BAB I PENDAHULUAN. Penelitian tentang poligami pada masyarakat Desa Sukanalu yang pernah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Penelitian tentang poligami pada masyarakat Desa Sukanalu yang pernah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian tentang poligami pada masyarakat Desa Sukanalu yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Kira 1 membuat penulis tertarik untuk mengangkat kembali topik yang sama di lokasi yang sama saat ini. Poligami bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Desa Sukanalu, bahkan pada tahun 1970-an, poligami menjadi tren yang kerap dilakukan oleh masyarakat Desa Sukanalu, namun seiring berjalannya waktu, poligami surut dari masyarakat desa tersebut dan hal tersebut menjadi fokus dari penelitian Kira Sembiring. Adapun maksud penulis dengan mengangkat kembali topik yang sama dan lokasi yang sama adalah untuk melihat dan memastikan apakah bentuk perubahan perkawinan poligami ke monogami yang terjadi pada masa lalu masih sama pada saat ini mengingat penelitian yang dilakukan 20 tahun yang lalu. Atau adakah hal-hal lain yang mungkin terlewatkan dan penulis bermaksud untuk meneliti kembali masalah ini. Selanjutnya pada Bab IV penulis akan menuliskan kasus-kasus poligami yang penulis dapatkan di lapangan, juga alasan-alasan dari key informan penulis melakukan poligami dan yang tidak melakukan perkawinan poligami pada dewasa ini. Selanjutnya untuk semakin mempermudah pembaca untuk membacanya peneliti juga akan memperbandingkan perubahan paradigma berfikir dari pelaku poligami dan pelaku monogami. 1. Kira Sembiring (NIM: ), Mahasiswa jurusan Antropologi, Fak. Ilmu Sosial dan Politik,, angkatan 1982, Perubahan Kecenderungan Berpoligami pada Masyarakat Karo (Kasus Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe) (Pembimbing I: Prof.Dr. Payung Bangun, MA, Pembimbing II : Drs. Juara Ginting)

2 Apakah setelah puluhan tahun sejak maraknya poligami di desa itu, terjadi perubahan atas pola perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakatnya atau tetap tidak berubah sama sekali atau hanya terdapat modifikasi atas pola yang telah ada. Dalam penelitiannya, Kira telah memaparkan secara rinci bagaimana pola perkawinan yang kerap dilakukan oleh masyarakat Desa Sukanalu, apakah yang menjadi latar belakang masyarakat Desa Sukanalu kerap melaksanakan perkawinan dengan pola poligami, serta faktor-faktor yang menyebabkan kecenderungan berpoligami berkurang seiring berjalannya waktu. Penulis saat ini juga akan turut membahas hal-hal tersebut, hanya saja informan yang akan dijadikan sumber informasi adalah masyarakat yang saat ini tinggal di Desa Sukanalu yang memiliki pola pikir yang diduga telah berbeda dengan masyarakat masa lalu, karena adanya perkembangan zaman serta informan kunci yang memang pelaku poligami dari masa lalu. Adanya perbedaan pola pikir tentunya akan memberikan penjelasan yang berbeda atas sikap terhadap fenomena poligami di Desa Sukanalu. Selain itu ada Beberapa hal yang membedakan antara penelitian yang dilakukan oleh Kira Sembiring dengan yang peneliti saat ini lakukan, antara lain penelitian yang dilakukan Kira Sembiring tidak menampilkan informan kunci yang merupakan pelaku poligami pada masa lalu dan informan lainnya sebagai sumber informasi, sedangkan peneliti saat ini menampilkan informan kunci yang merupakan pelaku poligami pada masa lalu dan pelaku poligami pada saat sekarang ini, serta pelaku monogami. Penelitian yang dilakukan oleh Kira Sembiring secara langsung menampilkan faktor-faktor yang menjadi penyebab perkawinan poligami masyarakat Desa Sukanalu pada masa lalu, sedangkan peneliti saat ini lebih dulu menelusuri penyebab-penyebab

3 munculnya poligami yang kemudian dikelompokan menjadi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya poligami Kontroversial antara golongan yang pro dan kontra terhadap poligami kerap memenuhi media informasi baik cetak maupun elektronik. Bahkan tak jarang perseteruan terbuka terjadi untuk mendukung atau menolak poligami. Sekalipun orang yang mendukung tersebut adalah orang terpandang, namun mereka tidak segan untuk mengakui tindakan poligami yang telah dilakukannya dalam perkawinan. Saat ini topik poligami juga kerap disajikan kepada masyarakat lewat berbagai bentuk, seperti talk show, humor, seminar, bahkan film layar lebar. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketertarikan masyarakat akan hal tersebut. Poligami sebenarnya bukan lah isu yang baru dalam kehidupan sosial masyarakat tertentu. Puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, sejarah telah mencatat praktik poligami dalam kehidupan seseorang. Sebut saja raja-raja China yang memiliki isteri serta selir-selirnya. Hal tersebut juga merupakan praktek poligami di masa lampau meskipun cara dan tujuan berpoligami itu berbeda. Begitu juga hal nya dengan kasus poligami yang terjadi di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo. Desa ini memiliki imej poligami pada masa lampau. Begitu banyak nya kasus masa lalu tentang poligami membuat desa ini menjadi terkenal di Kabupaten Karo. Namun saat ini kasus-kasus serupa sudah semakin jarang ditemui, yang tinggal kasus lama dan sejumlah kecil kasus baru. Seiring waktu, imej poligami yang melekat pada masa lalu luntur. Berbicara mengenai poligami tentu erat kaitannya dengan perkawinan. Seperti yang dikemukakan oleh (Koentjaraningrat, 1982:75) yaitu saat peralihan yang

4 paling penting dalam lingkaran hidup semua manusia di dunia adalah peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga ialah perkawinan. Di pandang dari sudut kebudayaan tertentu, perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, yaitu kelakuan-kelakuan seks terutama dalam persetubuan sebagai kebutuhan biologis (Koentjaraningrat, 1997:90). Berkenaan dengan hal itu perkawinan dapat dilakukan antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan (monogami), atau antara satu orang laki-laki dengan beberapa orang perempuan (poligini) ataupun sebaliknya antara satu orang perempuan dengan beberapa orang laki-laki (poliandri) yang sering dikenal dengan perkawinan poligami. Perkawinan yang mencakup adat dan upacara merupakan unsur kebudayaan yang dihayati dari masa ke masa dan akan ada dalam masyarakat yang berbudaya, walau dalam batas ruang dan waktu akan mengalami perubahan-perubahan. Dalam adat dan upacara perkawinan ini juga terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang sangat luas dan kuat, mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap individu dalam masyarakat dan juga mengatur dan mengukuhkan suatu bentuk hubungan yang sangat esensial antara manusia yang berlainan jenis. Upacara perkawinan yang ada dalam kehidupan suatu masyarakat akan berlangsung pada waktu-waktu tertentu dalam kehidupannya. Tahap-tahap pertumbuhan sepanjang hidup induvidu akan mempengaruhi dan membawa perubahan-perubahan terhadap individu itu sendiri, baik biologi, sosial budaya maupun jiwanya. Oleh karena itu tiap tingkat pertumbuhan yang membawa setiap individu memasuki tingkat dan lingkungan sosial yang baru yang lebih merupakan saat-saat yang penuh bahagia dan dianggap suatu masa krisis.

