan usaha yang sebenarnya tidak diperlukan. Sebaliknya, jika auditor menentukan jumlah rupiah materialitas terlalu tinggi, auditor akan mengabaikan salah saji yang signifikan sehingga ia memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan yang berisi salah saji material. Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi kekeliruan atau ketidakberesan yang dampaknya, secara individual atau secara gabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan keuangan tesebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Dalam keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip akuntansi berlaku umum, penyimpangan dari fakta, atau penghilang informasi yang diperlukan. Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Kenyataannya, setiap laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu tingkat materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materialitas dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bersih setelah

25 33 pajak. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau modal saham. Dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas, mula-mula auditor menentukan tingkat materialitas gabungan untuk setiap laporan keuangan. Sebagai contoh, auditor dapat menaksir bahwa kekeliruan berjumlah Rp 2 juta untuk laporan laba-rugi dan Rp 4 juta untuk neraca merupakan kekeliruan material. Dalam keadaan ini, auditor tidak semestinya menggunakan materialitas neraca dalam perencanaan audit karena jika salah saji neraca yang berjumlah Rp 4 juta juga berdampak terhadap laporan laba-rugi, sehingga laporan laba-rugi akan salah saji secara material. Untuk mencapai tujuan perencanaan audit, auditor harus menggunakan tingkat salah saji gabungan yang terkecil yang dianggap material terhadap salah satu laporan keuangan. Dasar pengambilan keputusan ini semestinya digunakan karena laporan keuangan adalah saling berhubungan satu dengan lainnya, banyak prosedur audit berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan. Pertimbangan awal auditor tentang materialitas seringkali dibuat enam sampai dengan Sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, seperti keadaan ekonomi umum dan trend industri.

26 34 Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik: a. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak. b. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari total aktiva. c. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1% dari pasiva. d. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari pendapatan bruto. Materialitas pada tingkat saldo akun, Meskipun auditor memberikan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan, namun ia harus melakukan audit terhadap akun-akun secara individual dalam mengumpulkan bukti audit yang dipakai sebagai dasar untuk menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan auditee. Oleh karena itu, taksiran materialitas yang dibuat pada tahap perencanaan audit harus dibagi ke akun-akun laporan keuangan secara individual yang akan diperiksa. Bagian materialitas yang dialokasikan ke akun-akun laporan keuangan secara individual ini dikenal dengan sebutan salah saji yang dapat diterima (tolerate misstatement) untuk akun tertentu. Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan

27 35 istilah saldo akun material. Saldo akun material adalah ukuran saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji (overstatement) dalam akun tersebut. Oleh karena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai risiko lebih saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh auditor, bahwa akun yang kelihatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang saji (understatement) yang melampaui materialitasnya. Dalam mempertimbangkan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor harus mempertimbakan hubungan antara materialitas tersebut dengan materialitas laporan keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan auditor untuk merencanakan audit guna mendeteksi salah saji yang kemungkinan tidak material secara individual, namun, jika digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang lain, dapat material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan. Alokasi materialitas laporan keuangan ke akun, bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individual. Pengalokasian ini dapat dilakukan baik untuk akun neraca maupun akun laba-rugi namun, karena hampir semua salah saji laporan laba-rugi juga mempengaruhi neraca dan karena akun neraca sedikit, banyak auditor yang melakukan alokasi

28 36 atas dasar akun neraca. Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun tersebut. Sebagai contoh, salah saji lebih (overstatement) kemungkinan lebih besar terdapat dalam persediaan dibandingkan dengan aktiva tetap, dan umumnya biaya untuk mengaudit persediaan lebih mahal dibandingkan dengan biaya untuk mengaudit aktiva tetap. Tingkat materialitas salah saji akun mempunyai hubungan terbalik dengan bukti. Materialitas yang dipertimbangkan tinggi, maka bukti yang diperlukan akan relatif lebih sedikit daripada materialitas yang rendah. Berkurangnya bukti yang diperlukan akan menurunkan biaya auditing. Menurut Halim Abdul (2001:95) perlu dibedakan secara jelas antara materialitas tingkat saldo dengan akun yang material. Semakin rendah tingkat materialitas berarti semakin kecil tingkat kesalahan yang dapat ditolerir, semakin kecil tingkat kesalahan yang dapat ditolerir semakin banyak bukti yang diperlukan. Maka dari itu, semakin rendah tingkat materialitas semakin banyak bukti yang diperlukan. Semakin material suatu akun, semakin banyak bukti yang harus dihimpun dan semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan. Akun piutang dagang lebih material daripada surat berharga pada perusahaan dagang. Maka dari itu, bukti yang harus dihimpun pada pemeriksaan piutang dagang lebih banyak. Keputusan mengenai materialitas - menurut Arens, Alvin A., et.al (2008:73) sebagai konsep, pengaruh materialitas terhadap jenis opini yang diberikan mudah sekali ditetapkan. Dalam penerapannya, mempertimbangkan

