BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. didefinisikan sebagai ikatan atau akad perkawinan yang dilakukan sesuai dengan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. didefinisikan sebagai ikatan atau akad perkawinan yang dilakukan sesuai dengan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terminologi pernikahan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai ikatan atau akad perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama; hidup sebagai suami dan istri. Istilah tersebut identik dengan istilah perkawinan yang berasal dari kata dasar kawin. KBBI mendefinisikan istilah kawin sebagai proses pembentukan keluarga dengan lawan jenis; identik pula dengan makna bersuami atau beristri. Istilah perkawinan dalam Undang-undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan tidak semata mempertemukan atau menggabungkan dua pasangan dalam ikatan keluarga. Lebih jauh, perkawinan mempertemukan hak dan tanggung jawab yang melekat pada masing-masing individu tersebut. Keluarga, secara definitif bukan semata sebuah lembaga yang mengikat atau menghubungkan pasangan laki-laki dan perempuan. Keluarga bukan pula sebatas organisasi atau kumpulan manusia yang menempatkan beberapa orang dalam situasi fisik dan ruang psikologis yang bersamaan. Sebagai sebuah sistem alamiah, keluarga juga terdiri dari pelbagai aspek, seperti norma, bentuk, relasi kekuasaan, model komunikasi dan mekanisme negosiasi yang memungkinkan pelbagai ikatan dapat 1

2 2 berjalan secara efektif. Anggota keluarga saling terikat dalam pola hubungan yang timbal balik, emosional, dan dipenuhi kelekatan yang menentukan keberlangsungan keluarga itu sendiri (Goldenberg, H & Goldenberg, I, 2007). Harapan tentang keberlangsungan dan berfungsinya keluarga menjadikan perkawinan sebagai proses awal pembentukan keluarga dilakukan dengan penuh pertimbangan. Definisi perkawinan sebagai sebuah ikatan formal antar individu sekaligus ikatan lahir dan batin yang terhubung dengan aspek psikologis, biologis, sosial, budaya dan agama menjadikan sumber pertimbangan perkawinan tidak bersifat tunggal. Pertimbangan tersebut juga melibatkan aspek harapan sosial yang beroperasi pada sistem adat, kebudayaan dan agama masing-masing calon pasangan. Pertimbangan tersebut juga dipengaruhi oleh harapan, kepercayaan dan situasi masing-masing individu yang berbeda dengan lainnya. Karena itu, perkawinan akan pula melahirkan keunikan-keunikan fenomena yang melekat pada masing-masing pasangan. Latar belakang pasangan menjadi salah satu sorotan dalam proses pembentukan keluarga melalui prosesi perkawinan. Kesamaan atau perbedaan latar belakang kerap dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan penentuan pasangan perkawinan. Homogami atau pernikahan dari latar belakang pasangan yang sama adalah salah satu yang dominan dalam proses pembentukan keluarga. Pelbagai kajian tentang hubungan situasi keluarga dengan latar belakang keluarga menjadi salah satu fokus kajian menarik dalam pelbagai disiplin ilmu, seperti psikologi, sosiologi, agama dan hukum. Istilah homogami, pada prinsipnya, tidak menunjuk pada satu jenis latar belakang, tetapi menunjuk pada pelbagai

3 3 kemungkinan latar belakang, seperti agama, ras, suku, kebangsaan dan bahasa. Kecenderungannya, seseorang akan memilih calon pasangan dari latar belakang yang sama, seperti agama, budaya, kelas sosial, pendidikan dan umur (Lamanna & Riedman, 1985). Perkawinan homogami dan heterogami masih kerap dipertentangkan sebagai dua istilah yang beroposisi secara biner. Homogami dinilai sebagai bentuk penikahan yang ideal, sementara heterogami adalah pernikahan yang beresiko terhadap kualitas dan ketahanan perkawinan. Pandangan bahwa homogami menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan keluarga yang berfungsi (functioning family core system) tidak sepenuhnya tanpa kritik atau tidak berubah. Lamanna dan Riedman (1985) memaparkan kecenderungan peningkatan pernikahan berlatar belakang berbeda di Amerika Serikat. Myers (2006) melalui survei longitudinal juga menunjukkan penurunan hubungan antara homogami dengan kualitas perkawinan pada Hal ini membantah kepercayaan tradisional bahwa latar belakang adalah faktor penentu terbentuknya kualitas perkawinan. Survei Myers tersebut juga menunjukkan bahwa penurunan kualitas tersebut terjadi pada generasi muda. Temuan ini kian mengukuhkan pendapat bahwa kesamaan latar belakang menjadi sebatas komplementer dalam pembentukan keluarga yang berkualitas. Persentuhan dan interaksi sosial antar individu dengan pelbagai latar belakang, sebaliknya, memungkinkan terjadinya perkawinan oleh individu yang berbeda latar belakang (heterogami). Masyarakat majemuk, seperti Indonesia, lebih memungkinkan terjadinya pernikahan jenis ini. Interaksi intensif antar individu selaku pelaku kebudayaan yang menjadi konsekuensi terbukanya arus informasi serta

4 4 ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) membuka peluang dan kemungkinan individu untuk memiliki pasangan berlatar belakang berbeda. Kemudahan proses migrasi atau kepindahan penduduk dari satu wilayah asli ke wilayah lain menjadi penyebab lain interaksi antar individu dengan anasir latar belakang yang beragam. Fenomena heterogami dan homogami terjadi pada konteks yang unik. Artinya, fenomena tersebut sangat ditentukan oleh situasi kultur, interaksi antar anasir perbedaan dalam situasi sosial dan pengambilan keputusan pada masingmasing individu untuk memilih pasangan. Hayes (1991) menunjukkan pola umum pernikahan di Australia yang mementingkan kesamaan agama sebagai salah satu pertimbangan pengambilan keputusan pemilihan pasangan. Survei ini menunjukkan 60 persen orang Australia memutuskan untuk memiliki pasangan yang memiliki latar belakang agama yang sama. Pemilihan perkawinan dengan latar belakang yang bersifat homogami dipercaya menjadi salah satu faktor yang menentukan soliditas dan kualitas keluarga. Waite dan Lehrer (2003) memandang bahwa pernikahan homogami akan memudahkan integrasi sosial pembentukan keluarga. Cara pandang tersebut yang kemudian melatarbelakangi dominannya pemilihan pasangan dengan latar belakang sama sebagai pasangan dalam keluarga. Potensi perkawinan heterogami di tengah masyarakat Indonesia cukup besar. Ragam anasir latar belakang masyarakat Indonesia membuka peluang luas terjadinya perkawinan heterogami di tengah masyarakat. Salah satu bentuk perkawinan heterogami adalah perkawinan oleh sepasang yang berlatar belakang agama berbeda. Pernikahan beda agama memperoleh perhatian lebih jika

