PT. BUKIT BATU HUTANI ALAM PROPINSI RIAU
|
|
- Ade Hardja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 RINGKASAN LAPORAN PRA PENILAIAN LAPANGAN SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN LESTARI (PHTL) PT. BUKIT BATU HUTANI ALAM PROPINSI RIAU Oleh Lembaga Sertifikasi PT. TUV INTERNATIONAL INDONESIA
2 PROSES PENAPISAN PT. Bukit Batu Hutani Alam telah mengajukan permohonan kepada lembaga sertifikasi PT TUV International Indonesia untuk di lakukan proses sertifikasi pengelolaan hutan tanaman lestari (PHTL) dengan skema sertifikasi bertahap yang mengacu kepada Pedoman LEI 77 mengenai Pedoman Sertifikasi Bertahap PHPL dan Standard LEI mengenai Standard PHTL. Areal yang diajukan untuk dilakukan sertifikasi adalah mencakup seluruh areal kerja IUPHHK Hutan Tanaman seluas hektar. Salah satu tahapan dari proses sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL) Standar Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dengan skema Bertahap adalah Tahapan penapisan oleh Panel Pakar I dan penetapan keputusan penapisan yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi proses penilaian. Hasil dari proses penapisan oleh Panel Pakar I ini adalah untuk memutuskan apakah proses sertifikasi PHTL dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya atau tidak. Proses penapisan oleh Panel Pakar I ini berpedoman kepada Pedoman LEI mengenai Pedoman Penapisan Panel Pakar I sertifikasi Bertahap PHTL, Pedoman LEI 77 Sistem Sertifikasi Bertahap PHPL. Pengambilan keputusan didasarkan kepada review dokumen dan pengecekan ke lapangan selama 5 hari (27 s/d 31 Oktober 2009). Pengumuman publik Dengan skema sertifikasi bertahap, sebelum dilakukannya proses penapisan, terlebih dahulu harus dilakukan pengumuman publik untuk mengundang masukan-masukan atau input yang terkait informasi mengenai unit manajemen dari pemangku kepentingan (stakeholders) yang akan dijadikan bahan informasi untuk penilaian. Pengumuman kepada publik tentang proses sertifikasi PHTL PT BBHA dilakukan dengan Pengumuman melalui media masa nasional Kompas. Proses Penapisan Proses penapisan awal dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kesiapan PT BBHA untuk melangkah ke tahap selanjutnya. Proses penapisan dilakukan oleh tim Panel Pakar I mengacu pada Pedoman LEI 77-21, diawali dengan penelaahan dokumen-dokumen yang terkait dengan kegiatan pengelolaan hutan PT BBHA Tim Panel Pakar I dari PT TUV International Indonesia yang melakukan kegiatan penapisan awal untuk 3 aspek yang dinilai yaitu: 1 Ir. Sugijanto untuk aspek Produksi 2 Dr.Machmud Thohari, DEA. untuk aspek Ekologi 3 Dr. Ir. Pudji Mulyono, M.Si. untuk aspek Sosial 4. Riena Widiyanti, S.Hut. sebagai fasilitator
3 Konsultasi Publik /Forum Konsultasi Daerah Sebagai bagian dari proses penapisan pada skema sertifikasi bertahap, harus dilakukan konsultasi publik untuk menampung semua masukan dari pemangku kepentingan (stakeholders). Pelaksanaan konsultasi publik dilakukan di Bengkalis pada tanggal 28 Oktober 2009 dengan bekerjasama dengan Forum Komunikasi Daerah Riau. Kegiatan ini dilakukan dengan mengundang semua pihak yang berkepentingan dari kalangan institusi pendidikan, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat adat, organisasi massa, dll. Proses Peninjauan Lapangan Proses penapisan dilanjutkan dengan kegiatan kunjungan lapangan dilokasi Unit Manajemen pada tanggal 27 s/d 31 Oktober 2009 Dari hasil penapisan yang mencakup penelaahan dokumen dan kunjungan lapangan serta konsultasi publik maka Tim Panel Pakar I memutuskan bahwa PT Bukit Batu Hutani Alam direkomendasikan dengan skema sertifikasi bertahap.
4 PROFIL PERUSAHAAN PT. BBHA saat ini berada pada areal konsesi sesuai dengan SK definitif yaitu SK Menteri Kehutanan No. 365/Kpts-II/2003 tanggal 30 Oktober Sesuai dengan isi SK tersebut, areal PT. BBHA termasuk dalam kelompok hutan Sungai Bukit seluas ha. PT. BBHA merupakan perusahaan patungan antara PT. Mapala Rabda dengan Koperasi Tani Hutan Usaha Baru, didirikan di Pekanbaru di hadapan Notaris Darmansyah, SH, dengan Akta No. 34 tanggal 22 Maret 2002, tentang Pendirian Perusahaan Perseroan Terbatas PT. Bukit Batu Hutani Alam. Kondisi lapangan seluruh areal kerja PT. BBHA pada Blok Makmur hampir seluruh areal kerja merupakan lahan gambut (rawa) seluas ha (99.31 %) dan hanya sebagian kecil saja merupakan lahan kering (darat) seluas 230 ha. Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : lembar Dumai (0817) dan Bagan Siapiapi (0818) serta hasil survey tanah dan lahan, topografi areal PT. BBHA seluruhnya tergolong datar dengan kelerengan 0 8 %. Areal kerja IUPHHK-HT perusahaan terletak pada ketinggian sekitar meter dari permukaan laut (dpl). Kondisi lapangan areal tersebut terdiri atas: - Daerah basah (rawa) bertanah gambut, seluas Ha - Daerah kering (masih terpengaruh air) bertanah mineral, seluas 230 Ha Visi dan Misi dan Tujuan Unit Manajemen Sebagaimana dinyatakan dalam profil perusahaan (company profile) PT Bukit Batu Hutani Alam, visi, misi dan tujuan pengeloloan hutan adalah: VISI Menjadi perusahaan berkelas dunia yang menempatkan pengelolaan hutan lestari yang harmonis secara sosial, berkesinambungan secara ekonomi, dan dapat diterima secara lingkungan MISI 1. Mengembangkan suatu hutan tanaman industri yang lestari pada tataran biaya yang efisien dan resiko terendah untuk memasok bahan baku. 2. Menyediakan kesempatan dan lapangan kerja bagi masyarakat dan industri terkait dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat sekitar. 3. Melindungi areal hutan yang mempunyai manfaat konservasi dan meningkatkan kinerja lingkungan. 4. Berperan serta dalam penerimaan pajak negara dan menghasilkan keuntungan optimal.
