STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA DANUR FEBYANDARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA DANUR FEBYANDARI"

Transkripsi

1 i STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA DANUR FEBYANDARI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 ii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2012 Danur Febyandari A

3 iii RINGKASAN DANUR FEBYANDARI. Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta. Dibimbing oleh NURHAYATI HADI SUSILO ARIFIN. Keraton Surakarta sebagai pusat budaya memberikan pengaruh kepada masyarakat dan Kota Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta pada tahun 1745 merupakan cikal bakal terbentuknya kota, sehingga memiliki pengaruh besar terhadap wajah kota saat itu. Sejak tahun 2005, Kota Surakarta telah menjadi kota pusaka di Indonesia, dengan tujuan untuk mempertahankan kelestarian karakteristik budaya dan peninggalan sejarah di kota tersebut yang dapat menjadi identitas dari Kota Surakarta. Seiring dengan perkembangan kota maka terjadi banyak perubahan pada lanskap kota yang pada awalnya merupakan sebuah kota tradisional menjadi kota modern. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, sehingga untuk menjaga dan melestarikan karakteristik kota perlu adanya suatu acuan guna mempertahankan identitas Kota Surakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis konsep lanskap Keraton Surakarta dan mempelajari sejarah perkembangan Kota Surakarta, (2) memetakan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta, dan (3) menghasilkan arahan pengembangan lanskap Kota Surakarta yang beridentitas. Metode yang digunakan pada penelitian ini melalui empat tahap yaitu, (1) tahap persiapan yang meliputi perizinan serta pengadaan alat dan bahan, (2) tahap pengumpulan data, meliputi aspek sejarah, aspek fisik dan aspek sosial, (3) tahap analisis, dilakukan analisis terhadap konsep lanskap Keraton Surakarta, analisis perkembangan Kota Surakarta, analisis sebaran struktur lanskap dan analisis pola sebaran lanskap, dan tahap terakhir adalah (4) tahap sintesis untuk menyusun rekomendasi dalam menciptakan Kota Surakarta menjadi kota yang memiliki identitas budaya yang kuat. Keraton Surakarta merupakan sumber kebudayaan Jawa yang memiliki pemahaman dan konsep tersendiri dalam membentuk wilayahnya. Keraton memiliki konsep tata ruang dengan nilai simbolisme dan filosofi yang kuat

4 iv membuat setiap fase pada bangunan di Keraton Surakarta memiliki makna menuju kesempurnaan dan membentuk suatu hirarki pada bangunan-bangunan di Keraton Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta sejak tahun 1745 memberi pengaruh besar pada perkembangan lanskap Kota Surakarta. Permukiman berkembang kearah barat dan aktivitas masyarakat berpusat pada keraton. Dahulu sebelum adanya Keraton Surakarta, Desa Sala merupakan sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh banyak sungai. Masuknya pengaruh bangsa Belanda membuat perubahan pada lanskap kota. Kota Surakarta yang pada awalnya merupakan kota dengan konsep tradisional berubah menjadi kota modern dengan memiliki corak dan ragam yang dipengaruhi oleh berbagai budaya. Hasil pemetaan terhadap lanskap Kota Surakarta yang meliputi lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan didapatkan pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota tersebar pada luasan sebesar 41% pengaruh kuat, pengaruh sedang 35% dan 23% pengaruh rendah. Memudarnya pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu letak/posisisi Keraton Surakarta, batas alam dan infrastruktur, perkembangan mode dan teknologi serta faktor kependudukan. Hasil analisis persepsi masyarakat didapatkan bahwa kurangnya pengetahuan masyarakat Surakarta terhadap konsep lanskap Keraton Surakarta. Namun, masyarakat memiliki rasa kebanggaan yang tinggi terhadap keraton dan memiliki harapan agar dalam perkembangan kota tetap memperhatikan nilai-nilai budaya tradisional. Konsep pelestarian yang diusulkan adalah meningkatkan dan mempertahankan karakter budaya pada kawasan kota melalui kebijakan pemerintah kota dalam penataan dan pelestarian lanskap peninggalan sejarah dengan didukung oleh partisipasi aktif masyarakat melalui kegiatan yang dapat mempertahankan nilai-nilai budaya. Penataan pada lanskap kota terbagi menjadi tiga zona, yaitu zona inti kota lama Surakarta, zona penyangga dan zona pengembangan. Konsep pelestarian yang diusulkan bertujuan untuk melindungi, melestarikan, meningkatkan integritas budaya dan juga diharapkan dapat menunjang aktivitas ekonomi, budaya dan pariwisata.

5 v Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

6 vi STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA DANUR FEBYANDARI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

7 vii Judul Nama NRP LEMBAR PENGESAHAN : Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta : Danur Febyandari : A Menyetujui, Pembimbing Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc NIP Mengetahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP Tanggal disetujui :

8 viii KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun guna mendapatkan gelar Sarjana Pertanian mayor Arsitektur Lanskap di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian ini berjudul Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan, perhatian serta kesabaran dari awal penelitian hingga ahir skripsi ini terselesaikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada GPH Puger, Bapak Mufti Raharjo, Ibu Keksi Sundari, Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, Badan Perencanaan Daerah Kota Surakarta, dan warga Surakarta yang telah memberikan segala bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Aris Munandar, M.S selaku dosen pembimbing akademik. Ucapan yang sama juga diberikan kepada teman-teman seperjuangan di Arsitektur Lanskap angkatan 45 yang telah memberi dukungan, semangat, doa, keceriaan dan keluh kesah selama kuliah hingga penulisan tugas akhir. Terima kasih juga kepada seluruh keluarga besar arsitektur lanskap IPB atas bantuan dan dukungan selama ini. Terakhir ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta, Ayah, Ibu dan Kakak atas segala doa, kasih sayang, dukungan, motivasi dan perhatian. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi Pemerintah Kota Surakarta dalam membentuk Kota Surakarta sebagai kota yang beridentitas budaya dan juga bermanfaat bagi siapapun yang membaca. Bogor, Oktober 2012 Penulis

9 ix RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 19 Februari 1991, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, putri dari Bapak Mazdan Minarno dan Ibu Etty Nurhayati. Pendidikan yang dilewati penulis diawali pada tahun 1994 dan menyelesaikan Taman Kanak-kanak (TK) pada tahun 1996 di TK Permata Jakarta Utara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 004 Batam. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SLTP Negeri 1 Bogor dan pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor dan selama setahun menjalankan Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Pada Tahun 2009 penulis menjalani pendidikan di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Pada tahun ajaran penulis dipercaya sebagai Asisten Mata Kuliah Sejarah dan Perkembangan Arsitektur Lanskap (semester ganjil). Penulis juga mengikuti kegiatan di luar akademik, seperti menjadi bendahara Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) periode 2009/2010 dan periode 2010/2011. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang mendukung kegiatan akademis.

10 x DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan Manfaat Kerangka Pikir... 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Budaya Lanskap Kota Lanskap Keraton Kota Surakarta... 9 BAB III. METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Metode Tahapan Studi Persiapan Pengumpulan Data Analisis Konsep dan Arahan Pengembangan Lanskap...19 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Keraton Surakarta Hadiningrat Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat Lanskap Keraton Surakarta Hadiningrat Konsep Tata Ruang Keraton Surakarta Arsitektur dan Filosofi Bangunan Keraton Surakarta Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Keraton Surakarta Ornamen dan Ragam Hias Keraton Surakarta Kota Surakarta Kondisi Umum Kota Surakarta Tata Guna Lahan Kota Surakarta...47

11 xi Peraturan Pemerintah Kota Surakarta Sejarah Perkembangan Lanskap Kota Surakarta Persepsi Masyarakat terhadap Keraton Surakarta Hadiningrat Analisis Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta Analisis Jenis Pengaruh Lanskap Pemukiman Lanskap Perkantoran dan Perdagangan Lanskap Fasilitas Umum Lanskap Jalan Analisis Pola Sebaran Pengaruh Usulan Pengembangan Lanskap Konsep Pengembangan Lanskap Arahan Pengembangan Lanskap Arahan Penataan Lanskap...81 BAB V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran...85 DAFTAR PUSTAKA...86 LAMPIRAN...89

12 xii DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka Pikir Penelitian Pela Lokasi Penelitian Diagram Tahapan Penelitian Diagram Kosmologi Keraton Surakarta Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer Sketsa Sumbu Imajiner Lor-Kidul Tata letak bangunan Keraton Surakarta Gapura Gladag Bangsal Bale Bang Kori Kamandhungan Sasana Saweka Sasana Handrawina Kolam Bandhengan Kori Brajanala Kidul Setinggil Kidul Analogi Tata Letak Bangunan Keraton dan Rumah Adat Pohon Beringin Kurung Suasana Setinggil Lor Pohon Sawo Kecil Sulur-suluran Ragam Hias Ukiran Burung Radya Laksana Peta Tata Guna Lahan Kota Surakarta Penulisan Aksara Jawa Peta Sebaran BCB di Surakarta Morfologi Kota Surakarta tahun Tata Letak Gapura Keraton Surakarta Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pemukiman Dalem Purwodiningratan...66

13 xiii 31. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran Lanskap Perkantoran di Surakarta Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas Umum Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Jalan Lanskap Jalan Slamet Riyadi Tingkat Pengaruh Konsep Lanskap Keraton terhadap Lanskap Kota Surakarta Peta Kota Lama Surakarta Penataan Lanskap alun-alun utara Penataan Lanskap jalur pejalan kaki...83

14 xiv DAFTAR TABEL 1. Data yang dibutuhkan pada Penelitian Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman Kriteria Penilaian Lanskap Perkantoran dan Fasilitas Publik Kriteria Penilaian Lanskap Jalan Penggunaan Lahan di Surakarta Pendapat masyarakat terhadap Lanskap Kota Surakarta Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pemukiman Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran dan Perdagangan Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas publik Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Jalan Guideline penataan lanskap kota

15 xv DAFTAR LAMPIRAN 1. Lembar Kuisioner Perhitungan Interval Penilaian Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Pemerintah Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Swasta Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pertokoan Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pasar Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Hotel Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Pendidikan Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Taman Kota Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Transportasi Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Kesehatan Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Peribadatan

16 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan sebuah kawasan bersejarah yang terbentuk akibat kesinambungan kehidupan masyarakat yang berlangsung dari waktu ke waktu. Terbentuknya kawasan keraton dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat Jawa pada zaman itu dan terus turun temurun menjadikan keraton sebagai suatu bentuk lanskap budaya yang dianggap sebagai pusat dan sumber kebudayaan Jawa. Keraton menjadi pandangan hidup bagi masyarakat Jawa, oleh karena itu keberadaan keraton memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan lingkungan disekitarnya. Konsep bangunan dan lanskap keraton menjadi pengaruh besar dalam pembentukan lanskap sekitar keraton hingga lanskap Kota Surakarta. Sehingga tercipta suatu lanskap khas dan menjadi pencerminan budaya masyarakat Jawa. Keberadaan Keraton Surakarta merupakan identitas pembentuk karakter lanskap Kota Surakarta. Perkembangan kota sudah sepantasnya mengikuti konsep yang digunakan keraton agar tercipta suatu lanskap kota yang memiliki identitas dan ciri khas tersendiri. Kota Surakarta saat ini tebagi menjadi Solo Lama dan Solo Baru. Menurut Hadi (2001), Solo Lama adalah pusat pemerintahan Kerajaan Surakarta dan Solo Baru merupakan perkembangan kota yang lebih modern. Pada saat sekarang ini, ruang Kota Solo selain dibentuk oleh bangunan-bangunan modern seperti kotakota lainnya di Indonesia, maka secara arsitektural ruang kotanya masih mampu memperlihatkan bangunan-bangunan yang bercirikan era kerajaan (feodal) Jawa dan era kolonial Belanda, bahkan pada beberapa bagian kota masih terdapat bangunan-bangunan dengan arsitektur etnik Cina, Arab dan Indoland/ Campuran (Qomarun dan Budi, 2007). Menurut Zaida (2004), terdapat beberapa faktor yang menentukan perubahan tatanan ruang kota Surakarta, yaitu: pertama, nilai-nilai dan normanorma kepercayaan yang berlaku pada masyarakat sehingga mempengaruhi dan membentuk pola, sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam hal penataan kota. Kedua, faktor yang mempengaruhi

17 2 perkembangan dan perubahan kota adalah kebijakan penguasa/pemerintah pada setiap periode perkembangan dan ketiga adalah kalangan pengusaha dengan modal yang dimiliki mampu mengubah tatanan dan perkembangan tata ruang kota. Hal ini mengakibatkan pengaruh yang berbeda pada setiap bagian kota dan lunturnya penerapan lanskap keraton pada pembentukan lanskap kota. Sejak tahun 2005, Kota Surakarta termasuk kedalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Penetapan Surakarta sebagai Kota Pusaka bertujuan agar dapat mempertahankan kelestarian karakteristik budaya dan peninggalan sejarah yang berada di Surakarta. Kota Surakarta memiliki karakter budaya yang sangat kuat dipengaruhi oleh keberadaan Keraton Surakarta. Konsep lanskap yang khas dari Keraton Surakarta dapat digunakan dalam penataan ruang lanskap Kota Surakarta, sehingga menjadi pembentuk identitas yang kuat bagi Kota Surakarta. Pengaruh yang tidak merata dan lunturnya pengaruh Keraton Surakarta perlahan-lahan menghilangkan karakteristik budaya dari Kota Surakarta. Oleh karena itu dilakukan penelitian guna mengetahui perkembangan lanskap Kota Surakarta dan dilakukan pemetaan terhadap lanskap kota yang memiliki pengaruh Keraton Surakarta. Kemudian dihasilkan suatu arahan pengembangan kota guna membentuk dan menguatkan karkater budaya dari Kota Surakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan manfaat terhadap masyarakat mengenai karkater budaya Kota Surakarta dan menjadi bahan masukan kepada pemerintah Kota Surakarta dalam menata dan merencanakan penataan Kota Surakarta yang beridentitas. 1.2 Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : 1. menganalisis konsep lanskap Keraton Surakarta dan keterkaitannya dengan sejarah perkembangan Kota Surakarta 2. memetakan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan lanskap Keraton Surakarta pada lanskap Kota Surakarta 3. menghasilkan arahan pengembangan lanskap Kota Surakarta yang beridentitas.

18 3 1.3 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat sebagai berikut : 1. memberi informasi tentang karakteristik dan pola sebaran pengaruh lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta 2. memberi masukan kepada pemerintah kota guna menciptakan kota yang beridentitas. 1.4 Kerangka Pemikiran Studi mengenai pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta terhadap Kota Surakarta dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa perkembangan kota yang terjadi dari masa kemasa dipengaruhi oleh banyak faktor. Keraton Surakarta sebagai pembentuk awal dari lanskap kota memberi identitas tersendiri pada kota. Keberadaan Keraton Surakarta dengan konsep ruang, elemen dan ornamen lanskap yang khas memberikan pengaruh pada perkembangan kota. Budaya keraton, termasuk konsep lanskap keraton, turut mempengaruhi bentukan wajah kota. Seiring dengan perkembangan waktu maka dalam perkembangannya, lanskap Kota Surakarta yang terbentuk pada saat ini dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan juga faktor-faktor lainnya. Identifikasi lanskap pada jenis dan sebaran pengaruh akan sangat penting untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta saat ini. Sebaran, karakteristik, serta tingkat pengaruh pada seluruh wilayah kota dipengaruhi oleh faktor fisik, kebijakan pemerintah dan faktor-faktor lainnya. Melalui identifikasi konsep ruang, jenis elemen, tata letak dan ornamen dari keraton maka dapat dilakukan pemetaan terhadap sebaran konsep lanskap keraton terhadap lanskap kota dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran dan penerapan dari lanskap keraton terhadap lanskap kota. Pemetaan dan deliniasi pada lanskap kota dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun arahan pengembangan lanskap Kota Surakarta yang beridentitas. Kerangka berfikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

19 4 Lanskap Keraton Surakarta Lanskap Awal Kota Surakarta Kebijakan Pemerintah Perkembangan Kota Lanskap Kota Surakarta Saat Ini Pengaruh Luar Identifikasi Lanskap Kota Surakarta : Jenis Pengaruh : - Konsep Ruang - Jenis Elemen - Tata Letak Elemen - Ornamen Posisi Penerapan Pengaruh Lanskap Keraton Surakarta Pemetaan dan deliniasi pengaruh Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta : - Jenis/ragam pengaruh - Intensitas/pola pengaruh - Visual lanskap Kota Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta Usulan Arahan Pengembangan Kota Surakarta Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

20 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan Rossler, 1995). Lanskap budaya pada beberapa negara di dunia menonjol sebagai model interaksi antara manusia, sistem sosial dan cara manusia mengatur ruang. Lanskap budaya dapat teridentifikasi menjadi komponen teraba dan tidak teraba. Komponen tidak teraba berupa suatu ide dan interaksi yang berdampak pada persepsi dan pembentukan lanskap, seperti keyakinan yang sudah terlebur dengan lanskap terkait. Lanskap budaya merupakan cerminan dari budaya yang membentuk lanskap itu sendiri. Sedangkan menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001) lanskap budaya merupakan suatu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan dalam bentuk dan pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur lain. Melnick (1983) menyatakan bahwa terdapat setidaknya tiga belas komponen yang merupakan karakter atau identitas lanskap budaya. Ketiga belas komponen tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu konteks, organisasi, dan elemen. 1. Lanskap budaya dalam kelompok konteks a. sistem organisasi lanskap budaya b. kategori penggunaan lahan secara umum c. aktivitas khusus dari pengguna lahan. 2. Lanskap budaya dalam kelompok organisasi a. hubungan bentuk bangun dari elemen mayor alami b. sirkulasi jaringan kerja dan polanya c. batas pengendalian elemen

21 6 d. penataan tapak. 3. Lanskap budaya dalam kelompok elemen a. hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan b. tipe bangunan dan fungsinya c. bahan dan teknik konstruksi d. skala terkecil dari elemen e. makam atau tempat simbolik lainnya f. pandangan sejarah dan kualitas persepsi. 2.2 Lanskap kota Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kota adalah daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat, daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar pertanian dan juga dinding (tembok) yang mengelilingi tempat pertahanan. Perencanaan kota di negara berkembang, seperti Indonesia, diawali dengan penataan ulang (revitalisasi) struktur kota, politik arsitektur kolonial menjadi sebuah pijakan karena kota di Indonesia sejak zaman dahulu sudah direncanakan dan dirancang oleh Belanda, termasuk di dalamnya penempatan distrik-distrik gedung pemerintahan, pusat perdagangan dan jasa, struktur jalan serta fasilitas lain (Mulyandari, 2011). Pembangunan gedung-gedung pemerintahan, pasar, permukiman, rel kereta api, jalan raya, pabrik gula dan bangunan-bangunan lain di Indonesia adalah kontribusi daru zaman kolonial Belanda. Menurut Freeman (1974) dalam Warlina (2001), struktur perkotaan memiliki empat ciri khas yang meliputi penyedia fasilitas untuk seluruh warga, penyedia jasa (tenaga), penyedia jasa profesional (bank, kesehatan dan lainnya) serta memiliki pabrik (industri). Sedangkan menurut Lynch (1960), elemen penting pada suatu kota dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentukan fisik, yaitu paths (jalur/jalan), nodes (simpul), districs (distrik), landmarks (tengaran), dan edges (tepian). Paths atau jalur/jalan merupakan suatu unsur penting pembentuk kota. Berdasarkan elemen pendukungnya, paths meliputi jaringan jalan sebagai prasarana pergerakan dan angkutan darat, sungai, laut, udara, terminal sebagai

22 7 sarana pengangkutan. Nodes atau simpul merupakan pertemuan antara beberapa jalan/lorong yang ada di kota, sehingga membentuk suatu ruang tersendiri. Nodes merupakan suatu pusat kegiatan fungsional yang menjadi pusat penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup. Distrik yang terdapat dipusat kota merupakan daerah komersial yang didominasi oleh kegiatan ekonomi dan pada daerah yang berbatasan dengan distrik terdapat banyak tempat yang digunakan sebagai pasar lokal, pertokoan dan sebagian lain digunakan sebagai tempat tinggal. Landmarks merupakan citra suatu kota dimana memberikan suatu kesan terhadap kota tersebut. Edges merupakan suatu masa bangunan yang membentuk dan membatasi suatu ruang di dalam kota. Menurut Mulyandari (2011) kondisi kota yang ada di Indonesia sangat kompleks yaitu pertumbuhan/perkembangan kota yang tidak merata, masih dipengaruhi oleh pasar, terjadi proses-proses komersial yang cenderung tidak terkontrol, kerusakan lingkungan yang semakin parah, inefisiensi sumber daya, bahkan terjadi ketidakadilan sosial. Sehingga kota di Indonesia dapat dikarakteristikkan sebagai berikut: a. tumbuh secara tidak terencana (organis) b. cenderung tidak terkendali (sprawl) c. mengabaikan aspek tata guna lahan, sehingga tata guna lahan tercampur (mixed-uses) d. dualisme ekonomi : formal informal e. budaya kota yang khas f. aturan-aturan pemerintah kota banyak yang tidak terlaksana. Mulyandari menyatakan lebih lanjut, untuk membentuk suatu kota yang memiliki karakteristik, humanisme dan spiritualisme maka diperlukan kualitas dasar manusia yang menjadi penghuni sebuah kota, yaitu a. filosof, yang akan merumuskan konsep ideologi, konsep ketatanegaraan dan ilmu-ilmu filsafat lainnya b. seniman, yang memiliki kreativitas dan karakteristik nilai keindahan yang akan membentuk watak dan karakteristik masyarakat

23 8 c. teknokret, yang akan mempengaruhi perkembangan sistem ekonomi, politik sekaligus melakukan percepatan pertumbuhan kehidupan kearah yang lebih baik dengan ilmu pengetahun dan teknologi d. pebisnis, yang mempengaruhi proses urbanisasi dengan cepat. e. ulama, yang memiliki kualitas spiritual untuk menyeimbangkan kemajuan peradaban manusia yang cepat, dengan meningkatkan manusia tentang hubungan manusia-tuhan-alam. 2.3 Lanskap Keraton Keraton sering disebut sebagai kebudayaan masyarakat Jawa. Menurut kamus besar bahasa Indonesia istilah keraton memiliki arti sebagai tempat kediaman ratu dan raja, kerajaan, maupun istana raja. Pada Keraton Surakarta istilah kedhaton merujuk kepada kompleks tertutup bagian dalam keraton tempat raja dan putra-putrinya tinggal. Lanskap keraton merupakan lanskap yang terbentuk akibat timbal balik antara masyarakat yang tinggal disekitar keraton dengan alam untuk terus bertahan hidup. Keraton yang dianggap sebagai sumber budaya menjadi panutan bagi penduduk sekitar keraton sehingga konsep lanskap pada keraton diterapkan pada tempat tinggal mereka. Pengaruh keraton yang besar terhadap lanskap sekitar mempengaruhi pembentukan lanskap kota tempat keraton berada. Keraton Kasunanan Surakarta yang berdiri pada tahun 1745 Masehi mengalami masa pembangunan selama beberapa periode. Pembangunan dan perbaikannya dilaksanakan mulai dari Raja Pakubuwana II sampai Raja Pakubuwana XII sehingga keraton memiliki wujud fisik seperti yang ada pada saat ini. Dari Alun-alun Utara melalui Gapura Gladag hingga Alun-alun Selatan melalui Gapura gading. Pada bagian tengah Alun-alun Utara dan Selatan terdapat kawasan utama keraton yang dikelilingi tembok setebal dua meter dan setinggi enam meter yang disebut kawasan Baluwerti. Di tengah Baluwerti masih terdapat pagar tembok berkeliling. Di bagian dalam tembok inilah terletak inti keraton yang sering disebut juga Cepuri atau Kedaton. Di dalam Kedaton terdapat tempat tinggal raja dengan keluarganya. Raja tinggal di sebuah bangunan yang disebut Dalem Agung Prabasuyasa (Maruti, 2003).

24 9 Keraton Surakarta memiliki konsep tata ruang yang khas dalam penataan ruang. Terdapat konsep simbolisme dan filosofi yang kuat pada Keraton Surakarta, sehingga terdapat suatu hirarki pada susunan bangunan-bangunan di Keraton Surakarta. Konsep simbolisme dan filosofi Keraton Surakarta juga ditemukan pada tata ruang luar yang terbagi menjadi empat kriteria, yaitu Alunalun Lor, pelataran pelataran Setinggil Lor, pelataran kedathon dan Alun-alun Kidul (Setiawan, 2000). Alun-alun yang terletak diutara merupakan simbol dari kehidupan di dunia dan alun-alun di selatan mencerminkan kematian. Lanskap keraton merupakan cerminan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Jawa. Taman-taman dan penataan ruang bahkan penanaman pepohonan mengikuti kepercayaan yang mereka percaya, seperti penanaman pohon sawo kecik dibelakang halaman Keraton Surakarta yang memiliki filosofi tersendiri. Filosofi sawo kecik identik dengan sarwo becik yang memiliki arti serba baik. Diharapkan yang menanam dan yang mempunyai tanaman ini dirumahnya akan selalu mendapatkan kebaikan (Wukilarit 2010). Penetapan dan peletakan vegetasi pada kawasan keraton juga memiliki makna tersendiri seperti dua pohon beringin (Ficus benjamina) di bagian depan komplek alun-alun Keraton Surakarta yang melambangakan perlindungan dan keadilan. 2.4 Kota Surakarta Kota Surakarta atau dikenal dengan kota Solo merupakan sebuah kota di Pulau Jawa yang menjadi sangat menarik karena keberadaan Keraton Surakarta. Keraton Surakarta dengan konsep tata ruang yang memiliki ciri khas tersendiri mempengaruhi pembentukan wajah lanskap pada Kota Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta menjadi panutan masyarakat Surakarta dalam berbagai hal, baik dari kepercayaan mengenai filosofi kehidupan hingga paham-paham maupun ajaran yang dianut oleh keraton. Kota Surakarta merupakan sebuah kota yang tumbuh sebagai pusat pemerintahan kerajaan, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang mendukung fungsi komersial, industri, jasa dan sektorsektor lainnya, layaknya sebuah kota modern (Hadi,2001). Surakarta pada awalnya berkembang dengan konsep tata ruang tradisional mengalami perubahan menjadi kota kolonial dan pada akhirnya menjadi kota

25 10 modern dengan tidak menghiraukan kembali konsep-konsep yang digunakan oleh Keraton Surakarta. Hadi (2001) menyatakan bahwa Solo Lama adalah pusat pemerintahan Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Dimana pasar-pasar tempat penduduk melakukan transaksi dalam nama-nama Jawa. Pola penyebaran pasarpasar ini membentuk konfigurasi kota yang cenderung berkembang mengikuti pola grid. Kota Surakarta memiliki luas wilayah sebesar 4.404,06 Ha dan terbagi menjadi lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari. Dari lima kecamatan tersebut terdapat 51 kelurahan. Terjadi konflik penggunaan ruang di pusat kota antara usaha memanfaatkan ruang (wilayah binaan antik) guna mengejar nilai ekonomi tanah dan usaha konservasi budaya. Perkembangan kota yang pesat membawa serta perubahan budaya warga kota, jumlah kepadatan penduduk meningkat mempengaruhi pola penggunaan ruang pada kota Surakarta. Pemukiman penduduk cenderung bergeser keluar, sehingga muncul wilayah-wilayah desa-kota disekeliling Surakarta. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, Kota Surakarta terus mengalami perkembangan perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti perubahan ekologi kota, pertambahan penduduk, dan juga faktor eksternal yang secara langsung mempengaruhi perkembangan kota melalui kebijakan politik dan masuknya kekuatan kapitalis. Surakarta kemudian menampilkan bentuknya sebagai kota yang memadukan unsur-unsur tradisional dan modern (Gunawan, 2010).

26 11 BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian mengenai pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta ini dilakukan pada kawasan Keraton Kesunanan Surakarta dan kawasan Kota Surakarta. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Waktu dalam penelitian ini adalah enam bulan, dari bulan Februari 2012 hingga Juli Indonesia Pulau Jawa Kota Surakarta Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Sumber : BAPEDDA Surakarta

27 Metode Penelitian dilakukan dengan membagi dua wilayah identifikasi, yaitu pada lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta. Penelitian dilakukan melalui empat tahapan, yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis dan sintesis serta penyusunan rekomendasi guna meningkatkan identitas Kota Surakarta. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Persiapan Pembuatan proposal dan kolokium Perizinan dinas terkait Pengadaan alat dan bahan penelitian Pengumpulan Data Data Lanskap Keraton Surakarta Data Lanskap Kota Surakarta Analisis Analisis konsep ruang, elemen dan ornamen lanskap Keraton Surakarta Analisis perkembangan lanskap Kota Surakarta Pemetaan pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap Kota Surakarta Analisis pola sebaran lanskap dan faktor yang mempengaruhi penerapan konsep lanskap keraton terhadap perkembangan Kota Surakarta Sintesis Formulasi pengaruh konsep lanskap keraton pada lanskap kota dan kebutuhan pengembangan Rekomendasi guna pengembangan lanskap kota Gambar 3. Diagram Tahapan Studi

28 Tahapan Studi Persiapan Tahapan persiapan meliputi penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan kolokium yaitu mempresentasikan proposal penelitian dan mendapatkan masukan. Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan mengurus perizinan di lokasi penelitian dan dilakukan pencarian informasi umum mengenai lokasi penelitian, serta mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan Pengumpulan data Data yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah data lanskap Keraton Surakarta dan data lanskap Kota Surakarta. Data Keraton Surakarta mencakup data primer dan sekunder yaitu data mengenai aspek kesejarahan, konsep ruang, desain/ragam hias dan ornamen pada elemen lanskap. Data yang diperlukan pada Kota Surakarta terdiri dari aspek kesejarahan, penggunaan lahan, struktur kota, elemen-elemen pembentuk kota, aspek legal dan juga pendapat/pandangan masyarakat Kota Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta. Data yang dibutuhkan pada penelitian akan dijabarkan pada Tabel 1. Pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut : a. Observasi : observasi merupakan pengamatan pada tapak guna mengetahui kondisi eksisting pada tapak. Observasi dilakukan dengan mengamati lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta yang meliputi lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan. b. Wawancara : wawancara dengan narasumber guna mengetahui informasi mengenai hal terkait. Tahapan wawancara juga diperlukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kondisi sosial budaya yang ada pada masyarakat sekitar yang tidak dapat dilihat secara langsung melalui tahapan observasi. Wawancara dilakukan dengan berbagai narasumber, yaitu : 1. GPH Puger, Kepala Sasana Pustaka Keraton Surakarta 2. Mufti Raharjo, Kepala Bidang Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya (BCB) Dinas Tata Ruang Kota Surakarta

29 14 3. Endah Sita Resmi, Kepala Bidang Perencanaan Tata Ruang Dinas Tata Ruang Kota Surakarta 4. Keksi Sundari, kepala Bidang Sarana Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta c. Kuisioner : Kuisioner digunakan sebagai media wawancara kepada masyarakat kota Surakarta. Kuisioner disebar kepada masyarakat kota guna mengetahui pandangan maupun pendapat masyarakat Kota Surakarta terhadap Keraton Surakarta dan keinginan masyarakat dalam penataan kota. Kuisioner disebar pada masyarakat yang bermukim di sekitar keraton dan masyarakat yang bermukim di berbagai kecamatan di Kota Surakarta, sehingga diharapkan dapat mewakili pendapat dari masyarakat Kota Surakarta. d. Studi pustaka : Studi pustaka dilakukan guna mengetahui kondisi sosial budaya, maupun kesejarahan yang sudah tidak dapat dilihat karena bentukan fisik sudah hilang tergerus oleh perkembangan zaman. Studi pustaka juga dilakukan terhadap konsep dan sejarah perkembangan kota, dokumen-dokumen maupun peta dan juga kebijakan-kebijakan pemerintah. Tabel 1. Data yang dibutuhkan pada penelitian Jenis Data Bentuk Data Sumber Data 1 Lanskap Sejarah Keraton Surakarta Arsip keraton, Keraton Konsep dan filosofi Tata Ruang dan Lanskap observasi, studi Surakarta Keraton pustaka dan Jenis, tata letak dan makna elemen-elemen wawancara keraton (hardscape dan softscape ) 2 Lanskap Kota Surakarta Kondisi Umum Sejarah dan perkembangan kota Penggunaan lahan (landuse) Struktur kota ( pusat kota hingga pinggir kota) Kondisi Biofisik ( iklim, topografi, hidrologi, vegetasi, satwa, tanah dan sirkulasi) Elemen fisik : kantor-kantor pemerintahan, kantor swasta, bangunan dan fasilitas umum (pasar, taman, tempat peribadatan, sarana pendidikan) dan bangunan serta fasilitas komersil Permukiman : Bangunan (arsitektur dan orientasi) dan halaman rumah (elemen hardscape dan softscape) BMG, observasi lapang, kuisioner dan studi pustaka

30 15 Tabel 1. Data yang dibutuhkan pada penelitian (Lanjutan) Jenis Data Bentuk Data Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) 2 Lanskap Kota Surakarta Kebijakan pengembangan dan pembangunan kota Kebijakan mengenai pelestarian kota dan kawasan bersejarah Persepsi masyarakat mengenai Keraton Surakarta Sumber Data BAPPEDA, Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, wawancara dan kuisioner Analisis Tahapan analisis meliputi tahap identifikasi dan analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta. Tahapan analisis dilakukan dengan metode analisis deskriptif kuantitatif, deskriptif kualitatif dan secara spasial. Analisis dilakukan melalui empat tahap, yaitu analisis konsep lanskap Keraton Surakarta, analisis perkembangan lanskap Kota Surakarta, analisis sebaran elemen lanskap dan analisis pola sebaran lanskap. 1. Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dilakukan secara deskriptif kualitatif. Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dilakukan guna mengetahui tatanan dan karakter lanskap dari Keraton Surakarta. Konsep lanskap pada Keraton Surakarta yang dikemukakan oleh Setiawan (2000) dalam tesis yang berjudul Konsep Simbolisme dalam Tata Ruang Luar Keraton Surakarta merupakan dasar dalam melakukan identifikasi dan analisis konsep lanskap keraton. Setiawan (2000) menyatakan bahwa ruang luar/lanskap pada Keraton Surakarta terdiri dari sejarah keraton, bangunan keraton, pandangan hidup dan adat istiadat, serta konsep tata ruang keraton. Identifikasi pada lanskap keraton juga dilakukan dengan cara observasi langsung dan juga wawancara dnegan pihak-pihak terkait. Hasil deskripsi lanskap Keraton Surakarta digunakan untuk mengidentifikasi pengaruh/kesamaan pada lanskap Kota Surakarta. 2. Analisis Perkembangan Kota Surakarta Analisis perkembangan lanskap kota Surakarta dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif dan spasial. Analisis dilakukan dengan menelusuri sejarah Kota Surakarta melalui periode pemerintahan sejak Keraton Surakarta hingga saat

31 16 ini. Analisis juga dilakukan dengan mengacu pada peta maupun sketsa denah lanskap kota dari berbagai periode pemerintahan. Analisis dilakukan guna mengetahui arah perkembangan kota serta karakteristik lanskap yang terbentuk pada Kota Surakarta. 3. Analisis pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta Analisis pengaruh konsep lanskap keraton pada lanskap Kota Surakarta dilakukan dengan cara deskriptif kuantitatif, yaitu pemberian skor nilai pada lanskap kota. Menurut Lynch (1960) elemen penting dari suatu kota terdiri dari paths, nodes, district, landmarks dan edges. Sedangkan menurut Freeman (1974) suatu kota harus menyediakan berbagai fasilitas untuk seluruh warga. Sehingga penilaian jenis pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap kota dilakukan dengan penilaian pada empat elemen penting pada kota, yaitu: a. lanskap permukiman b. lanskap perkantoran dan perdagangan c. lanskap fasilitas umum d. lanskap jalan. Analisis skoring pada masing-masing elemen lanskap dilakukan dengan observasi/pengamatan langsung dan juga melalui penelusuran cagar budaya yang telah ditetapkan pada Surat Keputusan Walikota pada Tahun 1997 serta dengan melakukan identifikasi melalui bantuan dari google maps. Metode ini dilakukan guna memetakan lanskap Kota Surakarta. Analisis skoring pada elemen-elemen lanskap kota akan dinilai berdasarkan kriteriakriteria tertentu yang diungkapkan oleh Haris dan Dines (1988) mengenai asosiasi kesejarahan serta kriteria elemen bersejarah seperti pada Undang-Undang No.11 Tahun 2010 dan juga dengan menggunakan karakter lanskap keraton seperti yang diungkapkan oleh Setiawan (2000) seperti konsep tata ruang, arsitektur bangunan keraton, ragam hias dan elemen pendukung lanskap keraton lainnya. Kemudian skor penilaian akan dijumlahkan guna mengetahui apakah elemen-elemen lanskap pada Kota Surakarta masih mengikuti konsep lanskap yang digunakan pada keraton Surakarta. Selanjutnya setelah dihasilkan analisis skoring secara spasial, maka akan dihitung luasan setiap zona guna mengetahui besaran area pada masing-masing zona pengaruh.

32 17 Kriteria dalam penilaian terhadap masing-masing elemen disajikan pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4. Kriteria penilaian pada lanskap meliputi : a. asosiasi kesejarahan b. konsep tata ruang c. jenis elemen d. posisi/tata letak elemen e. desain elemen f. ornamen atau ragam hias Keraton Surakarta. Kriteria penilaian memiliki bobot penilaian yang berbeda-beda. Asosiasi kesejarahan memiliki bobot nilai terbesar, hal ini dikarenakan nilai sejarah merupakan elemen penting yang dapat menunjukan pengaruh dari Keraton Surakarta. Sedangkan kriteria lain memiliki bobot yang lebih rendah, karena pada kriteria-kriteria tersebut dianggap memiliki kepentingan yang sama. Penilaian terhadap lanskap dihitung berdasarkan metode skoring yang digunakan oleh Slamet (Slamet, 1983 dalam Anggraeni, 2011) yaitu dengan rumus interval sebagai berikut : Interval g. Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) Skor minimum (SMi) Jumlah Kategori Tinggi Sedang Rendah = SMi + 2IK +1 sampai SMa = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) = SMi sampai SMi +IK Tabel 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman Kriteria Asosiasi Kesejarahan (40%) Tata Ruang (10%) Hubungan kesejarahan yang kuat dengan Keraton Surakarta Skor Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1) Hubungan kesejarahan yang lemah dengan Keraton Surakarta Tata ruang kawasan menyerupai tata ruang di Keraton Surakarta Tata ruang kawasan sedikit menyerupai tata ruang di Keraton Surakarta Tidak memiliki hubungan kesejarahan dengan Keraton Surakarta Tata ruang kawasan tidak menyerupai tata ruang di Keraton Surakarta

33 18 Tabel 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman (Lanjutan) Kriteria Arsitektur Bangunan (20%) Ornamen Bangunan (15%) Kesamaan elemen hardscape dan softscape (15%) Permukiman mengadopsi gaya arsitektur seperti pada Keraton Surakarta Ornamen bangunan memiliki maupun menyerupai detail yang menunjukan Skor Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1) Permukiman mengadopsi Permukiman tidak beberapa gaya arsitektur, dapat menunjukkan namun masih gaya arsitektur masa mencerminkan gaya lalu arsitektur masa lalu ciri khas Keraton Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta Ornamen bangunan memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu Elemen lanskap masih memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu Ornamen bangunan tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu Elemen lanskap tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Tabel 3. Kriteria Penilaian Lanskap Perkantoran dan Perdagangan dan Lanskap Kriteria Asosiasi Kesejarahan (40%) Posisi terhadap Keraton Surakarta (20%) Arsitektur Bangunan (20%) Kesamaan jenis elemen lanskap (20%) Fasilitas Umum Skor Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1) Hubungan kesejarahan yang lemah dengan Keraton Surakarta Hubungan kesejarahan yang kuat dengan Keraton Surakarta Terletak pada konsep tata ruang Keraton Surakarta Lanskap bangunan mengadopsi gaya arsitektur seperti pada Keraton Surakarta Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta dan banyak tersebar Terletak pada konsep tata ruang lain Lanskap bangunan mengadopsi beberapa gaya arsitektur, namun masih mencerminkan gaya arsitektur tradisional Jawa Elemen lanskap masih memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu dan tersebar cukup banyak Tidak memiliki hubungan kesejarahan dengan Keraton Surakarta Tidak terletak pada konsep tata ruang Keraton Surakarta Lanskap bangunan tidak mengadopsi gaya arsitektur tradisional Jawa Elemen lanskap tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi

34 19 Tabel 4. Kriteria Penilaian Lanskap Jalan Kriteria Asosiasi Kesejarahan (40%) Kesamaan elemen hardscape (30%) Skor Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1) Hubungan kesejarahan Hubungan kesejarahan Tidak memiliki yang kuat dengan yang lemah dengan hubungan Keraton Surakarta Keraton Surakarta kesejarahan dengan Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta Elemen lanskap memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas Keraton Surakarta Elemen lanskap masih memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas masa lalu Keraton Surakarta Elemen lanskap tidak memiliki detail yang dapat menunjukan ciri khas di masa lalu Kesamaan elemen Elemen lanskap masih memiliki detail yang Elemen lanskap tidak memiliki detail softscape dapat menunjukan ciri yang dapat (30%) khas masa lalu menunjukan ciri khas di masa lalu Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi 4. Analisis pola sebaran lanskap Analisis spasial dilakukan guna mengetahui pola sebaran lanskap. Analisis dilakukan dengan menggunakan peta hasil analisis jenis pengaruh konsep lanskap keraton terhadap Kota Surakarta. Analisis pola sebaran lanskap dilakukan guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sebaran lanskap tersebut Konsep dan Arahan Pengembangan Lanskap Setelah dilakukan analisis data didapatkan suatu hasil menyeluruh yang merupakan hasil analisis data baik analisis konsep lanskap keraton, analisis perkembangan Kota Surakarta, analisis sebaran jenis pengaruh lanskap maupun analisis pola sebaran lanskap. Pada tahap sintesis didapatkan formulasi mengenai pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap Kota Surakarta dan faktorfaktor yang mempengaruhi sehingga didapatkan kebutuhan pengembangan yang dapat digunakan untuk pengembangan Kota Surakarta.

35 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keraton Surakarta Hadiningrat Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta terletak pada Kelurahan Baluwerti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Keraton Surakarta terletak pada pusat kota Surakarta dengan batas utara adalah Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama Kota Surakarta, sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Veteran, sebelah timur dan barat berbatasan dengan Jalan Supit Urang. Keraton Surakarta memiliki aksesibilitas yang baik karena letaknya berada pada pusat kota dan juga berdekatan dengan kawasan perekonomian kota. Kawasan Keraton Surakarta memiliki luas wilayah ±55 ha yang meliputi Alun-alun Utara, lingkungan dalam tembok Baluwarti (keraton dan perumahan Baluwarti) sampai dengan Alun-alun Selatan Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta merupakan bangunan bersejarah yang merupakan rintisan Kerajaan Mataram. Keraton Surakarta sering juga disebut dengan Keraton Mataram Surakarta (Nitinagoro, 2011). Keraton Mataram mengalami perpindahan ibukota kerajaan sebanyak lima perpindahan sebelum akhirnya berdiri Keraton Mataram Surakarta. Pada tahun 1742 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Cina di Kartasura dan berhasil menduduki Keraton Kartasura yang pada saat itu dipimpin oleh Ingkang Sinuhun Susuhanan Paku Buwono II. Pemberontakaan ini dinamai dengan Geger Pecinan. Peristiwa Geger Pecinan merupakan awal mula hancurnya Keraton Mataram Kartasura. Dengan melihat kondisi Keraton Mataram Kartasura yang telah hancur maka Susuhan Paku Buwono II memberi perintah untuk dilakukan pemindahan keraton. Terdapat tiga tempat untuk dijadikan keraton baru sebagai ganti Keraton Mataram Kartasura, yaitu Kadipolo, Sonosewu dan Desa/Dusun Sala. Desa Sala terpilih menjadi tempat untuk dibangun keraton baru.

36 21 Desa Sala merupakan sebuah desa yang dikuasai oleh Ki Gede (Ageng) Sala. Dari Ki Gede Sala ini akan diketahui asal usul dari keberadaan Desa Sala. Nama Sala diambil dari nama pemimpin desa pada masa itu, yaitu seorang abdi dalem Kerajaan Pajang yang bernama Kiai Sala Sepuh. Pembangunan keraton baru dimulai dengan desain bangunan tidak berbeda jauh dengan Keraton Kartasura. Keraton baru ini dikenal dengan nama Keraton Nagari Surakarta dan selesai dibangun pada tahun 1667 Jawa atau 1745 Masehi, walaupun keraton masih berpagar bambu belum memiliki pagar dengan tembok seperti saat ini. Perpindahan keraton dari Keraton Kartasura menuju Keraton Surakarta tercatat dilakukan pada Rabu Pahing bulan Muharram (Sura) tahun Eje 1667 Jawa tahun 1745 Masehi atau 17 Februari 1745 Masehi. Pada masa pemerintahan Paku Buwono III, Surakarta terbagi menjadi dua bagian. Hal ini disebabkan karena ketidakpuasan kaum bangsawan terhadap campur tangan kompeni, pemberontakan ini diprakarsai oleh Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pada 13 Pebruari 1755 terjadi Perjanjian Giyanti yang berisi bahwa Pangeran Mangkubumi berkedudukan di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwana, dengan nama keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah dilakukan Perjanjian Giyanti, masalah semakin rumit sehingga dilakukan Perjanjian Salatiga 17 Maret Perjanjian ini menghasilkan kesepakatan yaitu Raden Mas Said mendapatkan daerah kekuasaan Keraton Surakarta dan mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegaran dengan wilayah kekuasaan bernama Mangkunegaran dan ditambah dengan tanah lungguh atau tanah yang dijadikan tempat didirikan Pura Mangkunegaran. Dengan kedua perjanjian itu maka wilayah Keraton Surakarta menjadi berkurang. Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono XII, Negara Indonesia dinyatakan merdeka sehingga seluruh pemerintahan di wilayah Indonesia dipimpin oleh seorang presiden. Raja dan Keraton Surakarta sekarang tidak memiliki kekuasaan secara de facto tertanggal sejak 15 Juli 1946 dikeluarkan PP Nomor 16/SD 1946 yang berisi penetapan pemerintah yang mengatur mengenai pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta (Maruti, 2003).

37 Lanskap Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa atau kebudayaan Jawi (Nitinagoro, 2011). Keraton Surakarta memiliki konsep lanskap yang khas dari bangunan lainya. Keraton yang merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya memiliki konsep dan filosofi dari setiap elemen pembentuknya. Konsep lanskap dari Keraton Surakarta merupakan hasil pemikiran yang matang dari para pendahulu yang terus terbawa sampai saat ini sehingga menjadi suatu budaya bagi masyarakat Kota Surakarta Konsep Tata Ruang Keraton Surakarta Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan bagian dari suatu pewarisan budaya dari Keraton Pajang ke Mataram/Kota Gede kemudian ke Kartasura hingga di Surakarta. Nilai budaya yang diwariskan secara turun menurun dalam kehidupan masyarakat menjadi sumber pandangan, orientasi kehidupan masyarakat Surakarta pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya (Setiawan, 2000). Konsep tata ruang pada Keraton Surakarta memiliki konsep simbolisme yang kuat. Konsep ini melekat dari bangunan Gapura Gladag di utara hingga ke Gapura Gading di selatan. Konsep tata ruang di Keraton Surakarta terdiri dari Konsep kosmologi dan filosofi, Konsep Dualisme, Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer dan Konsep Supit Urang. a. Konsep Kosmologi dan Konsep Filosofi Penataan lanskap Keraton Surakarta menerapkan konsep kosmologi yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha. Dumadi (2011) menyatakan bahwa masyarakat Jawa merumuskan kehidupan manusia berada pada dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos memiliki pemahaman bahwa alam semesta merupakan sebuah wadah yang tetap besarannya dan memiliki kekuatan besar. Sedangkan konsep mikrokosmos memiliki pemahaman bahwa raja merupakan perwujudan Tuhan di dunia sehingga dalam diri raja terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Dalam konsep mikrokosmos, raja merupakan pusat kehidupan di dunia dan keraton sebagai tempat kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja, karena raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan

38 23 membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan. Sehingga, keraton menjadi pusat dari segala aktifitas masyarakat dan menjadi kiblat dari segala macam aktivitas. Keraton Surakarta memiliki karakteristik pola kosmologi yang terbagi menjadi empat lapisan yaitu kuthanegara, negara gung, mancanegara, dan pesisiran. Keraton memiliki sistem tata ruang kota menurut kaidah-kaidah masyarakat tradisional yang masih dipengaruhi oleh tingkat kebangsawanan. Tempat tinggal raja dan kedudukannya disebut kuthanegara atau negari atau negara. Kuthanegara dikelilingi oleh tembok guna melindungi raja dari gangguan luar. Tembok ini memiliki nama yaitu tembok baluwarti. Diluar tembok kuthanegara merupakan tempat tinggal bagi para kerabat dekat raja dan juga abdi dalem yang bertutut-turut berada di lingkar luar kerajaan, yaitu negara agung, mancanegara dan pesisir ( Premordia, 2005). Konsep kewilayahan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang bertempat tinggal dekat dengan keraton adalah masyarakat yang memiliki jabatan penting dan tingkat sosial yang tinggi, atau dikenal dengan istilah bangsawan. Sedangkan yang bertempat tinggal jauh dari keraton dianggap berkedudukan lebih rendah. Konsep wilayah seperti ini menciptakan perkampungan-perkampungan baru yang menjadi tempat tinggal para abdi dalem maupun prajurit-prajurit keraton. Penamaan perkampungan juga diambil dari penghuni pada kampung tersebut, contohnya Kampung Purwaprajan yang dahulu merupakan tempat tinggal RNg Purwaprajan, seorang abdi dalem bupati anom pada zaman Sunan Pakubuwana X (Gunawan, 2010). Dengan terbentuknya permukiman masyarakat maka terlihat adanya pola permukiman yang menyebar pada Kota Surakarta. Tata ruang bangunan di Keraton Surakarta menganut konsep kosmologi yang tercermin dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading (Gambar 4). Lapisanlapisan ini berdasarkan pola konsentrik yang pembaginya menyangkut fungsi dan tingkat keselarasannya (Premordia, 2005). Pola kosmologi menjadi panutan dalam mendirikan bangunan di Keraton Surakarta, sehingga terbentuk hirarki dalam susunan bangunan keraton dari utara hingga selatan. Terdapat kepercayaan bahwa pada setiap fase bangunan yang dilewati akan menuju ke arah kesempurnaan.

39 24 Gambar 4. Susunan Kosmologi Keraton Surakarta (Sumber : Premordia 2005) b. Konsep Dualisme Konsep dualisme memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu memiliki hubungan dan saling melengkapi sehingga didirikan secara berpasangan. Konsep ini terlihat pada bangunan keraton yang sebagian besar berpasangan, seperti pada Alun-alun Lor-Kidul, Setinggil Lor-Kidul, dan bangunan lainnya. Konsep dualisme memiliki pemahaman kesatuan yang tunggal dan melambangkan kehidupan di dunia. c. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer Pembangunan Keraton Surakarta dilakukan dengan mempertimbangkan arah/orientasi dengan menggunakan konsep kiblat papat kalima pancer, yaitu suatu konsep yang memiliki arti hidup menuju empat arah mata angin namun berpusat pada satu kiblat di tengahnya. Konsep kiblat papat kalima pancer dapat dilihat pada Gambar 5. Dimana penentuan arah mata angin yang saling berpapasan yaitu lor-kidul (utara-selatan), kulon-wetan (barat-timur) yang merupakan pemahaman dualisme yaitu kesatuan tunggal yang hakiki (Setiawan, 2000). Keraton Surakarta dikenal sebagai kerajaan Islam, kepercayaan secara spiritual ini memberi pengaruh pada konsep kiblat papat kalima pancer. Arah lor merupakan kekuatan ilmu spiritual yang berkaitan dengan kepentingan lahiriah atau kepandaian ilmu dalam usaha mencapai cita-cita masa

40 25 depan. Arah kidul (selatan) merupakan bersatunya hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan raja dengan rakyat, sedangkan arah wetan-kulon (timurbarat) merupakan asal segala sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa arah lor-kidul (utara-selatan) merupakan arah hubungan manusia dengan Tuhan yang dikenal dengan hablu minallah. Sedangkan arah kulon-wetan (timur-barat) merupakan hubungan sosial antara manusia dengan manusia yang dikenal dengan hablu minannas. Letak Keraton Surakarta yang menganut konsep kiblat papat kalima pancer di analogikan sebagai berikut, Keraton Surakarta sebagai pancer atau pusat kiblat dan dikelilingi oleh Hutan Krendhawahana disebelah utara, Gunung Lawu disebelah timur, Gunung Merapi/Merbabu disebelah Barat dan Pantai Selatan disebelah selatan. Setiawan (2000) menyatakan bahwa arah timur (wetan) merupakan asal mula segala sesuatu. Sehingga bangunan keraton disesuaikan dengan arah menghadap pandhapa besar yaitu Sasana Saweka yang berada di timur. Konsep lanskap keraton berpedoman pada keempat mata angin dan terdapat dua poros besar yang saling memotong tegak lurus yang pada umumnya menghasilkan susunan pancer berupa istana sebagai intinya. Lor Hutan Krendhawahana Hablu minallah Kulon Gunung Merapi/ GunungMerbabu Hablu Minannas Keraton Surakarta Hadiningrat Wetan Gunung Lawu Hablu minannas Kidul Pantai Selatan Hablu minallah Gambar 5. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer (Sumber : Setiawan, 2000)

41 26 Terdapat sebuah sumbu imajiner yang sejajar dengan garis lor-kidul. Sketsa sumbu imajiner pada Kota Surakarta disajikan pada Gambar 6. Terdapat Tugu yang sekarang ini berada di depan Balaikota Kota Surakarta dan memiliki garis sejajar dengan keraton. Saat raja duduk di Bangsal Sewayana maka pandangannya akan tertuju pada puncak tugu. Tugu ini merupakan simbol dari Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan Maha Pencipta alam beserta segala isinya. Oleh karenanya segala pusat perhatian dan orientasi manusia dalam bertingkah laku dalam kegiatan sehari-hari diarahkan senantiasa untuk mengingat- Nya. Orientasi merupakan suatu hal penting pada masyarakat Jawa, hal ini diduga menjadi dasar dalam menentukan arah apabila akan membuat maupun melakukan sesuatu. Masyarakat percaya dengan mempertimbangkan adanya orientasi maka setiap hal yang akan dilakukan berjalan dengan baik. d. Konsep Supit Urang Gambar 6. Sketsa Sumbu Imajiner Lor-Kidul (Sumber : Setiawan 2000) Pada bagian luar benteng keraton terdapat sebuah jalan yang mengelilingi dinding keraton bagian inti, jalan ini bernama Jalan Supit Urang. Jalan Supit Urang merupakan simbolisme dari capit udang yang merangkul dan melindungi lingkungan keraton dari luar. Udang menggunakan capit sebagai alat pertahanan dari musuh. KGPA Puger menyatakan bahwa Jalan Supit Urang dibuat

42 27 mengelilingi bangunan Keraton Surakarta dengan pemahaman agar dapat melindungi dan merangkul semua orang sehingga dapat tercipta suasana yang aman terjaga. Konsep simbolisme dan konsep lanskap pada Keraton Surakarta merupakan tuntunan perjalanan hidup menuju kearah kesempurnaan yang terwujud dalam wujud fisik bangunan Keraton yang dimulai dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading. Konsep tata ruang tersebut menjadikan susunan bangunan-bangunan Keraton Surakarta memiliki suatu hirarki yang kuat. Berikut terdapat gambar tata letak bangunan-bangunan pada Keraton Surakarta yang disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Tata Letak Bangunan Keraton Surakarta Hadiningrat (Sumber : Premordia,2005) Arsitektur Bangunan dan Filosofi Keraton Surakarta Keraton Surakarta yang merupakan turunan dari Kerajaan Mataram memiliki sejarah yang panjang pada bentuk maupun gaya arsitektur bangunan. Konsep dan filosofi dari setiap elemen keraton memiliki pengaruh dari setiap fase yang dilewati. Hal ini berakibat pada bentuk dan corak bangunan Keraton

43 28 Surakarta. Pada gaya bangunan maupun corak yang digunakan keraton terdapat pengaruh dari gaya arsitektur barat yang dibawa oleh Belanda seperti bentuk pilar, arsitektur Cina yang dibawa oleh para pedagang Cina maupun bergaya Arab yang masuk karena keberadaan bangsa Arab di Solo. Namun, gaya arsitektur tradisional Jawa merupakan hal yang menjadi dasar bentuk dan filosofi bangunan di Keraton Surakarta. berikut adalah susunan bangunan yang berada di Keraton secara berurutan dari utara hingga selatan beserta filosofi dari masing-masing bangunan: 1. Gapura Gladag Gapura Gladag merupakan pintu masuk menuju komplek Keraton Surakarta. Pada bagian depan gapura terdapat sepasang arca penjaga pintu. Gapura Gladag merupakan sepasang gapura yang berbentuk menyerupai tembok setinggi ±4 meter. Pada kedua sisi gapura terdapat arca, yaitu Brahmana Yaksa sebagai kori/ pintu masuk menuju alun-alun utara. Dalam bahasa Jawa, gladag atau nggladag berarti menyeret (Maruti, 2003). Gladag merupakan tempat dikumpulkan hewan buruan yang diseret dengan gerobak untuk disembelih. Hal ini memiliki arti perlambangan kepada manusia untuk mengutamakan kewajiban, harus bisa mengendalikan nafsu, mengekang hawa nafsu dan menguasai hawa nafsu hewani. Maksudnya adalah manusia tidak boleh memberi kebebasan terhadap nafsu. Gapura Gladag dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Gapura Gladag 2. Gapura dan Bangsal Pamurakan Gapura Pamurakan terletak tepat dibelakang Gapura Gladag. Gapura Pamurakan memiliki bentukan fisik menyerupai Gapura Gladag. Bangsal Pamurakan yang terletak di selatan Gapura Pamurakan merupakan bangunan

44 29 terbuka dengan atap menyerupai joglo (Maruti,2003). Gapura dan Bangsal Pamurakan merupakan tempat penyembelihan hewan dan tempat pembagian daging bagi mereka yang berhak mendapatkan bagian dari daging pemotongan tersebut. Dahulu Bangsal Pamurakan juga digunakan sebagai tempat berteduh bagi kendaraan tamu yang ingin menemui raja. Bangsal Pamurakan saat ini telah direnovasi dan dijadikan sebagai kios kios berjualan cindramata maupun buku bekas. Selain direnovasi juga sudah banyak didirikan kios-kios berjualan yang menyerupai bangunan Bangsal Pamurakan, sehingga sulit untuk melihat bentukan asli dari Bangsal Pamurakan. Hal ini juga disebabkan karena banyak tenda-tenda penjual yang didirikan tidak beraturan. 3. Pagelaran Sasana Sumewa Dalam bahasa Jawa, sasana berarti tempat. Sasana Sumewa merupakan suatu tempat pemerintahan para patih dalem dan juga bawahannya. Keberadaan Sasana Sumewa merupakan sebuah perlambangan bahwa adanya kekuasaan raja yaitu tata aturan pemerintahan di Keraton Surakarta. Bangunan ini memiliki 48 buah pilar/saka. Jumlah tiang tersebut merupakan sebuah pertanda bahwa Sasana Sumewa didirikan pada saat Sinuhun Pakubuwana X berumur 48 tahun. Pada bagian tengah Sasana Sumewa terdapat sebuah bangsal kecil yang bernama bangsal Pangrawit yang digunakan sebagai tempat duduk raja pada saat dilaksanakan acara-acara keraton. Di hadapan Sasana Sumewa terdapat sebuah tugu besar. Tugu ini merupakan tugu peringatan 200 tahun keberadaan serta berdirinya Keraton Surakarta (Nitinegoro, 2011). Pada saat ini Sasana Sumewa dijadikan tempat kegiatan yang tidak bersifat resmi bahkan pada saat ini, Sasana Sumewa kerap digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi para pengunjung yang mengunjungi Keraton Surakarta. 4. Setinggil Lor/Utara Nitinegoro (2011) menyatakan bahwa Setinggil, dalam bahasa Jawa berarti tanah yang lebih tinggi. Kori wijil (pintu keluar) merupakan sebuah pintu dengan undakan tangga sebelum memasuki Setinggil. Setinggil dikelilingi oleh pagar besi yang berfungsi sebagai pagar. Terdapat delapan buah meriam yang menghadap ke

45 30 utara dan berjejer dari timur sampai barat. Meriam-meriam ini adalah peninggalan Belanda yang diletakkan sebagai simbol pertahanan. Setinggil memiliki beberapa bangunan, yaitu bangsal Sewayana dan didalamnya terdapat bangsal Manguntur Tangkil, yaitu merupakan tempat duduk raja yang digunakan pada saat diadakan acara besar. Pada komplek Setinggil terdapat bangunan dengan gaya arsitektur barat seperti pada bangsal Bale Bang di Gambar 9 yang menampilkan bentuk pilar pengaruh barat. Gambar 9. Bangsal Bale Bang Pada Setinggil juga terdapat bangsal atau bale yang digunakan sebagai tempat menyimpan pusaka-pusaka kramat keraton, diantara lain ada Bale Manguneng, Bale Angun-angun dan juga Bangsal Balembang. Pintu keluar Setinggil dikelilingi oleh tembok aling-aling, kemudian terdapat tangga turun dari barat dan timur. Tangga dari barat disebut dengan Kori Mangu, sedangkan dari timur disebut Kori Renteng. 5. Kori Brajanala (Lor/utara) Kori Brajanala terletak di selatan Setinggil. Kori Brajanala dibangun bersamaan dengan pembangunan tembok keliling Baluwerti atau Cepuri atau benteng yang semula hanya dibangun menggunakan bambu. Kori Brajanala berasal dari kata braja yang artinya senjata tajam dan nala berarti hati. Kori Brajanala memiliki arti dan filsafah, siapa yang ingin memasuki keraton harus memiliki ketajaman hati. Kori Brajanala merupakan bangunan beratap limas yang memiliki dua buah ruang yang digunakan para prajurit raja untuk berjaga dan terdapat sebuah menara dengan lonceng sebagai penunjuk waktu (Maruti, 2003). Di dalam Kori Brajanala terdapat dua buah bangsal, pada bagian luar disebut Bangsal Brajanala dan pada bagian dalam disebut Bangsal Wisamarta. Wisa memiliki arti upas dan

46 31 marta berarti penawar. Bangsal Wisamarta memiliki makna sebelum masuk ke keraton maka hendaknya menghilangkan maksud-maksud yang tidak baik. Pada saat ini Setelah melewati Kori Brajanala terdapat sebuah halaman luas dengan perkerasan aspal menuju Kori Kamandungan. Terdapat dua pintu gerbang sebelah timur dan barat halaman Kamadhungan, di sebelah barat bernama Lawang Gapit Kulon dan di sebelah timur bernama Lawang Gapit Wetan. 6. Kori Kamandhungan Kamandhungan berasal dari kata Mina dan Andhungan, yang berarti cadangan (Nitinegoro, 2011). Di hadapan kori terdapat bangunan berkanopi yang disebut Bale Rata. Bangunan ini digunakan untuk tempat parkir kendaraan tamu keraton. Pada bagian luar maupun dalam Kori Kamandhungan terdapat bangsal untuk tempat berjaga para abdi dalem keraton. Kori Kamandhungan dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Kori Kamandhungan Pada bagian dalam Kori Kamandhungan terdapat bangunan bernama Smarakata. Bangunan beratap limas ini diperuntukkan sebagai tempat upacara wisuda para sentana maupun acara karawitan. Pada bagian timur terdapat Marchukuda. Terdapat dua buah cermin besar pada pintu masuk Kori Kamandhungan. Keberadaan cermin adalah agar setiap orang yang ingin memasuki Kori Kamandhunagan untuk berkaca dan mawas diri, baik secara lahiriah maupun batiniah. 7. Kori Srimanganti Lor Kori Srimanganti terletak tepat di selatan Kori Kamandhungan dengan bentuk atap Semar Tinandhu. Kori Srimanganti merupakan tempat tamu menunggu untuk bertemu dengan Raja. Srimanganti berasal dari kata Sri yang berarti Raja dan Manganti yang berarti menunggu (Nitinegoro, 2011). Pada

47 32 bagian timur Srimanganti terdapat menara yang dikenal dengan Panggung Sangga Buwana, menara segi delapan dengan empat lantai. Pada puncak menara terdapat gambar dua orang manusia sedang mengendarai ular. Panggung Sangga Buwana merupakan bangunan tertinggi di Kota Surakarta. 8. Sasana Saweka Sasana Saweka adalah sebuah pendapa besar berbentuk pangrawit dan dilengkapi sebuah serambi. Sasana Saweka (Gambar 11) terdiri dari pilar-pilar kokoh yang dihiasi oleh ukiran bernuansa emas, merah dan coklat. Sasana Saweka merupakan tempat singgasana Raja untuk duduk di hadapan para abdi dalem berpangkat tinggi. Pada bagian depan Sasana Saweka terdapat sebuah bangunan berbentuk joglo dengan atap limasan jubang, yaitu tanpa serambi maupun sakaguru dan memiliki pilar sejumlah delapan. Bangunan ini bernama Maligi. Maligi digunakan sebagai tempat acara sunatan/khitanan putra raja (Maruti, 2003). Sasana Saweka dikelilingi oleh Paningrat, yaitu serambi yang ketinggiannya lebih rendah. Paningrat dikelilingi oleh tanaman palem kuning dalam pot cina dan juga dikelilingi oleh patung/prasasti bergaya Eropa. Gambar 11. Sasana Saweka 9. Sasana Parasdya Terletak dibelakang Sasana Saweka, Sasana Parasdya merupakan bangunan Jawa berbentuk Joglo Kepuhan, yaitu joglo tanpa serambi. Di dalam Sasana Parasdya terdapat singgasana yang menghadap ke barat. Tempat ini merupakan tempat Sinuhun menyaksikan latihan tari Bedhaya atau Srimpi. Dibelakang singgasana terdapat sebuah pintu kayu yang menghubungkan Sasana Parasdya dengan Dalem Ageng Prabasuyasa (Maruti, 2003).

48 Sasana Handrawina Sasana Handrawina dibangun pada masa pemerintahan Sinuhun Kanjeng Paku Buwana V. Sasana Handrawina merupakan bangunan dengan gaya modern yang terbuat dari kayu dan kaca. Bangunan ini merupakan tempat raja menerima tamu agung dan juga tempat untuk berpesta. Sasana Handrawina pernah terbakar dan pada tahun 1997 dilakukan renovasi. Saat ini kondisi Sasana Handrawina sangat terjaga dengan dikelilingi oleh tanaman palem kuning didalam pot dan juga patung-patung bergaya eropa yang merupakan cendramata dari berbagai negara. Sasana Handrawina dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Sasana Handrawina 11. Sasana Wilapa Sasana Wilapa terdiri dari kata Sasana yang berarti tempat dan Wilapa yang berarti surat. Sasana Wilapa terletak di sebelah barat Sasana Handrawina. Sasana Pustaka merupakan tempat untuk menyimpan arsip-arsip Keraton beserta tulisan-tulisan para pujangga maupun mengenai sejarah keraton. Sasana Pustaka banyak dikunjungi oleh para pelajar maupun mahasiswa yang ingin mempelajari mengenai Keraton Surakarta. Sasana Wilapa merupakan bagian dari organisasi keraton yang bertugas untuk bagian surat resmi Keraton. Sasana Wilapa terletak pada pelataran barat laut dari Kori Srimanganti. 12. Bangsal Pradangga, Bangsal Bujana dan Bangsal Ngajeng Terdapat tiga buah bangunan pada timur pelataran kedathon, bangunan ini membujur ke selatan dan berbentuk bangsal terbuka dengan atap limasan. Bangsal Pradangga, Bangsal Bujana dan Bangsal Ngajeng membentang dari utara hingga selatan. Bangsal ini digunakan untuk tempat bermain gamelan pada upacara maupun penyambutan tamu agung keraton (Maruti, 2003).

49 Kedathon Terdapat bangunan-bangunan inti keraton yang terletak di sebelah barat pelataran. Bangunan inti tidak dapat diakses oleh semua orang. Bangunan ini diutamakan bagi keluarga raja dan orang-orang yang mendapat izin untuk berkunjung. Bangunan inti keraton terdiri dari Dalem Ageng Prabasuyasa, Keputren, Keraton Kulon, Masjid Bandengan, Masjid Pudyasana dan bangunan tempat tinggal lainnya. Dalem Ageng Prabasuyasa terletak di sebelah barat Sasana Saweka dihubungkan oleh Pringgitan Parasdya. Dalem Ageng Prabasaya merupakan bangunan yang sangat disakralkan oleh keraton, sehingga penjelasan mengenai bangunan ini hanya didapatkan dari tulisan yang ada. Bangunan ini merupakan tempat tinggal raja dan tempat berkumpul keluarga raja. Dalem Ageng Prabasaya memiliki arsitektur bangunan Jawa yang disebut Joglo Limasan Sinom Mangkurat (Maruti, 2003). Terdapat empat buah kamar pada Dalem Ageng Prabasaya yang digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka milik Keraton Surakarta. Seiring perjalanan waktu, kamar-kamar di Dalem Ageng Prabasaya sudah tidak digunakan sebagai tempat tinggal sehingga berkembang sakralisasi pada seluruh Dalem Ageng Prabasaya. Keputren merupakan tempat tinggal wanita atau puteri keraton. Keputren terletak di selatan dalem Ageng Prabasaya dan memanjang dari barat ke utara. Di dalam Keputren terdapat sebuah taman yang disebut Taman Kadilengen (Maruti, 2003). Masjid Bandengan dan Masjid Pudyasana merupakan masjid yang berada di pelataran keraton. Masjid Bandengan dibangun ditengah-tengah kolam persegi dengan luas 800m 2 (disajikan pada Gambar 13). Gambar 13. Taman Bandengan Sumber: google.com

50 35 Keraton Kulon merupakan keraton baru yang dibangun oleh Sinuhun Pakubuwana X setelah mendengar ramalan runtuhnya Keraton Surakarta setelah berumur 200 tahun. Keraton Kulon dibangun di sebelah barat gunung. Gunung yang dimaksud adalah timbunan tanah yang tinggi yang menyerupai gunung yang ditanami oleh pepohonan sehingga menyerupai hutan. Keraton Kulon dibangun dengan arsitektur bergaya kolonial dengan pintu gerbang menghadap ke barat. Setelah masa pemerintahan PB X berakhir, bangunan ini tidak ditempati lagi. 14. Kori Srimanganti Kidul Kori Srimanganti Kidul berada di selatan Sasana Handrawina, yaitu timur Sasana Pustaka. Kori Srimanganti Kidul berpasangan dengan Kori Srimanganti Lor. Kori Srimanganti Kidul berfungsi sebagai pintu masuk menuju keraton dari bagian selatan, namun saat ini sudah jarang digunakan karena saat ini pintu masuk keraton hanya lewat pintu utara. 15. Kori Kamandungan Kidul Kori Kamandungan Kidul berpasangan dengan Kori Kamandungan Lor dan memiliki fungsi yang sama sebagai pintu masuk menuju keraton, namun dari arah selatan. Pada Kori Kamandungan Kidul tidak terdapat Bale Rata. Saat ini Kori Kamandhungan Kidul telah menjadi bagian dari Sekolah Dasar Kasatriyan. Dengan keberadaan sekolah ini maka tertutup akses menuju keraton dari arah selatan. 16. Kori Brajanala Kidul Kori Brajanala Kidul berpasangan dengan Kori Brajanala Lor. Kori Brajanala Kidul menghubungkan daerah Baluwarti dengan darah luar Baluwarti. Kori Brajanala Kidul dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Kori Brajanala Kidul tidak ditemukan adanya bangsal seperti di bagian utara. Gambar 14. Kori Brajanala Kidul

51 Setinggil Kidul Setinggil Kidul memiliki bentuk bangunan yang sangat berbeda dengan Setinggil Lor. Setinggil Kidul hanyalah bangunan Jawa dengan pendapa besar dikelilingi oleh pagar besi yang menghadap Alun-alun Kidul tanpa adanya pagelaran seperti Sasana Sumewa. Setinggil Kidul dikelilingi oleh Jalan Supit Urang Kidul dan terdapat dua buah meriam yang menghiasi (Maruti, 2003). Saat ini kondisi Setinggil Kidul sangat tidak terawat, rumput-rumput sekitar nya sudah tinggi dan banyak sampah yang bertebaran. Pada Setinggil Kidul terdapat dua buah gerbong kereta bekas yang dahulu digunakan oleh pihak keraton. Setinggil Kidul dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Setinggil Kidul 18. Gapura Gading Gapura Gading merupakan pintu keluar dari keraton bagian selatan. Gapura Gading merupakan sebuah gapura berwarna kuning gading, sesuai namanya, dan terdapat lambang Radya Laksana pada bagian atas gapura (Maruti, 2003). Gapura gading menghubungkan keraton dengan Jalan Veteran. Bangunan tradisional Jawa merupakan bangunan yang menjadi dasar pada bangunan-bangunan Keraton Surakarta. Tata ruang bangunan tradisional Jawa Tengah terdiri dari lima bagian ruang yaitu Pendapa, Pringgitan, Griya Ageng, Gandok dan Pawon. Keraton Surakarta menggunakan konsep bangunan yang sama dengan tata ruang bangunan tradisional Jawa. Analogi bangunan di Keraton Surakarta dengan bangunan rumah tradisional Jawa disajikan pada Gambar 16. Pandapa merupakan bangunan yang terletak paling depan dengan saka/tiang sebagai penopangnya, pandapa biasanya dilengkapi dengan atap berbentuk limasan dan digunakan sebagai tempat berkumpul maupun tempat menerima

52 37 tamu. Pringgitan adalah ruang penghubung antara Pendapa dengan Griya Ageng yang merupakan pusat maupun inti dari kegiatan keluarga di rumah. Griya Ageng terbagi menjadi dua, bagian depan memiliki luasan lebih besar dan digunakan untuk ruang berkumpul keluarga, sedangkan bagian belakang terdiri dari tiga ruangan, yaitu Krobongan, Senthong Tengen/kanan dan Senthong Kiwa/kiri (Setiawan, 2000). Selanjutnya, Gendok yang berada di sisi kiri dan kanan Griya Ageng yaitu ruang yang digunakan sebagai kamar anggota keluarga dan Pawon ruang yang letaknya paling belakang yang merupakan sebuah dapur. Gambar 16. Analogi Tata Letak Bangunan Keraton dan Rumah adat Sumber : Setiawan (2000) Terdapat lima bentuk atap pada bangunan pokok rumah adat Jawa, yaitu Panggungpe, Kampung, Tajug, Limasan dan Joglo. Hal ini diterapkan pada bentuk bangunan di Keraton Surakarta, raja tidak diperbolehkan mendirikan bangunan tempat tinggal dengan atap limasan atau joglo atau kampung, melainkan dengan sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangunan limasan maupun joglo digunakan untuk bangunan pelengkap saja (Setiawan, 2000). Masing-

53 38 masing bangunan memiliki latar belakang sosial yang disesuaikan dengan status sosial pemilik rumah. Ronald (2005) menjelaskan bahwa bentuk bangunan rumah memiliki status sosial tersendiri, seperti rumah tipe Joglo merupakan rumah dengan pemilik berstatus sebagai bangsawan, rumah tipe Limasan dimiliki oleh masyarakat menengah dan bentuk kampung dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Masyarakat Jawa telah lama menggunakan kayu sebagai bahan baku dasar dalam pembuatan rumah. Arsitektur Jawa di Indonesia sebagian besar diterapkan pada bangunan rumah tinggal dan sebagian lain adalah pada bangunan peribadatan, monumen atau makam leluhur, pasar atau sejenis bangunan yang lekat sekali dengan kebutuhan sehari-hari suku bangsa Jawa. Bagi masyarakat Jawa, rumah atau tempat tinggal bukanlah sekedar tempat untuk berlindung dari segi fisik saja, namun juga merupakan suatu tempat yang dapat mengakomodasi kegiatan spiritual maupun ritual sesuai kepercayaan mereka. Masyarakat Jawa terkenal memiliki kepercayaan tersendiri dalam melakukan kegiatan, begitu juga dalam membangun sebuah rumah. Maka untuk mendirikan sebuah rumah, dilakukan perhitungan dimana akan diletakkan pintu, jendela dan sebagainya, tidak dilupakan diadakannya sesajen agar pembangunan rumah berjalan lancar. Bangunan tempat tinggal dengan konsep bangunan rumah adat Jawa/ tradisional Jawa hanya dimiliki oleh beberapa kalangan saja. Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya proses globalisasi, maka banyak masyarakat yang tidak menggunakan konsep bangunan seperti ini lagi. Hal ini dikarenakan faktor ekonomi dan juga lahan yang tersedia sudah sangat terbatas, karena bangunan dengan konsep rumah adat memerlukan lahan yang cukup luas Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Keraton Surakarta Ruang terbuka hijau di Keraton Surakarta dihiasi oleh tanaman-tanaman indah yang selain memiliki fungsi ekologis juga memiliki nilai simbolik. Ruang terbuka hijau di Keraton Surakarta terdiri dari Alun-alun lor (utara), Alun-alun Kidul (selatan) dan juga halaman maupun pelataran yang berada di Keraton Surakarta beserta elemen-elemen penyusun ruang terbuka hijau tersebut.

54 39 1. Alun-alun Lor Alun-alun Lor merupakan sebuah lahan terbuka dengan hamparan pasir. Saat ini Alun-alun Lor maupun Alun-alun Kidul Keraton Surakarta sudah dipenuhi oleh rumput hijau. Pada zaman dahulu, alun-alun merupakan suatu tempat yang sangat lapang dengan permukaan dihampari oleh pasir. Konon pasir yang menutupi lahan alun-alun merupakan pasir yang berasal dari Pantai Selatan Jawa. Pada siang hari, pasir akan menyerap panas, sehingga akan terpantulkan udara yang panas. Namun, pada malam hari pasir akan membawa udara yang sangat menyejukkan. Keadaaan siang dan malam tersebut melambangkan bahwa di dunia terdapat keadaan yang saling berlawanan yaitu ada hal baik dan juga hal buruk (Nitinagoro, 2011). Nitinagoro (2011) menyatakan bahwa pada Alun-alun Lor terdapat beberapa pasang pohon beringin kembar. Pohon beringin yang memiliki tajuk yang besar dan rindang memiliki perlambangan sebagai pengayoman, kewibawaan dan kehidupan. Setiap pohon beringin yang ditanam memiliki julukan tersendiri, seperti pohon beringin yang berada pada pelataran Gapura Gladag yang bernama Wok yang artinya wanita dan Jenggot yang artinya pria. Kedua beringin tersebut merupakan simbol peringatan bahwa asal kehidupan diciptakan Allah melalui pria dan wanita (ayah dan ibu). Sehingga, kedua pohon beringin ini merupakan lambang kesuburan. Dua pohon beringin kembar yang berada dibatas ruang Alun-alun Lor bagian selatan, yaitu pohon beringin Gung yang berarti tinggi ditanam di sebelah timur alun-alun dan pohon beringin Binatur yang berarti pendek ditanam di sebelah barat alun-alun. Kedua beringin ini memiliki arti bahwa Keraton Surakarta adalah duwur tan ngungkul-ngungkuli, andap tan keno kinungkulan (tinggi yang tidak berlebihan dan rendah namun tidak boleh ada yang merendahkan). Terdapat dua buah beringin kembar yang terletak di tengah alun-alun. Beringin tersebut dibawa dari Keraton Kartasura. Kedua pohon beringin dipagari dengan pagar besi sehingga disebut sebagai beringin kurung. Beringin kurung memiliki filosofi tersendiri yaitu kesempurnaan hidup yang harus dicapai oleh manusia dan bahwa dalam kehidupan ini manusia selalu memilik batasan maupun kekurangan dan tidak dapat bertingkah-laku semaunya, hal ini dilambangkan

55 40 dengan pagar besi yang mengurungi kedua beringin tersebut. Pohon beringin kurung dapat dilihat pada Gambar 17. Pohon beringin ini diberi nama beringin Dewandaru atau Tejadaru ditanam disebelah kanan dan beringin Jayadaru ditanam di sebelah timur Alun-alun Lor. Gambar 17. Pohon Beringin Kurung Saat ini pohon beringin dari pelataran Gapura Gladag hingga alun-alun masih berdiri tegak dan menjadi ciri khas tersendiri dari Keraton Surakarta. Alunalun Lor mengalami sedikit perubahan dengan kondisi terdahulu. Saat ini terdapat sebuah jalur pedestrian yang ditanami oleh tanaman palem raja. Pada saat ini kondisi Alun-alun lor Keraton Surakarta cukup memprihatinkan. Alun-alun lor digunakan menjadi lahan parkir bagi kendaraan wisatawan yang mengunjungi keraton sehingga banyak rumput yang rusak dan terdapat beberapa infrastruktur pada alun-alun yang sudah tidak berfungsi kembali, seperti lampu taman maupun perkerasan yang mulai rusak. 2. Pelataran Setinggil Lor Pelataran Setinggil Lor/utara yang terletak mengelilingi Setinggil Lor merupakan hamparan pasir yang ditumbuhi oleh berbagai pepohonan. Pelataran Setinggil Lor digunakan oleh raja sebagai tempat duduk untuk melihat tugu yang berada di hadapan Balaikota Surakarta. Pelataran Setinggil Lor menggunakan konsep kiblat papat kalima pancer, yang menempatkan Bangsal Saweyana sebagai pancer dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang menghadap kearah pancer. Pada kiri dan kanan Setinggil Lor ditanami oleh Pohon Soka (Parinarium glabberinum). Aroma dari bunga soka sering digunakan oleh para ksatria untuk menakuti binatang buas seperti harimau. Selain pohon soka, di Setinggil Lor juga

56 41 banyak terdapat pohon kepel (Stelechocarpus burahol) yang melambangkan kesatuan (Setiawan,2000). Buah pohon kepel sering digunakan sebagai penghilang bau badan. Pada Setinggil Lor juga banyak ditemukan pohon tanjung (Mimusops elengi). Pohon tanjung dipercaya menjadi tempat yang disukai oleh makhluk halus. Suasana di Setinggil Lor dapat dilihat pada Gambar 18. (a) Deretan Pohon Kepel (b) Hamparan rumput Gambar 18. Suasana di Setinggil Lor 3. Pelataran Kedathon Pelataran kedathon merupakan sebuah halaman kecil dengan hamparan pasir yang dapat ditemui pada saat melewati Kori Srimanganti dari arah utara. Hamparan pasir ini ditumbuhi oleh tanaman sawo kecik, dapat dilihat pada Gambar 19. Pohon sawo kecik ditanam oleh Susuhan Paku Buwana IX. Terdapat sebanyak 77 buah pohon sawo kecik, hal ini dikarenakan pada saat penanaman Paku Buwana IX sedang berumur 77 tahun 1893 M. Gambar 19. Pohon Sawo kecik Orang Jawa menganggap bahwa apabila menanam sawo kecik maka dapat memberikan kebaikan. Pohon sawo kecik pada Sasana Saweka diharapkan dapat menghilangkan niat buruk sebelum memasuki wilayah kedathon. Pohon

57 42 sawo kecik dipercaya menjadi pengharum alami dan buah sawo kecik sangat digemari oleh para putri keraton karena memiliki khasiat untuk mengharumkan tubuh dan konon daunnya dapat digunakan sebagai penurun penyakit kolesterol. Pohon sawo kecil hingga saat ini masih terjaga keberadaannya dan sangat terawat. 4. Alun-alun Kidul Alun-alun Kidul berada tepat dihadapan Setinggil Kidul. Alun-alun Kidul hanya memiliki setengah luasan dari Alun-alun lor. Alun-alun kidul merupakan hamparan rumput hijau dengan sepasang pohon beringin yang berada tepat ditengah Alun-alun Kidul. Sama seperti Alun-alun Lor, halaman Alun-alun Kidul dahulu merupakan hamparan pasir yang berasal dari pantai selatan. Pada Alunalun Kidul terdapat pula jalur pedestrian yang membelah sisi timur dan barat alunalun. Saat ini Alun-alun Kidul kerap digunakan untuk area berwisata oleh warga Surakarta. Pada malam hari alun-alun sangat ramai oleh para pengunjung karena banyak terdapat penjual-penjual makanan di lingkungan Alun-alun Kidul ini, sehingga banyak sampah dan kotor Ornamen dan ragam hias Keraton Surakarta Ornamen atau ragam hias adalah seni dekoratif yang digunakan untuk memperindah suatu bangunan. Ornamen dapat berupa ukiran maupun pahatan dari batu, kayu bahkan logam mulia. Sebuah bangunan memiliki ragam hias yang berbeda dan disesuaikan dengan bentuk maupun arsitektur pada bangunan tersebut. Pada Keraton Surakarta terdapat banyak bentuk ragam hias. Ragam hias pada keraton merupakan bentukan dua dimensi maupun tiga dimensi yang terinsprasi dari bentuk menyerupai flora dan fauna. Ragam hias pada keraton banyak dipengaruhi oleh ragam hias bercorak Hindu, Budha, Islam maupun Eropa. Ragam hias corak flora dan fauna ini dapat terlihat pada pilar-pilar bangunan maupun atap bangunan sebagai penambah nilai estetika dari bangunan Keraton Surakarta. Ragam hias pada keraton merupakan ukiran dan pahatan indah menggunakan material alami yaitu kayu. Kayu merupakan material yang banyak digunakan karena pada saat itu kayu merupakan material yang mudah didapatkan. Ragam hias pada keraton terbagi menjadi empat jenis yaitu, ragam hias tumbuhan, ragam hias ular naga, ragam hias burung dan Radya Laksana.

58 43 1. Ragam hias tumbuhan Ragam hias tumbuhan merupakan ragam hias yang paling mendominasi di lingkungan Keraton Surakarta. Ragam hias tumbuhan juga mengalami stilasi, bagian yang diambil adalah buah, daun, maupun bunga saja. Ragam hias bunga teratai banyak digunakan dan digambarkan dengan sangat indah. Menurut Sunarman (2010), bunga teratai dianggap sebagai bunga dari surga atau nirwana dan keraton dianggap sebagai surga. Ragam hias dari stilasi daun menghiasi pilarpilar dinding pada bangunan keraton. Pada pilar terdapat ornamen daun yang merambat keatas dikenal dengan istilah sulur-suluran (Gambar 20). Gambar 20. Sulur-suluran Masyarakat Jawa mengenal falsafah hidup kiblat papat lima pancer yang berarti empat penjuru dan berpusat di tengah yaitu pancer. Bahwa sesuatu yang terarah pada Maha Kuasa harus menjadi satu pancer menyatunya segala sesuatu pada diri kita untuk menuju pada Tuhan. Hal ini diterapkan pada ragam hias bunga yang berpusat ditengah. Selain bunga ada juga ragam hias wajikan. Ragam hias ini merupakan ragam hias yang berbentuk stilasi daun dan memusat menuju pancer. Bentuk ragam hias wajikan adalah geometris dan menyerupai belah ketupat sehingga dinamakan wajikan. 2. Ragam hias ular naga Ragam hias ular naga merupakan perlambangan ragam hias yang terispirasi dari hewan naga yang memiliki bentuk panjang dan pada bagian kepala naga merupakan bagian yang banyak digunakan. Ragam hias ular naga digunakan sebagai penghias keraton dan untuk menghiasi singgasana Sinuhun Paku Buwana yang berada di Setinggil Lor dan disajikan pada Gambar 21.

59 44 (a) Ukiran Naga (b) Ukiran Naga di Bangsal Witono Gambar 21. Ragam Hias Naga Sumber : Aditya Darmasurya, Ragam hias burung Ragam hias burung menghiasi keraton dalam bentuk ukiran-ukiran pada ornamen pintu maupun hiasan lainnya. Ragam hias burung umumnya sudah mengalami stilasi, yang diambil adalah bagian sayap, ekor maupun kepala saja. Ragam hias burung dapat dilihat pada Gambar 22. Ragam hias burung khususnya burung garuda telah menjadi bagian ragam kebudayaan Hindu di tanah Jawa selama berabad-abad (Sunarman, 2010). Penggunaan ragam hias burung memiliki filosofi bahwa burung merupakan hewan yang hidup berdampingan dan berkelompok, hal ini memberi arti bahwa manusia sebaiknya hidup saling rukun dan berdampingan (GPH Puger, 2012). Gambar 22. Ukiran burung 4. Radya Laksana Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono X dilakukan perubahan besar pada bangunan maupun ornamen Keraton Surakarta. Susuhan Paku Buwono menciptakan suatu logo lambang kebesaran Keraton Surakarta yang disebut dengan Radya Laksana. Radya memiliki arti Negara atau Rasta, sedangkan Laksana memiliki arti perjalanan yang tulus arti dan lahir. Lambang tersebut memiliki arti sebagai tuntunan hidup dengan tatanan Jiwa Budaya Jawi (Nitinagoro, 2011). Lambang Radya Laksana dapat dilihat pada Gambar 23.

60 45 Lambang Radya Laksana merupakan lambang kebesaran Keraton Surakarta, sehingga hanya kalangan kerabat keraton yang dapat menggunakan lambang ini, sehingga Radya Laksana digunakan sebagai simbol identitas dan simbol estetik. (a) Lambang (b) Ornamen/ukiran Gambar 23 Radya Laksana Sumber : Google.com Lambang Radya Laksana banyak menghiasi bangunan-bangunan Keraton Surakarta. Radya Laksana merupakan tuntunan hidup ajaran tentang kenegaraan dan kehidupan (Setiawan, 2000). Radya Laksana terdiri dari sepuluh unsur yaitu, mahkota, warna merah dan kuning, warna biru muda, matahari, bulan, binatang, bumi, kapas, pita berwarna putih merah dan langit (Setiawan, 2000). Hal ini erat hubungannya dengan hastabrata. Mahkota merupakan perlambangan dari seorang raja dan sebagai simbol kebudayaan Jawa. Matahari, bulan dan bintang merupakan lambang kehidupan. Warna merah dan kuning merupakan simbol kesepuhan. Bumi yang dipaku merupakan bumi yang kokoh. Kapas dan padi adalah lambang sandang dan pangan. Pita berwarna putih adalah lambang ayah dan pita merah adalah lambang ibu. Langit maupun angkasa yang berwarna putih dan biru dianggap dapat menolak hal-hal negatif. Warna merupakan elemen penting yang menghiasi Keraton Surakarta. Keraton Surakarta merupakan bangunan bersejarah yang didominasi dengan warna biru dan putih. Pada masa pemerintahan Sinuhun Paku Buwana X ( ) terjadi perombakan besar pada Keraton Surakarta. Perombakan ini merubah warna bangunan dengan biru dan putih. Warna biru dan putih diambil dari warna langit, warna biru langit dianggap dapat menolak kenistaan dan juga melambangkan sifat yang berwawasan luas dan pemaaf.

61 Kota Surakarta Kondisi Umum Kota Surakarta Kota Surakarta merupakan kota terbesar kedua di provinsi Jawa Tengah. Kota Surakarta sebagai Pusat Kegiatan Nasional termasuk kedalam Kawasan Subosukawonosraten (Kota Surakarta, Kab. Boyolali, Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar, Kab. Wonogiri, Kab. Sragen dan Kab. Klaten). Dalam area kerjasama tujuh kabupaten/kota ini, Kota Surakarta menjadi penghubung bagi daerah hinterland-nya. Kota Surakarta sering disebut sebagai pusat pertumbuhan wilayah Jawa Tengah bagian selatan, dengan potensi ekonomi sangat tinggi, khususnya di bidang industri, perdagangan, pariwisata dan jasa lainnya (Bappeda, 2012). Kota Surakarta secara geografis terletak antara dan BT dan dan LS. Kota Surakarta dikelilingi oleh tujuh kabupaten pendukung dan memiliki batas wilayah sebagai berikut : Utara : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar Timur : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo Barat : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sukoharjo Selatan : Kabupaten Sukoharjo Wilayah Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan Kota Solo memiliki luas 4.404,06 Ha dan terbagi menjadi lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari. Keraton Surakarta Hadiningrat terletak pada Kelurahan Baluwerti, Kecamatan Pasar Kliwon yang berada pada bagian selatan Kota Surakarta. Seperti umumnya kota-kota di Indonesia, Kota Surakarta memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 24,8 C sampai 18,1 C dengan kelembaban udara berkisar antara 66-84% dan tekanan udara sebesar ±1.010 atmosfir. Kota Surakarta terletak pada ketingian antara meter di atas permukaan laut (mdpl). Kemiringan lahan adalah 0% hingga 15% dan tergolong landai. Solo merupakan sebuah kota yang dilewati oleh empat sungai utama, yaitu Bengawan Solo, Kali Pepe, Kali Anyar dan Kali Jenes. Keempat sungai ini sudah ada dari zaman kolonial dahulu dan memiliki kontribusi besar bagi kota. Masing-masing sungai terletak pada posisi yang berbeda dan memberi manfaat pada daerah sekitarnya sebagai sumber air maupun

62 47 saluran air alami. Kota Surakarta terletak di antara dua gunung berapi yaitu Gunung Lawu (Kabupaten Karanganyar) di sebelah timur dan Gunung Merapi serta Merbabu sebelah barat. Dengan posisi demikian maka Kota Surakarta termasuk sebagai wilayah cekungan air. Terdapat beberapa badan air di Kota Surakarta yang semua bermuara di Sungai Bengawan Solo. Peningkatan berbagai aspek ekonomi menuntut peningkatan di bidang tranportasi, khususnya penigkatan jalan. Panjang jalan di wilayah Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai 675,86 kilometer (Surakarta dalam Angka, 2009) Tata Guna Lahan Kota Surakarta Kota Surakarta didominasi oleh lahan-lahan terbangun yang semakin padat. Sulit ditemukan lahan terbuka hijau di dalam kota. Dengan pertambahan penduduk sebesar 0,37% per tahun membuat semakin banyak lahan yang digunakan sebagai permukiman (BPS, 2011). Dominasi lahan terbangun di Kota Surakarta seluas 3.704,45 Ha atau 84,11% dari luas total wilayah Kota Surakarta (4.404,06 Ha). Padatnya lahan terbangun membuat bangunan-bangunan fisik yang berada di kota tidak memiliki tata letak dan pola yang teratur. Permukiman yang padat tidak memberi ruang lebih untuk adanya halaman maupun pola permukiman yang jelas. Lahan tidak terbangun seluas 699,61 Ha (15,89 %). Permukiman dengan kepadatan tinggi dengan 150 jiwa/ha tersebar pada bagian selatan kota yang meliput Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Serengan, Kecamatan Laweyan meliputi Kelurahan Panularan, Purwosari, Bumi, Pajang dan Kelurahan Sondakan. Permukiman kepadatan tinggi juga meliputi Kecamatan Jebres yang terdiri dari Kelurahan Sewu, Gandekan, Jagalan, Tegalharjo, Sudiroprajan dan Kepatihan Wetan. Pada Kecamatan Banjarsari meliputi Kelurahan Kestalan, Ketelan, Tegalharjo dan Gilingan. Permukiman dengan kepadatan sedang yaitu jiwa/ha tersebar pada bagian utara kota meliputi Kelurahan Pucang Sawit, Purwodiningratan, Jebres, Mojosongo, Kepatihan Kulon, Lawiyan, Penumping, Sriwedari, Kerten, Jajar, Keprabon, Timuran, Stabelan, Mangkubumen, Punggawan, Manahan, Sumber dan Banyuanyar. Permukiman dengan kepadatan rendah <75 jiwa/ha meliputi Kelurahan Karangasem dan Kelurahan Kadipiro.

63 48 Lanskap perkantoran dan perdagangan tersebar pada wilayah selatan kota. Lanskap perkantoran dan perdagangan berkembang searah dengan infrastruktur jalan. Perkantoran dan perdagangan terpusat pada Jalan Slamet Riyadi dan berkembang disekitar keraton dan mangkunegaran. Lanskap fasilitas umum seperti sekolah tersebar cukup merata di Surakarta. Penggunaan lahan di Surakarta disajikan pada Tabel 5 dan peta tata guna lahan disajikan pada Gambar 24. Tabel 5. Penggunaan Lahan di Surakarta. Jenis Penggunaan Lahan Lahan Terbangun Laweyan Kecamatan P. Serengan Kliwon Jebres Banjarsari Total (Ha) Perkantoran Permukiman Perdagangan/Jasa Fasilitas Pendidikan Fasilitas Peribadatan Industri Lahan Tidak Terbangun Instalasi Pengolahan Limbah Gedung Olahraga TPA Lapangan Olahraga Kebun Binatang Kolam/ Danau Kuburan Taman Kota Tanah Kosong Tegalan Sawah Sungai/ Tanggul Jumlah Sumber : RTRW Kota Surakarta

64 49

65 Peraturan dan Kebijakan Pemerintah Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta Tahun , pemerintah Kota Surakarta memiliki kebijakan untuk melakukan revitalisasi kawasan cagar budaya sebagai pusat kegiatan pariwisata, sejarah, budaya dan ilmu pengetahuan. Kota Surakarta merupakan sebuah kota budaya yang memiliki banyak peninggalan sejarah, bahkan sebagian besar pembentuk kota merupakan bangunan-bangunan yang sudah ada semenjak zaman Keraton Surakarta dan keberadaan Bangsa Belanda. Kebijakan dalam pelestarian terhadap bangunanbangunan bersejarah ditetapkan dalam Surat Keputusan Walikota Surakarta No. No 646/116/1/1997. Surat Keputusan tersebut menetapkan sebanyak 73 benda cagar budaya di Kota Surakarta meliputi Keraton Surakarta, Benteng Vastenburg, sekolah, perkantoran, tempat peribadatan, gapura, monumen, jembatan, rumah tinggal, ruang terbuka hijau (taman), pasar dan juga stasiun. Peta cagar budaya di Kota Surakarta disajikan pada Gambar 26. Keraton Surakarta sebagai benda cagar budaya menjadi daya tarik wisata yang dilindungi oleh UU RI No.11 Tahun Dalam upaya pelestarian budaya Jawa, dilakukan penetapan kebijakan oleh pemerintah Kota Surakarta dengan penetapan Surat Keputusan Walikota yang mewajibkan kantor-kantor pemerintahan maupun swasta untuk menggunakan aksara Jawa dalam penulisan papan nama lembaga tersebut. Kebijakan ini dilakukan sejak tanggal 17 Februari Sehingga, pada setiap bangunan perkantoran terdapat tulisan aksara Jawa, hal ini juga di adopsi oleh pertokoan besar di Surakarta (Gambar 25). (a) Balaikota Surakarta (b)pusat perbelanjaan di Surakarta Gambar 25. Penulisan aksara Jawa

66 51

67 Sejarah Perkembangan Lanskap Kota Surakarta Kota Surakarta atau dikenal dengan nama Kota Solo, memiliki sejarah yang panjang sebelum menjadi kota yang berpengaruh di Jawa Tengah. Kota Surakarta banyak mengalami perubahan pada bentukan lanskap dan kehidupan sosial masyarakat didalamnya. Terbentuknya Kota Surakarta tidak lepas dari keberadaan Keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun Keberadaan Keraton dengan tata cara dan konsep tersendiri memberi dampak pada lanskap kota yang menjadi ciri khas dari Kota Surakarta. Sebelum adanya Keraton Surakarta, Kota Surakarta adalah sebuah desa yang terletak di persimpangan antara dua buah sungai, yaitu Bengawan Solo dan Sungai Pepe, desa ini bernama Desa Sala. Desa Sala merupakan dataran rendah dengan banyak rawa, sehingga pada musim penghujan sering terjadi banjir. Desa Sala memiliki batas pada sebelah utara dengan Sungai Pepe, sebelah timur Bengawan Beton, sebelah selatan dengan Sungai Wingka dan sebelah barat berbatasan dengan liku-liku sungai mulai dari Sungai Pepe turun ke selatan dengan Sungai Wingka (Sajid, 1984). Kondisi masyarakat desa saat itu didominasi oleh suku Jawa yang kental dengan nuansa tradisional dan kejawen. Hal ini membentuk lanskap Desa Sala menjadi suatu kesatuan dengan elemen pembentuk antara lain sungai, sawah, hutan dan bangunan pemukiman yang tradisional. Pemerintahan Keraton Surakarta masih berada di bawah kedaulatan pemerintah Hindia Belanda, yang dikenal dengan nama VOC sebelum tahun Dengan kedudukan seperti ini maka rakyat yang berada di luar wilayah kerajaan diperintah langsung oleh pemerintahan VOC. Pada tahun 1745 Keraton Surakarta memulai masa pemerintahan di Kota Surakarta. Keberadaan keraton membuat pusat aktivitas masyarakat menjadi terpusat di wilayah Keraton Surakarta. Keraton Surakarta merupakan sebuah kerajaaan Islam yang merupakan rintisan dari Kerajaan Majapahit yang dahulunya menganut kepercayaan Hindu yang hingga saat ini banyak mewariskan ilmu-ilmu yang diterapkan pada kehidupan sehari-hari maupun dalam arsitektur dan tata ruang wilayahnya. Hal ini membuat keraton memiliki ciri khas dalam membentuk wilayahnya.

68 53 Keberadaan VOC semenjak tahun 1602 hingga 1800 memberi banyak pengaruh dan membuat perubahan pada lanskap maupun tata guna lahan di Kota Surakarta. Pemerintahan VOC di Kota Solo semakin mendominasi, hal ini mengakibatkan terciptanya Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga pada tahun Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 membuat Keraton Surakarta Hadiningrat membagi daerah kekuasannya dan dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. Pada tahun 1757 pihak VOC membagi kembali wilayah Kasunanan Surakarta dengan Raden Mas Said yang kemudian bergelar Kanjeng Adipati Arya Mangkunegara I dan mendirikan Pura Mangkunegaran. Sejak keberadaan Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta seperti memiliki dualisme kepemimpinan, sehingga pusat kegiatan terpusat pada Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran (Zaida, 2004). Kedua wilayah ini berkembang dengan memiliki ciri yang berbeda dari setiap kerajaan yang berkuasa. Sejak pemerintahan Hindia-Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jendral Deandles maka pada tahun 1810 dibangun sebuah jalan yang memanjang dari barat menuju timur di Kota Surakarta, jalan ini dibangun di atas Sungai Bathangan. Jalan yang dikenal dengan nama Jalan Slamet Riyadi ini secara tidak langsung menjadi pemisah antara daerah kekuasaan Keraton Surakarta di selatan jalan dan wilayah kekuasan Pura Mangkunegaran di sebelah utara. Peta Kota Surakarta pada awal tahun 1800 disajikan pada Gambar 29. Pada tahun 1864 jalur transportasi kereta api juga mulai merambah Kota Solo yang menghubungkan Semarang dan Surakarta (Iqbal, 2010). Lebih lanjut Zaida (2004) menyatakan bahwa pada bagian utara Jalan Slamet Riyadi dikenal dengan Kampung Lor, yang menjadi kekuasaan mangkunegaran. Sebagian besar pihak Hindia-Belanda bermukim di Kampung Lor ini. Kampung Lor berkembang menjadi lebih modern dengan banyak mendapat pengaruh dari luar. Pada bagian selatan Jalan Slamet Riyadi, dikenal dengan nama Kampung Kidulan yang merupakan daerah kekuasaan Keraton Surakarta. Kampung Kidulan memiliki tipe perkembangan yang konservatif, klasik dan tidak menerima akan pengaruh luar. Kampung Kidulan dianggap sebagai wilayah yang sakral karena pengaruh kuat dari Keraton Surakarta.

69 54 Pemerintahan Hindia Belanda di Kota Solo memberikan pengaruh yang besar terhadap lanskap kota maupun kehidupan sosial masyarakat. Invasi kekuasaan barat di bawah pemerintahan Hindia-Belanda mengatur penataan kota menyerupai kota modern Eropa. Simbol-simbol masyarakat yang kapitalis diciptakan seperti adanya bangunan perkantoran, loji, balai kota, bank, benteng, gereja, jalur kereta api, stasiun maupun bangunan lain yang sebelumnya tidak dikenal (Gunawan, 2010). Kota Solo yang secara geografis terletak di lembah dan tempuran sungai, sering sekali terjadi banjir. Maka pada awal tahun 1900 pihak Belanda, bersamasama Kasunanan dan Mangkunegaran melakukan proyek besar penganggulangan bahaya banjir, baik berupa pembuatan kanal, pembuatan sungai baru atau pembuatan tanggul. Pada bagian utara kota, Kali Pepe dipotong oleh sungai baru, yang kemudian disebut sebagai Kali Anyar, sehingga air bah tidak memasuki kota melainkan dialirkan melalui luar kota, dan mengikuti Kali Anyar yang bermuara di Bengawan Solo. Pada bagian selatan kota, Kali Laweyan juga dipotong oleh sungai baru dan ditambahi dengan tanggul yang menuju Bengawan Solo, yang kemudian disebut sebagai Kali Tanggul, yang berfungsi menahan air bah dari Kali Laweyan. Sedangkan pada sisi timur kota, dibangun tanggul yang mendampingi Bengawan Solo, sehingga luapan air sungai ketika banjir tidak masuk kota (Qomarun 2007). Pada awal abad 19 untuk pertama kalinya pemerintah Belanda berhasil melakukan politik ruang yang dikenal dengan istilah Wijkenstelsel, yaitu pembagian wilayah berdasarkan etnik tertentu yang diharuskan tinggal di perkampungan-perkampungan tertentu agar mudah diawasi dan tidak membahayakan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Wilayah Chineesewijk untuk Bangsa Cina ditempatkan di utara Sungai Pepe dan disekitar Pasar Gedhe, wilayah Arabiswijk yaitu membentang dari timur Gladag hingga Pasar Kliwon untuk Bangsa Arab, wilayah Europeeschewijk untuk Bangsa Belanda terdapat di Loji Wetan, Jebres serta Banjarsari, dan selebihnya merupakan permukiman masyarakat pribumi. Sehingga tercipta budaya campuran yang unik di Solo. Morfologi perubahan pada Kota Surakarta sejak tahun 1500 hingga tahun 2000 disajikan pada Gambar 27.

70 55 Keterangan : (1) Kampung Nusupan, (2) Bandar Kabanaran, (3) Kampung Arab, (4) Kampung China, (5) Kampung Betan, (6) Benteng Vastenberg, (7) Keraton Surakarta, (8) Kampung Eropa, (9) Pura Mangkunegaran, (10) Taman Sriwedari Gambar 27. Morfologi Kota Surakarta Tahun (Sumber : Qomarun et.al, 2007)

71 56 Pada awal tahun 1900, Surakarta memiliki enam buah gapura utama sebagai pintu masuk kota dengan bentuk dan ciri yang sama. Gapura merupakan gerbang yang menghubungkan antara wilayah hinterland dan mancanegara dengan negaragung yang merupakan pusat kota (Heins, 2004). Gapura didirikan pada tahun 1847 yang menghubungkan antara kota (negaragung) dengan kabupaten-kabupaten sekitarnya. Keraton Surakarta sebagai tempat tinggal keluarga raja dilengkapi oleh Gapura Gladag di utara dan Gapura Gading di selatan sebagai pintu masuk. Gapura lainnya yaitu Gapura Jurug, Gapura Kleco, Gapura Kandhang sapi dan Gapura Mojo (Heins, 2004). Gapura pertama adalah Gapura Jurug yang merupakan penghubung dan pintu masuk bagi pendatang dari wilayah timur menuju kota. Saat ini Gapura Jurug menjadi pembatas kota dengan Kabupaten Karanganyar. Gapura Kleco merupakan salah satu gapura tertua dan terletak di sebelah barat kota berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Selanjutnya adalah Gapura Kandhang Sapi dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan dua gapura sebelumnya. Gapura Kandhang Sapi merupakan akses menuju kota dari utara, namun saat ini sudah dibangun rumah sakit Dr. Oen yang berdekatan dengan gapura, sehingga gapura menjadi tertutup oleh bangunan rumah sakit. Gapura Mojo merupakan gapura yang menjadi pintu masuk dari arah selatan. Kondisi gapura yang masih terjaga secara fisik menjadi landmark tersendiri bagi Kota Surakarta. Posisi masingmasing gapura sebagai pintu masuk menuju kota disajikan pada Gambar 28. Gambr 28. Tata Letak Gapura Keraton Surakarta

72 57 Pada tanggal 17 Agustus 1945 negara Indonesia resmi merdeka dengan dicetuskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan maka Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta lebur menjadi suatu kesatuan bagian Republik Indonesia. Pihak Keraton Surakarta tidak memperoleh status Daerah Istimewa. Sehingga sistem pemerintahan tidak lagi melibatkan pihak keraton maupun Mangkunegaran. Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Adipati Mangkunegaran (Sri Mangkunegara VIII) masih bertahta di keraton dan juga Pura Mangkunegaran, namun kekuasaannya hanya berbatas pada wilayah spiritual serta kebudayaan dan hanya meliputi kaum kerabat (Maruti, 2004). Perkembangan Kota Surakarta terbagi menjadi dua yang dipisahkan oleh Jalan Slamet Riyadi (Zaida, 2004). Pada selatan jalan yaitu wilayah yang berkembang lebih cepat dan dianggap sebagai pusat perekonomian karena banyak kegiatan ekonomi yang terjadi dengan banyaknya pasar dan perkantoran. Sedangkan pola pengunaan lahan pada bagian utara cenderung lebih modern dengan pembangunan sarana dan prasarana fisik kota seperti jaringan listrik, jaringan air maupun jaringan transportasi. Pada bagian utara Kota Surakarta terdapat banyak sarana pendidikan yang dimulai sejak jenjang taman kanak-kanak hingga universitas. Pada bagian utara kota terdapat lahan-lahan kosong sehingga banyak muncul pemukiman baru. Kalianyar yang dibangun pada tahun 1910 secara tidak langsung menjadi pembatas fisik kota Surakarta pada bagian utara. Pada bagian utara Kalianyar terdapat banyak lahan-lahan terbuka dan belum banyak dibangun fasilitas-fasillitas umum sehingga pada kawasan ini sangat sedikit kegiatan yang dilakukan masyarakat. Perkembangan Kota Surakarta diarahkan menuju tahap modernisasi, dibuktikan dengan bangunan-bangunan modern yang kontras dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Pada tahun 1988 terjadi kerusuhan besar di Surakarta yang menyebabkan banyak infrastruktur kota yang rusak. Setelah kerusuhan yang terjadi maka dalam beberapa waktu kemudian dilakukan pembangunan kembali dengan lebih memperhatikan nilai-nilai tradisional dan mengadopsi gaya arsitektur pada Keraton Surakarta. Dengan demikian terbentuk wajah kota yang memiliki perpaduan antara arsitektur modern dengan arsitektur tradisional.

73 Persepsi Masyarakat terhadap Keraton Surakarta Masyarakat merupakan komponen penting dari suatu kota. Masyarakat merupakan pelaku sejarah dan budaya dari suatu kawasan. Keinginan dan harapan dari masyarakat Kota Surakarta berperan penting guna kegiatan pelestarian kawasan, sehingga dilakukan penyebaran kuisioner terhadap 63 responden yang tersebar di seluruh penjuru Kota Surakarta. Responden yang didapatkan memiliki berbagai rentang usia, etnis dan perkerjaan. Hasil kuisioner diharapkan dapat memberikan informasi mengenai persepsi masyarakat terhadap Keraton Surakarta dan seberapa penting elemen-elemen keraton untuk ditampilkan pada Kota Surakarta. Hasil kuisioner juga akan menjadi pertimbangan dalam menentukan tindakan pelestarian guna menciptakan Kota Surakarta yang beridentitas. Responden kuisioner tersebar dari lima kecamatan yang ada di Kota Surakarta, sebanyak 32% responden dari Kecamatan Laweyan, 16% dari Kecamatan Serengan, 19% dari Kecamatan Pasar Kliwon, 16% dari Kecamatan Jebres dan sebesar 17% dari Kecamatan Banjarsari. Sebagian besar responden telah bertempat tinggal do Kota Surakarta selama lebih dari 15 tahun. Masyarakat asli Surakarta merupakan saksi hidup perkembangan kota dari masa ke masa. Sebanyak 81% orang mengetahui sejarah Kota Surakarta. Kota Surakarta yang dikenal dengan slogan Kota Budaya, merupakan sebuah kota yang memiliki nilai budaya kuat. Hal ini dapat tercermin juga dari kegiatan sehari-hari masyarakat yang masih melakukan aktivitas budaya, seperti menggunakan bahasa jawa, busana tradisional bahkan masih melakukan upacaraupacara adat seperti dalam upacara pernikahan, kematian maupun upacara kelahiran. Sebanyak 40% masyarakat masih melakukan kegiatan tersebut. Kota Surakarta sebagai kota budaya dengan keberadaan Keraton Surakarta yang menjadi pusatnya, sebanyak 96.8% masyarakat meyakini bahwa Kota Surakarta memiliki budaya yang khas bila dibandingkan dengan kota-kota lain di Pulau Jawa. Selama responden bertempat tinggal di Kota Surakarta, mereka berpendapat bahwa Kota Surakarta telah banyak mengalami perubahan, sebagian beranggapan perubahan ini menjadi lebih nyaman (65%) dan ada pula yang beranggapan perubahan ini menjadikan Kota Surakarta menjadi tidak nyaman lagi

74 59 (35%). Dari perubahan yang terjadi, perubahan yang paling dirasakan adalah pada lingkungan/lanskap kawasan (49%), sarana dan prasarana (16%), jumlah penduduk (23%) dan pada aktivitas wisata (12%). Perubahan pada kota mengakibatkan suasana dan situasi yang ada saat ini juga mengalami perubahan, responden telah memberikan pendapat mengenai situasi lanskap kota saat ini. Karakter lanskap masa lalu sedikit banyak diketahui oleh responden. Pendapat masyarakat terhadap situasi lanskap saat ini dan karakter lanskap masa lalu disajikan pada Tabel 6. Tebel 6. Pendapat masyarakat terhadap Lanskap Kota Surakarta No Model Wawancara Frekuensi (Orang) 1 Situasi lanskap Kota Surakarta saat ini 2 Kondisi lanskap masa lalu 3 Kondisi karakter budaya Kota Surakarta di masa lalu 4 Karakter budaya Kota Surakarta masa lalu Presentase (%) Indah 48 76% Unik 46 73% Menarik 42 % Membanggakan 46 73% Bernilai budaya tinggi 54 86% Bernilai sejarah tinggi 45 71% Sesuai untuk wisata 44 70% Kelestarian terjaga 39 62% Mengetahui 22 35% Mengetahui 31 49% Budaya Jawa secara umum 8 26% Budaya Jawa khas Surakarta 11 35% Budaya Keraton Surakarta 10 32% Budaya Eropa 0 0% Budaya campuran Jawa dan Eropa 2 7% Pada saat ini karakter budaya pembentuk kota dapat dilihat dari kebiasaan hidup masyarakat (27,3%), bangunan tradisional dan semimodern (25%), dari aktivitas sehari-hari seperti berdagang (24,4%) dan dapat dilihat dari kondisi alam (23,2%) yang membentang di Kota Surakarta. Masyarakat memiliki beberapa

75 60 pendapat mengenai Keraton Surakarta. Sebanyak 67% berpendapat bahwa keraton merupakan suatu situs cagar budaya, sebanyak 15% berpendapat bahwa keraton merupakan sumber kebudayaan bagi masyarakat Jawa, sebanyak 12% masyarakat menyatakan bahwa keraton merupakan cikal bakal dari Kota Surakarta dan sebesar 6% masyarakat berpendapat bahwa Keraton Surakarta adalah cerminan kejayaan kerajaan masa lampau. Namun, hanya sebesar 19% responden yang mengetahui mengenai konsep lanskap dari Keraton Surakarta. Elemen yang diketahui oleh masyarakat adalah pada ornamen, warna, vegetasi khas keraton yang berupa pohon beringin, model dan susunan bangunan. Perkembangan Kota Surakarta yang merupakan perkembangan dari keberadaan Keraton Surakarta juga dinyatakan harus mempertimbangkan mengenai keberadaan Keraton Surakarta dan hal ini juga sejalan dengan pendapat responden yaitu sebesar 81%. Dengan perlu dipertimbangkannya keberadaan Keraton Surakarta maka dalam perkembangan Kota Surakarta sebesar 86% responden berpendapat bahwa perlu ditampilkan elemen-elemen lanskap Keraton Surakarta pada kota, seperti bentuk bangunan tradisional seperti atap joglo, motif dan ragam hias pada bangunan, ukiran-ukiran maupun kesenian tradisional Keraton Surakarta. Responden mengharapkan Kota Surakarta yang bersih, indah dan nyaman dengan tetap mengedepankan nilai-nilai budaya dan juga tata krama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat juga mengharapkan selama pembangunan kota selalu memperhatikan ciri khas dari nilai-nilai budaya yang sudah dimiliki, yaitu nilai budaya dari Keraton Surakarta, seperti dalam pembangunan bangunan-bangunan baru perlu diperhatikan nilai arsitektur bangunan kuno seperti rumah joglo, limasan dan lainnya. Dalam pembangunan Kota Surakarta selanjutnya harus diperhatikan kelestarian dari bangunanbangunan kuno dan tidak meninggalkan budaya Keraton Surakarta.

76 Analisis Pengaruh Konsep Lanskap Keraton pada Lanskap Kota Surakarta Kota Surakarta dikenal dengan kota budaya dimana Keraton Surakarta merupakan pusat dari kebudayaan. Namun, pengaruh budaya tidak sama di setiap bagian kota. Ada yang mendapat pengaruh kuat dan ada yang mendapatkan pengaruh yang lemah. Sehingga dilakukan identifikasi dan penilaian terhadap struktur lanskap Kota Surakarta. Analisis elemen lanskap dilakukan guna mengetahui bagian-bagian kota yang terpengaruh oleh Keraton Surakarta dan faktor-faktor yang mempengaruhi dari sebaran pengaruh tersebut. Analisis elemen lanskap Kota Surakarta terbagi menjadi dua tahap yaitu analisis sebaran lanskap dan analisis pola sebaran lanskap Analisis Jenis Pengaruh Lanskap Struktur lanskap yang diidentifikasi adalah lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan. Pemetaan terhadap lanskap Kota Surakarta dilakukan dengan penilaian terhadap masing-masing struktur lanskap dengan kriteria-kriteria penilaian yang meliputi asosiasi kesejarahan, gaya arsitektur beserta ornamen, kesamaan jenis dan desain elemen lanskap yang digunakan Lanskap Permukiman Lanskap permukiman mendominasi penggunaan lahan di Kota Surakarta, terbukti dengan penggunaan lahan sebesar 62% dari luas total kota digunakan sebagai lahan permukiman. Hal ini berakibat pada penggunaan lahan yang padat permukiman dan menghilangkan penggunaan pekarangan, hanya terdapat sedikit masyarakat yang masih memiliki pekarangan di halaman rumah mereka. Permukiman yang berada di Surakarta sebagian besar merupakan permukiman lama yang merupakan tempat tinggal dari para abdi Keraton Surakarta, posisi permukiman tradisional Jawa mendapat pengaruh dari keraton sesuai dengan konsep kiblat papat kalima pancer. Namun perkembangan permukiman di Solo banyak menggunakan gaya arsitektur baru yang lebih modern. Penilaian pada elemen lanskap permukiman dilakukan dengan beberapa kriteria yang telah disajikan pada Tabel 2. Dengan menggunakan kriteria tersebut maka dapat diketahui lanskap permukiman yang mendapatkan pengaruh dari

77 62 Keraton Surakarta. Penilaian lanskap permukiman pada Kota Surakarta dibagi terbagi menjadi beberapa zona penilaian, zona penilaian ini disesuaikan dengan jumlah kelurahan yang berada di Kota Surakarta. Hasil analisis pada lanskap permukiman disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman Kriteria Kelurahan Asosiasi Kesejarahan Tata Ruang Arsitektur Bangunan Ornamen Bangunan Kesamaan jenis elemen Total Jebres Pasar Kliwon Serengan Laweyan Sondakan Panularan Penumping Sriwidari Laweyan Purwosari Bumi Pajang Kerten Jajar Karangasem Serengan Kratonan Kemlayan Jayengan Danukusuman Tipes Joyotakan Kauman Baluwarti Kampung Baru Pasar Kliwon Joyosuran Sangkrah Semanggi Kedung Lumbu Sewu Gandekan Jagalan Sudiroprajan Purwodiningratan Jebres

78 63 Tabel 7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman (Lanjutan) Kriteria Kelurahan Asosiasi Kesejarahan Tata Ruang Arsitektur Bangunan Ornamen Bangunan Kesamaan jenis elemen Total Kepatihan Wetan Kepatihan Kulon Pucang Sawit Mojosongo Tegalharjo Keprabon Mangkubumen Punggawan Nusukan Setabelan Timuran Gilingan Kadipiro Ketelan Kestalan Sumber Banyuanyar Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Jebres Banjarsari Penilaian terhadap lanskap permukiman yang dilakukan dengan membagi zona sesuai dengan jumlah kelurahan dapat dikelompokkan menjadi lima kecamatan. Pada Kecamatan Laweyan dengan sembilan kelurahan memiliki luasan permukiman sebesar 724,26 ha. Pada Kecamatan Serengan luasan permukiman adalah sebesar 290,37 ha dan terbagi menjadi tujuh kelurahan. Pada Kecamatan Pasar Kliwon dengan luasan permukiman sebesar 271,49 ha terbagi menjadi sembilan jumlah kelurahan. Kecamatan Jebres memiliki luasan permukiman yang paling besar, yaitu 1017,2 ha dan terbagi menjadi 11 kelurahan. Pada Kecamatan Banjarsari luasan permukiman sebesar 650,02 ha dengan 13 kelurahan. Hasil analisis lanskap permukiman secara spasial disajikan pada Gambar 29.

79 64

80 65 Hasil analisis menyatakan bahwa lanskap permukiman pada Kelurahan Sondakan, Panularan, Penumping, Sriwedari, Laweyan, Purwosari, Bumi, Pajang, Serengan, Tipes, Kratonan, Kemlayan, Jayengan, Danukusuman, Kauman, Baluwerti, Pasar kliwon, Joyosuran, Sangkrah, Semanggi, Kedung Lumbu, Sewu, Gandekan, Jagalan, Purwodiningratan, Sudiroprajan, Jebres, Pucang Sawit, Keprabon, Mangkubumen, Stabelan, Punggawan dan Timuran memiliki nilai pengaruh yang kuat dari Keraton Surakarta. Pada kelurahan tersebut merupakan permukiman lama yang memiliki sejarah kuat dengan Keraton Surakarta. Permukiman tersebut merupakan kawasan tempat tinggal bagi abdi dalem kerajaan. Sehingga banyak ditemukan bangunan dengan gaya arsitektur tradisional yang dilengkapi dengan ornamen/ragam hias bercirikan keraton. Lanskap permukiman dengan nilai pengaruh sedang terdapat pada Kelurahan Kerten, Karangasem, Joyotakan, Kampung Baru, Kepatihan Wetan, Kepatihan Kulon, Nusukan, Gilingan dan Ketelan. Permukiman dengan pengaruh sedang banyak terdapat pada wilayah utara dan selatan Keraton Surakarta. Pada wilayah permukiman dengan nilai sedang, tata ruang maupun arsitektur bangunan tidak mencirikan Keraton Surakarta. Bagian kota yang terdapat di bagian utara keraton, dahulu merupakan wilayah kekuasaan milik mangkunegaran dan juga tempat tinggal dari Belanda maupun Cina. Sehingga banyak ditemukan permukiman dengan gaya arsitektur dan corak bergaya Indis dan Cina. Kediaman bangsa Belanda di daerah Banjarsari dikenal dengan istilah Villapark. Sedangkan permukiman dengan nilai pengaruh rendah banyak terdapat pada kelurahan di Kecamatan Banjarsari dan Jebres. Permukiman dengan pengaruh rendah meliputi Kelurahan Jajar, Mojosongo, Tegalharjo, Kadipiro, Kestalan, Sumber dan Banyuanyar. Permukiman dengan pengaruh rendah tersebar pada bagian utara kota. Permukiman yang berada pada wilayah utara merupakan wilayah permukiman baru, sehingga tidak memiliki nilai kesejarahan yang berhubungan secara langsung dengan Keraton Surakarta. Konsep tata ruang yang dimiliki oleh Keraton Surakarta seperti kiblat papat kalima pancer maupun gaya arsitektur keraton sudah jarang diterapkan pada lanskap permukiman. Dengan perkembangan penduduk yang semakin meningkat dan kebutuhan lahan yang semakin tinggi maka terjadi penggunaan lahan yang tidak terkonsep/teratur dan

81 66 masyarakat sudah mulai mengabaikan keberadaan konsep lanskap keraton. Secara keseluruhan nilai pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap permukiman adalah sebesar 52% pengaruh kuat, 9% pengaruh sedang dan 39% pengaruh rendah. Perkembangan permukiman yang melebar menuju barat sejalan dengan konsep tata ruang yang dimiliki oleh Keraton Surakarta, yaitu konsep kiblat papat kalima pancer. Terdapat pemahaman bahwa arah timur dan barat merupakan wilayah yang mencerminkan hubungan raja dengan rakyat, atau dapat dikatakan hubungan raja dengan masyarakat dan kerabatnya (hablu minannas). Sedangkan perkembangan pemukiman menuju utara yang meliputi Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari, terjadi setelah keberadaan pihak Belanda dan juga mangkunegaran. Pada tahun 1910, setelah keberadaan Kali Anyar, perkembangan permukiman semakin melebar menuju utara Kali Anyar dan tercipta perkampungan-perkampungan baru di Kota Surakarta. Bangunan pada Keraton Surakarta menggunakan tata ruang bangunan tradisional Jawa dengan bentukan atap joglo maupun limasan. Pada lanskap permukiman lama yang berada di selatan kota, bangunan dengan gaya arsitektur tradisional Jawa masih banyak ditemukan. Salah satunya adalah Dalem Purwodiningratan (Gambar 30) merupakan rumah tinggal dari kerabat raja. (a) Bangunan Joglo (b) Pohon Beringin di halaman Gambar 30. Dalem Purwodiningratan

82 Lanskap Perkantoran dan Perdagangan Lanskap perkantoran dan lanskap perdagangan di Kota Surakarta memiliki luas sebesar 10.8% dari luas total kota sebesar m 2. Penilaian dilakukan dengan membagi zona sesuai dengan lima unit lanskap yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian yaitu kantor pemerintahan, kantor swasta, pertokoan, pasar dan hotel. Analisis terhadap lanskap perkantoran dan pertokoan dinilai berdasarkan pada kriteria yang telah ditentukan pada Tabel 3. Hasil analisis pada lanskap disajikan pada Tabel 8 dan secara spasial disajikan pada Gambar 32. Penilaian pada masing-masing unit lanskap disajikan pada Lampiran 4 hingga Lampiran 8. Tabel 8. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran dan Perdagangan Keriteria Unit Lanskap Asosiasi Kesejarahan Posisi terhadap Keraton Surakarta Arsitektur Bangunan Kesamaan jenis elemen lanskap Total Kantor Pemerintah Kantor Swasta Pertokoan Pasar Hotel Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Lanskap perkantoran dan perdagangan di Kota Solo berpusat di kawasan Jalan Slamet Riyadi hingga Jalan Jendral Sudirman. Perkembangan pada lanskap perkantoran dan lanskap permukiman searah dengan perkembangan infrastruktur jalan, sehingga membentuk pola sesuai dengan jalan yang dilewati. Lanskap pada kantor-kantor pemerintahan seperti Balaikota (Gambar 31), kantor kecamatan maupun kantor kelurahan memiliki tata ruang dan pola bangunan yang mengadopsi konsep Keraton Surakarta, seperti konsep kiblat papat kalima pancer, sehingga terbentuk keseragaman pada bangunan kantor pemerintahan. Dimana bangunan-bangunan yang berada di dalam komplek Balaikota menghadap ke arah pendapa besar yang berada di tengah sebagai pancer dan dilengkapi juga dengan sepasang pohon beringin kurung dihadapan pendapa besar.

83 68

84 69 Tidak sedikit bangunan-bangunan lama peninggalan Belanda yang digunakan sebagai kantor oleh swasta maupun pemerintah, seperti kantor PTPN IX Surakarta yang menggunakan bangunan peninggalan pemerintah Belanda. Sedangkan bangunan perkantoran baru memiliki gaya arsitektur modern yang di kombinasikan dengan gaya arsitektur tradisional seperti pada Gambar 32 baik pada bentuk atap maupun ragam hias. Beberapa kantor swasta seperti kantor bank maupun hotel memiliki bangunan dengan gaya arsitektur modern, namun menggunakan bentuk atap maupun ornamen dengan ciri khas keraton, yaitu dengan mengadopsi bentuk atap limasan maupun joglo yang dilengkapi dengan ornamen yang disebut kuku bima disetiap ujung atap. (a) Balaikota Surakarta (b) Kantor Bank BCA Gambar 32. Lanskap Perkantoran di Surakarta Pada lanskap pertokoan, ornamen maupun gaya arsitektur tradisional sudah banyak ditinggalkan. Lanskap pertokoan lebih banyak menggunakan gaya bangunan ruko yang dahulu diperkenalkan oleh para pedagang Cina. Pada pertokoan besar banyak digunakan penulisan nama dengan menggunakan huruf jawa. Sedangkan pada pasar-pasar tradisional, gaya arsitektur tradisional masih dipertahankan. Pada bangunan pasar yang baru digunakan sentuhan tradisional pada bentuk atap dan juga ornamen bangunan yang mengadopsi gaya Keraton Surakarta. Pasar-pasar tradisional di Kota Surakarta memiliki hubungan sejarah yang kuat dengan keraton. Pasar-pasar tradisional sudah didirikan sejak awal keberadaan keraton (Setiawan, 2000). Didirikannya pasar mencerminkan adanya pelayanan dari pihak keraton untuk rakyat. Sehingga didirikan pasar-pasar tradisional seperti Pasar Gede di utara, Pasar Kliwon di sebelah timur, Pasar Gading di selatan dan Pasar Klewer disebelah barat dari Keraton Surakarta.

85 70 Pada bangunan-bangunan hotel di Surakarta sudah banyak meninggalkan gaya tradisional. Bangunan perhotelan sudah tidak lagi menggunakan tata ruang seperti keraton. Penilaian pada hotel berbintang satu hingga bintang lima mendapatkan hasil bahwa pada bangunan perhotelan, elemen lanskap yang ditemukan hanyalah bentuk bangunan dengan gaya tradisional yang diadopsi pada bentuk atap maupun ornamen yang menghiasi taman, seperti jenis pohon dan desain pada site furniture. Secara keseluruhan nilai pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap perkantoran dan pertokoan di Kota Surakarta sebanyak 64% pengaruh kuat, 31% memiliki pengaruh sedang dan 5% memiliki pengaruh yang rendah Lanskap Fasilitas Umum Fasilitas umum merupakan hal penting pada suatu kota yang didirikan untuk dapat dinikmati dan di akses oleh seluruh masyarakat kota. Dilakukan penilaian terhadap fasilitas umum yang terdiri dari sarana pendidikan, sarana kesehatan, taman kota, sarana transportasi yang terdiri dari stasiun dan terminal dan tempat peribadatan. Hasil penilaian pada lanskap fasilitas umum disajikan pada Tabel 9 dan secara spasial dapat dlihat pada Gambar 33. Penilaian pada masing-masing unit lanskap disajikan pada Lampiran 9 hingga Lampiran 13. Tabel 9. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas Umum Unit Lanskap Asosiasi Kesejarahan Posisi terhadap Keraton Surakarta Keriteria Arsitektur Bangunan Kesamaan jenis dan desain elemen Sarana Pendidikan Taman Kota Sarana Transportasi Fasilitas Kesehatan Tempat Peribadatan Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Total Hasil analisis skoring menyatakan bahwa pada lanskap fasilitas umum dengan keterkaitan sedang dimiliki oleh lanskap sarana pendidikan, taman kota, lanskap stasiun dan terminal, dan lanskap tempat peribadatan. Serta pengaruh yang rendah pada fasilitas kesehatan yang tergolong baru.

86 71

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan Rossler, 1995). Lanskap budaya pada beberapa negara di dunia

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Sumber : BAPEDDA Surakarta

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Sumber : BAPEDDA Surakarta 11 BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian mengenai pengaruh konsep lanskap Keraton terhadap lanskap Kota ini dilakukan pada kawasan Keraton Kesunanan dan kawasan Kota. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

STUDI ELEMEN MENTAL MAP LANSKAP KAMPUS UNIVERSITAS INDONESIA, DEPOK HADRIAN PRANA PUTRA

STUDI ELEMEN MENTAL MAP LANSKAP KAMPUS UNIVERSITAS INDONESIA, DEPOK HADRIAN PRANA PUTRA STUDI ELEMEN MENTAL MAP LANSKAP KAMPUS UNIVERSITAS INDONESIA, DEPOK HADRIAN PRANA PUTRA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 RINGKASAN HADRIAN PRANA PUTRA.

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA OLEH: MOCH SAEPULLOH A44052066 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI VII. 1. Kesimpulan Penelitian proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata ini bertujuan untuk membangun teori atau

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 16 III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan Empang yang secara administratif masuk dalam wilayah Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Propinsi Jawa

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK Oleh : Dina Dwi Wahyuni A 34201030 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI

KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 RINGKASAN INDAH CAHYA IRIANTI. A44050251.

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL SEGENTER, PULAU LOMBOK, SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA. Oleh MUHAMMAD IMAM SULISTIANTO A

PERENCANAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL SEGENTER, PULAU LOMBOK, SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA. Oleh MUHAMMAD IMAM SULISTIANTO A PERENCANAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL SEGENTER, PULAU LOMBOK, SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA Oleh MUHAMMAD IMAM SULISTIANTO A34201037 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A

PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A34203015 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks, terdiri dari berbagai sarana dan prasarana yang tersedia, kota mewadahi berbagai macam aktivitas

Lebih terperinci

KAJIAN PENCAHAYAAN LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR ARSYAD KHRISNA

KAJIAN PENCAHAYAAN LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR ARSYAD KHRISNA KAJIAN PENCAHAYAAN LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR ARSYAD KHRISNA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN ARSYAD KHRISNA A44052252. Kajian Pencahayaan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kota Yogyakarta 4.1.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI Jakarta, Ibukota Negara

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI DESA BANYUMULEK, KECAMATAN KEDIRI, LOMBOK BARAT

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI DESA BANYUMULEK, KECAMATAN KEDIRI, LOMBOK BARAT PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI DESA BANYUMULEK, KECAMATAN KEDIRI, LOMBOK BARAT Oleh : RINRIN KODARIYAH A 34201017 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS

Lebih terperinci

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Perkampungan Portugis Kampung Tugu Jakarta Utara Lanskap Sejarah Aspek Wisata Kondisi Lanskap: - Kondisi fisik alami - Pola Pemukiman - Elemen bersejarah - Pola RTH

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A34201023 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YULIANANTO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Deskripsi

BAB I PENDAHULUAN Deskripsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Deskripsi Untuk mendapatkan gambaran tentang pengertian judul DP3A Revitalisasi Kompleks Kavallerie Sebagai Hotel Heritage di Pura Mangkunegaran Surakarta yang mempunyai arti sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah keberadaan kota Surakarta tidak bisa terlepas adanya keraton Surakarta yang secara proses tidak dapat terlepas pula dari kerajaan pendahulunya yakni

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN Oleh : Mutiara Ayuputri A34201043 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Bab II Gambaran Umum Kota Surakarta

Bab II Gambaran Umum Kota Surakarta Bab II Gambaran Umum Kota Surakarta Luas wilayah Kota Surakarta 44,04 km 2 dan terletak di Propinsi Jawa Tengah (central java) yang terdiri ata satu) kelurahan, 606 (enam ratus enam) Rukun Warga (RW) serta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keraton Surakarta Hadiningrat 4.1.1 Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta terletak pada Kelurahan Baluwerti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Kota Banda Aceh yang berada di Kecamatan Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga kampung, yaitu Kampung Baru,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II pada tahun 1744 sebagai

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuesioner Persepsi Masyarakat di Dalam Kawasan Empang LEMBAR KUESIONER

Lampiran 1. Kuesioner Persepsi Masyarakat di Dalam Kawasan Empang LEMBAR KUESIONER LAMPIRAN 111 112 Lampiran 1. Kuesioner Persepsi Masyarakat di Dalam Kawasan Empang LEMBAR KUESIONER Dengan Hormat, saya memohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dalam membantu pengumpulan data penelitian

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN (Kasus Kampung Cimenteng, Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten)

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 33 METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian mengenai Rencana Penataan Lanskap Kompleks Candi Muara Takus sebagai Kawasan Wisata Sejarah dilakukan di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar,

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR Oleh : PRIMA AMALIA L2D 001 450 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

KONSEP STREET FURNITURE KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA INDRA SAPUTRA A

KONSEP STREET FURNITURE KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA INDRA SAPUTRA A KONSEP STREET FURNITURE KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA INDRA SAPUTRA A34203039 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN INDRA SAPUTRA. A34203039.

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG ARSITEKTUR BANGUNAN BERCIRI KHAS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 14. Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Data Kelurahan Kuin Utara) Peta Kecamatan Banjarmasin Utara. Peta Kelurahan Kuin Utara

METODOLOGI. Gambar 14. Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Data Kelurahan Kuin Utara) Peta Kecamatan Banjarmasin Utara. Peta Kelurahan Kuin Utara METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kuin adalah wilayah sepanjang daerah aliran Sungai Kuin yang terletak di kota Banjarmasin.

Lebih terperinci

STUDI PARTISIPASI PEDAGANG DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI DALAM REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN SURAKARTA TUGAS AKHIR

STUDI PARTISIPASI PEDAGANG DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI DALAM REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN SURAKARTA TUGAS AKHIR STUDI PARTISIPASI PEDAGANG DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI DALAM REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN SURAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : ADIB SURYAWAN ADHIATMA L2D 000 394 JURUSAN TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA Lis Noer Aini Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur

Lebih terperinci

RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL

RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL Rencana Lanskap Berdasarkan hasil analisis data spasial mengenai karakteristik lanskap pemukiman Kampung Kuin, yang meliputi pola permukiman, arsitektur bangunan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iii ABSTRAK... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL... xvi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar

Lebih terperinci

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR Oleh : SABRINA SABILA L2D 005 400 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus 30 KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Wilayah perencanaan situs Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jarak kompleks candi

Lebih terperinci

SKRIPSI KAJIAN LANSKAP RUANG TERBUKA DI RT 01/08, KELURAHAN BARANANGSIANG, KECAMATAN BOGOR TIMUR, KOTA BOGOR MIFTAHUL FALAH A

SKRIPSI KAJIAN LANSKAP RUANG TERBUKA DI RT 01/08, KELURAHAN BARANANGSIANG, KECAMATAN BOGOR TIMUR, KOTA BOGOR MIFTAHUL FALAH A i SKRIPSI KAJIAN LANSKAP RUANG TERBUKA DI RT 01/08, KELURAHAN BARANANGSIANG, KECAMATAN BOGOR TIMUR, KOTA BOGOR MIFTAHUL FALAH A34203053 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Gambar 11 Lokasi Penelitian

Gambar 11 Lokasi Penelitian 22 III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Kegiatan penelitian ini dilakukan di kawasan sekitar Kebun Raya Bogor, Kota Bogor. Kebun Raya Bogor itu sendiri terletak di Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah.

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH REKLAME TERHADAP KUALITAS ESTETIK LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR RAKHMAT AFANDI

PENGARUH REKLAME TERHADAP KUALITAS ESTETIK LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR RAKHMAT AFANDI PENGARUH REKLAME TERHADAP KUALITAS ESTETIK LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR RAKHMAT AFANDI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Judul Nama NRP : Pengaruh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Kampus

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Kampus TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Kampus Lanskap merupakan ruang di sekeliling manusia, tempat mereka melakukan aktivitas sehari-hari sehingga menjadi pengalaman yang terus menerus di sepanjang waktu. Simond (1983)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah perancangan yang mencakup pengubahan-pengubahan terhadap lingkungan fisik, arsitektur dapat dianggap

Lebih terperinci

WALIKOTA PALANGKA RAYA

WALIKOTA PALANGKA RAYA 1 WALIKOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGATURAN BANGUNAN BERCIRIKAN ORNAMEN DAERAH KALIMANTAN TENGAH DI KOTA PALANGKA RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A34203009 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul 1.1.1 Judul Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual 1.1.2 Pemahaman Esensi Judul Ruang komunal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI...

BAB II KAJIAN TEORI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiv BAB I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Kegiatan sektor perdagangan di perkotaan merupakan basis utama, hal ini dikarenakan kegiatan penghasil barang lebih dibatasi dalam perkotaan. Kota umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. a. Perkembangan morfologi Kawasan Alun-alun Lama Kota Semarang. Kawasan Alun-alun Lama Kota Semarang berada di bagian pusat kota

BAB I PENDAHULUAN. a. Perkembangan morfologi Kawasan Alun-alun Lama Kota Semarang. Kawasan Alun-alun Lama Kota Semarang berada di bagian pusat kota BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang a. Perkembangan morfologi Kawasan Alun-alun Lama Kota Semarang Kawasan Alun-alun Lama Kota Semarang berada di bagian pusat kota Semarang sebelah utara, berbatasan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LANSKAP JALUR HIJAU KOTA JALAN JENDERAL SUDIRMAN JAKARTA PADA DINAS PERTAMANAN DKI JAKARTA. Oleh : RIDHO DWIANTO A

PENGELOLAAN LANSKAP JALUR HIJAU KOTA JALAN JENDERAL SUDIRMAN JAKARTA PADA DINAS PERTAMANAN DKI JAKARTA. Oleh : RIDHO DWIANTO A PENGELOLAAN LANSKAP JALUR HIJAU KOTA JALAN JENDERAL SUDIRMAN JAKARTA PADA DINAS PERTAMANAN DKI JAKARTA Oleh : RIDHO DWIANTO A34204013 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP SEKOLAH ISLAM TERPADU UMMUL QURO BERDASARKAN KONSEP TAMAN ISLAMI FISQA TASYARA A

PERANCANGAN LANSKAP SEKOLAH ISLAM TERPADU UMMUL QURO BERDASARKAN KONSEP TAMAN ISLAMI FISQA TASYARA A PERANCANGAN LANSKAP SEKOLAH ISLAM TERPADU UMMUL QURO BERDASARKAN KONSEP TAMAN ISLAMI FISQA TASYARA A34203058 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Dengan ini

Lebih terperinci

, 2015 KOMPLEKS MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DALAM SITUS MASYARAKAT KOTA CIREBON

, 2015 KOMPLEKS MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DALAM SITUS MASYARAKAT KOTA CIREBON BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak penduduk yang di dalamnya terdapat masyarakat yang berbeda suku, adat, kepercayaan (agama) dan kebudayaan sesuai daerahnya masing-masing.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami. perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan massa dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami. perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan massa dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan massa dan fungsi baru untuk menunjang ragam aktivitas

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP AGROWISATA IKAN HIAS AIR TAWAR DI BALAI PENGEMBANGAN BENIH IKAN CIHERANG KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT

PERANCANGAN LANSKAP AGROWISATA IKAN HIAS AIR TAWAR DI BALAI PENGEMBANGAN BENIH IKAN CIHERANG KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT PERANCANGAN LANSKAP AGROWISATA IKAN HIAS AIR TAWAR DI BALAI PENGEMBANGAN BENIH IKAN CIHERANG KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT Oleh: GIN GIN GINANJAR A34201029 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH ELEMEN LANSKAP TERHADAP KUALITAS ESTETIKA LANSKAP KOTA DEPOK. Oleh: Medyuni Ruswan A

ANALISIS PENGARUH ELEMEN LANSKAP TERHADAP KUALITAS ESTETIKA LANSKAP KOTA DEPOK. Oleh: Medyuni Ruswan A ANALISIS PENGARUH ELEMEN LANSKAP TERHADAP KUALITAS ESTETIKA LANSKAP KOTA DEPOK Oleh: Medyuni Ruswan A34201045 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

Bab VI. KESIMPULAN dan SARAN

Bab VI. KESIMPULAN dan SARAN Bab VI KESIMPULAN dan SARAN 6.1 Kesimpulan Karakter suatu tempat berkaitan dengan adanya identitas, dimana didalamnya terdapat tiga aspek yang meliputi : aspek fisik, aspek fungsi dan aspek makna tempat.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 3. Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. Gambar 3. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi mengenai perencanaan lanskap jalur interpretasi wisata sejarah budaya ini dilakukan di Kota Surakarta, tepatnya di kawasan Jalan Slamet Riyadi. Studi ini dilaksanakan

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN OLEH: SITTI WARDININGSIH

RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN OLEH: SITTI WARDININGSIH RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN OLEH: SITTI WARDININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Budaya Lanskap adalah suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu secara harmoni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gambar 1-3 Gambar 1. Geger Pecinan Tahun 1742 Gambar 2. Boemi Hangoes Tahun 1948 Gambar 3.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gambar 1-3 Gambar 1. Geger Pecinan Tahun 1742 Gambar 2. Boemi Hangoes Tahun 1948 Gambar 3. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Solo telah banyak mengalami bencana ruang kota dalam sejarah perkembangannya. Setidaknya ada tiga peristiwa tragedi besar yang tercatat dalam sejarah kotanya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Proses terbentuknya kawasan Pecinan Pasar Gede hingga menjadi pusat

BAB V KESIMPULAN. Proses terbentuknya kawasan Pecinan Pasar Gede hingga menjadi pusat 112 BAB V KESIMPULAN Proses terbentuknya kawasan Pecinan Pasar Gede hingga menjadi pusat perdagangan di Kota Surakarta berawal dari migrasi orang-orang Cina ke pesisir utara pulau Jawa pada abad XIV. Setelah

Lebih terperinci

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No 1BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Pontianak sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Barat memiliki karakter kota yang sangat unik dan jarang sekali dijumpai pada kota-kota lain. Kota yang mendapat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di kawasan Kampung Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Kotamadya Jakarta Selatan (Gambar 6), dengan luas kawasan ± 165 ha, meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman tradisional Kelurahan Melai, merupakan permukiman yang eksistensinya telah ada sejak zaman Kesultanan

Lebih terperinci

Lebih Dekat dengan Masjid Agung Kauman, Semarang

Lebih Dekat dengan Masjid Agung Kauman, Semarang SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 KASUS STUDI Lebih Dekat dengan Masjid Agung Kauman, Semarang Safira safiraulangi@gmail.com Program Studi A rsitektur, Sekolah A rsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan,

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota pada perkembangannya memiliki dinamika yang tinggi sebagai akibat dari proses terjadinya pertemuan antara pelaku dan kepentingan dalam proses pembangunan. Untuk

Lebih terperinci

PERENCANAAN EKOWISATA DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (TNUK), BANTEN (Kasus Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang)

PERENCANAAN EKOWISATA DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (TNUK), BANTEN (Kasus Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang) PERENCANAAN EKOWISATA DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (TNUK), BANTEN (Kasus Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang) AINI HARTANTI A34204035 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA ISLAM SUNAN BONANG. Oleh Mufidah Atho Atun A

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA ISLAM SUNAN BONANG. Oleh Mufidah Atho Atun A PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA ISLAM SUNAN BONANG Oleh Mufidah Atho Atun A34204020 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN MUFIDAH ATHO ATUN.

Lebih terperinci

KAWASAN WISATA BETAWI DI CONDET DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR REGIONALISME

KAWASAN WISATA BETAWI DI CONDET DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR REGIONALISME KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KAWASAN WISATA BETAWI DI CONDET DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR REGIONALISME Disusun oleh : Ardi Hirzan D I0212021 Dosen Pembimbing: Ir. Marsudi, M.T NIP. 195603141986011001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi

BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi 10 BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi Penelitian mengenai perencanaan lanskap ini dilakukan di kawasan bersejarah Komplek Candi Gedong Songo,, Kecamatan Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah. Peta,

Lebih terperinci

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA Theresiana Ani Larasati Yogyakarta memiliki peninggalan-peninggalan karya arsitektur yang bernilai tinggi dari segi kesejarahan maupun arsitekturalnya, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kotagede adalah sebuah kota lama yang terletak di Yogyakarta bagian selatan yang secara administratif terletak di kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Sebagai kota

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP JALUR PENCAPAIAN KAWASAN AGROWISATA PADA AGROPOLITAN CIPANAS, CIANJUR. Oleh : Annisa Budi Erawati A

PERENCANAAN LANSKAP JALUR PENCAPAIAN KAWASAN AGROWISATA PADA AGROPOLITAN CIPANAS, CIANJUR. Oleh : Annisa Budi Erawati A PERENCANAAN LANSKAP JALUR PENCAPAIAN KAWASAN AGROWISATA PADA AGROPOLITAN CIPANAS, CIANJUR Oleh : Annisa Budi Erawati A34201035 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Posisi Makro terhadap DKI Jakarta. Jakarta, Ibukota Indonesia, berada di daerah dataran rendah, bahkan di bawah permukaan laut yang terletak antara 6 12 LS and 106 48 BT.

Lebih terperinci

REVITALISASI KAWASAN PASAR IKAN SUNDA KELAPA SEBAGAI KAWASAN WISATA BAHARI DI JAKARTA

REVITALISASI KAWASAN PASAR IKAN SUNDA KELAPA SEBAGAI KAWASAN WISATA BAHARI DI JAKARTA REVITALISASI KAWASAN PASAR IKAN SUNDA KELAPA SEBAGAI KAWASAN WISATA BAHARI DI JAKARTA Sukoco Darmawan, Nina Nurdiani, Widya Katarina JurusanArsitektur, Universitas Bina Nusantara, Jl. K.H. Syahdan No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Perumusan Masalah 1. Latar belakang dan pertanyaan penelitian Berkembangnya arsitektur jaman kolonial Belanda seiring dengan dibangunnya pemukiman bagi orang-orang eropa yang tinggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. elemen fisik yang menunjukan rupa kota itu sendiri. Aspek fisik dan sosial ini

BAB I PENDAHULUAN. elemen fisik yang menunjukan rupa kota itu sendiri. Aspek fisik dan sosial ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1 Karakter Kawasan Perkotaan Kota merupakan ruang bagi berlangsungnya segala bentuk interaksi sosial yang dinamis dan variatif. Sebagai sebuah ruang, kota terbentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia. BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia. Dimana pada masa perkembangan peradaban kota badan air merupakan satu-satunya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kabupaten Ngawi mempunyai sumber daya budaya berupa objek/situs cagar budaya yang cukup banyak dan beragam jenisnya. Dari semua objek/situs cagar budaya yang berada

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION. Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION. Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A34203031 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR. Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D

PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR. Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D 003 381 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Semarang sebagai sebuah kota yang terletak pada kawasan pantai utara Jawa memiliki berbagai potensi yang belum sepenuhnya dikembangkan. Sesuai dengan Peraturan

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP RIPARIAN SUNGAI MARTAPURA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN ALAMI KOTA BANJARMASIN LISA ANISA A

PERENCANAAN LANSKAP RIPARIAN SUNGAI MARTAPURA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN ALAMI KOTA BANJARMASIN LISA ANISA A PERENCANAAN LANSKAP RIPARIAN SUNGAI MARTAPURA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN ALAMI KOTA BANJARMASIN LISA ANISA A44050670 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LANSKAP KOTA TAMAN KEBAYORAN BARU SEBAGAI IDENTITAS KOTAMADYA JAKARTA SELATAN

IDENTIFIKASI LANSKAP KOTA TAMAN KEBAYORAN BARU SEBAGAI IDENTITAS KOTAMADYA JAKARTA SELATAN IDENTIFIKASI LANSKAP KOTA TAMAN KEBAYORAN BARU SEBAGAI IDENTITAS KOTAMADYA JAKARTA SELATAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan

BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan BAB 6 PENUTUP Pada bab ini disampaikan kesimpulan hasil studi pengembangan konsep revitalisasi tata lingkungan tradisional Baluwarti, saran untuk kepentingan program revitalisasi kawasan Baluwarti, dan

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu Magang

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu Magang 12 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu Magang Kegiatan magang berlangsung sekitar tiga bulan (Tabel 1) dimulai pada bulan Februari dan berakhir pada bulan Mei Tabel 1 Kegiatan dan Alokasi Waktu Magang Jenis Kegiatan

Lebih terperinci

4/AGIZ.200' PENGARUH TAMAN LINGKUNGAN TERHADAP SURU UDARA SEKIT ARNY A. CITRA INDA HARTl A

4/AGIZ.200' PENGARUH TAMAN LINGKUNGAN TERHADAP SURU UDARA SEKIT ARNY A. CITRA INDA HARTl A 4/AGIZ.200'-1 097 PENGARUH TAMAN LINGKUNGAN TERHADAP SURU UDARA SEKIT ARNY A CITRA INDA HARTl A02499033 DEPARTEMEN BUDI DAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2004 RINGKASAN CITRA INDA

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Yogyakarta merupakan kota dengan lintasan sejarah yang cukup panjang, dimulai pada tanggal 13 Februari 1755 dengan dilatari oleh Perjanjian Giyanti yang membagi

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN KLASIFIKASI POTENSI KAWASAN KONSERVASI DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR

STUDI PENENTUAN KLASIFIKASI POTENSI KAWASAN KONSERVASI DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR STUDI PENENTUAN KLASIFIKASI POTENSI KAWASAN KONSERVASI DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR Oleh: KHAIRINRAHMAT L2D 605 197 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun MINGGU 4 Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun Lingkungan Alamiah Dan Buatan Manusia Para dipahami

Lebih terperinci

Gambar 6.1 Alternatif Gambar 6.2 Batara Baruna. 128 Gambar 6.3 Alternatif Gambar 6.4 Alternatif Gambar 6.

Gambar 6.1 Alternatif Gambar 6.2 Batara Baruna. 128 Gambar 6.3 Alternatif Gambar 6.4 Alternatif Gambar 6. DAFTAR ISI Contents HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vi ABSTRAKSI... xii BAB I... 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Kondisi Umum Kelautan di

Lebih terperinci

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR Oleh: LAELABILKIS L2D 001 439 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN KORIDOR JALAN RAYA SERPONG KOTA TANGERANG SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. untuk mencapai tujuan penelitian dilaksanakan untuk menemukan,

BAB III METODE PERANCANGAN. untuk mencapai tujuan penelitian dilaksanakan untuk menemukan, BAB III METODE PERANCANGAN Metode pada dasarnya diartikan suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Penelitian adalah suatu penyelidikan dengan prosedur ilmiah untuk mengetahui dan mendalami suatu

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2 Jum'at, 3 Mei :48 wib

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2  Jum'at, 3 Mei :48 wib Bab I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek A. Umum Pertumbuhan ekonomi DIY meningkat 5,17 persen pada tahun 2011 menjadi 5,23 persen pada tahun 2012 lalu 1. Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1 Peta lokasi penelitian

III. METODOLOGI. Gambar 1 Peta lokasi penelitian 16 III. METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Studi mengenai Perencanaan Jalur Hijau Jalan sebagai Identitas Kota Banjarnegara dilakukan di jalan utama Kota Banjarnegara yang terdiri dari empat segmen,

Lebih terperinci