DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI JAWA TENGAH"

Transkripsi

1 Desember Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Agnes Ratih Ari Indrayani 123 Vol. I, No. 2, Desember 2010, DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI JAWA TENGAH Agnes Ratih Ari Indrayani Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra ABSTRAKSI Penelitian ini bertujuan melihat tingkat disparitas pendapatan antar wilayah pada 10 kabupaten / kota dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah pada dua kurun waktu, yaitu tahun dan tahun Kajian ini berlandaskan pada hipotesis Simon Kuznets (1955) yang menyebutkan bahwa ketimpangan (disparitas) pendapatan cenderung meningkat pada tahap awal pembangunan dan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya mengikuti kurva U-terbalik. Dengan menggunakan Indeks Williamson diperoleh hasil bahwa semakin tinggi pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atau semakin besar pendapatan per kapita, semakin besar pula disparitas pendapatan yang terjadi. Disparitas berfluktuasi dan cenderung meningkat pada tahap-tahap pembangunan berikutnya. Kata kunci : distribusi pendapatan, disparitas pendapatan. PENDAHULUAN Proses pertumbuhan pendapatan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang semakin mengglobal. Tingkat dan laju pertumbuhan rata-rata pendapatan nasional bukanlah pencerminan keberhasilan upaya pembangunan. Meskipun tingkat pertumbuhan perekonomian Indonesia semakin membaik, namun ditinjau dari sisi struktural ternyata ekonomi nasional masih rapuh. Bahkan tingkat kesenjangan pendapatan antar sektor ekonomi, antar daerah dan antar pelaku ekonomi semakin timpang, tingkat pengangguran yang masih tinggi dan penduduk miskin secara absolut dan relatif cenderung meningkat. Pada tahun 1975, propinsi termiskin hanya mendapat satu per enam dari PDB per kapita propinsi terkaya, tidak termasuk migas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar dalam pendapatan antar daerah. Jika Pendapatan dari kekayaan alam dimasukkan, maka perbandingannya akan semakin membesar menjadi satu per dua puluh lima. Setelah 25 tahun kesenjangan tidak pudar, bahkan terlihat semakin jelas. Pada tahun, propinsi termiskin hanya mendapat satu per sembilan dari PDRB per kapita daerah propinsi terkaya di luar migas. Jika migas dimasukkan, perbandingannya akan melonjak menjadi satu per dua belas (Hill, ). Tabel berikut memberikan gambaran mengenai kondisi ketimpangan pendapatan (income inequality) yang terjadi di negaranegara berkembang.

2 124 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember Tabel 1. Perkiraan Distribusi Pendapatan, Dekade Akhir 1990-an & Awal -an Negara Bangladesh Bodswana Brasil Kolombia Kostarika Ghana Guatemala Honduras India Jamaika Pakistan Peru Filiphina Afrika selatan Zambia pertama ke-2 Kuintil ke-3 ke-4 ke-5 10% tertinggi 9,0 12,5 15,9 21,2 41,3 25,4 2,2 4,9 8,2 14,4 70,3 56,6 2,0 5,7 10,0 18,0 64,4 46,7 2,7 6,6 10,8 18,0 61,9 46,5 4,2 8,9 13,7 21,7 51,5 34,8 5,6 10,1 14,9 22,8 46,6 30,6 2,6 5,9 9,8 17,6 64,1 48,3 2,7 6,7 11,8 19,9 58,9 42,2 8,9 12,3 16,0 21,2 41,6 27,4 6,7 10,7 15,0 21,7 46,0 30,3 8,8 12,5 15,9 20,6 42,3 28,3 2,9 8,3 14,1 21,5 53,2 37,2 5,4 8,8 13,1 20,5 52,3 36,3 2,0 4,3 8,3 18,9 66,5 46,9 3,3 7,6 12,5 20,0 56,6 41,0 Sumber: World Development Indicators 2004, Tabel 2.7., hal Tahun Dalam tabel 1 terlihat bahwa di Zambia 20% penduduk termiskin (kuintil pertama) dari populasi hanya menerima 3,3% dari pendapatan, sementara 10% dan 20% kelompok terkaya (kuintil kelima) masing-masing menerima 41,0% dan 56,6%. Sebaliknya di dalam sebuah negara maju seperti Jepang, 20% penduduk termiskin menerima pangsa pendapatan yang lebih tinggi, sekitar 8,7%, sementara 10% dan 20% penduduk terkaya masing-masing hanya menerima 22,4% dan 37,5%. Pada tabel 2 disajikan angka tingkat pendapatan per kapita dan distribusi pendapatan pada sepuluh negara berkembang. Di sini distribusi pendapatan diukur dalam tiga cara: sebagai persentase atau porsi pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk termiskin terhadap pendapatan nasional, sebagai rasio porsi pendapatan yang diterima oleh 20% penduduk terkaya dibagi dengan porsi pendapatan yang diterima oleh 20 persen penduduk termiskin; diukur oleh Tabel 2. Pendapatan Per Kapita dan Ketimpangan di Negara Berkembang an Negara Kenya Bangladesh Indonesia Sri Langka Filipina Paraguay Jamaika Brazil Malaysia Kosta Rika GNI Per Kapita 2002 (SAS) Pangsa Pendapatan 40% Rumah Tangga Termiskin 14, 9 21,5 20,3 19,8 14,2 8,7 17,4 7,7 12,5 13,1 Sumber: World Development Indicators, 2004, tabel 1.1 dan tabel 2.7 Rasio 20% Terkaya dengan 20% Termiskin 9,1 4,6 5,2 5,4 9,7 27,4 6,7 32,2 12,3 12,3 Koefisien Gini 0,45 0,32 0,34 0,34 0,46 0,38 0,38 0,59 0,49 0,47

