DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H"

Transkripsi

1 DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 RINGKASAN CITRA MULIANTY NAZARA. Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten (Dibawah bimbingan WIDYASTUTIK). Melalui otonomi daerah, pembangunan daerah yang dilakukan oleh masyarakat lokal dipandang merupakan strategi atau cara yang paling efektif dibandingkan strategi pembangunan ynag bersifat sentralistis yang dilakukan oleh pemerintahan pusat. Dalam masa otonomi daerah, setiap daerah berusaha untuk mengembangkan daerahnya, tentu saja dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, Propinsi Banten yang dahulu merupakan bagian dari Propinsi Jawa Barat, ikut serta mengimplikasikan kebijakan otonomi daerah, sehingga Propinsi Banten memiliki kemandirian dalam melaksanakan pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan melalui pemekaran wilayah. Infrastruktur yang tersedia di Propinsi Banten sangat memadai, misalnya dari segi transportasi darat, udara dan laut. Dari segi transportasi laut, adanya pelabuhan Merak yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera terutama Lampung sehingga mempermudah akses perdagangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Propinsi Banten jika dibandingkan dengan Propinsi Jawa Barat sebelum dan pada masa otonomi daerah, baik itu laju pertumbuhannya maupun daya saing sektor tersebut. Selain itu, diidentifikasi juga sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang progresif (maju) dan kelompok pertumbuhan yang lambat yang dapat diketahui melalui pertumbuhan PDRB Propinsi Banten dan pergeseran bersih. Pada penelitian ini, untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang terjadi sebelum dan pada masa otonomi daerah digunakan analisis shift share. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Banten dan Propinsi Jawa Barat atas dasar harga konstan 1993 sebelum otonomi daerah ( ) dan pada saat otonomi daerah ( ). Periode waktu yang digunakan untuk melihat pertumbuhan masing-masing sektor dibagi dalam tiga periode, yaitu tahun periode sebelum otonomi daerah yang menggambarkan kondisi perekonomian yang stabil, tahun periode sebelum otonomi yang menggambarkan kondisi ekonomi pada saat krisis, dan tahun periode pada masa otonomi daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kurun waktu , sektor industri pengolahan di Propinsi Banten merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling cepat, sedangkan sektor pertanian merupakan sektor yang laju pertumbuhannya paling lambat. Akan tetapi sektor industri pengolahan justru menjadi sektor yang kurang mampu bersaing, sedangkan sektor pertanian di Propinsi Banten merupakan sektor yang memiliki daya saing paling baik. Tahun 1997 sampai 1999, sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling cepat adalah

3 sektor jasa-jasa, dan sektor bangunan memiliki laju pertumbuhan paling lambat. Sektor pertanian masih merupakan sektor yang memiliki daya saing paling baik, sedangkan sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang kurang memiliki daya saing yang baik. Pada masa otonomi daerah, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memiliki laju pertumbuhan yang paling cepat, dan sektor pertambangan merupakan sektor yang laju pertumbuhannya paling lambat. Sektor pertambangan merupakan sektor yang memiliki daya saing yang baik, sedangkan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan kurang memiliki daya saing yang baik. Pada masa otonomi daerah tahun , seluruh sektor-sektor ekonomi Propinsi Banten memiliki pertumbuhan yang cepat, sehingga termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang progresif. Sedangkan Propinsi Jawa Barat termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang lambat. Hasil penelitian juga menunjukkan, pada masa otonomi daerah pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Propinsi Banten termasuk dalam kelompok pertumbuhan progresif. Pada tahun 1994 sampai 1996 dan tahun 1997 sampai 1999, jumlah dan total kontribusi yang disumbangkan tiap kabupaten-kabupaten dan kota di Provinsi Banten yang dulu merupakan bagian dari Jawa Barat lebih kecil dari pada Provinsi Jawa Barat dan demikian juga pada masa otonomi daerah (tahun 2000 sampai 2002). Pemerintah daerah diharapkan mampu dan semakin meningkatkan kinerja sektor pertanian misalnya dengan mengembangkan jenis-jenis pertanian yang lebih unggul (cepat panen dan tahan hama). Selain itu, agar produk daerah memiliki peluang pasar yang besar (meningkatkan ekspor) maka pemerintah daerah perlu mempromosikan produk-produk unggulan melalui sistem jaringan informasi. Selain itu, sektor pertanian perlu dikembangkan melalui peningkatan akses terhadap permodalan melalui kredit lewat koperasi.

4 DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN Oleh CITRA MULIANTY NAZARA H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh, Nama Mahasiswa : Citra Mulianty Nazara Nomor Registrasi Pokok : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Skripsi : Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing, Widyastutik, SE, M.Si NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP Tanggal Kelulusan: 05 September 2006

6 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Agustus 2006 Citra Mulianty Nazara H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Citra Mulianty Nazara lahir pada tanggal 26 April 1984 di Gunungsitoli, Sumatera Utara. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Yustinus Nazara dan Masih Riang Telambanua. Jenjang pendidikan penulis lalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri I Gunungsitoli pada tahun Kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri I Gunungsitoli dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri I Gunungsitoli dan lulus pada tahun Pada tahun 2002, penulis meninggalkan kota Gunungsitoli untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis dengan harapan dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kepanitiaan dan menjadi pengurus pada organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB. Penulis juga menjadi salah satu mahasiswa yang memperoleh beasiswa BBM pada semesater 5 pada tahun 2004.