5 5 dibandingkan dengan penikahan heterogami jenis lain, seperti dengan latar belakang suku, kelas ekonomi dan pendidikan. Penolakan atas fenomena perkawinan beda agama dipicu oleh pandangan keagamaan mayoritas menolak pelaksanaan perkawinan jenis ini. Nurcholis (2004), salah seorang pelaku perkawinan beda agama, mengutarakan penolakan umum yang mengacu pada pemahaman teologis. Pandangan tersebut akan lebih diperkeruh jika dikaitkan dengan misi penyebaran agama yang dilakukan oleh setiap agama. Meski terdapat pandangan-pandangan keagamaan yang memiliki celah pelaksanaan perkawinan beda agama, namun pandangan ini masih belum diketahui secara umum. Artinya, pandangan teologis masih menjadi yang dominan dalam penilaian perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama sebagai salah satu jenis perkawinan heterogami, menurut Nurcholis (2004), menjadi salah satu tindakan berbeda dari pemahaman dan cara pandang umum yang meyakini bahwa perbedaan anasir fundamental pada masing-masing pasangan membahayakan kelangsungan institusi perkawinan. Perbedaan anasir dapat menjadikan keluarga yang dilahirkan dari perkawinan beda agama mengalami kegagalan mewujudkan cita-cita perkawinan. Tantangan pada level individu dalam perkawinan beda agama terletak pada kemampuan diri untuk melakukan penyesuaian diri (adjustment) terhadap pasangan yang memiliki kepercayaan yang berbeda. Penyesuaian diri pada pasangan perkawinan beda agama tidak dapat disamakan dengan kondisi perkawinan pasangan beragama sama. Penyesuaian dalam situasi keberbedaan ini tidak hanya terjadi pada aspek pengelolaan rumah tangga, tetapi terjadi pada aspek

6 6 kesepahaman membangun fondasi dan nilai dasar keluarga, komunikasi, membangun toleransi terhadap nilai keagamaan yang berbeda, pendidikan keluarga dan interaksi dengan keluarga masing-masing pasangan. Penelitian Harahap (2004) tentang penyesuaian diri pasangan pada perkawinan beda agama menyebutkan setidaknya tiga model penyesuaian diri muncul dalam interaksi keseharian keluarga beda agama. Model interventif berbentuk pemaksaan salah satu agama, atribut atau nilai yang terkait dengan salah satu agama. Kecenderungan model ini mengarah pada upaya untuk mengajak atau mendorong pasangan untuk berpindah ke salah satu agama. Model dialogis adalah mengedepankan aspek dialog pada pengambilan keputusan dan perumusan nilainilai dasar keluarga. Model ini beroperasi dengan dialog, keterbukaan dan interaksi yang egaliter dalam keluarga. Model privatisasi mengacu pada bentuk yang memperlakukan agama dalam keluarga sebagai aspek yang pribadi bagi pasangan. Hal ini membatasi intervensi masing-masing pasangan atas keberagaman pasangan lain. Perkawinan, di lain sisi, juga merupakan pertemuan antar identitas dalam ikatan formal pembentukan keluarga. Istri dan suami, keduanya membawa latar belakang masing-masing yang tidak seutuhnya sama. Perkawinan mempertemukan latar belakang, cara pandang, kelas, norma sosial, harapan dan pola perilaku dalam institusi keluarga yang memiliki intensitas interaksi lebih rekat. Keduanya membawa corak dan bentuk identitas sosial (social identity) yang dipertemukan dalam ruang keluarga. Pandangan bahwa manusia tidak memiliki identitas tunggal (Hogg & Abrams, 1998) menunjukkan tantangan lebih luas pada pembentukan keluarga.

7 7 Pandangan dan fakta keberadaan identitas ganda pada perseorangan dalam dinamika sosial mengurai lebih jauh tentang dinamika interaksi individu yang memiliki identitas sosial. Karena itu, pembentukan keluarga juga harus mempertimbangkan dan mempersiapkan cara negosiasi dan interaksi agar lembaga keluarga dapat berfungsi dan meminimalisir persoalan yang timbul akibat perbedaan-perbedaan tersebut (Goldenberg, H & Goldenberg, I, 2007). Perbedaan agama sebagai salah satu identitas berpotensi menimbulkan ketegangan pada kedua belah pasangan, maupun pada lingkup sosial asal keduanya. Bagaimana pun, kesamaan identitas yang terbentuk melalui kategorisasi memunculkan ingroup favoritism dan outgroup derogation (Faturochman, 2007; Hewstone, Rubin & Willis, 2002). Terbentuknya kedua aspek tersebut sebagai implikasi kategorisasi sosial turut berlaku pada konteks kategorisasi berdasarkan aspek agama. Lichterman (2008) memandang agama sebagai salah satu bagian penting dalam dinamika interaksi sosial sebagai sebuah ikatan yang menghubungkan antar individu. Penggunaan bahasa yang identik dengan agama tertentu adalah salah satu bentuk upaya mengidentifikasi persamaan, mendefinisikan dan membedakan diri dengan kelompok lain dalam situasi sosial. Agama tidak menjadi sebatas penanda identitas, tetapi juga menjadi landasan untuk menentukan beberapa tujuan kelompok. Hal tersebut menjelaskan kekentalan agama sebagai sebuah identitasme yang menggerakkan dan menjadi motif pendorong tindakan dan interaksi sosial. Burries dan Jackson (2000) menjelaskan tentang posisi agama sebagai bagian dari unit kategorisasi sosial yang dominan dalam hubungan sosial