3 Desember Agnes Ratih Ari Indrayani 125 koefisien Gini. Urutan negara dalam tabel tersebut diatur dari yang terkecil hingga tertinggi menurut pendapatan per kapita tahun Yang terlihat pada tabel 2 tersebut adalah bahwa pendapatan perkapita tidak terlalu berkorelasi dengan ketiga ukuran ketimpangan distribusi pendapatan. Sebagai contoh, Bangladesh dan Kenya memiliki pendapatan yang sama rendahnya, tetapi Kenya lebih timpang. Dari pengamatan yang sama bias didapat di antara Negara-negara berpendapatan menengah seperti Jamaika dan Brazil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di berbagai Negara berkembang tidak terdapat hubungan yang kuat antara tingkat pendapatan perkapita dengan tingkat konsentrasi atau ketimpangan distribusi pendapatan. Walaupun ketimpangan tidak mempunyai korelasi yang tinggi dengan pendapatan per kapita, namun masih ada sedikit kemungkinan terdapat korelasi nonlinear, seperti yang diisyaratkan oleh hipotesis kurva U-terbalik, jika Negaranegara berpendapatan tinggi ikut dimasukkan ke dalam pembahasan. Dalam 30 tahun terakhir (sejak tahun 1975), kedudukan penting Jawa sebagai pusat ekonomi dan populasi nyaris tidak mengalami perubahan berarti. Bahkan Jawa terlihat semakin mengokohkan supermasi ekonominya atas wilayah lain dengan meningkatkan pangsanya dalam PDB dari 47% pada tahun 1975 menjadi 55% pada tahun 2002 dan pada saat yang sama menurunkan pangsanya dalam populasi nasional dari 63 persen menjadi 59 persen (BPS, ). Untuk periode yang hampir sama ( ), secara daerah pertumbuhan ekonomi antar daerah di kawasan timur Indonesia jauh tertinggal dibanding kawasan barat Indonesia. Studi empiris konvergensi di Indonesia oleh Esmara (1975) menunjukkan bahwa disparitas pendapatan antar daerah propinsi di Indonesia termasuk tinggi di antara negara-negara dunia ketiga lainnya. Dengan menggunakan indeks Williamson, Esmara menghitung nilai indeks pada tahun 1972 adalah sebesar 0,522. Namun dengan mengeluarkan pendapatan migas, kesenjangan antar daerah tergolong rendah. Perbedaan kemajuan pembangunan antar kabupaten/kota ini, salah satunya, disebabkan oleh karakteristik yang berbeda antara satu daerah dan daearah lainnya. Perbedaan dimaksud dapat berupa letak geografis, sumber daya (resources) dan sebagainya. Implikasinya masing-masing daerah memiliki keunggulan yang berbeda di dalam sector ekonominya. Keunggulan ini sangat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan. Berdasarkan pada permasalahan tersebut di atas, maka pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: Sejauhmana tingkat ketidakmerataan pendapatan antarwilayah di Propinsi Jawa Tengah beserta kecenderungannya. LANDASAN TEORI 1. Ketimpangan Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi Diasumsikan bahwa kesejahteraan sosial berhubungan positif dengan pendapatan per kapita, namun berhubungan negatif dengan kemiskinan dan tingkat ketimpangan. Masalah yang ditimbulkan oleh kemiskinan absolut sudah jelas. Ketimpangan relatif juga merupakan masalah yang tidak bisa diabaikan. Ketimpangan dapat menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien, pendapatan rata-rata dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah seiring tingginya ketimpangan. Ketimpangan yang terjadi di antara penduduk yang berada di atas garis kemiskinan adalah bahwa disparitas pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas. Ketimpangan yang tinggi juga memperkuat kekuatan politis golongan kaya, di samping kekuatan tawar-menawar ekonomi mereka.

4 126 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember Berkaitan berbagai hal tersebut maka dapat dituliskan rumus kesejahteraan (W) sebagai berikut: W = W ( Y, I, P ) Dimana Y adalah pendapatan per kapita dan berhubungan positif dengan fungsi kesejahteraan, I adalah ketimpangan dan berhubungan negatif, dan P adalah kemiskinan absolut dan juga berhubungan negatif. Ketiga komponen ini mempunyai signifikansi yang berbeda-beda, dan perlu mempertimbangkan ketiga elemen tersebut untuk mendapatkan penilaian menyeluruh terhadap kesejahteraan di negara berkembang. Pertumbuhan versus distribusi pendapatan merupakan masalah yang menjadi perhatian di Negara-negara sedang berkembang (Todaro, 2008). Banyak Negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang tinggi hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi banyak dirasakan orang tidak memberikan pemecahan masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan ketika tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diiringi dengan meningkatnya tingkat pengangguran dan pengangguran semu di daerah pedesaan maupun perkotaan. Ditribusi pendapatan antara kelompok kaya dan dengan kelompok miskin semakin senjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata telah gagal untuk menghilangkan atau bahkan mengurangi luasnya kemiskinan absolut di negara-negara sedang berkembang. Data dekade 1970-an dan an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak Negara sedang berkembang terutama negra-negara dengan proses pembangunan ekonomi yang pesat atau dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi (Tambunan, 2001). Semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Studi Ahuja (1997) mengenai negaranegara Asia Tenggara menunjukkan bahwa setelah sempat turun dan stabil selama periode qan dan 1980-an, pada saat negaranegara tersebut mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi (Asian miracle) pada awal dekade 1990-an ketimpangan distribusi pendapatan di negaranegara tersebut mulai membesar kembali. Sejumlah studi empirik berusaha menjelaskan faktor-faktor penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan dari berbagai tinjauan. Beberapa studi menunjukkan beberapa variabel makroekonomi berpengaruh terhadap distribusi pendapatan seperti inflasi dan pengangguran, Sementara studi lain menunjukkan pengaruh kebijakan fiskal terutama tingkat pajak juga berpengaruh terhadap ketidakmerataan distribusi pendapatan menurut Auten dan Carrol (1999). Beberapa studi empiris berfokus pada hipotesis kurva U terbalik Kuznets, antara lain Mushinski dan Thomson (2001) yang menguji hubungan antara ketidakmerataan distribusi pendapatan dan tingkat pembangunan. 2. Hipotesis Kuznets dan Williamson Pembahasan di antara para ahli ekonomi pembangunan tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi di negara-negara sebagi negara sedang berkembang (NSB) terhadap distribusi pendapatan dan kadar kemiskinan masih berlanjut. Kajian Kuznets (1955), dan Wiliamson (1965) menemukan ketidakseimbangan (sering disebut ketimpangan) cenderung meningkat pada tahap awal pembangunan ekonomi dan menurun pada tahap-tahap berikutnya mengikuti bentuk kurva U-terbalik. Simon Kuznets mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjtnya distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets U-terbalik, karena perubahan longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan seperti yang diukur, misalnya, oleh koefisien

5 Desember Agnes Ratih Ari Indrayani 127 Koefisien Gini, tampak seperti kurva berbentuk U-terbalik, seiring dengan naiknya GNI per kapita, pada beberapa kasus penelitian Kuznets, seperti terlihat pada bagan berikut: 0,75 0,50 0,35 0,25 0 Pendapatan nasional bruto per kapita Gambar 1. Kurva Kuznets Dewasa ini terdapat banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapa pada tahap-tahap awal pembangunan distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun kemudian membaik. Sebagian besar dari ulasan tersebut mengkaitkan dengan kondisikondisi dasar perubahan yang bersifat struktural. Menurut model Lewis, tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sektor industri modern, yang mempunyai lapangan kerja terbatas namun tingkat upah dan produktivitas terhitung tinggi. Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan perkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Di samping itu imbalan yang diperoleh dari investasi di sektor pendidikan mungkin akan meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yang muncul memerlukan tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurun karena penawaran tenaga kerja tidak terdidik menurun. Jadi walaupun Kuznets tidak menyebutkan mekanisme yang dapat menghasilkan kurva U-terbalik ini, secara prinsip hipotesis tersebut konsisten dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Namun terlihat bahwa dampak pengayaan sektor tradisional dan sektor modern terhadap ketimpangan pendapatan akan cenderung bergerak berlawanan arah, sehingga perubahan neto pada ketimpangan bersifat mendua dan validitas empiris kurva Kuznets masih patut dipertanyakan. Terlepas dari perdebatan metodologisnya, beberapa ekonom pembangunan tetap berpendapat bahwa tahapan peningkatan dan kemudian penurunan ketimpangan pendapatan yang dikemukakan Kuznets tidak dapat dihindari. Sekarang ini telah cukup banyak studi kasus dan contoh-contoh spesifik dari berbagai negara seperti Taiwan, korea Selatan, Kosta Rika, dan Sri Lanka yang menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan nasional dapat dibarengi dengan penurunan ketimpangan pendapatan atau pemerataan. Namun hal ini tergantung pada karakter proses pembangunan yang dijalankan di masing-masing negara. Ketidakmerataan antar daerah cenderung meningkat pada tahap-tahap awal pembangunan. Lebih-lebih bila laju pertumbuhan menempati urutan terdepan dalam tujuan pembangunan nasional, sehingga kegiatan investasi akan lebih efisien dan tingkat rentabilitas relatif tinggi bila lokasinya berada di wilayah yang telah berkembang. Kemudian setelah wilayah makmur mencapai kejenuhan, ketidakmerataan pertambahannya mengecil, kemudian konstan, dan akhirnya menurun pada saat laju pertumbuhan antar daerah sudah lebih mapan, di mana tingkat produktivitas antar daerah dan antar sektor sudah relatif tinggi. Konsep ini lebih dikenal dengan hipotesis U terbalik. Konsep U terbalik ini bagi Williamson mengartikan bahwa ketidakmerataan antar daerah akan menelusuri kurva U terbalik sepanjang jalur pertumbuhan nasional yang berkelanjutan. Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsenterasi di daerahdaerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.

6 128 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember Kesenjangan yang tercermin pada perbedaan tingkat kemakmuran penduduk antar daerah, dapat diterangkan melalui pola spasial, yang menyatakan bahwa perbedaan regional muncul dari pembangunan ekonomi yang tak terelak oleh kekuatan-kekuatan dalam proses mekanisme pasar. Tak ada suatu daerah yang dapat mencapai kemakmuran tanpa pengaruh dari kemakmuran daerah lain. Pembangunan ekonomi bertitik tolak dari pemanfaatan sumberdaya alam seperti migas. Hasil pengolahannya dapat meningkatkan pendapatan dan akumulasi modal untuk pembangunan sektor lainnya terutama industri. Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung melalui suatu proses kausasi kumulatif, jika pengaruh pembangunan industri strategis dapat merangsang investasi pada sektor lainnya yang terkait serta dapat memperluas kesempatan kerja, dan pada gilirannya dapat mendorong kemakmuran daerah sekitarnya. Elizando dan Krugman berpendapat ketidakseimbangan antara wilayah (interregional inequalities) dapat terjadi jika tingkat campur tangan pihak pemerintah pusat semakin besar, terutama bila aktivitas ekonomi berpindah dari rejim perdagangan liberal (bebas) kepada perdagangan terbatas (restrictive trade regime), dan sebaliknya. Walaupun demikian disadari campur tangan pemerintah pusat dalam peraturan perdagangan cenderung bertujuan menurunkan ketidakseimbangan antar wilayah. Dalam konteks lingkungan internasional, masalah ketidakseimbangan antar wilayah lebih banyak ditemui di NSB, di banding di negara-negara maju. Menurut Myrdal (Todaro, 2008) ada dua alasan, pertama, pengaruh penyebaran (spread effect) menjadi lebih kuat dan pengaruh tarikan (backwash effect) lebih lemah pada tingkat ketidakseimbangan yang lebih tinggi; dan kedua, menyangkut peranan pemerintah. METODE PENELITIAN 1. Data dan Sumber Data Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder, meliputi data pendapatan (Produk Domestik Regional Bruto-PDRB migas dan non migas), PDRB per kapita, dan Jumlah Penduduk dari sepuluh (10) kabupaten/kota dengan PDRB terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Kesepuluh daerah tersebut adalah: Kabupaten Cilacap, Kabupaten Klaten, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Brebes, Kotamadya Surakarta, Kotamadya Salatiga, Kotamadya Semarang. Data kajian adalah selama dua kurun waktu. Kurun waktu pertama tahun , kurun waktu ke dua tahun Pada Kabupaten Cilacap terdapat 2 (dua) data pendapatan per kapita. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data pendapatan per kapita Kabupaten Cilacap tanpa memasukkan pendapatan dari sektor minyak dan gas bumi. 2. Teknik Analisis Data Untuk melihat arah ketidakseimbangan / ketimpangan pendapatan antar wilayah digunakan formula koefisien Williamson, yaitu: Vw = [Σ(y 1 - y) 2 F 1 /N] / y Dimana: Vw = koefisien Williamson Y1 = Pendapatan per kapita kabupaten / kota i dalam propinsi Jawa Tengah Y = Pendapatan per kapita Propinsi Jawa Tengah N = Jumlah penduduk Propinsi Jawa Tengah Fi = Jumlah penduduk kabupaten/kota i dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah Pendapatan wilayah dinilai seimbang jika nilai koefisien sama dengan atau mendekati nol. Demikian pula sebaliknya, ketidakseimbangan akan terwujud jika