5 KEBIJAKAN LINGKUNGAN Kami adalah perusahaan di bidang kehutanan yang mempunyai komitmen melaksanakan pengelolaan hutan secara lestari untuk memasok kayu sebagai bahan baku pembuatan pulp PT. Indah Kiat Pulp & Paper. Kami melaksanakan perbaikan kinerja lingkungan secara berkelanjutan dengan jalan sebagai berikut : 1. Melakukan perlindungan lingkungan dengan mematuhi perundang-undangan dan peraturan lingkungan serta persyaratan lingkungan lainnya yang berlaku. 2. Melakukan pemantauan kinerja lingkungan secara terus-menerus. 3. Meningkatkan efisiensi pemakaian sumberdaya. 4. Meningkatkan kesadaran lingkungan pada semua karyawan melalui pendidikan dan pelatihan secara terus-menerus dan memberikan informasi lingkungan kepada masyarakat dan pemerintah. 5. Memelihara kesiapsiagaan dan tanggap terhadap situasi darurat. 6. Meningkatkan partisipasi dan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat setempat melalui program-program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan. Alamat unit manajemen Kantor Pusat Jakarta : Plaza BII Menara 2 Lt. 19 Jln. MH Thamrin No. 51 Jakarta Telp , Fx , Kantor Basecamp : Base Camp Bukit Batu Area Desa Sukajadi, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis Telp : ext. 2982, 2983 Kantor Riau : Jl. Teuku Umar No. 51 Pekan Baru Telp : Pengurus Perusahaan Susunan Komisaris : Komisaris Utama : Wibowo Broto Rahardjo Komisaris Komisaris : Hartono Alpin : Pairan
6 Susunan Direksi : Direktur Utama Direktur Direktur : Mulyadi Gani : Wisly Dwi Putra : Tengku Mustapa
7 RESUME HASIL PRA PENILAIAN LAPANGAN I. ASPEK PRODUKSI A. ISU KRITIS ASPEK PRODUKSI a) Terjadi perbedaan signifikan mengenai posisi antara peta areal kerja berdasarkan hasil penataan batas luar IUPHHK temu gelang dengan peta areal kerja berdasarkan peta penetapan areal kerja IUPHHK-HTI oleh Menhut tahun Hal ini akan berdampak kepada kepastian kawasan dalam jangka panjang dari aspek legalitas maupun operasional. Indikator yang terkait adalah 1.1. b) Sustainability hasil hutan jangka panjang terkait kondisi peat subsidence dan ketersediaan hara (miskin hara) lahan gambut potensial terjadi penurunan riap tegakan tahunan bila tidak diikuti dengan input pupuk dan/ teknologi. Beberapa indikator yang terkait adalah 1.5, 1.6, 1.7, 2.3, 2.4, 2.5 dan 3.5. c) Ancaman kebakaran hutan cukup tinggi dan memiliki potensi dampak terhadap kerugian perusahaan. UM sudah memiliki Tim Pemadam Kebakaran yang tangguh dan mekanisme tanggap darurat, namun perlu terus dipertahankan. Indikator yang terkait adalah 1.2. d) Unit IUPHHK-HTI hanya menjadi cost center group perusahaan. UM tidak menikmati harga jual kayu yang mendasarkan stumpage value yang sesuai dengan harga pasar yang fair. Hal ini akan berdampak kepada jumlah penerimaan deviden koperasi masyarakat sebagai pemegang saham. Beberapa indikator yang terkait adalah 3.4 dan 3.6. B. Rekomendasi Beberapa Indikator Aspek Produksi INDIKATOR REKOMENDASI PIHAK-PIHAK TERLIBAT Indikator P1.1 Kepastian lahan sebagai areal hutan tanaman. Indikator P1.2 Sistem manajemen kebakaran hutan. Pihak UM: Segera menyampaikan koreksi dan keberatan kepada Departemen Kehutanan cq. Badan Planologi Departemen Kehutanan mengenai ketidaksesuaian antara SK pengukuhan/penetapan areal kerja IUPHHK PT. BBHA dengan peta tata batas luar yang telah dilaksanakan Pihak UM: Kebakaran hutan merupakan ancaman terbesar dalam pengelolaan HTI, dimana areal PT. BBHA relatif sangat terbuka terhadap aktivitas karyawan maupun masyarakat sedangkan kebakaran hutan dapat menimbulkan dampak kerugian yang sangat besar terhadap perusahaan maka kompetensi Tim Pemadam Kebakaran yang cukup tangguh tersebut perlu terus dipertahankan atau bahkan perlu ditingkatkan Unit Manajemen Dinas Kehutanan Kabupaten dan Propinsi Badan Planologi Departemen Kehutanan Unit Manajemen
8 Indikator P1.4 Pengembangan manfaat hasil hutan non kayu. Indikator P1.5 Penerapan pengamatan pertumbuhan tegakan dan hasilnya. Indikator P1.8 Permasyarakatan hak-hak atas areal. Indikator P3.2 Efisiensi pemanenan dan pemanfaatan hasil hutan tanaman Indikator P3.4 Kesesuaian luas areal produksi efektif dengan perkiraan rentabilitas Pihak UM: perlu melakukan identifikasi terhadap kebiasaan masyarakat memanfaatkan hasil hutan non kayu untuk memenuhi kebutuhannya dan melakukan upaya pengembangan. Adanya upaya pemanfaatan dan pengembangan hasil hutan non kayu yang terencana dengan baik menunjukkan tingkat perhatian terhadap pelestarian keanekaragaman sumber hayati serta manfaat dari sumber daya hutan Pihak UM: perlu segera membuat PUP untuk monitoring pertumbuhan masing-masing tegakan setiap tahunnya. Data PUP disamping untuk mengetahui besarnya riap tegakan, bermanfaat sebagai kegiatan monitoring terhadap perkembangan tegakan dari tahun ke tahun agar dapat dilakukan tindakan silvikultur yang tepat sehingga pertumbuhan tegakan jauh lebih terkontrol dari waktu ke waktu dan dapat dicapai hasil yang paling optimal di akhir daur. Penilai Lapangan: perlu digali di masyarakat tentang tingkat keberterimaan masyarakat terhadap perubahan besaran alokasi areal untuk tanaman penghidupan yang lebih kecil dari ketetapan Departemen Kehutanan dan apakah masih terdapat hal-hal penting yang menjadi keberatan masyarakat. Penilai Lapangan: Catat/ukur perkembangan angka faktor eksploitasi dari tahun ke tahun dalam 3 5 tahun terakhir; ambil sampel, bandingkan antara hasil pengukuran volume ITSP dengan LHP pada petak yang sama untuk dapat menghitung faktor eksploitasi Pihak UM: Perlu disusun skenario tahapan mengenai kapan perusahaan memperoleh pengembalian modal dan memperoleh keuntungan; Perusahaan group (pabrik pulp dan kertas) Unit Manajemen Tokoh Masyarakat Unit Manajemen Instansi Terkait (Litbang Kehutanan) Tokoh masyarakat Pemerintahan Desa
9 usaha/kesehatan perusahaan. Indikator P3.6 Terbentuknya kemitraan usaha dengan masyarakat setempat. perlu memberi apresiasi harga jual kayu yang lebih baik dan proporsional Pihak UM: Dikarenakan kinerja dan pengelolaan Koperasi Tani Hutan Usaha Baru oleh sebagian masyarakat anggota koperasi dianggap belum optimal maka pihak UM perlu terus mendorong dan memfasilitasi demi kemajuan koperasi tersebut sehingga para anggota merasakan manfaatnya. Dalam program pemberdayaan masyarakat perlu upaya lebih intensif untuk mendorong peningkatan SDM, peluang kerja dan usaha ekonomi bagi masyarakat sekitar. Dokumenkan dengan baik setiap bentuk kegiatan usaha bersama dengan masyarakat sebagai individu maupun kelompok, apa yang menjadi target/tujuan, parameter yang digunakan dan laporan kemajuan capaiannya. Penilai Lapangan: Lakukan wawancara dengan masyarakat tentang manfaat dan keberterimaan kerjasama usaha antara perusahaan dengan masyarakat yang telah ada sekarang dan hal-hal terkait yang menjadi harapan; Dalami data dan informasi tentang kemitraan usaha yang telah dilakukan oleh perusahaan dengan masyarakat, apakah dilakukan secara partisipatif, kesetaraan dan transparan. Pengurus Koperasi Tokoh Masyarakat Tokoh masyarakat Pengurus Koperasi C. KESIMPULAN HASIL PENAPISAN PPI ASPEK PRODUKSI Berdasarkan hasil kegiatan penapisan PP-I (pre-audit) aspek produksi dapat disimpulkan bahwa untuk kegiatan penilaian berikutnya dalam rangka proses sertifikasi dapat dilanjutkan dengan terlebih dahulu segera melakukan perbaikan yang berkaitan dengan kepastian areal kerja UM dari sisi letak/posisi di peta dan di lapangan yang memiliki payung hukum yang kuat.
10 II. ASPEK EKOLOGI A. ISU KRITIS ASPEK EKOLOGI Berdasarkan atas uraian penilaian atas UM PT BBHA, maka dapat diidentifikasi adanya faktor-faktor kritis aspek ekologi, yaitu sebagai berikut: a. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri PT. Bukit Batu Hutani Alami (BBHA) meliputi areal seluas ± ha. Keseluruhan areal konsesi tersebut berupa lahan gambut dalam sampai sangat dalam. UM telah menetapkan Kawasan Lindung sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan yang dipertahankan dan ditetapkan seluas Ha atau 10.30% dari total luasan areal konsesi. Areal tanaman pokok seluas ha atau 81,30%. Dari segi ekologi, kondisi areal tanaman pokok yang seluruhnya berupa lahan gambut dalam merupakan hal yang harus diperlakukan dengan ekstra hati-hati, walaupun lahan gambut dalam tersebut tidak terletak di hulu sungai atau rawa. Peat subsidens atau penurunan permukaan gambut karena pembuatan kanal untuk mengatur permukaan air tanah agar tanaman dapat tumbuh memberikan potensi terjadinya genangan atau kebakaran pada musim kemarau akibat keringnya permukaan lahan gambut; Potensi terjadinya genangan pada musim hujan dikarenakan lahan gambut yang kering tidak mampu mengikat butiran air dan menampung air hujan. Indikator terkait E.1.1, E.1.2, E.1.5, E.2.2 b. Kondisi gambut dalam sampai sangat dalam yang ditanami tanaman pokok akan mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan pada masa yang akan datang. Keadaan ini menuntut dilakukannya upaya-upaya keras dan dengan komitmen tinggi untuk mencegah terjadinya penurunan tingkat kesuburan tersebut, apalagi bila dalam proses produksi digunakan pupuk kimia anorganik dan pestisida yang dapat menimbulkan pencemaran badan air oleh masuknya padatan tersuspensi tanah gambut. Pengukuran untuk mengetahui kecenderungan perubahan kesuburan harus dilakukan secara teratur dan diperlukan hasil pengukuran dalam satu seri waktu supaya dapat diketahui perubahan besaran parameter kesuburan tersebut dari satu waktu ke waktu berikutnya. Dalam jangka panjang diharapkan kesimpulan yang lebih tepat menurut data pengukuran dalam beberapa rotasi penebangan. Indikator terkait E.1.6 c. Keberadaan jenis-jenis vegetasi yang semula ada di areal lahan gambut telah berganti dengan tanaman pokok. Keberadaan jenis-jenis vegetasi alam setempat hanya tersisa di dalam kawasan-kawasan lindung. Dengan demikian keberadaan seluruh komunitas vegetasi alam tersebut mutlak harus dipertahankan di dalam kawasan lindung. Pemantauan yang dilakukan oleh UM belum memberikan indikasi ada/tidaknya
11 penurunan jumlah jenis tumbuhan di dalam kawasan lindung, apalagi jenis-jenis yang dilindungi. Indikator terkait E.1.8, E.1.12 d. Kelola produksi yang dilakukan secara intensif menimbulkan efek pemerangkapan dan transformasi unsur hara dan bahan cemaran (pollutant). Walaupun pada saat ini fenomena tersebut belum terlihat, tetapi mengingat penggunaan bahan kimia (pupuk anorganik dan pestisida) digunakan terus menerus maka terjadinya akumulasi bahanbahan tersebut ke dalam tanah gambut dan ke dalam badan air sangat dimungkinkan. Untuk mengevaluasi keberhasilan pengelolaan lingkungan maka keseimbangan biomassa harus dipantau secara teliti. Hal ini dapat diketahui melalui pengukuran konsentrasi dan volume aliran air yang masuk dan keluar lahan gambut. Indikator terkait E.1.9, E.1.11, E.1.13, E.1.14 e. Berdasarkan atas temuan adanya beberapa jenis satwa liar, diantaranya termasuk dilindungi/langka/terancam punah, maka areal konsesi PT BBHA semula merupakan wilayah jelajah (home range) berbagai jenis satwa tersebut. Berdasarkan atas inventarisasi yang dilakukan oleh UM, jenis-jenis satwa yang dijimpai di kawasan londung diantaranya adalah Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), siamang (Hylobates syndactylus), beruang madu (Helarctos malayanus), macan dahan (Neofelis nebulosa), buaya muara (Crocodylus porosus), rangkong (Buceros rhinoceros), elang rawa (Cirus aeruginosus). Data tersebut mengindikasikan bahwa areal tanaman pokok pun dahulunya merupakan wilayah jelajah bahkan mungkin habitat berbagai jenis satwa tersebut. Kelola produksi di areal tanaman pokok akan berpengaruh terhadap kehidupan satwa-satwa tersebut karena komunitas vegetasi alam dari ekosistem gambut saat ini telah berubah menjadi jenis monokultur hutan tanaman. Untuk itu jalur-jalur lintasan satwa harus dapat diamankan dari tindakan-tindakan para pekerja atau masyarakat yang dapat mengakibatkan pergerakan satwa terganggu. Indikator terkait E.2.5 B. Rekomendasi Beberapa Indikator Aspek Ekologi INDIKATOR Indikator E1.1 Persentase atau rasio luas aktual kawasan lindung yang berfungsi baik yang telah ditetapkan/dikukuhkan terhadap luas ideal (seharusnya) kawasan lindung. REKOMENDASI harus mengidentifikasi areal tepi dari HSAW untuk mengetahui adanya kondisi yang sangat rentan pada areal-areal tersebut terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya atau tekanan-tekanan dari luar kawasan, meliputi kemungkinan adanya tekanan atau ancaman terhadap komponen kimia fisik lingkungan dan biologi dari kawasan tersebut, dan sebaliknya ancaman yang datang dari dalam kawasan terhadap aktifitas dan kehidupan masyarakat secara sosial ekonomi. PIHAK-PIHAK TERLIBAT
12 Indikator E1.2. Perencanaan penataan areal produksi efektif berdasarkan kesesuaian dan kemampuan lahan serta kelangsungan fungsi tata air. Indikator E.1.3 Persentase atau rasio tanda batas aktual kawasan lindung dan areal produksi efektif (kesesuaian dan kemampuan lahan dan kelangsungan fungsi tata air) terhadap tanda batas seharusnya. Indikator E.1.4 Rasio atau persentase tanda batas kawasan lindung yang berfungsi baik terhadap tanda batas seharusnya (ideal). Indikator E.1.5 Perancangan dan penerapan sistem silvikultur yang dapat mengendalikan erosi di areal tebangan atau produksi. Indikator E.1.6 Perubahan tingkat kesuburan Berdasarkan atas PerMenhut nomor P.21/Menhut-II/2006 yang berbunyi tanaman pokok yang menghasilkan hasil hutan kayu atau tanaman tahunan/pohon yang menghasilkan hutan bukan kayu atau gabungan dari keduanya dan dikelola dalam skala usaha yang ekonomis oleh masyarakat melalui pola kemitraan dengan perusahaan pemegang ijin IUPHHK-HT, maka UM PT BBHA sudah termasuk dalam kriteria ini. Tindakan yang diperlukan adalah UM harus menjamin implementasi pengelolaan usaha IUPHHK-HT melalui pola kemiitraan dengan sebaik-baiknya (lihat rekomendasi aspek sosial S2.8 dan S2.9). agar melakukan penataan kawasan konservasi, areal tanaman unggulan dan tanaman kehidupan sebaik-baiknya sehingga memenuhi kesesuaian dan kemampuan lahan serta kelangsungan fungsi tata air harus terus melakukan pemeliharaan secara reguler pada tata batas setiap kawasan lindung. Tata batas areal produksi dengan kawasan lindung harus dijaga sebaik-baiknya agar tidak bergeser posisinya, dan disertai dengan berita acara pelaksanaan yang lengkap dan jelas. Pemasangan papan-papan nama agar ditertibkan sesuai dengan status kawasan lindung menurut peraturan yang ada. Pelaksanaan kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan lindung harus dilakukan dengan melibatkan tenaga dari bagian Lingkungan harus melakukan evaluasi hasil dari upaya-upaya mengurangi dampak penggunaan alat-alat berat saat pemanenan terhadap terjadinya compaction gambut dengan penyerakan serasah dan kulit pohon secara merata pada areal bekas tebang. harus melakukan pengukuran parameter kesuburan berdasarkan SPT (Satuan Peta Tanah) pada petak tanam yang berbeda siklus Tokoh Masyarakat Pemerintahan Desa
13 tanah (fisik dan kimia), termasuk pencemarannya akibat kegiatan produksi. kelas umurnya yang diukur pada tiga areal berbeda, yaitu pada hutan alam dan pada areal tanam dari beberapa umur tanam berbeda, secara berkala. Indikator E1.7 Persentase perubahan erosi tanah pada areal produksi. Indikator E1.8 Persentase perubahan atau hilangnya struktur dan jenis vegetasi pada kawasan lindung. Indikator E1.9 Persentase perubahan kuantitatif (debit sungai), kontinuitas (ketersediaan air yang konstan) dan kualitas (kandungan bahan kimia, padatan, suspensi) di badanbadan air terhadap ukuran standar yang telah ada yang disebabkan oleh aktivitas unit manajemen. Indikator E1.10 Penerapan sistem/pola pemanfaatan lahan dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan tegakan hutan tanaman yang dapat mempengaruhi kondisi kualitas lahan dan fungsi tata air. harus membuat upaya untuk mengurangi penurunan tingkat kesuburan sebagai dampak dari kegiatan produksi. Lakukan terus pemantauan secara teliti atas dampak dari penggunaan pupuk anorganik. Upaya-upaya untuk menghambat laju peat subsidence dan penurunan water tabel harus terus dilakukan secara teratur dan disiplin, Lakukan terus langkah-langkah untuk mencegah pencemaran badan air oleh masuknya padatan tersuspensi tanah gambut. Untuk mengetahui adanya perubahan struktur dan jenis vegetasi atau adanya jenis-jenis vegetasi dilindungi yang hilang pada kawasan lindung, UM harus terus melakukan pemantauan secara teratur, sehingga diperoleh data dalam seri waktu. Pemantauan harus menggunakan metode baku yang dapat diuji secara ilmiah. Hasil pemantauan kuatitatif air sungai (debit sungai) dan kualitas air harus diimplementasikan sebaik-baiknya untuk memperbaiki sistem kelola produksi, sehingga mengurangi laju penurunan tinggi muka air tanah, laju sedimentasi, dan penurunan debit sungai. harus melakukan penanaman tanaman penutup tanah yang dapat mencegah penurunan kualitas tanah, dan yang dapat berfungsi juga untuk menjaga kelembaban tanah dan menghambat pertumbuhan gulma di semua lokasi yang terbuka, areal produksi yang terbuka, dengan jenis-jenis yang sesuai dengan lingkungan setempat.
14 Indikator E1.11 Kegiatan perlindungan tanah terhadap erosi dan pencemaran tanah dan air (sebagai contoh: penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk ramah lingkungan). Indikator E1.12 Kegiatan pemeliharaan dan rehabilitasi struktur dan komposisi jenis hutan (vegetasi) kawasan lindung. Indikator E1.13 Sistem penanganan limbah untuk menjaga kelestarian kualitas lahan dan fungsi tata air. Indikator E1.14 Penggunaan bahan kimia yang mungkin dapat mencemari air. Penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk kimia oleh petugas lapangan harus terus diawasi sebaik-baiknya agar tidak terjadi pencemaran ke dalam badan-badan air. Penanaman tanaman penutup tanah harus segera dilakukan setelah pembukaan lahan (land clearing), dan pada tempat-tempat terbuka lain setelah tidak difungsikan. Bangunan gudang agar direnovasi atau disediakan bangunan khusus gudang penyimpanan bahan-bahan kimia yang sesuai dengan persyaratan lingkungan dan kesehatan petugasnya. Demikian pula tata cara penyimpanan bahan-bahan kimia dalam gudang harus dilakukan secara tepat, dengan sistem pencatatan yang rapih dan sistematis. harus terus melakukan pemantauan kemungkinan terjadinya perubahan vegetasi struktur dan komposisi jenis hutan (vegetasi), dan dilakukan rehabilitasi lahan dan pemeliharaan struktur vegetasi, dan melakukan pengayaan jenis-jenis vegetasi sebagai sumber pakan satwa. SOP yang berkaitan dengan penanganan limbah harus diimplementasikan secara cermat. harus menyediakan lokasi khusus gudang penyimpanan sementara limbah B3 sebelum dikirim keluar. Buat SOP tentang penyimpanan dan penggunaan bahan kimia dan implementasikan secara cermat. Indikator E1.15 Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam sistem pola pemanfaatan lahan yang ramah lingkungan. harus dapat mengembangkan peluangpeluang usaha bagi masyarakat sekitar berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya hutan yang ada. Peningkatan keterampilan masyarakat harus terus dilakukan dalam rangka pemberdayaan mereka. harus melakukan pencatatan secara teratur hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan tingkat Tokoh Masyarakat Pemerintahan Desa
15 Indikator E1.2.1 Persentase luas aktual kawasan lindung (plasma nutfah, habitat flora/fauna khas/unik dan atau langka, koridor satwa, zona penyangga, dan sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat) yang berfungsi baik dan yang telah dikukuhkan di lapangan terhadap luas ideal (seharusnya) kawasan lindung. Indikator E2.2 Penataan areal unit manajemen yang didasarkan pada kepentingan konservasi flora/fauna, perlindungan tegakan hutan tanaman, dan sumberdaya hutan yang sangat berguna bagi masyarakat lokal. Indikator E2.3 Persentase luas aktual kawasan lindung (plasma nutfah, habitat flora/fauna khas/unik dan atau langka, koridor satwa, zona penyangga, dan areal pemanfaatannya, untuk mengevaluasi kekurangan yang ada dan dapat dicarikan upaya penanggulangannya agar memulai menjalin kerjasama dengan masyarakat dalam penanaman tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat serta operasionalisasinya di lapangan sehingga terjalin saling pemahaman, pengertian, dan kemanfaatannya bagi kedua belah pihak. Apabila ada masyarakat yang ingin memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam kawasan lindung, maka UM agar membuka akses dengan tetap melakukan pengawasan untuk menjamin kelestariannya agar melakukan pencatatan pemanfaatan sumberdaya hutan di areal kawasan lindung oleh masyarakat, meliputi asal masyarakat & jumlah masyarakat yang memanfaatkan, jenis sumber daya hutan, jumlah ambilan. Perlu diperiksa kesesuaian lokasi areal kerja UM dengan rancangan yang dibuat dan sesuai dengan baku lingkungan untuk kepentingan konservasi flora dan fauna, perlindungan tegakan hutan tanaman, dan sumber daya hutan yang sangat berguna bagi masyarakat lokal yang dapat menjamin terpeliharanya keanekaragaman hayati dan kestabilan ekosistem tegakan hutan tanaman dalam jangka panjang. harus segera melakukan deliniasi dan penataan batas areal tanaman kehidupan. Demikian pula selanjutnya agar dilakukan penanaman dengan jenis-jenis tanaman kehidupan. Masyarakat sekitar Masyarakat sekitar
16 tanaman kehidupan yang dimanfaatkan oleh masyarakat) yang telah ditata secara baik di lapangan terhadap luas ideal (seharusnya) kawasan lindung. Indikator E2.4 Terjaminnya/terpeliharanya keamanan kawasan lindung (plasma nutfah, habitat flora/fauna khas/unik dan atau langka, koridor satwa, zona penyangga, dan sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat). Indikator E 2.5 Kekayaan jenis satwaliar di areal produksi. Indikator E 2.6 Sistem informasi sumberdaya hutan (lokasi, potensi, teknik budidaya, teknik pemanenan, dll). Indikator E2.7 Kegiatan pengendalian hama, penyakit dan gulma dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan (sebagai contoh dengan menggunakan predator alaminya), sehingga tidak mengganggu/ mengubah ekosistem alami yang ada di dalam areal unit manajemen Indikator E2.8 Keberadaan sumberdaya hutan yang Pelaksanaan kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan lindung harus dilakukan dengan melibatkan tenaga dari bagian Lingkungan harus membuat formulir pencatatan satwaliar di areal produksi, yang mudah dikerjakan oleh petugas lapangan. WI pemantauan keberadaan satwa liar di areal produksi harus terus diimplementasikan dengan baik, termasuk metode perjumpaan, koordinat keberadaan satwaliar yang dijumpai. harus segera membangun sistem informasi sumberdaya hutan dan mensosialisasikan kepada masyarakat lokal sehingga mereka dapat memanfaatkan sumberdaya alam hayati secara baik dan benar dalam jangka panjang harus terus mengimplementasikan secara reguler panduan sistem peringatan dini (early warning system) hama dan penyakit tanaman untuk mengantitisipasi terjadinya serangan. harus mulai menyiapkan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama dan penyakit tanaman yang secara potensial dapat menyerang. supaya melakukan penanaman jenis-jenis tanaman yang dibutuhkan oleh masyarakat Masyarakat sekitar Masyarakat
17 dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. setempat, misalnya pohon buah-buahan, tanaman obat-obatan, yang ditanam di areal tanaman kehidupan. harus mengembangkan komoditaskomodits hutan lain yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan sistem kerjasamanya, termasuk pemberdayaan masyarakat di bidang pelestarian lingkungan. sekitar Masyarakat sekitar C. KESIMPULAN ASPEK EKOLOGI Berdasarkan hasil analisis dokumen, tinjauan lapangan, dan diskusi dengan UM telah diperoleh gambaran isu-isu pokok sebagai faktor kritis, dan hasil penilaian sementara terhadap berbagai indikator aspek ekologi sebagaimana telah diuraikan di atas. Atas dasar hal tersebut di atas, Panel Pakar I aspek ekologi menyatakan proses sertifikasi PHTL PT BBHA dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.
18 II. ASPEK SOSIAL A. ISU KRITIS ASPEK SOSIAL Mengacu pada hasil pra-penilaian lapangan (penapisan) terhadap aspek sosial unit manajemen PT BBHA dapat dikemukakan bahwa faktor kritis untuk aspek sosial adalah : a. Kemantapan kawasan/status areal pemanfaatan hutan PT BBHA belum terjamin statusnya secara mantap. Berdasarkan peta overlay tatabatas definitif dengan peta penetapan PT Bukit Batu Hutani Alam, ternyata terdapat areal tatabatas definitif yang berada di luar peta pengukuhan seluas Ha. Indikator yang terkait adalah S1.1 b. Belum optimalnya kemitraan usaha antara perusahaan dengan masyarakat melalui lembaga Koperasi Tani Hutan (KTH) Usaha Baru, sehingga kinerja koperasi tersebut belum dapat memuaskan harapan para anggotanya. Indikator yang terkait adalah S1.4, S2.3, S2.8 dan S2.9. c. Pelaksanaan dan monitoring terhadap mekanisme pengelolaan konflik, khususnya dalam mengatasi permasalahan konflik lahan dengan masyarakat dan keterlibatan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan terhadap hal tersebut. Indikator yang terkait adalah S2.2 dan S2.7. d. Belum efektifnya program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh unit manajemen diakibatkan oleh adanya beberapa hambatan dan keterbatasan yang dihadapi oleh unit manajemen. Indikator yang terkait adalah S1.4, S2.3, S2.8 dan S2.9. B. Rekomendasi Indikator Aspek Sosial INDIKATOR REKOMENDASI PIHAK-PIHAK TERLIBAT Indikator S1.1 Kepastian status areal pemanfaatan hutan. Indikator S1.4 Peluang kerja terbuka bagi seluruh warga komuniti. Indikator S2.2 Ada kompensasi terhadap Perlu dilakukan langkah-langkah strategis dan bijaksana dalam rangka memantapkan status areal kawasan hutan, terutama menyangkut reposisi berkaitan dengan tata batas kawasan konsesi yang belum clear dan clean dengan areal di sekitarnya. Upaya pemantapan status kawasan areal konsesi perlu mengacu pada ketentuan dan perundangan yang berlaku. Unit manajemen perlu membuka peluang kerja lebih banyak bagi warga komuniti dengan tetap memperhatikan kualitas dan profesionalisme kerja yang diberlakukan oleh unit manajemen Unit manajemen perlu memberikan kompensasi/ganti rugi yang adil dan disetujui bersama warga komuniti atas terjadinya Tokoh Masyarakat Pemerintahan Desa Tokoh Masyarakat Pemerintahan Desa Tokoh Masyarakat
19 penggunaan atau kerusakan sumberdaya milik warga komuniti. Indikator S2.3 Penambahan ragam sumber ekonomi bagi warga komuniti. Indikator S2.7 Bekerjanya mekanisme pengelolaan konflik Indikator S2.8 Tercipta dan terpeliharanya produktivitas usaha warga komuniti. kerusakan hak milik atau sumber daya warga komuniti akibat adanya operasionalisasi oleh unit manajemen. Unit manajemen perlu mengupayakan agar sumber mata pencaharian makin bervariasi sebagai akibat adanya kegiatan pengusahaan hutan dan ada dukungan unit manajemen sehingga pendapatan ekonomi rumah tangga warga komuniti meningkat. Agar mekanisme pengelolaan konflik dapat bekerja dengan baik dan efektif, dalam prosedur penyelesaian konflik perlu melibatkan semua pihak (stakeholders) dengan partisipasi secara jujur, adil dan beradab. Unit manajemen harus terus mengupayakan agar terjadi pengembangan perekonomian komuniti sehingga produktivitas usaha warga meningkat secara signifikan terutama melalui program kemitraan. Pemerintahan Desa Tokoh Masyarakat Pemerintahan Desa Tokoh Masyarakat Pemerintahan Desa Tokoh Masyarakat Pemerintahan Desa Indikator S2.9 Besarnya kontribusi unit manajemen dalam pertumbuhan ekonomi di kawasan unit manajemen. Kontribusi unit manajemen dalam pertumbuhan ekonomi di kawasan unit manajemen perlu ditingkatkan, terutama bagi perkembangan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui program kemitraan. Tokoh Masyarakat Pemerintahan Desa C. Kesimpulan Aspek Sosial Berdasarkan kegiatan pra-penilaian lapangan (penapisan) yang dilakukan Panel Pakar I terhadap unit manajemen PT Bukit Batu Hutani Alam untuk semua indikator yang terkait dengan aspek sosial, maka disimpulkan bahwa unit manajemen PT BBHA dengan luas areal Ha sesuai dengan kondisi aktual yang terdapat di lapangan pada saat ini, maka direkomendasikan untuk mengikuti proses sertifikasi PHTL melalui skema sertifikasi bertahap (Phased certification) dengan mengacu pada Pedoman LEI
20 KEPUTUSAN Pra-penilaian lapangan sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari dari Unit Manajemen PT Bukit Batu Hutani Alam (BBHA) Propinsi Riau. Berdasarkan hasil penilaian serta temuan-temuan dan rekomendasi yang telah dilakukan oleh Panel Pakar I yang mendapatkan tugas melaksanakan pra-penilaian lapangan untuk aspek produksi, ekologi dan sosial, seperti yang telah disajikan pada Bab V di atas, maka Tim Panel Pakar I memutuskan bahwa Unit Manajemen PT. Bukit Batu Hutani Alam dengan luas areal hektar dinyatakan memenuhi syarat untuk melanjutkan proses sertifikasi ke tahap berikutnya, Sertifikasi Bertahap PHTL Standard LEI Rekomendasi-rekomendasi setiap aspek dari keputusan ini harus ditindaklanjuti oleh Unit Manajemen sebelum melangkah ke proses selanjutnya.
RINGKASAN LAPORAN PRA PENILAIAN LAPANGAN SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN LESTARI (PHTL) PT. SEKATO PRATAMA MAKMUR PROPINSI RIAU
RINGKASAN LAPORAN PRA PENILAIAN LAPANGAN SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN LESTARI (PHTL) PT. SEKATO PRATAMA MAKMUR PROPINSI RIAU Oleh Lembaga Sertifikasi PT. TUV INTERNATIONAL INDONESIA PENGANTAR
Lebih terperinciUnit Manajemen IUPHHK-HT PT. SATRIA PERKASA AGUNG Propinsi Riau Luas areal ha
RINGKASAN LAPORAN PRA PENILAIAN LAPANGAN SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN LESTARI (PHTL) Unit Manajemen IUPHHK-HT PT. SATRIA PERKASA AGUNG Propinsi Riau Luas areal 76.017 ha Oleh Lembaga Sertifikasi
Lebih terperinciEXECUTIVE SUMMARY SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN LESTARI (PHTL) PT. SATRIA PERKASA AGUNG (UNIT SERAPUNG) PROVINSI RIAU
EXECUTIVE SUMMARY SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN LESTARI (PHTL) PT. SATRIA PERKASA AGUNG (UNIT SERAPUNG) PROVINSI RIAU Oleh : SBU SICS PT. SUCOFINDO (PERSERO) BAB I PROFIL PERUSAHAAN PT. Satria
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN
Lebih terperinciKeputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan
Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 365/Kpts-II/2003 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. BUKIT BATU HUTANI
Lebih terperincitertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang
PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)
Lebih terperinciSTUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR
STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan
Lebih terperinciPUBLIC SUMMARY (Ringkasan Publik)
PUBLIC SUMMARY (Ringkasan Publik) SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN LESTARI (PHTL) PT RIMBA HUTANI MAS PROPINSI JAMBI Oleh Lembaga Sertifikasi PT TUV INTERNATIONAL INDONESIA PROFIL PERUSAHAAN Sejarah
Lebih terperinciPelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.
BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Visi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah adalah Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat. Pelayanan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia
PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,
Lebih terperinci2017, No kelestarian keanekaragaman hayati, pengaturan air, sebagai penyimpan cadangan karbon, penghasil oksigen tetap terjaga; c. bahwa revisi
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.900, 2017 KEMEN-LHK. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Fasilitasi Pemerintah. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciPEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN
Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.202,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO
PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO Menimbang : 1. bahwa
Lebih terperinci2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN
Lebih terperinciIV. KONDISI UMUM. Gambar 3. Peta Lokasi PT. RAPP (Sumber: metroterkini.com dan google map)
19 IV. KONDISI UMUM 4.1 Profil Umum PT. Riau Andalan Pulp and Paper PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) adalah bagian dari Asia Pasific Resources International Holdings Limitied (APRIL) Group, perusahaan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN
Lebih terperinci2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
1 PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa air tanah mempunyai
Lebih terperinciPengantar Umum PEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN IUPHHK-RE Berdasarkan P.32/Menhut-II/2014
Pengantar Umum PEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN IUPHHK-RE Berdasarkan P.32/Menhut-II/2014 Taufik Hidayat, SE, MM, CA Universitas Indonesia Agenda Pendahuluan Prinsip Perlakuan Akuntansi Aktivitas dalam IUPHHK-RE
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciRANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH
RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciPENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF
PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF PT Inhutani II adalah BUMN Holding Kehutahan di luar Jawa, dengan aktivitas bisnis utama meliputi pengusahaan hutan alam, pengusahaan hutan tanaman,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN
1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,
GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan dengan manusia di muka bumi. Hutan menjadi pemenuhan kebutuhan manusia dan memiliki fungsi sebagai penyangga
Lebih terperinciBAB II. PERENCANAAN KINERJA
BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 2
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciSTANDARD DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN LESTARI PADA HUTAN NEGARA (IUPHHK HA/HT/HTI)
Lampiran 1 : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan mor : P.6/VI-Set/2009 Tanggal : 15 Juni 2009 Tentang : Standard Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi
Lebih terperinciPenjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG
Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
Lebih terperinciPEMBENTUKAN WILAYAH KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 6/Menhut-II/2009 TENTANG PEMBENTUKAN WILAYAH KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal
Lebih terperinciDEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE
DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.4/MENLHK/SETJEN/PHPL.3/1/2016 TENTANG PEMBATASAN LUASAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) DALAM HUTAN ALAM ATAU
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciKERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN
KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks
Lebih terperinciSTANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL)
Lampiran 1. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.38/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2016 TENTANG PERSETUJUAN PEMBUATAN DAN/ATAU PENGGUNAAN KORIDOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI
Lebih terperinciBAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan
29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciVI. REKOMENDASI KEBIJAKAN
158 VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang
Lebih terperinciTENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak. Penyebabnya adalah karena over eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan
Lebih terperinciPRINSIP DAN KRITERIA ISPO
Hal. 1 NO. PRINSIP DAN KRITERIA INDIKATOR 1. SISTEM PERIZINAN DAN MANAJEMEN PERKEBUNAN 1.1 Perizinan dan sertifikat. 1. Telah memiliki izin lokasi dari pejabat yang Pengelola perkebunan harus memperoleh
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9 /Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2011
Lebih terperinci2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu
No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG
Lebih terperinciKeputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciFORMAT PENYUSUNAN USULAN RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI (RKUPHHK-HTI)
Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 62/Menhut-/2008 Tanggal : 6 November 2008 Tentang : Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman ndustri dan Hutan Tanaman Rakyat FORMAT
Lebih terperinci2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I
No.2023, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN LHK. Pelimpahan. Urusan. Pemerintahan. (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan. Tahun 2015 Kepada 34 Gubernur. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
Lebih terperinci9/1/2014. Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan?
9/1/2014 Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan? Satu Pelanggaran yang dirancang sebelum Forest Conservation Policy APP/SMG diluncurkan ke Publik SENARAI Pada 5 Februari 2013, Sinar Mas
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41
Lebih terperinci2011, No.68 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Ind
No.68, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Bidang Kehutanan. 9PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9/Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PT. MITRA HUTANI JAYA ATAS
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 51 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciPEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)
LAMPIRAN 1. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA
PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping
Lebih terperinciPRINSIP DAN KRITERIA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO) UNTUK USAHA KEBUN SWADAYA
LAMPIRAN VI PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TANGGAL : PRINSIP DAN KRITERIA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO) UNTUK USAHA KEBUN
Lebih terperinciOleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI
Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon dan/atau Penyimpanan Karbon (PAN-RAP Karbon) Nomor: SK. 494/Menhut-II/2013 Hutan Rawa Gambut Tropis Merang-Kepayang Sumatera Selatan, Indonesia Oleh: PT. GLOBAL
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk
Lebih terperinciREVITALISASI KEHUTANAN
REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG
Draft 10 November 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciHUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo
HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan
Lebih terperinciKEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT
KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri
Lebih terperinciBAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan
BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Berdasarkan penyelenggaraan pelayanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah
Lebih terperinci2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja
No. 1327, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Berkala. Rencana Kerja. Izin. Hasil Hutan. Restorasi Ekosistem. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah
Lebih terperinciMemperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.
BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN
Lebih terperinciIV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
37 IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang merupakan kawasan hutan produksi yang telah ditetapkan sejak tahun
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG
Draft 10 vember 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG
Lebih terperinciSTANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA IUPHHK-RE
Lampiran 1.3. Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor : P.14/PHPL/SET/4/2016 Tanggal : 29 April 2016 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1310, 2014 KEMENHUT. Silvikultur. Izin Usaha. Pemanfaatan. Hasil. Hutan Kayu. Restorasi Ekosistem. Hutan Produksi. Penerapan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU RESTORASI EKOSISTEM DENGAN
Lebih terperinciPEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER
PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2010
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN DAN PERLUASAN AREAL KERJA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) DALAM HUTAN ALAM, IUPHHK
Lebih terperinci*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN. Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Lebih terperinci