8 KATA PENGANTAR Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih dan karunia-nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi yang disusun penulis berjudul Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten. Otonomi daerah merupakan topik yang sangat menarik karena dengan adanya otonomi daerah menyebabkan munculnya pemekaran wilayah sehingga setiap daerah memiliki kemandirian dalam melaksanakan pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan daerahnya. Selain dari pada itu, skripsi ini juga sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Ibu Widyastutik, SE., M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan membuka wawasan penulis. 2. Ibu Wiwiek Rindayati, M.Si sebagai dosen penguji utama yang telah memberi saran dan kritik. 3. Ibu Tanti Novianti, M.Si sebagai komisi pendidikan yang telah mengajarkan tata cara penulisan yang baik. 4. Kedua orang tua penulis, Yustinus Nazara dan Masih Riang Telambanua serta Adik penulis Yusmar, Yarman, dan Mashur dan juga kekasihku Bang Restu yang membantu dan memberi inspirasi dan keluarga besar penulis yang memberi semangat, doa dan kasih sayang. 5. Sahabat-sahabat penulis, KPP, BPH, Bidang Intern PMK dan VOE yang telah mengisi hari-hari penulis dengan keceriaan 6. Teman-teman satu bimbingan penulis, Nurlatifah dan Sucie atas kerjasama dan kebersamaan. 7. Sahabat-sahabat di Gladys yang telah memberi semangat, doa dan kebersamaan.

9 Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2006 Citra Mulianty Nazara H

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR...viii DAFTAR LAMPIRAN... ix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Batasan Penelitian...8 II. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi Konsep Wilayah Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Teori Kebijaksanaan Pembangunan Wilayah Analisis Shift Share Keterbatasan Keterbatasan Analisis Shift Share Tinjauan Empiris Kerangka Pemikiran Konseptual...35

11 III. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Analisis Shift-Share (S-S) Analisis PDRB Kota/Kabupaten dan PDRB Provinsi Rasio PDRB Kota/kabupaten dan PDRB Provinsi Nilai Ri,Ra dan ri) Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Analisis Profil Pertumbuhan PDRB dan Pergeseran Bersih...46 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH Gambaran Umum Wilayah Provinsi Banten Kondisi Geografis Provinsi Banten Perkembangan Penduduk dan Tenaga Kerja di Provinsi Banten Perkembangan Perekonomian di Provinsi Banten Gambaran Umum Wilayah Provinsi Jawa Barat...54 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah, Tahun Analisis PDRB Provinsi Banten Terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat, Tahun Rasio PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat (Nilai Ra, Ri dan ri), Tahun Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah di Provinsi Banten, Tahun Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten dan Pergeseran Bersih, Tahun

12 5.2 Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Pada Saat Krisis Ekonomi Sebelum Otonomi Daerah, Tahun Analisis PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat, Tahun Rasio PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat (Nilai Ra, Ri dan ri), Tahun Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah, Tahun Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten dan Pergeseran Bersih, Tahun Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi Provinsi Banten Pada Masa Otonomi Daerah, Tahun Analisis PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat, Tahun Rasio PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat (Nilai Ra, Ri dan ri), Tahun Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah, Tahun Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten dan Pergeseran Bersih, Tahun Perbandingan Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah...90 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran...94 DAFTAR PUSTAKA...96 LAMPIRAN

13 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Sebelum Otonomi Daerah Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemerintahan Daerah Sejak Tahun PDRB Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Atas Dasar Harga Konstan Tahun PDRB Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun Atas Dasar Harga Konstan Tahun Nilai Ra, Ri dan ri Sebelum Otonomi Daerah Tahun Komponen Pertumbuhan Regional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Komponen Pertumbuhan Proporsional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun PDRB Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Atas Dasar Harga Konstan Tahun PDRB Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun Atas Dasar Harga Konstan Tahun Nilai Ra, Ri dan ri Sebelum Otonomi Daerah Tahun Komponen Pertumbuhan Regional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Komponen Pertumbuhan Proporsional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun

14 15. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun PDRB Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Atas Dasar Harga Konstan Tahun PDRB Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun Atas Dasar Harga Konstan Tahun Nilai Ra, Ri dan ri Sebelum Otonomi Daerah Tahun Komponen Pertumbuhan Regional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Komponen Pertumbuhan Proporsional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Propinsi Banten Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah...91

15 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Model Analisis Shift Share Kerangka Pemikiran Konseptual Profil Pertumbuhan PDRB Profil Pertumbuhan PDRB Propinsi Banten ( ) Profil Pertumbuhan PDRB Propinsi Banten ( ) Profil Pertumbuhan PDRB Propinsi Banten ( )...89

16 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Contoh Penggunaan Rumus Metode Analisis Shift Share PDRB Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten/Kotamadya Tahun Atas Dasar Harga Konstan PDRB Propinsi Banten Tahun Atas Dasar Harga Honstan Tahun PDRB Propinsi Jawa Barat Tahun Atas Dasar Harga Konstan Tahun PDRB Propinsi Banten dan PDRB Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah tahun 1994 dan Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun PDRB Propinsi Banten dan PDRB Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997 dan Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun PDRB Propinsi Banten dan PDRB Propinsi Jawa Barat Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 dan Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun

17 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang telah diperbarui, Ketetapan MPR dan UU No 22, 25 tahun 1999, sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan demikian, akan lebih bijaksana apabila makna otonomi luas dapat diartikan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab untuk memilih dan menentukan urusan sesuai kebutuhan daerah dan dalam batas-batas kemampuan anggaran yang tersedia untuk membiayainya. Selanjutnya, otonomi yang luas tidak diartikan bebas semaunya dan dengan begitu maka daerah akan selalu mempertimbangkan bukan hanya soal banyak atau sedikitnya urusan yang ditangani, tetapi lebih kepada manfaat (benefit) yang diperoleh bagi masyarakat

18 daerah tersebut. Diharapkan dari sini akan lahir dan terbangun akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemekaran wilayah saat ini sudah merupakan istilah yang umum. Istilah pemekaran wilayah muncul seiring dengan adanya program desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Daerah menyambut kebijakan otonomi daerah (UU No.22/1999) yang ditandai oleh adanya pemekaran wilayah dengan membentuk kabupaten baru dan bahkan provinsi baru. Awalnya tujuan utama dari pemekaran wilayah adalah untuk percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah yang rentang kendali pemerintahannya jauh sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang bebas dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan kesehatan yang buruk (4K) (Soesastro, 2002). Dasar pemikiran pemekaran daerah tersebut dimaksud dalam pengertian demi mempercepat pembangunan daerah. Namun benarkah pengertian hal tersebut? Banyak hal yang harus diperhatikan dalam memutuskan, apakah suatu wilayah tersebut dapat dimekarkan atau tidak, jika tidak maka dapat menimbulkan dampak yang tidak baik terutama bagi wilayah tersebut yang kemudian berdampak pada keberlangsungan pembangunan nasional. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, Provinsi Banten yang dahulu merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, ikut serta mengimplikasikan kebijakan otonomi daerah, sehingga Provinsi Banten memiliki kemandirian dalam melaksanakan pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan. Sebelum otonomi daerah, Banten masih berada dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Namun sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah,