29 37 materialitas dalam situasi tertentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak ada petunjuk sederhana dan jelas yang dapat membantu auditor untuk memutuskan apakah sesuatu tidak material, material, atau sangat material. Terdapat perbedaan dalam menerapkan materialitas untuk memutuskan apakah kegagalan mengikuti prinsip akuntansi yang berlaku umum berdampak material dibandingkan dengan memutuskan apakah pembatasan lingkup berdampak material. Berikut ini adalah pembahasan berkenaan dengan mengambil keputusan materialitas dalam dua situasi tersebut. Kaitan Dengan Prinsip Akuntansi yang Berterima Umum - Menurut Arens, Alvin A., et.al (2008:74) Jika seorang klien tidak menerapkan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan benar laporan audit dapat wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian, atau tidak wajar, tergantung kepada materialitas dari penyimpangan tersebut. Harus dipertimbangkan beberapa aspek dari materialitas. Jumlah rupiah dibandingkan terhadap tolak ukur tertentu, Cara yang paling lazim untuk mengukur materialitas, jika seorang klien telah menyimpang dari prinsip akuntansi yang berlaku umum, adalah dengan membandingkan nilai uang dari kesalahan di dalam akun-akun yang bersangkutan terhadap tolak ukur tertentu. Salah saji kesalahan di dalam akun-akun yang bersangkutan terhadap tolak ukur tertentu. Salah saji sebesar Rp20 juta mungkin sangat berarti bagi perusahaan kecil, tetapi tidak bagi perusahaan besar. Karena itu, salah saji yang terungkap harus dibandingkan terlebih dahulu terhadap beberapa dasar ukuran sebelum keputusan dapat dibuat mengenai materialitas penyimpangan dari prinsip

30 38 akuntansi yang berlaku umum tersebut. Tolak ukur yang lazim digunakan adalah laba bersih, jumlah aktiva lancar dan modal kerja. Untuk mengevaluasi materialitas keseluruhan, auditor harus mencari semua salah saji individual yang belum diperbaiki, yang bila digabungkan dapat menimbulkan pengaruh yang cukup berarti terhadap laporan keuangan. Pada saat membandingkan salah saji potensial dengan tolak ukuru tertentu, auditor harus mempertimbangkan dengan hati-hati semua akun yang dipengaruhi oleh suatu salah saji. Daya ukur, Nilai uang yang terkandung pada beberapa salah saji tidak dapat diukur secara akurat. Sebagai contoh, keengganan klien untuk mengungkapkan adanya gugatan hukum atau akuisisi perusahaan anak yang baru setelah tanggal penutupan neraca sulit atau malah tidak mungkin, untuk diukur dalam nilai uang. Tingkatan materialitas harus dievaluasi auditor dalam situasi semacam ini bergantung pada pengaruh dari tidak diungkapkannya penjelasan tersebut untuk membantu keputusan yang dibuat oleh para pemakai laporan keuangan. Sifat salah saji, Keputusan para pemakai laporan keuangan dapat pula dipengaruhi oleh jenis salah saji yang terdapat di dalam laporan keuangan. Salah saji berikut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan, dan demikian juga akan mempengaruhi pendapat auditor, dengan cara yang berbeda dari salah saji yang lazim terjadi. 1. Transaksi-transaksi adalah melanggar hukum.

31 39 2. Sesuatu pos yang dapat mempengaruhi periode mendatang, meskipun jumlahnya tidak berarti jika hanya periode sekarang yang diperhitungkan. 3. Sesuatu yang menimbulkan akibat psikis. 4. Sesuatu yang dapat menimbulkan konsekuensi penting bila dibandingkan dari segi kewajiban kontrak. Kaitan Dengan Pembatasan Lingkup Audit - Menurut Arens, Alvin A., et.al (2008:75) Besar kecilnya salah saji yang mungkin terjadi akibat pembatasan lingkup audit penting untuk diperhatikan dalam menentukan jenis pendapat yang sesuai, yaitu apakah laporan wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian atau pernyataan tidak memberikan pendapat. Umumnya jauh lebih sulit untuk mengevaluasi materialitas dari salah saji yang diakibatkan adanya ruang lingkup audit daripada pelanggaran terhadap prinsip akuntansi yang berlaku umum atau penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum secara tidak konsisten dapat diketahui. Tetapi yang berasal dari pembatasan lingkup audit biasanya harus diukur secara subjektif untuk melihat kemungkinan terjadinya salah saji. Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa materialitas merupakan suatu pertimbangan terhadap laporan keuangan yang dapat mempengaruhi jenis opini pada laporan auditor. Faktor yang mempengaruhi materialitas antara lain adalah (1) pertimbangan awal materialitas, (2) materialitas pada tingkat laporan keuangan, (3) materialitas pada tingkat saldo akun, (4) alokasi materialitas laporan keuangan ke akun.

32 Kerangka Pemikiran Pengaruh Etika Profesi Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan Minanda Reza dan Dul Muid (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas pada akuntan yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) di kota Semarang. Penelitian yang dilakukan oleh Minanda Reza dan Dul Muid ini memiliki kesimpulan bahwa etika profesi berhubungan secara signifikan dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pemeriksaan laporan keuangan. Pada penelitian ini menunjukkan bukti empiris yaitu variabel etika profesi berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan dalam pertimbangan tingkat materialitas. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yaitu yang dilakukan oleh Herawaty Arleen dan Yulius Kurnia Susanto (2009) yang menyatakan bahwa ketepatan menentukan tingkat materialitas akan dipengaruhi oleh etika profesi yang diterapkan oleh akuntan. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Permana Andika Erik (2010), Andriadi Anggi (2010), Safirtri Tika (2010), Manita Riadh, Hassan Lahbari dan Najoua Elommal (2011), Kusuma Novanda Bayu Aji (2012) yang semuanya sepakat menyatakan pertimbangan tingkat materialitas akan tergantung kepada etika profesi dari seorang akuntan. Hasil ini mengandung pengertian bahwa semakin baik etika profesi yang dimiliki oleh seorang akuntan maka pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam laporan keuangan akan semakin tepat.