8 8 masyarakat. Agama menjadi salah satu inti analisa dalam proses kategorisasi sosial hingga proses timbulnya stereotip. Orientasi keagamaan secara intrinsik berkorelasi secara signifikan terhadap pembentukan stereotip. Perbedaan anasir cara pandang dan penafsiran pada agama-agama berimplikasi pada pembedaan atas sesuatu yang berbeda pada agama lain. Suatu aktivitas, misalnya, pada suatu agama dapat bernilai positif. Sementara, bagi agama lain aktivitas tersebut dapat dinilai negatif akibat perbedaan cara pandang. Perbedaan cara pandang akan menghasilkan label tertentu bagi kelompok lain yang melakukan suatu aktivitas yang berbeda nilai dengan penganut agama lain. Tema dinamika persentuhan identitas menjadi salah satu soal penting dalam perkawinan beda agama, seperti halnya tema lain yang menjelaskan interaksi antar identitas sosial. Persentuhan identitas dalam segala level melahirkan dinamika, sekaligus menunjukkan adanya kemungkinan pertemuan antar identitas yang berbeda dalam ranah tertentu dalam lingkup dan interaksi sosial. Keberadaan identitas secara ekslusif yang melahirkan ingroup favoritism dan outgroup derogation memunculkan adanya batasan yang tertembus (permeable) dan tidak tertembus (impermeable) yang memunculkan sekat sosial. Sekat sosial, secara lebih lanjut, dapat memunculkan stereotip dan diskriminasi. Beberapa mekanisme, secara teoritis, dimunculkan untuk menjelaskan dinamika interaksi, pertemuan dan persilangan antar identitas yang terjadi dalam situasi hubungan antar kelompok. Faturochman (2007) dan Afif (2009) menjelaskan kemungkinan terjadinya proses rekategorisasi, dekategori dan persilangan antar identitas sebagai bagian dari dinamika. Afif menunjukkan pula adanya

9 9 kecenderungan terjadinya situasi perbedaan yang terhubung secara mutual antar identitas. Mekanisme-mekanisme tersebut menunjukkan bahwa sekat atau batasan kategoris, sesungguhnya dapat ditembus (permeable). Perkawinan beda agama adalah salah satu bentuk upaya untuk menembus batas atau sekat identitas yang memisahkan individu berdasarkan agama yang dianut. Melalui mekanisme dekategorisasi, individu membedakan keunikan yang melekat pada individu lain dengan identitas sosial yang diidentikkan dengan kelompok sosial aslinya. Ia memisahkan keunikan sebagai individu dan keumuman identitas sosial sebagai anggota kelompok. Penerimaan atas individu lain yang menjadi pasangan perkawinan dari latar belakang agama berbeda, menunjukkan adanya pembedaan dan penerimaan atas aspek keunikan yang melekat pada individu tertentu. Rekategorisasi sosial dapat terjadi pada situasi perkawinan beda agama. Melalui proses ini, sepasang individu dengan kategori sosial agama menyatukan diri dalam ketegori sosial yang baru: keluarga. Keluarga menjadi salah satu kategori sosial lain yang membedakan dengan kelompok sosial lainnya. Faturochman (2007), menegaskan bahwa rekategorisasi sosial memiliki kelemahan yaitu mengabaikan kecenderungan individu untuk tetap berada dalam kelompok identitas utamanya. Pada konteks perkawinan beda agama, meski membentuk identitas kita yang baru, perkawinan tidak dapat serta merta memisahkan perseorangan dari identitas kelompok keagamaan aslinya. Penjelasan tentang kelemahan rekategorisasi tersebut mengungkap adanya potensi ketegangan akibat perbedaan mendasar identitas sosial pada pasangan perkawinan beda agama. Artinya, individu masih

10 10 berkemungkinan terikat erat dengan kategori agama yang berpotensi menimbulkan ketegangan apabila kedua belah pasangan gagal melakukan penyesuaian. Disertasi Syamhudi (2010) tentang rumah tangga beda agama dan relasi dalam keluarga Muslim Tionghoa di Probolinggo Jawa Timur menunjukkan fenomena penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh anggota keluarga yang berbeda agama dengan anggota keluarga lainnya. Hal ini terjadi terutama pada ritual atau aktivitas keagamaan yang bersifat sosial di tengah keluarga dan masyarakat secara lebih luas. Penelitian tersebut menunjukkan keharusan adanya kemampuan bagi pasangan beda agama untuk melakukan penyesuaian dan penempatan diri secara tepat dalam konteks keluarga yang beragam. Penempatan diri tersebut tidak hanya terkait dengan nilai, tetapi pada aspek-aspek sosial keagamaan, seperti peringatan hari raya masing-masing agama yang dianut oleh anggota keluarga. Penyesuaian diri tersebut juga harus dilakukan dalam situasi dan lingkup sosial lebih luas, seperti lingkungan tetangga. Kemampuan kedua belah pasangan untuk melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan maupun sesama menjadi salah satu prasyarat penting terbentuknya keluarga yang harmonis dan berkualitas. Penyesuaian diri tersebut sangat erat dengan komunikasi dan model interaksi dalam keluarga guna menyikapi perbedaan identitas dan bentuk-bentuk indentitas masing-masing yang mengemuka (salient) di tengah keluarga. Ketidakmampuan untuk melakukan penyesuaian diri dan dialog berpretensi menghasilkan kegagalan dalam pembentukan dan pengelolaan rumah tangga, terutama pada pasangan yang berlatar belakang berbeda, seperti agama.

11 11 Sayers dan Khon (1998) mengedepankan perlu adanya upaya pencegahan dini atas fenomena disfungsi keluarga. Hal ini telah jauh sebelumnya dilakukan oleh lembaga agama, seperti gereja dan lembaga pemerintah untuk mendorong terbentuknya keluarga yang berelasi sehat. Pencegahan ini, idealnya dilakukan sejak masa pra pernikahan, yakni dengan membangun kesepahaman dan metode dialogis antar belah pasangan. Pendekatan ini pun menjadi faktor krusial dalam pembentukan keluarga berlatar belakang beda agama. Pertemuan identitas sosial yang berbeda sebagai implikasi dari kepemilikan kepercayaan teologis berbeda membutuhkan pendekatan khusus supaya semaksimal mungkin disfungsi keluarga tidak terjadi. Froese (2008), melalui penelitiannya, menunjukkan tantangan lain bagi pasangan pernikahan beda agama terkait dengan kepengasuhan anak di Jerman. Bagaimanapun, anak kelahiran beda agama menyandang identitas sosial yang berbeda dengan anak yang dilahirkan dalam keluarga homogami. Anak pernikahan beda agama juga dihadapkan oleh tantangan untuk memilih kepercayaan agama yang akan dianut secara pribadi. Anak yang berasal dari perkawinan beda agama juga berhadapan dengan tantangan pada interaksi sosial dengan kedua keluarga asal pasangan orangtua. Pemahaman tentang pluralitas menjadi salah satu tuntutan bagi orangtua agar anak bisa berinteraksi dengan keluarga dari kedua belah pihak. Di lain sisi, anak-anak perlu diberi kebebasan untuk menentukan kepercayaannya. Mengacu pada data sampel yang dimuat pada penelitian ini, beberapa anak yang dididik dengan cara agama salah satu pasangan di keluarga justru memilih untuk menekuni