19 hal ini membuat wilayah Banten menjadi Provinsi baru yang merupakan pemekaran dari Provinsi Jawa Barat. Dalam masa otonomi daerah, setiap daerah berusaha untuk mengembangkan daerahnya misalnya dalam hal investasi. Persaingan merebut investasi cenderung semakin ketat. Meskipun investasi asing sebagian besar merupakan padat modal, tetapi berbagai daerah berkeinginan untuk meningkatkan investasi asing di daerahnya. Tentu saja dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Maju tidaknya perkembangan suatu wilayah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya. Sebagai gambaran, maka pada Tabel 1 disajikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Barat. Dari tabel 1 terlihat kabupaten-kabupaten dan kota yang sekarang menjadi Provinsi Banten masih berada dalam wilayah Provinsi Jawa barat dengan menghasilkan PDRB yang tinggi. Sebelumnya yang termasuk dalam wilayah Provinsi Banten adalah (1) Kabupaten Padeglang, (2) Kabupaten Lebak, (3) Kabupaten Tangerang, (4) Kabupaten Serang, (5) Kota Tangerang. Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang merupakan dua kabupaten yang memiliki PDRB yang tinggi meskipun pada tahun 1998 dan 1999 mengalami penurunan namun tetap pada tingkat yang tinggi dibanding daerah-daerah lainnya. Kemudian, pada tahun 2000 Cilegon menjadi Kota dimana sebelum otonomi daerah merupakan kota administratif dari Kabupaten Serang dan masuk dalam wilayah Provinsi Banten yang terkenal dengan daerah industrinya, sudah menunjukkan bagaimana nantinya pertumbuhan ekonomi Provinsi ini pada tahuntahun berikutnya.

20 Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Sebelum Otonomi daerah. No. Kabupaten Pandeglang 1,051, ,086, ,001, ,079, Lebak 985, ,007, , , Bogor 6,465, ,773, ,370, ,455, Sukabumi 2,136, ,205, ,966, ,998, Cianjur 1,992, ,066, ,930, ,968, Bandung 7,513, ,883, ,340, ,529, Garut 2,240, ,308, ,039, ,090, Tasikmalaya 2,096, ,172, ,885, ,928, Ciamis 2,052, ,128, ,940, ,986, Kuningan 896, , , , Cirebon 1,772, ,832, ,451, ,503, Majalengka 1,091, ,147, ,040, ,076, Sumedang 1,090, ,122, , ,013, Indramayu 5,663, ,286, ,000, ,510, Subang 1,667, ,722, ,598, ,635, Purwakarta 980, ,001, , , Karawang 2,798, ,924, ,345, ,477, Bekasi 5,992, ,407, ,038, ,127, Tangerang 4,043, ,284, ,887, ,969, Serang 5,419, ,653, ,838, ,876, Kota 21 Bogor 1,045, ,098, , , Sukabumi 514, , , , Bandung 6,311, ,593, ,294, ,443, Cirebon 1,201, ,281, ,212, ,240, Tangerang 6,144, ,823, ,680, ,828, Bekasi 3,649, ,857, , ,141, Jumlah 26 Kab/Kot 76,819, ,132, ,880, ,004, JAWA BARAT 68,243, ,568, ,847, ,071, Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten juga memiliki keunggulan terutama pada sektor ekonomi yaitu sektor industri, perdagangan, dan pertanian. Hal ini cukup menjanjikan dan memberikan keuntungan bagi investor yang akan menanamkan modalnya di

21 Provinsi Banten. Provinsi Banten juga memiliki infrastruktur yang cukup memadai baik dari segi alat transportasi maupun akses jalan yang menghubungkan antar kota maupun antar provinsi dan fasilitas pembelanjaan, serta pusat bisnis dan kawasan industri yang nantinya dikembangkan akan menjadi salah satu sumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Melihat jumlah PDRB dari setiap kabupaten maupun kota di wilayah Banten, sudah selayaknyalah mereka dipisahkan dari Provinsi Jawa Barat untuk menjadi Provinsi baru yang mandiri. Setelah pisah dari Jawa Barat, maka Provinsi Banten sudah bisa mengatur dan merencanakan setiap sendi perekonomiannya. Namun bagaimana halnya dengan Provinsi Jawa Barat sendiri setelah beberapa kabupaten lepas dari wilayahnya? Apakah kondisi perekonomiannya atau laju pertumbuhannya ekonominya tetap membaik atau justru semakin merosot? Begitu juga halnya dengan Provinsi Banten. Pada masa otonomi dan setelah pemekaran wilayah, Provinsi Banten ternyata tidak luput dari permasalahan. Beberapa surat kabar menyampaikan bahwa tingkat korupsi di provinsi ini tinggi, laju pertumbuhan ekonominya juga lambat dan struktur pemerintahannya yang kurang terkoordinasi. Untuk menganalisis bagaimana kondisi perekonomian Provinsi Banten setelah dipisahkan dari Provinsi Jawa Barat, maka sangat relevan untuk dilakukan penelitian dengan judul Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten.

