PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN"

Transkripsi

1 Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2011 VOL. XI NO. 2, PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN Fatimah Ibda Dosen Tetap Pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Abstract This article discusses some approaches in understanding children s moral development. Moral development is one of common topics discussed in social development. The issues about children adaptation to the rules and moral values can be traced from three philosophical concepts, they are: first, the concept initiated by Augustine ( M) in which child is seen as someone who is full of sins. Children need to be punished by adults. Second, the concept of Locke (( ). Students are considered neutral morally or tabularasa. Exercises and experiences will determine whether they are good or bad. The last is Rousseau concept ( ). He has an idea that children are innately pure. Immoral behavior resulted from adults influences. Abstrak Artikel ini mencoba mendiskusikan beberapa pendekatan dalam memahami perkembangan moral pada anak. Perkembangan moral merupakan salah satu topik yang banyak dibahas dalam perkembangan sosial. Pembicaraan mengenai penyesuaian anak terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai moral dapat ditelusuri melalui tiga konsep filosofis yaitu pertama, konsep yang dikemukakan oleh Augustine ( M). Konsep ini memandang anak pada dasarnya penuh dosa. Anak membutuhkan perlakuan hukuman dari orang dewasa. Kedua; konsep yang dikemukakan oleh Locke ( ). Anak dipandang netral secara moral atau tabularasa. Latihan dan pengalaman akan menentukan apakah anak akan menjadi baik atau buruk. Dan terakhir, konsep yang dikemukakan Rousseau ( ). Menurut Rousseau anak memiliki pembawaan suci. Perilaku tidak bermoral sebagai hasil dari ubahan orang dewasa. Kata Kunci: moralitas, perkembangan moral, perilaku moral. PENDAHULUAN Dalam pandangan psikologi kontemporer ketiga konsep filosofis perkembangan moral tersebut di atas sejalan dengan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud. Pendekatan kedua muncul dalam pandangan teori belajar kognitif yang dikemukakan oleh Piaget dan Kohlberg, dan pendekatan ketiga muncul dalam pandangan teori belajar sosial yang dikembangkan oleh

2 Fatimah Ibda Damon. Ketiga pandangan ini akan di bahas secara mendalam dalam tulisan di bawah ini. Perkembangan Moral Dalam Pandangan Teori Psikoanalisis Menurut pandangan teori psikoanalisis perkembangan moral berakar dalam pemunculan super ego. 1 Freud menyatakan anak memiliki dorongan bawaan yaitu insting agresif dan seksual yang ada di dalam id. Orangtua menghalangi dorongandorongan ini untuk mensosialisasikan anak agar sesuai dengan norma-norma masyarakat. Permusuhan ini menyebabkan perlawanan anak terhadap orangtuanya, tetapi karena anak takut kehilangan cinta orangtuanya, anak menekan permusuhan dan memunculkan kerjasama yang oleh Freud disebut internalisasi. Proses internalisasi norma-norma orangtua menjadikan anak memiliki moral karena menghindari hukuman, kecemasan, dan kesalahan. Dengan mengambil evaluasi orangtua terhadap perilakunya, anak menginternalisasikan ke dalam dirinya norma-norma moral dari masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kesadaran adalah hasil dari identifikasi. Dengan proses identifikasi anak menuntut dirinya untuk sesuai (conform) dengan norma-norma tingkah laku yang memunculkan superego. Perilaku anak cenderung didasarkan pada hedonistik yang ditentukan oleh reward (hadiah) eksternal dan sangsi. Secara perlahan-lahan anak mulai menginternalisasi standarstandar moral dan larangan dalam cara yang sama dengan sifat orangtuanya. Anak merasa cemas dan menghukum dirinya bila ia melakukan sesuatu yang dia yakini orangtua akan menghukumnya. Internalisasi mengacu pada pengambilan norma-norma sosial melalui usaha dari pemberi sosialisasi awal yaitu orangtua. 2 Orangtua menyajikan panduan yang diinternalisasi sehingga anak berperilaku mengacu pada nilai-nilai meskipun ketika otoritas eksternal tidak ada di sisi anak. Pengendalian yang semula dilakukan oleh orangtua digantikan dengan pengendalian diri oleh anak sendiri. 1 Hoffman, M.L., Discipline and Internalization, Developmental Psychology.30, 26-28, Staub, E., Positive Social Behavior and Morality, Social and Personal Influences, New York: Academic Press Inc, Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari

3 PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN Konsep mengenai internalisasi sering digunakan untuk menunjuk pada adopsi anak terhadap norma-norma sosial dan menghasilkan kontrol yang evaluatif terhadap perilakunya. Proses internalisasi ini dilakukan oleh sebagian besar fungsi kognitif dan proses verbal. Perkembangan Moral dalam Pandangan Teori Kognitif Teori perkembangan kognitif memandang bahwa perkembangan moral tumbuh searah dengan perkembangan kognitif secara perlahan-lahan dan berkelanjutan tanpa banyak terjadi perubahan yang tiba-tiba. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Piaget dan Kohlberg yang menyatakan bahwa perkembangan moral pada anak cenderung berkembang melalui rangkaian urutan tingkatan tertentu, kemampuan untuk berkembang dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain tergantung pada hubungan perkembangan kognitif. 3 Piaget menyatakan bahwa ada keteraturan dan pola yang logis dalam perkembangan penalaran moral pada anak. Perkembangan ini didasarkan pada urutan perubahan berkaitan dengan pertumbuhan intelektual anak, khususnya tahap yang dicirikan dengan munculnya berpikir logis. Lebih lanjut Piaget menyatakan bahwa perkembangan moral sejajar dengan perkembangan kognitif, karena dengan perkembangan penalaran moral terjadi perubahan kualitatif pada kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi isu moral yang melalui caranya sendiri berupaya menentukan tingkah laku moral. Piaget memberikan dua tahap dari teori perkembangan moral. Pertama, moralitas heteronomi; muncul dari interaksi yang tidak seimbang antara anak dan orang dewasa. Selama masa pra sekolah dan awal tahun pertama sekolah, anak terbenam dalam lingkungan otoriter di mana mereka menempati posisi inferior dari orang dewasa. Anak mengembangkan konsep aturan moral yang absolut, tidak berubah, dan kaku. Pada tahap ini anak memandang aturan moral sebagai sesuatu yang telah ditetapkan dari luar individu karena adanya figur otoritas. Pada saat anak memasuki masa remaja muncul suatu tahap baru dalam perkembangan moral yang disebut dengan moralitas autonomi; muncul dari interaksi status yang seimbang dalam hubungan di antara teman sebaya. Melalui 3 Piaget, J., Moral Judgement of The Child, New York: Free Press, Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011

4 Fatimah Ibda hubungan dengan teman sebaya, anak memperoleh pengertian tentang keadilan, perhatian terhadap hak-hak orang lain, persamaan hak, dan hubungan manusia. Moralitas autonomi digambarkan sebagai moralitas atas dasar persamaan dan demokrasi yang oleh Piaget dinamakan dengan moralitas kerjasama. Ada empat dimensi yang membedakan antara tahap moralitas heteronomi dan autonomi. Dimensi-dimensi ini didefinisikan berkenaan dengan ketidakmatangan atau tahap heteronomi yaitu 1) moral absolut. Anak berasumsi di semua waktu dan tempat peraturan yang berlaku sama. Mereka memandang peraturan sebagai eksistensi dari diri mereka sendiri. 2) konsep tentang peraturan tidak dapat diubah. Anak meyakini bahwa peraturan adalah kaku dan tidak dapat diubah. 3) Keyakinan bahwa keadilan pasti ada. Anak berasumsi kemalangan yang terjadi pada dirinya diakibatkan kesalahan yang dilakukannya. Misalnya anak mencuri sesuatu tetapi gagal dan jatuh terluka maka dia berpikir hal itu terjadi akibat dia mencuri dan, terakhir mengevaluasi tanggung jawab yang berhubungan dengan sebab akibat. Anak menilai sebuah tindakan lebih didasarkan pada hasilnya daripada maksud pelaku. Keterbatan moral pada tahap heteronomi antara usia 7 sampai 11 tahun berhubungan erat dengan kemampuan berpikir pra operasional dan konkrit operasional di mana pada tahap pra operasional kemampuan berpikir anak masih bersifat subyektif sedang pada tahap konkrit operasional mulai berkembang kemampuan menerima dunia luar menurut adanya (objektif). Lebih lanjut Piaget mengidentifikasi dua faktor yang mendasari keterbatasan penalaran moral pada tahap heteronomi ini. Pertama, selama periode pra operasional anak lebih terpusat pada egosentris. Mereka tidak dapat mendesentralisasi pandangannya dan menerima dunia dari perspektif orang lain. Sedangkan setelah usia 11 tahun anak memasuki tahap operasional formal. Anak memandang moralitas lebih fleksibel, dan berorientasi sosial. Pada tahap ini anak sudah mampu mengembangkan kemampuan berpikir abstrak dan konseptualisasi. Kohlberg memperluas dan merevisi teori Piaget. Kohlberg mengemukakan tiga tingkatan perkembangan moral. Ketiga tingkatan itu mencerminkan tiga Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari

5 PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN orientasi sosial yang berbeda. Masing-masing tingkatan dibagi menjadi dua tahapan. 4 Urutan tahapan perkembangan penalaran moral tersebut adalah: Tingkatan Pra-Konvensional Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan. Konsekuensi fisik merupakan landasan penilaian dari baik-buruknya suatu tindakan. Anak patuh agar terhindar dari hukuman. Tahap 2. Orientasi relativitas instrumental. Anak mencoba memenuhi harapan sosial dengan selalu berbuat baik. Hal ini dilakukan hanya sebagai sarana untuk memperoleh reward (hadiah). Elemen timbal balik sudah mulai tampak tetapi hanya dipahami secara fisik dan pragmatis belum merupakan prinsip keadilan yang sesungguhnya. Tingkatan Konvensional Tahap 3. Orientasi masuk ke kelompok anak baik dan anak manis. Menjadi anak baik adalah hal yang paling dianggap penting. Individu belajar memutuskan bagaimana seharusnya bertindak dan mempertimbangkan perasaan orang lain supaya dirinya diterima. Individu berupaya untuk selalu berbuat baik dengan menjadi anak manis karena dia percaya bahwa hal yang benar adalah hidup sesuai dengan harapan orang lain yang dekat dengan dirinya. Tahap 4. Orientasi hukuman dan ketertiban. Pemenuhan kewajiban, rasa hormat terhadap otoritas merupakan hal penting yang harus dijalani. Hukum dan tata tertib bermasyarakat adalah sesuatu yang dijunjung tinggi dan memelihara ketertiban sosial yang sudah ada demi ketertiban itu sendiri. Maka individu selalu berusaha untuk mematuhi segala aturan agar dirinya diterima. Tingkatan Pasca-Konvensional Tahap 5. Orientasi kontrak sosial legalistik. Timbul kesadaran bahwa setiap orang tidak harus memiliki nilai-nilai dan pendapat yang sama. Nilai-nilai, aturan, norma hukum mempunyai arti yang relatif bagi masing-masing orang. Oleh karenanya hukum dapat diubah melalui cara yang demokratis. Hukum bukan sesuatu yang absolut dan kaku Kohlberg, L., The Psychology of Moral Development, San Fransisco: Harper and Row, Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011

6 Fatimah Ibda Tahap 6. Orientasi asas etika universal. Kebenaran dihayati sebagai hasil dari suara hati yang logis dan sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yaitu prinsip keadilan, pertukaran hak, keseimbangan, dan kesamaan hak asasi manusia serta penghormatan terhadap martabat manusia. Konformitas dilakukan bukan berdasar perintah tetapi karena hasrat dan dorongan dari dalam diri sendiri. Ketiga tahapan tersebut tidak didasarkan pada apa yang menjadi keputusan moral tetapi lebih pada penalaran yang digunakan untuk sampai pada keputusan yang dibuat. Tiap-tiap tahapan ini menggambarkan pola ciri yang berbeda dari hubungan antara diri (self) dan aturan-aturan masyarakat serta harapan. Perkembangan moral tiap individu ini mengikuti pola urutan yang tidak dapat dilompati sehingga bila terdapat perbedaan disebabkan masing-masing individu mempunyai kesempatan yang tidak sama dalam mencapai tahap tertentu. Tingkatan pra konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang kebanyakan dicapai oleh anak di bawah usia 9 tahun dan sebagian remaja dan para pelaku tindak kriminal baik remaja maupun orang dewasa. Pada tahap ini aturanaturan dan harapan lebih didasarkan pada luar diri individu atau eksternal. Tingkatan konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang kebanyakan telah dicapai oleh remaja dan orang dewasa. Pada tahap ini individu telah menginternalisasikan aturan-aturan dan harapan masyarakat. Tingkatan pasca konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang biasanya dicapai oleh orang dewasa awal yaitu setelah usia 20 tahun atau pada tahap remaja akhir. Pada tahap ini individu sudah membedakan antara diri mereka dan aturan-aturan serta harapan-harapan orang lain, lebih mendefinisikan nilainilai mereka secara rasional, dikenal dengan prinsip-prinsip pilihan diri. 5 Zanden mengemukakan bahwa orang dalam semua budaya memakai konsep moral dasar yang sama dengan memasukkan keadilan, persamaan, cinta, kehormatan, dan hak. 6 Semua individu dalam semua budaya melalui tahapan dan urutan penalaran moral yang sama dengan konsep perkembangan moral tersebut di atas. Demikian juga pendapat Colby dan Kohlberg bahwa aturan yang menata perkembangan tahapan tersebut sama untuk setiap individu, hal ini bukan 5 Kohlberg, L., The Psychology of..., hal Zanden, J.W.V., Human Development, Third Edition, New York: Alfred A. Knopf, 1985 Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari

7 PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN disebabkan karena tahapan-tahapan tersebut dari pembawaan lahir melainkan karena adanya logika yang melandasi urutan perkembangan tahapan itu. 7 Perbedaannya hanya dalam bagaimana cepatnya mereka berpindah dari satu tahapan ke tahapan berikutnya dan seberapa jauh mereka berkembang selama tahapan itu. Dari sudut pandang kedua ahli ini tampaknya moral bukanlah persoalan pikiran atau pendapat tetapi lebih pada moralitas yang universal. Perkembangan Moral dalam Pandangan Teori Belajar Sosial Teori belajar sosial menekankan pada besarnya pengaruh lingkungan sosial dalam mengajarkan anak berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Salah satu pandangan dalam teori ini dikemukakan oleh Damon. Damon mengidentifikasi perkembangan moral anak dari cara anak memberikan alasan tentang keadilan. Dengan mengajukan dilema-dilema moral pada anak usia 4 (empat) sampai 9 (sembilan) tahun. Kepada anak diberikan pertanyaan bagaimana mereka membagi sesuatu diantara sesamanya. 8 Dari jawaban anak tersebut Damon memberikan tingkat perkembangan moral sebagai berikut: Tingkatan 1. Anak menyatakan pilihan mereka dan tidak berusaha membagi secara adil diantara sesamanya. Contoh anak mengatakan harus mendapatkan es krim yang lebih banyak dari kakaknya karena dia menyukai es krim dan dia memang ingin lebih banyak. Tingkatan 2. Anak membenarkan pilihannya lebih didasarkan pada lingkungan eksternal. Sifat-sifat yang dapat diamati seperti ukuran, usia, atau sejumlah karakteristik lain. Contoh anak mengatakan harus memperoleh es krim lebih banyak karena dia lebih besar atau karena berlari lebih cepat. Tingkatan 3. Anak mengembangkan pikiran bahwa keadilan adalah penyamaan secara tegas. Misalnya setiap orang harus memperoleh bagian yang sama. Tingkatan 4. Anak mulai mengembangkan pikiran tentang kebaikan. Misalnya orang bekerja keras, pintar atau melakukan tindakan terpuji harus diberi hadiah karena mereka memang berhak mendapatkannya. 7 Kurtines, W.L. and Gewirtz, J.L., Morality, Moral Behavior and Moral Development, New York: John Wiley and Sons Inc, Zanden J.W.V, Human, hal Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011

8 Fatimah Ibda Tingkatan 5. Anak memperoleh pengertian relatifitas moral. Mereka sudah dapat menerima bahwa orang memang dapat berbeda. Tingkatan 6. Anak berusaha menyeimbangkan tuntutan-tuntutan konflik didasarkan dari pandangan persamaan; setiap orang harus menerima dalam jumlah yang sama suatu hadiah, dan keadilan; hadiah harus dibagikan secara proposional diantara individu sesuai dengan kebutuhannya. Anak-anak jarang menggunakan satu tipe penalaran moral secara eksklusif, tetapi mereka cenderung menggunakan tingkat penalaran moral yang lebih tinggi dengan frekuensi yang lebih besar ketika mereka lebih tua. Inkonsistensi antara Penalaran Moral dengan Perilaku Moral Perilaku moral adalah perilaku sehari-hari yang diterima sebagai benar dan salah. Menurut Coles perilaku moral diungkapkan dalam tindakan; bagaimana orang harus berperilaku dan bersikap terhadap orang lain. 9 Tingkat kematangan penalaran moral belum mampu memprediksi bagaimana seseorang akan bereaksi dalam keadaan yang sebenarnya ketika dihadapkan dalam situasi pada perilaku yang diharapkan atau tidak diharapkan secara moral. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang konsisten antara penalaran moral dengan perilaku moral misalnya perilaku menyontek. 10 Dalam penelitian lain anak diberi tugas membuat gelang lalu mereka di wawancara secara individual bagaimana cara yang paling adil membagi gelang tersebut diantara sesamanya, sebagian besar anak mengatakan semua gelang harus dibagi secara adil karena mereka telah bekerja keras, namun ketika mereka membagikannya cenderung didasarkan pada kepentingan pribadi. Dalam penelitian lebih lanjut ditemukan juga bahwa anak yang mencapai tahapan tiga pada perkembangan moral Kohlberg yaitu orientasi anak baik di mana anak berupaya untuk selalu berbuat baik sesuai dengan harapan orang lain terutama orangtuanya, namun ketika adiknya merusak mainan favoritnysa, dia akan memukulnya meskipun orangtua mencela perilakunya. 9 Coles, R., Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak. Alih bahasa: T.Hermaya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hetherington, E.M. and R.D. Parke., Child Psychology: A Contemporary Viewpoint, Toronto: McGraw-Hill Inc, Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari

9 PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN Pengetahuan tentang penalaran moral saja tidak cukup untuk memahami mengapa orang menunjukkan perilaku berbeda dalam situasi moral yang berbedabeda. Ada sejumlah faktor yang berhubungan dengan perilaku moral. Misalnya motivasi, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, dan hasil yang diperoleh dari pelanggaran moral. Penelitian yang dilakukan oleh Hartshorne dan Feldman menemukan bahwa mahasiswa belajar menyontek dalam tiga kali ujian, 59 persen mahasiswa menyontek dalam satu dari tiga ujian. 64 persen menyontek dalam dua dari tiga ujian, dan 22 persen menyontek dalam ketiga ujian tersebut. 11 Berbeda dengan Hurlock yang menyatakan bahwa perilaku moral pada akhir masa kanak-kanak lebih disebabkan oleh ketidaktahuan akan apa yang diharapkan padanya atau karena salah mengerti peraturan. Beberapa pelanggaran yang dilakukan anak adalah usaha untuk menguji tokoh otoriter dan untuk memaksakan kemandiriannya. Namun sebagian besar pelanggaran yang dilakukan anak merupakan akibat dari keikutsertaannya dalam perbuatan kelompok yang salah. Diantara pelanggaran perilaku moral pada akhir masa kanak-kanak yang umum terjadi di sekolah antara lain: mencuri, menipu, berbohong, menggunakan kata-kata kasar dan kotor, merusak milik sekolah, membolos, mengganggu anak lain dengan mengejek, menggertak, menciptakan gangguan, membaca komik atau mengunyah permen, berbisik-bisik, melucu, membuat gaduh di kelas, berkelahi dengan teman sekelas, dan minum obat-obatan terlarang. Sedangkan pelanggaran di rumah yang umum terjadi pada akhir masa kanak-kanak di antaranya: berkelahi, mencuri dan merusak barang milik saudara, bersikap kasar kepada saudara yang lebih dewasa, malas melakukan kegiatan rutin, melalaikan tanggung jawab, berbohong, dan tidak jujur. 12 Disamping itu, ada enam bahaya moral yang umumnya dikaitkan dengan perkembangan sikap dan perilaku moral pada akhir masa kanak-kanak yaitu: pertama, perkembangan kode moral berdasarkan konsep teman-teman atau berdasarkan konsep media massa tentang benar dan salah yang tidak sama dengan kode moral orang dewasa; kedua, tidak berhasil mengembangkan suara hati sebagai pengawas dalam terhadap perilaku; ketiga, disiplin yang tidak konsisten 11 Stewart, A.C. and J.B. Koch., Children Development Through Adolescence, New York: John Wiley and Sons, Hurlock, E.B., Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga, Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011

10 Fatimah Ibda membuat anak tidak yakin akan apa yang sebaiknya dilakukan; keempat, hukuman fisik merupakan contoh agresivitas anak; kelima, menganggap dukungan temanteman terhadap perilaku yang salah begitu memuaskan sehingga perilaku tersebut menjadi kebiasaan; dan keenam, tidak sabar terhadap perbuatan orang lain yang salah. SIMPULAN Ada beberapa emosi moral negatif yang dapat dimasukkan ke dalam budaya untuk mengatasi krisis moral pada anak seperti rasa malu dan rasa bersalah. Malu yang didefinisikan sebagai salah satu bentuk rasa rendah diri ekstrem yang terjadi ketika anak-anak merasa gagal memenuhi harapan orang lain dalam bertindak. Rasa malu juga didefinisikan sebagai reaksi emosi yang tidak menyenangkan, timbul pada diri seseorang sebagai akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Rasa malu hanya bergantung pada sanksi eksternal, walaupun mungkin disertai rasa bersalah. Rasa malu disetujui sebagai cara yang tepat untuk menghukum orang yang berperilaku antisosial. Ekspresi dari perasaan-perasaan negatif ini khususnya rasa malu dan rasa bersalah setelah melakukan pelanggaran moral ditunjukkan dari rasa takut yang terekspresikan karena konsekuensi eksternal. Disisi lain rasa bersalah terjadi bila anak gagal memenuhi standar perilaku yang diterapkannya sendiri. Hal ini terjadi karena setiap pengalaman yang melibatkan emosi ekstrem akan memberikan efek langsung yang lebih nyata pada perilaku anak sekaligus efek jangka panjang pada perkembangan kepribadian. Rasa bersalah juga dikatakan lebih berdaya guna dan lebih membekas sebagai pemotivasi moral. Rasa bersalah sebagai evaluasi diri khusus yang negatif terjadi bila individu mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakan wajib untuk dipenuhi. Anak yang merasa bersalah pada tindakan yang dilakukannya telah mengakui pada dirinya bahwa perilakunya jauh di bawah standar yang ditetapkannya sendiri. Rasa bersalah bergantung pada sanksi internal dan eksternal. Rasa bersalah merupakan salah satu mekanisme psikologis yang paling penting dalam proses sosialisasi. Apabila anak tidak merasa bersalah, anak tidak Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari

11 PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN akan merasa terdorong untuk belajar sesuai yang diharapkan kelompok sosialnya atau untuk menyesuaikan perilakunya dengan harapan masyarakatnya. Perkembangan moral juga dipengaruhi oleh cara-cara dan nilai-nilai dalam membesarkan anak. Nilai-nilai ini sangat ditentukan oleh budaya suatu bangsa atau suku. Budaya dikatakan dapat mengkomunikasikan standar etika dan pembentukan serta penguatan kebiasaan perilaku yang baik pada pertumbuhan anak. Anak diharapkan belajar aturan-aturan, mengalami ketidakenakan emosi ketika melanggar aturan-aturan moral serta merasakan kepuasan ketika mematuhinya. Aspek lain yang dapat dikembangkan untuk menanamkan perilaku moral pada anak adalah melalui penerapan disiplin. Disiplin merupakan suatu cara untuk mengajarkan anak berperilaku moral yang sesuai dengan harapan sosial. Tujuan dari semua bentuk disiplin ini adalah untuk membentuk perilaku sehingga perilaku tersebut sesuai dengan budaya dimana seseorang individu itu hidup. Dan yang terpenting perilaku moral yang sesungguhnya tidak hanya sesuai dengan standar sosial tetapi harus dilakukan dengan tulus didasarkan pada dorongan hati nurani. Perilaku moral pada anak harus dikembangkan untuk memiliki keinginan melakukan suatu perbuatan yang baik dan menjauhkan perbuatan yang buruk. Seiring dengan perkembangannya anak juga harus diberikan pemahaman mengapa hal ini dikatakan benar dan hal itu dikatakan salah Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011

12 Fatimah Ibda DAFTAR PUSTAKA Coles, R., Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak. Alih bahasa: T.Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hetherington, E.M. and R.D. Parke., Child Psychology: A Contemporary Viewpoint. Toronto: McGraw-Hill Inc, Hoffman, M.L., Discipline and Internalization, Developmental Psychology.30, 26-28, Hurlock, E.B., Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga, Kohlberg, L., The Psychology of Moral Development, San Fransisco: Harper and Row, Kurtines, W.L. and Gewirtz, J.L., Morality, Moral Behavior and Moral Development, New York: John Wiley and Sons Inc, Piaget, J., Moral Judgement of The Child, New York: Free Press, Staub, E., Positive Social Behavior and Morality, Social and Personal Influences, New York: Academic Press Inc, Stewart, A.C. and J.B. Koch., Children Development Through Adolescence, New York: John Wiley and Sons, Zanden, J.W.V., Human Development, Third Edition. New York: Alfred A. Knopf, Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II PERKEMBANGAN MORAL PADA REMAJA oleh: Triana Noor Edwina D.S, M.Si Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Lebih terperinci

SELAMAT MEMBACA, MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI MATERI ELEARNING RENTANG PERKEMBANGAN MANUSIA I

SELAMAT MEMBACA, MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI MATERI ELEARNING RENTANG PERKEMBANGAN MANUSIA I SELAMAT MEMBACA, MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI MATERI ELEARNING RENTANG PERKEMBANGAN MANUSIA I PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA ANAK oleh: Triana Noor Edwina D.S Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada rentang usia remaja, yaitu berkisar antara 12-15 tahun (Lytha, 2009:16). Hurlock (1980:10) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Remaja 2.1.1. Pengertian Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescare (kata menjadi dewasa (Hurlock, 1999). Remaja adalah suatu masa yang dianggap

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA

PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA Menurut Santrock (1999), moral development adalah tahap perkembangan yang menekankan pada aturan dan nilai-nilai tentang apa yang harus dilakukan oleh individu pada

Lebih terperinci

MEMAHAMI PERKEMBANGAN NILAI MORAL KEAGAMAAN PADA ANAK

MEMAHAMI PERKEMBANGAN NILAI MORAL KEAGAMAAN PADA ANAK Artikel MEMAHAMI PERKEMBANGAN NILAI MORAL KEAGAMAAN PADA ANAK Oleh: Drs. Mardiya Masalah moral dan agama merupakan salah satu aspek penting yang perlu di tumbuh kembangkan dalam diri anak. Berhasil tidaknya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya seseorang menjadi mahasiswa pada kisaran usia tahun. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. biasanya seseorang menjadi mahasiswa pada kisaran usia tahun. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang mahasiswa dapat digolongkan kedalam kategori remaja, karena biasanya seseorang menjadi mahasiswa pada kisaran usia 18 23 tahun. Menurut Santrock, pada

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MORAL: TEORI PIAGET & KOHLBERG

PERKEMBANGAN MORAL: TEORI PIAGET & KOHLBERG PERKEMBANGAN MORAL: TEORI PIAGET & KOHLBERG TENTANG MORAL Moral berasal dari kata Latin mores yang berarti: Tata cara, kebiasaan dan adat. Perilaku moral berarti perilaku yg sesuai dengan kode moral kelompok

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN AFEKTIF

PERKEMBANGAN AFEKTIF PERKEMBANGAN AFEKTIF PTIK PENGERTIAN AFEKTIF Afektif menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta, mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dewasa dalam berbagai hal, termasuk dalam urusan seks. Bandung sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dewasa dalam berbagai hal, termasuk dalam urusan seks. Bandung sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Bandung merupakan salah satu kota yang menjadi daya tarik para pelajar untuk menempuh pendidikan perguruan tinggi, hal ini di dukung juga oleh banyaknya

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan dengan persoalan-persoalan yang

BABI PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan dengan persoalan-persoalan yang 1 BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Be1akang Masalah Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan dengan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan penurunan moralitas masyarakat, terutama di kalangan remaja. Sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. remaja yang berkisar antara tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. remaja yang berkisar antara tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia sekolah Menengah pertama pada umumnya berada pada rentang usia remaja yang berkisar antara 12-15 tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan bahwa secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia 4-6 tahun merupakan waktu paling efektif dalam kehidupan manusia untuk mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia merupakan individu ciptaan Tuhan Yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia merupakan individu ciptaan Tuhan Yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan individu ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki potensi diri serta perilaku yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan

Lebih terperinci

JIPP. Optimalisasi Emosi Sebagai Sistem Peringatan Dini Moral. Subhan El Hafiz a Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA a

JIPP. Optimalisasi Emosi Sebagai Sistem Peringatan Dini Moral. Subhan El Hafiz a Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA a Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi: Kajian Empiris & Non-Empiris Vol. 1, No. 1, 2015. Hal. 9-16 JIPP Optimalisasi Emosi Sebagai Sistem Peringatan Dini Moral Subhan El Hafiz a Universitas Muhammadiyah Prof.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung

Lebih terperinci

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SMP

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SMP TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SMP Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SMP A. Pengertian

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan investasi yang berharga bagi peradaban umat manusia, pada saat yang bersamaan pendidikan dan penalaran moral juga merupakan pilar yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa-masa peralihan dari masa kanak-kanak. menuju masa dewasa. Pada masa-masa remaja ini umumnya timbul

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa-masa peralihan dari masa kanak-kanak. menuju masa dewasa. Pada masa-masa remaja ini umumnya timbul 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa-masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa-masa remaja ini umumnya timbul permasalahan-permasalahan, seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal di Indonesia merupakan rangkaian jenjang pendidikan yang wajib dilakukan oleh seluruh warga Negara Indonesia, di mulai dari Sekolah Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebut dengan tata tertib. Siswa dituntut untuk menaati tata tertib sekolah di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebut dengan tata tertib. Siswa dituntut untuk menaati tata tertib sekolah di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah adalah sebagai lembaga pendidikan mempunyai kebijakan tertentu yang dituangkan dalam bentuk aturan. Salah satunya adalah aturan sekolah yang disebut

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP

PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP MAKALAH PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP Disusun Sebagai Syarat Pelaksanaan Presentasi Kelompok Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik Disusun oleh: YULI ARDIKA P. DESTYANA KHAIRUNISA WINDA FITRIFITANOVA

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MASA REMAJA (ADOLESENCE) PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir logis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Asertif 1. Pengertian Asertif menurut Corey (2007) adalah ekspresi langsung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa

Lebih terperinci

PERAN ORANG TUA DALAM PERKEMBANGAN MORAL ANAK (KAJIAN TEORI KOHLBERG)

PERAN ORANG TUA DALAM PERKEMBANGAN MORAL ANAK (KAJIAN TEORI KOHLBERG) A.13 PERAN ORANG TUA DALAM PERKEMBANGAN MORAL ANAK (KAJIAN TEORI KOHLBERG) Retno Dwiyanti Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto rianejadku@yahoo.com Abstraksi.Tujuan penulisan artikel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai pancasila sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. 1 BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. Dimulai dari masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan masa tua. Pada setiap masa pertumbuhan manusia

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam mengembangkan kemampuan anak secara optimal. Kemampuan yang harus dikembangkan bukan

Lebih terperinci

Perkembangan Moral. Oleh : Farida Harahap Tim Nanang Erma Gunawan, S.Pd.

Perkembangan Moral. Oleh : Farida Harahap Tim Nanang Erma Gunawan, S.Pd. Perkembangan Moral Oleh : Farida Harahap Tim Nanang Erma Gunawan, S.Pd. PERKEMBANGAN MORAL Moral = mores : Tata cara, adat istiadat, kebiasaan. Bayi yang baru lahir dikatakan belum memiliki moral karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

MOTIVASI DALAM BELAJAR. Saifuddin Azwar

MOTIVASI DALAM BELAJAR. Saifuddin Azwar MOTIVASI DALAM BELAJAR Saifuddin Azwar Dalam dunia pendidikan, masalah motivasi selalu menjadi hal yang menarik perhatian. Hal ini dikarenakan motivasi dipandang sebagai salah satu faktor yang sangat dominan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang paling sulit dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label masa remaja sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan cara berpikir dan penalaran yang kuat. Pendeta adalah individu

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan cara berpikir dan penalaran yang kuat. Pendeta adalah individu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendeta merupakan sebuah profesi. Walaupun banyak orang memandang sebelah mata profesi ini, namun segala sesuatu tentang profesi ini sebenarnya membutuhkan

Lebih terperinci

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PENALARAN MORAL PADA REMAJA USIA TAHUN DALAM MELAKUKAN PERILAKU MENYONTEK DI SMA NEGERI X JAKARTA ARFIANTY ANDARYANI

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PENALARAN MORAL PADA REMAJA USIA TAHUN DALAM MELAKUKAN PERILAKU MENYONTEK DI SMA NEGERI X JAKARTA ARFIANTY ANDARYANI STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PENALARAN MORAL PADA REMAJA USIA 16-18 TAHUN DALAM MELAKUKAN PERILAKU MENYONTEK DI SMA NEGERI X JAKARTA ARFIANTY ANDARYANI ABSTRAK ARFIANTY ANDARYANI. Studi Deskriptif Mengenai

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan

Bab 2. Landasan Teori. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Penokohan Penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan budaya dan karakter bangsa merupakan isu yang mengemuka di

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan budaya dan karakter bangsa merupakan isu yang mengemuka di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan budaya dan karakter bangsa merupakan isu yang mengemuka di masyarakat saat ini. Korupsi, tindakan asusila, kekerasan, perkelahian massa, pelanggaran

Lebih terperinci

Memahami Karakteristik Akhir Masa Kanak-kanak < Usia Kelas VI SD dan Kelas I SMP >

Memahami Karakteristik Akhir Masa Kanak-kanak < Usia Kelas VI SD dan Kelas I SMP > Memahami Karakteristik Akhir Masa Kanak-kanak < Usia Kelas VI SD dan Kelas I SMP > Oleh: MIF Baihaqi Bahan Ceramah pada Orangtua Siswa di Babussalam Kamis, 23 Nopember 2006 Pukul 09.00 selesai A. Ciri

Lebih terperinci

C.07 ANALISIS PERMASALAHAN PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER ANAK PRA-SEKOLAH (Studi di TK Al Ghoniyyah Malang)

C.07 ANALISIS PERMASALAHAN PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER ANAK PRA-SEKOLAH (Studi di TK Al Ghoniyyah Malang) C.07 ANALISIS PERMASALAHAN PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER ANAK PRA-SEKOLAH (Studi di TK Al Ghoniyyah Malang) Ni matuzahroh Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang nimatuzahroh7@gmail.com Abstraksi.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL & PROSES ADAPTASI REMAJA. Asmika Madjri

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL & PROSES ADAPTASI REMAJA. Asmika Madjri PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL & PROSES ADAPTASI REMAJA Asmika Madjri PENGERTIAN PERKEMBANGAN PERKEMBANGAN- Proses terus menerus- kedepan- tidak dapat diulang- serangkaian perubahan dalam susunan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

Masa Kanak-Kanak Akhir. Siti Rohmah Nurhayati

Masa Kanak-Kanak Akhir. Siti Rohmah Nurhayati Masa Kanak-Kanak Akhir Siti Rohmah Nurhayati MASA KANAK-KANAK AKHIR Masa kanak-kanak akhir sering disebut sebagai masa usia sekolah atau masa sekolah dasar. Masa ini dialami anak pada usia 6 tahun sampai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HUBUNGAN ANTAR VARIABEL-VARIABEL PENELITIAN

BAB IV ANALISA HUBUNGAN ANTAR VARIABEL-VARIABEL PENELITIAN 59 BAB IV ANALISA HUBUNGAN ANTAR VARIABEL-VARIABEL PENELITIAN Dalam bab ini, peneliti menjelaskan hubungan antara variabel-variabel penelitian ini, dimana yang utama adalah hubungan antara sosialisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pendidikan saat ini mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik dituntut untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moral dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Nilai-nilai moral sangat diperlukan bagi manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya setiap manusia diciptakan berbeda, maka perbedaan dalam pendapat, persepsi, dan tujuan menjadi sebuah keniscayaan. Kemampuan menerima dan menghargai

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia 1 B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia akan mengalami serangkaian tahap perkembangan di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia adalah tahap remaja. Tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk mampu mengatasi segala masalah yang timbul sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan sosial dan harus mampu menampilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi mendefinisikan perkembangan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan terbatas dalam belajar (limitless caoacity to learn ) yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan terbatas dalam belajar (limitless caoacity to learn ) yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Hakikat pendidikan anak usia dini, secara alamiah, perkembangan anak berbeda-beda, baik intelegensi, bakat, minat, kreativitas, kematang emosi, kepribadian,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN PERKEMBANGAN MORAL PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA (UMS)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN PERKEMBANGAN MORAL PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA (UMS) HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN PERKEMBANGAN MORAL PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA (UMS) Naskah Publikasi Oleh : RAHMAD SETYAWAN F 100 070 035 FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kelak akan menjadi penerus pembangunan bangsa. Peranan pendidikan. membangun ditentukan oleh maju tidaknya pendidikan.

I. PENDAHULUAN. kelak akan menjadi penerus pembangunan bangsa. Peranan pendidikan. membangun ditentukan oleh maju tidaknya pendidikan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha pembinaan dan pengembangan generasi muda terus ditingkatkan sejalan dengan proses pembangunan nasional yang terus berlangsung baik didalam pendidikan formal sekolah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan, kecerdasan dan keterampilan manusia lebih terasah dan teruji dalam menghadapi dinamika kehidupan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Cinta dan seksual merupakan salah satu permasalahan yang terpenting yang dialami oleh remaja saat ini. Perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis yang mengalami

Lebih terperinci

LANDASAN PSIKOLOGI. Imam Gunawan

LANDASAN PSIKOLOGI. Imam Gunawan LANDASAN PSIKOLOGI Imam Gunawan PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Pendekatan tentang perkembangan manusia menurut Sukmadinata (2008) ialah: 1. Pendekatan pentahapan: perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian. secara mendalam peneliti membahas mengenai self blaming pada

BAB VI PENUTUP. diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian. secara mendalam peneliti membahas mengenai self blaming pada 144 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian secara mendalam peneliti membahas mengenai self

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kedisiplinan pada anak usia prasekolah 1. Pengertian Disiplin merupakan cara orang tua mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang dapat diterima kelompok. Tujuan utamanya

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan tersebut menjungjung tinggi moralitas berdasarkan norma-norma

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan tersebut menjungjung tinggi moralitas berdasarkan norma-norma 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terkenal dengan masyarakatnya yang ramah. Kebudayaan Indonesia seringkali disebut sebagai bagian dari budaya timur, dimana kebudayaan tersebut menjungjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

PSIKOLOGI REMAJA. Sumber buku : Psikologi Remaja karangan Prof. Dr. Sarlito WS. Oleh : Saktiyono B. Purwoko, S.Psi

PSIKOLOGI REMAJA. Sumber buku : Psikologi Remaja karangan Prof. Dr. Sarlito WS. Oleh : Saktiyono B. Purwoko, S.Psi PSIKOLOGI REMAJA Sumber buku : Psikologi Remaja karangan Prof. Dr. Sarlito WS Oleh : Saktiyono B. Purwoko, S.Psi Masa yang paling indah adalah masa remaja. Masa yang paling menyedihkan adalah masa remaja.

Lebih terperinci

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Penelitian Sekolah merupakan salah satu lembaga sosial yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan pendidikan di dalam masyarakat. Sekolah sebagai organisasi

Lebih terperinci

POLA ASUH ORANG TUA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN

POLA ASUH ORANG TUA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN POLA ASUH ORANG TUA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN Dewi Sartika Panjaitan*, Wardiyah Daulay** *Mahasiswa Fakultas Keperawatan **Dosen Departemen Keperawatan Jiwa dan Komunitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritis 1. Tinjauan Pola Asuh Orang Tua a. Pengertian Orang Tua Orang tua didalam kehidupan keluarga mempunyai posisi sebagai kepala keluarga atau pemimpin rumah tangga,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERSONAL DAN SOSIAL FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN SOSIAL PERKEMBANGAN PERASAAN DAN EMOSI PERKEMBANGAN MORAL

PERKEMBANGAN PERSONAL DAN SOSIAL FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN SOSIAL PERKEMBANGAN PERASAAN DAN EMOSI PERKEMBANGAN MORAL Disusun oleh: PERKEMBANGAN PERSONAL DAN SOSIAL FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN SOSIAL PERKEMBANGAN PERASAAN DAN EMOSI PERKEMBANGAN MORAL No Tahap Perkembangan 1. Kepercayaan vs ketidakpercayaan TAHAP

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti

BAB II LANDASAN TEORI. Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti BAB II LANDASAN TEORI A. Penalaran Moral 1. Moral Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Daradjad (1983) mengemukakan bahwa moral adalah kelakuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan.

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kenakalan remaja bukan merupakan permasalahan baru yang muncul kepermukaan, akan tetapi masalah ini sudah ada sejak lama. Banyak cara, mulai dari tindakan prefentif,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan atau instansi pemerintah. Disiplin kerja digunakan untuk dapat meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan atau instansi pemerintah. Disiplin kerja digunakan untuk dapat meningkatkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Disiplin Disiplin kerja sangatlah penting dalam mempengaruhi perkembangan diri suatu perusahaan atau instansi pemerintah. Disiplin kerja digunakan untuk dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI Titing Rohayati 1 ABSTRAK Kemampuan berperilaku sosial perlu dididik sejak anak masih kecil. Terhambatnya perkembangan sosial anak sejak kecil akan menimbulkan

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI 1 PULAU PUNJUNG KABUPATEN DHARMASRAYA

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI 1 PULAU PUNJUNG KABUPATEN DHARMASRAYA 1 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI 1 PULAU PUNJUNG KABUPATEN DHARMASRAYA Angelia 1, Suheni 2, Mori Dianto 2 1 Mahasiswa Prodi Bimbingan dan Konseling STKIP PGRI Sumatra

Lebih terperinci

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : YUNITA AYU ARDHANI F 100 060

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini di Indonesia terjadi beberapa permasalahan dalam berbagai bidang. Beberapa kasus terjadi di bidang hukum, politik dan tata pemerintahan. Dalam ranah

Lebih terperinci

KENAKALAN REMAJA : PENYEBAB & SOLUSINYA. Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd

KENAKALAN REMAJA : PENYEBAB & SOLUSINYA. Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd KENAKALAN REMAJA : PENYEBAB & SOLUSINYA Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd A. PENDAHULUAN Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani prosesproses perkembangan jiwanya,

Lebih terperinci

Ciri akhir masa kanak-kanak

Ciri akhir masa kanak-kanak Berlangsung dari usia 6 th matang scr seksual Awal dan akhir dari akhir masa kanak-kanak ditandai dg kondisi yg sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi & sosial Permulaan dari akhir masa kanak-kanak ditandai

Lebih terperinci

POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH. Abstrak

POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH. Abstrak POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH Abstrak Kontrol belajar pada implementasi pendidikan praktis di rumah, terutama untuk anak usia dini dan usia sekolah seyogiyanya ada di bawah kendali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Disiplin merupakan kesadaran diri yang muncul dari batin terdalam untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum yang berlaku dalam

Lebih terperinci

BAB IV PARADIGMA PERKEMBANGAN MORAL

BAB IV PARADIGMA PERKEMBANGAN MORAL BAB IV PARADIGMA PERKEMBANGAN MORAL Kata paradigma secara etimologis diartikan sebagai pola, model, kerangka. Meminjam Thomas S. Kuhn (1989:187), paradigma merupakan keseluruhan konstelasi kepercayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan begitu banyak perguruan tinggi seperti

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PENGEMBANGAN ASPEK EMOSI DALAM PROSES PEMBELAJARAN ANAK

MENINGKATKAN PENGEMBANGAN ASPEK EMOSI DALAM PROSES PEMBELAJARAN ANAK MENINGKATKAN PENGEMBANGAN ASPEK EMOSI DALAM PROSES PEMBELAJARAN ANAK Makalah Disusun Dalam Acara Seminar Nasional Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP UNY Pada hari Sabtu Tanggal 03 Maret 2007 di Aula Registrasi

Lebih terperinci