5 Meskipun perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Tuhan, tiap individu mempunyai tujuan dan alasan yang berbeda-beda untuk melaksanakan suatu perkawinan yaitu sebagai pengatur hubungan seks, memberi status sosial dalam kehidupan kerabat, memberi hak milik akan anak-anak, gengsi, dan memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat (Keesing, 1981:152). Sehubungan dengan hal itu Pasurdi suparlan (1981:171) juga mengemukakan bahwa perkawinan adalah hubungan permanen antara laki-laki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan, dan tentu saja berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Suatu perkawinan bukan hanya mewujudkan adanya keluarga dan memberikan keabsahan atas status kelahiran anak-anak mereka saja, tetapi yang melibatkan hubungan di antara kerabat-kerabat masing-masing pasangan tersebut. Sebenarnya praktik poligami bukanlah persoalan teks, ataupun berkah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun struktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priyayi, poligami tak lain dari bentuk pembenda matian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial laki-laki. Masalah poligami dipandang cukup krusial dalam pandangan feminis. Menurut kelompok feminisme ini, betapa tidak, bagaimana sakit hatinya perempuan yang

6 dikhianati cintanya oleh orang yang disayangi. Belum lagi bila suami bersikap tidak adil dan lebih cenderung kepada isteri lainnya, menyebabkan perempuan (isteri pertamanya) ditelantarkan begitu pun anak-anaknya. Alasan inilah yang digunakan untuk menolak hukum kebolehan poligami. Kaum feminis mengingkari kebolehan poligami dan mencoba mengharamkannya. Keputusan haram lahir dari fakta yang menunjukkan bahwa pelaku poligami umumnya berlaku tidak adil dan menyebabkan perempuan teraniaya. Dengan demikian poligami harus dilarang karena ekses yang ditimbulkannya berupa ketidakadilan bagi isteri dan anak-anak. Selanjutnya ketidakadilan poligami dinilai dari tidak etisnya alasan ketidakmampuan isteri untuk bisa memperoleh keturunan yang sering dijadikan alasan mengajukan poligami. Keadaan isteri yang mandul harus dibuktikan secara medis bukan hanya klaim suami saja. Kalaupun isteri terbukti mandul, bukankah akan sangat menyakitkan hatinya jika kekurangan fisik yang telah diberikan oleh sang Pencipta itu dijadikan dalih agar suami bisa kawin lagi. Dalam fakta lain menunjukkan tidak sedikit isteri yang mendorong suaminya kawin lagi agar ia mempunyai keturunan. Fakta menunjukkan ada banyak keluarga yang melakukan poligami, mereka hidup rukun dan damai, harmonis dan saling membantu. Jadi, masalah yang seringkali muncul sebenarnya bukan karena poligami itu sendiri, melainkan karena pelaku poligami dalam hal ini seorang suami tidak menjalankan konsekuensi dari tindakan yang ia ambil. Saat ia memutuskan untuk berpoligami, seharusnya ia memahami dan menjalankan konsekuensinya. Ia harus mampu menghidupi lebih dari satu keluarga. Orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya telah bertambah dan ia harus siap untuk itu. Ketika ia tidak

7 memenuhi konsekuensi dari berpoligami dan berbuat tidak adil seperti menelantarkan isteri pertama dan anak-anaknya, yang disalahkan bukan hukum kebolehan poligami. Melainkan pelaku poligami itu sendiri. Hal yang mencolok dari dampak poligami itu sendiri di Desa Sukanalu adalah persaingan antara isteri tua dengan isteri muda dalam mencari perhatian suami, yang sering berujung pada pertengkaran dalam rumah tangga. Isteri yang lebih muda biasanya akan memenangkan pertikaian dan memperoleh perhatian lebih dari suami. Kebanyakkan isteri yang lebih muda menganggap dirinya lebih unggul tentang segala hal yang dapat menimbulkan rasa bangga serta tidak mau perduli dengan pandangan keluarga serta penduduk disekitarnya. Walaupun pandangan masyarakat terhadap isteri kedua atau ketiga adalah suatu perbuatan yang memalukan terutama bagi orang tua serta sering dipergunjingkan masyarakat. Sementara isteri pertama merasa sebagai manusia lemah, penuh kekurangan dan tidak mampu dalam mengurus rumah tangga Perkawinan poligami di desa ini biasanya tidak mendapat restu dari orang tua khususnya orang tua pihak perempuan. Sering terjadi orang tua pihak perempuan secara terpaksa harus menerima uang jujur dengan jumlah ala kadarnya saja (sesuai dengan keinginan pihak laki-laki) yang tanpa lebih dulu dimusyawarahkan. Perkawinan seperti ini jarang dilaksanakan dengan meriah, cukup dengan makan bersama dalam rumah saja. Perkawinan dalam masyarakat tidak selalu sama akan tetapi dapat dijumpai perbedaan-perbedaan dalam tata cara pelaksanaan, namun demikian makna dan tujuannya sama. Pada masyarakat Karo (Darwan Prinst 2004 :7), proses perkawinan ada dua cara yaitu:

8 1. Arah Adat (menurut adat), yaitu suatu proses perkawinan dimana peranan orang tua lebih dominan, artinya pihak orang tualah yang lebih mengusahakan agar pekawinan itu dapat dilaksanakan. Peranan orang tua di sini mulai dari petandaken atau perkenalan calon mempelai, mbaba belo selambar atau pertunangan/ peminangan dan sampai upacara perkawinan. 2. Arah Ture (dengan persetujuan kedua mempelai saja), yaitu perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan kehendak kedua belah pihak calon mempelai dan orang tua tidak mempunyai peran dari awal tetapi orangtua selalu mengikuti pembicaraan mereka sehingga pada akhirnya orangtua menyelenggarakan perkawinan mereka. Menurut Darwan Prinst (2004), fungsi perkawinan pada masyarakat Karo adalah Melanjutkan hubungan kekeluargaan, menjalin hubungan kekeluargaan apabila sebelumnya belum ada hubungan kekeluargaan, melanjutkan keturunan dengan lahirnya anak laki laki dan perempuan, menjaga kemurnian dari suatu keturunan, menghindari berpindahnya harta kekayaan pada keluarga lain, mempertahankan dan memperluas hubungan kekeluargaan Perumusan Masalah Seperti telah diuraikan di atas bahwa tujuan utama dari perkawinan bagi masyarakat Karo adalah mendapatkan keturunan. Hal ini sangatlah penting dalam mempertahankan garis keturunan berupa merga. Oleh karena itu, bagi suku bangsa Karo yang menganut sisitem patrilineal, anak laki-laki sangatlah penting. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bila dalam sebuah rumah tangga tidak dikaruniai anak laki-laki

9 yang notabene sebagai penerus merga? Apakah hal ini layak menjadi sebuah dalih untuk melangsungkan perkawinan poligami? Pertanyaan lain, mengapa seorang perempuan bersedia di jadikan isteri muda dalam sebuah rumah tangga? Dan secara global masalah penelitian ini akan mengkaji sebab-sebab terjadinya perubahan perkawinan dari poligami ke perkawinan monogami. 1.3 Ruang Lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Latar belakang tingginya jumlah perkawinan poligami di Desa Sukanalu pada masa lalu. Apakah ada hal-hal yang istimewa yang memicu tingginya tingkat perkawinan poligami dalam kehidupan bermasyarakat di desa itu? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkawinan poligami tersebut? Apakah ada faktor yang berasal dari dalam desa atau dari luar desa? 3. Bagaimana pandangan masyarakat tentang perkawinan poligami dan pelaku perkawinan poligami? Mungkin akan timbul pro dan kontra namun bagaimana pandangan masyarakat secara umum? 4. Bagaimana perkawinan poligami itu di langsungkan, apakah akan dilangsungkan seperti perkawinan pertama? 5. Apa yang menjadi motivasi perempuan sehingga mau dipoligami atau dijadikan isteri kedua atau isteri muda? 6. Bagaimana dampak perkawinan poligami terhadap perempuan yang dipoligami?

10 7. Faktor-faktor yang memicu pergeseran bentuk perkawinan poligami ke perkawinan monogami di desa tersebut pada masa sekarang? Lokasi penelitin ini dilakukan di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo. Desa ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena desa ini mempunyai tingkat poligami yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa tetangganya. Di Desa Sukanalu sendiri kurang lebih 75% dari rumah tangga melakukan poligami khususnya poligini, sedangkan di desa-desa tetangganya hanya sekitar 10%. Hal inilah yang menjadi salah satu keunikkan tersendiri desa tersebut bila di bandingkan dengan desa-desa lainnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman serta perubahan pandangan perempuan-perempuan di desa tersebut akan makna perkawinan, perilaku ini mengalami pergeseran ke perkawinan monogami. Karena itulah peneliti tertarik dan memutuskan Desa Sukanalu sebagai lokasi penelitian. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan terjadinya suatu perubahan dalam kehidupan suatu masyarakat, khususnya untuk mencari dan mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya kecenderungan berpoligami yang telah mengalami perubahan pada masyarakat Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe. Secara umum penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam memperkaya literatur dan khasanah pengetahuan tentang konsep perkawinan yang berlaku dalam sistem adat masyarakat Karo.

11 1.5 Tinjauan Pustaka Suku bangsa Karo sebagaimana suku bangsa lain mempunyai tata cara perkawinan yang khas. Namun pada prinsipnya adalah sama saja yaitu diawali dengan pengenalan, pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan (Perkawinan) dan upacara pensakralan. Ada beberapa sarjana hukum adat berpendapat bahwa suku Karo digolongkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Namun bila memperhatikan hal tersebut dengan merujuk pada perkembangan hukum sekarang khususnya pada bidang perkawinan, maka suku Karo tidak hanya memperhatikan garis keturunan dari bapak saja, tetapi juga garis keturunan dari ibu, sebagaimana telah disebutkan Sempa Sitepu bahwa Suku Karo sudah merupakan berkerabatan parental dan bilateral, artinya tidak hanya menghitung dari garis keturunan ayah saja tetapi juga garis keturunan sang ibu sehingga diberi gelar bebere. Dalam hubungan kekeluargaan pada masyarakat Karo, Hilam Hadikusuma mengatakan bahwa yang selalu dituakan dan dihormati adalah merga pemberi anak dara, karena dianggap sebagai dibata idah ( dewa yang nampak ) Pengaruh sistem kekerabatan terhadap keluarga dan anak-anak ( Soerjono Soekanto, 2003 ) adalah : Perkawinan dalam sistem ini akan mengakibatkan si isteri tersebut akan menjadi warga masyarakat dari pihak suaminya. Sebagaimana konsekuensinya dan keadaan itu maka anak anak yang akan lahir dalam suatu perkawinan akan menarik garis keturunan pihak ayahnya dan akan menjadi anggota masyarakat hukum adat dimana ayahnya juga menjadi anggotanya.

12 Mengenai sistem kekerabatan ini, Harahap (1995: ) mengatakan bahwa Sistem kekeluargaan sekarang sudah mengarah kepada sistem kekeluargaan parental, meskipun dalam kehidupan sehari hari stelsel kekeluargaan patrilineal atau matrilineal masih diakui eksistensinya, namun sepanjang masalah warisan telah terjadi pergeseran dan stelsel patrilineal kearah parental masyarakat Karo menganut sistem kemasyarakatan patriarchat yaitu masyarakat yang diperintah secara kekeluargaan. Hal mana terlihat dari kedudukan atau jabatan adat dalam masyarakat yang memiliki keunikkan tersendiri bila dibandingkan dengan kedudukan atau jabatan pada masyarakat adat lainnya yang ada di Indonesia. Kedudukan atau jabatan dalam masyarakat Karo terdiri dari kalimbubu, senina, atau sembuyak dan anak beru yang biasanya disebut dengan sangkep sitelu. Kedudukan atau jabatan ini memilii fungsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya yaitu kalimbubu adalah pihak yang menyerahkan anak dara untuk dinikahkan dan sebagai pihak yang mengesahkan utusan dalam pertemuan pertemuan (runggun) keluarga atau kerabat. Jadi, kalimbubu ini dapat dibagi atas beberapa golongan yaitu: kalimbubu banana/kalimbubu tanah (ketururunan dari orang yang dianggap sebagi pembuka kampung atau manteki kuta) puang kalimbubu (Kalimbubu dari kalimbubu). Sementara senina atau sada ninina adalah orang yang satu keturunan yang timbul dari merga atau bebere yang sama. Senina ini terdiri dari siperemen dan sipengalon serta sendalanen. Anak beru adalah pihak yang bertindak sebagai penerima anak dara yang berfungsi sebagai perantara pembicaraan dalam pertemuan pertemuan adat yang bertugas untuk meneyelesaikan pekerjaan dalam kerja kerja adat. Anak beru ini terdiri

13 dari anak beru tua, anak beru menteri (anak beru dari anak beru), anak beru singerana, anak beru ncekuh baka tutup, anak beru iangkip, dan anak beru taneh. Jabatan atau kedudukan adat sebagaimana tersebut diatas dapat melekat secara seluruhnya maupun sebagian saja pada satu orang. Sebagaimana disebutkan Sempa Sitepu bahwa sebab pada orat tutur pada masyarakat Karo sering ada pergantian, misal pada suatu ketika si A menjadi kalimbubu, tetapi pada pesta adat yang lain si A dapat menjadi anak beru. Disinilah terlihat keunikkan kedudukan atau jabatan yang dimiliki oleh masyarakat adat Karo tersebut. Kedudukan atau jabatan bagaimana orang bersikap dan bertindak terhadap orang lain dan juga menentukan dimana seseorang itu mengambil tempat dalam melaksanakan upacara adat maupun runggun. Artinya kedudukan atau jabatan adat tersebut tidak menunjukan hubungan kekerabatan diantara anggota masyarakat. Dengan demikian maka pada masyrakat Karo tidak ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, karena masing masing pribadi duduk pada kelompoknya masing masing seperti kalimbubu, senina, anak beru semuanya duduk ditengah tengah kelompok masing masing. Berpijak dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya dapat dibayangkan begitu pentingnya struktur merga dalam kehidupan masyarakat Karo dan setiap anggota keluarga atau keturunan dari suatu marga selalu memakai marga sebagai identitas yang dibubuhkan setelah nama kecil anggota keluarga tersebut dan yang diperhitungkan melalui garis bapak. Hal ini menandakan bahwa kelompok orang orang tersebut merupakan keturunan dari seorang kakek bersama yang bersifat patrilineal.

14 Sehubungan dengan itu Sitepu mengatakan bahwa marga itu merupakan suatu pertanda bahwa orang-orang yang menggunakannnya masih mempunyai kakek bersama. Mungkin secara nyata tidak dapat lagi dirinci rentetan bersama akan tetapi ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama sudah terjalin hubungan darah sehingga dimuat menjadi suatu persyaratan kawin bagi masyarakat Karo yaitu dengan adanya larangan kawin bagi laki laki dan perempuan. Menurut pergaulan hidup masyarakat Karo memperlihatkan bahwa setiap orang Karo dianggap sebagai kerabat karena laki-laki dan perempuan menempatkan seseorang ke dalam satu diantara kategori yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Karo, yaitu Kalimbubu, anak beru, senina. Ketiga kategori ini merupakan satu kesatuan yang selalu diwujudkan sebagai ketiga yang lengkap dengan istilah sangkep sitelu atau rakut sitelu. Menurut hukum adat pada masyarakat Karo, kesatuan sangkep sitelu atau rakut sitelu inilah yang merupakan syarat bagi kehidupan bersama manusia, karena ikatan kekerabatan ini tidak bersifat perorangan tetapi mencakup golongan yang berkerabat secara luas sehingga masyarakat Karo dapat menghubungkan dirinya satu sama lainya dalam sistem kekerabatan. 1.6 Perkawinan menurut hukum adat Karo Menurut adat Karo perkawinan yang ideal ialah perkawinan yang eksogami, tetapi masyarakat Karo di sana masih banyak menginginkan perkawinan impal, yaitu antara mereka yang mempunyai hubungan keluarga saling silang baik impal kandung maupun impal semerga, dan perkawinan masyarakat Karo dilangsungkan dengan tukur (jujur).

15 Seiring dengan itu, Sitepu mengatakan bahwa perkawinan jujur adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang barang magis atau sejumlah uang dari keluarga laki-laki kepada pihak perempuan, dimana hal ini menurut beliau adalah berfungsi untuk pengganti atau sebagai pembeli (tukur) atas berpindahnya si perempuan ke dalam klen si laki-laki dan untuk mempetahankan susunan kekeluargaan berhukum kebapakan (patrilineal). Lebih jauh dikatakan bahwa apabila dalam suatu perkawinan, jujurnya tidak dibayar, maka perkawinan itu dianggap tidak sah secara adat. Sitepu mengatakan bahwa proses pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Karo berlangsung dalam beberapa tahap yaitu,: 1. Mbaba belo selambar, mulai dilaksanakan musyawarah adat (runggun) atau sangkep sitelu pihak calon pengantin perempuan (sinereh) dan pada acara ini disampaikan lamaran yang dilanjutkan dengan pembicaraan yang disebut dengan ringgit-ringgit gantang tumba atau ersinget ersinget. Setelah itu menurut Sitepu akan dilanjutkan dengan melakukan pemberian penindih puduh atau pemeberian tanda pengikat oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Sehingga dengan demikian, apabila pihak perempuan yang ingkar maka akibat hukumnya adalah pihak perempuan harus membayar dua kali lipat uang penindih puduh tersebut kepada pihak laki laki. Pada acara ini juga perlu dilakukan sijalapen, yaitu pengumuman dari anak beru kedua belah pihak tentang nama kedua calon mempelai, nama kedua orang tua, nama anak beru tertua, termasuk tanggal dan waktu pelaksanaan nganting manuk. 2. Ngembah manuk atau nganting manuk, yaitu untuk mematangkan hasil musyawarah yang dilakukan pada acara mbaba belo selambar yang dilanjutkan dengan mufakat

16 tentang cara pelaksanaan peresmian perkawinan. Disini para sangkep sitelu dari kedua pihak bermusyawarah tentang kewajiban-kewajiban adat (hutang adat) yang menyangkut besarnya uang jujur. Besarnya acara pesta, tempat diadakannya pesta, menentukan orang orang yang bertindak sebagai pengundang dan lain-lain. Setelah itu disepakati maka dibuatlah janji untuk menentukan hari dan tanggal pelaksanaan pesta. 3. Pesta atau erdemu bayu, yaitu pelaksanaan pesta perkawinan. Dalam pesta perkawinan tersebut diadakan adat pembayaran jujur (unjuken) yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai kelompok penerima jujur dengan dihadiri oleh seluruh kaum kerabat yang kedudukanya masing masing dikelompokan dalam kategori senina, anak beru dan kalimbubu 4. Mukul, setelah selesai pesta perkawinan maka pengantin perempuan dibawa oleh kerabat laki laki atau kesuatu rumah yang dihunjuk pengantin laki-laki, maka pada malam hari diadakan acara mukul atau memecahkan tinaro (memecahkan telur) atau pengrebun, yaitu menetapkan kelompok yang dilarang berbicara langsung. Dalam beberapa hari kemudian, setelah pengantin perempuan tinggal dirumah pengantin laki laki, maka kedua pengantin di antar oleh orang tua pengantin perempuan, dengan tujuan untuk mengambil pakaian atau barang-barang pengantin yang masih tinggal di rumah orang tuanya.. Pelamaran atau peminangan pada masyarakat patrilineal, pihak yang mengajukan adalah pihak keluarga laki-laki yang dijalankan oleh seseorang atau beberapa orang sebagai utusan. Seseorang atau beberapa orang yang menjadi utusan

17 adalah orang- orang yang sekerabat dengan pihak keluarga laki-laki dan bahkan yang sering terjadi untuk melakukan pelamaran adalah orangtuanya sendiri. Bertalian dengan hal tersebut diatas, maka pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut adat, sebagaimana dikemukakan oleh Wila Chandrawila Supriadi (2002), adalah memperoleh keturunan dan dengan demikian tiba pada pembentukan keluarga. Oleh karena itu dapat di ketahui bahwa prinsip-prinsip perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut: Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga hubungan kekerabatan yang rukun dan damai serta bahagia dan kekal Perkawinan tidak saja harus dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaannya, tetapi harus mendapat pengakuan dari anggota kerabat menurut hukum adat. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang laki-laki dengan beberapa perempuan sebagai isteri yang kedudukannya msing-masing ditentukan menurut hukum adat, dalam arti menganut azas poligami. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan kerabat, karena masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarkat adat. Perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup umur atau yang masih dengan usia anak, tetapi perkawinan itu harus mendapat izin dari orang tua dan keluarga. Keseimbangan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan adat yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan

18 1.6 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat dskriptif yang menggambarkan kecenderungan perubahan bentuk perkawinan dari poligami ke monogami pada masyarakat desa Sukanalu. Sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat (1983:29) penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala dan adanya hubungan tertentu antara gejala yang satu dengan yang lain. Metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dipergunakan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang bagaimana kecenderungan perubahan bemtuk perkawinan itu terjadi pada suku bangsa Karo di Desa Sukanalu. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara. Metode wawancara atau interview method, mencangkup cara yang dipergunakan kalau seseorang untuk suatu tujuan atau tugas tertentu mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang informan atau responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu (Koentjaraningrat, 1990). Wawancara dalam penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang segala hal yang berkaitan dengan realitas poligami di Desa Sukanalu serta untuk memperoleh sebanyak mungkin data-data tentang budaya serta perilaku suku bangsa Karo di Desa Sukanalu. Wawancara ini dilakukan terhadap informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa. Dalam penelitian ini peneliti memilih kepala Desa Sukanalu yakni Bapak I. Sitepu (46 tahun) dan ketua adat Bapak T. Bangun (67 tahun) sebagai informan pangkal. Informan pangkal ini membantu peneliti dalam menemukan orang-orang yang

19 sangat mengerti tentang permasalahan yang ingin diteliti. Oleh sebab itu, informan pangkal hendaklah memenuhi kriteria tertentu, seperti memiliki wawasan yang luas mengenai keadaan Desa Sukanalu, di kenal baik oleh warga penduduk, mampu mengintroduksikan peneliti dngan informan-informan lainnya dan yang juga cukup penting adalah bahwa informan pangkal bukan merupakan orang yang dibenci oleh sebagian besar masyarakat Desa Sukanalu. Sementara itu, informan kunci merupakan orang-orang yang paham sehingga diharapkan dapat memberikan informasi tentang permasalahan yang diteliti, yakni perilaku poligami di Desa Sukanalu. Informan kunci adalah orang-orang/keluarga yang melakukan perkawinan poligami atau orang-orang yang mengetahui tentang seluk beluk terjadinya poligami di Desa Sukanalu. Dalam hal ini peneliti telah mendapat data-data dari: Bapak J. Tarigan (67 tahun), Bapak M. Sembiring (72 tahun), Bapak S. Sembiring (74 tahun), T. Ginting (69 ahun), P. Karo-karo (64 tahun), sebagai suami yang melakukan poligami. Serta Ibu S. br. Ginting (60 tahun), Ibu M. br. Pinem (66tahun), Ibu J. br. Manalu (68 tahun), Ibu R. br. Barus (64 tahun), Ibu M. br. Sitepu (59 tahun) yang merupakan isteri tua dari pelaku poligami yang telah disebutkan sebelumnya. Terhadap mereka dikumpulkan data dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan metode life history method. Sedangkan informan biasa adalah orang-orang yang diwawancarai untuk melengkapi keterangan dari informan kunci. Dalam penelitian ini, informan biasa yang diwawancarai adalah orang-orang yang mengetahui tentang poligami yang terjadi di desa ini. Dalam hal ini peneliti memperoleh data-data dari: T. Perangin-angin (38 tahun), W. br. Karo-karo (32 tahun) yang keduanya merupakan warga Sukanalu sendiri.

20 Sementara K. Br. Pinem (34 tahun), dan M. Br. Kaban (30 tahun) berasal dari desa tetangga yaitu Desa Tiga Panah. Dipilih sebagai informan biasa karena masing-masing mereka merupakan anak dari isteri kedua dan terhadap mereka peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan wawancara biasa. Life history method merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian di bidang Antropologi Budaya, yang memiliki keunikkan tersendiri dalam memperdalam pengertian terhadap masyarakat tertentu. Metode ini dapat dilakukan dengan observasi, dan wawancara yang dilakukan terhadap individu yang menjadi informan ataupun menjadi objek dari suatu penelitian. Tentu saja hal ini bersifat subjektif dan belum tentu sesuai dengan keadaan masyarakat yang menjadi topik penelitian. Namun sesuai dengan keunikkan metode ini, yang memang bukan untuk memberikan keterangan detail mengenai suatu realitas yang terjadi dalam masyarakat yang diteliti. Tetapi justru memberikan keterangan atas bagian dari realitas itu sendiri (Koentjaraningrat. 1990). Pokok-pokok pertanyaan yang diajukan peneliti kepada informan pangkal adalah seputar latar belakang berdirinya desa serta awal terjadinya poligami di desa tersebut. Sedangkan kepada informan kunci, pokok pertanyaan yang diajukan adalah tentang bagaimana pengalaman informan sebagai pelaku poligami, atau sebagai isteri yang di poligami, apa yang menjadi motivasi pelaku poligami dalam memutuskan untuk poligami di dalam rumah tangganya, motivasi isteri sehingga mau menerima diri mereka untuk dipoligami serta dampaknya terhadap diri mereka sendiri. Sedangkan untuk informan biasa diajukan pertanyaan tentang alasan mereka tidak mau melakukan

21 poligami dalam rumah tangganya dan pengetahuan tentang poligami yang mereka ketahui di Desa Sukanalu ini. 1.8 Kendala-kendala di Lapangan Hal pertama dan utama yang menjadi kendala penulis di lapangan yaitu bahasa. Penulis tidak tahu bahasa Karo, sementara penduduk di sana lebih menyukai bahasa Karo sebagai bahasa sehari-harinya, sementara penggunaan bahasa Indonesia mereka tidak selancar bahasa Karo, karena itu penggunaan bahasa Indonesia untuk komunikasi sehari-hari sesama mereka tidak pernah dilakukan. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka penulis selalu membawa guide yaitu teman penulis sendiri yang sangat mengerti bahasa Karo sebagai perantaraan penulis dengan orang-orang yang ingin penulis jumpai. Dari keadaan yang seperti itu tampak bahwa orang-orang yang penulis jumpai lebih merespon teman penulis dari pada penulis sendiri. Hal ini membuat penulis sedih. Tapi hal itu merupakan awal dimana penulis harus bisa mengatasi kesulitan itu dengan cara tetap melakukan komunikasi walaupun harus menggunakan bahasa Indonesia agar penulis tidak kelihatan canggung di hadapan mereka. Selanjutnya yang menjadi kendala yaitu para informan kunci yang usianya diatas 80-an yang juga merupakan pelaku poligami sudah sangat jarang ditemukan, karena mereka sudah meninggal. Dan keluarganya sangat tertutup sekali dengan kehadiran orang asing seperti penulis yang hendak melakukan penelitian. Untuk itu penulis mencari laki-laki yang berpoligami yang usianya sekitar 50-an keatas yang ditunjukkan oleh kepala desa dan dari informasi teman penulis sendiri.

22 Hal lain yang bisa membuat penulis tersenyum sendiri yaitu tentang Kepala Desa sebagai pemimpin formal dan informal dimana beliau sama sekali tidak mengetahui asal usul terjadinya desa, dan masalah poligami yang dulunya marak dilakukan, sampai keadaan penduduk di desa ini sangat sedikit yang beliau ketahui. Informasi mengenai desa ini banyak penulis dapatkan dari penduduk yang telah berusia lanjut, sampai penduduk yang berada di luar lokasi penelitian. Namun penulis harus tetap bisa menghargai dan memandangnya sebagai kepala desa yang dipercayai oleh warganya. Karena bagaimanapun peran kepala desa cukup mempunyai andil sebagai akses penulis untuk bisa bertemu dengan calon-calon informan yang sesuai dengan kriteria yang penulis tetapkan. Dalam melakukan penelitian tak jarang penulis mengalami kesulitan-kesulitan, yaitu berupa sikap diacuhkan, pengusiran secara halus, sampai pembatalan janji wawancara yang dilakukan sepihak oleh informan yang telah penulis hubungi terlebih dahulu. Biasanya penulis melakukan penelitian ke Desa Sukanalu yaitu pada waktu sore sampai malam hari. Karena pada waktu-waktu itulah, rata-rata penduduk desa yang bekerja sebagai petani sudah ada di rumahnya setelah dari pagi hingga siang hari bekerja ke sawah atau ladang. Penulis sama sekali tidak pernah tinggal dirumah sekretaris desa, walaupun telah mendapat ijin sebelumnya dari pihak yang bersangkutan. Karena penulis merasa takut akan cerita-cerita mistik yang ada di desa tersebut. Yaitu bahwa warga laki-lakinya mau mengguna-gunai orang asing yang datang ketempat itu. Setiap kali selesai melakukan penelitian penulis langsung pergi untuk menginap ke rumah keluarganya teman penulis di Desa Tiga Panah. Lalu esoknya kembali lagi ke lokasi penelitian begitu seterusnya.

23 Selama berada di Desa Sukanalu penulis selalu berusaha sesopan mungkin dan seramah mungkin agar tidak ada pihak-pihak merasa kecawa atas kehadirann penulis. Walaupun kadang-kadang penulis merasa bahwa banyak sekali mata-mata yang memandang sinis dan tajam kepada penulis, khususnya laki-laki yang masih berusia muda atau sebaya dengan penulis. karena menurut informasi yang penulis dengar bahwa di desa itu masih banyak penduduk yang memiliki ilmu-ilmu yang berbau mistik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebudayaan adalah salah satu yang dimiliki oleh setiap negara dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebudayaan adalah salah satu yang dimiliki oleh setiap negara dan 1 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kebudayaan adalah salah satu yang dimiliki oleh setiap negara dan menjadi identitasnya masing-masing. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki beragam kebudayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki beranekaragam suku bangsa, tentu memiliki puluhan bahkan ratusan adat budaya. Salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis di Provinsi Sumatera Utara, suku Batak terdiri dari 5 sub etnis yaitu : Batak Toba (Tapanuli), Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang perorang antar generasi. Konflik tersebut sering muncul antar tetangga,

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang perorang antar generasi. Konflik tersebut sering muncul antar tetangga, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Konflik tanah yang muncul sering sekali terjadi karena adanya masalah dengan orang perorang antar generasi. Konflik tersebut sering muncul antar tetangga,

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO. 42 BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.1/1974 Pelaksanaan Pernikahan Suku Anak Dalam merupakan tradisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranak dan pihak perempuan atau parboru. Perkawinan mengikat kedua belah

BAB I PENDAHULUAN. paranak dan pihak perempuan atau parboru. Perkawinan mengikat kedua belah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam adat Batak Toba, penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui perkawinan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat bersangkutan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal)

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini, masalah yang berhubungan dengan kehidupan sosial sudah makin kompleks dan terdiri dari berbagai aspek yang mana hal ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Konsep Pelaksanaan Adat Perkawinan Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki dan senantiasa menggunakan adat-istiadat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi merupakan kebiasaan dalam suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera.

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Indonesia sangat luas, juga mempunyai puluhan bahkan ratusan adat budaya. Begitu juga dengan sistem kekerabatan yang dianut, berbeda sukunya maka berbeda pula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional dan bahasa daerah. Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional dan bahasa daerah. Sumatera BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional dan bahasa daerah. Sumatera merupakan pulau keenam terbesar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh masyarakat adat batak toba. Sistem ini dalam arti positif merupakan suatu sistem dimana seseorang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan,

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kawin adalah perilaku mahluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar manusia berkembang biak. Oleh karena itu perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan untuk meneruskan keturunan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan untuk meneruskan keturunan. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang sangat dianjurkan untuk melakukannya. 1 Sebab pernikahan merupakan suatu prosesi yang dapat menghalalkan hubungan biologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang memiliki keragaman atas dasar suku (etnis), adat istiadat, agama, bahasa dan lainnya. Masyarakat etnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAAN PUSTAKA. bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAAN PUSTAKA. bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAAN PUSTAKA 2.2 Konsep Konsep gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain

Lebih terperinci

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai ia meninggal. Biasanya pada usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir semua manusia hidup terikat dalam sebuah jaringan dimana seorang manusia membutuhkan manusia lainnya untuk dapat hidup

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

Hukum Adopsi menurut Hukum Adat

Hukum Adopsi menurut Hukum Adat Hukum Adopsi menurut Hukum Adat Oleh: 1. Rico Andrian Hartono(135010101111114)/ 17 2. Ramadhanti Safirriani(135010119111001)/ 46 3. Farahdyba R (135010107111189)/ 44 4. Giovanna Calista F (135010101111106)/

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PERADIGMA. Digunakannya istilah hukum waris adat dalam skripsi ini adalah untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PERADIGMA. Digunakannya istilah hukum waris adat dalam skripsi ini adalah untuk II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PERADIGMA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Pembagian Harta Warisan. Digunakannya istilah hukum waris adat dalam skripsi ini adalah untuk membedakan dengan istilah-istilah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, dan penuh dengan keberagaman, salah satu istilah tersebut adalah

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

KOMUNIKASI ADAPTASI KELUARGA DALAM REMARRIAGE SUMMARY SKRIPSI. Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1.

KOMUNIKASI ADAPTASI KELUARGA DALAM REMARRIAGE SUMMARY SKRIPSI. Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1. KOMUNIKASI ADAPTASI KELUARGA DALAM REMARRIAGE SUMMARY SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang terjadi didalam hidup bermasyarakat yang menyangkut nama baik keluarga ataupun masyarakat. Hal ini diterangkan dalam buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas membentang dari kota Sabang Provinsi Nanggro Aceh Darussalam hingga kota Merauke Provinsi Papua. Tidak

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 234 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Perkawinan merupakan rentetan daur kehidupan manusia sejak zaman leluhur. Setiap insan pada waktunya merasa terpanggil untuk membentuk satu kehidupan baru, hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini tidak sedikit kaum wanita yang mengerutkan kening, terkejut, bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata poligami.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Preferensi pemilihan pasangan A.1 Definisi Preferensi pemilihan pasangan Preferensi pemilihan pasangan merupakan salah satu topik yang sudah pernah diteliti oleh beberapa peneliti.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keturunan, seperti penarikan garis keturunan secara patrilineal artinya hubungan

BAB I PENDAHULUAN. keturunan, seperti penarikan garis keturunan secara patrilineal artinya hubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Indonesia terdiri dari beragam etnis, seperti etnis Jawa, etnis Melayu, etnis Minang, serta etnis Batak. Setiap etnis ini memiliki budaya dan sistem kekerabatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan jenjang awal pembentukan masyarakat, dari suatu parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di dalamnya akan lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa aspek yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh masyarakat sendiri

BAB I PENDAHULUAN. beberapa aspek yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh masyarakat sendiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan bermasyarakat pada saat sekarang ini, masalah dalam kehidupan sosial sudah semakin kompleks dan berkepanjangan, dimana terdapat beberapa aspek yang

Lebih terperinci

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan Usia Dini 1. Pengertian Perkawinan Usia Dini Menurut Ali Akbar dalam Rouf (2002) untuk menentukan seseorang melaksanakan kawin usia dini dapat dilihat dari sudut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Perkawinan

Lebih terperinci

PERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh :

PERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh : PERKAWINAN ADAT (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian merupakan suatu estafet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Peristiwa penting tersebut dikaitkan dengan upacaraupacara yang bersifat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlainan jenis seks dengan persetujuan masyarakat. Seperti dikatakan Horton

BAB I PENDAHULUAN. yang berlainan jenis seks dengan persetujuan masyarakat. Seperti dikatakan Horton BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan cara paling mulia yang dipilih Pencipta alam semesta untuk mempertahankan proses regenerasi pengembangbiakan, dan keberlangsungan dinamika kehidupan.

Lebih terperinci

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan budaya Indonesia mengalami pasang surut, pada awalnya, Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kejadian yang sakral bagi manusia yang menjalaninya.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kejadian yang sakral bagi manusia yang menjalaninya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan kejadian yang sakral bagi manusia yang menjalaninya. Tujuan perkawinan diantaranya untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis yang dapat membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sangat membutuhkan adanya suatu aturan-aturan yang dapat mengikat manusia dalam melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel kabapaan. Stelsel kebapaan ini yang dianut masyarakat Karo ini dapat dilihat dari kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Makna Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti

Lebih terperinci

INTERAKSI SOSIAL KELUARGA POLIGAMI SUKU KARO

INTERAKSI SOSIAL KELUARGA POLIGAMI SUKU KARO UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK INTERAKSI SOSIAL KELUARGA POLIGAMI SUKU KARO (Studi Kasus di Desa Kutarakyat, Kec. Naman) SKRIPSI Oleh: ROSALINA LANASARI SEMBIRING 030901041

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan gerbang terbentuknya keluarga dalam kehidupan masyarakat, bahkan kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin dalam dan oleh perkawinan. 1 Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain untuk melengkapi kehidupannya. Proses pernikahan menjadi salah satu upaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal atau hewan sosial

BAB I PENDAHULUAN. disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal atau hewan sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang memliki naluri untuk hidup dengan orang lain. Naluri manusia untuk selalu hidup dengan orang lain disebut gregariousness

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011). 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, manusia untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pernikahan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami dibawah tangan pada masyarakat batak toba di Kota Bandar Lampung saat ini, maka dapat disimpulkan

Lebih terperinci

LIFE HISTORY. Note : II (12-18 tahun) Nama : Tetni br Tarigan Usia : 16 tahun

LIFE HISTORY. Note : II (12-18 tahun) Nama : Tetni br Tarigan Usia : 16 tahun LIFE HISTORY Note : II (12-18 tahun) Nama : Tetni br Tarigan Usia : 16 tahun Tetni seorang anak perempuan berusia 16 tahun, yang tinggal dalam keluarga yang serba kekurangan. Ia, orang tuannya dan empat

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki ketidakmampuan untuk bertahan hidup sendiri. Hal ini membuat manusia belajar untuk hidup berkelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang di dalamnya terdapat tanggung jawab dari kedua belah pihak. Perkawinan dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Interaksi sosial berasal dari bahasa Latin: Con atau Cum yang berarti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Interaksi sosial berasal dari bahasa Latin: Con atau Cum yang berarti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Interaksi Sosial Interaksi sosial berasal dari bahasa Latin: Con atau Cum yang berarti bersama-sama, dan tango berarti menyentuh, jadi pengertian secara harfiah adalah bersama-sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum, 1 dimana setiap perilaku dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum, 1 dimana setiap perilaku dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, 1 dimana setiap perilaku dan tindakan masyarakatnya diatur oleh hukum. Salah satu hukum di Indonesia yang telah lama berlaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang mensyari atkan pernikahan bagi umatnya. Menikah dalam Islam adalah salah satu sarana untuk menggapai separuh kesempurnaan dalam beragama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dulu mereka telah memiliki budaya. Budaya dalam hal ini memiliki arti bahwa

BAB I PENDAHULUAN. dulu mereka telah memiliki budaya. Budaya dalam hal ini memiliki arti bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suku Karo merupakan suku bangsa tersendiri dalam tubuh bangsa Indonesia. Suku Karo mempunyai bahasa tersendiri yaitu bahasa Karo. Suku Karo yang merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berada di sebelah timur pulau Sumbawa yang berbatasan langsung dengan NTT adalah

BAB I PENDAHULUAN. yang berada di sebelah timur pulau Sumbawa yang berbatasan langsung dengan NTT adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Bima Propinsi NTB adalah sebagian dari kesatuan NKRI, adalah sebuah daerah yang berada di sebelah timur pulau Sumbawa yang berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang yang merencanakan untuk berkeluarga biasanya telah memiliki impian-impian akan gambaran masa depan perkawinannya kelak bersama pasangannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rias, tata busana, pentas, setting, lighting, dan property. Elemen-elemen tari dapat

BAB I PENDAHULUAN. rias, tata busana, pentas, setting, lighting, dan property. Elemen-elemen tari dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seni tari merupakan ungkapan perasaan manusia yang dilahirkan melalui gerakgerak tubuh manusia. Maka dapat dilihat bahwa hakikat tari adalah gerak. Disamping gerak sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum waris merupakan salah satu dari bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. a. Kurangnya perhatian orang tau terhadap anak. yang bergaul secara bebas karena tidak ada yang melarang-larang mereka

BAB V PENUTUP. a. Kurangnya perhatian orang tau terhadap anak. yang bergaul secara bebas karena tidak ada yang melarang-larang mereka 67 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hasil penelitian tentang Faktor dan Dampak Maraknya Fenomena Hamil di Luar Nikah pada Masyarakat Desa wonokromo Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen ini menunjukan bahwa: 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

ÉÄx{M. Joeni Arianto Kurniawan, S. H.

ÉÄx{M. Joeni Arianto Kurniawan, S. H. ÉÄx{M Joeni Arianto Kurniawan, S. H. Perkawinan dlm Hukum Adat meliputi kepentingan dunia lahir dan dunia gaib HAZAIRIN: Perkawinan mrp rentetan perbuatanperbuatan magis, yg bertujuan utk menjamin ketenangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi perilaku anak yang semakin hilangnya nilai-nilai karakter bangsa. Hilangnya nilai-nilai karakter bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetapi praktekprakteknya pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu keturunan ditarik dari ayahnya. Dilihat dari marga yang dipakai oleh orang batak yang diambil dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Pencarian Jodoh Muli Mekhanai Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata Pemilihan mempunyai arti proses atau cara perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluarga dalam ikatan suatu perkawinan.ikatan perkawinan adalah ikatan lahir

BAB I PENDAHULUAN. keluarga dalam ikatan suatu perkawinan.ikatan perkawinan adalah ikatan lahir 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan kedunia manusia ditakdirkan untuk saling berpasang-pasangan agar hidup bersama untuk membentuk suatu keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perkawinan akan mengungkapkan bahwa banyak keputusan menyeluruh, pilihan-pilihan, atau alternatif sedang dipertimbangkan, dan bahwa semua itu membentuk atau menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup bermasyarakat, karena sebagai individu, manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tanda dari kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Yang berlandaskan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tanda dari kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Yang berlandaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, dan pula menciptakan manusia lengkap dengan pasangan hidupnya yang dapat saling memberikan kebahagiaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagian yang terkecil dan yang pertama kali digunakan manusia sebagai sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga inilah kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dalam kehidupannya manusia memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk bertahan

Lebih terperinci

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi

Lebih terperinci

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam perkawinan, sudah selayaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka biaya ekonomi semakin tinggi yang tidak diikuti lapangan kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. maka biaya ekonomi semakin tinggi yang tidak diikuti lapangan kerja yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah maka biaya ekonomi semakin tinggi yang tidak diikuti lapangan kerja yang memadai mendorong para pekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik semua kebudayaan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik semua kebudayaan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat merupakan organisme hidup karena masyarakat selalu mengalami pertumbuhan, saling mempengaruhi satu sama lain dan setiap sistem mempunyai fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Setiap suku biasanya memiliki tradisi yang menjadi keunikan tersendiri yang menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku bangsa

Lebih terperinci