22 1.2 Permasalahan Sejak berlangsungnya undang-undang otonomi daerah berbagai dampak yang ditimbulkan dari implementasi UU tersebut baik berupa pemekaran wilayah maupun peningkatan PAD. Setiap daerah sudah tidak tergantung lagi pada pusat dan berhak mengatur dan mengelola perekonomiannya sendiri. Dalam mengelola keuangan, daerah berhak dalam mengalokasikan dananya ke sektor yang potensial yang nantinya menjadi leading sektor pada provinsi atau wilayah tersebut. Misalnya pada tahun 2001, Provinsi Banten lebih banyak mengalokasikan dananya di sektor transportasi sebesar Rp dan begitu juga pada tahun Hal ini disebabkan karena kontribusi yang diberikan sektor ini cukup besar dan sangat potensial untuk dikembangkan. Setiap daerah memiliki kebijakan masing-masing dalam melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi sumberdayanya masing-masing. Maju tidaknya perekonomian diantara kedua wilayah sangatlah ditentukan oleh indikator-indikator ekonomi atau sektor-sektor perekonomian di dalam wilayah tersebut. Suatu wilayah dapat dikatakan maju, hal itu ditentukan dengan indikator dari sektor ekonomi yang diidentifikasi. Salah satu indikator ekonomi tersebut dapat diketahui melalui Produk Domestik Regional Bruto setiap daerah. Setiap wilayah memiliki keunikan tersendiri atau keunggulan tersendiri dari sektor ekonomi tertentu. Dari sektor-sektor ini dapat diketahui laju pertumbuhan perekonomian diantara kedua wilayah atau masing-masing wilayah tersebut. Untuk mengetahui bagaimana laju pertumbuhan perekonomian disuatu wilayah, dapat diketahui atau diidentifikasi dengan menggunakan analisis shift share.

23 Dengan menggunakan analisis ini kita dapat mengetahui atau mengidentifikasi sektor-sektor atau wilayah yang lamban dan yang maju serta keunggulankeunggulan kompetitif di suatu wilayah. Melalui hal ini, akan dikaji bagaimana perbandingan laju pertumbuhan perekonomian kedua wilayah yakni Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat atas dasar harga konstan 1993 sebelum otonomi daerah ( ) dan pada saat otonomi daerah ( ). Berdasarkan gambaran tersebut, permasalahanpermasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Seberapa besarkah perbedaan PDRB diantara Provinsi Banten dengan Provinsi Jawa Barat sebelum dan pada masa otonomi daerah? b) Sektor apa sajakah yang memiliki pertumbuhan yang cepat dan yang lamban serta sektor apa saja yang mempunyai daya saing yang baik dan yang tidak baik di Provinsi Banten sebelum dan pada masa otonomi daerah? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a) Mengidentifikasi besarnya perbedaan PDRB diantara Provinsi Banten dengan Provinsi Jawa Barat sebelum dan pada masa otonomi daerah. b) Menganalisis sektor-sektor yang memiliki pertumbuhan yang cepat dan yang lambat serta sektor yang mempunyai daya saing yang baik dan yang tidak baik di Provinsi Banten sebelum dan pada masa otonomi daerah.

24 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah: a) Pembaca dapat membandingkan bagaimana kondisi wilayah Provinsi Banten setelah dipisahkan dari Provinsi Jawa Barat serta sektor-sektor apa saja yang dapat untuk dikembangkan. b) Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberi masukan bagi kebijakan pemerintah ke depan dalam mengambil suatu keputusan dalam hal apakah wilayah tersebut layak untuk dimekarkan atau tidak. c) Penulis dapat belajar dalam menganalisis perbandingan laju pertumbuhan perekonomian suatu wilayah serta menganalisa sektor-sektor apa saja yang patut untuk dikembangkan dengan menggunakan analisis shift share. 1.5 Batasan Penelitian Diasumsikan tahun 1994 sampai tahun 1999 kabupaten-kabupaten dan kota yang ada diprovinsi Jawa Barat dan sekarang merupakan bagian dari Provinsi Banten dalam penelitian ini disebut Provinsi Banten meskipun belum mekar, untuk mempermudah dalam menganalisis sebelum otonomi daerah. Selain itu, diasumsikan Provinsi Banten mekar tahun 2000 dan otonom tahun 2001.

25 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi Krisis moneter yang berdampak terhadap iklim usaha (ekonomi) nasional beberapa tahun terakhir semakin menyadarkan banyak pihak akan pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebuah paradigma pembangunan yang tidak memutlakkan dasar pertumbuhan pada peran penguasa-penguasa ekonomi, melainkan pada semua pihak terutama pada peran ekonomi rakyat. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Pembangunan daerah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni (1) pendekatan sentralistis, (2) pendekatan desentralisasi. Pendekatan sentralistis mengandung arti bahwa pelaksanaan pembangunan sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan dilaksanakan oleh para birokrat di pusat. Pendekatan desentralisasi mengandung arti bahwa pembanguan daerah sebagian besar merupakan wewenang daerah dan dilaksanakan sendiri oleh daerah (pemda) secara otonom. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, yang memiliki keragaman baik dalam aspek-aspek geografis maupun kondisi sosial, ekonomi, dan kebudayaannya. Kenyataan keanekaragaman ini sudah barang tentu akan terwujud pula dalam keanekaragaman permasalahan dari suatu daerah dengan

26 daerah lainnya sehingga memerlukan pendekatan, strategi, dan kebijakan penanganan yang berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya. Sekalipun dalam konsep otonomi daerah terkandung asas-asas dan prinsip-prinsip yang sama, dalam pelaksanaannya tidak dengan sendirinya harus ada keseragaman. Substansi apa yang dikelola dalam suatu daerah otonom dan bagaimana mengelolanya akan sangat ditentukan oleh sumber daya manusia, sumber daya alam, teknologi, kemampuan teknis dan manajerial, tata nilai dan tradisi serta kelembagaan yang mengakar dan berkembang dalam suatu daerah yang kondisinya tidak selalu seragam dibandingkan dengan daerah lain (Kartasasmita, 1996). Adanya kebijakan otonomi daerah menuntut daerah-daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi sektor-sektor perekonomiannya. Pembangunan daerah melalui desentralisasi atau otonomi daerah memberikan peluang dan kesempatan bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik (good governance) di daerah (Saragih, 2003). Artinya, pelaksanaan tugas pemerintahan daerah harus didasarkan atas prinsip efektif, efisien, partisipatif, terbuka, dan akuntabel. Dalam UU No 22 tahun 1999 pasal 1 butir h, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah: kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan yang dimaksud daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri (Pasal 1 butir I). Menurut ketentuan dalam UU No 22 tahun 1999 Pasal 1 bahwa desentralisasi

