BAB I PENDAHULUAN. Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Masalah Putusan pengadilan merupakan bagian dari proses penegakan hukum. Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal yang relevan, secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan. Kualitas suatu putusan pengadilan menurut Artidjo Alkostar berkorelasi dengan profesionalisme, kecerdasan moral dan kepekaan nurani dari seorang hakim. Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran, putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan pengadilan tersebut. Tujuan putusan pengadilan sesungguhnya harus mengandung hal-hal sebagai berikut : 1) Harus mengandung solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak, dan tidak ada lembaga lain selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat mengoreksi suatu putusan pengadilan. 2) Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena keadilan yang tertunda itu merupakan suatu ketidakadilan (justice delayed is justice denied) tersendiri. 3) Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan sebagai dasar dalam putusan pengadilan tersebut. 1

2 2 4) Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu putusan pengadilan harus mengandung ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat. 5) Harus mengandung fairness, yaitu suatu putusan pengadilan harus memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak (dalam perkara pidana yaitu pihak terdakwa atau jaksa) yang berperkara di pengadilan. 1 Disamping hal-hal yang dikemukakan di atas, dalam perkara pidana berdasarkan KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berkaitan dengan fungsi putusan pengadilan harus memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak yang berperkara di pengadilan, hal tersebut sudah merupakan suatu prinsip universal yang menyatakan bahwa semua orang sama dan mempunyai hak yang sama di hadapan hukum serta berhak atas perlindungan hukum tanpa perlakuan atau sikap diskriminatif. Dan setiap orang berhak atas peradilan yang efektif dari pengadilan nasional jika ada pelanggaran hak-hak asasi yang dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. Sejalan dengan asas tersebut, bahwa tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau diperlalukan secara sewenang-wenang dan setiap orang berhak diadili secara adil oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, baik mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya maupun dalam tuntutan pidana yang ditujukan kepada terdakwa. 1 Artidjo Alkostar,2009, Dimensi Kebenaran dalam Putusan Pengadilan,Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV Nomor. 281, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, hal

3 3 Asas perlakuan yang sama dimuka hukum dan tidak membeda-bedakan perlakuan (tanpa diskriminasi) merupakan hak dasar bagi setiap orang. Tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam proses peradilan pidana tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat 1 Undangundang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, juga dalam Pasal 28 I ayat 2 Undangundang Dasar 1945 menentukan bahwa : Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap yang bersifat diskriminatif itu. Sebagai tindak lanjut (follow up) dari ketentuan dalam konstitusi tersebut, hal itu juga terwujud dalam pasal dari Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Hal ini berarti bahwa setiap orang dihadapan pengadilan harus diadili secara bebas, adil serta tidak memihak dan tidak sewenang-wenang. Sesuai prinsip due process of law, dimana dalam proses hukum yang adil tersebut, setidak-tidaknya meliputi : 1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara 2. Pengadilanlah yang berhak menentukan salah atau tidaknya terdakwa 3. Sidang pengadilan harus bersifat terbuka untuk umum, kecuali terhadap perkara anak dan kesusilaan

4 4 4. Tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan untuk dapat membela kepentingan dirinya. 2 Bila dicermati, ternyata perlindungan hak asasi manusia lebih besar diberikan kepada tersangka atau terdakwa daripada korban dari tindak pidana itu sendiri. Jadi KUHAP di bangun pada saat gencar-gencarnya perhatian dunia terhadap hak-hak asasi manusia dari pelaku pidana, dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dengan mengabaikan hak asasi manusia korban yang menderita akibat perbuatan pelaku dari tindak pidana itu sendiri. Hal ini terbukti dalam KUHAP begitu minimnya ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap korban tindak pidana, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana hanya diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101, yang pada dasarnya ketentuan ini memberikan peluang kepada korban tindak pidana tersebut, untuk menggabungkan gugatan ganti kerugiannya kepada perkara pidana tersebut. Pasal 98 ayat (1) menyebutkan : Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan akibat bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. 3 Sementara Pasal 99 sampai Pasal 101 hanya berkaitan pada prosedur penggabungan ganti kerugian tersebut. Oleh karena itulah, korban bukan hanya dimaksud sebagai obyek dari suatu tindak pidana, akan tetapi harus dipahami pula sebagai subyek yang perlu 2 I Gusti Ketut Ariawan,2008, Eksistensi Konsep Due Process of Law HAM dalam KUHAP, Bahan Pendalaman Mata Kuliah (MK) Bantuan Hukum dan Penyantuan Terpidana, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, hal 8. 3 Anonim,Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1996/1997, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hal. 44