12 12 agama lain pada pendidikan formalnya. Situasi ini tentu membutuhkan penyikapan khusus dan berbeda dari orangtua anak tersebut. Mengacu pada teori identitas sosial, Tajfel mendefinisikan identitas sosial sebagai aspek koginitif berupa pengetahuan yang menentukan keterikatan individu dengan kelompok tertentu. Pandangan mendasar lain adalah seseorang memiliki identitas sosial sebagai hasil dari ketegorisasi sosial dalam ruang lingkup dia berasal (Hogg & Abrams, 1998). Haslam (2001) memandang identitas sosial memperbincangkan perilaku individu sebagai refleksi atau hasil dari unit-unit sosial yang lebih besar, seperti organisasi, kelompok sosial dan kebudayaan yang menjadi acuan perilaku tersebut. Agama menjadi salah satu bentuknya. Mengacu pada teori tersebut, peleburan dua pasangan yang berbeda dalam rumpun keluarga tetap membawa atribut identitas masing-masing pasangan ke dalam keluarga tersebut. Hal ini menegaskan kembali penjelasan Faturochman (2007) yang menyebutkan ambang batas kekurangan pada rekategorisasi sosial, yaitu pengabaian pada kelekatan individu terhadap identitas utamanya. Pada situasi tertentu, identitas akan muncul sebagai sesuatu yang kentara atau mencolok (salient). Perbedaan latar belakang memberikan tantangan bagi kedua belah pasangan untuk menyikapi kemunculan identitas tersebut. Di lain sisi, individu pasangan tetap perlu untuk memilih jenis-jenis tindakan yang dapat digunakan untuk mempertahankan identitas keagamannya di tengah situasi perbedaan dalam keluarga. Pengalaman Nurcholis (2004; 2010), pelaku perkawinan beda agama, menunjukkan pelbagai hal berkaitan dengan identitas selama proses persiapan dan

13 13 paska prosesi perkawinan beda agama. Pada proses penyiapan perkawinan beda agama, mempertemukan perbedaan dan mencari titik temu moderat yang dapat mengakomodir kepercayaan kedua belah pasangan adalah salah satu tantangan terbesar pada perkawinan beda agama. Hal ini tidak hanya terkait dengan persiapan prosesi perkawinan, seperti cara agama manakah yang akan menjadi pilihan, tetapi terkait pula dengan bagaimana menjelaskan kepada kedua belah pihak keluarga dan perencanaan aturan dalam keluarga. Anggapan bahwa penganut agama lain sebagai kelompok yang tidak berada di jalur keselamatan menjadi faktor penolakan terbesar kehadiran anggota keluarga yang berbeda agama. Hal ini, pada perkawinan beda agama, jika tidak diselesaikan pada fase-fase awal, maka akan menimbulkan persoalan terkait dengan hubungan keduanya paska prosesi perkawinan. Selain memberikan pemahaman kepada phak-pihak yang menolak, pasangan juga perlu membangun batas kesepahaman yang memberi ruang pada masing-masing kepercayaan untuk tumbuh dan berkembang di tengah keluarga (Nurcholis, 2004). Pengalaman Wawan dan Ahong, pelaku perkawinan beda agama, menunjukkan bahwa upaya membicarakan perbedan agama selama masa persiapan perkawinan menjadi salah satu hal yang sangat sensitif. Meski demikian, hal tersebut tetap harus didudukkan sebagi masalah bersama yang tidak dapat diputuskan oleh salah satu pasangan. Wawan (Kristen) dan Ahong (Konghucu) akhirnya menemukan kata sepakat untuk membiarkan keagamaan menjadi bagian dari hidup masing-masing pribadi. Menurut Ahong, stereotip terhadap agama tradisional, seperti Konghucu masih kental bermuatan negatif. Penggunaan hio

14 14 dalam ritual menjadi salah satu sorotan yang kerap diarahkan pada agama tersebut. Pandangan umum bahwa jalan keselamatan satu-satunya berada di agama Kristen adalah salah satu faktor lain yang sangat sensitif untuk didiskusikan. Hal tersebut tentu juga senada dengan pandangan tentang keselamatan pada doktrin agamaagama lainnya. Pada akhirnya, Ahong mencoba membangun kepercayaan pribadi bahwa jalan keselamatan dimiliki oleh setiap agama yang sama-sama dapat membimbing penganutnya menuju surga (Nurcholis, 2010). Upaya Ahong untuk membangun perspektif baru tentang misi keselamatan dalam agama-agama, serta kesepakatannya bersama Wawan terkait dengan pengelolaan agama adalah bentuk upaya menegosiasikan identitas sosial yang melekat pada keduanya untuk mengurangi ketegangan atas anasir identitas yang mencolok (salient). Persepsi tentang bagian kelompok (ingroup) dan kelompok lian (outgroup) yang bernilai negatif diminimalkan untuk menciptakan situasi homeostatis dalam keluarga yang terbentuk. Angka perkawinan beda agama di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Perkawinan beda agama menurut Hidayatullah Online telah mencapai angka 1190 perkawinan. Harahap (2004) menyebutkan angka untuk permohonan pernikahan beda agama di kantor Catatan Sipil Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Rata-rata, 138 pasangan perkawinan beda agama mengajukan permohonan ke kantor Catatan Sipil DKI Jakarta setiap tahun. Penolakan dan pelabelan negatif (stereotyping) pada pelaku perkawinan beda agama tidak hanya terjadi di Indonesia. Malherbe (2008) mencatat fenomena penolakan serupa yang terjadi di Cape Town, Afrika Selatan. Perkawinan beda

15 15 agama, dalam pandangan mayoritas, dinilai sebagai tindakan ilegal yang tidak sah secara agama. Stereotip lain yang melekat pada pelaku adalah rendahnya nilai pemahaman agama. Asumsinya, pemeluk agama yang memahami agama secara baik dan mendalam tidak akan melakukan perkawinan beda agama. Perbedaan latar belakang agama pada perkawinan juga mendapat tantangan dari perspektif keluarga masing-masing pelaku. Hal tersebut bukan semata disebabkan perbedaan pendapat terkait status perkawinan beda agama, tetapi terhubung erat pula dengan masih sedikitnya perkawinan heterogami jenis ini. Kekhawatiran akan masa depan kepercayaan anak yang dihasilkan oleh perkawinan beda agama menjadi salah satu kekhawatiran sosial lain yang menyulitkan penerimaan atas fenomena ini. Pembentukan keluarga melalui kelembagaan perkawinan melahirkan interaksi intensif antar keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Konsekuensi tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima sebagai bagian dari dinamika persentuhan kepercayaan yang berbeda dalam perkawinan beda agama (Nurcholis, 2004). Argumen teologis keagamaan sebagai sebuah sistem yang menyelamatkan manusia secara eksklusif bagi penganutnya juga mendorong penolakan atas kehadiran anggota keluarga baru yang berbeda keyakinan keagamaan. Pandangan tentang keselamatan yang diemban oleh masing-masing agama mendorong upaya untuk mempertahankan batas keyakinan agar tidak tercampuraduk dengan situasi dan sistem kepercayaan serta pandangan sosial lainnya. Karena itu, perkawinan beda agama menjadi salah satu hal yang sulit dalam proses keberagamaan pada mayoritas agama-agama.

16 16 Beberapa agama memiliki hukum khusus yang mentolerir terjadinya pernikahan beda agama. Meski demikian, perkawinan beda agama umumnya hanya ditolerir dengan persyaratan ketat, terutama terkait dengan penjagaan keimanan. Persyaratan ketat lainnya terkait dengan kewajiban mengikutsertakan keturunan dalam kepercayaan agama tersebut. Hukum ini berlaku pada agama Katolik dan beberapa pendapat hukum pada agama Islam (Rubiyatmoko, 2011; Mahfudz, 2007). Penolakan dan kontroversi perkawinan beda agama tidak hanya terjadi dalam lingkup hukum agama. Perkawinan jenis ini pun menjadi perdebatan dalam implementasi hukum positif Indonesia. Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjadi salah satu sumber perdebatan. Pendapat tentang dibolehkan atau tidaknya perkawinan beda agama dengan mengacu pada undang-undang tersebut sama-sama memiliki argumen yang kuat. Argumen penerimaan mengacu pada pasal 66 UU Nomor yang menyiratkan masih berlakunya GHR S tahun GHR S tahun 1898 menyatakan bahwa perkawinan adalah perkara perdata yang tidak bisa diintervensi sepenuhnya oleh negara. Karena itu, negara dipandang berkewajiban mengakomodir perkawinan beda agama sebagai fenomena perdata yang dapat terjadi di tengah masyarakat. Argumen penolakan mengacu pada prinsip UU No 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa perkawinan yang diterima harus sah menurut agama. Pasal 2 yang menyebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan berdasarkan masing-masing agama menjadi argumen lain penolakan perkawinan beda agama pada hukum positif Indonesia (Nazarudin, 1998; Alatas, 2007; Prasetyo, 2007). Penerimaan dan penolakan sosial terhadap fenomena perkawinan beda

17 17 agama menunjukkan eratnya peran dan keterlibatan budaya dan peran masyarakat untuk turut mengawasi lembaga perkawinan yang dinilai sebagai bagian dari pranata sosial. Peran-peran pengawasan terhadap institusi perkawinan tersebut tidak hanya dilakukan oleh institusi agama, tetapi juga oleh institusi kebudayaan lain. Beberapa kebudayaan bahkan mencoba mengatur proses perkawinan hingga pada aspek bentuk dan anasir prosesi yang dilangsungkan. Kebudayaan turut menyumbang nilai dan pandangan yang kemudian dilekatkan pada prosesi dan institusi perkawinan. Masyarakat Jawa, contohnya, memandang perkawinan ideal sebagai perkawinan yang memperoleh persetujuan sosial atau masyarakatnya (Mas udah, 2012). Hal tersebut menunjukkan posisi perkawinan sebagai sebuah ritus sosial, tidak semata menyangkut kepentingan perseorangan, pasangan atau bahkan keluarga. Kerterlibatan aspek sosial dan kebudayaan secara luas dalam perkawinan tampak dari apresiasi kebudayaan dalam proses perkawinan. Meski dilangsungkan melalui ritus agama tertentu, masyarakat adat memiliki cara dan tradisi tersendiri untuk membangun nilai tentang perkawinan. Pada masyarakat Jawa, pelbagai ritual kebudayaan menyertai penyelenggaraan prosesi perkawinan mengacu pada hukum agama. Ritus-ritus tradisi, seperti panggih, wiji dadi, dahar kembul, mertui dan sungkeman menjadi bagian dari proses perkawinan. Masyarakat yang mengedepankan aspek keabsahan perkawinan melalui hukum agama juga masih mempertahankan aspek sosio-kultural lain dalam prosesi perkawinan (Negoro, 2001). Harapan tentang keberlangsungan dan berfungsinya keluarga menjadikan perkawinan sebagai proses awal pembentukan keluarga dilakukan dengan penuh

18 18 pertimbangan. Definisi perkawinan sebagai sebuah ikatan formal antar individu sekaligus ikatan lahir dan batin yang terhubung dengan aspek psikologis, biologis, sosial, budaya dan agama menjadikan sumber pertimbangan perkawinan tidak bersifat tunggal. Pertimbangan tersebut juga melibatkan aspek harapan sosial yang beroperasi pada sistem adat, kebudayaan dan agama masing-masing calon pasangan. Pembentukan keluarga batih atau keluarga inti (nuclear family) dalam kebudayaan Sunda dipandang perlu untuk mengikuti adat atau upacara perkawinan. Upacara perkawinan dengan beberapa prosesi dilakukan dengan berlandaskan pandangan filosofis tertentu untuk memantapkan pembentukan keluarga. Ritualritual perkawinan adat Sunda, seperti Neuden Omong, Nyeurahen, Seserahan, Helaran, Ngeuyek Sereh, Ngunjungan dan Sawer menjadi adat perkawinan yang melibatkan keluarga besar pasangan pengantin dan masyarakat dekat di sekitar lingkup sosial calon pasangan tersebut (Suciati, 2010). Keterlibatan pihak-pihak di luar kedua pasangan dalam lembaga perkawinan tidak sebatas pada ritus perkawinan. Keterlibatan tersebut terkadang juga pada aspek kesesuaian antar pasangan. Hukum kebudayaan atau kepercayaan sosial terkadang turut campur dalam penentuan kesesuaian pasangan tersebut. Selain mengacu pada hukum agama, beberapa kebudayaan memiliki aturan khusus yang turut mengikat pelaksanaan perkawinan. Contoh aturan ini adalah larangan pada masyarakat Jawa untuk menikahi saudara yang masih dianggap sebagai kerabat dekat, seperti saudara sepupu (sedulur misan) dan larangan menikahi keluarga dekat dari jalur keluarga ipar (sedulur sejenjang). Larangan tersebut menunjukkan adanya keterlibatan sosial dalam proses penentuan perkawinan dalam