27 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa otonomi daerah dapat dilaksanakan jika ada pelimpahan atau pemberian wewenang pemerintahan dari pusat kepada daerah otonom, dalam hal ini pemerintah subnasional. Jadi, dalam otonomi daerah harus ada desentralisasi. Berdasarkan ketentuan dalam UU No 22 tahun 1999 dikatakan, otonomi daerah berarti adanya kewenangan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya sendiri berdasarkan pengertian dan substansi dari desentralisasi. Dengan demikian, otonomi daerah dalam desentralisasi merupakan dua sisi dalam satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan saling memberi arti. Otonomi daerah yang diwujudkan dalam pemberian atau pembagian wewenang pemerintahan kepada tingkatan pemerintahan yang lebih rendah tidak berarti pemerintahan pusat (nasional) berlepas tangan dan tidak lagi bertanggung jawab terhadap bidang-bidang pemerintahan yang sudah tidak lagi menjadi kewenangannya. Pusat tetap mempunyai tanggung jawab, misalnya dalam melakukan pengawasan atau dalam hal pembuatan kebijakan yang bersifat strategis. Walaupun kini sebagian besar wewenang sudah diberikan kepada daerah dan tanggung jawab sebagian besar berada pada daerah otonom apakah itu pemerintah Provinsi, kabupatan atau kota, tetapi yang harus dicermati adalah prinsip otonomi daerah tetap dalam kerangka sistem negara kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu, daerah otonom tidak dapat berdiri sendiri tanpa pusat.

28 Hakikat otonomi daerah adalah adanya hak penuh untuk mengurus dan menjalankan sendiri apa yang menjadi bagian atau wewenagnya. Otonomi daerah disini tidak merupakan pendelegasian wewenang, melainkan pemberian atau pelimpahan wewenang (Saragih, 2003). Dengan demikian si penerima wewenang mempunyai otoritas penuh untuk mengatur dan menjalankannya sesuai dengan caranya masing-masing. Undang-undang otonomi daerah menegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Pasal 4 ayat 1) sedangkan pembentukan daerah didasarkan atas pertimbangan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah (Pasal 5 ayat 1). Kewenangan daerah dalam kerangka otonomi atau desentralisasi telah diatur di dalam UU No 22 tahun 1999 yakni di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, dan 11. dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa kewenangan daerah adalah seluruh bidang pemerintahan, kecuali bidang-bidang berikut, yakni politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, kebijakan perencanaan nasional, pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM),

29 pendayagunaan sumber daya alam (SDA), teknologi tinggi yang strategis dan konservasi, standarisasi nasional. Kewenangan Provinsi sebagaimana diatur dalam PP tahun 2000 adalah 1) Kewenangan pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota. 2) Kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, seperti perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan, alokasi SDM potensial, penelitian, pelabuhan regional, lingkungan hidup, proposi, penanganan penyakit menular dan hama tanaman, perencanaan tata ruang Provinsi. 3) Kewenangan yang tidak atau belum dapat dilakukan oleh kabupaten/kota. 4) Kewenangan Provinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pusat. Inti dari kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom, berdasarkan asas desentralisasi, terdapat dalam pasal 9 UU No 22 tahun Namun jika dikaji secara cermat dan teliti, maka arah dari undang-undang ini adalah bahwa hakekat otonomi daerah adalah pada daerah kabupaten dan kota, bukan Provinsi. Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Sementara dalam ayat (2) disebutkan kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota. Wewenang daerah kabupaten dan kota sebagai daerah otonom sudah diatur secara jelas di dalam pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No

30 22 tahun 1999, yang menyebutkan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi, dan tenaga kerja. Menurut UU No 22 tahun 1999, otonomi daerah adalah kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah tersebut menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat. Oleh karena itu, ada tiga prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu, (1) Desentralisasi, (2) Dekonsentrasi, dan (3) Tugas Pembantuan. Adapun pengertian dari masing-masing komponen tersebut adalah sebagai berikut: 1) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka kesatuan Republik Indonesia, 2) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah,3 3) Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada kepala daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Otonomi daerah memberikan pengertian bahwa bidang dan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom untuk diatur dan diurus sendiri. Tiap jenis daerah otonom memiliki empat kategori tugas dan kewenangan,

31 yaitu tugas dan kewenangan yang sesuai dengan jenis daerah otonom tersebut, tugas dan kewenangan pelayanan publik yang harus ditangani, tugas dan kewenangan yang dari segi efisiensi lebih tepat ditangani, dan tugas dan kewenangan yang bersifat pilihan sesuai dengan karakteristik dan kemampuan daerah, dan permasalahan darurat yang dihadapi daerah bersangkutan. Tabel 2. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemerintahan Daerah Sejak Tahun Tahun Perundang-Undangan Subjek 1945 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah 1948 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah 1950 UU Nomor 44 Pemerintah Daerah 1956 UU Nomor 32 Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 1957 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah 1959 UU Nomor 6 Pemerintah Daerah 1960 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1965 UU Nomor 18 Pemerintah Daerah 1974 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1999 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah 1999 UU Nomor 25 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sumber: Saragih, 2003 Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah pusat juga tidak serius dalam menjalankan kebijakan otonomi darah yang telah dikeluarkan, yakni UU No 5 tahun Undang-undang tersebut terbukti gagal mendukung pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Daerah-daerah menjadi tidak mandiri karena semua wewenang dan urusan pemerintahan dipegang oleh pemerintahan pusat. Sejalan dengan tuntutan reformasi, masyarakat di berbagai daerah menuntut diterapkannya otonomi daerah secara sungguh-sungguh oleh pemerintah pusat. Menanggapi hal tersebut maka pemerintah dibawah kepemimpinan B.J Habibie mengeluarkan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

32 dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan daerah. Sebelum dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah tahun 1999, sumber keuangan daerah, baik Provinsi, kabupaten, maupun kotamadya menurut UU No 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut: 1) Penerimaan asli daerah (PAD), 2) Bagi hasil pajak dan non pajak, 3) Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II, 4) Pinjaman daerah, 5) Sisa lebih anggaran tahun lalu, 6) Lain-lain penerimaan daerah yang sah. Sedangkan sesuai dengan pasal 79 UU tahun 1999 dan pasal 3, 4, 5, dan pasal 6 UU No 25 tahun 1999, sumber pendapatan daerah terdiri atas sebagai berikut: 1) Pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari: a. Pajak daerah, b. Retribusi daerah, c. Bagian pemda dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah (BUMN), d. Hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan. 2) Dana perimbangan, yang terdiri dari: a. Dana bagi hasil, b. Dana alokasi umum, c. Dana alokasi khusus.