7 Desember Agnes Ratih Ari Indrayani 129 nilai koefisien semakin lebih besar dari nol. Ketidakseimbangan juga dapat ditunjukkan melalui arah aliran koefisien dari tahun ke tahun. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Situasi Disparitas Distribusi Pendapatan Kurun Waktu Pertama ( ) Situasi disparitas distribusi pendapatan di 10 kabupaten / kota di Jawa Tengah yang memiliki PDRB tertinggi adalah sebagai berikut: NO WILAYAH TAHUN Kab. Cilacap 0,86 0,89 0,94 0,96 2 Kab.Klaten 0,16 0,18 0,12 0,17 3 Kab.Karanganyar 0,40 0,13 0,38 0,40 4 Kab. Kudus 0,23 0,23 0,20 0,24 5 Kab. Semarang 0,20 0,21 0,16 0,17 6 Kab. Kendal 0,05 0,05 0,01 0,05 7 Kab.Brebes ,58 0,59 0,67 8 Kota Surakarta 0,59 0,52 0,43 0,37 9 Kota Salatiga 0,24 0,21 0,24 0,17 10 Kota Semarang 0,48 0,53 0,62 0,60 Sumber: Data diolah Angka Indeks Williamson pada 10 wilayah kabupaten / kota tersebut sebagian besar menunjukkan angka yang fluktuatif. Indeks Williamson yang fluktuatif dalam kurun waktu 4 tahun tersebut meliputi wilayah: Klaten, Karanganyar, Kudus, Kendal, Brebes, dan Salatiga. Angka pendapatan per kapita Kabupaten Cilacap didasarkan pada angka pendapatan tanpa minyak dan gas. Selama empat tahun wilayah tersebut mengalami peningkatan angka indeks Williamson yang terus menerus. Artinya Kabupaten Cilacap dari waktu ke waktu mengalami situasi ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin lama semakin besar. Angka indeks Williamson di wilayah itu pada tahun 1996 pada pendapatan per kapita tanpa minyak dan gas menunjukkan angka Indeks sebesar 0,86; tahun 1997 sebesar 0,89; tahun 1998 sebesar 0,94 dan tahun 1999 sebesar 0,96. Hal ini mengartikan bahwa distribusi pendapatan di Kabupaten Cilacap dari waktu ke waktu semakin memburuk, kesenjangan ekonomi / ketimpangan distribusi pendapatan semakin melebar. Tabel 3. Indeks Williamson Kurun Waktu Pertama ( ) Pendapatan per kapita kabupaten Cilacap dengan memasukkan pendapatan yang berasal dari minyak dan gas memunculkan angka Indeks Williamson yang lebih besar daripada pendapatan per kapita tanpa minyak dan gas. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan yang semakin besar justru memunculkan kesenjangan/ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin besar. Sedangkan yang terjadi pada Kotamadya Surakarta adalah sebaliknya. Di Kotamadya Surakarta, selama kurun waktu tersebut

8 130 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember mengalami penurunan angka Indeks Williamson. Angka Indeks Williamson di wilayah tersebut terlihat pada tahun 1996 sebesar 0,59; satu tahun berikutnya turun menjadi 0,52. Kemudian pada tahun 1998 sebesar 0,43 dan turun lagi menjadi sebesar 0,37 pada tahun Hal ini berarti di wilayah Kotamadya Surakarta selama kurun waktu 4 tahun tersebut terjadi peningkatan kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan dengan terjadinya kemerataan yang semakin baik dalam hal distribusi pendapatan. Pada daerah-daerah lain, kabupaten Klaten Indeks Williamson pada kurun waktu pertama menunjukkan angka ketimpangan yang masuk kategori rendah. Pada tahun 1996 indeks sebesar 0,16; tahun 1997 naik menjadi 0,18; tahun 1998 turun lagi menjadi 0,12 sedangkan tahun 1999 kembali naik menjadi 0,17. Dengan demikian situasi ketimpangan ekonomi di kabupaten klaten masuk kategori rendah dan bersifat fluktuatif pada periode pertama. Pada kabupaten Karanganyar, angka indeks relatif lebih tinggi daripada kabupaten Klaten, pada beberapa waktu mengalami situasi ketimpangan yang masuk kategori sedang, yaitu sebesar 0,4 pada tahun 1996 dan tahun. Indeks pada tahun 1997 mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu menjadi sebesar 0,13; kemudian naik lagi menjadi 0,38 pada tahun 1998, dan tahun 1999 situasi ketimpangm kembali terlihat seperti pada tahun 1996 yaitu kembali naik menjadi 0,4. Pada wilayah kabupaten Kudus pada 2 tahun pertama mengalami angka indeks yang sama yaitu sebesar 0,23; kemudian tahun berikutnya yaitu tahun 1998 turun menjadi 0,2; tetapi satu tahun kemudia naik lagi menjadi sebesar 0,24. Hampir sama dengan kabupaten Kudus, kabupaten Semarang juga memiliki angka ketimpangn ekonomi yang cukup fluktuatif. Pada kabupaten Kendal dan Brebes, fluktuasi yang terjadi tidak terlalu tajam. Selama 2 tahun pertama kondisi ketimpangan yang terjadi menunjukkan angka besaran yang sama yaitu 0,05; kemudian tahun 1998 mengalami penurunan menjadi sebesar 0,01 dan yahun berukutnya 1999 angka indeks kembali naik pada angka sebelumnya yaitu 0,05. Sedangkan pada Kabupaten Brebes angka ketimpangan ekonomi ternyata cukup tinggi. Indeks Williamson menunjukkan angka yang masuk kategori ketimpangan yang tinggi karena lebih dari 0,5. Selama 4 tahun tersebut ketimpangan ekonomi menunjukkan kecenderungan untuk meningkat dari tahun ke tahun, karena angka indeks secara berturut-turut menunjukkan angka sebesar 0,59; kemudian tahun berikutnya sempat menurun menjadi 0,58; dan kemudian 2 tahun berikutnya terus mengalami kenaikan menjadi sebesar 0,59 dan 0,67. Hal ini mengindikasikan bahwa hipotesis Kuznet tidak terbukti terjadi di kabupaten Brebes karena dengan seiring terjadinya proses pembangunan ekonomi justru ada kecenderungan terjadi peningkatan ketimpangan ekonomi. Pada Kotamadya Salatiga angka indeks menunjukkan situasi yang sangat fluktuatif, yaitu tahun 1996 sebesar 0,24; tahun 1997 turun menjadi 0,21 dan tahun berikutnya naik lagi menjadi 0,24 dan kemudian tahun 1999 kembali turun menjadi 0,17. Melihat kecenderungan yang terjadi selama kurun waktu pertama yaitu dari tahun 1996 sampai dengan tahun ketimpangan distribusi pendapatan di Jawa tengah bersifat fluktuatif, tetapi kecenderungan yang ada adalah cenderung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat pada 8 wilayah kabupaten / kota dari 10 wilayah kabupaten / kota yang diteliti. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan sementara, bahwa proses pembangunan ekonomi yang mengakibatkan peningkatan angka pertumbuhan ekonomi, tidak dengan sendirinya menciptakan kesejahteraan ekonomi yang merata / menciptakan pemerataan distribusi pendapatan seperti yang diteorikan oleh Simon Kuznets dengan hipotesis U terbalik-nya. Situasi yang ada justru sebaliknya, semakin meningkat angka pertumbuhan ekonomi karena terjadinya proses pembangunan ekonomi justru memunculkan ketimpangan distribusi pendapatan. Selain itu, melihat pada hasil

9 Desember Agnes Ratih Ari Indrayani 131 perhitungan pada Kabupaten cilacap yang memiliki dua angka pendapatan per kapita dengan dan tanpa memasukkan pendapatan dari minyak dan gas, menunjukkan bahwa pendapatan per kapita yang lebih besar (termasuk pendapatan dari minyak dan gas) ternyata justru memunculkan angka indeks Williamson yang semakin besar. Dengan demikian mengartikan bahwa dalam hal ini pendapatan daerah yang semakin besar tidak selalu mengakibatkan pemerataan distribusi pendapatan. 2. Situasi Disparitas Pendapatan pada Kurun Waktu ke Dua ( ) Tahun 2004 sampai dengan 2007 merupakan kurun waktu ke dua dalam analisis yang dilakukan. Hasil perhitungan indeks Williamson adalah sebagai berikut: ketimpangan yang terus membesar dari tahun ke tahun. Pada kurun waktu pertama, kondisi demikian juga terjadi, tetapi dengan angka indeks Willimson yang relative lebih kecil. Dengan demikian pada Kabupaten Cilacap, seiring terjadinya pembangunan ekonomi, justru terjadi ketimpangan ekonomi yang semakin besar dari waktu ke waktu. Pada tingkat pendapatan per kapita yang semakin besar juga memunculkan angka indeks Williamson yang semakin besar juga. Dengan demikian hipotesis U terbalik dari Simon Kuznets tidak terbukti. Justru situasi berkebalikan di mana semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi, semakin besar pula ketimpangan ekonomi yang terjadi. Pada kabupaten Klaten indeks Williamson menunjukkan besaran yang fluktuatif. Pada tahun 2004 sebesar 0,26; tahun Tabel 4. Indeks Wlliamson Kurun Waktu ke Dua ( ) NO WILAYAH TAHUN Kab. Cilacap 0,82 0,86 1,88 0,89 2 Kab. Klaten 0,26 0,28 0,26 0,27 3 Kab. Karanganyar 0,05 0,01 0,02 0,02 4 Kab.Kudus 0,65 0,71 0,68 0,72 5 Kab. Semarang 0,08 0,06 0,15 0,03 6 Kab.Kendal 0,38 0,36 0,36 0,38 7 Kab.Brebes ,49 0,47 0,48 8 Kota Surakarta 0,68 0,65 0,60 0,66 9 Kota Salatiga 0,11 0,12 0,10 0,10 10 Kota Sematarang 0,55 0,58 0,68 0,55 Sumber: Data diolah Pada tabel 4 terlihat bahwa angka indeks pada tingkat pendapatan dengan dan tanpa minyak dan gas, menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan / semakin besar. Hal ini mengartikan bahwa distribusi pendapatan di kabupaten Cilacap menunjukkan situasi 2005 meningkat menjadi 0,28; kemudian tahun 2006 kembali pada angka 0,26; dan 2007 naik kembali menjadi 0,27. Situasi ini memiliki kemiripan dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu pertama tahun

10 132 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember Hal ini menunjukkan bahwa seiring melajunya proses pembangunan ekonomi di wilayah Klaten, terjadi dinamika yang sedemikian rupa dalam hal / usaha pemerataan distribusi pendapatan. Situasi demikian tentunya memunculkan harapan yang lebih besar, bahwa proses pembangunan ekonomi yang salah satunya ditandai dengan terjadinya peningkatan pendapatan per kapita (Todaro, 2008) akan cukup mampu menciptakan kemerataan yang lebih baik / mempekecil ketimpangan ekonomi yang terjadi di Kabupaten Klaten. Pada Kabupaten Karanganyar, indeks Williamson pada tahun 2004 sebesar 0,05; tahun 2005 turun menjadi 0,01; tahun 2006 dan 2007 memiliki angka indeks yang sama yaitu sebesar 0,02. Dengan demikian pada tahun 2006 mengalami penurunan secara signifikan, sebelum akhirnya mengalami sedikit kenaikan yaitu menjadi sebesar 0,02. Sedangkan pada kurun waktu pertama, Kabupaten Karanganyar memiliki angka indeks Williamson yang sangat fluktuatif dengan selisih angka Indeks yang sangat besar. Dengan demikian perkembangan yang terjadi di Kabupaten Karanganyar dalam hal kondisi kemerataan ekonomi bisa disimpulkan bahwa dalam dua kurun waktu yang berbeda, telah menunjukkan perbaikan ekonomi yang cukup baik. Kurun waktu pertama dengan angka yang sangat fluktuatif, kemudian terjadi perbaikan karena angka indeks tidak lagi terlalu fluktuatif, atau dengan kata lain meskipun fluktuatif tetapi perbedaan angka semakin kecil / lebih stabil. Untuk Kabupaten Kudus, pada kurun waktu pertama menunjukkan sedikit fluktuasi dengan besaran angka rendah. Artinya distribusi pendapatan di Kabupaten Kudus tidak terlalu timpang, dan relatif stabil dari waktu ke waktu. Hal ini berbeda dengan kondisi yang terjadi dalam kurun waktu ke dua. Dalam kurun waktu ini angka Indeks Williamson mengalami peningkatan yang cukup besar dengan tingkat fluktuasi yang tidak terlalu besar. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah kabupaten Kudus mengalami kondisi yang cukup berbeda dalam dua kurun waktu tersebut dalam hal distribusi pendapatannya. Kondisi ketimpangan ekonomi yang semakin tampak pada kurun waktu ke dua mengindikasikan situasi yang hampir sama dengan daerah-daerah lain, di mana dengan angka berturut-turut dari tahun sebesar 0,65; 0,71; 0,68 dan 0,72, maka terlihat dari waktu ke waktu terjadi kecenderungan tingkat ketimpangan ekonomi semakin besar, meski peningkatannya dalam angka yang kecil. Dengan demikian hipotesis U terbalik kembali tidak terbukti. Dalam 2 kurun waktu, Kabupaten Semarang memiliki pola perkembangan indeks Williamson yang hampir sama. Pada kurun waktu pertama, terjadi kecenderungan dimana angka indeks mengalami penurunan. Pada kurun waktu pertama angka indeks secara berturut-turut sebesar 0,20; 0,21,; 0,16 dan 0,17. Sedangkan pada kurun waktu kedua angka indeks sebesar 0,08 pada tahun 2004, 0,06 pada tahun 2005 sedangkan tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 0,05. Hal ini berarti mengindikasikan bahwa pada wilayah kabupaten Semarang terlihat kecenderungan di mana seiring kemajuan perkembangan ekonomi maka terjadi penurunan ketimpangan ekonomi atau distribusi pendapatan yang semakin merata. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa untuk wilayah Kabupaten Semarang hipotesis U terbalik dari Simon Kuznet terbukti kebenarannya. Pada wilayah Kabupaten Kendal, Indeks Williamson pada dua kurun waktu menunjukkan pola perkembangan yang hampir sama. Pada kurun waktu pertama angka indeks tidak terlalu fluktuatif dari tahun ke tahun serta angka indeks itu sendiri tidak terlalu besar, di mana angka Indeks berturut-turut adalah 0,05; 0,05; 0,01 dan tahun 1999 sebesar 0,05. Berarti ketimpangan pendapatan di kabupaten Kendal tidak terlalu parah karena angka indeks tidak terlalu jauh dari angka 0. Sedangkan pada kurun waktu ke dua, terjadi peningkatan angka indeks yang cukup signifikan, yaitu pada tahun 2004 angka indeks sebesar 0,38; tahun 2005 sebesar 0,36 sedangkan tahun 2006 sebesar 0,36 dan 2007 sebesar 0,38. Hal ini mengindikasikan, selama empat tahun terakhir kabupaten

11 Desember Agnes Ratih Ari Indrayani 133 Kendal mengalami peningkatan ketimpangan ekonomi, yang sangat mungkin akan terus mengalami peningkatan angka indeks dari waktu ke waktu. Dengan demikian sering pekembangan pembangun ekonomi, terjadi peningkatan ketimpangan ditribusi pendapatan. Dengan demikian terjadi situasi yang berkebalikan dengan Hipotesis Simon Kuznets. Kotamadya Surakarta menunjukkan fenomena yang cukup menarik dalam perkembangan distribusi pendapatannya. Pada kurun waktu pertama Kotamadaya Surakarta memunculkan angka Indeks yang relatif cukup besar, berkisar 0,5, tetapi dari tahun ke tahun semakin menunjukkan penurunan, atau dengan kata lain tingkat ketimpangan pendapatan semakin kecil. Hal ini tentunya merupakan indikasi yang bagus bagi proses pembangunan ekonomi di wilayah itu. Pada kurun waktu ke dua, Indeks Williamson mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 sebesar 0,68, tahun 2005 sebesar 0,65, tahun 2006 sebesar 0,61 dan tahun 2007 kembali meningkat menjadi 0,66. hal ini mengindikasikan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi di kotamadya Surakarta semakin lebar dan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dengan demikian dari sisi distribusi pendapatan, Kotamadia Surakarta mengalami perkembangan yang cukup baik pada kurun waktu pertama, sedangkan pada kurun waktu ke dua, perkembangan ekonomi cenderung semakin tidak merata. Dengan demikian Hipotesis Kuznets hanya berlaku pada kurun pertama. Kotamadya Salatiga menunjukkan perkembangan yang positif dari tahun ke tahun. Meskipun dalam dua kurun waktu tersebut dari tahun ke tahun tidak selalu mengalami penurunan dalam angka Indeks Williamsonnya, tetapi jika dilihat dalam perspektif jangka panjang mengindikasikan kecenderungan untuk terjadi perbaikan dalam distribusi pendapatannya. Dalam dua kurun waktu itu memang terjadi fluktuasi. Tetapi selanjutnya mengarah pada situasi kemerataan yang semakin membaik. Jika pada kurun waktu pertama Indeks menunjukkan angka berkisar pada 0,2; tetapi pada kurun waktu ke dua, meskipun sempat berfluktuasi tetapi angka indeks telah mengalami penurunan dari periode sebelumnya, yaitu menjadi berkisar 0,1. Hal ini tentunya suatu kondisi yang diharapkan menuju perbaikan ekonomi bagi masyarakat terutama bagi masyarakat yang masuk kategori masyarakat miskin. Jadi bagi wilayah kotamadya Surakarta, Hipotesis Simon Kuznets tidak terjadi secara mutlak, tetapi dalam jangka panjang, kcenderungan yang ada mengindikasikan bahwa proses pembangunan ekonomi akan mampu membawa perbaikan bagi usahausaha meminimalkan ketimpangan ekonomi di kotamadaya Surakarta. Kotamadya Semarang memiliki angka ketimpangan ekonomi yang relatif tinggi di antara wilayah-wilayah yang lain. Pada dua kurun waktu angka indeks memunculkan perkembangan yang fluktuatif. Pada kurun waktu pertama meskipun cukup fluktuatif tetapi menunjukkan kecenderungan penurunan angka indeks Williamson. Tetapi pada kurun waktu ke dua, lebih menunjukkan kecenderungan untuk meningkat. Artinya situasi ketimpangan ekonomi tidak menunjukkan penurunan meskipun terjadi peningkatan pendapatan per kapita karena proses pembangunan ekonomi yang terus terjadi. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Hipotesis Kurva U Terbalik dari Simon Kuznet tidak terbukti kebenarannya untuk wilayah Kotamadya Semarang. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Dengan menggunakan pembedaan 2 kurun waktu maka terlihat bahwa kurun waktu ke dua memunculkan angka indeks yang lebih besar (yang terjadi pada 6 wilayah kabupaten / kotamadya). Hal ini berarti di sebagian besar wilayah penelitian di Jawa Tengah pada kurun waktu ke dua ( ) mengalami ketimpangan pendapatan yang lebih besar dibandingkan kurun waktu pertama ( ).