19 19 kultur masyarakat (Mas udah, 2012). Padangan tentang kesesuaian pasangan calon suami-istri pun turut diberlakukan dalam masyarakat tidak hanya dengan mengacu pada hukum agama. Pandangan hukum Islam (fikih), memandang kesuaian (kafaah) sebagai salah satu syarat penting untuk menentukan keabsahan pembentukan keluarga. Kafaah adalah prinsip penentuan calon pasangan dengan memandang kesesuaian latar belakang masing-masing calon pasangan untuk menghindari persoalan akibat perbedaan kultur dan latar belakang dalam perkawinan. Hal ini bahkan dianut oleh imam empat Mazhab Fiqih yang paling banyak diacu sebagai hukum agama (Zuhaily, 1985). Masyarakat Jawa memandang pentingnya elemen penentuan calon pasangan dengan mengacu pada prinsip bibit, bebet dan bobot yang dianggap sebagai pandangan kebudayaan yang turut menentukan kualitas hasil dari proses perkawinan (Supadjar, 1987). Kedua contoh penekanan perlunya kesamaan aspek bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan menunjukkan bahwa agama dan budaya masih menjadi salah satu faktor penting yang memengaruhi pengambilan keputusan pemilihan pasangan dalam perkawinan. Setidaknya, nilai-nilai pada kedua apsek tersebut menjadi salah satu pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan pemilihan pasangan dalam perkawinan. Dinamika pergolakan dan persentuhan identitas sosial pada level individu, sebagai keluarga dan level sosial yang lebih luas tentu tidak sesederhana itu. Pelbagai sekuel pengalaman lain sangat mungkin terjadi dalam dinamika rumah tangga pasangan perkawinan beda agama. Dinamika antara istri dan suami,

20 20 keduanya sebagai keluarga dalam setting keluarga yang lebih luas dan dalam setting lingkungan sosial lainnya menjadi topik menarik untuk dapat diperdalam dengan menggunakan perspektif identitas sosial. Penggunaan pendekatan fenomenologi lebih memungkinkan penggalian lebih dalam dan mengacu pada pemaknaan langsung pelaku. Penelusuran atas situasi pertemuan dua agama berbeda sebagai identitas sosial menjadi fokus penelitian ini. Keluarga sebagai ruang lekat antara dua individu yang berbagi tanggung jawab dan peran menjadi medan menarik ketika mempertemukan dua identitas yang berbeda dalam naungan perkawinan. Dilema mementingkan keluarga dan agama adalah kemungkinan yang terjadi sehingga memunculkan ragam tindakan dan pemahaman tertentu. Situasi ini cukup menarik untuk diteliti karena menjelaskan beberapa hal secara sekaligus, yaitu perkawinan beda agama sebagai bentuk pertemuan identitas, dinamika interaksi antar pemeluk agama dalam keluarga, dan kemungkinan terjadinya persilangan identitas pada anggota keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk membangun sebuah peta pengetahuan guna membantu pemahaman seputar dinamika interaksi antar kelompok agama yang berbeda dalam setting sosial yang saling mengikat, yaitu keluarga. Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan peta pengetahuan yang memerkaya kajian psikologi sosial sekaligus acuan kajian perkawinan beda agama dan intervensi yang bertujuan untuk mencegah terjadinya disfungsi keluarga pada perkawinan jenis ini.

21 21 B. Permasalahan Penelitian Penelitian ini mencoba mengungkap perkawinan beda agama dari sisi yang belum terungkap dalam pelbagai penelitian sebelumnya terkait perkawinan beda agama. Penelitian ini mencakup beberapa pokok permasalahan penelitian, yaitu: 1. Bagaimanakah dinamika identitas sosial pada masing-masing individu pasangan nikah beda agama? 2. Bagaimanakah dinamika interaksi antar pasangan dalam pernikahan beda agama dalam lingkup keluarga inti? 3. Bagaimana dinamika penanaman atau pendidikan kegamaan kepada anak dalam keluarga perkawinan beda agama? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara garis besar bertujuan untuk memahami dinamika psikologis terkait dengan identitas sosial dalam ruang interaksi pasangan perkawinan beda agama sebagai individu, dalam lingkup keluarga dan lingkup sosial lainnya secara lebih luas. Tujuan ini diperinci sebagai berikut: 1. Mengetahui dinamika dan persentuhan identitas sosial masing-masing individu pada pasangan perkawinan beda agama. 2. Mengetahui penerimaan sosial dan dinamika penyesuaian diri sebagai strategi peneguhan identitas sosial terhadap situasi penerimaan atau penolakan atas perkawinan serta status beda agama dalam keluarga inti. 3. Membangun analisa yang memuat dinamika identitas sosial pada level individu, level keluarga dan level sosial pasangan perkawinan beda agama.

22 22 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat praktis dan teoritis. Keduanya diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi dunia akademik maupun kajian dan upaya pengembangan masyarakat lainnya. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis untuk memerkaya acuan dalam kajian psikologi sosial dengan tema dan konteks yang spesifik pada masyarakat Indonesia. Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini terhubung erat dengan konstruksi keagamaan masyarakat Indonesia yang menjadikan agama masih menjadi bagian dari urusan sosial atau bukan semata urusan perseorangan. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan acuan bagi konselor pernikahan terkait dengan isu perkawinan beda agama. Temuan-temuan pada penelitian ini diharapkan memperkaya perspektif yang bersumber dari pengalaman langsung pelaku perkawinan beda agama. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dapat dibedakan dengan pelbagai penelitian sebelumnya terkait dengan isu perkawinan beda agama dan identitas sosial pada konteks Indonesia. Temuan dan analisa spesifik telah muncul dari pelbagai penelitian yang dilakukan oleh banyak peneliti dari sudut pandang kajian hukum positif, hukum agama, psikologi dan sosiologi. Penelitian ini diharapkan bisa berkontribusi pada sisi spesifik lainnya, yaitu sudut pandang psikologi sosial. Pelbagai penelitian terkait isu perkawinan beda agama di Indonesia dilakukan pada ranah kajian hukum: baik hukum positif maupun hukum agama.

23 23 Penelitian yang terfokus pada kajian hukum positif perkawinan beda agama, antara lain: Alatas (2007), Nazarudin (1998) dan Prasetyo (2007). Penelitian literer yang dilakukan Arifin (2006) terfokus pada pendapat hukum agama Islam tentang perkawinan beda agama. Studi ini menitikberatkan pada aspek pendapat Imam Syafi'i tentang perkawinan beda agama. Disertasi Syamhudi (2010) memotret interaksi sosial pasangan perkawinan beda agama dari sudut pandang sosiologi agama. Sejauh penelusuran peneliti, beberapa penelitian tentang perkawinan beda agama dari sudut pandang psikologi telah dilakukan di Indonesia. Harahap (2004) mengulas perkawinan beda agama dari sisi penyesuaian diri (adjustment); Pratiwi (2007) menitik beratkan kajian pada pola asuh anak hasil perkawinan beda agama; Retnosari (tanpa tahun) mengulas tentang konsep kebahagian pada pasangan perkawinan beda agama; dan Dewi (2011) mengungkap pola pengambilan keputusan kepemelukan agama pada anak yang berasal dari perkawinan beda agama. Pelbagai penelitian yang terfokus pada isu identitas sosial pun telah banyak dilakukan. Susetyo (tanpa tahun) mengurai tentang dilema identitas sosial etnis Tionghoa di Indonesia; dan Rahardjo (2009) mengulas tentang pendekatan peneguhan identitas sosial pada kelompok gay. Probonegoro (2008), melalui penelitian kolektif tentang fenomena Gandrung di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur mengulas dinamika identitas kelompok kesenian Gandrung. Afif (2009) mengulas tentang identitas sosial pada masyarakat Minang yang keluar dari Islam. Pelbagai penelitian identitas sosial dan penikahan antar agama yang

24 24 dilakukan di luar negeri, antara lain Hayes (1991); Lamanna dan Riedman (1985); Lichterman (2008); Burries dan Jackson (2000); Malherbe (2008); Froese (2008); Shinnar (2008); serta Maltby dan Day (2008). Penelitian ini terfokus pada dinamika identitas dan interaksi sosial pada pasangan perkawinan beda agama. Sepanjang penelusuran penulis, belum terdapat karya ilmiah berupa skripsi, tesis atau disertasi yang secara eksplisit menjadikan tema tersebut sebagai fokus kajian.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan. pada pelaku perkawinan beda agama. Pelbagai temuan dan refleksi atas temuan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan. pada pelaku perkawinan beda agama. Pelbagai temuan dan refleksi atas temuan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian ini mencoba untuk mengurai dinamika persentuhan identitas sosial pada pelaku perkawinan beda agama. Pelbagai temuan dan refleksi atas temuan penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetapi praktekprakteknya pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 32 ayat (1) dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap manusia akan mencari pasangan hidupnya dan menjalin suatu hubungan serta melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan yang sah dan membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerimaan masyarakat terhadap kelompok berorientasi homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. Mayoritas masyarakat menganggap homoseksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, perkawinan di bawah

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, perkawinan di bawah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang dianggap wajar oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, perkawinan di bawah umur bisa menjadi isu yang menarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Permasalahan Perkawinan adalah bersatunya dua orang manusia yang bersama-sama sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang memiliki makna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang memiliki makna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah kepuasan perkawinan, ialah sesuatu yang merujuk pada sebuah perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang memiliki makna lebih luas daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menikah di usia muda masih menjadi fenomena yang banyak dilakukan perempuan di Indonesia. Diperkirakan 20-30 persen perempuan di Indonesia menikah di bawah usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya alam yang dimiliki, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dengan latar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya alam yang dimiliki, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dengan latar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya. Tidak hanya kaya akan sumber daya alam yang dimiliki, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dengan latar belakang sejarah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan diartikan sebagai suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita, yang bersama-sama menjalin hubungan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagian yang terkecil dan yang pertama kali digunakan manusia sebagai sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga inilah kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh: SITI SOLIKAH F100040107 Kepada FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang senantiasa memerlukan interaksi dengan orang lain. Saat berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita, yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan di atas adalah merupakan rumusan dari Bab I Dasar Perkawinan pasal

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan di atas adalah merupakan rumusan dari Bab I Dasar Perkawinan pasal A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ). Sedangkan Semua agama ( yang diakui ) di Indonesia tidak ada yang. menganjurkan untuk menceraikan istri atau suami kita.

BAB I PENDAHULUAN. ). Sedangkan Semua agama ( yang diakui ) di Indonesia tidak ada yang. menganjurkan untuk menceraikan istri atau suami kita. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena perceraian tentunya secara tidak langsung memiliki andil dalam menciptakan permasalahan sosial di masyarakat. Perceraian dalam rumah tangga, dapat dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu utama bagi individu yang ada pada masa perkembangan dewasa awal. Menurut Erikson,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki ketidakmampuan untuk bertahan hidup sendiri. Hal ini membuat manusia belajar untuk hidup berkelompok

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Masalah atau problem merupakan bagian dari kehidupan manusia. Hampir

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Masalah atau problem merupakan bagian dari kehidupan manusia. Hampir BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masalah atau problem merupakan bagian dari kehidupan manusia. Hampir setiap hari orang dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang perlu jalan keluarnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang membuat hubungan antar manusia lebih terbuka, serta arus globalisasi membuat Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, dengan WNA dari budaya barat (Sabon, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, dengan WNA dari budaya barat (Sabon, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, terutama di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Menurut Faradila, berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat. Contoh dari keanekaragaman tersebut adalah keanekaragaman adat istiadat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari tidak akan terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip definisi Gillian dan

Lebih terperinci

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya

Lebih terperinci

Oleh : TIM DOSEN SPAI

Oleh : TIM DOSEN SPAI Oleh : TIM DOSEN SPAI Syarat Pernikahan Adanya persetujuan kedua calon mempelai Adanya izin dari orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun Antara kedua calon tidak ada hubungan darah Calon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang terjadi dalam hidup manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari beragam budaya dan ragam bahasa daerah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting, diantaranya adalah pembentukan sebuah keluarga yang didalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir semua manusia hidup terikat dalam sebuah jaringan dimana seorang manusia membutuhkan manusia lainnya untuk dapat hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAUAN. budaya yang mewarnai kehidupan bangsa ini. Dalam mengembangkan kebudayaan di

BAB I PENDAHULAUAN. budaya yang mewarnai kehidupan bangsa ini. Dalam mengembangkan kebudayaan di BAB I PENDAHULAUAN 1.1 Latar Belakang Kemajemukan suku dan budaya yang berada di Indonesia menunjukkan kepada kita selaku warga negara dan masyarakat dunia bahwa indonesia memiliki kekayaan alam dan budaya

Lebih terperinci

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : Dewi Sumpani F 100 010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki beragam adat dan budaya daerah yang masih terjaga kelestariannya. Bali adalah salah satu provinsi yang kental adat dan budayanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia terdapat berbagai ragam bahasa daerah. Bahasa daerah hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia. Semua bahasa daerah yang dipakai penuturnya dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk yang sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT, karena setiap insan manusia yang ada dimuka bumi ini telah ditentukan pasangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Itulah petikan pasal 28B ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahin 1974 pasal 1 tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: Ikatan lahir dan batin antara seorang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan sistem hukum civil law yang sangat menjunjung tinggi kepastian hukum. Namun dalam perkembangannya Sistem hukum di Indonesia dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pernikahan dini dapat didefinisikan sebagai sebuah pernikahan yang mengikat pria dan wanita yang masih remaja sebagai suami istri. Lazimnya sebuah pernikahan dilakukan

Lebih terperinci

Pentingnya peran saksi dalam pernikahan (Suatu tinjauan terhadap pendampingan saksi nikah di jemaat GMIT Efata Benlutu)

Pentingnya peran saksi dalam pernikahan (Suatu tinjauan terhadap pendampingan saksi nikah di jemaat GMIT Efata Benlutu) Pentingnya peran saksi dalam pernikahan (Suatu tinjauan terhadap pendampingan saksi nikah di jemaat GMIT Efata Benlutu) 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Permasalahan Perkawinan ialah ikatan lahir batin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menikah merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia dewasa, siap secara lahir dan batin, serta memiliki rasa tanggung jawab dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang menggambarkan ciri khas daerah tersebut. Seperti halnya Indonesia yang banyak memiliki pulau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia adalah Negara majemuk dimana kemajemukan tersebut mengantarkan Negara ini kedalam berbagai macam suku bangsa yang terdapat didalamnya. Keaneka ragaman suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan terhadap perempuan dalam tahun 2008 meningkat lebih dari 200% (persen) dari tahun sebelumnya. Kasus kekerasan yang dialami perempuan, sebagian besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam masyarakat Indonesia adalah mutlak adanya dan merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti melakukan akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebudayaan Indonesia mempunyai nilai yang tinggi karena merupakan suatu system yang dikembangkan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad lamanya, di dalam kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Pernikahan merupakan suatu hal yang dinantikan dalam kehidupan manusia karena melalui sebuah pernikahan dapat terbentuk satu keluarga yang akan dapat melanjutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang mensyari atkan pernikahan bagi umatnya. Menikah dalam Islam adalah salah satu sarana untuk menggapai separuh kesempurnaan dalam beragama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan

Lebih terperinci

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 Membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umum dikenal dengan masyarakat yang multikultural. Ini merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. umum dikenal dengan masyarakat yang multikultural. Ini merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia secara umum adalah masyarakat yang plural atau beraneka ragam baik warna kulit, suku, bahasa, kebudayaan dan agama. Dari komposisi masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Dengan naluri mahluk, dan masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Ilma Kapindan Muji,2013

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Ilma Kapindan Muji,2013 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Pernikahan merupakan perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1984). Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara kodrati merupakan makhluk sosial, yang mana tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia akan

Lebih terperinci

ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS

ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS Achmad Jainuri, PhD IAIN Sunan Ampel, Surabaya Abstraksi Harold Coward menulis sebuah buku menarik, Pluralism Challenge to World Religions. Gagasan pluralisme dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latarbelakang Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat lagi dihindari atau disisihkan dari kehidupan masyarakat umat beragama. Kenyataan akan adanya pluralitas

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Perkawinan adalah hubungan yang permanen antara laki-laki dan perempuan

BAB V KESIMPULAN. Perkawinan adalah hubungan yang permanen antara laki-laki dan perempuan BAB V KESIMPULAN A. Proses Pengambilan Keputusan Mahasiswa Menikah Perkawinan adalah hubungan yang permanen antara laki-laki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat berdasarkan atas peraturan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan bersatunya dua orang ke dalam suatu ikatan yang di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta meneruskan keturunan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Perkawinan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. menolak permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke Pengandilan Agama pada

BAB VI PENUTUP. menolak permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke Pengandilan Agama pada BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Di Indonesia masalah pernikahan di bawah umur merupakan isu kependudukan yang sepatutnya menjadi perhatian pemerintah. Terutama dikarenakan pernikahan dibawah umur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang dimaksud dengan "ijab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pandangan hidup bagi suatu kelompok masyarakat (Berry et al,1999). Pandangan

BAB I PENDAHULUAN. pandangan hidup bagi suatu kelompok masyarakat (Berry et al,1999). Pandangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki ciri khas dengan berbagai macam bentuk keberagaman. Keberagaman tersebut terlihat dari adanya perbedaan budaya

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam proses penyebarluasan firman Tuhan, pekabaran Injil selalu berlangsung dalam konteks adat-istiadat dan budaya tertentu, seperti halnya Gereja gereja di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang mempunyai tingkat keberagaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan satuan sosialnya yaitu keluarga. Menurut Khairudin (1997 : 43) keluarga

BAB I PENDAHULUAN. dengan satuan sosialnya yaitu keluarga. Menurut Khairudin (1997 : 43) keluarga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak awal keberadaan seorang individu memiliki relasi yang mutlak dengan satuan sosialnya yaitu keluarga. Menurut Khairudin (1997 : 43) keluarga merupakan kesatuan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN 1. Latar Belakang Masalah a) Gambaran GKP Dan Konteksnya Secara Umum Gereja Kristen Pasundan atau disingkat GKP melaksanakan panggilan dan pelayanannya di wilayah Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis dan agama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Budaya pada dasarnya merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki dan

I. PENDAHULUAN. Budaya pada dasarnya merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya pada dasarnya merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki dan diwariskan manusia dari generasi ke generasi. Setiap bangsa memiliki kebudayaan, meskipun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia sendiri diciptakan berpasang-pasangan. Setiap manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, BAB IV KESIMPULAN Masyarakat yang plural atau majemuk merupakan masyarakat yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa terjadinya banyak perubahan. Remaja haus akan kebebasan dalam memutuskan dan menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. Erikson (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1. yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1. yang sakinah, mawaddah dan rahmah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

BAB II. umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Woodruf. dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu objek, produk subjektif yang

BAB II. umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Woodruf. dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu objek, produk subjektif yang BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI dan TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan ciri ciri umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Woodruf mendefinisikan

Lebih terperinci