33 41 Berdasarkan uraian diatas maka kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan sebagai berikut, X Etika Profesi SPAP (2001) 1. Indepedensi, integritas dan objektifitas 2. Standar Umum dan Standar Akuntansi 3. Tanggung jawab kepada klien 4. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi 5. Tanggung jawab dan praktik lain Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Y Pertimbangan Tingkat Materialitas Mulyadi (2002: 159) 2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut: Etika auditor berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan.

IKATAN AKUNTANSI INDONESIA

IKATAN AKUNTANSI INDONESIA IKATAN AKUNTANSI INDONESIA Aturan Etika ini harus diterapkan oleh anggota Ikatan Akuntan Indonesia - Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) dan staf profesional (baik yang anggota IAI-KAP maupun yang bukan

Lebih terperinci

ATURAN ETIKA KOMPARTEMEN AKUNTAN PUBLIK

ATURAN ETIKA KOMPARTEMEN AKUNTAN PUBLIK AE ATURAN ETIKA KOMPARTEMEN AKUNTAN PUBLIK KETERTERAPAN (APPLICABILITY) Aturan Etika ini harus diterapkan oleh anggota Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik (IAI KAP) dan staf profesional

Lebih terperinci

Presentation Outline

Presentation Outline Chapter 4 Etika Profesional Code of Ethics 1 Presentation Outline A. Konsepsi Etika B. Prinsip-prinsip Etika C. Kerangka Aturan Etika Akuntan Publik Indonesia (IAI KAP) D. Penjelasan Tambahan 2. 1 A. KONSEPSI

Lebih terperinci

2.4 KODE ETIK AKUNTAN INDONESIA

2.4 KODE ETIK AKUNTAN INDONESIA 40 4. Standar pelaporan Ke-4: Tujuan standar pelaporan adalah untuk mencegah salah tafsir tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh akuntan bila namanya dikaitkan dengan laporan keuangan: 01. Seorang akuntan

Lebih terperinci

KODE ETIK AKUNTAN INDONESIA

KODE ETIK AKUNTAN INDONESIA KODE ETIK AKUNTAN INDONESIA profesional bagi praktek akuntan di disebut dengan istilah kode etik dan dikeluarkan oleh Ikatan sebagai organisasi profesi akuntan KODE ETIK AKUNTAN INDONESIA Oleh: Dr. Imam

Lebih terperinci

Makalah Kode Etik Akuntan Publik

Makalah Kode Etik Akuntan Publik Makalah Kode Etik Akuntan Publik 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Etika secara harfiah bermakna pengetahuan tentang azas-azas akhlak atau moral. Etika secara terminologi kemudian berkembang menjadi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 11 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Sikap dan Perilaku Etis Sikap adalah keadaan dalam diri manusia yang menggerakan untuk bertindak, menyertai manusia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS II.1 Etika II.1.1 Etika dan Etika Profesi Etika atau norma moral adalah aturan mengenai sikap perilaku dan tindakan manusia sebagai manusia yang hidup bermasyarakat.

Lebih terperinci

Standar Auditing & Kode Etik

Standar Auditing & Kode Etik Standar Auditing & Kode Etik ( Pertemuan ke-7) Antariksa Budileksmana antariksa_b@yahoo.com www.antariksa.info 2007 Antariksa Budileksmana Prodi Akuntansi UMY 7-1 Standar Auditing Suatu ukuran pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Pengertian Auditing Arens, et al., (2012:4) mendefinisikan auditing sebagai berikut: Auditing is the accumulation and evaluation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belakangan ini telah menjadi sorotan bagi akuntan publik. Banyaknya kasus

BAB I PENDAHULUAN. belakangan ini telah menjadi sorotan bagi akuntan publik. Banyaknya kasus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Isu mengenai pelanggaran profesionalisme dan etika profesi beberapa tahun belakangan ini telah menjadi sorotan bagi akuntan publik. Banyaknya kasus pelanggaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. Profesionalisme Auditor Dalam penelitian ini konsep profesionalisme yang digunakan adalah konsep untuk mengukur bagaimana para profesional memandang profesi mereka yang tercermin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Persepsi Persepsi menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer adalah pandangan dari seseorang atau banyak orang akan hal atau peristiwa yang

Lebih terperinci

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian: Legal Framework Akuntan > Prinsip Etika Akuntan KODE ETIK IKATAN AKUNTAN INDONESIA Pemberlakuan dan Komposisi Pendahuluan Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka Salah satu fungsi dari akuntan publik adalah menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan.