5 5 mendapatkan perlindungan secara sosial dan hukum. Korban tindak pidana adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencapai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan. 4 Secara luas, pengertian korban bukan hanya sekedar korban yang menderita secara langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat dikualifikasikan sebagai korban. Korban tidak langsung disini seperti seorang istri kehilangan suami (seperti Suciwati yang kehilangan suaminya, Munir), seorang anak kehilangan bapaknya, orang tua kehilangan anaknya dan seterusnya. Bahwa korban atau keluarga korban dalam mengekspresikan tuntutan terhadap pelaku tindak pidana tersebut kepentingannya telah diakomodasi oleh Jaksa, karena dalam perkara pidana Jaksa sebagai pihak dalam berperkara di Pengadilan, disamping mempresentasikan kepentingan negara dan masyarakat, juga mempresentasikan kepentingan korban atau keluarga korban. Bertitik tolak dari pemikiran pengadilan memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak yang berpekara yaitu hal mana sudah merupakan sebagai suatu prinsip universal yaitu bahwa semua orang pihak-pihak sama dan mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, oleh karena itulah Jaksa di samping mewakili kepentingan negara dan masyarakat juga sebagai presentasi mewakili kepentingan korban atau keluarga korban. Oleh karena itu Jaksa sebagai salah satu pihak dalam perkara pidana, tidak ditentukan secara tegas kewenangannya untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, seperti hak yang diberikan secara tegas kepada 4 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan., Akademika Pressindo,Jakarta hal. 262

6 6 terpidana. Namun dalam perkembangan praktek peradilan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa /Penuntut Umum telah dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas mengaturnya, dimana Pasal 263 ayat 1 KUHAP menyatakan sebagai berikut : Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Pengajuan Kembali kepada Mahkamah Agung. Alasan-alasan yang dijadikan oleh Mahkamah Agung dalam mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, misalnya dapat dilihat dalam perkara terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009, tanggal 11 Juni 2009, yaitu : 1. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak dapat dimintakan permohonan kasasi, namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. 2. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 jo Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 (sekarang Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), dimana ketentuan Pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan Kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (negara). Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan yang disebut dalam Pasal

7 7 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 (sekarang Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. 3. Pasal 263 ayat (3) menurut penafsiran Mahkamah Agung Republik Indonesia, maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa/Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar putusan Hakim diubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat diubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa. 4. Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (termohon Peninjauan Kembali ) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara di lain pihak, di samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat juga melakukan Peninjauan Kembali (PK). 5. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan Undang-undang diterapkan secara tepat dan adil, karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah Peninjauan Kembali putusan Kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP

8 8 dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian serta mengakomodasi kepentingan yang belum diatur dalam hukum acara pidana. 6. Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 398 K/Pid/1995 tanggal 29 Septemer 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga dapat diperiksa kembali. Mahkamah Agung atas dasar pertimbangan untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency in court decision), maka Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili perkara Peninjauan Kembali terpidana tersebut, akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya yang terdahulu (yaitu putusan tanggal 25 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 Nomor 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 Nomor 109 PK/Pid/2007) tersebut diatas, yang secara formal telah mengakui hak atau wewenang Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan permintaan Peninjauan Kembali. Ternyata upaya-upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam Putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, ternyata banyak pihak-pihak yang tidak sependapat dengan pendirian Mahkamah Agung tersebut, antara lain :

9 9 1. OC. Kaligis, SH berpendapat bahwa : Sebenarnya Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana (KUHAP) berkaitan dengan Peninjauan Kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa amat sangat jelas. Pasal 263 KUHAP dan penjelasan tidak membuka peluang bagi Jaksa untuk melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Sayang, upaya coba-coba Jaksa mendapatkan justifikasi dari judex juris. Kalau hukum acara yang merupakan lex certa ditabrak, maka terbuka peluang untuk menabrak pasal-pasal lain di dalam KUHAP Herman Suryokumoro, berpendapat bahwa : Bahwa hukum Peninjauan Kembali dalam KUHAP merupakan suatu sistem. Oleh sebab itu, menolak putusan Mahkamah Agung yang membenarkan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, dengan alasan bahwa putusan Mahkamah Agung itu sudah keluar dari sistem. Suatu sistem hukum yang berpihak pada landasan Peninjauan Kembali hanya ditujukan untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terdakwa yang telah dirampas oleh negara secara tidak sah. Putusan Mahkamah Agung itu bertentangan dengan jiwa dibentuknya lembaga Peninjauan Kembali Laden Marpaung, berpendapat bahwa : 5. H. Adami Chazawi, 2009 Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana,Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktek dan Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika,Jakarta hal. 5 (selanjutnya disebut H.Adami Chazawi I) 6 Ibid. hal. 7-8

10 10 - Pengajuan Permohonan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum selama ini belum lumrah, sebagaian para pakar telah mengungkapkan keberatan atau ketidak setujuan pendapat-pendapat para pakar tersebut ada yang berbeda meremehkan Mahkamah Agung Adami Chazani, berpendapat : - Bahwa putusan Mahkamah Agung yang membenarkan alasan pengajuan permintaan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum, merupakan putusan yang dengan jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP hal ini dapat dimasukkan ke dalam putusan peradilan sesat dalam hukum, bukan sesat dalam hal dan karena fakta 8 Bukan hanya dikalangan para pakar saja yang tidak sependapat dengan upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum, juga sikap tidak setuju tersebut juga ditunjukkan oleh anggota majelis yang menangani perkara Nomor 12.PK/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, yang mengambil posisi dissenting opinion yaitu a. Komariah E. Sapardjaja, dengan pendapatnya sebagai berikut : - Bahwa dalam sejarah pembentukan KUHAP, masalah Peninjauan Kembali disampaikan oleh pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 9 Oktober 1979 (vide Sejarah Pembentukan Undang-Undang 7 Laden Marpaung,2000, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal (selanjutnya disebut Laden Marpaung I) 8 Adami Chazawi, Op.cit. hal 36

11 11 Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara pidana, disusun oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan Depertemen Kehakiman RI, Jakarta, Jakarta, 2 April 1982, halaman 119). Masalah Peninjauan Kembali tersebut telah ditanggapi oleh berbagai Fraksi di DPR, bahwa Lembaga Peninjauan Kembali ini justru dijadikan untuk melindungi kepentingan terpidana sehingga tidak sulit untuk disepakati. - Bahwa Pasal -Pasal tentang Peninjauan Kembali, harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 3 KUHAP dan Pasal 182 ayat (1) huruf b, yang menyatakan bahwa : dengan ketentuan bahwa terdakwa atau Penasehat Hukum selalu mendapat giliran terakhir, maka jelaslah bahwa Peninjauan Kembali adalah juga upaya hukum luar biasa bagi terpidana, dan bukan bagi Jaksa/Penuntut Umum. - Bahwa dalam bagian menimbang dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana butir c, telah digariskan bahwa Pembangunan Nasional di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. - Bahwa alasan-alasan yang dikemukakan diatas adalah alasan yuridis untuk membantah dalil Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon Peninjauan

12 12 Kembali, pada halaman 6 Memori Peninjauan Kembali ), bahwa dilarang Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali. - Bahwa dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia khususnya tentang asas legalitas dalam KUHAP ( jo Pasal 3 KUHAP) yang merupakan hasil perjuangan rakyat terhadap rezim kekuasaan absolut pada zaman ancient regime, sehingga diperlukan jaminan kepastian hukum bagi perlindungan individu dari kesewenang-wenangan penguasa, adalah alasan historis utuk membantah dalil Jaksa/Penuntut Umum seperti disebutkan di atas. b. Suwardi, berpendapat : - Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, oleh karena : 1. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menerapkan peraturan secara umum tentang Peninjauan Kembali, sedangkan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana diatur secara khusus dalam Pasal 263 KUHAP. 2. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terdakwa atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. 3. Bahwa ketentuan tersebut bersifat limitatif :

13 13 a) Bahwa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan Peninjauan Kembali. b) Yang berhak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali hanya terdakwa atau ahli warisnya. Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali. 9 Atas pendapat yang kontra itu, ada pakar hukum yang sependapat dengan pendirian Mahkamah Agung dalam mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/ Penuntut Umum, yaitu : - Muhamad Alim, berpendapat bahwa : - Apabila sebagai narapidana, karena putusan perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap dan sudah dieksekusi, sebab permohonan Peninjauan Kembali tidak menunda eksekusi sesuai ketentuan Pasal 268 ayat 2 KUHAP, masih diberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, yang ketentuan ini adalah ketentuan hukum acara yang harus memperlakukan sama terhadap semua pihak betapa tidak adilnya jika Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili masyarakat pada umumnya, korban pada khususnya, tidak diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Adalah suatu perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) apabila seorang narapidana sangat dilindungi, sementara korban yang dalam perkara pidana diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum tidak diberikan perlindungan yang sepadan dengan terpidana dalam hal ada Novum untuk memohon Peninjauan Kembali. terpidana sudah nyata, berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah orang yang bersalah masih diberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali sementara korban yang diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum adalah orang yang baik yang telah dizalimi oleh terpidana, tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali Ibid. hal Budi Suharianto,2012, Peninjauan Kembali Putusan Pidana oleh Jaksa Penuntut Umum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Jakarta,hal

14 14 Terjadinya perbedaan pendapat diantara para pakar hukum terhadap dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum oleh Mahkamah Agung, akan tetapi Mahkamah Agung tetap secara konsisten terhadap pendiriannya tersebut, hal ini terbukti dengan dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara terdakwa Ram Gulunal pada tahun 2001, pada tahun 2006 dalam perkara terdakwa Soetyawati dan terakhir pada tahun 2007 Mahkamah Agung juga menerima permohonan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara Pollycarpus. 11 Melihat problem dalam permasalahan upaya hukum Peninjauan Kembali, bagaimana sebaiknya nanti upaya hukum Peninjauan Kembali diatur pada masa yang akan datang, apabila Jaksa/Penuntut Umum ternyata dapat membuktikan adanya kesalahan atau memiliki alasan-alasan seperti yang ditentukan dalam Pasal 263ayat 1 KUHAP, ketika putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun harus disadari dalam praktek peradilan bahwa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ternyata terdapat kekeliruan atau kesalahan baik mengenai faktanya maupun dalam penerapan hukumnya. Atas peristiwa tersebut lembaga upaya hukum Peninjauan Kembali sebagai sarana rekorektif terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diharapkan benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi, tanpa meninggalkan asas keadilan maupun asas kepastian hukum. Oleh karena itu untuk memahami upaya hukum Peninjauan Kembali itu secara menyeluruh, perlu dikaji secara utuh, lembaga upaya 11 Ibid, hal 3

15 15 hukum Peninjauan Kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Sesuai ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali : hanya terpidana atau ahliwarisnya. Dalam ketentuan tersebut seolah-olah upaya hukum Peninjauan Kembali, menutup kemungkinan hak Jaksa/Penuntut Umum untuk dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Kalau disimak secara seksama dan mendalam dari ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tersebut, disana disebutkan...kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, menjadi pertanyaan sekarang, terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, siapa yang dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali tersebut, sedangkan penjelasan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, hanya disebutkan cukup jelas, menurut penulis dalam ketentuan tersebut terdapat norma kosong. Begitu juga dalam ketentua Pasal 263 ayat 3 ditentukan bahwa : Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut Pasal 263 ayat 2 (dari Pasal 263 KUHAP), terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti suatu pemidanaan. Dalam ketentuan Pasal 263 ayat 3 KUHAP tersebut juga tidak menjelaskan siapa yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut. Ternyata dalam Penjelasan

16 16 dari Pasal 263 ayat 3 KUHAP juga hanya dinyatakan cukup jelas, oleh karena itu dalam ketentuan tersebut juga dapat dipandang sebagai norma kosong. Atas ketidak jelasan dari pada ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP maupun Pasal 263 ayat 3 KUHAP itulah, telah dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung dalam mengabulkan permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara Joko Soegiarto Tjandra, perkara Nomor : 12 PK/Pid Sus /2009, tanggal 11 Juni 2009, dalam pertimbangannya pada angka 3 sebagaimana telah diuraikan diatas. Selanjutnya hemat penulis, terlepas dari diskursus terhadap upaya hukum hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum tersebut, namum yang menjadi masalahnya sekarang bagaimana pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum, sehubungan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun Berdasarkan atas permasalahan tersebut diatas, penulis tertarik dan memandang perlu untuk membahas dan menulis tesis ini yang berjudul : Pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana, (terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum ) 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan isu hukum yang telah diuraikan sebagaimana tersebut di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian tesis ini adalah :

17 17 1. Bagaimanakah pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum? 2. Bagaimanakah sebaiknya pengaturan upaya hukum Peninjauan Kembali dimasa datang untuk tetap dapat mencerminkan rasa keadilan bagi pencari keadilan? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Suatu permasalahan yang akan dibahas perlu dibatasi pada segi tertentu yang dianggap penting serta yang perlu diketahui. Dalam setiap penulisan karya ilmiah perlu diadakan pembahasan secara tegas mengenai hal-hal yang perlu dijadikan inti permasalahan yang akan dibahas. Bertitik tolak dari hal tersebut guna mencegah cakupan permasalahan pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa /Penuntut Umum, diperlukan batasan-batasan dimana ruang lingkup pembahasannya adalah bagaimana hak terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diberikan oleh undang-undang, terhadap ketentuan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 24 ayat 2 Undangundang 48 tahun 2009), ketika upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan oleh Mahkamah Agung. 1.4 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum :

18 18 Secara Umum penelitian ini untuk mendiskripsikan mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam praktek peradilan di Indonesia b. Tujuan Khusus : 1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. 2. Untuk mengatahui, apakah terpidana dapat mengajukan Peninjauan Kembali, terkait dikabulkannya, Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum. 3. Untuk menemukan konsep hukum bagaimana upaya hukum Peninjauan Kembali sebaiknya diatur secara tegas di masa yang akan datang, supaya tidak menimbulkan multi-tafsir atas dasar pertimbangan keadilan dan perikemanusiaan. 1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk kalangan praktisi dan kalangan akademisi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan hukum acara pidana, yang ternyata sekarang paradigma yang berkembang bukan semata-mata hanya memberikan perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana saja, tetapi juga memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana itu juga tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan.

19 19 b. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka perubahan hukum acara pidana yang akan datang, agar upaya hukum Peninjauan Kembali tidak lagi menimbulkan mutitafsir. 1.6 Originalitas Penelitian Sepengetahuan penulis, Penulis menemukan tesis yang judulnya hampir mirip dengan judul tesis yang penulis ajukan : 1. Bona Fernandez MT. Simbolon, tesis tahun 2009 Universitas Sumatera Utara, Medan, dengan judul : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. Dalam tesis ini masalah yang dikaji mengenai : a) Apakah Jaksa/Penuntut Umum berwenang untuk melakukan permohonan Peninjauan Kembali menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. b) Bagaimana dengan praktek Peradilan Indonesia apakah yang membenarkan Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. c) Alasan-alasan apakah yang digunakan oleh Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali dalam praktek peradilan. 2. Rio Adhitya Wicaksono, tesis tahun 2010, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jawa Timur Surabaya, dengan judul : Kewenangan Jaksa/Penuntut Umum Dalam Pengajuan Peninjauan Kembali Perkara

20 20 Tindak Pidana Korupsi, studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 / Pid.Sus / 2009, terpidana Joko Sugiarto Tjandra. Dalam tesis ini masalah yang dikaji mengenai : a) Mengapa Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara tindak pidana korupsi. b) Bagaimana cara pembuktian Novum (keadaan baru) dalam kehilafan hakim. c) Apa dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam praktek tindak pidana korupsi. Bila judul tesis tersebut bermiripan akan tetapi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang di dasarkan pada referensi buku-buku dan informasi. Maka berdasarkan pada alasan-alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena penekanan pada penelitian ini belum pernah memperoleh kajian oleh peneliti-peneliti lainnya. Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan dapat dikemukakan bersifat orisinal dan layak untuk dijadikan sebagai obyek penulisan dalam bentuk tesis. 1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir Landasan Teoritis Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian maka diperlukan landasan teori. Landasan teori sebagai landasan berfikir yang

21 21 bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk mengucapkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Landasan teori tersebut juga merupakan upaya untuk mengidentifikasi teori-teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum serta norma-norma hukum. 12 Dalam tesis (tulisan) ini tentang Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana (terkait dikabulkannya Upaya Hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum), akan dibahas lebih luas dan lebih mendalam. Sebagaimana upaya hukum (rechts middelen) lainnya, seperti perlawanan, banding, kasasi dimana upaya hukum Peninjauan Kembali dalam proses peradilan pidana dapat dikatakan bagian dari proses penegakan hukum sebagaimana pendapat dari Bagir Manan. 13 Penegakan hukum di Indonesia sejalan dengan perkembangan masyarakat telah banyak mengalami pergeseran peradigma, sesuai KUHAP telah terjadi perlakuan yang cukup besar terhadap tersangka atau terdakwa, dimana tersangka atau terdakwa, sejak pada tingkat penyidikan sudah dapat didampingi oleh Penasehat Hukum. Upaya penegakan supremasi hukum, menurut Nyoman Serikat Putra Jaya, harus ditegakkan asas persamaan didepan hukum (equality before the law) yang didukung oleh Kekuasaan Kehakimanyang merdeka dari segala pengaruh (baik internal maupun eksternal) sebagai 12 Anonim, 2008, Buku Pedoman Pemeriksaan Usulan Penelitian dan Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Udayana, hal Bagir Manan,2005, Penegakan Hukum yang Berkeadilan, dalam Varia Peradilan Tahun ke XX Nomor 241, Ikatan hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta (selanjutnya disebut Bagir Manan I), hal 10.

22 22 langkah dalam menciptakan sistim checks and balances antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif agar tidak terjadi dominasi kekuasaan oleh salah satu cabang penyelenggaraan negara tersebut. 14 Terkait dengan proses penegakan hukum, menurut Bagir Manan terdapat dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum tersebut, yaitu tata cara penegakan hukum (prosudural justice). 15 Tata cara dimaksud adalah tata cara untuk mewujudkan keadilan, karena menurut Bagir Manan, tujuan mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang adil pula. Penegakan hukum sebagai suatu proses menurut Wayne La Favre sebagaimana dikutif Soerjono Soekamto, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. 16 Berkaitan dengan pendapat-pendapat tersebut diatas, dalam pandangan Satjipto Rahardjo, menyatakan penegakan hukum pada hakekatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak. Dikatakan demikian karena pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Karenanya Satjipto Rahardjo mengelompokkan pendapat Gustav Radbruch sebagai yang abstrak 14 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal Bagir Manan, Op.cit hal Soerjono Soekamto, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 7.

23 23 tersebut termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. 17 Bertitik tolak dari pendapat-pendapat para sarjana tersebut, dapat dikatakan bahwa upaya hukum (rechts middlelen) baik perlawanan, banding, kasasi maupun Peninjauan Kembali merupakan bagian dari proses penegakan hukum, karena pada hakekatnya upaya hukum (rechts middelen) juga merupakan upaya mewujudkan ide mencapai keadilan ataupun kepastian hukum serta kemanfaatan sosial. Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 12 dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana bahwa upaya hukum (rechts middlelen) adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP). Secara singkat eksistensi upaya hukum tersebut adalah upaya untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil (materiil waarheid) bagi terdakwa/terpidana maupun Jaksa/Penuntut Umum dari pengadilan yang lebih tinggi. 18 Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, maksud dari upaya hukum pada pokoknya adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya dan 17 Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Satjipto Raharjo I) hal Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktek, Tehnik Penyusunan dan Permasalahannya, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 210.

24 24 untuk kesatuan dalam peradilan. 19 Disamping itu Martiman Prodjohamidjojo juga menyatakan bahwa upaya hukum adalah alat untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan atas putusan hakim. 20 Adapun tujuan daripada upaya hukum itu sendiri pada dasar sebagai berikut: a. Diperolehnya kesatuan dan kepastian dalam hal menyatakan peradilan (operasi justice) b. Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang dari hakim c. Memperbaiki kealpaan kealpaan dalam menjalankan peradilan d. Usaha dari para pihak, baik terdakwa maupun Jaksa memberikan keterangan baru (novum). Peninjauan Kembali (herzeining) sebagai upaya hukum luar biasa, mulai serius dibicarakan setelah munculnya kasus Sengkon dan Karta. Karena pada saat itu telah terjadi kesalahan negara yang telah terlanjur menghukum Sengkon dan Karta, yang kemudian terbukti tidak bersalah karena itu diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1980 yang sifatnya sementara. Sifat sementara ini dikarenakan hukum acara mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali tidak seharusnya dibuat dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, melainkan harus melalui undang-undang. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak 19 Anonim, 1982, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Yayasan Pengayoman, Jakarta, hal Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,Jakarta, hal 144.

25 25 Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 yang sudah dicabut karena mendapat reaksi dari pihak parlemen. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 dikeluarkan mengacu kepada Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. 21 Melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap perkara pidana ketika itu menjadi dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 nya, untuk mengatasi perkara Sengkon dan Karta. Selanjutnya setelah lahir Kitab Undang-undang Hukum Acara itu, ketentuan upaya hukum Peninjauan Kembali telah diatur dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP. Dalam perkembangan praktek peradilan selama ini, upaya hukum Peninjauan Kembali bukan saja diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, tetapi juga diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Adapun beberapa perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum upaya hukum Peninjauan Kembali, yang telah diputus oleh Mahkamah Agung seperti perkara Muchtar Pahpahan, perkara Ram Gulumal alias V.Ram (The Gandhi Memorial School), Soetiawati alias Ahua binti Kartaningsih, perkara Joko Soegiarto Tjandra, serta perkara Pollycarpus Budihari Priyanto, terlihat Mahkamah Agung telah menyimpang dari ketentuan Pasal 263 KUHAP.disamping memperlihatkan kesan tidak adanya konsistensi dalam penerapan Undang-undang (KUHAP) oleh 21 H.R, Otje Salman,S dan Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, hal 22.

26 26 Mahkamah Agung dalam mengadili perkara yang dimohonkan upaya hukum Peninjauan Kembali, karena dalam penegakan hukum pidana akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan juga menimbulkan ketidak adilan karena Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya Nomor 10 Tahun 2009 telah melarang permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dan memerintahkan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan penetapannya untuk menyatakan permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali itu dinyatakan tidak dapat diterima, bila permohonan Peninjauan Kembali diajukan lebih dari satu kali. Padahal sesuai norma ketentuan Pasal 263 KUHAP bahwa yang berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali adalah terpidana atau ahli warisnya, sementara karena perkembangan praktek saja, kemudian Jaksa/Penuntut Umum dibolehkan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali semestinya untuk keadilan, bila kemudian setelah upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, ternyata kemudian terpidana memiliki fakta hukum baru (novum) yang potensial dapat melumpuhkan putusan sebelumnya, kepada terpidana juga harus diberikan kesempatan atau dibuka ruang untuk dapat mengajukan Peninjauan Kembali. Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu diklarifikasi secara akademik melalui teori-teori yang berkaitan. Dalam Shorter Oxford Dictionary dikatakan bahwa definisi teori adalah merupakan suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan

27 27 atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena...suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati. 22 Dalam tesis ini teori-teori dimaksud untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu fenomena tertentu yang berkaitan dengan pengaturan hak, pengaturan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Bagi Terpidana (Terkait Dikabulkannya Upaya Hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum). Penguraian landasan teoritis ini berangkat dari teori atau konsep antara lain : Teori Keadilan dari John Rawls Bahwa Pasal 263 ayat (1) sampai ayat (3) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur tentang upaya hukum Peninjauan Kembali harus memberikan rasa keadilan, baik terhadap pelaku tindak pidana tersebut maupun korban dari tindak pidana, dengan memberikan keadilan prosedural kepada kedua pihak tersebut. Sedangkan pihak korban, kepentingannya diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum. Sejalan dengan pemikiran di atas, dalam yurisprudensi tersebut (Perkara Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 10 Desember 1983) dapat dijelaskan antara lain dari pertimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon Peninjauan Kembali ) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara. Di lain pihak, disamping perseorangan 22 H.R, Otje Salman,S dan Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, hal 22.

28 28 (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula melakukan Peninjauan Kembali. Bahwa pertimbangan tersebut di atas, sesuai dengan model yang bertumpu pada konsep daad-dader-strafrecht, yang oleh Muladi disebut model keseimbangan kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan 23 dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman. Dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana maupun korban tindak pidana. Dalam praktek acapkali menghadapi kasus perkara yang dalam penerapan hukumnya telah terjadi benturan kepentingan. Di satu sisi kepentingan kepastian hukum yang bermuara pada aspek prosedural, dan di sisi lain berhadapan dengan kepentingan kebenaran dan keadilan yang bermuara pada kepentingan umum atau negara. Harus disadari bahwa nilai keadilan dan kebenaran tidak dapat diperoleh dari fungsinya aspek kepastian hukum, akan tetapi ditentukan oleh faktor keseimbangan aspek perlindungan hukum terhadap korban maupun pelaku kejahatan. Oleh karena itu, konsekuensinya semakin serius akibat dan sifat kejahatannya, maka semakin besar pula tuntutan nilai keadilan yang harus dicapai dan 23 Muladi, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bajan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal 5

29 29 melebihi dari tuntutan nilai kepastian hukum. Dengan kata lain, agar dapat mencapai nilai keadilan dan kebenaran yang lebih tinggi, hakim harus berani mereduksi nilai kepastian hukum. 24 Pendirian diatas sejalan dengan praktik peradilan yang terjadi selama ini, seperti dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yaitu : dalam perkara Mochtar Pakpahan, Ram Gulumal alias V Ram (kasus The Gandhi Memorial School ), Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih, Joko S Tjandra maupun Pollycarpus budihari Priyanto, telah terjadi reduksi terhadap nilai kepastian hukum yang terkandung dalam norma Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Dalam beberapa putusan tersebut Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali telah menerima permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung mana telah menyimpang dari norma yang terdapat dalam KUHAP, karena sesuai ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, Jaksa/Penuntut Umum bukan sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, melainkan pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali adalah terpidana atau ahli warisnya saja. Disini menunjukkan dari Mahkamah Agung telah melakukan langkah mereduksi nilai kepastian hukum yang terdapat dalam norma Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Terhadap pendirian Mahkamah Agung dalam putusanputusannya tersebut, bagi kalangan yang menganut aliran positivisme 24 Varia Peradilan. Op.cit. hal

30 30 atau analytical positivism atau rechts dogmatick, yang cenderung melihat bahwa hukum sebagai suatu otonom, bahwa tujuan hukum tidak lain dari sekedar mencapai terwujudnya kepastian hukum, 25 dengan demikian putusan Mahkamah Agung tersebut diatas sudah tentu dipandangnya telah melampaui kewenangannya, karena telah meriduksi nilai kepastian hukum yang ditentukan undang-undang. Karena sesuai pandangan aliran positivisme, bahwa penyimpangan terhadap undang-undang juga dianggap telah meniadakan kepastian hukum. Kesimpulan dari pendekatan ini adalah satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah dapat dipastikan kenyataannya. 26 Kenyataan-kenyataan dasar yang dimaksud oleh aliran positivisme diatas, telah ditentukan sebagai berikut : 1. Tata hukum negara tidak dianggap berlaku, karena hukum itu mempunyai dasarnya dalam kehidupan sosial (menurut Conte dan Spencer), bukan juga karena hukum itu bersumber dari jiwa bangsa (menurut Von Savigny), bukan juga karena hukum itu merupakan cermin dari suatu hukum alam. Dalam pandangan positivisme yuridis hukum hanya berlaku, oleh karena hukum itumendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. 2. Dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya dapat dipandang, dengan kata lain bahwa hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya. Dengan ini bentuk yuridis hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum material. 3. Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu pengetahuan hukum, oleh sebab isi ini dianggap variabel dan bersifat sewenang-wenang. Isi hukum tergantung situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari dalam 25 Ahmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, hal Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Theo Huijbers I) hal. 128

31 31 suatu ilmu pengetahuan lain, bukan dalam ilmu pengetahuan hukum. 27 Berkaitan dengan pandangan positifisme diatas, dalam teori HLA Hart, terdapat pembedaan dua sistem hukum, yaitu apa yang disebut sebagai aliran primer (primery rules) dan aturan sekunder (secondary rules). 28 Aturan primer (primery rules) lebih menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Artinya agar berbuat atau bertingkah laku sebagaimana seharusnya sesuai dengan norma yang ada. Sedangkan dalam secondary rules atau yang disebut sebagai aturan tentang aturan (rules about rules) meliputi : - Pertama : aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat dianggap sah (rules of recognation) - Kedua : bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan - Ketiga : bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan/dipaksa (rules of adjudication) 29 Dari teori positivisme yang memandang hukum hanya berlaku oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang dan hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya, ajaran ini menggambarkan dan menjelaskan bahwa suatu produk hukum dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat sebagai pedoman. Oleh karenanya keputusan-keputusan hukum yang akan dihasilkan oleh pihak manapun tidak dengan mudah berubah-ubah, tidak 27 Ibid, hal HR Otje Salman S dan Anton F Susanto, Op.cit, hal HR Otje Salman Salman, Ibid hal

32 32 bertentangan satu dengan yang lainnya, mudah dimengerti dan tidak membingungkan serta memiliki nilai kepastian. Putusan-putusan Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan diatas, dalam pandangan aliran positivisme akan sulit untuk diterima, karena tidak berdasarkan pada ketentuan hukum (KUHAP), karena putusan Mahkamah Agung tersebut telah menyimpang dari norma pasal 263 ayat 1 KUHAP, dimana Mahkamah Agung telah menerima upaya hukum Peninjauan Kembali dari Jaksa/Penuntut Umum, yang tidak ditentukan sebagai pihak dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP. Penyimpangan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut menurut pandangan aliran positivisme dinilai tidak konsisten terhadap pelaksanaan undang-undang karena tidak berdasarkan pada aturan yang ada dan tidak memberikan kepastian hukum. Ketidak pastian hukum ini akan berlanjut, bagaimana hak bagi terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, mengingat sesungguhnya Pasal 263 ayat 1 KUHAP hanya memberikan hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali hanya pada terpidana atau ahli warisnya, hal inilah menjadi kajian dalam tesis ini dan pembahasannya lebih mendalam akan dibahas dalam bab tersendiri. Bahwa pandangan positivisme diatas, kalau dilihat dalam penegakan hukum, sepintas nampaknya dapat dijadikan pegangan dalam usaha menegakkan asas kepastian hukum tersebut. Hal ini dikarenakan