33 3) Pinjaman daerah, 4) Lain-lain pendapatan daerah yang sah Konsep Wilayah Menurut logika Aristoteles, segala sesuatu dapat diberi definisi atau batasan pengertian dari tiga sudut pandangan, yaitu dari uraian materiil (material description), menurut hubungan formal (formal relation), dan kaitan dengan sasaran atau tujuan akhir (final objective). Sesuai dengan dengan logika tersebut, maka konsep wilayah atau region mempunyai tiga macam pengertian (Adisasmita, 2005), yaitu (1) wilayah homogen (homogeneous regian), (2) wilayah polarisasi (polarization region) atau wilayah nodal (nodal region), dan (3) wilayah program (programming region). 1) Wilayah homogen. Diartikan sebagai suatu konsep yang menganggap bahwa wilayah-wilayah geografis dapat dikaitkan bersama-sama menjadi sebuah wilayah tunggal apabila wilayah-wilayah tersebut mempunyai karakteristik yang serupa. Ciri-ciri atau karakteristik tersebut dapat bersifat ekonomi, misalnya struktur produksinya hampir sama, atau pola konsumsinya homogen, dapat pula bersifat geografis, misalnya keadaan topografi atau iklimnya serupa, dan bahkan dapat pula bersifat sosial atau politis, misalnya suatu kepribadian masyarakat yang khas, sehingga mudah dibedakan dengan karakteristik wilayah-wilayah lainnya. 2) Wilayah nodal atau wilayah polarisasi. Terdiri dari satuan-satuan wilayah yang heterogen. Misalnya distribusi penduduk yang terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu akan mengakibatkan lahirnya kota-kota besar, kota-

34 kota dan kota-kota kecil lainnya, sedangkan penduduk di daerah-daerah pedesaan relatif jarang, atau dengan perkataan lain lalu lintas jalan raya nasional memperlihatkan tingkat polarisasi yang lebih rapi dibandingkan dengan kota-kota lain yang tidak terletak pada jaringan lalu lintas jalan raya. 3) Wilayah program. Merupakan suatu wilayah pengembangan, dimana programprogram pembangunan dilaksanakan. Dalam hal ini yang penting diperhatikan adalah persoalan koordinasi dan desentralisasi pembangunan wilayah dapat ditingkatkan dan dikembangkan. Misalnya dalam pembangunan wilayah di Perancis, pengambilan keputusan dilakukan di Paris, akan tetapi dapat saja dilaksanakan di Lyon atau di pusat-pusat pembangunan wilayah lainnya. Tarigan (2005), suatu wilayah dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembentukan wilayah itu sendiri. Dasar dari perwilayahan dapat dibedakan sebagi berikut: 1) Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, di Indonesia dikenal wilayah kekuasaan pemerintahan, seperti provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan dan dusun/lingkungan. 2) Berdasarkan kesamaan kondisi (homogeneity), yang paling umum adalah kesamaan kondisi fisik. Misalnya, adanya klasifikasi desa berupa desa pantai, desa pedalaman, dan desa pegunungan. Bisa juga pembagian berupa wilayah pertanian dengan wilayah industri, wilayah perkotaan dengan daerah pedalaman. Cara pembagian lainnya juga berdasarkan kesamaan sosial budaya. Misalnya, daerah-daerah dibagi menurut suku mayoritas, agama, adat

35 istiadat, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, mayoritas masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. 3) Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi. Perlu ditetapkan terlebih dahulu beberapa pusat pertumbuhan yang kira-kira sama besarnya/rankingnya, kemudian ditetapkan batas-batas pengaruh dari setiap pusat pertumbuhan. Batas pengaruh antar satu kota dengan kota lainnya hanya dapat dilakukan untuk kota-kota yang sama rankingnya. Karena untuk kota-kota yang berlainan rankingnya, kota yang lebih kecil itu sendiri berada dibawah pengaruh kota yang lebih besar. 4) Berdasarkan wilayah perencanaan/program. Dalam hal ini ditetapkan batasbatas wilayah ataupun daerah-daerah yang terkena suatu program atau proyek dimana wilayah tersebut termasuk ke dalam suatu perencanaan untuk tujuan khusus. Suatu wilayah perencanaan dapat menembus beberapa wilayah administrasi berdasarkan kebutuhan dari perencanaan tersebut Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Tarigan (2005), perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan ruang wilayah tercakup dalam kegiatan perencanaan tata ruang, sedangkan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah (terutama aktivitas ekonomi) tercakup dalam kegiatan perencanaan pembangunan wilayah, baik jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek. Secara lengkapnya, Tarigan mendefinisikan perencanaan wilayah adalah mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan

36 berbagai faktor non-controllable yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, serta menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan. Perencanaan wilayah di Indonesia setidaknya memerlukan unsur-unsur yang urutan atau langkah-langkahnya sebagai berikut: 1) Gambaran kondisi saat ini dan identifikasi persoalan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang, 2) Tetapkan visi, misi, dan tujuan umum, 3) Identifikasi pembatas dan kendala yang sudah ada saat ini maupun yang diperkirakan akan muncul pada saat yang akan datang, 4) Proyeksikan berbagai variabel yang terkait, baik yang bersifat controllable (dapat dikendalikan) maupun non-controllable (di luar jangkauan pengendalian pihak perencanaan), 5) Tetapkan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu, yaitu berupa tujuan yang dapat diukur, 6) Mencari dan mengevaluasi berbagai alternatif untuk mencapai sasaran tersebut, 7) Memilih alternatif yang terbaik, termasuk menentukan berbagai kegiatan pendukung yang akan dilaksanakan, 8) Menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan, 9) Menyusun kebijakan dan strategi agar kegiatan pada tiap lokasi berjalan sesuai dengan yang di harapkan.