Lebih terperinci

DAN KODE ETIK AKUNTAN PUBLIK by Ely Suhayati SE MSi Ak Ari Bramasto SE Msi Ak

DAN KODE ETIK AKUNTAN PUBLIK by Ely Suhayati SE MSi Ak Ari Bramasto SE Msi Ak STANDAR AUDITING DAN KODE ETIK AKUNTAN PUBLIK by Ely Suhayati SE MSi Ak Ari Bramasto SE Msi Ak Standar Profesional Akuntan Publik merupakan standar auditing yang menjadi kriteria atau pedoman kerja minimum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peranan auditor sangat dibutuhkan oleh kalangan dunia usaha. Para auditor

BAB I PENDAHULUAN. Peranan auditor sangat dibutuhkan oleh kalangan dunia usaha. Para auditor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan auditor sangat dibutuhkan oleh kalangan dunia usaha. Para auditor wajib memahami pelaksanaan etika yang berlaku dalam menjalankan profesinya tersebut. Auditor

Lebih terperinci

KODE ETIK IKATAN AKUNTAN INDONESIA

KODE ETIK IKATAN AKUNTAN INDONESIA KODE ETIK IKATAN AKUNTAN INDONESIA Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Auditing Seperti yang telah di jelaskan pada latar belakang masalah, Kode Etik Akuntan merupakan salah satu faktor penting dalam profesi akuntan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. variabel kompetensi, independensi, dan profesionalisme memiliki pengaruh

BAB II KAJIAN PUSTAKA. variabel kompetensi, independensi, dan profesionalisme memiliki pengaruh BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Agusti dan Pratistha (2013) membuktikan melalui penelitiannya bahwa variabel kompetensi, independensi, dan profesionalisme memiliki pengaruh signifikan

Lebih terperinci

TIU : Mahasiswa dapat memahami hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan akuntan TIK : Mahasiswa mengerti etika profesi akuntan publik

TIU : Mahasiswa dapat memahami hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan akuntan TIK : Mahasiswa mengerti etika profesi akuntan publik ETIKA PROFESIONAL TIU : Mahasiswa dapat memahami hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan akuntan TIK : Mahasiswa mengerti etika profesi akuntan publik Aturan Etika ini harus diterapkan oleh anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan sebagai pihak yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan sebagai pihak yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya

Lebih terperinci

Konsep Materialitas Dalam Audit Atas Laporan keuangan

Konsep Materialitas Dalam Audit Atas Laporan keuangan Konsep Materialitas Dalam Audit Atas Laporan keuangan Materialitas merupakan dasar penerapan dasar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Financial Accounting Standard Board

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan

BAB I PENDAHULAN. mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Auditing didefinisikan sebagai suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. akuntan. Ada beberapa pengertian auditing atau pemeriksaan akuntan menurut

BAB II LANDASAN TEORI. akuntan. Ada beberapa pengertian auditing atau pemeriksaan akuntan menurut 6 BAB II LANDASAN TEORI A. AUDITING 1. Definisi Auditing Kata auditing diambil dari bahasa latin yaitu Audire yang berarti mendengar dan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah pemeriksaan akuntan.

Lebih terperinci

RISIKO AUDIT DAN MATERIALITAS DALAM PELAKSANAAN AUDIT

RISIKO AUDIT DAN MATERIALITAS DALAM PELAKSANAAN AUDIT SA Seksi 312 RISIKO AUDIT DAN MATERIALITAS DALAM PELAKSANAAN AUDIT Sumber: PSA No. 25 PENDAHULUAN 01 Seksi ini memberikan panduan bagi auditor dalam mempertimbangkan risiko dan materialitas pada saat perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak semata mata bekerja untuk. dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai.

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak semata mata bekerja untuk. dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya agar

Lebih terperinci

2. Pertanyaan Mengenai Persepsi terhadap Kode Etik Akuntan

2. Pertanyaan Mengenai Persepsi terhadap Kode Etik Akuntan 2. Pertanyaan Mengenai Persepsi terhadap Kode Etik Akuntan Di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan yang ditujukan untuk mengetahui persepsi Bapak/Ibu/Saudara/i terhadap Kode Etik. Bapak/Ibu/Saudara/i

Lebih terperinci

Bani Binekas

Bani Binekas Pengaruh Etika Profesi Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan (Studi Empiris Pada Kantor Akuntan Publik Di Kota Bandung) PENGARUH ETIKA PROFESI AUDITOR TERHADAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dalam perkembangan dunia bisnis yang semakin meningkat dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dalam perkembangan dunia bisnis yang semakin meningkat dari tahun ke BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam perkembangan dunia bisnis yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, terutama dalam Era Globalisasi saat ini, membuat persaingan para pebisnis akan

Lebih terperinci

KUESIONER PENGARUH PERSEPSI ETIKA BISNIS DAN ETIKA PROFESI AKUNTAN TERHADAP PERILAKU ETIS AKUNTAN

KUESIONER PENGARUH PERSEPSI ETIKA BISNIS DAN ETIKA PROFESI AKUNTAN TERHADAP PERILAKU ETIS AKUNTAN KUESIONER PENGARUH PERSEPSI ETIKA BISNIS DAN ETIKA PROFESI AKUNTAN TERHADAP PERILAKU ETIS AKUNTAN Identitas Responden Nama : ( boleh tidak diisi ) Umur : tahun Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan Lama

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Hirarki Standar Auditing Sumber: SPAP Per 1 Januari 2001 (IAI, 2001: )

