PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945"

Transkripsi

1 Volume 04 Januari - April 2012 OPINIO JURIS PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945 Dr. Harjono, SH., MCL Pendahuluan Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu negara oleh karenanya pembuatan perjanjian internsional yang merupakan salah satu dari aktivitas penyelenggaran negara sudah seharusnya didasarkan atas ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai fondasi dalam penyusunan sistem hukum negara, oleh karena itu pembuatan perjanjian international juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi. Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik di antara pakar hukum maupun praktisi penyelenggara pemerinrtahan negara mengenai dasar-dasar konstitusional yang mengatur pembuatan perjanjian internasional. Perbedaan yang menyebabkan pandangan yang beragam tersebut mempunyai implikasi baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar pengaturan tentang perjanjian internasional. Uraian di bawah ini mencoba untuk menemukan dasar-dasar pengaturan konstitusional pembuatan perjanjian international menurut UUD 1945 dalam suatu kesisteman. Charles Sampford melihat bahwa ada pandangan yang umum mengenai sistem dan ciri atau karakteristik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam sistem terdapat; There are wholes, they have elements and those elementshave relations which form structure. Lebih lanjut dinyatakan; Sourse based system have legal rules or norms for elements. These are related by relations of authority or validity to higher rules. These relations 1 are classically formed into a pyramidal and hierrarical structure with one ultimate rule, basic norm or legal science fiat at the top. The wholeness factor is provided by the structure itself and by its function of providing the authoritative basis for all law in community 1. Dengan berdasar pada pengertian sistem sebagimana di atas uraian di bawah ini akan meninjau perjanjian internasioanal dalam sistem UUD Dasar Hukum Dasar hukum perjanjian international dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Pasal 11 UUD 1945 tersebut satu-satunya pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan di dalamnya adanya kata perjanjian internasional. Oleh karena itu perlu dikaji lebih 1 Charles Sampford The Disorder of Law, a Critique of Legal Theory, Basil Blackwell 1989, h. 16 8

2 OPINIO JURIS Volume 04 Januari - April 2012 dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal perjanjian internasional. Pasal 11 UUD 1945 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam susbstansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD Bab III UUD 1945 ini mengalami perubahan yang sangat signifikan dibandingkan dengan Bab III UUD 1945 sebelum perubahan. Di samping perubahan isi pasalpasal, perubahan UUD 1945 juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu; Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C. Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, dan setelah perubahan UUD 1945, ketentuan yang terdapat dalam pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD 1945 setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan; Presiden memegang kekuasaan membentuk undangundang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi; Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan berbunyi; Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pembuatan UU dari tangan Presiden ke DPR. Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD Sebelum perubahan UUD 1945, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi; kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD 1945), kekuasaan membentuk UU (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan), kekuasaan sebagai kepala negara. Setelah perubahan UUD 1945, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya meliputi dua kekuasaan saja yaitu: kekuasaan eksekutif kekuasaan sebagai kepala negara. Bab III UUD 1945 megandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 di mana di dalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut, UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili negara dalam melakukan hubungan dengan negara lain. Pasal 11 UUD 1945 memang tidak dimaksudkan untuk menentukan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional tetapi semata-mata menetapkan bahwa Presidenlah, dan bukan lembaga negara yang lain, yang mewakili negara Indonesia untuk melakukan hubungan dengan negara lain. Bentuk hukum Sebuah perjanjian internasional pada hakekatnya adalah merupakan penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam 9

3 Volume 04 Januari - April 2012 hal ini antar negara yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, dalam sebuah perjanjian internasional terceminkan kehendak dua pihak. Setiap negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili negara tersebut dan dari wakil itu pulalah pihak negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden-lah akan menyatakan, membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya negara lain tersebut tidak perlu berhubungan dengan lembaga negara Indonesia yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundang-undangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden. Pasal 11 UUD 1945 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harus berbentuk undang-undang. Pasal 11 UUD 1945 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukum tersebut haruslah undang-undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan undang-undang dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila OPINIO JURIS Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dalam bentuk hukum undang-undang. Apabila pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain diwadahi bentuk hukum UU maka artinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan undang-undang dan hal yang demikian tersebut akan menimbulkan persoalan hukum. Pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain mempunyai karakterikstik yang berbeda. Sebagai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu konflik dengan negara lain yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dan kemudian tepaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan untuk menyatakan perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR sedang reses. Kalau proses pembuatan UU harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dan dapat menyebabkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak dan harus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahas suatu rancangan undang-undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara lain yang memerlukan kesepakatan bersama antara ke dua belah pihak. Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan perjanjian in- 10