37 Tujuan perencanaan wilayah adalah menciptakan kehidupan yang efisien, nyaman, serta lestari dan pada tahap akhirnya menghasilkan rencana yang menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang direncanakan, baik oleh pihak pemerintah ataupun oleh pihak swasta. Sifat perencanaan wilayah yang sekaligus menunjukkan manfaatnya, antara lain: 1) Perencanaan wilayah haruslah mampu menggambarkan proyeksi dari berbagai kegiatan ekonomi dan penggunaan lahan di wilayah tersebut di masa yang akan datang, 2) Dapat membantu atau memandu para pelaku ekonomi untuk memilih kegiatan apa yang perlu dikembangkan di masa yang akan datang dan di mana lokasi kegiatan seperti itu masih diizinkan, 3) Sebagai bahan acuan bagi pemerintah unutk mengendalikan atau mengawasi arah pertumbuhan kegiatan ekonomi dan arah penggunaan lahan, 4) Sebagai landasan bagi rencana-rencana lainnya yang lebih sempit tetapi lebih detail, misalnya perencanaan sektoral dan perencanan prasarana, 5) Lokasi itu sendiri dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan, penetapan kegiatan tertentu pada lokasi tertentu haruslah memberi nilai tambah maksimal bagi seluruh masyarakat, artinya dicapai suatu manfaat optimal dari lokasi tersebut. Perencanaan pembangunan wilayah menggunakan dua pendekatan, yaitu (1) Pendekatan Sektoral Pendekatan ini biasanya less-spatial (kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan). Dalam pendekatan ini, seluruh kegiatan ekonomi di

38 dalam wilayah perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor. Selanjutnya setiap sektor dianalisis satu persatu. Setiap sektor dilihat potensi dan peluangnya, menetapkan apa yang dapat ditingkatkan dan di mana lokasi dari kegiatan peningkatan tersebut. Salah satu pendekatan sektoral yang sekaligus melihat kaitan pertumbuhan antara satu sektor dengan sektor lainnya dan sebaliknya, dikenal dengan nama analisis masukan-keluaran (input-output analysis). (2) Pendekatan Regional. Lebih bersifat spatial dan merupakan jembatan untuk mengaitkan perencanaan pembangunan dengan rencana tata ruang. Pendekatan regional dalam pengertian sempit adalah memperhatikan ruang dengan segala kondisinya. Sedangkan pengertiannya secara luas selain memperhatikan penggunaan ruang untuk kegiatan produksi/jasa juga memprediksi arah konsentrasi kegiatan dan memperkirakan kebutuhan fasilitas untuk masing-masing konsentrasi serta merencanakan jaringanjaringan penghubung sehingga berbagai konsentrasi kegiatan dapat dihubungkan secara efisien Teori Kebijaksanaan Pembangunan Wilayah Hanafiah (1993), secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan pembangunan wilayah (KPW) adalah usaha-usaha yang dilakukan pemerintah di tingkat nasional dalam rangka alokasi sumberdaya pembangunan untuk seluruh atau sebagian tataruang dalam perencanaan pembangunan. Hal yang sama dapat dilakukan pada tingkat daerah, yaitu adanya suatu KPW dalam perencanaan pembangunan di tingkat provinsi. Salah satu contohnya adalah undang-undang

39 otonomi daerah. Faktor yang menyebabkan penentu kebijaksanaan di tingkat nasional menaruh perhatian pada pembangunan wilayah adalah terdapatnya ketimpangan-ketimpangan antara wilayah dalam demografis, sumberdaya, pendapatan, pengangguran dan kesempatan kerja, migrasi, tingkat pertumbuhan daerah, perbedaan permintaan, perubahan struktural dan sosial, polarisasi, mekanisme kemampuan swa-sembada dan lain-lain sebagainya. Kebijaksanaan pembangunan wilayah (KPW) mempunyai ruang lingkup dan makna yang berbeda tergantung pada tingkat penentuan kebijaksanan nasional atau regional, yaitu pada tingkat mana kebijaksanan tersebut ditetapkan dan bagaimana hubungan antara kedua tingkat tersebut (Hanafiah, 1993). KPW di tingkat nasional, antara lain akan berkisar pada kebijaksanaan spesialisasi wilayah, mengatasi ketimpangan antar wilayah, penyebaran prasarana transportasi seperti pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya dalam tata ruang nasional. Sedangkan KPW di tingkat regional, yang dirumuskan oleh para politisi dan perencana daerah, akan berpedoman pada kebijaksanaan tersebut dan menjabarkannya sesuai dengan pengalaman pelaksanaan pembangunan dan potensi sumberdaya daerah yang bersangkutan. Tampaknya, kesesuaian diantara kepentingan sektoral terhadap suatu daerah dan sebaliknya merupakan hal yang penting disamping otonomi dan kemampuan serta kapasitas daerah dalam memformulasikan KPW dan penyusunan rencana pembangunan wilayah. KPW ditingkat regional dengan prioritas di bidang ekonomi, dalam jangka panjang terutama bertujuan untuk integrasi ekonomi wilayah melalui peningkatan produktivitas dan diversifikasi sektor pertanian, perluasan dan pengembangan

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H14102010 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN CITRA MULIANTY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN SEKTOR PEREKONOMIAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA OLEH RUTH ELISABETH SIHOMBING H

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN SEKTOR PEREKONOMIAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA OLEH RUTH ELISABETH SIHOMBING H DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN SEKTOR PEREKONOMIAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA OLEH RUTH ELISABETH SIHOMBING H 14102037 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H14102092 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM DAN SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH OLEH ANGGI MAHARDINI H

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM DAN SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH OLEH ANGGI MAHARDINI H PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM DAN SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH OLEH ANGGI MAHARDINI H14102048 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKUTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH (2001-2005) OLEH NITTA WAHYUNI H14102083 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dambaan semua daerah maupun Negara.