Gambar 2.1 Hirarki Standar Auditing Sumber: SPAP Per 1 Januari 2001 (IAI, 2001: ) MODUL APLIKASI KOMPUTERISASI AUDITING BAB 1 PENGANTAR AUDITING 2.2 HIRARKI STANDAR AUDITING Landasan Konseptual Landasan Konseptual Umum Pekerjaan Lapangan Pelaporan Keahlian dan pelatihan teknis yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan profesi auditor berbanding sejajar dengan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan profesi auditor berbanding sejajar dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Meningkatnya pertumbuhan profesi auditor berbanding sejajar dengan meningkatnya pertumbuhan perusahaan dalam bentuk badan hukum di Indonesia. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap perusahaan harus melaporkan hasil laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari laporan laba rugi, neraca, laporan perubahan modal, laporan arus kas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. objektif, tidak ada definisi yang pasti mengenai kualitas audit. Kualitas audit

BAB I PENDAHULUAN. objektif, tidak ada definisi yang pasti mengenai kualitas audit. Kualitas audit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kualitas audit termasuk salah satu jasa yang sulit untuk diukur secara objektif, tidak ada definisi yang pasti mengenai kualitas audit. Kualitas audit merupakan

Lebih terperinci

ETIKA PROFESI FAKLULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI JURUSAN TEKNIK MESIN UNIVERSITAS GUNADARMA. Disusun Oleh : : Eko Aprianto Nugroho NPM :

ETIKA PROFESI FAKLULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI JURUSAN TEKNIK MESIN UNIVERSITAS GUNADARMA. Disusun Oleh : : Eko Aprianto Nugroho NPM : ETIKA PROFESI Disusun Oleh : Nama : Eko Aprianto Nugroho NPM : 21409668 Kelas : SMTM01-06 FAKLULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI JURUSAN TEKNIK MESIN UNIVERSITAS GUNADARMA 2011 ETIKA PROFESI AKUNTANSI I. Pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Profesionalisme Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual. Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : Menurut Arens, et al (2012: 129) mengatakan bahwa :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : Menurut Arens, et al (2012: 129) mengatakan bahwa : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profesionalisme Auditor 2.1.1 Pengertian Profesionalisme Auditor Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : Profesi adalah pekerjaan dimana dari pekerjaan tersebut diperoleh nafkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persaingan diantara para pelaku bisnis. Berbagai usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. persaingan diantara para pelaku bisnis. Berbagai usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat sekarang ini dapat memicu persaingan diantara para pelaku bisnis. Berbagai usaha untuk meningkatkan pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang auditor adalah melakukan pemeriksaan atau audit dan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. seorang auditor adalah melakukan pemeriksaan atau audit dan memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban manajemen terhadap pemilik perusahaan dan pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas audit termasuk salah satu jasa yang sulit untuk diukur secara

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas audit termasuk salah satu jasa yang sulit untuk diukur secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kualitas audit termasuk salah satu jasa yang sulit untuk diukur secara objektif, tidak ada definisi yang pasti mengenai kualitas audit. Kualitas audit merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Audit atas laporan keuangan sangat diperlukan, terutama bagi perusahaan yang berbadan hukum berbentuk perseroan terbatas yang bersifat terbuka. Audit laporan keuangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun di sisi lain

BAB II LANDASAN TEORI. mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun di sisi lain BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Agensi Teori agensi adalah teori yang mendasari hubungan atau kontak antara principal dan agent (Anthony dan Govindarajan, 2002). Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu

Lebih terperinci

RISIKO AUDIT DAN MATERIALITAS DALAM PELAKSANAAN AUDIT

RISIKO AUDIT DAN MATERIALITAS DALAM PELAKSANAAN AUDIT Risiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit Standar Prof SA Seksi 3 1 2 RISIKO AUDIT DAN MATERIALITAS DALAM PELAKSANAAN AUDIT Sumber: PSA No. 25 PENDAHULUAN 01 Seksi ini memberikan panduan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis. Agar tetap bertahan dalam persaingan bisnis yang semakin tinggi para

BAB I PENDAHULUAN. bisnis. Agar tetap bertahan dalam persaingan bisnis yang semakin tinggi para BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dunia bisnis yang meningkat di Indonesia, hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah perusahaan yang ada di BEI pada tahun 2013 sebanyak 494

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pengaruh Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000:849): Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantara pelaku bisnis semakin meningkat. Para pelaku bisnis melakukan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. diantara pelaku bisnis semakin meningkat. Para pelaku bisnis melakukan berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dengan semakin pesatnya dunia usaha sekarang ini, maka persaingan diantara pelaku bisnis semakin meningkat. Para pelaku bisnis melakukan berbagai usaha agar

Lebih terperinci

SA Seksi 508 LAPORAN AUDITOR ATAS LAPORAN KEUANGAN AUDITAN. Sumber: PSA No. 29. Lihat SA Seksi 9508 untuk interprestasi Seksi ini PENDAHULUAN

SA Seksi 508 LAPORAN AUDITOR ATAS LAPORAN KEUANGAN AUDITAN. Sumber: PSA No. 29. Lihat SA Seksi 9508 untuk interprestasi Seksi ini PENDAHULUAN SA Seksi 508 LAPORAN AUDITOR ATAS LAPORAN KEUANGAN AUDITAN Sumber: PSA No. 29 Lihat SA Seksi 9508 untuk interprestasi Seksi ini PENDAHULUAN 01 Seksi ini berlaku untuk laporan auditor yang diterbitkan berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan globalisasi perekonomian Indonesia pada umumnya menyebabkan peningkatan pesat tuntutan masyarakat atas mutu dan jenis jasa profesi akuntan publik sehingga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Akuntan Publik a. Pengertian Akuntan Publik Menurut Halim (1997 :11) Akuntan publik atau biasa disebut Auditor Independen adalah para praktisi individual/ anggota

Lebih terperinci

SURAT PERIKATAN AUDIT

SURAT PERIKATAN AUDIT SA Seksi 320 SURAT PERIKATAN AUDIT Sumber: PSA No. 55 Lihat Seksi 9320 untuk Interpretasi Seksi ini PENDAHULUAN 01 Tujuan Seksi ini adalah untuk memberikan panduan tentang: a. Persetujuan dengan klien

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laporan keuangan menyediakan berbagai informasi yang diperlukan sebagai saran dalam pengambilan keputusan baik oleh pihak internal maupun eksternal perusahaan. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang jauh dari aktivitas moral, bahkan ada anggapan bahwa dunia

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang jauh dari aktivitas moral, bahkan ada anggapan bahwa dunia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Praktek-praktek dalam dunia bisnis seringkali dianggap sudah menyimpang jauh dari aktivitas moral, bahkan ada anggapan bahwa dunia bisnis merupakan dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan globalisasi perekonomian Indonesia pada umumnya menyebabkan peningkatan pesat tuntutan masyarakat atas mutu dan jenis jasa profesi akuntan publik sehingga

Lebih terperinci

Kuesioner Penelitian SKRIPSI FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

Kuesioner Penelitian SKRIPSI FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA Lampiran A Kuesioner Penelitian SKRIPSI FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA Kepada Yth. Bapak/Ibu Auditor ( Supervisor/Senior/Assistant Auditor ) di Tempat Dengan Hormat, Saya

Lebih terperinci

SA Seksi 801 AUDIT KEPATUHAN YANG DITERAPKAN ATAS ENTITAS PEMERINTAHAN DAN PENERIMA LAIN BANTUAN KEUANGAN PEMERINTAH. Sumber: PSA No.

SA Seksi 801 AUDIT KEPATUHAN YANG DITERAPKAN ATAS ENTITAS PEMERINTAHAN DAN PENERIMA LAIN BANTUAN KEUANGAN PEMERINTAH. Sumber: PSA No. SA Seksi 801 AUDIT KEPATUHAN YANG DITERAPKAN ATAS ENTITAS PEMERINTAHAN DAN PENERIMA LAIN BANTUAN KEUANGAN PEMERINTAH Sumber: PSA No. 62 PENDAHULUAN KETERTERAPAN 01 Seksi ini berisi standar untuk pengujian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada laporan keuangan perusahaan terutama yang berbentuk Perseroan Terbatas,

BAB I PENDAHULUAN. pada laporan keuangan perusahaan terutama yang berbentuk Perseroan Terbatas, BAB 1 Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Auditor eksternal adalah seorang profesional auditor yang melakukan audit pada laporan keuangan perusahaan terutama yang berbentuk Perseroan

Lebih terperinci

MATERIALITAS DAN RISIKO AUDIT

MATERIALITAS DAN RISIKO AUDIT Minggu ke-6 MATERIALITAS DAN RISIKO AUDIT Program Studi Akuntansi STIE PELITA NUSANTARA KONSEP MATERIALITAS Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penilai yang bebas terhadap seluruh aktivitas perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. penilai yang bebas terhadap seluruh aktivitas perusahaan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen tersebut perlu diaudit oleh auditor independen (akuntan publik), untuk menghasilkan informasi atau laporan keuangan

Lebih terperinci

PERATURAN DEPARTEMEN AUDIT INTERNAL

PERATURAN DEPARTEMEN AUDIT INTERNAL PERATURAN DEPARTEMEN AUDIT INTERNAL Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Tujuan Peraturan ini dibuat dengan tujuan menjalankan fungsi pengendalian internal terhadap kegiatan perusahaan dengan sasaran utama keandalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlaku di Indonesia dibutuhkan oleh pihak-pihak yang menggunakan informasi

BAB I PENDAHULUAN. berlaku di Indonesia dibutuhkan oleh pihak-pihak yang menggunakan informasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Audit atas laporan keuangan memiliki peran yang sangat penting dalam ekonomi pasar bebas. Menyajikan laporan keuangan sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. auditor sebagai pihak yang dianggap independen dan memiliki profesionalisme

BAB I PENDAHULUAN. auditor sebagai pihak yang dianggap independen dan memiliki profesionalisme BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan pada laporan keuangan perusahaan oleh pihak ketiga yaitu auditor sebagai pihak yang dianggap independen dan memiliki profesionalisme yang tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan laporan hasil audit atas laporan keuangan oleh akuntan publik

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan laporan hasil audit atas laporan keuangan oleh akuntan publik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM dan LK) menyatakan bahwa badan usaha publik wajib menyampaikan laporan keuangan berkala kepada BAPEPAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelolanya. Berbagai cara digunakan manajemen perusahaan, tidak hanya dengan

BAB I PENDAHULUAN. dikelolanya. Berbagai cara digunakan manajemen perusahaan, tidak hanya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin berkembangnya usaha-usaha dalam berbagai bidang menimbulkan persaingan yang cukup ketat. Manajemen perusahaan bersaing merebut perhatian para investor agar

Lebih terperinci

STANDAR AUDITING. SA Seksi 200 : Standar Umum. SA Seksi 300 : Standar Pekerjaan Lapangan. SA Seksi 400 : Standar Pelaporan Pertama, Kedua, & Ketiga

STANDAR AUDITING. SA Seksi 200 : Standar Umum. SA Seksi 300 : Standar Pekerjaan Lapangan. SA Seksi 400 : Standar Pelaporan Pertama, Kedua, & Ketiga STANDAR AUDITING SA Seksi 200 : Standar Umum SA Seksi 300 : Standar Pekerjaan Lapangan SA Seksi 400 : Standar Pelaporan Pertama, Kedua, & Ketiga SA Seksi 500 : Standar Pelaporan Keempat STANDAR UMUM 1.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian, Standar Auditing dan Jenis-jenis Audit 1. Pengertian Auditing Auditing adalah suatu proses sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Profesionalisme Auditor Dalam penelitian ini profesionalisme yang digunakan adalah konsep untuk mengukur bagaimana para professional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Pada penelitian ini objek penelitiannya adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) di Malang, Jawa Timur. Menurut data direktori 2013 yang diterbitkan Ikatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. objektif dengan bantuan indera, (2) kesadaran dari proses-proses organis, (3)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. objektif dengan bantuan indera, (2) kesadaran dari proses-proses organis, (3) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Persepsi Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan persepsi sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu, atau merupakan proses seseorang

Lebih terperinci

Menyongsong Berlakunya Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang Baru

Menyongsong Berlakunya Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang Baru Edisi: V/Mei 2009 Menyongsong Berlakunya Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang Baru Oleh : Syarief Basir, Ak, CPA, MBA Setelah melalui serangkaian proses yang relatif panjang dan lama, akhirnya pada Agustus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak

BAB I PENDAHULUAN. kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya perusahaan-perusahaan yang sudah go public dapat memicu

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya perusahaan-perusahaan yang sudah go public dapat memicu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era masa kini perkembangan dunia usaha yang semakin pesat dan banyaknya perusahaan-perusahaan yang sudah go public dapat memicu persaingan yang semakin meningkat

Lebih terperinci

KOMUNIKASI ANTARA AUDITOR PENDAHULU DENGAN AUDITOR PENGGANTI

KOMUNIKASI ANTARA AUDITOR PENDAHULU DENGAN AUDITOR PENGGANTI SA Seksi 315 KOMUNIKASI ANTARA AUDITOR PENDAHULU DENGAN AUDITOR PENGGANTI Sumber: PSA No. 16 PENDAHULUAN 01 Seksi ini memberikan panduan tentang komunikasi antara auditor pendahulu dengan auditor pengganti

Lebih terperinci

AUDIT I Modul ke: Audit risk and materiality. Afly Yessie, SE, Msi, Ak, CA. 11Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi AKUNTANSI

AUDIT I Modul ke: Audit risk and materiality. Afly Yessie, SE, Msi, Ak, CA. 11Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi AKUNTANSI AUDIT I Modul ke: 11Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Audit risk and materiality Afly Yessie, SE, Msi, Ak, CA Program Studi AKUNTANSI KONSEP MATERIALITAS Financial Accounting Standards Board mendefinisikan materialitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Auditing Auditing merupakan ilmu yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap pengendalian intern dimana bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pengamanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang akurat dan dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan. Laporan

BAB I PENDAHULUAN. yang akurat dan dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan. Laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu manfaat dari jasa akuntan publik adalah memberikan informasi yang akurat dan dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan. Laporan keuangan yang telah di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Menurut Mulyadi (2002:9) auditing adalah suatu proses sistematik untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Menurut Mulyadi (2002:9) auditing adalah suatu proses sistematik untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Mulyadi (2002:9) auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan

Lebih terperinci

Etik berarti sifat atau karakter atau moralitas adanya kode perilaku profesional atau etika bagi para

Etik berarti sifat atau karakter atau moralitas adanya kode perilaku profesional atau etika bagi para ETIKA PROFESIONAL Etika dan Moralitas Salah satu hal yang membedakan sifat setiap profesi adalah Etik berarti sifat atau karakter atau moralitas adanya kode perilaku profesional atau etika bagi para Moralitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akan adanya pemeriksaan laporan keuangan oleh auditor independen

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akan adanya pemeriksaan laporan keuangan oleh auditor independen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi dimana bisnis tidak lagi mengenal batas negara, kebutuhan akan adanya pemeriksaan laporan keuangan oleh auditor independen atau akuntan publik

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. penulis mengharapkan adanya masukan dan kritik serta saran yang membangun

KATA PENGANTAR. penulis mengharapkan adanya masukan dan kritik serta saran yang membangun 1 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, pada akhirnya dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul Materialitas dan Risiko Audit ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencapaian tiga golongan tujuan berikut ini: a. Keandalan pelaporan keuangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencapaian tiga golongan tujuan berikut ini: a. Keandalan pelaporan keuangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengendalian Intern 1. Pengertian Pengendalian Intern SA Seksi 319 Paragraf 06 mendefinisikan pengendalian intern sebagai suatu proses yang dilakukan manajemen dan personel lain

Lebih terperinci

LAPORAN KEUANGAN DISUSUN SESUAI DENGAN SUATU BASAIS AKUNTANSI KOMPREHENSIF SELAIN PRINSIP AKUNTANSI YANG BERLAKU UMUM DI INDONESIA

LAPORAN KEUANGAN DISUSUN SESUAI DENGAN SUATU BASAIS AKUNTANSI KOMPREHENSIF SELAIN PRINSIP AKUNTANSI YANG BERLAKU UMUM DI INDONESIA SA Seksi 623 LAPORAN KHUSUS Sumber: PSA No. 41 PENDAHULUAN 01 Seksi ini berlaku untuk laporan auditor yang diterbitkan dalam hubungannya dengan: a. Laporan keuangan yang disusun sesuai dengan basis akuntansi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah suatu bentuk organisasi akuntan publik yang menyediakan jasa audit serta jasa atestasi dan assurance lainnya. Jasa-jasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Semakin kompleks perekonomian perusahaan, semakin kompleks

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Semakin kompleks perekonomian perusahaan, semakin kompleks BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Semakin kompleks perekonomian perusahaan, semakin kompleks transaksi keuangan keuangan yang dilakukan perusahaan tersebut, sehingga memerlukan kompetensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No.2,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No.2, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan dunia bisnis yang semakin pesat saat ini dapat memicu persaingan yang semakin meningkat diantara para pelaku bisnis. Berbagai macam usaha untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas kinerja perusahaan melalui pemeriksaan laporan keuangan. Laporan

BAB I PENDAHULUAN. atas kinerja perusahaan melalui pemeriksaan laporan keuangan. Laporan BAB I PENDAHULUAN Pada bagian pendahuluan menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. A. Latar Belakang Masalah Akuntan publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Penelitian Kantor Akuntan Publik (KAP) merupakan sebuah organisasi yang bergerak di bidang jasa, yakni jasa audit operasional, audit kepatuhan, dan audit laporan keuangan.

Lebih terperinci

Tinjauan Umum Etika Profesi

Tinjauan Umum Etika Profesi ETIKA PROFESI IT Tinjauan Umum Etika Profesi 1.1. Norma Adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui lingkungan sosialnya. Menurut Sony Keraf (1991) ada dua macam norma : Norma Umum (Universal)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi ini dunia bisnis sudah tidak asing lagi bagi para pelaku

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi ini dunia bisnis sudah tidak asing lagi bagi para pelaku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini dunia bisnis sudah tidak asing lagi bagi para pelaku bisnis maupun bagi para kalangan masyarakat yang bukan pelaku bisnis. Dunia bisnis

Lebih terperinci

STANDAR PROFESIONAL AKUNTAN PUBLIK

STANDAR PROFESIONAL AKUNTAN PUBLIK Perikatan Atestasi Perikatan Non Atestasi Auditing Atestasi Jasa Akuntansi dan review Jasa Konsultansi Pengendalian Mutu PSA PSAT PSAR PSJK PSPM IPSA IPSAT IPSAR IPSJK IPSPM STANDAR PROFESIONAL AKUNTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semakin banyaknya kebutuhan akan jasa profesional akuntan publik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semakin banyaknya kebutuhan akan jasa profesional akuntan publik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin banyaknya kebutuhan akan jasa profesional akuntan publik yang dianggap terpercaya dan independen, menyebabkan profesi akuntan publik di tuntut untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Audit adalah jasa profesi yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Audit adalah jasa profesi yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Audit adalah jasa profesi yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik dan dilaksanakan oleh seorang auditor yang sifatnya sebagai jasa pelayanan. Standar Profesi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melaporkan derajat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang ditetapkan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melaporkan derajat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang ditetapkan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Auditing 2.1.1.1 Pengertian Auditing Menurut Arens, et.al, (2012), pengertian auditing adalah Pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat saat ini dapat memicu atau menimbulkan persaingan yang semakin meningkat diantara pelaku bisnis. Berbagai macam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Behavioral Decision Theory Behavioral Decision Theory yang mengatakan bahwa seseorang mempunyai keterbatasan pengetahuan dan bertindak hanya berdasarkan persepsinya atas suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan melindungi kepentingan banyak pihak inilah yang menjadi idealisme

BAB I PENDAHULUAN. dan melindungi kepentingan banyak pihak inilah yang menjadi idealisme BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia bisnis yang sangat cepat membutuhkan keakuratan informasi yang akuntabilitasnya dapat dipertanggung jawabkan. Dalam dinamika dunia bisnis,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Pengertian Auditing Menurut Mulyadi (2002) auditing adalah: Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara

Lebih terperinci

BAB II. oleh Yusuf (1997: 1) dalam edisi bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :

BAB II. oleh Yusuf (1997: 1) dalam edisi bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS II.1 Auditing Auditing menurut Alvin A. Arens dan James K. Loebbecke yang diterjemahkan oleh Yusuf (1997: 1) dalam edisi bahasa Indonesia adalah sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan masing-masing. Pengertian laporan keuangan menurut Pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan masing-masing. Pengertian laporan keuangan menurut Pernyataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Informasi akuntansi keuangan menunjukkan kondisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan yang digunakan oleh para pemakainya sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Lebih terperinci