4 OPINIO JURIS Volume 04 Januari - April 2012 lukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila perjanjian internasional dituangkan dalam bentuk hukum UU dan kemudian karena suatu sebab terjadi perbedaan antara naskah yang telah disetujui oleh wakil masing-masing negara dengan yang disahkan dalam UU apakah kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam lampiran UU tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akan menimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah negara lain harus mengakui bahwa lampiran yang terdapat dalam UU Indonesia sebagai naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah perjanjian internasional yang dilampirkan dalam UU ternyata tidak diakui sebagai naskah otentik padahal UU telah diundangkan sebagaimana mestinya. Karena perjanjian internasional diberi bentuk hukum UU tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan UU juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan perjajian internasional. Dalam ketentuan UUD 1945, Pasal 20 ayat (5) menyatakan, Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini. Presiden telah mengajukan naskah perjanjian internasional kepada DPR, dan kemudian DPR telah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalah mekanise pembuatan UU, maka ketentuan Pasal 20 ayat (5) menjadi mengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan perjanjian tersebut menjadi UU terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian meternasional diwadahi dalam bentuk UU. Kedua pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan di antara keduanya adalah pernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat mengikat kepada kedua belah pihak. Praktik pengesahan dengan UU menimbulkan persoalan. UU adalah bagian dari hukum nasional sedangkan perjanjian dengan negara lain merupakan kesepakatan antar negara yang berada di luar ranah urusan internal negara. Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh UU apakah ini tidak berarti bahwa kehendak negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal negara lain karena digantungkan kepada pengesahan UU. Bagi pihak lain yang diperkukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan UU. Praktik pengesahan perjanjian internasional menimbulkan pertanyaan apakah sebelum disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain. Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah tepat karena perjanjian dengan negara lain dilakukan antar pihak yang setara kedudukannya. Hal berikutnya menyangkut naskah otentik dari perjanjian internasional. Dalam sebuah perjanjian internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalah penentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diperlukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antar pihak mengenai penafsiran perjanjian internasional yang telah disepakati, maka diper- 11

5 Volume 04 Januari - April 2012 nyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam perjanjian internasional karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dan kemungkinan juga pihak negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanya ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 akan menimbulkan masalah dalam kasus yang demikian. Bentuk perjanjian dalam UU juga menjadikan tidak fleksibel dalam kasus perlunya dilakukan pemutusan perjanjian dengan negara lain yang harus dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri atau memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presiden akan lebih fleksibel. Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan perjanjian internasioanl dapat dilakukan di luar mekanisme pembuatan UU. Dalam banyak undang-undang telah dikembangkan mekanisme persetujuan DPR terhadap usualan Presiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk UU, sebagai misal pengangkatan jabatan-jabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Praktik yang terjadi di negara lain tidak selalu memberi bentuk perjanjian internasional sebagai undang-undang atau statute/law. Amerika Serikat menentukan dalam konstitusi bahwa perjanjian internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat dan dengan demikian tidak dalam bentuk UU, karena UU dibuat oleh Congres namun demikian perjanjian internasional tetap mengikat negara tersebut. Persetujuan DPR Dalam Pembuatan Perjanjian Internasional Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, namun mengatur kewenangan konstitusional Presiden untuk membuat perjanjian internasional dalam sistem UUD OPINIO JURIS Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untuk mewakili pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuat perjanjian internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek hukum internasional ketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat ke luar yaitu dalam konteks hubungan antara pemerintah Indonesia dengan negara lain yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia. Apabila secara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sah secara konstitusional dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembaga negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut. Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga negara maupun warganya. Ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal. Pasal 11 menetapkan syarat yang harus dipenuhi apabila Presiden menggunakan haknya untuk melakukan hubungan dengan negara lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menentukan syarat tersebut. Di samping membuat perdamaian dan membuat penjanjian dengan negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden membuat perjanjian internasional lainnya yang; (1) menimbulkan akibat yang luas dan mendasar 12

6 OPINIO JURIS Volume 04 Januari - April 2012 bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, (2) mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah terkait dengan pembedaan antara perjanjian internasional publik dan kontrak bisnis internasional yang dilakukan negara sebagai subyak hukum perdata. UUD 1945 mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat perjanjian internasional lain (demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban negara harus dengan persetujuan DPR. Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah perjanjian internasional lainnya, yang maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk menetapkan apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional lainnya. Pengertian yang lain tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian dengan negara lain. Dengan demikian termasuk dalam pengertian perjanjian internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan subyek hukum internasional lain selain negara. Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan subyek hukum internasional lain yang memerlukan persetujuan DPD adalah perjanjian yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara. Perlu digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik hukum internasional. Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat, DPR diperlukan persetujuannya untuk membuat perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demikian karena menyangkut kepentingan bangsa. Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan organisasi internasional yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan DPR dengan alasan karena pihaknya bukan negara dan karena bersifat perdata. Alasan demikian tidaklah tepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya bukanlah siapa pihak atau mengenai hal apa materi suatu perjanjian internasional tersebut, tetapi karena perjanjian yang demikian menyangkut beban yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadi relevan pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan andai saja di kemudian hari timbul perselisihan antara negara Indonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasional lain karena perselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar negara sehingga bukan menjadi bagian hukum publik internasional. Pertimbangan konstitusionalitasnya karena isi putusan lembaga tersebut akan mempunyai dampak langsung kepada negara dan bangsa, baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda sebagai hukuman yang dibebankan kepada negara selaku badan hukum perdata tetap mempunyai dampak pada kehidupan negara atau bangsa karena jelas akan mengurangi kemampuan financial negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Kekuatan Mengikat Perjanjian internasional. Perjanjian internasional merupakan kesepakatan dari dua entitas hukum yang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidak ada pemaksaan kehendak. Karena merupakan kesepakatan maka dasar hukum dari kewajiban untuk terikat adalah kehen- 13

7 Volume 04 Januari - April 2012 OPINIO JURIS dak masing-masing pihak. Di sisi lain masingmasing negara mempunyai ketentuan di dalam hukum nasionalnya yang menetapkan lembaga atau organ negara mana yang diberi kewenangan untuk mewakili negara tersebut dalam berhubungan dengan negara lain. Perjanjian internasional yang lahir atas dasar kesepakatan menempatkan para pihak dalam posisi setara dan oleh karenanya perjanjian international mempunyai dasar good faith antar para pihak. Baik pihak pertama maupun pihak kedua secara voluntair menyusun pokok-pokok yang diperjanjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satu pihak berkebaratan maka dapat menolak atau membuat suatu kesepakatan baru yang kemudian disepakati bersama. Apabila suatu perjanjian internasional membebani kewajiban maka pihak yang terbebani memerima beban itu atas pesetujuannya sedangkan pihak lain percaya bahwa kewajiban tersebut akan dipenuhi. Perjanjian internasional sebagaimana perjanjian pada umumnya berlandas atas prinsip good faith and mutual trust antar pihaknya, dengan demikian pacta sunt servanda menjadi dasar mengapa para pihak terikat dengan yang diperjanjikan. Dari segi internal negara yang menjadi pihak dalam perjanjian internasional, ada kewajiban untuk menghargai dan memberi akibat hukum pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh lembaga atau organ negara yang secara hukum diberi wewenang oleh konstitusi untuk mewakili negara dalam berhubungan dengan pihak luar atau negara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lembaga negara yang lain termasuk juga lembaga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hukum pada perjanjian international yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta dengan prosedur menurut hukum yang disyaratkan. Pemberian akibat hukum atas dasar pacta sunt servanda saja seringkali dapat menimbulkan persoalan karena kemungkinan adanya pihak lain yang tidak secara itikad baik melaksanakan perjanjian yang pernah disepakati oleh wakilnya, namun hanya karena adanya itikad tidak baik saja tidak menyebabkan putus atau berakhirnya perjanjian internasinoal tersebut secara otomatis. Untuk menentukan apakah akan tetap memberikan akibat hukum perjanjian internasional di dalam negeri, asas pacta sunt servanda perlu dilengkapi dengan asas resiprosity yaitu bahwa pelaksanaan perjanjian internasinal tersebut di Indonesia akan digantungkan pada pelaksanaan perjanjian internasional yang bersangkutan di negara lain sebagai pihak dalam perjanjian. Kepastian penerapan secara resiprosity ini dapat dipastikan dengan meminta konfirmasi kepada negara yang bersangkutan melalui jalur diplomatic. Hal demikian perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dalam arti luas yaitu jangan sampai perjanjian international hanya membebani kewajian secara sepihak saja. Pemberlakukan perjanjian international ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili negara dalam hubungan luar negeri. Apabila Presiden telah menggunakan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi maka sebagai konsekuensinya hasilnya pun harus diterima sebagai konstitusional karena dengan demikian akan berarti juga melaksanakan perintah konstitusi. Pemberian tempat perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional merupakan salah satu pencerminan penegakan konstitusi. Tanpa harus mencarikan dasarnya dalam Konvensi Wina mengenai The Law of Treaty, dasar mengikat perjanjian internasional terdapat dalam konstitusi yang tidak mensyaratkan perjanjian internasional diwadahi dalam 14

8 OPINIO JURIS Volume 04 Januari - April 2012 bentuk undang-undang. Kalau toh Indonesia belum pernah melakukan akseptasi terhadap The Law of Treaty tidak berarti bahwa Indonesia tidak mempunyai dasar hukum untuk memberlakukan perjanjian internasional dalam hukum nasionalnya. Bagi negara yang tidak pernah melakukan akseptasi terhadap The Law of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembuatan perjanjian internasional dengan negara lain dan menerima ketentuan The Law of Treaty sebagai acuannya, maka The Law of Treaty dapat dianggap secara substansi yang telah menjadi kebiasaan internasional sehingga dapat menjadi salah satu sumber hukum international. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Bagi Putusan Pengadilan Hakim mendasarkan putusannya pada sumber-sumber hukum yang dapat berupa sumber hukum dalam pengertian materiil dan sumber hukum dalam pengertian formil. Ada kalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yang dihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil, yaitu peraturan perundang-udangan yang ada. Sementara itu, hakim dilarang menolak memberi putusan dengan alasan bahwa tidak terdapat hukum yang mengatur. Oleh karena itu, hakim harus menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang salah satu di antaranya dengan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di masyarakat yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memang selayaknya karena dianggap sebagai adil. Kebiasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal dan nasional tetapi juga di masyarakat international. Perjanjian internasional yang bersifat multilateral dan kemudian banyak diratifikasi oleh negara- negara di dunia, maka secara substantive dapat dianggap sebagai mempunyai nilai keadilan yang diterima oleh banyak negara, oleh karenanya hakim nasional dapat mengambil substansi yang terdapat dalam perjanjian interasional tersebut sebagai sumber hukum bagi putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya yaitu perjanjian internasional tetapi atas pertimbangan bahwa secara substantif telah terbentuk kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bangsa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah banyak negara menerimanya dengan cara melakukan ratifikasi. Dengan demikian banyaknya negara yang melakukan ratifikasi menjadi bukti bahwa substansi yang diratifikasi telah diterima sebagai sesuatu yang layak dan adil. Dengan demikian kebiasaan internasional tersebut dapat dirujuk oleh hukum nasional dalam rangka memberi rasa keadilan melalui putusannya. Di samping sumber hukum materiil, hakim dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai sumber hukum formil, yang utamanya adalah undang-undang. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman hakim bahkan wajib untuk mendasakan putusannya pada undang-undang. Kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai sumber hukum bagi hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil perjanjian internasional yaitu undangundang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan perjanjian international secara substantive telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat perjanjian internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan. Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang. Praktik di Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai 15

9 Volume 04 Januari - April 2012 OPINIO JURIS sumber hukum didasarkan atas bentuk formil undang-undang padahal bukan. Status perjanjian internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi lah yang menjadikan perjanjian internasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika menunjukkan secara jelas perbedaan tersebut. Law atau statute yang dibuat oleh Congres merupakan sumber hukum bagi hakim, sedangkan perjanjian international tidak dituangkan dalam bentuk law atau statute yang dibuat oleh Congres, tetapi perjanjian internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat. Namun demikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa perjanjian internasional sebagai the law of the land. Meskipun perjanjian internasional karena sifatnya dan bukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, namun untuk diterapkan dalam putusan haruslah dilihat sifat masing-masing norma yang terdapat dalam perjanjian internasional. Sangatlah mungkin bahwa norma yang ditimbulkan oleh pasal-pasal dari perjanjian internasional mempunyai daya ikat atau daya berlaku yang berbeda. Sebagai sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atau article III dari Convention on Recognation and Enforcement of Foreign Arbritral Award 1958 yang berbunyi, Each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rule of procedure territory where the award is relied upon under the condition laid down in the following article. Apabila Konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat maka seharusnya hakim menerapkan langsung isi Pasal ini jika ada permintaan pelaksanaan putusan arbitrasi asing asalkan dilaksanakan under the condition laid down in the following article sebagaimana disyaratkan Article III tersebut. Hal demikian tentunya akan berbeda dengan pelaksanaan dari article yang terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun Article 20 Konvensi ini yang berjudul Illicit Enrichment menyatakan, Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish asa criminal offence when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income. Pasal atau article ini tidak dapat diterapkan oleh hakim karena jelas bahwa ketentuan ini mewajibkan pemerintah untuk mengambil langkah legislative lebih dahulu guna menetapkan perbuatan illicit enrichment sebagai perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat public yang sangat mencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkan dengan gaji resminya. Pengetahuan hakim tentang perjanjian internasional diperlukan manakala hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan perjanjian internasional. Kesimpulan Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan hukum perjanjian international dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, perjanjian internasional seharusnya berwadah hukum Keputusan Presiden karena Presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain. 2. Adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi 16

10 OPINIO JURIS Volume 04 Januari - April 2012 perjanjian internasional adalah UU, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan UU. 3. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk perjanjian internasional lain, karena UUD menganggap penting keterlibatan DPR untuk memutuskan hal-hal yang berakibat pada beban negara atau yang mengakibatkan perlunya pembentukan dan perubahan UU, bukan didasarkan atas pembedaan antara perjanjian internasional publik dan privat. 4. Perjanjian internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi sumber hukum dalam hukum nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk UU, sehingga perjanjian internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum UU. 5. Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yang terdapat perjianjian internasional yang menimbulkan hak dan bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan. 6. Pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk atau wadah UU menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera dibuat aturan yang baru. 17

Konvensi Internasional

Konvensi Internasional Konvensi Internasional Ada 3 tingkatan sifat ketetapan konvensi yang meliputi : Perintah (absolute mandatory provision dan kondisi khusus) Upaya-upaya keras negara anggota untuk mengadopsi Upaya-upaya

Lebih terperinci

Opinio Juris Volume 4 ini merupakan Jurnal Hukum terbitan awal tahun 2012 ini oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional,

Opinio Juris Volume 4 ini merupakan Jurnal Hukum terbitan awal tahun 2012 ini oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Volume 04 Januari - April 202 OPINIO JURIS Opinio Juris Volume 4 ini merupakan Jurnal Hukum terbitan awal tahun 202 ini oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009

Lebih terperinci

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian analisa terhadap judul dan topik pembahasan pada bab sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pengesahan perjanjian internasional

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi segenap

Lebih terperinci

Pernyataan Pers Indonesia Corruption Watch DELIK KORUPSI DALAM RKUHP, ANCAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

Pernyataan Pers Indonesia Corruption Watch DELIK KORUPSI DALAM RKUHP, ANCAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI Pernyataan Pers Indonesia Corruption Watch DELIK KORUPSI DALAM RKUHP, ANCAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI - KPK dan Pengadilan Tipikor akan mati suri, Koruptor paling diuntungkan - Senin, 5 Maret 2018, Dewan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIV/2016 Frasa dapat merugikan keuangan negara dan Frasa atau orang lain atau suatu korporasi Sebagai Ketentuan Menjatuhkan Hukuman Pidana Bagi Tindak

Lebih terperinci

Menggagas Constitutional Question Di Indonesia Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Menggagas Constitutional Question Di Indonesia Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Menggagas Constitutional Question Di Indonesia Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengertian Constitutional Question Constitutional Question adalah mekanisme review

Lebih terperinci

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan, 49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi

Lebih terperinci

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional Untuk dapat mengetahui kekuatan hukum putusan arbitrase

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Sebuah lembaga dengan kewenangan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian formil dan pengujian materil

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas

I.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas negara dan cenderung pada terbentuknya suatu sistem global sehingga mendorong semakin

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 Ambang Batas Pencalonan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Presidential Threshold) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc dan Ir.

Lebih terperinci

FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG Oleh Epita Eridani I Made Dedy Priyanto Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK The House of Representatives is a real

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman,

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

I. UMUM

I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017 Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi I. PEMOHON Muhammad Hafidz. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 57 ayat (3) Undang -Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Afriady Putra S.,SH., S.Sos. Kuasa Hukum: Virza

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara..

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara.. & Apakah KONSTITUSI? 1. Akte Kelahiran suatu Negara-Bangsa (the birth certificate of a nation state); 2. Hukum Dasar atau hukum yang bersifat fundamental sehingga menjadi sumber segala peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman, S.E., MBA.,

Lebih terperinci

PENGENALAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENDIDIKAN KESADARAN BERKONSTITUSI 1 Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2

PENGENALAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENDIDIKAN KESADARAN BERKONSTITUSI 1 Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2 PENGENALAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENDIDIKAN KESADARAN BERKONSTITUSI 1 Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2 Selama 4 kali berturut-turut bangsa kita telah menyelesaikan agenda perubahan Undang-Undang

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL SUMBER HUKUM INTERNASIONAL a. Pengertian Sumber Hukum Internasional Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 144 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, latar belakang perluasan kewenangan MK dan konstitusionalitas praktek perluasan kewenangan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Perkumpulan Hisbut Tahrir Indonesia, organisasi

Lebih terperinci

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya REVIEW BUKU Judul : Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman Penerbit : PT. Remaja Rosda Karya Bahasa : Inggris Jumlah halaman : 554 Halaman Tahun

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber: Starke (1989), Brownlie (1979), Shelton (2006), Riesenfeld (2006) Pengertian: Bahan-bahan aktual yang digunakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold I. PEMOHON Partai Nasional Indonesia (PNI) KUASA HUKUM Bambang Suroso, S.H.,

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang menyumbang sekitar 880,17 triliun pada Produk Domestik Bruto

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang menyumbang sekitar 880,17 triliun pada Produk Domestik Bruto 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor pendukung utama ekonomi Indonesia yang menyumbang sekitar 880,17 triliun pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia

Lebih terperinci

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 RINGKASAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 006/PUU- IV/2006 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TANGGAL 7 DESEMBER 2006 1. Materi muatan ayat, Pasal dan/atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Yang Mulia Hakim Majelis, atas permintaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dalam perkara sengketa wewenang antara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015.

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 22/PUU-XIII/2015 Pertimbangan DPR Dalam Rangka Pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI Berkaitan Dengan Hak Prerogatif Presiden I. PEMOHON 1. Prof. Denny Indrayana,

Lebih terperinci

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Saat ini, kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang undangan, dimiliki

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Drs. Setya Novanto. Kuasa Pemohon: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH., Syaefullah Hamid,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XI/2013 Parlementary Threshold, Presidential Threshold, Hak dan Kewenangan Partai Politik, serta Keberadaan Lembaga Fraksi di DPR I. PEMOHON Saurip Kadi II. III.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai sekarang pembuatan segala macam jenis perjanjian, baik perjanjian khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman pada KUH Perdata,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam Pasal 28

BAB I PENDAHULUAN. serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam Pasal 28 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan dari Negara Indonesia yakni melindungi segenap bangsa Indonesia. Hal ini tertuang di dalam alinea ke-empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

P U T U S A N. Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

P U T U S A N. Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia P U T U S A N Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Advendi Simangunsong, Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta, PT Gramedia Widiasrana Indonesia. halaman 2.

BAB I. PENDAHULUAN. Advendi Simangunsong, Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta, PT Gramedia Widiasrana Indonesia. halaman 2. BAB I. PENDAHULUAN Sebelum kita mempelajari mengenai Hukum, ada baiknya kalau kita melihat terlebih dahulu aturan atau norma-norma yang ada disekitar kita/masyarakat. Sebagai subyek hukum dimasyarakat

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh : IKANINGTYAS, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1 Pengertian Hk. Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI HUKUM INTERNASIONAL INTERNATIONAL LAW : 1. PUBLIC INTERNATIONAL LAW ( UNITED NATIONS LAW, WORLD LAW, LAW of NATIONS) 2. PRIVATE INTERNATIONAL LAW 2 DEFINISI "The Law of Nations,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H. SALINAN PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM TATA NEGARA

SUMBER HUKUM TATA NEGARA SUMBER HUKUM TATA NEGARA 1. Pengertian Sumber Hukum 2. Sumber Hukum Materiil dan formil 3. Sumber Hukum Formiil Hukum Tata Negera 4. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia PENGERTIAN SUMBER HUKUM 1. Tempat

Lebih terperinci

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII; RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XVI/2018 Ketentuan Pemanggilan Paksa oleh DPR, Frasa merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR dan Pemanggilan Anggota DPR Yang Didasarkan Pada Persetujuan Tertulis

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan Mengambil Langkah Hukum Terhadap Perseorangan, Kelompok Orang, Atau Badan Hukum yang Merendahkan Kehormatan DPR Dan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 37/PUU-XIII/2015

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 37/PUU-XIII/2015 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 37/PUUXIII/2015 Ketentuan Tidak Memiliki Konflik Kepentingan Dengan Petahana dalam Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON

Lebih terperinci

Kompetensi. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. hukum dengan HTSdP.

Kompetensi. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. hukum dengan HTSdP. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Andhika Danesjvara & Nur Widyastanti Kompetensi 1. Mampu menjelaskan pengertian tentang Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. 2. Mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIII/2015 Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pengusungan Pasangan Calon oleh Partai Politik, Sanksi Pidana Penyalahgunaan Jabatan dalam Penyelenggaraan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan I. PEMOHON Rama Ade Prasetya. II. OBJEK PERMOHONAN

Lebih terperinci

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia sebagai negara hukum

Lebih terperinci

Kuasa Hukum : - Fathul Hadie Utsman, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Oktober 2014;

Kuasa Hukum : - Fathul Hadie Utsman, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Oktober 2014; RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 8/PUU-XIII/2015 Syarat Pengunduran Diri Bagi Calon Anggota Legislatif dan Calon Kepala Daerah Yang Berasal Dari Pegawai Negeri Sipil I. PEMOHON 1. Prof. DR.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 80 TAHUN 1957 TENTANG PERSETUJUAN KONPENSI ORGANISASI PERBURUHAN INTERNASIONAL NO. 100 MENGENAI PENGUPAHAN YANG SAMA BAGI BURUH LAKI-LAKI DAN WANITA UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA

Lebih terperinci

PUTUSAN Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana PENGUJIAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DAN KONSULER AMERIKA SERIKAT BERDASARKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 673K/PDT.SUS/2012) Oleh Luh Putu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PENANAMAN MODAL ANTARA PEMERINTAH DAN PENANAM MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim I. PEMOHON Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H. selanjutnya disebut

Lebih terperinci

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 114/PUU-XII/2014 Syarat Peserta Pemilu I. PEMOHON 1. Song Sip, S.H., S.Pd., M.H., sebagai Pemohon I; 2. Sukarwanto, S.H., M.H., sebagai Pemohon II; 3. Mega Chandra Sera,

Lebih terperinci