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dambaan semua daerah maupun Negara. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dambaan semua daerah maupun Negara. Pertumbuhan ekonomi juga merupakan gambaran hasil kerja pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1996 dan puncaknya pada tahun 1997 mendorong pemerintah pusat mendelegasikan sebagian wewenang dalam hal pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR- SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN TASIKMALAYA PADA ERA OTONOMI DAERAH TAHUN

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR- SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN TASIKMALAYA PADA ERA OTONOMI DAERAH TAHUN ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR- SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN TASIKMALAYA PADA ERA OTONOMI DAERAH TAHUN 2001-2005 Oleh TUTI RATNA DEWI H14103066 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT OLEH VINA TRISEPTINA H

ANALISIS SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT OLEH VINA TRISEPTINA H ANALISIS SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT OLEH VINA TRISEPTINA H14102047 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN VINA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa Barat berdasarkan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Kota Serang menjadi Pusat pemerintahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

NO SERI. D PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT. NO SERI. D 6 Nopember 2008

NO SERI. D PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT. NO SERI. D 6 Nopember 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 21 2008 SERI. D 6 Nopember 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 22 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT, BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2000 tentang pertanggungjawaban Kepala Daerah menyarankan agar setiap akhir tahun anggaran, Kepala daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengingat kebutuhan serta kompleksitas permasalahan yang ada saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. mengingat kebutuhan serta kompleksitas permasalahan yang ada saat ini. BAB I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemerintah daerah merupakan bagian yang integral dari sistem pemerintahan nasional di suatu negara kesatuan, khususnya di

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H

IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H14050032 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH KABUPATEN KARAWANG PERIODE Penerapan Analisis Shift-Share. Oleh MAHILA H

PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH KABUPATEN KARAWANG PERIODE Penerapan Analisis Shift-Share. Oleh MAHILA H PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH KABUPATEN KARAWANG PERIODE 1993-2005 Penerapan Analisis Shift-Share Oleh MAHILA H14101003 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT OLEH ANDROS M P HASUGIAN H14101079 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA BARAT SEBELUM, PADA MASA, DAN SETELAH KRISIS EKONOMI OLEH ANA PERTIWI H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA BARAT SEBELUM, PADA MASA, DAN SETELAH KRISIS EKONOMI OLEH ANA PERTIWI H ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA BARAT SEBELUM, PADA MASA, DAN SETELAH KRISIS EKONOMI OLEH ANA PERTIWI H14103069 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di indonesia, perubahaan ini terjadi di berbagai bidang termasuk sistem pemerintahan.

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan daerah (sebagai bagian integral dari pembangunan nasional) pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PASCA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS : KOTA DEPOK)

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PASCA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS : KOTA DEPOK) ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PASCA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS : KOTA DEPOK) Oleh ANNISA ANJANI H14103124 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang pembangunan dan pemerintahan. Perubahan dalam pemerintahan adalah mulai diberlakukannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH OLEH LINA SULISTIAWATI H

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH OLEH LINA SULISTIAWATI H ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH OLEH LINA SULISTIAWATI H14053044 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan daerah yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen anggaran daerah disebut

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai wilayah sangat luas yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta susunan masyarakatnya

Lebih terperinci

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat? LAMPIRAN Pedoman Wawancara: 1. Bagaimana kinerja aparat desa, terutama dari Sekretaris desa dan juga kaur yang berada dibawah pemerintahan bapak? 2. Bagaimana Hubungan kepala desa dengan BPD di Desa Pohan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H14103119 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan

Lebih terperinci

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah Deddy Supriady Bratakusumah * Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah I. Pendahuluan Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara telah dan sedang melakukan desentralisasi, motivasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep Otonomi Daerah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, kewenangan tersebut diberikan secara profesional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang saat ini lebih ditekankan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang saat ini lebih ditekankan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang saat ini lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu wujud dari amanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN SUBANG OLEH NURLATIFA USYA H

ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN SUBANG OLEH NURLATIFA USYA H ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN SUBANG OLEH NURLATIFA USYA H14102066 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat-Daerah, Dalam UU tersebut perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan tantangan tersendiri bagi setiap daerah baik provinsi maupun kota dan kabupaten untuk menunjukkan kemandiriannya. Hal ini sejalan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung di Indonesia telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

ANALISIS PERAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI SUMATERA UTARA OLEH OKTAVIANITA BR BANGUN H

ANALISIS PERAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI SUMATERA UTARA OLEH OKTAVIANITA BR BANGUN H ANALISIS PERAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI SUMATERA UTARA OLEH OKTAVIANITA BR BANGUN H 14104017 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor: 378). Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir akhir ini membawa dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa setiap daerah harus menyusun rencana pembangunan daerah secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN PADA ERA OTONOMI DAERAH (PERIODE ) SKRIPSI

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN PADA ERA OTONOMI DAERAH (PERIODE ) SKRIPSI ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN PADA ERA OTONOMI DAERAH (PERIODE 2001-2008) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN DAN POTENSI WILAYAH PASCA PEMEKARAN KABUPATEN KUTAI OLEH YOGI ANDI WIBOWO H

ANALISIS PEREKONOMIAN DAN POTENSI WILAYAH PASCA PEMEKARAN KABUPATEN KUTAI OLEH YOGI ANDI WIBOWO H ANALISIS PEREKONOMIAN DAN POTENSI WILAYAH PASCA PEMEKARAN KABUPATEN KUTAI OLEH YOGI ANDI WIBOWO H14052630 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN JEMBRANA PROVINSI BALI OLEH EVI NOVIANTI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN JEMBRANA PROVINSI BALI OLEH EVI NOVIANTI H ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN JEMBRANA PROVINSI BALI OLEH EVI NOVIANTI H14103109 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci