ANGGARAN KEMISKINAN DAN INFRASTRUKTUR DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENURUNAN KEMISKINAN. Ringkasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANGGARAN KEMISKINAN DAN INFRASTRUKTUR DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENURUNAN KEMISKINAN. Ringkasan"

Transkripsi

1 ANGGARAN KEMISKINAN DAN INFRASTRUKTUR DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN PENURUNAN KEMISKINAN Ringkasan Belanja pemerintah memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan kesempatan kerja yang luas dan menekan angka kemiskinan. Dalam lima tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk kemiskinan dan infrastruktur terus mengalami peningkatan, namun penurunan jumlah pengangguran dan angka kemiskinan tidak cukup signifikan dan melambat. Hal ini diperkuat dengan tidak tercapainya target penyerapan tenaga kerja dan penurunan kemiskinan yang ditetapkan dalam Undang-undang APBN TA 2011, Undang-undang APBN TA 2012, dan Undang-undang APBN TA Kondisi ini dilatarbelakangi oleh kurang berkualitasnya pertumbuhan ekonomi yang dicapai, kurang berpihaknya politik anggaran terhadap sektor padat karya, dalam hal ini sektor pertanian, dan kurang efektifnya program-program pengentasan kemiskinan. 1. Pendahuluan Pemerintah melaksanakan fungsinya melalui kebijakan fiskal dengan salah satu penekanannya adalah kebijakan belanja pemerintah. Belanja pemerintah dinilai memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan asumsi implikasi belanja pemerintah adalah untuk kegiatan produktif. Belanja yang bersifat produktif dan bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat diharapkan dapat menstimulus perekonomian sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru, menyerap pengangguran dan menekan angka kemiskinan. Dalam konteks ekonomi makro, belanja pemerintah juga merupakan variabel pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) bersama dengan konsumsi masyarakat, investasi, dan net ekspor. Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 1

2 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan (2011) menunjukkan adanya relevansi antara tingkat belanja negara dengan pertumbuhan ekonomi, jumlah pengangguran, dan tingkat kemiskinan. Total belanja negara (terutama belanja modal, belanja barang, subsidi, dan transfer daerah) berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara tingkat kemiskinan dapat ditekan dengan peningkatan belanja modal dan belanja barang. Hal ini dikarenakan kenaikan alokasi belanja barang dan modal akan menaikkan produktifitas dan daya beli masyarakat yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat kemiskinan. 2. Diskusi A. Anggaran Infrastruktur dan Anggaran Kemiskinan Upaya yang dilakukan pemerintah untuk terus menyerap tenaga kerja dan menekan angka kemiskinan membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Untuk kepentingan penghitungan dampak alokasi anggaran pemerintah terhadap penyerapan tenaga kerja, maka digunakan anggaran infrastruktur. Pembangunan infrastruktur akan mendorong investasi, dengan adanya investasi, ekonomi akan berkembang dan menciptakan lapangan kerja baru sehingga dapat menyerap tenaga kerja. Sektor infrastruktur mendapat alokasi anggaran yang terus meningkat. Dalam 5 tahun terkhir, alokasi anggaran infrastruktur meningkat rata-rata sebesar 24,89%. Dari Rp76,3 triliun di tahun 2009 menjadi Rp184,3 triliun di tahun Bandingkan dengan penurunan jumlah pengangguran yang dalam 5 tahun terakhir hanya mencapai 4,62% atau sekitar 0,924% per tahun. Bahkan jumlah pengangguran sempat mengalami peningkatan sebesar 2% di tahun 2013, padahal anggaran infrastruktur yang digelontorkan pada tahun tersebut meningkat sebesar 26,67% (grafik 1). Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 2

3 Grafik 1. Perkembangan Anggaran Infrastruktur, Anggaran Kemiskinan, Jumlah Pengangguran dan Jumlah Kemiskinan Sumber : Badan Pusat Statistik Demikian pula anggaran kemiskinan yang terus merambat naik. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata peningkatan alokasi anggaran kemiskinan sebesar 14,64%, yaitu dari Rp79,9 triliun di tahun 2009 menjadi Rp136,5 triliun di tahun Namun efektifitas program pengentasan kemiskinan tidak mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Dengan besarnya anggaran kemiskinan tersebut, jumlah penduduk miskin hanya turun ratarata sebesar 3,61% dalam lima tahun terakhir atau rata-rata sekitar 0,72% per tahun (grafik 1). Secara lebih detail, tahun 2009 anggaran kemiskinan yang digelontorkan sebesar Rp79,9 triliun dengan jumlah penduduk miskin sebesar 32,53 juta orang. Dengan anggaran tersebut angka kemiskinan hanya turun 4,64%. Sedangkan tahun 2013, anggaran kemiskinan sebesar Rp136,5 triliun (meningkat 25% dari tahun sebelumnya) hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 1,82%. Dengan kondisi ini, program pengentasan kemiskinan menjadi suatu program yang cukup mahal, karena membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk mengangkat seseorang dari kemiskinan. Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 3

4 Terkait dengan ini, Pusat Penelitian Ekonomi LIPI pada tahun 2011 pernah menghitung biaya yang harus dikeluarkan untuk mengentaskan seseorang dari kemiskinan, dengan cara membagi besaran anggaran kemiskinan dengan besarnya penurunan jumlah penduduk miskin setiap tahun selama Hasilnya didapat bahwa untuk penurunan satu orang miskin pada 2007 diperlukan biaya Rp 19,8 juta. Sedangkan untuk 2008 dan 2009 biaya yang diperlukan ternyata sedikit lebih besar, yaitu Rp 23,2 juta dan Rp 24,9 juta. Sedangkan dari APBN, biaya pengentasan seseorang dari kemiskinan pada 2010 menyedot dana nyaris dua kali lipat sebesar Rp 47 juta. Banyak yang meragukan hasil perhitungan LIPI di atas, salah satunya karena perhitungan tersebut tidak mengakomodasi nilai riil atau besaran inflasi setiap tahun dari anggaran dimaksud. Namun jikapun besaran inflasi diperhitungkan, hasilnya ternyata juga tidak mempunyai pengaruh signifikan. Hal ini disebabkan karena angka inflasi selama periode menunjukkan tren menurun, kecuali inflasi 2008 yang menembus dua digit sebesar 11,1% 1. B. Pertumbuhan Ekonomi, Penyerapan Tenaga Kerja dan Kemiskinan dalam Realisasi dan Target Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas diharapkan mampu mengurangi masalah pengangguran dan kemiskinan. Untuk mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, maka daya serap pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran dan pengentasan kemiskinan dipertegas dalam batang tubuh Undangundang APBN 2011, Undang-undang APBN 2012, Undang-undang APBN 2013, dan Undang-undang APBN Inefisiensi Anggaran Penanggulangan Kemiskinan, inefisiensi-anggaran-penanggulangankemiskinan/, diakses tanggal 13 Mei Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 4

5 Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja dalam UU APBN Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi adalah jumlah penduduk sebagai sumber daya manusia. Secara makro dikatakan bahwa pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Besarnya jumlah penduduk, yang berarti jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah tingkat produksi disamping tentunya juga berarti ukuran pasar domestik yang lebih besar. Pengaruh positif atau negatif dari besarnya jumlah penduduk tergantung pada kemampuan sistem perekonomian menyerap dan secara produktif memanfaatkan pertambahan tenaga kerja. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS, jumlah pengangguran dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada tahun 2011 s.d Februari 2013 terus menurun, sementara pertumbuhan ekonomi juga cenderung menunjukkan peningkatan. Kecenderungan yang terjadi antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Arthur Okun. Ekonom tersebut mengindikasikan hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran, yaitu semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang mampu dicapai maka jumlah pengangguran juga akan semakin rendah, dan sebaliknya. Namun dengan pencapaian penurunan jumlah pengangguran dan TPT tersebut belum sepenuhnya memenuhi amanat UU APBN 2011, UU APBN 2012, dan UU APBN Pertumbuhan ekonomi yang dicapai di tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 belum mampu menyerap tenaga kerja sebanyak target yang ditetapkan. Penyerapan tenaga kerja dari 1% pertumbuhan ekonomi tahun terus menurun. Tahun 2011 dan tahun 2012, tenaga kerja yang mampu terserap masing-masing hanya sekitar 56,3% dan 45,15% dari target yang ditetapkan. Bahkan pada tahun 2013, dimana perekonomian mengalami stagnasi, tidak terjadi penyerapan tenaga kerja melainkan sekitar 0,36% penduduk bekerja di tahun 2013 tidak lagi bekerja di tahun Kondisi ini juga ditunjukkan oleh TPT yang berada diatas target dalam Undang-undang APBN tahun yang sama. Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 5

6 Tahun 2014, dengan data penduduk bekerja per Februari dan pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada triwulan I yang dilansir BPS, maka penyerapan tenaga kerja per 1% pertumbuhan ekonomi melampaui target yang ditetapkan dalam Undangundang APBN TA Namun, pada tahun ini terjadi penurunan target penyerapan tenaga kerja per 1% pertumbuhan ekonomi. Disamping juga adanya perkiraan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil ditambah dengan adanya pesta demokrasi, diprediksikan akan terjadi penurunan jumlah penduduk bekerja. Ditunjukkan dalam tabel 1. Dari kondisi tersebut diatas, dapat diindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam 4 tahun terakhir tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang luas sehingga tenaga kerja yang terserap juga tidak dapat memenuhi target yang ditetapkan. Tabel 1. Simulasi Penyerapan Tenaga Kerja Per 1% Pertumbuhan Ekonomi Tahun Pertumbuhan Ekonomi Jml Penduduk Bekerja (ribu jiwa) Δ penduduk Bekerja (ribu jiwa) Penyerapan 1% Pertumbuha n Ekonomi TPT (%) , ,58 7,14 Undang-undang , ,31 2 6,56 1% pertumbuhan ekonomi menyerap sekitar tenaga kerja , ,03 3 6,14 1% pertumbuhan ekonomi menyerap sekitar tenaga kerja. TPT = 6,4% - 6,6% 2 Sesuai dengan angka penyerapan tenaga kerja oleh Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang dimuat dalam ni.jeblok 3 ibid Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 6

7 2013 6, ,86 6,25 1% pertumbuhan ekonomi menyerap sekitar tenaga kerja. TPT = 5,8% - 6,1% , * Sumber : NK APBN, BPS Cat : *merupakan data Februari * ,71 5,70 1% pertumbuhan ekonomi menyerap sekitar tenaga kerja. TPT = 5,7% - 5,9% Definisi Bekerja Menurut BPS Penghitungan jumlah orang bekerja bergantung pada konsep yang digunakan oleh pihak penghitung, dalam hal ini adalah Badan Pusat Statistik (BPS). Konsep bekerja yang digunakan BPS adalah Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi. Definisi bekerja tersebut dinilai banyak pihak sangat longgar sehingga batas antara orang yang bekerja dan tidak bekerja sangat tipis. Definisi bekerja yang digunakan BPS membawa konsekuensi bahwa orang yang membantu mengatur lalu lintas di persimpangan jalan tetap dapat dikategorikan sebagai pekerja dan bukan penganggur. Demikian juga para buruh cangkul tidak tetap yang hanya bekerja satu jam dalam seminggu terakhir saat survei, sementara mereka menganggur selama jeda waktu survei (selama 6 bulan misalnya) tidak dikategorikan sebagai penganggur. Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 7

8 Definisi tersebut memang sesuai dengan definisi yang digunakan oleh International Labor Organization (ILO), yang mendefinisikan orang bekerja sebagai orang yang bekerja minimal satu jam dalam satu periode terakhir. Namun, ILO memberikan arti periode dengan sangat luas tergantung masing-masing negara. Ada negara yang memilih untuk menggunakan minggu, bulan atau bahkan 6 bulan sebagai batasan satu periode waktu. Penggunaan konsep dan batasan periode ini yang dapat membedakan hasil dari penghitungan jumlah orang yang bekerja, karena semakin sempit periode waktu yang digunakan maka akan semakin banyak angkatan kerja yang dianggap bekerja dan sebaliknya, semakin sedikit angkatan kerja yang terjaring sebagai penganggur. Negara-negara pengguna definisi ini sangat terbatas (termasuk Indonesia) karena negara-negara industri umumnya menganggap seseorang menganggur bila bekerja kurang dari 35 jam per minggu 4. Penurunan Tingkat Kemiskinan dan UU APBN Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan berdampak pada distribusi pendapatan yang merata. Dengan distribusi pendapatan yang merata akan mampu menaikkan pendapatan per kapita dan pada akhirnya akan mengurangi angka kemiskinan. Tabel 2 menunjukkan bahwa secara umum prosentase penduduk miskin dalam 3 tahun terakhir mengalami penurunan seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Penurunan prosentase penduduk miskin tersebut cukup membahagiakan, meskipun penurunan yang terjadi tidak signifikan bahkan terus melambat. Selanjutnya, pencapaian target penurunan kemiskinan yang ditetapkan dalam Undang-undang APBN telah tercapai di tahun Prosentase penduduk miskin menjadi 12,36% berada dalam rentang target yang ditetapkan dalam Undang-undang APBN. Namun pada tahun 2012, prosentase penduduk miskin sebesar 11,66% dan terus berlanjut hingga Maret 2013 sebesar 4 Disarikan dari diskusi internal Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara dengan Dr. Hendri Saparini pada tahun Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 8

9 11,37%, menunjukkan bahwa penurunan angka kemiskinan tersebut berada diatas target yang ditetapkan. Tahun Tabel 2. Simulasi Penurunan Kemiskinan Per 1% Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Jml Penduduk Miskin (juta orang) %penduduk Miskin ,02 13,33 Undang-undang ,89* 12,36 Penurunan kemiskinan menjadi 11,5%-12,5% ,59* 11,66 Penurunan kemiskinan menjadi 10,5% - 11,5% ,07** 11,37 Penurunan kemiskinan menjadi 9,5% - 10,5% Sumber : NK APBN, BPS Cat : *merupakan data September, ** data Maret Penghitungan Kemiskinan Menurut BPS Pendekatan yang digunakan BPS adalah pendekatan pengeluaran (basic needs) atau garis kemiskinan konsumsi. Garis kemiskinan sangat mempengaruhi jumlah penduduk miskin, karena BPS menyebut penduduk miskin sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Kontroversi yang seringkali timbul terhadap pengukuran kemiskinan didasarkan pada beberapa hal berikut : Penghitungan GK didasarkan pada database pengeluaran konsumsi dari sampel rumah tangga di seluruh Indonesia yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Karena dihitung berdasarkan data survei, angka kemiskinan yang dihasilkan pada dasarnya hanyalah estimasi. Komoditi dasar sebagai indikator pengukuran kemiskinan digunakan untuk menggambarkan kondisi masyarakat dari tingkat lokal sampai dengan tingkat nasional secara seragam, padahal kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia sangat beragam. Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 9

10 Terdapat pula beberapa komoditi yang sekarang sudah menjadi kebutuhan penting belum dimasukkan ke dalam komoditi dasar, misalnya voucher pulsa isi ulang. Kurang tepatnya kelompok referensi yang digunakan. Penduduk referensi adalah 20 persen penduduk yang berada di atas perkiraan awal garis kemiskinan pengeluaran. Dengan demikian daftar barang-barang yang digunakan untuk menghitung GK itu mencerminkan gambaran pengeluaran bagi kelompok penduduk yang berada di atas garis kemiskinan bukan kelompok penduduk miskin sebenarnya. C. Catatan Atas Rendahnya Penyerapan Tenaga Kerja dan Penurunan Kemiskinan Secara ekonomi makro, permasalahan pengangguran dan pengentasan kemiskinan dapat diselesaikan dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkualitas dan berkesinambungan. Pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh sektor riil produktif akan mampu menyediakan kesempatan kerja yang luas dan mendistribusikan pendapatan dengan lebih merata. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang telah menembus angka 6%, lebih didominasi oleh sektor non-tradable. Dalam lima tahun terakhir, secara rata-rata sektor non-tradable berkontribusi 53,8% terhadap pertumbuhan ekonomi dan 46,2% disumbang oleh sektor tradable. Selain itu, sektor non-tradable secara umum juga mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding sektor tradable. Dari sembilan sektor yang ada, pertumbuhan tertinggi ditorehkan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi, yang tumbuh mengesankan sebesar 12,2%; disusul sektor listrik, gas, dan air bersih (7,23%), konstruksi (6,8%), perdagangan, hotel dan restoran (6,6%); keuangan, real estate, dan jasa perusahaan (6,5%); dan jasajasa (5,9%). Sementara, sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perkebunan hanya tumbuh sebesar 3,6%; sektor pertambangan dan penggalian sebesar 2,6 persen; dan sektor industri pengolahan sebesar 4,9%. Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 10

11 Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas Rendah Tahun Sumber : BPS dalam Padahal, statistik menunjukkan, selama ini sektor non-tradable lebih sedikit menyerap angkatan kerja dibanding sektor tradable. Dalam lima tahun terakhir, data menunjukkan bahwa secara rata-rata sebagian besar angkatan kerja Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor tradable: pertanian (36,63%) dan industri (13,13%). Lebih dari itu, sektor pertanian sejatinya merupakan tumpuan hidup bagi sebagian besar penduduk miskin negeri ini. Data BPS menunjukkan, sekitar 63% penduduk miskin terdapat di perdesaan, dan mudah untuk diduga sebagian besar mereka bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. Dari sisi alokasi anggaran, bila dikaitkan dengan anggaran sektor pertanian yang cenderung mengalami penurunan dalam 3 tahun terakhir, mencerminkan kurang berpihaknya pemerintah terhadap sektor pertanian. Meskipun secara rata-rata anggaran Kementerian Pertanian memiliki porsi 3% dari total belanja kementerian/lembaga namun jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan pencapaian target pembangunan pertanian. Misalnya saja, pada tahun 2014 ini, dicanangkan program-program swasembada pertanian dan ketahanan pangan yang membutuhkan anggaran sekitar Rp66,9 triliun, namun hingga Februari 2014 anggaran tersebut belum Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 11

12 disetujui. Hal ini sedikit banyak akan mempengaruhi pencapaian pembangunan pertanian dan dampak yang lebih luas akan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada efektivitas program pengentasan kemiskinan. Dikatakan sebelumnya bahwa telah terjadi deviasi yang cukup besar antara alokasi anggara kemiskinan dan penurunan angka kemiskinan. Salah satu penyebab rendahnya efektivitas program pengentasan kemiskinan ini adalah masih tersebarnya program-program tersebut di beberapa kementerian/lembaga sehinggaimplementasi program pengentasan kemiskinan belum lepas dari persoalan egosektoral, overlapping, tidak terkoordinasi dan bersifat parsial baik dalam hal aturan, acuan, kriteria penerima manfaat, dan pengelolaannya. Dengan kondisi seperti ini, maka tidaklah mengherankan jika penyerapan tenaga kerja dan pengurangan angka kemiskinan menjadi semakin melambat. 3. Penutup Peningkatan anggaran kemiskinan dan infrastruktur kurang memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja. Diperlukan upaya yang terkoordinasi dalam hal pengentasan kemiskinan dan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dalam menyelesaikan kedua permasalahan tersebut. (Ning). -0- Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 12

13 PRESS RELEASE Hasil Penelitian EvaluasiEfektivitas Program Pengentasan Kemiskinan di 15 Kabupaten/Kota di Indonesia Terhitung sejak tahun 2004 hingga 2011, peningkatan anggaran pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan hampir 400%. Jika dihitung sejak tahun 2004 sampai2010, angka kemiskinan hanya turun 3,37 %. Hal itu berarti hanya terjadi penurunanangka kemiskinan 0,56% per tahun. Jika penurunan angka kemiskinan masih berlangsung sama hingga tahun 2015 maka perkiraan angka kemiskinan di Indonesia masih 11,08%. Angka ini masih jauh dari target pencapaian MDGs sebesar 7,5% pertahun.bertolak dari isu itu, tinjauan terhadap efektivitas program pengentasan kemiskinan perlu dilakukan. Pertanyaan dasarnya adalah Seberapa besar program pengentasan kemiskinan itu efektif dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan, yang mampu mengangkat kondisi orang miskin menjadi tidak miskin/sekurang kurangnya diatas garis kemiskinan? Penelitian yang berlangsung selama satu tahun dari pertengahan 2011 sampaipertengahan 2012 ini menggunakan metode survei dan kualitatif dengan jumlahresponden sebanyak penerima manfaat yang tersebar di 15 Kabupaten/Kota yang menjadi wilayah dampingan SAPA (Strategic Alliance for Poverty Alleviation).Kelimabelas wilayah itu meliputi: Kota Banda Aceh, Kab. Serdang Bedagai, Kab.Bandung, Kab. Garut, Kab. Sukabumi, Kab. Ciamis, Kota Tasikmalaya, Kab. Subang,Kab. Kebumen, Kota Surakarta, Kab. Gunung Kidul, Kab. Jembrana, Kab. Lombok Tengah, Kota Kupang dan Kota Makassar. Analisis penelitian mengkaji setidaknya lima aspek kunci berikut: pertama, profil keluarga miskin; kedua, proses implementasi program pengentasan kemiskinan; ketiga, penggunaan data kemiskinan; keempat, dinamika pengentasan kemiskinan di Indonesia sejak ; kelima, arah rekomendasi program pengentasan kemiskinan ke depan. Temuan riset menunjukkan bahwa: pertama, profil keluarga miskin dari sumber data BPS tidak menunjukkan potret kemiskinan yang sesungguhnya. Berdasarkan hasil riset, data menunjukkan bahwa mayoritas besar responden telah melampaui garis kemiskinan. Kedua, data kategori kemiskinan (Hampir Miskin, Miskin, Sangat Miskin)BPS sebagai alat bantu identifikasi penerima manfaat tidak cukup efektif dalammendukung program pengentasan kemiskinan. Alih-alih memperlancar program, datakategori kemiskinan itu justru menimbulkan persoalan teknis tersendiri dalam keseluruhan implementasi program pengentasan kemiskinan. Ketiga, program pengentasan kemiskinan yang ditangani oleh multi-departeman masih tetap memperagakan model kebijakan yang tidak koordinatif dan parsial, baik dalam hal aturan,acuan, kriteria penerima manfaat, dan pengelolaannya. Praktis, implementasi programpengentasan kemiskinan belum juga lepas dari persoalan-persoalan usang seperti: egosektoral, overlapping, ambiguitas, konflik struktural, dan konflik horisontal di kalanganmasyarakat. Keempat, partisipasi masyarakat belum merupakan parisipasi yang muncul dari kesadaran kolektif warga, namun masih sebatas mobilisasi. Bukan saja Klaster 1(layanan sosial), program Klaster 2 (PNPM) dan Klaster 3 (KUR) pun masih bersifat top down. Minimnya ruang keterlibatan dalam perencanaan program ini menyebabkan masyarakat tidak termotivasi untuk berpartisipasi secara penuh. Yogyakarta, 13 Maret 2013 Tim Peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 13

14 Biro Analisa Anggaran Dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR RI 14

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 I. Pendahuluan Setelah melalui perdebatan, pemerintah dan Komisi XI DPR RI akhirnya menyetujui asumsi makro dalam RAPBN 2012 yang terkait

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA

HUBUNGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA HUBUNGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA 1. Pendahuluan Pertumbuhan ekonomi dan pengangguran memiliki hubungan yang erat karena penduduk yang bekerja berkontribusi dalam menghasilkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH No.12/02/33/Th.VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN PDRB JAWA TENGAH TAHUN 2012 MENCAPAI 6,3 PERSEN Besaran PDRB Jawa Tengah pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

TARGET PENYERAPAN TENAGA KERJA DALAM UNDANG-UNDANG APBN

TARGET PENYERAPAN TENAGA KERJA DALAM UNDANG-UNDANG APBN TARGET PENYERAPAN TENAGA KERJA DALAM UNDANG-UNDANG APBN Pertumbuhan ekonomi dan Pengangguran Pertumbuhan ekonomi dan pengangguran memiliki hubungan yang erat karena penduduk yang bekerja berkontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan,

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan, CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP 2013 A. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September 2011 sebesar 29,89 juta orang (12,36 persen).

Lebih terperinci

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) beserta Komponennya Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP meningkat di tahun 2013 sebesar 1.30 persen dibandingkan pada tahun

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 No.05/02/33/Th.III, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 PDRB Jawa Tengah triwulan IV/2008 menurun 3,7 persen dibandingkan dengan triwulan III/2007 (q-to-q), dan bila dibandingkan

Lebih terperinci

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MENINGKATKAN EFEKTIFITAS STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN Hendri Saparini, Ph.D saparini@coreindonesia.org Diskusi Biro Analisa Anggaran - Setjen DPR RI Jakarta, 10 Juli 2014 Pengentasan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Kondisi Fisik Daerah Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan antara 110.00-110.50 Bujur

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 No. 28/05/72/Thn XVII, 05 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 Perekonomian Sulawesi Tengah triwulan I-2014 mengalami kontraksi 4,57 persen jika dibandingkan dengan triwulan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008 BADAN PUSAT STATISTIK No.43/08/Th. XI, 14 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II- Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II-

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014 No. 048/08/63/Th XVIII, 5Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- Ekonomi Kalimantan Selatan pada triwulan II- tumbuh sebesar 12,95% dibanding triwulan sebelumnya (q to q) dan apabila

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Kondisi Ketenagakerjaan terus menunjukkan perbaikan. Pada bulan ruari 2011, TPT Aceh tercatat 8,27%, sementara TPAK juga menunjukkan peningkatan

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO Triwulan II-29 Perekonomian Indonesia secara tahunan (yoy) pada triwulan II- 29 tumbuh 4,%, lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya (4,4%). Sementara itu, perekonomian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK No. 12/02/Th. XIII, 10 Februari 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PERTUMBUHAN PDB TAHUN 2009 MENCAPAI 4,5 PERSEN Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2009 meningkat sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIII, 10 Mei 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 TUMBUH MENINGKAT 5,7 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK No. 13/02/Th. XV, 6 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PERTUMBUHAN PDB TAHUN 2011 MENCAPAI 6,5 PERSEN Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5 persen dibandingkan

Lebih terperinci

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA Abstrak Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah menjadi prioritas di setiap era pemerintahan dengan berbagai program yang digulirkan. Pengalokasian anggaran

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 No.23/05/31/Th. XV, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I/2013 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

PENERIMAAN PERPAJAKAN SEKTOR EKONOMI TRADABLE DAN NON TRADABLE

PENERIMAAN PERPAJAKAN SEKTOR EKONOMI TRADABLE DAN NON TRADABLE PENERIMAAN PERPAJAKAN SEKTOR EKONOMI TRADABLE DAN NON TRADABLE Abstrak Laju pertumbuhan sektor non-tradable lebih tinggi dari pada sektor tradable dan kontribusi penerimaan pajak terbesar pada sektor non-tradable,

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2015 *)

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2015 *) BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.32/05/64/Th.XVIII, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2015 *) Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Timur pada 2015 mencapai 1,65 juta orang yang

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIV, 5 Mei 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 TUMBUH 6,5 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Masih tingginya angka kemiskinan, baik secara absolut maupun relatif merupakan salah satu persoalan serius yang dihadapi bangsa Indonesia hingga saat ini. Kemiskinan

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Jakarta, 18 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI 2 Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 50/08/Th.XII, 10 Agustus 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2009 Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK No. 16/02/Th. XVII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PERTUMBUHAN PDB TAHUN 2013 MENCAPAI 5,78 PERSEN Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2013 tumbuh sebesar 5,78

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/08/72/Th. XIV, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI DI KOTA YOGYAKARTA, NAMUN JUMLAH PENGANGGUR TERBANYAK

TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI DI KOTA YOGYAKARTA, NAMUN JUMLAH PENGANGGUR TERBANYAK BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 03/01/34/Th.X, 02 Januari 2008 SAKERNAS AGUSTUS 2007 MENGHASILKAN ANGKA PENGANGGURAN PERBANDINGAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI DIY : TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA No. 27 / VIII / 16 Mei 2005 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PDB INDONESIA TRIWULAN I TAHUN 2005 TUMBUH 2,84 PERSEN PDB Indonesia pada triwulan I tahun 2005 meningkat sebesar 2,84 persen dibandingkan triwulan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT PERTUMBUHAN PDRB TAHUN 2013 MENCAPAI 6,08 PERSEN No. 11/02/61/Th. XVII, 5 Februari 2014 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.37/05/64/Th.XIX, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2016 Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Timur pada Februari 2016 mencapai 1.650.377 orang,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Kondisi Ketenagakerjaan terus menunjukkan perbaikan. Pada bulan Agustus 211, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh tercatat 7,43% sementara Tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II 2013 No. 45/08/72/Th. XVI, 02 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II 2013 Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No. 08/08/Th.IV, 3 Agustus 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN Ekonomi Kabupaten Ngada pada tahun 2011 tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bagaimana suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bagaimana suatu BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bagaimana suatu perekonomian berkembang dari waktu ke waktu dalam jangka waktu yang cukup panjang. Perekonomian Indonesia

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.43/05/64/Th.XX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2017 Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Timur pada Februari 2017 mencapai 1.678.913 orang,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 55/08/Th. XVI, 2 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013 TUMBUH 5,81 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. 31/05/21/Th. VI, 5 Mei 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN FEBRUARI 2011 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI SEBESAR 7,04 PERSEN Jumlah

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 20/05/34/Th. XI, 15 Mei 2009 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan, I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh setiap negara di dunia. Sektor pertanian salah satu sektor lapangan usaha yang selalu diindentikan dengan kemiskinan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN BPS PROVINSI MALUKU No. 01/05/81/Th.XV, 05 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN PDRB Maluku pada triwulan IV tahun 2013 bertumbuh

Lebih terperinci

REFORMULASI KEBIJAKAN ANGGARAN SEBAGAI UPAYA MENGATASI KESENJANGAN EKONOMI. Oleh: Ahmad Heri Firdaus

REFORMULASI KEBIJAKAN ANGGARAN SEBAGAI UPAYA MENGATASI KESENJANGAN EKONOMI. Oleh: Ahmad Heri Firdaus REFORMULASI KEBIJAKAN ANGGARAN SEBAGAI UPAYA MENGATASI KESENJANGAN EKONOMI Oleh: Ahmad Heri Firdaus Abstrak Di tengah melambatnya kinerja perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga Triwulan

Lebih terperinci

Disampaikan Pada: Bimtek Penyusunan RKPD Kabupaten Situbondo Mei 2012

Disampaikan Pada: Bimtek Penyusunan RKPD Kabupaten Situbondo Mei 2012 Ferry Prasetyia, SE., MAppEc Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Disampaikan Pada: Bimtek Penyusunan RKPD Kabupaten Situbondo 2013 2 4 Mei 2012 1 Pertumbuhan PDB Dunia Sumber: IMF Staff Estimates,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 No. 10/02/63/Th XIV, 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 010 Perekonomian Kalimantan Selatan tahun 2010 tumbuh sebesar 5,58 persen, dengan n pertumbuhan tertinggi di sektor

Lebih terperinci

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk Perspektif Kabupaten Berau selama 5 tahun ke depan didasarkan pada kondisi objektif saat ini dan masa lalu yang diprediksi menurut asumsi cetiris paribus. Prediksi dilakukan terhadap indikator-indikator

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TAHUN 2014 No. 13/02/51/Th. IX, 5 Februari 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TAHUN EKONOMI BALI TAHUN TUMBUH 6,72 PERSEN LEBIH CEPAT JIKA DIBANDINGKAN DENGAN TAHUN SEBELUMNYA. Release PDRB Tahun dan selanjutnya menggunakan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 09/02/61/Th. XIII, 10 Februari 2010 PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT TAHUN 2009 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2009 meningkat 4,76 persen dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 No. 63/08/Th. XVII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 TUMBUH 5,12 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran Produk Domestik

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 78//35/Th. XIII, 5 November 05 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 05 AGUSTUS 05: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,47 PERSEN Jumlah angkatan kerja di

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

PERPERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA 2001

PERPERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA 2001 No. 07/V/18 FEBRUARI 2002 PERPERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA 2001 PDB INDONESIA TAHUN 2001 TUMBUH 3,32 PERSEN PDB Indonesia tahun 2001 secara riil meningkat sebesar 3,32 persen dibandingkan tahun 2000. Hampir

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/05/72/Thn XIV, 25 Mei 2011 PEREKONOMIAN SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2011 MENGALAMI KONTRAKSI/TUMBUH MINUS 3,71 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2016 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 29/05/12/Th. XIX, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,49 PERSEN angkatan kerja di Sumatera

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013 No. 09/02/31/Th. XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013 Secara total, perekonomian DKI Jakarta pada triwulan IV/2013 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2010

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2010 No. 01/02/53/Th. XIV, 07 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2010 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PAKPAK BHARAT TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI PAKPAK BHARAT TAHUN 2013 BPS KABUPATEN PAKPAK BHARAT No. 22/09/1216/Th. IX, 22 September 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI PAKPAK BHARAT TAHUN 2013 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2013 yaitu sebesar 5,86 persen dimana

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

RUANG FISKAL DALAM APBN

RUANG FISKAL DALAM APBN RUANG FISKAL DALAM APBN Ruang fiskal secara umum merupakan ketersediaan ruang dalam anggaran yang memampukan Pemerintah menyediakan dana untuk tujuan tertentu tanpa menciptakan permasalahan dalam kesinambungan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 06 /11/33/Th.I, 15 Nopember 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PDRB JAWA TENGAH TRIWULAN III TH 2007 TUMBUH 0,7 PERSEN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah pada

Lebih terperinci

Data Kemiskinan dalam Perspektif APBN

Data Kemiskinan dalam Perspektif APBN Data Kemiskinan dalam Perspektif APBN 1. Simpang Siur Data Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan multidimensional. Karakter ini menyebabkan diskusi mengenai kemiskinan hampir selalu

Lebih terperinci

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Kondisi yang memungkinkan dilakukan penyesuaian APBN melalui mekanisme APBN Perubahan atau pembahasan internal di Badan Anggaran berdasarkan UU No. 27/2009 1. Pasal 14 Undang-Undang No.47 Tahun 2009 tentang

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 29/05/32/Th.XIX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI JAWA BARAT FEBRUARI 2017 Angkatan kerja pada Februari 2017 sebanyak 22,64 juta orang, naik sekitar 0,46 juta orang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2014 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NTB No. 13/02/52/Th.IX, 5 Februari 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2014 EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2014 TUMBUH 5,06 PERSEN Perekonomian Provinsi

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2016 BPS PROVINSI JAWA TIMUR KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2016 No. 33/05/35/Th.XIV, 4 Mei 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,14 PERSEN Penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Timur

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013 Asesmen Ekonomi Perekonomian Kepulauan Riau (Kepri) pada triwulan II-2013 mengalami pelemahan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No.51/08/33/Th.VIII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2003

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2003 No. 12/VII/16 Februari 2004 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2003 PDB INDONESIA TAHUN 2003 TUMBUH 4,10 PERSEN! PDB Indonesia selama tahun 2003 meningkat sebesar 4,10 persen dibandingkan tahun 2002.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 BPS PROVINSI JAWA TIMUR KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 No. 33/05/35/Th.XV, 5 Mei 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,10 PERSEN Penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam. Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam. Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kerangka ekonomi makro dan kebijakan keuangan daerah yang dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011 No.027/05/63/Th XV, 5 Mei 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011 Jumlah penduduk angkatan kerja pada 2011 sebesar 1,840 juta jiwa. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 0,36

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan melakukan perubahan kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015 No. 06/11/53/Th. XV, 5 November 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015 AGUSTUS 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,83 % Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Agustus 2015 mencapai

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK No. 12/02/Th. XIV, 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PERTUMBUHAN PDB TAHUN 2010 MENCAPAI 6,1 PERSEN Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2010 meningkat sebesar

Lebih terperinci

TANTANGAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2014

TANTANGAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2014 TANTANGAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2014 Permasalahan Perekonomian Indonesia Meskipun perubahan asumsi makro secara legal formal diatur dalam UU APBN dan meskipun pemerintah berpendapat bahwa perubahan tersebut

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2011 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No.20/05/31/Th. XIII, 5 Mei 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2011 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I/2011 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 64/11/61/Th. XVII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN BARAT TRIWULAN III-2014 EKONOMI KALIMANTAN BARAT TRIWULAN III-2014 TUMBUH 4,45 PERSEN Besaran Produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja melalui penyediaan sejumlah dana pembangunan dan memajukan dunia usaha.

Lebih terperinci