33 33 hukum ditanggapi sebagai kaidah-kaidah (undang-undang) yang mengatur hidup bersama, dibuat oleh instansi yang berwenang dan berlaku sebagai norma. Akan tetapi, dibalik pandangan tersebut, banyak juga pendapat para ahli hukum yang mengkritisi, apakah kaidah-kaidah hukum dalam suatu undang-undang sudah dipastikan dapat dikatakan sebagai hukum yang baik dalam tata kehidupan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan. Bila ditinjau dari sisi keadilan, dimana putusan-putusan Mahkamah Agung yang menerima upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, belum tentu dikatakan sebagai putusan yang keliru atau salah karena telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku (KUHAP) karena berdasarkan fakta ternyata ada peraturan perundang-undangan yang tidak mencerminkan pada prinsip-prinsip keadilan. Dimana hal tersebut sebagaimana diketahui bahwa KUHAP, khususnya dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP, tentang upaya hukum Peninjauan Kembali, ternyata hanya memungkinkan terpidana atau ahli warisnya saja yang boleh mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dan tidak memberi kesempatan kepada pihak lainnya, yaitu Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat lainnya ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP jelas bersifat diskriminatif, karena tidak memberikan hak yang sama (equal treatment) bagi pihak dalam suatu proses perkara (pidana), hal ini jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945,

34 34 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum), karena membeda-bedakan hak terpidana dengan Jaksa/Penuntut Umum, hal ini sejalan dengan substansi putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 65/PUU-IX/ Perlakuan tidak adil (unequal treatment) dalam suatu peraturan perundang-undangan akan sulit untuk mencari kebenaran materiil dalam suatu proses perkara pidana, apabila ternyata kemudian dapat diketahui bahwa terdapat kesalahan atau kekeliruan yang nyata telah dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara pidana, yang mengakibatkan kerugian bagi korban kejahatan atau masyarakat umum. Apabila terjadi kejadian seperti ini, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk mencari jalan keluar dan menyelesaikansudah pada tempatnya mengambil tindakan yang didasarkan masalah tersebut dan apabila Mahkamah Agung sebagai institusi yang mempunyai tugas menyelesaikan masalah tersebut, bila memutus perkara itu hanya sematamata apa katanya undang-undang sebagai corong undang-undang maka dapat dibayangkan korban kejahatan atau masyarakat umum untuk selamanya tidak bisa membela kepentingannya. Bertitik tolak dari fakta dan kenyataan tersebut, Mahkamah Agung sudah pada tempatnya mengambil tindakan yang didasarkan pada 30 Berita Kompas, hari Selasa, Tanggal 3 Pebruari 2015, hal. 6 kolom 2-5

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan, 49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para pencari keadilan yang berperkara di pengadilan, biasanya setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa kurang tepat, kurang adil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

Makalah Rakernas

Makalah Rakernas Makalah Rakernas 2011 1 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI Oleh : H. A. Kadir Mappong (Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidan Yudisial) Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk memperbaiki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan. Hak tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

FUNGSI LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 1 Oleh : Priscilia Singal 2

FUNGSI LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 1 Oleh : Priscilia Singal 2 FUNGSI LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 1 Oleh : Priscilia Singal 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali Herziening atau peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN. Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan bagian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat dianggap sederhana dan mudah. Ketika penegak

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PROSPEK PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PIDANA OLEH JAKSA Penyimpangan Dalam Penerimaan Pengajuan Peninjauan Kembali yang

BAB IV ANALISIS PROSPEK PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PIDANA OLEH JAKSA Penyimpangan Dalam Penerimaan Pengajuan Peninjauan Kembali yang BAB IV ANALISIS PROSPEK PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PIDANA OLEH JAKSA 4.1. Penyimpangan Dalam Penerimaan Pengajuan Peninjauan Kembali yang Diajukan Jaksa oleh Mahkamah Agung Putusan Mahkamah Agung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan adanya jaminan kemandirian dan kemerdekaan seseorang dalam menyampaikan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara

I. PENDAHULUAN. seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penuntutan tertinggi di bidang hukum mempunyai peran utama dalam penegakan supremasi hukum dan mewujudkan keadilan bagi seluruh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA 44 BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA C. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dalam Perspektif Hukum Acara Pidana di Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang salah satu kewenangannya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 5 disebutkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2 AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan diperhatikan harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya. Hak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum dimana penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Negara hukum dalam kekuasaan pemerintahan berdasarkan kedaulatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan

I. PENDAHULUAN. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 1 menyatakan bahwa Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,

Lebih terperinci

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan Peninjauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO

PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO Oleh: I.TAJUDIN. S.H. NIP. 132 312 770 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN 2009 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem peradilan pidana secara sederhana merupakan proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Kepolisian, kejaksaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi alasan ganti kerugian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia

Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia 1 Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia Penyusun : Supriyadi Widodo Eddyono Desain Cover : Basuki Rahmat Lisensi Hak Cipta This work is licensed

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga

BAB I PENDAHULUAN. yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem hukum menurut L. M. Friedman tersusun dari subsistem hukum yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga unsur sistem hukum ini sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH.,

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2009, hlm Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 2009, hlm Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, sejauh pembuatan akta otentik tersebut tidak dikhususkan kepada pejabat umum lainnya.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUUXIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati I. PEMOHON a. Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Pemohon I) b. Lembaga Pengawasan

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab

I. PENDAHULUAN. formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara mengenai penegakan hukum pidana di Indonesia, tentunya berbicara mengenai 2 (dua) tonggaknya, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan

Lebih terperinci