12 134 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember Berkaitan dengan kesimpulan (a) maka dari 10 wilayah (kabupaten / kotamadya), hanya ada 4 wilayah (Karanganyar, Kab. Semarang, Brebes, dan Salatiga) yang menunjukkan kecenderungan yang sesuai dengan hipotesis Kuznets dan Williamson, sedangkan enam (6) wilayah menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Dengan kata lain hasil temuan ini cenderung menunjukkan bahwa hasil temuan tidak sejalan dengan hipotesis Kuznets dan Williamson yang menyatakan bahwa arah ketimpangan akan meningkat pada tahap-tahap awal pembangunan, lalu akan cenderung menurun pada tahap-tahap berikutnya. Sementara kajian ini menunjukkan bahwa arah ketimpangan masih berfluktuasi dan meningkat pada tahap-tahap pembangunan berikutnya. Pada wilayah yang merupakan wilayah industri angka indeks lebih besar daripada wilayah lain, yang artinya pada wilayah industri yang memiliki tingkat pendapatan per kapita lebih besar, justru mengalami ketimpangan pendapatan yang lebih besar. 2. Saran Pemerintah bisa melakukan intervensi kebijakan yang pada prinsipnya menyentuh langsung faktor-faktor penentu utama distribusi pendapatan. Berbagai kebijakan tersebut misalnya berkaitan dengan upaya perbaikan tingkat upah pekerja, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan upaya pemerataannya, program redistribusi pendapatan dan juga upaya peningkatan distribusi pendapatan secara langsung. DAFTAR PUSTAKA Akita,T. dan Alisyahbana, A (2002). Income Inequility in Indonesia and the Initial Impact of the Economic Studies, Vol.38, No. Pp Esmara, H (1975). Regional Income Disparities. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.11, No.1, pp Hill, H. (). The Indonesian Economy, Second Edition., New York. Cambridge University Press. Mason, Andrew, Savings, Economic Growth and Demograpic Change, Population and Development Review, Maret Todaro, Michael P.and Stephen C. Smith (2008). Economic Development. Ninth Edition. Pearson Education Limited, United Kingdom. Uppal, J.S., dan Budiono Sri Handoko, (1986), Regional Income Disparities in Indonesia, dalam Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. XXXIV, No.3, h Willamson, J.G.,(1965), Regional Inequality and the Process of National Development: A Description of Patterns, Dalam Needleman, L Regional Analysis, Selected Readings, Penguin Books Inc., Baltimore.

BAB I PENDAHULUAN. signifikan pada sektor tradisional. Sebaliknya distribusi pendapatan semakin

BAB I PENDAHULUAN. signifikan pada sektor tradisional. Sebaliknya distribusi pendapatan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan cenderung membaik pada kasus pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam meningkatkan pendapatan suatu pembangunan perekonomian di Indonesia, tentunya diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah tidaklah terpisahkan dari pembangunan nasional, karena pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Tujuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Ketimpangan pendapatan adalah sebuah realita yang ada di tengah-tengah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Ketimpangan pendapatan adalah sebuah realita yang ada di tengah-tengah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketimpangan pendapatan adalah sebuah realita yang ada di tengah-tengah masyarakat dunia ini, dan juga selalu menjadi isu penting untuk ditinjau. Di negara berkembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah pembangunan ekonomi bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara satu dengan negara lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kuznet dalam todaro (2003:99) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara bersangkutan untuk menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil perkapita penduduk di suatu negara dalam jangka panjang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada dasarnya merupakan usaha masyarakat secara keseluruhan dalam upaya untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan mempertinggi tingkat kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar daerah, dimana perbedaan antar daerah merupakan konsekuensi logis dari perbedaan karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cara mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui

BAB I PENDAHULUAN. cara mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi ialah peningkatan pendapatan perkapita dengan cara mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas yang dimiliki oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. arti yang seluas-luasnya. Akan tetapi untuk mewujudkan tujuan dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. arti yang seluas-luasnya. Akan tetapi untuk mewujudkan tujuan dari pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Akan tetapi untuk mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder rangkai waktu (Time

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder rangkai waktu (Time III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder rangkai waktu (Time series) antara tahun 2009 hingga tahun 2013. Data tersebut terdiri dari:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang mengakibatkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang yang diikuti oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pembangunan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Pembangunan yang dilaksanakan melalui serangkaian program dan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada mulanya pembangunan selalu diidentikkan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010:

Lebih terperinci

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN 2008-2011 Hakim Muttaqim Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu :

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi dan disparitas pendapatan antar wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa diberlakukannya Otonomi Daerah, untuk pelaksanaannya siap atau tidak siap setiap pemerintah di daerah Kabupaten/Kota harus melaksanakannya, sehingga konsep

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 KATA PENGANTAR Buku Distribusi Pendapatan Penduduk Kota Palangka Raya Tahun 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan distribusi pendapatan antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014

DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014 DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014 ISSN : No. Publikasi : Katalog BPS : Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : iii + 20 halaman Naskah: Penanggung Jawab Umum : Sindai M.O Sea, SE Penulis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan, dan tingkat pengangguran (Todaro, 2000:93). Maka dari itu

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan, dan tingkat pengangguran (Todaro, 2000:93). Maka dari itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan sebuah proses yang menyebabkan pendapatan penduduk suatu wilayah meningkat dalam jangka panjang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. struktur dan pertumbuhan ekonomi, tingkat ketimpangan pendapatan regional,

BAB III METODE PENELITIAN. struktur dan pertumbuhan ekonomi, tingkat ketimpangan pendapatan regional, BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan membahas tentang laju pertumbuhan ekonomi, struktur dan pertumbuhan ekonomi, tingkat ketimpangan pendapatan regional, serta hubungan

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci

ANALISA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PULAU SUMATERA. Etik Umiyati

ANALISA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PULAU SUMATERA. Etik Umiyati Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) ANALISA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PULAU SUMATERA Etik Umiyati ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (self balance), ketidakseimbangan regional (disequilibrium), ketergantungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (self balance), ketidakseimbangan regional (disequilibrium), ketergantungan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesenjangan Antar Daerah Menurul Cornelis Lay dalam Lia (1995), keterbelakangan dan kesenjangan daerah ini dapat dibagi atas empat pemikiran utama yaitu keseimbangan regional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI BANTEN PASCA PEMEKARAN

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI BANTEN PASCA PEMEKARAN http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme ISSN (Online): 2337-3814 ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI BANTEN PASCA PEMEKARAN Ketut Wahyu Dhyatmika, Hastarini Dwi Atmanti 1 Jurusan IESP Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). Salah satu indikator kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). Salah satu indikator kemajuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN 2008-2011 INCOME DISPARITY ANALYSIS AMONG DISTRICTS IN ACEH PROVINCE USING INDEX

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dilaksanakan oleh sejumlah negara miskin dan negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. yang dilaksanakan oleh sejumlah negara miskin dan negara berkembang. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan bukan hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur ekonomi pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan upaya yang dilakukan negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Selama kurun waktu yang cukup panjang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap Negara mempunyai tujuan dalam pembangunan ekonomi termasuk Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan meningkatnya pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Disparitas perekonomian antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

Lebih terperinci

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi. Judul : Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Biaya Infrastruktur, dan Investasi Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan Melalui Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali Nama : Diah Pradnyadewi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa

PENDAHULUAN. 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang tentunya terus melakukan pembangunan daerah. Salah satu solusi pemerintah dalam meratakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena global yang sering terjadi di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Bahkan masalah kesenjangan ekonomi ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap wilayah umumnya mempunyai masalah di dalam proses. pembangunannya, masalah yang paling sering muncul di dalam wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap wilayah umumnya mempunyai masalah di dalam proses. pembangunannya, masalah yang paling sering muncul di dalam wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap wilayah umumnya mempunyai masalah di dalam proses pembangunannya, masalah yang paling sering muncul di dalam wilayah tersebut yang paling besar adalah masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional dan internasional dengan pemerataan dan pertumbuhan yang diinginkan

BAB I PENDAHULUAN. nasional dan internasional dengan pemerataan dan pertumbuhan yang diinginkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia menghadapi berbagai fenomena pembangunan di tingkat daerah, nasional dan internasional dengan pemerataan dan pertumbuhan yang diinginkan sejalan dalam proses

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional jangka panjang secara bertahap dalam lima tahunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional jangka panjang secara bertahap dalam lima tahunan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Pembangunan nasional jangka panjang secara bertahap dalam lima tahunan dilaksanakan di daerah-daerah, baik yang bersifat sektoral maupun regional. Ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu wilayah meningkat dalam jangka panjang (Sukirno,

Lebih terperinci

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTARA KECAMATAN DI KOTA AMBON Analysis of the Development Imbalance between Districts in Ambon City

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTARA KECAMATAN DI KOTA AMBON Analysis of the Development Imbalance between Districts in Ambon City Jurnal Barekeng Vol. 8 No. 2 Hal. 41 45 (2014) ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTARA KECAMATAN DI KOTA AMBON Analysis of the Development Imbalance between Districts in Ambon City JEFRI TIPKA Badan Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana suatu negara dapat meningkatkan pendapatannya guna mencapai target pertumbuhan. Hal ini sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi wilayah atau regional merupakan salah satu bagian penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Pembangunan Dalam pembangunan ekonomi regional, Williamson (1965) menyatakan bahwa dalam tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kondisi masyarakat yang lebih baik, yang ditunjukkan oleh kemajuan

I. PENDAHULUAN. kondisi masyarakat yang lebih baik, yang ditunjukkan oleh kemajuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sasaran penting dari Pembangunan Ekonomi tujuannya adalah untuk menciptakan kondisi masyarakat yang lebih baik, yang ditunjukkan oleh kemajuan perekonomian msyarakat di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan adalah hal yang sangat penting. Pada tahun 1950an, orientasi

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan adalah hal yang sangat penting. Pada tahun 1950an, orientasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan, pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pemerataan adalah hal yang sangat penting. Pada tahun 1950an, orientasi pembangunan negara sedang berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses untuk meningkatkan pendapatan riil perkapita penduduk di suatu negara dalam jangka panjang. Proses pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 PUBLIKASI ILMIAH. Disusun Oleh: FREDY ADI SAPUTRO B

ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 PUBLIKASI ILMIAH. Disusun Oleh: FREDY ADI SAPUTRO B ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 PUBLIKASI ILMIAH Disusun Oleh: FREDY ADI SAPUTRO B 300 050 028 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Barat yang terdiri dari 14 (empat belas) kabupaten/kota (Gambar 3.1) dengan menggunakan data sekunder

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON)

INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON) BADAN PUSAT STATISTIK KOTA PONTIANAK No : 02/02/6171/Th VI, 12 Pebruari 2008 INDEKS KESENJANGAN EKONOMI ANTAR KECAMATAN DI KOTA PONTIANAK (INDEKS WILLIAMSON) Rata-rata pertumbuhan ekonomi di Kota Pontianak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi tidak dapat diartikan sama dengan pertumbuhan ataupun industrialisasi. Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Suryana (2000 : 3), mengungkapkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ini juga harus disertai

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ini juga harus disertai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada suatu wilayah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ini juga harus disertai dengan pemerataan pada tiap-tiap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,

Lebih terperinci

Volume 9 Nomor 1 Maret 2015

Volume 9 Nomor 1 Maret 2015 Volume 9 Nomor 1 Maret 2015 Jurnal Ilmu Matematika dan Terapan Maret 2015 Volume 9 Nomor 1 Hal. 63 71 ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTARA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI MALUKU Jefri Tipka Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdebatan tentang indikator pembangunan sosial-ekonomi sudah sejak

BAB I PENDAHULUAN. Perdebatan tentang indikator pembangunan sosial-ekonomi sudah sejak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdebatan tentang indikator pembangunan sosial-ekonomi sudah sejak lama terjadi. Pendapatan per kapita sebagai indikator pembangunan telah digugat oleh kalangan ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN ANTAR PROPINSI SUMATERA TAHUN

ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN ANTAR PROPINSI SUMATERA TAHUN ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN ANTAR PROPINSI SUMATERA TAHUN 2011-2015 Putri Suryani Sebayang Jurusan Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan Email : putrisby76@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam memperkuat suatu perekonomian agar dapat berkelanjutan perlu adanya suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu negara sangat

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara yang satu dengan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara yang satu dengan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara yang satu dengan yang lain. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator dari kemajuan pembangunan, indikator ini pada dasarnya mengukur kemampuan suatu negara untuk memperbesar outputnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan sarana untuk mendorong kemajuan daerahdaerah. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu wilayah dengan wilayah yang lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Todaro dan Smith (2003:91-92) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Todaro dan Smith (2003:91-92) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara menuju ke arah yang lebih baik. Menurut Kutznets dalam Todaro dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sudah jelas bahwa masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut adalah masalah pengangguran (Sukirno,1985). Menurut Nanga

BAB I PENDAHULUAN. tersebut adalah masalah pengangguran (Sukirno,1985). Menurut Nanga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan penduduk yang semakin cepat dan dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan beberapa masalah baru dan salah satu masalah tersebut adalah masalah pengangguran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Perencanaan Pembangunan Regional 2.1.1. Pertumbuhan Regional Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah

Lebih terperinci

KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA

KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA KONDISI EKONOMI a. Potensi Unggulan Daerah Sebagian besar pusat bisnis, pusat perdagangan dan jasa, dan pusat industri di Priangan Timur berada di Kota Tasikmalaya. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang ingin dijadikan kenyataan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian yang diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan yang terus menerus. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci