BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keraton Surakarta Hadiningrat Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta terletak pada Kelurahan Baluwerti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Keraton Surakarta terletak pada pusat kota Surakarta dengan batas utara adalah Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama Kota Surakarta, sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Veteran, sebelah timur dan barat berbatasan dengan Jalan Supit Urang. Keraton Surakarta memiliki aksesibilitas yang baik karena letaknya berada pada pusat kota dan juga berdekatan dengan kawasan perekonomian kota. Kawasan Keraton Surakarta memiliki luas wilayah ±55 ha yang meliputi Alun-alun Utara, lingkungan dalam tembok Baluwarti (keraton dan perumahan Baluwarti) sampai dengan Alun-alun Selatan Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta merupakan bangunan bersejarah yang merupakan rintisan Kerajaan Mataram. Keraton Surakarta sering juga disebut dengan Keraton Mataram Surakarta (Nitinagoro, 2011). Keraton Mataram mengalami perpindahan ibukota kerajaan sebanyak lima perpindahan sebelum akhirnya berdiri Keraton Mataram Surakarta. Pada tahun 1742 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Cina di Kartasura dan berhasil menduduki Keraton Kartasura yang pada saat itu dipimpin oleh Ingkang Sinuhun Susuhanan Paku Buwono II. Pemberontakaan ini dinamai dengan Geger Pecinan. Peristiwa Geger Pecinan merupakan awal mula hancurnya Keraton Mataram Kartasura. Dengan melihat kondisi Keraton Mataram Kartasura yang telah hancur maka Susuhan Paku Buwono II memberi perintah untuk dilakukan pemindahan keraton. Terdapat tiga tempat untuk dijadikan keraton baru sebagai ganti Keraton Mataram Kartasura, yaitu Kadipolo, Sonosewu dan Desa/Dusun Sala. Desa Sala terpilih menjadi tempat untuk dibangun keraton baru.

2 21 Desa Sala merupakan sebuah desa yang dikuasai oleh Ki Gede (Ageng) Sala. Dari Ki Gede Sala ini akan diketahui asal usul dari keberadaan Desa Sala. Nama Sala diambil dari nama pemimpin desa pada masa itu, yaitu seorang abdi dalem Kerajaan Pajang yang bernama Kiai Sala Sepuh. Pembangunan keraton baru dimulai dengan desain bangunan tidak berbeda jauh dengan Keraton Kartasura. Keraton baru ini dikenal dengan nama Keraton Nagari Surakarta dan selesai dibangun pada tahun 1667 Jawa atau 1745 Masehi, walaupun keraton masih berpagar bambu belum memiliki pagar dengan tembok seperti saat ini. Perpindahan keraton dari Keraton Kartasura menuju Keraton Surakarta tercatat dilakukan pada Rabu Pahing bulan Muharram (Sura) tahun Eje 1667 Jawa tahun 1745 Masehi atau 17 Februari 1745 Masehi. Pada masa pemerintahan Paku Buwono III, Surakarta terbagi menjadi dua bagian. Hal ini disebabkan karena ketidakpuasan kaum bangsawan terhadap campur tangan kompeni, pemberontakan ini diprakarsai oleh Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pada 13 Pebruari 1755 terjadi Perjanjian Giyanti yang berisi bahwa Pangeran Mangkubumi berkedudukan di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwana, dengan nama keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah dilakukan Perjanjian Giyanti, masalah semakin rumit sehingga dilakukan Perjanjian Salatiga 17 Maret Perjanjian ini menghasilkan kesepakatan yaitu Raden Mas Said mendapatkan daerah kekuasaan Keraton Surakarta dan mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegaran dengan wilayah kekuasaan bernama Mangkunegaran dan ditambah dengan tanah lungguh atau tanah yang dijadikan tempat didirikan Pura Mangkunegaran. Dengan kedua perjanjian itu maka wilayah Keraton Surakarta menjadi berkurang. Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono XII, Negara Indonesia dinyatakan merdeka sehingga seluruh pemerintahan di wilayah Indonesia dipimpin oleh seorang presiden. Raja dan Keraton Surakarta sekarang tidak memiliki kekuasaan secara de facto tertanggal sejak 15 Juli 1946 dikeluarkan PP Nomor 16/SD 1946 yang berisi penetapan pemerintah yang mengatur mengenai pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta (Maruti, 2003).

3 Lanskap Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa atau kebudayaan Jawi (Nitinagoro, 2011). Keraton Surakarta memiliki konsep lanskap yang khas dari bangunan lainya. Keraton yang merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya memiliki konsep dan filosofi dari setiap elemen pembentuknya. Konsep lanskap dari Keraton Surakarta merupakan hasil pemikiran yang matang dari para pendahulu yang terus terbawa sampai saat ini sehingga menjadi suatu budaya bagi masyarakat Kota Surakarta Konsep Tata Ruang Keraton Surakarta Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan bagian dari suatu pewarisan budaya dari Keraton Pajang ke Mataram/Kota Gede kemudian ke Kartasura hingga di Surakarta. Nilai budaya yang diwariskan secara turun menurun dalam kehidupan masyarakat menjadi sumber pandangan, orientasi kehidupan masyarakat Surakarta pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya (Setiawan, 2000). Konsep tata ruang pada Keraton Surakarta memiliki konsep simbolisme yang kuat. Konsep ini melekat dari bangunan Gapura Gladag di utara hingga ke Gapura Gading di selatan. Konsep tata ruang di Keraton Surakarta terdiri dari Konsep kosmologi dan filosofi, Konsep Dualisme, Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer dan Konsep Supit Urang. a. Konsep Kosmologi dan Konsep Filosofi Penataan lanskap Keraton Surakarta menerapkan konsep kosmologi yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha. Dumadi (2011) menyatakan bahwa masyarakat Jawa merumuskan kehidupan manusia berada pada dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos memiliki pemahaman bahwa alam semesta merupakan sebuah wadah yang tetap besarannya dan memiliki kekuatan besar. Sedangkan konsep mikrokosmos memiliki pemahaman bahwa raja merupakan perwujudan Tuhan di dunia sehingga dalam diri raja terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Dalam konsep mikrokosmos, raja merupakan pusat kehidupan di dunia dan keraton sebagai tempat kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja, karena raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan

4 23 membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan. Sehingga, keraton menjadi pusat dari segala aktifitas masyarakat dan menjadi kiblat dari segala macam aktivitas. Keraton Surakarta memiliki karakteristik pola kosmologi yang terbagi menjadi empat lapisan yaitu kuthanegara, negara gung, mancanegara, dan pesisiran. Keraton memiliki sistem tata ruang kota menurut kaidah-kaidah masyarakat tradisional yang masih dipengaruhi oleh tingkat kebangsawanan. Tempat tinggal raja dan kedudukannya disebut kuthanegara atau negari atau negara. Kuthanegara dikelilingi oleh tembok guna melindungi raja dari gangguan luar. Tembok ini memiliki nama yaitu tembok baluwarti. Diluar tembok kuthanegara merupakan tempat tinggal bagi para kerabat dekat raja dan juga abdi dalem yang bertutut-turut berada di lingkar luar kerajaan, yaitu negara agung, mancanegara dan pesisir ( Premordia, 2005). Konsep kewilayahan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang bertempat tinggal dekat dengan keraton adalah masyarakat yang memiliki jabatan penting dan tingkat sosial yang tinggi, atau dikenal dengan istilah bangsawan. Sedangkan yang bertempat tinggal jauh dari keraton dianggap berkedudukan lebih rendah. Konsep wilayah seperti ini menciptakan perkampungan-perkampungan baru yang menjadi tempat tinggal para abdi dalem maupun prajurit-prajurit keraton. Penamaan perkampungan juga diambil dari penghuni pada kampung tersebut, contohnya Kampung Purwaprajan yang dahulu merupakan tempat tinggal RNg Purwaprajan, seorang abdi dalem bupati anom pada zaman Sunan Pakubuwana X (Gunawan, 2010). Dengan terbentuknya permukiman masyarakat maka terlihat adanya pola permukiman yang menyebar pada Kota Surakarta. Tata ruang bangunan di Keraton Surakarta menganut konsep kosmologi yang tercermin dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading (Gambar 4). Lapisanlapisan ini berdasarkan pola konsentrik yang pembaginya menyangkut fungsi dan tingkat keselarasannya (Premordia, 2005). Pola kosmologi menjadi panutan dalam mendirikan bangunan di Keraton Surakarta, sehingga terbentuk hirarki dalam susunan bangunan keraton dari utara hingga selatan. Terdapat kepercayaan bahwa pada setiap fase bangunan yang dilewati akan menuju ke arah kesempurnaan.

5 24 Gambar 4. Susunan Kosmologi Keraton Surakarta (Sumber : Premordia 2005) b. Konsep Dualisme Konsep dualisme memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu memiliki hubungan dan saling melengkapi sehingga didirikan secara berpasangan. Konsep ini terlihat pada bangunan keraton yang sebagian besar berpasangan, seperti pada Alun-alun Lor-Kidul, Setinggil Lor-Kidul, dan bangunan lainnya. Konsep dualisme memiliki pemahaman kesatuan yang tunggal dan melambangkan kehidupan di dunia. c. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer Pembangunan Keraton Surakarta dilakukan dengan mempertimbangkan arah/orientasi dengan menggunakan konsep kiblat papat kalima pancer, yaitu suatu konsep yang memiliki arti hidup menuju empat arah mata angin namun berpusat pada satu kiblat di tengahnya. Konsep kiblat papat kalima pancer dapat dilihat pada Gambar 5. Dimana penentuan arah mata angin yang saling berpapasan yaitu lor-kidul (utara-selatan), kulon-wetan (barat-timur) yang merupakan pemahaman dualisme yaitu kesatuan tunggal yang hakiki (Setiawan, 2000). Keraton Surakarta dikenal sebagai kerajaan Islam, kepercayaan secara spiritual ini memberi pengaruh pada konsep kiblat papat kalima pancer. Arah lor merupakan kekuatan ilmu spiritual yang berkaitan dengan kepentingan lahiriah atau kepandaian ilmu dalam usaha mencapai cita-cita masa

6 25 depan. Arah kidul (selatan) merupakan bersatunya hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan raja dengan rakyat, sedangkan arah wetan-kulon (timurbarat) merupakan asal segala sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa arah lor-kidul (utara-selatan) merupakan arah hubungan manusia dengan Tuhan yang dikenal dengan hablu minallah. Sedangkan arah kulon-wetan (timur-barat) merupakan hubungan sosial antara manusia dengan manusia yang dikenal dengan hablu minannas. Letak Keraton Surakarta yang menganut konsep kiblat papat kalima pancer di analogikan sebagai berikut, Keraton Surakarta sebagai pancer atau pusat kiblat dan dikelilingi oleh Hutan Krendhawahana disebelah utara, Gunung Lawu disebelah timur, Gunung Merapi/Merbabu disebelah Barat dan Pantai Selatan disebelah selatan. Setiawan (2000) menyatakan bahwa arah timur (wetan) merupakan asal mula segala sesuatu. Sehingga bangunan keraton disesuaikan dengan arah menghadap pandhapa besar yaitu Sasana Saweka yang berada di timur. Konsep lanskap keraton berpedoman pada keempat mata angin dan terdapat dua poros besar yang saling memotong tegak lurus yang pada umumnya menghasilkan susunan pancer berupa istana sebagai intinya. Lor Hutan Krendhawahana Hablu minallah Kulon Gunung Merapi/ GunungMerbabu Hablu Minannas Keraton Surakarta Hadiningrat Wetan Gunung Lawu Hablu minannas Kidul Pantai Selatan Hablu minallah Gambar 5. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer (Sumber : Setiawan, 2000)

7 26 Terdapat sebuah sumbu imajiner yang sejajar dengan garis lor-kidul. Sketsa sumbu imajiner pada Kota Surakarta disajikan pada Gambar 6. Terdapat Tugu yang sekarang ini berada di depan Balaikota Kota Surakarta dan memiliki garis sejajar dengan keraton. Saat raja duduk di Bangsal Sewayana maka pandangannya akan tertuju pada puncak tugu. Tugu ini merupakan simbol dari Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan Maha Pencipta alam beserta segala isinya. Oleh karenanya segala pusat perhatian dan orientasi manusia dalam bertingkah laku dalam kegiatan sehari-hari diarahkan senantiasa untuk mengingat- Nya. Orientasi merupakan suatu hal penting pada masyarakat Jawa, hal ini diduga menjadi dasar dalam menentukan arah apabila akan membuat maupun melakukan sesuatu. Masyarakat percaya dengan mempertimbangkan adanya orientasi maka setiap hal yang akan dilakukan berjalan dengan baik. d. Konsep Supit Urang Gambar 6. Sketsa Sumbu Imajiner Lor-Kidul (Sumber : Setiawan 2000) Pada bagian luar benteng keraton terdapat sebuah jalan yang mengelilingi dinding keraton bagian inti, jalan ini bernama Jalan Supit Urang. Jalan Supit Urang merupakan simbolisme dari capit udang yang merangkul dan melindungi lingkungan keraton dari luar. Udang menggunakan capit sebagai alat pertahanan dari musuh. KGPA Puger menyatakan bahwa Jalan Supit Urang dibuat

8 27 mengelilingi bangunan Keraton Surakarta dengan pemahaman agar dapat melindungi dan merangkul semua orang sehingga dapat tercipta suasana yang aman terjaga. Konsep simbolisme dan konsep lanskap pada Keraton Surakarta merupakan tuntunan perjalanan hidup menuju kearah kesempurnaan yang terwujud dalam wujud fisik bangunan Keraton yang dimulai dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading. Konsep tata ruang tersebut menjadikan susunan bangunan-bangunan Keraton Surakarta memiliki suatu hirarki yang kuat. Berikut terdapat gambar tata letak bangunan-bangunan pada Keraton Surakarta yang disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Tata Letak Bangunan Keraton Surakarta Hadiningrat (Sumber : Premordia,2005) Arsitektur Bangunan dan Filosofi Keraton Surakarta Keraton Surakarta yang merupakan turunan dari Kerajaan Mataram memiliki sejarah yang panjang pada bentuk maupun gaya arsitektur bangunan. Konsep dan filosofi dari setiap elemen keraton memiliki pengaruh dari setiap fase yang dilewati. Hal ini berakibat pada bentuk dan corak bangunan Keraton

9 28 Surakarta. Pada gaya bangunan maupun corak yang digunakan keraton terdapat pengaruh dari gaya arsitektur barat yang dibawa oleh Belanda seperti bentuk pilar, arsitektur Cina yang dibawa oleh para pedagang Cina maupun bergaya Arab yang masuk karena keberadaan bangsa Arab di Solo. Namun, gaya arsitektur tradisional Jawa merupakan hal yang menjadi dasar bentuk dan filosofi bangunan di Keraton Surakarta. berikut adalah susunan bangunan yang berada di Keraton secara berurutan dari utara hingga selatan beserta filosofi dari masing-masing bangunan: 1. Gapura Gladag Gapura Gladag merupakan pintu masuk menuju komplek Keraton Surakarta. Pada bagian depan gapura terdapat sepasang arca penjaga pintu. Gapura Gladag merupakan sepasang gapura yang berbentuk menyerupai tembok setinggi ±4 meter. Pada kedua sisi gapura terdapat arca, yaitu Brahmana Yaksa sebagai kori/ pintu masuk menuju alun-alun utara. Dalam bahasa Jawa, gladag atau nggladag berarti menyeret (Maruti, 2003). Gladag merupakan tempat dikumpulkan hewan buruan yang diseret dengan gerobak untuk disembelih. Hal ini memiliki arti perlambangan kepada manusia untuk mengutamakan kewajiban, harus bisa mengendalikan nafsu, mengekang hawa nafsu dan menguasai hawa nafsu hewani. Maksudnya adalah manusia tidak boleh memberi kebebasan terhadap nafsu. Gapura Gladag dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Gapura Gladag 2. Gapura dan Bangsal Pamurakan Gapura Pamurakan terletak tepat dibelakang Gapura Gladag. Gapura Pamurakan memiliki bentukan fisik menyerupai Gapura Gladag. Bangsal Pamurakan yang terletak di selatan Gapura Pamurakan merupakan bangunan

10 29 terbuka dengan atap menyerupai joglo (Maruti,2003). Gapura dan Bangsal Pamurakan merupakan tempat penyembelihan hewan dan tempat pembagian daging bagi mereka yang berhak mendapatkan bagian dari daging pemotongan tersebut. Dahulu Bangsal Pamurakan juga digunakan sebagai tempat berteduh bagi kendaraan tamu yang ingin menemui raja. Bangsal Pamurakan saat ini telah direnovasi dan dijadikan sebagai kios kios berjualan cindramata maupun buku bekas. Selain direnovasi juga sudah banyak didirikan kios-kios berjualan yang menyerupai bangunan Bangsal Pamurakan, sehingga sulit untuk melihat bentukan asli dari Bangsal Pamurakan. Hal ini juga disebabkan karena banyak tenda-tenda penjual yang didirikan tidak beraturan. 3. Pagelaran Sasana Sumewa Dalam bahasa Jawa, sasana berarti tempat. Sasana Sumewa merupakan suatu tempat pemerintahan para patih dalem dan juga bawahannya. Keberadaan Sasana Sumewa merupakan sebuah perlambangan bahwa adanya kekuasaan raja yaitu tata aturan pemerintahan di Keraton Surakarta. Bangunan ini memiliki 48 buah pilar/saka. Jumlah tiang tersebut merupakan sebuah pertanda bahwa Sasana Sumewa didirikan pada saat Sinuhun Pakubuwana X berumur 48 tahun. Pada bagian tengah Sasana Sumewa terdapat sebuah bangsal kecil yang bernama bangsal Pangrawit yang digunakan sebagai tempat duduk raja pada saat dilaksanakan acara-acara keraton. Di hadapan Sasana Sumewa terdapat sebuah tugu besar. Tugu ini merupakan tugu peringatan 200 tahun keberadaan serta berdirinya Keraton Surakarta (Nitinegoro, 2011). Pada saat ini Sasana Sumewa dijadikan tempat kegiatan yang tidak bersifat resmi bahkan pada saat ini, Sasana Sumewa kerap digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi para pengunjung yang mengunjungi Keraton Surakarta. 4. Setinggil Lor/Utara Nitinegoro (2011) menyatakan bahwa Setinggil, dalam bahasa Jawa berarti tanah yang lebih tinggi. Kori wijil (pintu keluar) merupakan sebuah pintu dengan undakan tangga sebelum memasuki Setinggil. Setinggil dikelilingi oleh pagar besi yang berfungsi sebagai pagar. Terdapat delapan buah meriam yang menghadap ke

11 30 utara dan berjejer dari timur sampai barat. Meriam-meriam ini adalah peninggalan Belanda yang diletakkan sebagai simbol pertahanan. Setinggil memiliki beberapa bangunan, yaitu bangsal Sewayana dan didalamnya terdapat bangsal Manguntur Tangkil, yaitu merupakan tempat duduk raja yang digunakan pada saat diadakan acara besar. Pada komplek Setinggil terdapat bangunan dengan gaya arsitektur barat seperti pada bangsal Bale Bang di Gambar 9 yang menampilkan bentuk pilar pengaruh barat. Gambar 9. Bangsal Bale Bang Pada Setinggil juga terdapat bangsal atau bale yang digunakan sebagai tempat menyimpan pusaka-pusaka kramat keraton, diantara lain ada Bale Manguneng, Bale Angun-angun dan juga Bangsal Balembang. Pintu keluar Setinggil dikelilingi oleh tembok aling-aling, kemudian terdapat tangga turun dari barat dan timur. Tangga dari barat disebut dengan Kori Mangu, sedangkan dari timur disebut Kori Renteng. 5. Kori Brajanala (Lor/utara) Kori Brajanala terletak di selatan Setinggil. Kori Brajanala dibangun bersamaan dengan pembangunan tembok keliling Baluwerti atau Cepuri atau benteng yang semula hanya dibangun menggunakan bambu. Kori Brajanala berasal dari kata braja yang artinya senjata tajam dan nala berarti hati. Kori Brajanala memiliki arti dan filsafah, siapa yang ingin memasuki keraton harus memiliki ketajaman hati. Kori Brajanala merupakan bangunan beratap limas yang memiliki dua buah ruang yang digunakan para prajurit raja untuk berjaga dan terdapat sebuah menara dengan lonceng sebagai penunjuk waktu (Maruti, 2003). Di dalam Kori Brajanala terdapat dua buah bangsal, pada bagian luar disebut Bangsal Brajanala dan pada bagian dalam disebut Bangsal Wisamarta. Wisa memiliki arti upas dan

12 31 marta berarti penawar. Bangsal Wisamarta memiliki makna sebelum masuk ke keraton maka hendaknya menghilangkan maksud-maksud yang tidak baik. Pada saat ini Setelah melewati Kori Brajanala terdapat sebuah halaman luas dengan perkerasan aspal menuju Kori Kamandungan. Terdapat dua pintu gerbang sebelah timur dan barat halaman Kamadhungan, di sebelah barat bernama Lawang Gapit Kulon dan di sebelah timur bernama Lawang Gapit Wetan. 6. Kori Kamandhungan Kamandhungan berasal dari kata Mina dan Andhungan, yang berarti cadangan (Nitinegoro, 2011). Di hadapan kori terdapat bangunan berkanopi yang disebut Bale Rata. Bangunan ini digunakan untuk tempat parkir kendaraan tamu keraton. Pada bagian luar maupun dalam Kori Kamandhungan terdapat bangsal untuk tempat berjaga para abdi dalem keraton. Kori Kamandhungan dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Kori Kamandhungan Pada bagian dalam Kori Kamandhungan terdapat bangunan bernama Smarakata. Bangunan beratap limas ini diperuntukkan sebagai tempat upacara wisuda para sentana maupun acara karawitan. Pada bagian timur terdapat Marchukuda. Terdapat dua buah cermin besar pada pintu masuk Kori Kamandhungan. Keberadaan cermin adalah agar setiap orang yang ingin memasuki Kori Kamandhunagan untuk berkaca dan mawas diri, baik secara lahiriah maupun batiniah. 7. Kori Srimanganti Lor Kori Srimanganti terletak tepat di selatan Kori Kamandhungan dengan bentuk atap Semar Tinandhu. Kori Srimanganti merupakan tempat tamu menunggu untuk bertemu dengan Raja. Srimanganti berasal dari kata Sri yang berarti Raja dan Manganti yang berarti menunggu (Nitinegoro, 2011). Pada

13 32 bagian timur Srimanganti terdapat menara yang dikenal dengan Panggung Sangga Buwana, menara segi delapan dengan empat lantai. Pada puncak menara terdapat gambar dua orang manusia sedang mengendarai ular. Panggung Sangga Buwana merupakan bangunan tertinggi di Kota Surakarta. 8. Sasana Saweka Sasana Saweka adalah sebuah pendapa besar berbentuk pangrawit dan dilengkapi sebuah serambi. Sasana Saweka (Gambar 11) terdiri dari pilar-pilar kokoh yang dihiasi oleh ukiran bernuansa emas, merah dan coklat. Sasana Saweka merupakan tempat singgasana Raja untuk duduk di hadapan para abdi dalem berpangkat tinggi. Pada bagian depan Sasana Saweka terdapat sebuah bangunan berbentuk joglo dengan atap limasan jubang, yaitu tanpa serambi maupun sakaguru dan memiliki pilar sejumlah delapan. Bangunan ini bernama Maligi. Maligi digunakan sebagai tempat acara sunatan/khitanan putra raja (Maruti, 2003). Sasana Saweka dikelilingi oleh Paningrat, yaitu serambi yang ketinggiannya lebih rendah. Paningrat dikelilingi oleh tanaman palem kuning dalam pot cina dan juga dikelilingi oleh patung/prasasti bergaya Eropa. Gambar 11. Sasana Saweka 9. Sasana Parasdya Terletak dibelakang Sasana Saweka, Sasana Parasdya merupakan bangunan Jawa berbentuk Joglo Kepuhan, yaitu joglo tanpa serambi. Di dalam Sasana Parasdya terdapat singgasana yang menghadap ke barat. Tempat ini merupakan tempat Sinuhun menyaksikan latihan tari Bedhaya atau Srimpi. Dibelakang singgasana terdapat sebuah pintu kayu yang menghubungkan Sasana Parasdya dengan Dalem Ageng Prabasuyasa (Maruti, 2003).

14 Sasana Handrawina Sasana Handrawina dibangun pada masa pemerintahan Sinuhun Kanjeng Paku Buwana V. Sasana Handrawina merupakan bangunan dengan gaya modern yang terbuat dari kayu dan kaca. Bangunan ini merupakan tempat raja menerima tamu agung dan juga tempat untuk berpesta. Sasana Handrawina pernah terbakar dan pada tahun 1997 dilakukan renovasi. Saat ini kondisi Sasana Handrawina sangat terjaga dengan dikelilingi oleh tanaman palem kuning didalam pot dan juga patung-patung bergaya eropa yang merupakan cendramata dari berbagai negara. Sasana Handrawina dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Sasana Handrawina 11. Sasana Wilapa Sasana Wilapa terdiri dari kata Sasana yang berarti tempat dan Wilapa yang berarti surat. Sasana Wilapa terletak di sebelah barat Sasana Handrawina. Sasana Pustaka merupakan tempat untuk menyimpan arsip-arsip Keraton beserta tulisan-tulisan para pujangga maupun mengenai sejarah keraton. Sasana Pustaka banyak dikunjungi oleh para pelajar maupun mahasiswa yang ingin mempelajari mengenai Keraton Surakarta. Sasana Wilapa merupakan bagian dari organisasi keraton yang bertugas untuk bagian surat resmi Keraton. Sasana Wilapa terletak pada pelataran barat laut dari Kori Srimanganti. 12. Bangsal Pradangga, Bangsal Bujana dan Bangsal Ngajeng Terdapat tiga buah bangunan pada timur pelataran kedathon, bangunan ini membujur ke selatan dan berbentuk bangsal terbuka dengan atap limasan. Bangsal Pradangga, Bangsal Bujana dan Bangsal Ngajeng membentang dari utara hingga selatan. Bangsal ini digunakan untuk tempat bermain gamelan pada upacara maupun penyambutan tamu agung keraton (Maruti, 2003).

15 Kedathon Terdapat bangunan-bangunan inti keraton yang terletak di sebelah barat pelataran. Bangunan inti tidak dapat diakses oleh semua orang. Bangunan ini diutamakan bagi keluarga raja dan orang-orang yang mendapat izin untuk berkunjung. Bangunan inti keraton terdiri dari Dalem Ageng Prabasuyasa, Keputren, Keraton Kulon, Masjid Bandengan, Masjid Pudyasana dan bangunan tempat tinggal lainnya. Dalem Ageng Prabasuyasa terletak di sebelah barat Sasana Saweka dihubungkan oleh Pringgitan Parasdya. Dalem Ageng Prabasaya merupakan bangunan yang sangat disakralkan oleh keraton, sehingga penjelasan mengenai bangunan ini hanya didapatkan dari tulisan yang ada. Bangunan ini merupakan tempat tinggal raja dan tempat berkumpul keluarga raja. Dalem Ageng Prabasaya memiliki arsitektur bangunan Jawa yang disebut Joglo Limasan Sinom Mangkurat (Maruti, 2003). Terdapat empat buah kamar pada Dalem Ageng Prabasaya yang digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka milik Keraton Surakarta. Seiring perjalanan waktu, kamar-kamar di Dalem Ageng Prabasaya sudah tidak digunakan sebagai tempat tinggal sehingga berkembang sakralisasi pada seluruh Dalem Ageng Prabasaya. Keputren merupakan tempat tinggal wanita atau puteri keraton. Keputren terletak di selatan dalem Ageng Prabasaya dan memanjang dari barat ke utara. Di dalam Keputren terdapat sebuah taman yang disebut Taman Kadilengen (Maruti, 2003). Masjid Bandengan dan Masjid Pudyasana merupakan masjid yang berada di pelataran keraton. Masjid Bandengan dibangun ditengah-tengah kolam persegi dengan luas 800m 2 (disajikan pada Gambar 13). Gambar 13. Taman Bandengan Sumber: google.com

16 35 Keraton Kulon merupakan keraton baru yang dibangun oleh Sinuhun Pakubuwana X setelah mendengar ramalan runtuhnya Keraton Surakarta setelah berumur 200 tahun. Keraton Kulon dibangun di sebelah barat gunung. Gunung yang dimaksud adalah timbunan tanah yang tinggi yang menyerupai gunung yang ditanami oleh pepohonan sehingga menyerupai hutan. Keraton Kulon dibangun dengan arsitektur bergaya kolonial dengan pintu gerbang menghadap ke barat. Setelah masa pemerintahan PB X berakhir, bangunan ini tidak ditempati lagi. 14. Kori Srimanganti Kidul Kori Srimanganti Kidul berada di selatan Sasana Handrawina, yaitu timur Sasana Pustaka. Kori Srimanganti Kidul berpasangan dengan Kori Srimanganti Lor. Kori Srimanganti Kidul berfungsi sebagai pintu masuk menuju keraton dari bagian selatan, namun saat ini sudah jarang digunakan karena saat ini pintu masuk keraton hanya lewat pintu utara. 15. Kori Kamandungan Kidul Kori Kamandungan Kidul berpasangan dengan Kori Kamandungan Lor dan memiliki fungsi yang sama sebagai pintu masuk menuju keraton, namun dari arah selatan. Pada Kori Kamandungan Kidul tidak terdapat Bale Rata. Saat ini Kori Kamandhungan Kidul telah menjadi bagian dari Sekolah Dasar Kasatriyan. Dengan keberadaan sekolah ini maka tertutup akses menuju keraton dari arah selatan. 16. Kori Brajanala Kidul Kori Brajanala Kidul berpasangan dengan Kori Brajanala Lor. Kori Brajanala Kidul menghubungkan daerah Baluwarti dengan darah luar Baluwarti. Kori Brajanala Kidul dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Kori Brajanala Kidul tidak ditemukan adanya bangsal seperti di bagian utara. Gambar 14. Kori Brajanala Kidul

17 Setinggil Kidul Setinggil Kidul memiliki bentuk bangunan yang sangat berbeda dengan Setinggil Lor. Setinggil Kidul hanyalah bangunan Jawa dengan pendapa besar dikelilingi oleh pagar besi yang menghadap Alun-alun Kidul tanpa adanya pagelaran seperti Sasana Sumewa. Setinggil Kidul dikelilingi oleh Jalan Supit Urang Kidul dan terdapat dua buah meriam yang menghiasi (Maruti, 2003). Saat ini kondisi Setinggil Kidul sangat tidak terawat, rumput-rumput sekitar nya sudah tinggi dan banyak sampah yang bertebaran. Pada Setinggil Kidul terdapat dua buah gerbong kereta bekas yang dahulu digunakan oleh pihak keraton. Setinggil Kidul dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Setinggil Kidul 18. Gapura Gading Gapura Gading merupakan pintu keluar dari keraton bagian selatan. Gapura Gading merupakan sebuah gapura berwarna kuning gading, sesuai namanya, dan terdapat lambang Radya Laksana pada bagian atas gapura (Maruti, 2003). Gapura gading menghubungkan keraton dengan Jalan Veteran. Bangunan tradisional Jawa merupakan bangunan yang menjadi dasar pada bangunan-bangunan Keraton Surakarta. Tata ruang bangunan tradisional Jawa Tengah terdiri dari lima bagian ruang yaitu Pendapa, Pringgitan, Griya Ageng, Gandok dan Pawon. Keraton Surakarta menggunakan konsep bangunan yang sama dengan tata ruang bangunan tradisional Jawa. Analogi bangunan di Keraton Surakarta dengan bangunan rumah tradisional Jawa disajikan pada Gambar 16. Pandapa merupakan bangunan yang terletak paling depan dengan saka/tiang sebagai penopangnya, pandapa biasanya dilengkapi dengan atap berbentuk limasan dan digunakan sebagai tempat berkumpul maupun tempat menerima

18 37 tamu. Pringgitan adalah ruang penghubung antara Pendapa dengan Griya Ageng yang merupakan pusat maupun inti dari kegiatan keluarga di rumah. Griya Ageng terbagi menjadi dua, bagian depan memiliki luasan lebih besar dan digunakan untuk ruang berkumpul keluarga, sedangkan bagian belakang terdiri dari tiga ruangan, yaitu Krobongan, Senthong Tengen/kanan dan Senthong Kiwa/kiri (Setiawan, 2000). Selanjutnya, Gendok yang berada di sisi kiri dan kanan Griya Ageng yaitu ruang yang digunakan sebagai kamar anggota keluarga dan Pawon ruang yang letaknya paling belakang yang merupakan sebuah dapur. Gambar 16. Analogi Tata Letak Bangunan Keraton dan Rumah adat Sumber : Setiawan (2000) Terdapat lima bentuk atap pada bangunan pokok rumah adat Jawa, yaitu Panggungpe, Kampung, Tajug, Limasan dan Joglo. Hal ini diterapkan pada bentuk bangunan di Keraton Surakarta, raja tidak diperbolehkan mendirikan bangunan tempat tinggal dengan atap limasan atau joglo atau kampung, melainkan dengan sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangunan limasan maupun joglo digunakan untuk bangunan pelengkap saja (Setiawan, 2000). Masing-

19 38 masing bangunan memiliki latar belakang sosial yang disesuaikan dengan status sosial pemilik rumah. Ronald (2005) menjelaskan bahwa bentuk bangunan rumah memiliki status sosial tersendiri, seperti rumah tipe Joglo merupakan rumah dengan pemilik berstatus sebagai bangsawan, rumah tipe Limasan dimiliki oleh masyarakat menengah dan bentuk kampung dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Masyarakat Jawa telah lama menggunakan kayu sebagai bahan baku dasar dalam pembuatan rumah. Arsitektur Jawa di Indonesia sebagian besar diterapkan pada bangunan rumah tinggal dan sebagian lain adalah pada bangunan peribadatan, monumen atau makam leluhur, pasar atau sejenis bangunan yang lekat sekali dengan kebutuhan sehari-hari suku bangsa Jawa. Bagi masyarakat Jawa, rumah atau tempat tinggal bukanlah sekedar tempat untuk berlindung dari segi fisik saja, namun juga merupakan suatu tempat yang dapat mengakomodasi kegiatan spiritual maupun ritual sesuai kepercayaan mereka. Masyarakat Jawa terkenal memiliki kepercayaan tersendiri dalam melakukan kegiatan, begitu juga dalam membangun sebuah rumah. Maka untuk mendirikan sebuah rumah, dilakukan perhitungan dimana akan diletakkan pintu, jendela dan sebagainya, tidak dilupakan diadakannya sesajen agar pembangunan rumah berjalan lancar. Bangunan tempat tinggal dengan konsep bangunan rumah adat Jawa/ tradisional Jawa hanya dimiliki oleh beberapa kalangan saja. Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya proses globalisasi, maka banyak masyarakat yang tidak menggunakan konsep bangunan seperti ini lagi. Hal ini dikarenakan faktor ekonomi dan juga lahan yang tersedia sudah sangat terbatas, karena bangunan dengan konsep rumah adat memerlukan lahan yang cukup luas Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Keraton Surakarta Ruang terbuka hijau di Keraton Surakarta dihiasi oleh tanaman-tanaman indah yang selain memiliki fungsi ekologis juga memiliki nilai simbolik. Ruang terbuka hijau di Keraton Surakarta terdiri dari Alun-alun lor (utara), Alun-alun Kidul (selatan) dan juga halaman maupun pelataran yang berada di Keraton Surakarta beserta elemen-elemen penyusun ruang terbuka hijau tersebut.

20 39 1. Alun-alun Lor Alun-alun Lor merupakan sebuah lahan terbuka dengan hamparan pasir. Saat ini Alun-alun Lor maupun Alun-alun Kidul Keraton Surakarta sudah dipenuhi oleh rumput hijau. Pada zaman dahulu, alun-alun merupakan suatu tempat yang sangat lapang dengan permukaan dihampari oleh pasir. Konon pasir yang menutupi lahan alun-alun merupakan pasir yang berasal dari Pantai Selatan Jawa. Pada siang hari, pasir akan menyerap panas, sehingga akan terpantulkan udara yang panas. Namun, pada malam hari pasir akan membawa udara yang sangat menyejukkan. Keadaaan siang dan malam tersebut melambangkan bahwa di dunia terdapat keadaan yang saling berlawanan yaitu ada hal baik dan juga hal buruk (Nitinagoro, 2011). Nitinagoro (2011) menyatakan bahwa pada Alun-alun Lor terdapat beberapa pasang pohon beringin kembar. Pohon beringin yang memiliki tajuk yang besar dan rindang memiliki perlambangan sebagai pengayoman, kewibawaan dan kehidupan. Setiap pohon beringin yang ditanam memiliki julukan tersendiri, seperti pohon beringin yang berada pada pelataran Gapura Gladag yang bernama Wok yang artinya wanita dan Jenggot yang artinya pria. Kedua beringin tersebut merupakan simbol peringatan bahwa asal kehidupan diciptakan Allah melalui pria dan wanita (ayah dan ibu). Sehingga, kedua pohon beringin ini merupakan lambang kesuburan. Dua pohon beringin kembar yang berada dibatas ruang Alun-alun Lor bagian selatan, yaitu pohon beringin Gung yang berarti tinggi ditanam di sebelah timur alun-alun dan pohon beringin Binatur yang berarti pendek ditanam di sebelah barat alun-alun. Kedua beringin ini memiliki arti bahwa Keraton Surakarta adalah duwur tan ngungkul-ngungkuli, andap tan keno kinungkulan (tinggi yang tidak berlebihan dan rendah namun tidak boleh ada yang merendahkan). Terdapat dua buah beringin kembar yang terletak di tengah alun-alun. Beringin tersebut dibawa dari Keraton Kartasura. Kedua pohon beringin dipagari dengan pagar besi sehingga disebut sebagai beringin kurung. Beringin kurung memiliki filosofi tersendiri yaitu kesempurnaan hidup yang harus dicapai oleh manusia dan bahwa dalam kehidupan ini manusia selalu memilik batasan maupun kekurangan dan tidak dapat bertingkah-laku semaunya, hal ini dilambangkan

21 40 dengan pagar besi yang mengurungi kedua beringin tersebut. Pohon beringin kurung dapat dilihat pada Gambar 17. Pohon beringin ini diberi nama beringin Dewandaru atau Tejadaru ditanam disebelah kanan dan beringin Jayadaru ditanam di sebelah timur Alun-alun Lor. Gambar 17. Pohon Beringin Kurung Saat ini pohon beringin dari pelataran Gapura Gladag hingga alun-alun masih berdiri tegak dan menjadi ciri khas tersendiri dari Keraton Surakarta. Alunalun Lor mengalami sedikit perubahan dengan kondisi terdahulu. Saat ini terdapat sebuah jalur pedestrian yang ditanami oleh tanaman palem raja. Pada saat ini kondisi Alun-alun lor Keraton Surakarta cukup memprihatinkan. Alun-alun lor digunakan menjadi lahan parkir bagi kendaraan wisatawan yang mengunjungi keraton sehingga banyak rumput yang rusak dan terdapat beberapa infrastruktur pada alun-alun yang sudah tidak berfungsi kembali, seperti lampu taman maupun perkerasan yang mulai rusak. 2. Pelataran Setinggil Lor Pelataran Setinggil Lor/utara yang terletak mengelilingi Setinggil Lor merupakan hamparan pasir yang ditumbuhi oleh berbagai pepohonan. Pelataran Setinggil Lor digunakan oleh raja sebagai tempat duduk untuk melihat tugu yang berada di hadapan Balaikota Surakarta. Pelataran Setinggil Lor menggunakan konsep kiblat papat kalima pancer, yang menempatkan Bangsal Saweyana sebagai pancer dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang menghadap kearah pancer. Pada kiri dan kanan Setinggil Lor ditanami oleh Pohon Soka (Parinarium glabberinum). Aroma dari bunga soka sering digunakan oleh para ksatria untuk menakuti binatang buas seperti harimau. Selain pohon soka, di Setinggil Lor juga

22 41 banyak terdapat pohon kepel (Stelechocarpus burahol) yang melambangkan kesatuan (Setiawan,2000). Buah pohon kepel sering digunakan sebagai penghilang bau badan. Pada Setinggil Lor juga banyak ditemukan pohon tanjung (Mimusops elengi). Pohon tanjung dipercaya menjadi tempat yang disukai oleh makhluk halus. Suasana di Setinggil Lor dapat dilihat pada Gambar 18. (a) Deretan Pohon Kepel (b) Hamparan rumput Gambar 18. Suasana di Setinggil Lor 3. Pelataran Kedathon Pelataran kedathon merupakan sebuah halaman kecil dengan hamparan pasir yang dapat ditemui pada saat melewati Kori Srimanganti dari arah utara. Hamparan pasir ini ditumbuhi oleh tanaman sawo kecik, dapat dilihat pada Gambar 19. Pohon sawo kecik ditanam oleh Susuhan Paku Buwana IX. Terdapat sebanyak 77 buah pohon sawo kecik, hal ini dikarenakan pada saat penanaman Paku Buwana IX sedang berumur 77 tahun 1893 M. Gambar 19. Pohon Sawo kecik Orang Jawa menganggap bahwa apabila menanam sawo kecik maka dapat memberikan kebaikan. Pohon sawo kecik pada Sasana Saweka diharapkan dapat menghilangkan niat buruk sebelum memasuki wilayah kedathon. Pohon

23 42 sawo kecik dipercaya menjadi pengharum alami dan buah sawo kecik sangat digemari oleh para putri keraton karena memiliki khasiat untuk mengharumkan tubuh dan konon daunnya dapat digunakan sebagai penurun penyakit kolesterol. Pohon sawo kecil hingga saat ini masih terjaga keberadaannya dan sangat terawat. 4. Alun-alun Kidul Alun-alun Kidul berada tepat dihadapan Setinggil Kidul. Alun-alun Kidul hanya memiliki setengah luasan dari Alun-alun lor. Alun-alun kidul merupakan hamparan rumput hijau dengan sepasang pohon beringin yang berada tepat ditengah Alun-alun Kidul. Sama seperti Alun-alun Lor, halaman Alun-alun Kidul dahulu merupakan hamparan pasir yang berasal dari pantai selatan. Pada Alunalun Kidul terdapat pula jalur pedestrian yang membelah sisi timur dan barat alunalun. Saat ini Alun-alun Kidul kerap digunakan untuk area berwisata oleh warga Surakarta. Pada malam hari alun-alun sangat ramai oleh para pengunjung karena banyak terdapat penjual-penjual makanan di lingkungan Alun-alun Kidul ini, sehingga banyak sampah dan kotor Ornamen dan ragam hias Keraton Surakarta Ornamen atau ragam hias adalah seni dekoratif yang digunakan untuk memperindah suatu bangunan. Ornamen dapat berupa ukiran maupun pahatan dari batu, kayu bahkan logam mulia. Sebuah bangunan memiliki ragam hias yang berbeda dan disesuaikan dengan bentuk maupun arsitektur pada bangunan tersebut. Pada Keraton Surakarta terdapat banyak bentuk ragam hias. Ragam hias pada keraton merupakan bentukan dua dimensi maupun tiga dimensi yang terinsprasi dari bentuk menyerupai flora dan fauna. Ragam hias pada keraton banyak dipengaruhi oleh ragam hias bercorak Hindu, Budha, Islam maupun Eropa. Ragam hias corak flora dan fauna ini dapat terlihat pada pilar-pilar bangunan maupun atap bangunan sebagai penambah nilai estetika dari bangunan Keraton Surakarta. Ragam hias pada keraton merupakan ukiran dan pahatan indah menggunakan material alami yaitu kayu. Kayu merupakan material yang banyak digunakan karena pada saat itu kayu merupakan material yang mudah didapatkan. Ragam hias pada keraton terbagi menjadi empat jenis yaitu, ragam hias tumbuhan, ragam hias ular naga, ragam hias burung dan Radya Laksana.

24 43 1. Ragam hias tumbuhan Ragam hias tumbuhan merupakan ragam hias yang paling mendominasi di lingkungan Keraton Surakarta. Ragam hias tumbuhan juga mengalami stilasi, bagian yang diambil adalah buah, daun, maupun bunga saja. Ragam hias bunga teratai banyak digunakan dan digambarkan dengan sangat indah. Menurut Sunarman (2010), bunga teratai dianggap sebagai bunga dari surga atau nirwana dan keraton dianggap sebagai surga. Ragam hias dari stilasi daun menghiasi pilarpilar dinding pada bangunan keraton. Pada pilar terdapat ornamen daun yang merambat keatas dikenal dengan istilah sulur-suluran (Gambar 20). Gambar 20. Sulur-suluran Masyarakat Jawa mengenal falsafah hidup kiblat papat lima pancer yang berarti empat penjuru dan berpusat di tengah yaitu pancer. Bahwa sesuatu yang terarah pada Maha Kuasa harus menjadi satu pancer menyatunya segala sesuatu pada diri kita untuk menuju pada Tuhan. Hal ini diterapkan pada ragam hias bunga yang berpusat ditengah. Selain bunga ada juga ragam hias wajikan. Ragam hias ini merupakan ragam hias yang berbentuk stilasi daun dan memusat menuju pancer. Bentuk ragam hias wajikan adalah geometris dan menyerupai belah ketupat sehingga dinamakan wajikan. 2. Ragam hias ular naga Ragam hias ular naga merupakan perlambangan ragam hias yang terispirasi dari hewan naga yang memiliki bentuk panjang dan pada bagian kepala naga merupakan bagian yang banyak digunakan. Ragam hias ular naga digunakan sebagai penghias keraton dan untuk menghiasi singgasana Sinuhun Paku Buwana yang berada di Setinggil Lor dan disajikan pada Gambar 21.

25 44 (a) Ukiran Naga (b) Ukiran Naga di Bangsal Witono Gambar 21. Ragam Hias Naga Sumber : Aditya Darmasurya, Ragam hias burung Ragam hias burung menghiasi keraton dalam bentuk ukiran-ukiran pada ornamen pintu maupun hiasan lainnya. Ragam hias burung umumnya sudah mengalami stilasi, yang diambil adalah bagian sayap, ekor maupun kepala saja. Ragam hias burung dapat dilihat pada Gambar 22. Ragam hias burung khususnya burung garuda telah menjadi bagian ragam kebudayaan Hindu di tanah Jawa selama berabad-abad (Sunarman, 2010). Penggunaan ragam hias burung memiliki filosofi bahwa burung merupakan hewan yang hidup berdampingan dan berkelompok, hal ini memberi arti bahwa manusia sebaiknya hidup saling rukun dan berdampingan (GPH Puger, 2012). Gambar 22. Ukiran burung 4. Radya Laksana Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono X dilakukan perubahan besar pada bangunan maupun ornamen Keraton Surakarta. Susuhan Paku Buwono menciptakan suatu logo lambang kebesaran Keraton Surakarta yang disebut dengan Radya Laksana. Radya memiliki arti Negara atau Rasta, sedangkan Laksana memiliki arti perjalanan yang tulus arti dan lahir. Lambang tersebut memiliki arti sebagai tuntunan hidup dengan tatanan Jiwa Budaya Jawi (Nitinagoro, 2011). Lambang Radya Laksana dapat dilihat pada Gambar 23.

26 45 Lambang Radya Laksana merupakan lambang kebesaran Keraton Surakarta, sehingga hanya kalangan kerabat keraton yang dapat menggunakan lambang ini, sehingga Radya Laksana digunakan sebagai simbol identitas dan simbol estetik. (a) Lambang (b) Ornamen/ukiran Gambar 23 Radya Laksana Sumber : Google.com Lambang Radya Laksana banyak menghiasi bangunan-bangunan Keraton Surakarta. Radya Laksana merupakan tuntunan hidup ajaran tentang kenegaraan dan kehidupan (Setiawan, 2000). Radya Laksana terdiri dari sepuluh unsur yaitu, mahkota, warna merah dan kuning, warna biru muda, matahari, bulan, binatang, bumi, kapas, pita berwarna putih merah dan langit (Setiawan, 2000). Hal ini erat hubungannya dengan hastabrata. Mahkota merupakan perlambangan dari seorang raja dan sebagai simbol kebudayaan Jawa. Matahari, bulan dan bintang merupakan lambang kehidupan. Warna merah dan kuning merupakan simbol kesepuhan. Bumi yang dipaku merupakan bumi yang kokoh. Kapas dan padi adalah lambang sandang dan pangan. Pita berwarna putih adalah lambang ayah dan pita merah adalah lambang ibu. Langit maupun angkasa yang berwarna putih dan biru dianggap dapat menolak hal-hal negatif. Warna merupakan elemen penting yang menghiasi Keraton Surakarta. Keraton Surakarta merupakan bangunan bersejarah yang didominasi dengan warna biru dan putih. Pada masa pemerintahan Sinuhun Paku Buwana X ( ) terjadi perombakan besar pada Keraton Surakarta. Perombakan ini merubah warna bangunan dengan biru dan putih. Warna biru dan putih diambil dari warna langit, warna biru langit dianggap dapat menolak kenistaan dan juga melambangkan sifat yang berwawasan luas dan pemaaf.

27 Kota Surakarta Kondisi Umum Kota Surakarta Kota Surakarta merupakan kota terbesar kedua di provinsi Jawa Tengah. Kota Surakarta sebagai Pusat Kegiatan Nasional termasuk kedalam Kawasan Subosukawonosraten (Kota Surakarta, Kab. Boyolali, Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar, Kab. Wonogiri, Kab. Sragen dan Kab. Klaten). Dalam area kerjasama tujuh kabupaten/kota ini, Kota Surakarta menjadi penghubung bagi daerah hinterland-nya. Kota Surakarta sering disebut sebagai pusat pertumbuhan wilayah Jawa Tengah bagian selatan, dengan potensi ekonomi sangat tinggi, khususnya di bidang industri, perdagangan, pariwisata dan jasa lainnya (Bappeda, 2012). Kota Surakarta secara geografis terletak antara dan BT dan dan LS. Kota Surakarta dikelilingi oleh tujuh kabupaten pendukung dan memiliki batas wilayah sebagai berikut : Utara : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar Timur : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo Barat : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sukoharjo Selatan : Kabupaten Sukoharjo Wilayah Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan Kota Solo memiliki luas 4.404,06 Ha dan terbagi menjadi lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari. Keraton Surakarta Hadiningrat terletak pada Kelurahan Baluwerti, Kecamatan Pasar Kliwon yang berada pada bagian selatan Kota Surakarta. Seperti umumnya kota-kota di Indonesia, Kota Surakarta memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 24,8 C sampai 18,1 C dengan kelembaban udara berkisar antara 66-84% dan tekanan udara sebesar ±1.010 atmosfir. Kota Surakarta terletak pada ketingian antara meter di atas permukaan laut (mdpl). Kemiringan lahan adalah 0% hingga 15% dan tergolong landai. Solo merupakan sebuah kota yang dilewati oleh empat sungai utama, yaitu Bengawan Solo, Kali Pepe, Kali Anyar dan Kali Jenes. Keempat sungai ini sudah ada dari zaman kolonial dahulu dan memiliki kontribusi besar bagi kota. Masing-masing sungai terletak pada posisi yang berbeda dan memberi manfaat pada daerah sekitarnya sebagai sumber air maupun

28 47 saluran air alami. Kota Surakarta terletak di antara dua gunung berapi yaitu Gunung Lawu (Kabupaten Karanganyar) di sebelah timur dan Gunung Merapi serta Merbabu sebelah barat. Dengan posisi demikian maka Kota Surakarta termasuk sebagai wilayah cekungan air. Terdapat beberapa badan air di Kota Surakarta yang semua bermuara di Sungai Bengawan Solo. Peningkatan berbagai aspek ekonomi menuntut peningkatan di bidang tranportasi, khususnya penigkatan jalan. Panjang jalan di wilayah Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai 675,86 kilometer (Surakarta dalam Angka, 2009) Tata Guna Lahan Kota Surakarta Kota Surakarta didominasi oleh lahan-lahan terbangun yang semakin padat. Sulit ditemukan lahan terbuka hijau di dalam kota. Dengan pertambahan penduduk sebesar 0,37% per tahun membuat semakin banyak lahan yang digunakan sebagai permukiman (BPS, 2011). Dominasi lahan terbangun di Kota Surakarta seluas 3.704,45 Ha atau 84,11% dari luas total wilayah Kota Surakarta (4.404,06 Ha). Padatnya lahan terbangun membuat bangunan-bangunan fisik yang berada di kota tidak memiliki tata letak dan pola yang teratur. Permukiman yang padat tidak memberi ruang lebih untuk adanya halaman maupun pola permukiman yang jelas. Lahan tidak terbangun seluas 699,61 Ha (15,89 %). Permukiman dengan kepadatan tinggi dengan 150 jiwa/ha tersebar pada bagian selatan kota yang meliput Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Serengan, Kecamatan Laweyan meliputi Kelurahan Panularan, Purwosari, Bumi, Pajang dan Kelurahan Sondakan. Permukiman kepadatan tinggi juga meliputi Kecamatan Jebres yang terdiri dari Kelurahan Sewu, Gandekan, Jagalan, Tegalharjo, Sudiroprajan dan Kepatihan Wetan. Pada Kecamatan Banjarsari meliputi Kelurahan Kestalan, Ketelan, Tegalharjo dan Gilingan. Permukiman dengan kepadatan sedang yaitu jiwa/ha tersebar pada bagian utara kota meliputi Kelurahan Pucang Sawit, Purwodiningratan, Jebres, Mojosongo, Kepatihan Kulon, Lawiyan, Penumping, Sriwedari, Kerten, Jajar, Keprabon, Timuran, Stabelan, Mangkubumen, Punggawan, Manahan, Sumber dan Banyuanyar. Permukiman dengan kepadatan rendah <75 jiwa/ha meliputi Kelurahan Karangasem dan Kelurahan Kadipiro.

29 48 Lanskap perkantoran dan perdagangan tersebar pada wilayah selatan kota. Lanskap perkantoran dan perdagangan berkembang searah dengan infrastruktur jalan. Perkantoran dan perdagangan terpusat pada Jalan Slamet Riyadi dan berkembang disekitar keraton dan mangkunegaran. Lanskap fasilitas umum seperti sekolah tersebar cukup merata di Surakarta. Penggunaan lahan di Surakarta disajikan pada Tabel 5 dan peta tata guna lahan disajikan pada Gambar 24. Tabel 5. Penggunaan Lahan di Surakarta. Jenis Penggunaan Lahan Lahan Terbangun Laweyan Kecamatan P. Serengan Kliwon Jebres Banjarsari Total (Ha) Perkantoran Permukiman Perdagangan/Jasa Fasilitas Pendidikan Fasilitas Peribadatan Industri Lahan Tidak Terbangun Instalasi Pengolahan Limbah Gedung Olahraga TPA Lapangan Olahraga Kebun Binatang Kolam/ Danau Kuburan Taman Kota Tanah Kosong Tegalan Sawah Sungai/ Tanggul Jumlah Sumber : RTRW Kota Surakarta

30 49

31 Peraturan dan Kebijakan Pemerintah Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta Tahun , pemerintah Kota Surakarta memiliki kebijakan untuk melakukan revitalisasi kawasan cagar budaya sebagai pusat kegiatan pariwisata, sejarah, budaya dan ilmu pengetahuan. Kota Surakarta merupakan sebuah kota budaya yang memiliki banyak peninggalan sejarah, bahkan sebagian besar pembentuk kota merupakan bangunan-bangunan yang sudah ada semenjak zaman Keraton Surakarta dan keberadaan Bangsa Belanda. Kebijakan dalam pelestarian terhadap bangunanbangunan bersejarah ditetapkan dalam Surat Keputusan Walikota Surakarta No. No 646/116/1/1997. Surat Keputusan tersebut menetapkan sebanyak 73 benda cagar budaya di Kota Surakarta meliputi Keraton Surakarta, Benteng Vastenburg, sekolah, perkantoran, tempat peribadatan, gapura, monumen, jembatan, rumah tinggal, ruang terbuka hijau (taman), pasar dan juga stasiun. Peta cagar budaya di Kota Surakarta disajikan pada Gambar 26. Keraton Surakarta sebagai benda cagar budaya menjadi daya tarik wisata yang dilindungi oleh UU RI No.11 Tahun Dalam upaya pelestarian budaya Jawa, dilakukan penetapan kebijakan oleh pemerintah Kota Surakarta dengan penetapan Surat Keputusan Walikota yang mewajibkan kantor-kantor pemerintahan maupun swasta untuk menggunakan aksara Jawa dalam penulisan papan nama lembaga tersebut. Kebijakan ini dilakukan sejak tanggal 17 Februari Sehingga, pada setiap bangunan perkantoran terdapat tulisan aksara Jawa, hal ini juga di adopsi oleh pertokoan besar di Surakarta (Gambar 25). (a) Balaikota Surakarta (b)pusat perbelanjaan di Surakarta Gambar 25. Penulisan aksara Jawa

32 51

33 Sejarah Perkembangan Lanskap Kota Surakarta Kota Surakarta atau dikenal dengan nama Kota Solo, memiliki sejarah yang panjang sebelum menjadi kota yang berpengaruh di Jawa Tengah. Kota Surakarta banyak mengalami perubahan pada bentukan lanskap dan kehidupan sosial masyarakat didalamnya. Terbentuknya Kota Surakarta tidak lepas dari keberadaan Keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun Keberadaan Keraton dengan tata cara dan konsep tersendiri memberi dampak pada lanskap kota yang menjadi ciri khas dari Kota Surakarta. Sebelum adanya Keraton Surakarta, Kota Surakarta adalah sebuah desa yang terletak di persimpangan antara dua buah sungai, yaitu Bengawan Solo dan Sungai Pepe, desa ini bernama Desa Sala. Desa Sala merupakan dataran rendah dengan banyak rawa, sehingga pada musim penghujan sering terjadi banjir. Desa Sala memiliki batas pada sebelah utara dengan Sungai Pepe, sebelah timur Bengawan Beton, sebelah selatan dengan Sungai Wingka dan sebelah barat berbatasan dengan liku-liku sungai mulai dari Sungai Pepe turun ke selatan dengan Sungai Wingka (Sajid, 1984). Kondisi masyarakat desa saat itu didominasi oleh suku Jawa yang kental dengan nuansa tradisional dan kejawen. Hal ini membentuk lanskap Desa Sala menjadi suatu kesatuan dengan elemen pembentuk antara lain sungai, sawah, hutan dan bangunan pemukiman yang tradisional. Pemerintahan Keraton Surakarta masih berada di bawah kedaulatan pemerintah Hindia Belanda, yang dikenal dengan nama VOC sebelum tahun Dengan kedudukan seperti ini maka rakyat yang berada di luar wilayah kerajaan diperintah langsung oleh pemerintahan VOC. Pada tahun 1745 Keraton Surakarta memulai masa pemerintahan di Kota Surakarta. Keberadaan keraton membuat pusat aktivitas masyarakat menjadi terpusat di wilayah Keraton Surakarta. Keraton Surakarta merupakan sebuah kerajaaan Islam yang merupakan rintisan dari Kerajaan Majapahit yang dahulunya menganut kepercayaan Hindu yang hingga saat ini banyak mewariskan ilmu-ilmu yang diterapkan pada kehidupan sehari-hari maupun dalam arsitektur dan tata ruang wilayahnya. Hal ini membuat keraton memiliki ciri khas dalam membentuk wilayahnya.

34 53 Keberadaan VOC semenjak tahun 1602 hingga 1800 memberi banyak pengaruh dan membuat perubahan pada lanskap maupun tata guna lahan di Kota Surakarta. Pemerintahan VOC di Kota Solo semakin mendominasi, hal ini mengakibatkan terciptanya Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga pada tahun Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 membuat Keraton Surakarta Hadiningrat membagi daerah kekuasannya dan dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. Pada tahun 1757 pihak VOC membagi kembali wilayah Kasunanan Surakarta dengan Raden Mas Said yang kemudian bergelar Kanjeng Adipati Arya Mangkunegara I dan mendirikan Pura Mangkunegaran. Sejak keberadaan Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta seperti memiliki dualisme kepemimpinan, sehingga pusat kegiatan terpusat pada Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran (Zaida, 2004). Kedua wilayah ini berkembang dengan memiliki ciri yang berbeda dari setiap kerajaan yang berkuasa. Sejak pemerintahan Hindia-Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jendral Deandles maka pada tahun 1810 dibangun sebuah jalan yang memanjang dari barat menuju timur di Kota Surakarta, jalan ini dibangun di atas Sungai Bathangan. Jalan yang dikenal dengan nama Jalan Slamet Riyadi ini secara tidak langsung menjadi pemisah antara daerah kekuasaan Keraton Surakarta di selatan jalan dan wilayah kekuasan Pura Mangkunegaran di sebelah utara. Peta Kota Surakarta pada awal tahun 1800 disajikan pada Gambar 29. Pada tahun 1864 jalur transportasi kereta api juga mulai merambah Kota Solo yang menghubungkan Semarang dan Surakarta (Iqbal, 2010). Lebih lanjut Zaida (2004) menyatakan bahwa pada bagian utara Jalan Slamet Riyadi dikenal dengan Kampung Lor, yang menjadi kekuasaan mangkunegaran. Sebagian besar pihak Hindia-Belanda bermukim di Kampung Lor ini. Kampung Lor berkembang menjadi lebih modern dengan banyak mendapat pengaruh dari luar. Pada bagian selatan Jalan Slamet Riyadi, dikenal dengan nama Kampung Kidulan yang merupakan daerah kekuasaan Keraton Surakarta. Kampung Kidulan memiliki tipe perkembangan yang konservatif, klasik dan tidak menerima akan pengaruh luar. Kampung Kidulan dianggap sebagai wilayah yang sakral karena pengaruh kuat dari Keraton Surakarta.

35 54 Pemerintahan Hindia Belanda di Kota Solo memberikan pengaruh yang besar terhadap lanskap kota maupun kehidupan sosial masyarakat. Invasi kekuasaan barat di bawah pemerintahan Hindia-Belanda mengatur penataan kota menyerupai kota modern Eropa. Simbol-simbol masyarakat yang kapitalis diciptakan seperti adanya bangunan perkantoran, loji, balai kota, bank, benteng, gereja, jalur kereta api, stasiun maupun bangunan lain yang sebelumnya tidak dikenal (Gunawan, 2010). Kota Solo yang secara geografis terletak di lembah dan tempuran sungai, sering sekali terjadi banjir. Maka pada awal tahun 1900 pihak Belanda, bersamasama Kasunanan dan Mangkunegaran melakukan proyek besar penganggulangan bahaya banjir, baik berupa pembuatan kanal, pembuatan sungai baru atau pembuatan tanggul. Pada bagian utara kota, Kali Pepe dipotong oleh sungai baru, yang kemudian disebut sebagai Kali Anyar, sehingga air bah tidak memasuki kota melainkan dialirkan melalui luar kota, dan mengikuti Kali Anyar yang bermuara di Bengawan Solo. Pada bagian selatan kota, Kali Laweyan juga dipotong oleh sungai baru dan ditambahi dengan tanggul yang menuju Bengawan Solo, yang kemudian disebut sebagai Kali Tanggul, yang berfungsi menahan air bah dari Kali Laweyan. Sedangkan pada sisi timur kota, dibangun tanggul yang mendampingi Bengawan Solo, sehingga luapan air sungai ketika banjir tidak masuk kota (Qomarun 2007). Pada awal abad 19 untuk pertama kalinya pemerintah Belanda berhasil melakukan politik ruang yang dikenal dengan istilah Wijkenstelsel, yaitu pembagian wilayah berdasarkan etnik tertentu yang diharuskan tinggal di perkampungan-perkampungan tertentu agar mudah diawasi dan tidak membahayakan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Wilayah Chineesewijk untuk Bangsa Cina ditempatkan di utara Sungai Pepe dan disekitar Pasar Gedhe, wilayah Arabiswijk yaitu membentang dari timur Gladag hingga Pasar Kliwon untuk Bangsa Arab, wilayah Europeeschewijk untuk Bangsa Belanda terdapat di Loji Wetan, Jebres serta Banjarsari, dan selebihnya merupakan permukiman masyarakat pribumi. Sehingga tercipta budaya campuran yang unik di Solo. Morfologi perubahan pada Kota Surakarta sejak tahun 1500 hingga tahun 2000 disajikan pada Gambar 27.

36 55 Keterangan : (1) Kampung Nusupan, (2) Bandar Kabanaran, (3) Kampung Arab, (4) Kampung China, (5) Kampung Betan, (6) Benteng Vastenberg, (7) Keraton Surakarta, (8) Kampung Eropa, (9) Pura Mangkunegaran, (10) Taman Sriwedari Gambar 27. Morfologi Kota Surakarta Tahun (Sumber : Qomarun et.al, 2007)

37 56 Pada awal tahun 1900, Surakarta memiliki enam buah gapura utama sebagai pintu masuk kota dengan bentuk dan ciri yang sama. Gapura merupakan gerbang yang menghubungkan antara wilayah hinterland dan mancanegara dengan negaragung yang merupakan pusat kota (Heins, 2004). Gapura didirikan pada tahun 1847 yang menghubungkan antara kota (negaragung) dengan kabupaten-kabupaten sekitarnya. Keraton Surakarta sebagai tempat tinggal keluarga raja dilengkapi oleh Gapura Gladag di utara dan Gapura Gading di selatan sebagai pintu masuk. Gapura lainnya yaitu Gapura Jurug, Gapura Kleco, Gapura Kandhang sapi dan Gapura Mojo (Heins, 2004). Gapura pertama adalah Gapura Jurug yang merupakan penghubung dan pintu masuk bagi pendatang dari wilayah timur menuju kota. Saat ini Gapura Jurug menjadi pembatas kota dengan Kabupaten Karanganyar. Gapura Kleco merupakan salah satu gapura tertua dan terletak di sebelah barat kota berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Selanjutnya adalah Gapura Kandhang Sapi dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan dua gapura sebelumnya. Gapura Kandhang Sapi merupakan akses menuju kota dari utara, namun saat ini sudah dibangun rumah sakit Dr. Oen yang berdekatan dengan gapura, sehingga gapura menjadi tertutup oleh bangunan rumah sakit. Gapura Mojo merupakan gapura yang menjadi pintu masuk dari arah selatan. Kondisi gapura yang masih terjaga secara fisik menjadi landmark tersendiri bagi Kota Surakarta. Posisi masingmasing gapura sebagai pintu masuk menuju kota disajikan pada Gambar 28. Gambr 28. Tata Letak Gapura Keraton Surakarta

38 57 Pada tanggal 17 Agustus 1945 negara Indonesia resmi merdeka dengan dicetuskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan maka Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta lebur menjadi suatu kesatuan bagian Republik Indonesia. Pihak Keraton Surakarta tidak memperoleh status Daerah Istimewa. Sehingga sistem pemerintahan tidak lagi melibatkan pihak keraton maupun Mangkunegaran. Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Adipati Mangkunegaran (Sri Mangkunegara VIII) masih bertahta di keraton dan juga Pura Mangkunegaran, namun kekuasaannya hanya berbatas pada wilayah spiritual serta kebudayaan dan hanya meliputi kaum kerabat (Maruti, 2004). Perkembangan Kota Surakarta terbagi menjadi dua yang dipisahkan oleh Jalan Slamet Riyadi (Zaida, 2004). Pada selatan jalan yaitu wilayah yang berkembang lebih cepat dan dianggap sebagai pusat perekonomian karena banyak kegiatan ekonomi yang terjadi dengan banyaknya pasar dan perkantoran. Sedangkan pola pengunaan lahan pada bagian utara cenderung lebih modern dengan pembangunan sarana dan prasarana fisik kota seperti jaringan listrik, jaringan air maupun jaringan transportasi. Pada bagian utara Kota Surakarta terdapat banyak sarana pendidikan yang dimulai sejak jenjang taman kanak-kanak hingga universitas. Pada bagian utara kota terdapat lahan-lahan kosong sehingga banyak muncul pemukiman baru. Kalianyar yang dibangun pada tahun 1910 secara tidak langsung menjadi pembatas fisik kota Surakarta pada bagian utara. Pada bagian utara Kalianyar terdapat banyak lahan-lahan terbuka dan belum banyak dibangun fasilitas-fasillitas umum sehingga pada kawasan ini sangat sedikit kegiatan yang dilakukan masyarakat. Perkembangan Kota Surakarta diarahkan menuju tahap modernisasi, dibuktikan dengan bangunan-bangunan modern yang kontras dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Pada tahun 1988 terjadi kerusuhan besar di Surakarta yang menyebabkan banyak infrastruktur kota yang rusak. Setelah kerusuhan yang terjadi maka dalam beberapa waktu kemudian dilakukan pembangunan kembali dengan lebih memperhatikan nilai-nilai tradisional dan mengadopsi gaya arsitektur pada Keraton Surakarta. Dengan demikian terbentuk wajah kota yang memiliki perpaduan antara arsitektur modern dengan arsitektur tradisional.

39 Persepsi Masyarakat terhadap Keraton Surakarta Masyarakat merupakan komponen penting dari suatu kota. Masyarakat merupakan pelaku sejarah dan budaya dari suatu kawasan. Keinginan dan harapan dari masyarakat Kota Surakarta berperan penting guna kegiatan pelestarian kawasan, sehingga dilakukan penyebaran kuisioner terhadap 63 responden yang tersebar di seluruh penjuru Kota Surakarta. Responden yang didapatkan memiliki berbagai rentang usia, etnis dan perkerjaan. Hasil kuisioner diharapkan dapat memberikan informasi mengenai persepsi masyarakat terhadap Keraton Surakarta dan seberapa penting elemen-elemen keraton untuk ditampilkan pada Kota Surakarta. Hasil kuisioner juga akan menjadi pertimbangan dalam menentukan tindakan pelestarian guna menciptakan Kota Surakarta yang beridentitas. Responden kuisioner tersebar dari lima kecamatan yang ada di Kota Surakarta, sebanyak 32% responden dari Kecamatan Laweyan, 16% dari Kecamatan Serengan, 19% dari Kecamatan Pasar Kliwon, 16% dari Kecamatan Jebres dan sebesar 17% dari Kecamatan Banjarsari. Sebagian besar responden telah bertempat tinggal do Kota Surakarta selama lebih dari 15 tahun. Masyarakat asli Surakarta merupakan saksi hidup perkembangan kota dari masa ke masa. Sebanyak 81% orang mengetahui sejarah Kota Surakarta. Kota Surakarta yang dikenal dengan slogan Kota Budaya, merupakan sebuah kota yang memiliki nilai budaya kuat. Hal ini dapat tercermin juga dari kegiatan sehari-hari masyarakat yang masih melakukan aktivitas budaya, seperti menggunakan bahasa jawa, busana tradisional bahkan masih melakukan upacaraupacara adat seperti dalam upacara pernikahan, kematian maupun upacara kelahiran. Sebanyak 40% masyarakat masih melakukan kegiatan tersebut. Kota Surakarta sebagai kota budaya dengan keberadaan Keraton Surakarta yang menjadi pusatnya, sebanyak 96.8% masyarakat meyakini bahwa Kota Surakarta memiliki budaya yang khas bila dibandingkan dengan kota-kota lain di Pulau Jawa. Selama responden bertempat tinggal di Kota Surakarta, mereka berpendapat bahwa Kota Surakarta telah banyak mengalami perubahan, sebagian beranggapan perubahan ini menjadi lebih nyaman (65%) dan ada pula yang beranggapan perubahan ini menjadikan Kota Surakarta menjadi tidak nyaman lagi

40 59 (35%). Dari perubahan yang terjadi, perubahan yang paling dirasakan adalah pada lingkungan/lanskap kawasan (49%), sarana dan prasarana (16%), jumlah penduduk (23%) dan pada aktivitas wisata (12%). Perubahan pada kota mengakibatkan suasana dan situasi yang ada saat ini juga mengalami perubahan, responden telah memberikan pendapat mengenai situasi lanskap kota saat ini. Karakter lanskap masa lalu sedikit banyak diketahui oleh responden. Pendapat masyarakat terhadap situasi lanskap saat ini dan karakter lanskap masa lalu disajikan pada Tabel 6. Tebel 6. Pendapat masyarakat terhadap Lanskap Kota Surakarta No Model Wawancara Frekuensi (Orang) 1 Situasi lanskap Kota Surakarta saat ini 2 Kondisi lanskap masa lalu 3 Kondisi karakter budaya Kota Surakarta di masa lalu 4 Karakter budaya Kota Surakarta masa lalu Presentase (%) Indah 48 76% Unik 46 73% Menarik 42 % Membanggakan 46 73% Bernilai budaya tinggi 54 86% Bernilai sejarah tinggi 45 71% Sesuai untuk wisata 44 70% Kelestarian terjaga 39 62% Mengetahui 22 35% Mengetahui 31 49% Budaya Jawa secara umum 8 26% Budaya Jawa khas Surakarta 11 35% Budaya Keraton Surakarta 10 32% Budaya Eropa 0 0% Budaya campuran Jawa dan Eropa 2 7% Pada saat ini karakter budaya pembentuk kota dapat dilihat dari kebiasaan hidup masyarakat (27,3%), bangunan tradisional dan semimodern (25%), dari aktivitas sehari-hari seperti berdagang (24,4%) dan dapat dilihat dari kondisi alam (23,2%) yang membentang di Kota Surakarta. Masyarakat memiliki beberapa

41 60 pendapat mengenai Keraton Surakarta. Sebanyak 67% berpendapat bahwa keraton merupakan suatu situs cagar budaya, sebanyak 15% berpendapat bahwa keraton merupakan sumber kebudayaan bagi masyarakat Jawa, sebanyak 12% masyarakat menyatakan bahwa keraton merupakan cikal bakal dari Kota Surakarta dan sebesar 6% masyarakat berpendapat bahwa Keraton Surakarta adalah cerminan kejayaan kerajaan masa lampau. Namun, hanya sebesar 19% responden yang mengetahui mengenai konsep lanskap dari Keraton Surakarta. Elemen yang diketahui oleh masyarakat adalah pada ornamen, warna, vegetasi khas keraton yang berupa pohon beringin, model dan susunan bangunan. Perkembangan Kota Surakarta yang merupakan perkembangan dari keberadaan Keraton Surakarta juga dinyatakan harus mempertimbangkan mengenai keberadaan Keraton Surakarta dan hal ini juga sejalan dengan pendapat responden yaitu sebesar 81%. Dengan perlu dipertimbangkannya keberadaan Keraton Surakarta maka dalam perkembangan Kota Surakarta sebesar 86% responden berpendapat bahwa perlu ditampilkan elemen-elemen lanskap Keraton Surakarta pada kota, seperti bentuk bangunan tradisional seperti atap joglo, motif dan ragam hias pada bangunan, ukiran-ukiran maupun kesenian tradisional Keraton Surakarta. Responden mengharapkan Kota Surakarta yang bersih, indah dan nyaman dengan tetap mengedepankan nilai-nilai budaya dan juga tata krama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat juga mengharapkan selama pembangunan kota selalu memperhatikan ciri khas dari nilai-nilai budaya yang sudah dimiliki, yaitu nilai budaya dari Keraton Surakarta, seperti dalam pembangunan bangunan-bangunan baru perlu diperhatikan nilai arsitektur bangunan kuno seperti rumah joglo, limasan dan lainnya. Dalam pembangunan Kota Surakarta selanjutnya harus diperhatikan kelestarian dari bangunanbangunan kuno dan tidak meninggalkan budaya Keraton Surakarta.

42 Analisis Pengaruh Konsep Lanskap Keraton pada Lanskap Kota Surakarta Kota Surakarta dikenal dengan kota budaya dimana Keraton Surakarta merupakan pusat dari kebudayaan. Namun, pengaruh budaya tidak sama di setiap bagian kota. Ada yang mendapat pengaruh kuat dan ada yang mendapatkan pengaruh yang lemah. Sehingga dilakukan identifikasi dan penilaian terhadap struktur lanskap Kota Surakarta. Analisis elemen lanskap dilakukan guna mengetahui bagian-bagian kota yang terpengaruh oleh Keraton Surakarta dan faktor-faktor yang mempengaruhi dari sebaran pengaruh tersebut. Analisis elemen lanskap Kota Surakarta terbagi menjadi dua tahap yaitu analisis sebaran lanskap dan analisis pola sebaran lanskap Analisis Jenis Pengaruh Lanskap Struktur lanskap yang diidentifikasi adalah lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan. Pemetaan terhadap lanskap Kota Surakarta dilakukan dengan penilaian terhadap masing-masing struktur lanskap dengan kriteria-kriteria penilaian yang meliputi asosiasi kesejarahan, gaya arsitektur beserta ornamen, kesamaan jenis dan desain elemen lanskap yang digunakan Lanskap Permukiman Lanskap permukiman mendominasi penggunaan lahan di Kota Surakarta, terbukti dengan penggunaan lahan sebesar 62% dari luas total kota digunakan sebagai lahan permukiman. Hal ini berakibat pada penggunaan lahan yang padat permukiman dan menghilangkan penggunaan pekarangan, hanya terdapat sedikit masyarakat yang masih memiliki pekarangan di halaman rumah mereka. Permukiman yang berada di Surakarta sebagian besar merupakan permukiman lama yang merupakan tempat tinggal dari para abdi Keraton Surakarta, posisi permukiman tradisional Jawa mendapat pengaruh dari keraton sesuai dengan konsep kiblat papat kalima pancer. Namun perkembangan permukiman di Solo banyak menggunakan gaya arsitektur baru yang lebih modern. Penilaian pada elemen lanskap permukiman dilakukan dengan beberapa kriteria yang telah disajikan pada Tabel 2. Dengan menggunakan kriteria tersebut maka dapat diketahui lanskap permukiman yang mendapatkan pengaruh dari

43 62 Keraton Surakarta. Penilaian lanskap permukiman pada Kota Surakarta dibagi terbagi menjadi beberapa zona penilaian, zona penilaian ini disesuaikan dengan jumlah kelurahan yang berada di Kota Surakarta. Hasil analisis pada lanskap permukiman disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman Kriteria Kelurahan Asosiasi Kesejarahan Tata Ruang Arsitektur Bangunan Ornamen Bangunan Kesamaan jenis elemen Total Jebres Pasar Kliwon Serengan Laweyan Sondakan Panularan Penumping Sriwidari Laweyan Purwosari Bumi Pajang Kerten Jajar Karangasem Serengan Kratonan Kemlayan Jayengan Danukusuman Tipes Joyotakan Kauman Baluwarti Kampung Baru Pasar Kliwon Joyosuran Sangkrah Semanggi Kedung Lumbu Sewu Gandekan Jagalan Sudiroprajan Purwodiningratan Jebres

44 63 Tabel 7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman (Lanjutan) Kriteria Kelurahan Asosiasi Kesejarahan Tata Ruang Arsitektur Bangunan Ornamen Bangunan Kesamaan jenis elemen Total Kepatihan Wetan Kepatihan Kulon Pucang Sawit Mojosongo Tegalharjo Keprabon Mangkubumen Punggawan Nusukan Setabelan Timuran Gilingan Kadipiro Ketelan Kestalan Sumber Banyuanyar Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Jebres Banjarsari Penilaian terhadap lanskap permukiman yang dilakukan dengan membagi zona sesuai dengan jumlah kelurahan dapat dikelompokkan menjadi lima kecamatan. Pada Kecamatan Laweyan dengan sembilan kelurahan memiliki luasan permukiman sebesar 724,26 ha. Pada Kecamatan Serengan luasan permukiman adalah sebesar 290,37 ha dan terbagi menjadi tujuh kelurahan. Pada Kecamatan Pasar Kliwon dengan luasan permukiman sebesar 271,49 ha terbagi menjadi sembilan jumlah kelurahan. Kecamatan Jebres memiliki luasan permukiman yang paling besar, yaitu 1017,2 ha dan terbagi menjadi 11 kelurahan. Pada Kecamatan Banjarsari luasan permukiman sebesar 650,02 ha dengan 13 kelurahan. Hasil analisis lanskap permukiman secara spasial disajikan pada Gambar 29.

45 64

46 65 Hasil analisis menyatakan bahwa lanskap permukiman pada Kelurahan Sondakan, Panularan, Penumping, Sriwedari, Laweyan, Purwosari, Bumi, Pajang, Serengan, Tipes, Kratonan, Kemlayan, Jayengan, Danukusuman, Kauman, Baluwerti, Pasar kliwon, Joyosuran, Sangkrah, Semanggi, Kedung Lumbu, Sewu, Gandekan, Jagalan, Purwodiningratan, Sudiroprajan, Jebres, Pucang Sawit, Keprabon, Mangkubumen, Stabelan, Punggawan dan Timuran memiliki nilai pengaruh yang kuat dari Keraton Surakarta. Pada kelurahan tersebut merupakan permukiman lama yang memiliki sejarah kuat dengan Keraton Surakarta. Permukiman tersebut merupakan kawasan tempat tinggal bagi abdi dalem kerajaan. Sehingga banyak ditemukan bangunan dengan gaya arsitektur tradisional yang dilengkapi dengan ornamen/ragam hias bercirikan keraton. Lanskap permukiman dengan nilai pengaruh sedang terdapat pada Kelurahan Kerten, Karangasem, Joyotakan, Kampung Baru, Kepatihan Wetan, Kepatihan Kulon, Nusukan, Gilingan dan Ketelan. Permukiman dengan pengaruh sedang banyak terdapat pada wilayah utara dan selatan Keraton Surakarta. Pada wilayah permukiman dengan nilai sedang, tata ruang maupun arsitektur bangunan tidak mencirikan Keraton Surakarta. Bagian kota yang terdapat di bagian utara keraton, dahulu merupakan wilayah kekuasaan milik mangkunegaran dan juga tempat tinggal dari Belanda maupun Cina. Sehingga banyak ditemukan permukiman dengan gaya arsitektur dan corak bergaya Indis dan Cina. Kediaman bangsa Belanda di daerah Banjarsari dikenal dengan istilah Villapark. Sedangkan permukiman dengan nilai pengaruh rendah banyak terdapat pada kelurahan di Kecamatan Banjarsari dan Jebres. Permukiman dengan pengaruh rendah meliputi Kelurahan Jajar, Mojosongo, Tegalharjo, Kadipiro, Kestalan, Sumber dan Banyuanyar. Permukiman dengan pengaruh rendah tersebar pada bagian utara kota. Permukiman yang berada pada wilayah utara merupakan wilayah permukiman baru, sehingga tidak memiliki nilai kesejarahan yang berhubungan secara langsung dengan Keraton Surakarta. Konsep tata ruang yang dimiliki oleh Keraton Surakarta seperti kiblat papat kalima pancer maupun gaya arsitektur keraton sudah jarang diterapkan pada lanskap permukiman. Dengan perkembangan penduduk yang semakin meningkat dan kebutuhan lahan yang semakin tinggi maka terjadi penggunaan lahan yang tidak terkonsep/teratur dan

47 66 masyarakat sudah mulai mengabaikan keberadaan konsep lanskap keraton. Secara keseluruhan nilai pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap permukiman adalah sebesar 52% pengaruh kuat, 9% pengaruh sedang dan 39% pengaruh rendah. Perkembangan permukiman yang melebar menuju barat sejalan dengan konsep tata ruang yang dimiliki oleh Keraton Surakarta, yaitu konsep kiblat papat kalima pancer. Terdapat pemahaman bahwa arah timur dan barat merupakan wilayah yang mencerminkan hubungan raja dengan rakyat, atau dapat dikatakan hubungan raja dengan masyarakat dan kerabatnya (hablu minannas). Sedangkan perkembangan pemukiman menuju utara yang meliputi Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari, terjadi setelah keberadaan pihak Belanda dan juga mangkunegaran. Pada tahun 1910, setelah keberadaan Kali Anyar, perkembangan permukiman semakin melebar menuju utara Kali Anyar dan tercipta perkampungan-perkampungan baru di Kota Surakarta. Bangunan pada Keraton Surakarta menggunakan tata ruang bangunan tradisional Jawa dengan bentukan atap joglo maupun limasan. Pada lanskap permukiman lama yang berada di selatan kota, bangunan dengan gaya arsitektur tradisional Jawa masih banyak ditemukan. Salah satunya adalah Dalem Purwodiningratan (Gambar 30) merupakan rumah tinggal dari kerabat raja. (a) Bangunan Joglo (b) Pohon Beringin di halaman Gambar 30. Dalem Purwodiningratan

48 Lanskap Perkantoran dan Perdagangan Lanskap perkantoran dan lanskap perdagangan di Kota Surakarta memiliki luas sebesar 10.8% dari luas total kota sebesar m 2. Penilaian dilakukan dengan membagi zona sesuai dengan lima unit lanskap yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian yaitu kantor pemerintahan, kantor swasta, pertokoan, pasar dan hotel. Analisis terhadap lanskap perkantoran dan pertokoan dinilai berdasarkan pada kriteria yang telah ditentukan pada Tabel 3. Hasil analisis pada lanskap disajikan pada Tabel 8 dan secara spasial disajikan pada Gambar 32. Penilaian pada masing-masing unit lanskap disajikan pada Lampiran 4 hingga Lampiran 8. Tabel 8. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran dan Perdagangan Keriteria Unit Lanskap Asosiasi Kesejarahan Posisi terhadap Keraton Surakarta Arsitektur Bangunan Kesamaan jenis elemen lanskap Total Kantor Pemerintah Kantor Swasta Pertokoan Pasar Hotel Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Lanskap perkantoran dan perdagangan di Kota Solo berpusat di kawasan Jalan Slamet Riyadi hingga Jalan Jendral Sudirman. Perkembangan pada lanskap perkantoran dan lanskap permukiman searah dengan perkembangan infrastruktur jalan, sehingga membentuk pola sesuai dengan jalan yang dilewati. Lanskap pada kantor-kantor pemerintahan seperti Balaikota (Gambar 31), kantor kecamatan maupun kantor kelurahan memiliki tata ruang dan pola bangunan yang mengadopsi konsep Keraton Surakarta, seperti konsep kiblat papat kalima pancer, sehingga terbentuk keseragaman pada bangunan kantor pemerintahan. Dimana bangunan-bangunan yang berada di dalam komplek Balaikota menghadap ke arah pendapa besar yang berada di tengah sebagai pancer dan dilengkapi juga dengan sepasang pohon beringin kurung dihadapan pendapa besar.

49 68

50 69 Tidak sedikit bangunan-bangunan lama peninggalan Belanda yang digunakan sebagai kantor oleh swasta maupun pemerintah, seperti kantor PTPN IX Surakarta yang menggunakan bangunan peninggalan pemerintah Belanda. Sedangkan bangunan perkantoran baru memiliki gaya arsitektur modern yang di kombinasikan dengan gaya arsitektur tradisional seperti pada Gambar 32 baik pada bentuk atap maupun ragam hias. Beberapa kantor swasta seperti kantor bank maupun hotel memiliki bangunan dengan gaya arsitektur modern, namun menggunakan bentuk atap maupun ornamen dengan ciri khas keraton, yaitu dengan mengadopsi bentuk atap limasan maupun joglo yang dilengkapi dengan ornamen yang disebut kuku bima disetiap ujung atap. (a) Balaikota Surakarta (b) Kantor Bank BCA Gambar 32. Lanskap Perkantoran di Surakarta Pada lanskap pertokoan, ornamen maupun gaya arsitektur tradisional sudah banyak ditinggalkan. Lanskap pertokoan lebih banyak menggunakan gaya bangunan ruko yang dahulu diperkenalkan oleh para pedagang Cina. Pada pertokoan besar banyak digunakan penulisan nama dengan menggunakan huruf jawa. Sedangkan pada pasar-pasar tradisional, gaya arsitektur tradisional masih dipertahankan. Pada bangunan pasar yang baru digunakan sentuhan tradisional pada bentuk atap dan juga ornamen bangunan yang mengadopsi gaya Keraton Surakarta. Pasar-pasar tradisional di Kota Surakarta memiliki hubungan sejarah yang kuat dengan keraton. Pasar-pasar tradisional sudah didirikan sejak awal keberadaan keraton (Setiawan, 2000). Didirikannya pasar mencerminkan adanya pelayanan dari pihak keraton untuk rakyat. Sehingga didirikan pasar-pasar tradisional seperti Pasar Gede di utara, Pasar Kliwon di sebelah timur, Pasar Gading di selatan dan Pasar Klewer disebelah barat dari Keraton Surakarta.

51 70 Pada bangunan-bangunan hotel di Surakarta sudah banyak meninggalkan gaya tradisional. Bangunan perhotelan sudah tidak lagi menggunakan tata ruang seperti keraton. Penilaian pada hotel berbintang satu hingga bintang lima mendapatkan hasil bahwa pada bangunan perhotelan, elemen lanskap yang ditemukan hanyalah bentuk bangunan dengan gaya tradisional yang diadopsi pada bentuk atap maupun ornamen yang menghiasi taman, seperti jenis pohon dan desain pada site furniture. Secara keseluruhan nilai pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap perkantoran dan pertokoan di Kota Surakarta sebanyak 64% pengaruh kuat, 31% memiliki pengaruh sedang dan 5% memiliki pengaruh yang rendah Lanskap Fasilitas Umum Fasilitas umum merupakan hal penting pada suatu kota yang didirikan untuk dapat dinikmati dan di akses oleh seluruh masyarakat kota. Dilakukan penilaian terhadap fasilitas umum yang terdiri dari sarana pendidikan, sarana kesehatan, taman kota, sarana transportasi yang terdiri dari stasiun dan terminal dan tempat peribadatan. Hasil penilaian pada lanskap fasilitas umum disajikan pada Tabel 9 dan secara spasial dapat dlihat pada Gambar 33. Penilaian pada masing-masing unit lanskap disajikan pada Lampiran 9 hingga Lampiran 13. Tabel 9. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas Umum Unit Lanskap Asosiasi Kesejarahan Posisi terhadap Keraton Surakarta Keriteria Arsitektur Bangunan Kesamaan jenis dan desain elemen Sarana Pendidikan Taman Kota Sarana Transportasi Fasilitas Kesehatan Tempat Peribadatan Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Total Hasil analisis skoring menyatakan bahwa pada lanskap fasilitas umum dengan keterkaitan sedang dimiliki oleh lanskap sarana pendidikan, taman kota, lanskap stasiun dan terminal, dan lanskap tempat peribadatan. Serta pengaruh yang rendah pada fasilitas kesehatan yang tergolong baru.

52 71

53 72 Terdapat tujuh buah taman kota di Surakarta, diantaranya Taman Sriwedari dan Taman Balekambang yang memiliki nilai kesejarahan yang tinggi karena terbentuk pada masa pemerintahan Keraton Surakarta. Keberadan taman kota di Surakarta memiliki tatanan lanskap yang mengadopsi gaya arsitektur Keraton Surakarta seperti bentuk bangunan, ragam hias maupun penggunaan tanaman-tanaman ciri khas keraton. Fasilitas umum berupa stasiun dan terminal memiliki nilai pengaruh yang sedang. Terdapat empat stasiun kereta api di Kota Surakarta, keempat stasiun yang didirikan oleh Belanda tersebut memiliki gaya arsitektur Indis. Sedangkan pada Terminal Tirtonadi, bangunan mengadopsi bentuk atap tradisional dan digunakan ragam hias serta tanaman ciri khas keraton. Kota Surakarta memiliki fasilitas dibidang kesehatan yang cukup memadai dengan keberadaan 13 unit rumah sakit yang tersebar di penjuru kota. Pada lanskap sarana pendidikan jarang digunakan konsep tata ruang maupun arsitektur bangunan yang menyerupai Keraton Surakarta. Namun dalam penataan lanskap banyak ditemukan kesamaan pada desain elemen-elemen lanskap seperti ornamen dan juga tanaman-tanaman lokal. Pada tempat ibadah yang meliputi masjid, gereja, klenteng maupun vihara memiliki nilai kesejarahan yang cukup kuat dengan keraton. Keraton sebagai kerajaan Islam memberi pengaruh kepada masyarakat dalam memperkenalkan agama Islam. Sehingga banyak didirikan masjid pada masa itu. Masjid-masjid yang didirikan menggunakan gaya arsitektur tradisional dengan sentuhan ornamen seperti ukiran yang diadopsi dari Keraton Surakarta. Pada masjid-masjid yang baru didirikan juga banyak mengadopsi bentukan atap maupun ornamen dari Keraton Surakarta. Dalam perkembangannya, posisi atau sebaran dari lanskap fasilitas umum sudah tidak lagi mengadopsi konsep tata ruang yang digunakan oleh Keraton Surakarta. Lanskap fasilitas umum tersebar keseluruh penjuru kota, namun keberadaan fasilitas umum lebih banyak berada pada Kecamatan Banjarsari dan Kecamatan Jebres. Hal ini dikarenakan kedua kecamatan tersebut memiliki luasan yang lebih besar dibanding kecamatan lainnya. Nilai pengaruh dari konsep lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap fasilitas umum kota adalah kuat sebesar 8%, pengaruh sedang sebesar 65% dan pengaruh rendah sebesar 26%.

54 Lanskap Jalan Lanskap jalan terdiri atas jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal maupun jalan setapak. Dalam penilaian pada lanskap jalan ini dilakukan penilaian pada dua jenis jalan yang dapat menjadi perwakilan dari lanskap kota, yaitu jalan arteri dan jalan lokal. Jalan arteri terdiri dari Jalan Selamet Riyadi, Jalan Ahmad Yani, Jalan Tentara Pelajar dan Jalan Ir. Sutami. Jalan kolektor terdiri dari Jalan Veteran, Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Dr. Rajiman, Jalan Kolonel Sugiono, Jalan Kapten Tendean, Jalan Diponegoro, Jalan Honggowongso, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan May Sunaryo, Jalan Brigjen Katamso dan Jalan Mr. Sartono. Terdapat 18 ruas jalan yang tersebar di lima kecamatan di Kota Surakarta. Penilaian dilakukan dengan kriteria yang disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis pada elemen lanskap jalan disajikan pada Tabel 10 dan secara spasial disajikan pada Gambar 34. Tabel 10. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Jalan Jalan Arteri Jalan Kolektor Nama Jalan Asosiasi Kesejarahan Kriteria Kesamaan jenis, desain dan ragam hias Kesamaan jenis elemen lunak Jl. Slamet Riyadi Jl. Ahmad Yani Jl. Tentara Pelajar Jl. Ir. Sutami Jl. Veteran Jl. Kapt. Mulyadi Jl. May Sunaryo Jl. Jend. Sudirman Jl. Honggowongso Jl. Dr. Rajiman Jl. Adi Sucipto Jl. Diponegoro Jl. Urip Sumoharjo Jl. Kapt. Tendean Jl. Kol. Sugiono Jl. Mr. Sartono Jl. Brigjen Katamso Jl. Perintis Kemerdekaan Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi Total

55 74

56 75 Hasil analisis skoring pada ruas jalan didapatkan nilai pengaruh kuat pada ruas Jalan Slamet Riyadi, Jalan Dr. Rajiman, Jalan Ir. Sutami, Jalan Veteran, Jalan May Sunaryo, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Diponegoro dan Jalan Perintis Kemerdekaan. Sedangkan nilai pengaruh sedang didapatkan pada Jalan A. Yani, Jalan Tentara Pelajar, Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Honggowongso, Jalan Adi Sucipto, Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Kolonel Sugiono. Pengaruh rendah didapatkan pada Jalan Kapten Tendean, Jalan Mr. Sartono dan Jalan Brigjen Katamso. Jalan di Kota Surakarta memiliki nilai sejarah yang tinggi dengan Keraton Surakarta, karena sebagian besar jalan-jalan tersebut terbentuk pada masa pemerintahan Keraton Surakarta. Selain nilai kesejarahan yang kuat, ruas jalan di Kota Surakarta juga ditata dengan baik. Penataan jalan di kota banyak menggunakan site furniture dengan ciri khas ornamen keraton, seperti pada lampu jalan, hiasan dinding pada jalur pejalan kaki, tempat duduk, pergola, petunjuk jalan, tempat sampah dan lainnya. Pada elemen lunak, banyak digunakan tanaman seperti pohon sawo kecik (Manilkara kauki), pohon beringin (Ficus benjamina) maupun pohon tanjung (Mimusophs elengi). Pada lanskap jalan dengan nilai pengaruh sedang, jarang ditemukan site furniture dengan ornamen ciri khas keraton dan masih belum tertata dengan baik. Sehingga diperlukan penataan pada lanskap jalan yang memiliki nilai pengaruh sedang. Pemerintah Kota Surakarta mengembangkan sebuah program yaitu Solo city walk di sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Jalan Slamet Riyadi merupakan sebuah jalan arteri yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Surakarta sebagai objek wisata, sehingga dalam penataannya banyak digunakan site furniture yang indah dan dapat menunjang kenyamanan bagi pengguna jalan. Kondisi Jalan Slamet Riyadi disajikan pada Gambar 35. (a) Pergola pada jalur pejalan kaki (b) Vegetasi pada jalur jalan Gambar 35. Lanskap Jalan Slamet Riyadi

57 Analisis Pola Sebaran Lanskap Kota Surakarta Pengaruh Lanskap Keraton Surakarta terhadap Kota Surakarta dapat dilihat dari gabungan hasil analisis skoring pada masing-masing elemen lanskap, yaitu lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas publik dan lanskap jalan. Hasil penilaian terhadap pada keempat elemen dapat disajikan pada Gambar 36. Hasil analisis pada lanskap permukiman pengaruh kuat sebesar 52% kuat, 9% sedang dan 39% pengaruh rendah. Pada lanskap perkantoran dan perdagangan didapatkan nilai pengaruh kuat sebesar 64%, pengaruh sedang sebesar 31% dan pengaruh rendah sebesar 5%. Lanskap fasilitas umum memiliki nilai pengaruh kuat sebesar 8%, sedang 65% dan kuat sebesar 26%. Secara keseluruhan pengaruh Keraton Surakarta terhadap Kota Surakarta tersebar pada luasan sebesar 41% pengaruh kuat, pengaruh sedang 35% dan 24% pengaruh rendah. Peta sebaran pengaruh keraton terhadap lanskap Kota Surakarta disajikan pada Gambar 36. Analisis skoring pada elemen-elemen lanskap kota didapatkan bahwa lanskap yang masih memiliki pengaruh kuat dari Keraton Surakarta tersebar pada wilayah selatan Kota Surakarta. Pengaruh lanskap semakin rendah pada bagian utara kota. Sungai Kalianyar secara tidak langsung telah menjadi batas pemisah pada kota Surakarta. Pada bagian selatan Kalianyar merupakan awal dari Kota Surakarta dan dapat dikatakan sebagai bagian Surakarta lama, sedangkan pada bagian utara Kalianyar merupakan wilayah perkembangan baru. Keraton Surakarta terletak pada Kecamatan Pasar Kliwon yang berada pada wilayah selatan kota dan memiliki daerah kekuasaan yang berkembang ke arah barat. Sehingga pada wilayah selatan mendapatkan pengaruh yang besar baik dari nilai kesejarahan maupun dalam tatanan lanskap. Dalam perkembangannya, wilayah selatan kota merupakan pusat dari segala aktifitas masyarakat, karena perkembangan infrastruktur, fasilitas kota dan kegiatan perekonomian berkembang pesat pada wilayah selatan. Wilayah utara merupakan wilayah pemekaran kota sehinggga keberadaan sarana dan prasarana kota belum cukup memadai pada wilayah tersebut. Terjadi pembangunan yang tidak seimbang antara Kota Surakarta bagian selatan dengan bagian utara.

58 77

59 78 Dari hasil pengamatan, memudarnya pengaruh lanskap keraton terhadap kota dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, posisi Keraton Surakarta terhadap Kota Surakarta, batas alam, perkembangan infrastruktur kota dan faktor kependudukan. Posisi Keraton Surakarta yang berada pada bagian selatan kota mengakibatkan pengaruh yang kuat pada bagian tersebut. Semakin dekat dengan Keraton Surakarta maka semakin kuat pengaruh yang diberikan. Faktor kedua adalah batas alam, setalah dibangun Kali Anyar di utara maka secara tidak langsung menjadi pemisah bagi Kota Surakarta. Pada bagian selatan Kali Anyar nilai pengaruh dari Keraton Surakarta adalah sedang dan pada bagian utara Kali Anyar nilai pengaruh semakin rendah. Perkembangan infrastruktur kota seperti jalan dan jalur kerata api, ikut serta mempengaruhi pudarnya pengaruh dari Keraton Surakarta. Seperti Jalan Slamet Riyadi yang menjadi pembatas wilayah kekuasaan keraton dengan mangkunegaran. Pada wilayah perkembangan kota yang cenderung baru, dipengaruhi oleh adanya perkembangan mode dan teknologi pada masa itu, sehingga tidak lagi mengadopsi gaya tradisional. Dengan berkembangnya mode dan teknologi, maka gaya tradisional khas keraton sudah tidak menjadi acuan/panutan dalam membentuk suatu lanskap. Faktor lain yang memberi pengaruh adalah faktor kependudukan, jumlah penduduk yang semakin bertambah memaksa penggunaan lahan semaksimal mungkin, sehingga banyak rumah tinggal yang terbentuk dengan bentuk bangunan yang tidak berkarakter tradisional. Kedatangan para migran di Kota Surakarta juga menjadikan nilai budaya lokal secara perlahan luntur. Budaya yang berbeda dari setiap migran mengakibatkan beragam budaya.

60 Usulan Pengembangan Lanskap Konsep Pengembangan Lanskap Perkembangan lanskap Kota Surakarta dimulai semenjak keberadaan Keraton Surakarta yang membuat segala aktivitas masyarakat berpusat pada wilayah disekeliling keraton dan perkembangan permukiman menuju kearah barat. Masa penjajahan Belanda memberi pengaruh pada perkembangan lanskap kota dengan dibangunnya infrastruktur kota. Keberadaan infrastruktur kota seperti sarana transportasi membuat lanskap kota berkembang mengikuti pola linier. Analisis sebaran lanskap pada Kota Surakarta dilakukan dengan analisis skoring pada lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh Keraton Surakarta pada lanskap hanya tersebar pada wilayah selatan kota dengan presentase 41%. Sedangkan pada elemen lanskap dengan pengaruh sedang dengan presentase 35%. Pengaruh rendah sebesar 24% yang berada di Kecamatan Banjarsari dan Jebres. Pengaruh kuat dari Keraton Surakarta terpusat pada bagian selatan kota yang meliputi Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon dan beberapa wilayah di Kecamatan Banjarsari. Sehingga pada kawasan tersebut dapat dikatakan sebagai kota lama dari Surakarta. Hasil analisis menyatakan bahwa nilai pengaruh dari Keraton Surakarta hanya sebesar 41%, sehingga diperlukan adanya suatu konsep untuk menjaga dan mempertahankan karakter budaya dari Keraton Surakarta. Konsep yang diusulkan guna pengembangan lanskap kota adalah dengan meningkatkan dan mempertahankan karakter budaya yang dimiliki oleh Kota Surakarta dalam penataan dan pelestarian lanskap kota guna keberlanjutan Kota Surakarta sebagai kota pusaka. Upaya meningkatkan karakter budaya pada lanskap kota dilakukan dengan penataan pada lanskap kota agar terbentuk suatu lanskap yang dapat menjadi suatu identitas kota. Sedangkan upaya dalam mempertahankan karakter lanskap kota dilakukan dengan melindungi, memelihara dan memperbaiki peninggalan sejarah budaya yang terdapat pada Kota Surakarta. Penataan dan pelestarian pada lanskap kota membutuhkan adanya suatu kebijakan dari pemerintah kota dan juga partisipasi aktif dari masyarakat Kota Surakarta.

61 Arahan Pengembangan Lanskap Kota Surakarta Berdasarkan hasil analisis terhadap sebaran lanskap pada Kota Surakarta diketahui bahwa pengaruh kuat Keraton Surakarta terpusat pada bagian selatan kota dan semakin menuju utara maka nilai pengaruh dari lanskap keraton menjadi semakin rendah. Pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota berada pada bagian selatan memiliki nilai sejarah penting bagi Kota Surakarta. Pengembangan kota tidaklah bijak apabila tidak memperhatikan kawasan lama yang merupakan cikal bakal dari terbentuknya kota. Dari hasil analisis didapatkan tiga zona pengaruh yaitu, pengaruh kuat, pengaruh sedang dan pengaruh rendah. Pada zona pengaruh kuat meliputi Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan beberapa bagian dari Kecamatan Banjarsari. Zona pengaruh kuat memiliki nilai kesejarahan yang kuat dari Keraton Surakarta dan masih banyak elemen-elemen lanskap yang mencerminkan adanya pengaruh dari Keraton Surakarta. Pada zona pengaruh kuat dilakukan penguatan karakteristik keraton dengan melestarikan dan memberdayakan area dan elemen bersejarah yang memiliki kaitan dan karakteristik lanskap keraton. Pengaruh kuat yang berada di selatan kota dapat diklasifikasikan menjadi zona inti yang merupakan Kota Lama Surakarta yang dahulu merupakan awal perkembangan kota dan pusat pemerintahan Keraton Surakarta (Hadi,2001). Pada zona inti dapat dimunculkan kembali karakterkarakter dari kawasan lama seperti Pecinan, Kauman maupun Loji Wetan yang memiliki ciri khas tersendiri. Wilayah Surakarta lama disajikan pada Gambar 37. Zona pengaruh sedang meliputi beberapa wilayah di Kecamatan Laweyan, Serengan, Jebres dan Banjarsari. Tindakan pelestarian yang dapat dilakukan pada zona dengan nilai pengaruh sedang adalah sebagai zona penyangga guna menyangga zona inti dengan zona pengembangan. Pada zona pengangga dilakukan penguatan karakter keraton dengan meningkatkan nilai karakter dari keraton dilakukan dengan melestarikan dan memberdayakan area dan elemen bersejarah yang memiliki kaitan dan karakteristik lanskap keraton serta penataan dan perbaikan lanskap pada kawasan ini guna meningkatkan nilai sejarah dan budaya kawasan.

62 81 Gambar 37. Kota Lama Surakarta Sedangkan zona pengaruh rendah diklasifikasikan sebagai zona pengembangan yang meliputi Kecamatan Jebres dan Banjarsari yang berada pada bagian utara kota. Kawasan ini merupakan wilayah pemekaran kota, sehingga memiliki pengaruh yang rendah dari keraton. Pada kawasan ini masih banyak terdapat lahan-lahan kosong yang dapat dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Sehingga pada kawasan ini dapat menjadi bagian baru dari Kota Surakarta Arahan Penataan Lanskap Kota Surakarta Dalam menjaga dan menciptakan suatu lanskap yang memiliki nilai budaya tinggi, perlu adanya dukungan dan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat kota. Masyarakat kota memiliki peran penting dalam membentuk lanskap kota, sehingga perlu dilakukan dengan memunculkan kembali aktifitas maupun kesenian tradisional yang dapat meningkatkan nilai budaya setempat. Dari hasil kuisioner, diketahui bahwa hanya sedikit masyarakat yang memahami mengenai konsep lanskap keraton, sehingga diperlukan suatu penyuluhan atau himbauan yang informatif mengenai nilai budaya maupun peninggalan sejarah yang merupakan potensi bagi kota. Penyuluhan maupun himbauan ini diharapkan dapat membuat masyarakat dapat berpartisipasi dalam tindakan pelestarian.

63 82 Pada zona lanskap dengan nilai pengaruh yang kuat, banyak terdapat objek dan elemen bersejarah yang kondisinya sudah tidak baik lagi. Sehingga diperlukan tindakan pelestarian berupa revitalisasi pada elemen lanskap seperti pada Alunalun Lor dan Alun-alun Kidul Keraton Surakarta. Revitalisasi pada alun-alun Keraton Surakarta adalah upaya memperbaiki kualitas fisik guna mengembalikan fungsi semula alun-alun sebagai ruang terbuka hijau sesuai dengan kondisi masa kini tanpa meninggalkan karakter sejarah dan budaya dari alun-alun. Perbaikan kualitas fisik pada alun-alun dapat dilakukan dengan perbaikan infrastruktur, pemeliharaan pada vegetasi rumput, menghilangkan atau mengganti vegetasi yang tidak sesuai dengan karakater alun-alun, perbaikan pada perkerasan, serta meningkatkan nilai aktivitas yang dapat menunjang kegiatan sosial, ekonomi dan pariwisata. Ilustrasi pentaan ulang alun-alun utara disajikan pada Gambar 38. (a) Sebelum penataan (b) Setelah penataan Gambar 38. Penataan lanskap pada Alun-alun utara Keraton Surakarta yang merupakan cikal bakal dari kota Surakarta, saat ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan. GPH Puger menyatakan bahwa sebesar 85% bangunan di keraton sudah rusak, sehingga perlu dilakukan rekonstruksi pada bangunan keraton agar tercipta kembali Keraton Surakarta yang dapat menunjukkan kemegahan pada masa lalu. Pengembangan kota sudah sepatutnya diselaraskan dengan melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah dari masa lalu. Diperlukan suatu kebijakan dari pemerintah Kota Surakarta hingga petunjuk teknis dalam melestarikan lanskap sejarah budaya, partisipatif dari masyarakat dalam menjaga dan menata kota, dukungan pelestarian dan pemberdayaan pada area dan elemen bersejarah dan adanya suatu guideline dalam pengembangan lanskap kota. Berikut terdapat

64 83 beberapa rekomendasi penataan lanskap yang dapat digunakan sebagai guideline dalam penataan kota. Guideline disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Guideline penataan lanskap kota Komponen Karakteristik Rumah Tinggal Kantor/fasilitas umum Taman Kota/RTH Tata Ruang/ layout Arsitektur Bangunan Lanskap Jalan Ornamen Bangunan Desain elemen Vegetasi Penamaan dengan aksara jawa Pada lanskap permukiman dapat diadopsi gaya arsitektur seperti bangunan keraton, baik dari konsep ruang maupun dapat digunakan bentuk atap tradisional. Selain itu penerapan konsep bangunan keraton pada rumah tinggal dan penggunaan ornamen bercirikan keraton. Pada lanskap perkantoran dan perdagangan dapat diterapkan konsep tata ruang keraton pada bangunan kantor dan juga penggunaan ornamen, softscape, dan hardscape yang bercirikan keraton. Fasilitas publik yang belum menerapkan konsep lanskap keraton perlu menggunakan ornamen, softscape, dan hardscape yang bercirikan keraton. Penataan pada lanskap jalan dengan menggunakan site furniture seperti lampu jalan, pergola, tempat sampah, atau paving yang mengadopsi gaya atau ornamen yang bercirikan keraton serta penanaman tanaman lokal, seperti beringin, sawo kecik, tanjung, atau kepel. Berikut terdapat beberapa ilustrasi pada penataan lanskap jalan yang disajikan pada Gambar 39. (a) Sebelum penataan (b) Setelah penataan Gambar 39. Penataan lanskap pada jalur pejalan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan Rossler, 1995). Lanskap budaya pada beberapa negara di dunia

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kota Yogyakarta 4.1.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI Jakarta, Ibukota Negara

Lebih terperinci

Bab II Gambaran Umum Kota Surakarta

Bab II Gambaran Umum Kota Surakarta Bab II Gambaran Umum Kota Surakarta Luas wilayah Kota Surakarta 44,04 km 2 dan terletak di Propinsi Jawa Tengah (central java) yang terdiri ata satu) kelurahan, 606 (enam ratus enam) Rukun Warga (RW) serta

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA DANUR FEBYANDARI

STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA DANUR FEBYANDARI i STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA DANUR FEBYANDARI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ii PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BANGUNAN KANTOR KELURAHAN DI KOTA SURAKARTA

KARAKTERISTIK BANGUNAN KANTOR KELURAHAN DI KOTA SURAKARTA KARAKTERISTIK BANGUNAN KANTOR KELURAHAN DI KOTA SURAKARTA Suryaning Setyowati Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura 57102

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA DAN KAWASAN HERITAGE DI KECAMATAN BANJARSARI KOTA SURAKARTA

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA DAN KAWASAN HERITAGE DI KECAMATAN BANJARSARI KOTA SURAKARTA BAB II GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA DAN KAWASAN HERITAGE DI KECAMATAN BANJARSARI KOTA SURAKARTA Penelitian tentang kampung kota dari pakar teknik arsitektur pada umumnya lebih banyak yang mengupas masalah

Lebih terperinci

Bab VI. KESIMPULAN dan SARAN

Bab VI. KESIMPULAN dan SARAN Bab VI KESIMPULAN dan SARAN 6.1 Kesimpulan Karakter suatu tempat berkaitan dengan adanya identitas, dimana didalamnya terdapat tiga aspek yang meliputi : aspek fisik, aspek fungsi dan aspek makna tempat.

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN

IV. KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN IV. KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN 4.1. Letak Administrasi Kota Surakarta Kota Surakarta terletak di Provinsi Jawa Tengah dan dibatasi oleh empat Kabupaten di sekitarnya, yaitu Sukoharjo, Karanganyar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional dibangun, namun cukup banyak ditemukan bangunan-bangunan yang diberi sentuhan tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rahayu, Harkunti P (2009) didefinisikan sebagai. ekonomi.meminimalkan risiko atau kerugian bagi manusiadiperlukan

BAB I PENDAHULUAN. Rahayu, Harkunti P (2009) didefinisikan sebagai. ekonomi.meminimalkan risiko atau kerugian bagi manusiadiperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir menurut Rahayu, Harkunti P (2009) didefinisikan sebagai tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang melebihi kapasitas pembuangan air di suatu wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah keberadaan kota Surakarta tidak bisa terlepas adanya keraton Surakarta yang secara proses tidak dapat terlepas pula dari kerajaan pendahulunya yakni

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Dari Hasil Penelitian yang telah diuraikan dimuka, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Keraton Kasunanan Surakarta mulai dibangun pada

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 26 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Kota Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Secara geografis DI. Yogyakarta terletak antara 7º 30' - 8º 15' lintang selatan dan

Lebih terperinci

PERANCANGAN KOTA. Lokasi Alun - Alun BAB III

PERANCANGAN KOTA. Lokasi Alun - Alun BAB III BAB III DATA ALUN-ALUN KABUPATEN WONOGIRI Kabupaten Wonogiri, dengan luas wilayah 182.236,02 Ha secara geografis terletak pada garis lintang 7 0 32' sampai 8 0 15' dan garis bujur 110 0 41' sampai 111

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM SITE PERENCANAAN. Gambar Peta Surakarta Sumber : (Bappeda, 2016)

BAB 3 GAMBARAN UMUM SITE PERENCANAAN. Gambar Peta Surakarta Sumber : (Bappeda, 2016) 49 BAB 3 GAMBARAN UMUM SITE PERENCANAAN 3.1. Lokasi/Data fisik Gambar 3.1.1 Peta Surakarta Sumber : (Bappeda, 2016) Kota Surakarta merupakan kota budaya dengan status kota dibawah Provinsi jawa tengah.

Lebih terperinci

Pengaruh Kepemimpinan Keraton pada Arsitektur Masjid Agung Surakarta

Pengaruh Kepemimpinan Keraton pada Arsitektur Masjid Agung Surakarta SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 KASUS STUDI Pengaruh Kepemimpinan Keraton pada Arsitektur Masjid Agung Surakarta Lilis Yuniati y liliss30@gmail.com Program Studi A rsitektur, Sekolah A rsitektur Perencanaan

Lebih terperinci

III. GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA

III. GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA 28 III. GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA 3.1. Kondisi Fisik Kota Surakarta 3.1.1. Kondisi Geografis dan Administrasi 3.1.1.1. Kotamadya Kota Surakarta terletak antara 110 45 15 dan 110 45 35 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

Akulturasi Langgam Arsitektur pada Elemen Pintu Gerbang Masjid Agung Yogyakarta

Akulturasi Langgam Arsitektur pada Elemen Pintu Gerbang Masjid Agung Yogyakarta SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 DISKURSUS Akulturasi Langgam Arsitektur pada Elemen Pintu Gerbang Masjid Agung Yogyakarta Firdha Ruqmana firdha.ruqmana30@gmail.com Mahasisw a Sarjana Program Studi A rsitektur,

Lebih terperinci

MEMBACA PETA RBI LEMBAR SURAKARTA MATA KULIAH KARTOGRAFI DASAR OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

MEMBACA PETA RBI LEMBAR SURAKARTA MATA KULIAH KARTOGRAFI DASAR OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K MEMBACA PETA RBI LEMBAR 1408-343 SURAKARTA MATA KULIAH KARTOGRAFI DASAR OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat

I. PENDAHULUAN. masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman suku bangsa dan keanekaragaman kebudayaan yang akan menjadi modal dasar sebagai landasan pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada di Indonesia. Sebagai salah satu unsur keistimewaan DIY, maka pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. ada di Indonesia. Sebagai salah satu unsur keistimewaan DIY, maka pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Kraton Yogyakarta merupakan salah satu kawasan cagar budaya yang ada di Kota Yogyakarta. Keberadaan Kraton Yogyakarta itu sendiri menjadi salah satu unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata adalah salah satu mesin penggerak perekonomian dunia yang terbukti mampu memberikan kontribusi terhadap kemakmuran sebuah negara. Pembangunan pariwisata mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gambar 1-3 Gambar 1. Geger Pecinan Tahun 1742 Gambar 2. Boemi Hangoes Tahun 1948 Gambar 3.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gambar 1-3 Gambar 1. Geger Pecinan Tahun 1742 Gambar 2. Boemi Hangoes Tahun 1948 Gambar 3. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Solo telah banyak mengalami bencana ruang kota dalam sejarah perkembangannya. Setidaknya ada tiga peristiwa tragedi besar yang tercatat dalam sejarah kotanya

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG ARSITEKTUR BANGUNAN BERCIRI KHAS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH SURAKARTA

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH SURAKARTA BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH SURAKARTA A. Deskripsi Kota Surakarta 1. Letak kota Surakarta Secara Geografis, Kota Surakarta berada diantara dataran rendah dan terletak diantara beberapa sungai kecil seperti

Lebih terperinci

Lalu, Ada Makam Hoo Tjien Siong

Lalu, Ada Makam Hoo Tjien Siong Selain peninggalan situs kuno berupa lingga yoni, ternyata di wilayah banyak ditemukan situs Arca Megalit. Untuk batu berbentuk arca ini ditemukan di Dusun Kaum, Desa Pangayan, Kecamatan Doro. Situs tersebut

Lebih terperinci

Kampung Wisata -> Kampung Wisata -> Konsep utama -> akomodasi + atraksi Jenis Wisatawan ---> Domestik + Mancanegara

Kampung Wisata -> Kampung Wisata -> Konsep utama -> akomodasi + atraksi Jenis Wisatawan ---> Domestik + Mancanegara Kampung Wisata -> suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

Lebih terperinci

pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad

pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad Prinsip keseimbangan yang dicapai dari penataan secara simetris, umumnya justru berkembang pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad renesans. Maka fakta tersebut dapat dikaji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Deskripsi

BAB I PENDAHULUAN Deskripsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Deskripsi Untuk mendapatkan gambaran tentang pengertian judul DP3A Revitalisasi Kompleks Kavallerie Sebagai Hotel Heritage di Pura Mangkunegaran Surakarta yang mempunyai arti sebagai

Lebih terperinci

PUSAT PERBELANJAAN KELUARGA MUSLIM Dl JOGJAKARTA BAB ANALISIS BENTUK TAMANSARI III.1. TAMANSARI. GAMBAR III.1. Umbul Winangun

PUSAT PERBELANJAAN KELUARGA MUSLIM Dl JOGJAKARTA BAB ANALISIS BENTUK TAMANSARI III.1. TAMANSARI. GAMBAR III.1. Umbul Winangun PUSAT PERBELANJAAN KELUARGA MUSLIM Dl JOGJAKARTA BAB III.1. TAMANSARI GAMBAR III.1. Umbul Winangun Tamansari dibangun pada tahun 1749, oleh sultan Hamengkubuwomo I (Pangeran Mangkubumi) kompiek ini merupakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Nasional yang dilindungi pemerintah, di mana bangunan ini merupakan pusat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Nasional yang dilindungi pemerintah, di mana bangunan ini merupakan pusat BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Gedung Paseban Tri Panca Tunggal adalah sebuah bangunan Cagar Budaya Nasional yang dilindungi pemerintah, di mana bangunan ini merupakan pusat kebudayaan Djawa

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI

BAB III TINJAUAN LOKASI BAB III TINJAUAN LOKASI 3.1 Gambaran Umum Kota Surakarta 3.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif Wilayah Kota Surakarta secara geografis terletak antara 110 o 45 15 dan 110 o 45 35 Bujur Timur dan antara

Lebih terperinci

Lebih Dekat dengan Masjid Agung Kauman, Semarang

Lebih Dekat dengan Masjid Agung Kauman, Semarang SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 KASUS STUDI Lebih Dekat dengan Masjid Agung Kauman, Semarang Safira safiraulangi@gmail.com Program Studi A rsitektur, Sekolah A rsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan,

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA SURAKARTA JAWA TENGAH KOTA SURAKARTA ADMINISTRASI Profil Wilayah Keraton, batik dan Pasar Klewer adalah tiga hal yang menjadi simbol identitas Kota Surakarta. Eksistensi Keraton

Lebih terperinci

BAB III ELABORASI TEMA

BAB III ELABORASI TEMA BAB III ELABORASI TEMA 1. Pengertian Arsitektur A. Kajian Gramatikal Arsitektur :... seni dan teknologi dalam mendesain dan membangun struktur atau sekelompok besar struktur dengan pertimbangan kriteria

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN DESAIN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN DESAIN digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN DESAIN 4.1. Deskripsi Lokasi Perumahan Taman Nirwana terletak di pinggir kota Klaten. Untuk mencapai lokasi dapat dilalui dengan kendaraan bermotor sedang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Menara Kudus. (Wikipedia, 2013)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Menara Kudus. (Wikipedia, 2013) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Menara Kudus terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, sekitar 40 km dari Kota Semarang. Oleh penduduk kota Kudus dan sekitarnya,

Lebih terperinci

Ciri Khas Arsitektur Tradisional Pada Rumah Warga di Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal

Ciri Khas Arsitektur Tradisional Pada Rumah Warga di Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal Ciri Khas Arsitektur Tradisional Pada Rumah Warga di Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal Andhika Bayu Chandra 15600022 4A Arsitektur Teknik Universitas PGRI Semarang Andhikabayuchandra123@gmail.com Abstrak

Lebih terperinci

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR Oleh : SABRINA SABILA L2D 005 400 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB IV KONSEP PERANCANGAN BAB IV KONSEP PERANCANGAN IV.1 KONSEP DASAR Konsep dasar dalam perancangan hotel ini adalah menghadirkan suasana alam ke dalam bangunan sehingga tercipta suasana alami dan nyaman, selain itu juga menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kotagede adalah sebuah kota lama yang terletak di Yogyakarta bagian selatan yang secara administratif terletak di kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Sebagai kota

Lebih terperinci

BAB II ISI SERAT ABDI DALEM KERATON

BAB II ISI SERAT ABDI DALEM KERATON 7 BAB II ISI SERAT ABDI DALEM KERATON 2.1 Deskripsi Serat Abdi Dalem Keraton Serat Abdi Dalem Keraton terdapat di Ruang Naskah Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,. Dengan kode naskah UK.14,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Daya tarik kepariwisataan di kota Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Daya tarik kepariwisataan di kota Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya tarik kepariwisataan di kota Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari pengaruh saat Keraton Yogyakarta mulai dibuka sebagai salah satu obyek kunjungan pariwisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arsitek Indonesia masih berkiblat pada arsitektur kolonial tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. arsitek Indonesia masih berkiblat pada arsitektur kolonial tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Arsitektur kolonial yang ada di Indonesia, tersebar di berbagai wilayah kota-kota besar termasuk di kota Medan. Tidak semua arsitektur kolonial dibangun oleh arsitektur

Lebih terperinci

Arsitektur Dayak Kenyah

Arsitektur Dayak Kenyah Arsitektur Dayak Kenyah Propinsi Kalimantan Timur memiliki beragam suku bangsa, demikian pula dengan corak arsitekturnya. Namun kali ini hanya akan dibahas detail satu jenis bangunan adat yaitu lamin (rumah

Lebih terperinci

PERWUJUDAN SIMBOLISME SITIHINGGIL UTARA KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT (Analisis pada Aspek Arsitektur Secara Makro) Rully.

PERWUJUDAN SIMBOLISME SITIHINGGIL UTARA KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT (Analisis pada Aspek Arsitektur Secara Makro) Rully. PERWUJUDAN SIMBOLISME SITIHINGGIL UTARA KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT (Analisis pada Aspek Arsitektur Secara Makro) Rully Abstrak Sitihinggil Utara (Lor) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Lebih terperinci

BAB III RUMAH ADAT BETAWI SETU BABAKAN. 3.1 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan

BAB III RUMAH ADAT BETAWI SETU BABAKAN. 3.1 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan BAB III RUMAH ADAT BETAWI SETU BABAKAN 3.1 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Gambar 3.1 Gerbang Masuk Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan adalah sebuah perkampungan budaya yang dibangun untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami. perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan massa dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami. perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan massa dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan massa dan fungsi baru untuk menunjang ragam aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudah selayaknya kawasan-kawasan yang berbatasan dengan laut lebih menekankan

BAB I PENDAHULUAN. sudah selayaknya kawasan-kawasan yang berbatasan dengan laut lebih menekankan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Seiring dengan di galakkannya kembali pemberdayaan potensi kelautan maka sudah selayaknya kawasan-kawasan yang berbatasan dengan laut lebih menekankan

Lebih terperinci

Verifikasi dan Validasi Cagar Budaya Kabupaten. Kota waringin Barat Kalimantan Tengah

Verifikasi dan Validasi Cagar Budaya Kabupaten. Kota waringin Barat Kalimantan Tengah Verifikasi dan Validasi Cagar Budaya Kabupaten. Kota waringin Barat Kalimantan Tengah Pusat Data dan Statistik Daftar Isi A. Pendahuluan B. Hasil Verifikasi dan Validasi Data Master Referensi Cagar Budaya

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Sumber : BAPEDDA Surakarta

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Sumber : BAPEDDA Surakarta 11 BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian mengenai pengaruh konsep lanskap Keraton terhadap lanskap Kota ini dilakukan pada kawasan Keraton Kesunanan dan kawasan Kota. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PERANCANGAN. simbolisme dari kalimat Minazh zhulumati ilan nur pada surat Al Baqarah 257.

BAB VI HASIL PERANCANGAN. simbolisme dari kalimat Minazh zhulumati ilan nur pada surat Al Baqarah 257. BAB VI HASIL PERANCANGAN Revitalisasi kawasan wisata makam Kartini ini berlandaskan pada konsep simbolisme dari kalimat Minazh zhulumati ilan nur pada surat Al Baqarah 257. Nilai-nilai Islam yang terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Telah disepakati oleh beberapa ahli bahwa ajaran agama merupakan aspek

BAB I PENDAHULUAN. Telah disepakati oleh beberapa ahli bahwa ajaran agama merupakan aspek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah disepakati oleh beberapa ahli bahwa ajaran agama merupakan aspek fundamental dalam pengelolaan lingkungan khususnya dalam konservasi keanekaragaman hayati.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masjid Raya Al-Mashun merupakan masjid peninggalan Kesultanan Deli

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masjid Raya Al-Mashun merupakan masjid peninggalan Kesultanan Deli BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masjid Raya Al-Mashun merupakan masjid peninggalan Kesultanan Deli yang dibangun pada tahun 1906 M, pada masa pemerintahan sultan Maamun Al- Rasyid Perkasa Alamsjah.Masjid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris, memiliki banyak keunggulan-keunggulan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris, memiliki banyak keunggulan-keunggulan UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara agraris, memiliki banyak keunggulan-keunggulan yang dapat menjadi suatu aset dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman tradisional Kelurahan Melai, merupakan permukiman yang eksistensinya telah ada sejak zaman Kesultanan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 3 TAHUN 2011 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 3 TAHUN 2011 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 3 TAHUN 2011 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG LAMBANG DAERAH KOTA SUNGAI PENUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten

Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 KASUS STUDI Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten Alya Nadya alya.nadya@gmail.com Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan

Lebih terperinci

MEMORIAL PARK & FUNERAL HOMES DI MOJOSONGO SURAKARTA

MEMORIAL PARK & FUNERAL HOMES DI MOJOSONGO SURAKARTA TUGAS AKHIR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR MEMORIAL PARK & FUNERAL HOMES DI MOJOSONGO SURAKARTA Diajukan sebagai Pelengkap dan Syarat guna Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

2 RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SURAKARTA TAHUN

2 RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SURAKARTA TAHUN BAB 2 RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2011-2031 Bab ini berisi muatan RTRW Kota Surakarta Tahun 2011-2031 yang terdiri dari tujuan penataan ruang, kebijakan dan strategi, rencana struktur

Lebih terperinci

V. KONSEP PENGEMBANGAN

V. KONSEP PENGEMBANGAN 84 V. KONSEP PENGEMBANGAN 5.1. Pengembangan Wisata Sebagaimana telah tercantum dalam Perda Provinsi DI Yogyakarta No 11 tahun 2005 tentang pengelolaan Kawasan Cagar Budaya (KCB) dan Benda Cagar Budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bengawan Solo :

BAB I PENDAHULUAN. Bengawan Solo : BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul Judul Proyek Studio Konsep Perancangan Arsitektur yang diangkat adalah Bengawan Solo Tree House Resort (Pengembangan Urban Forest III Surakarta). Untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB VI HASIL RANCANGAN. dalam perancangan yaitu dengan menggunakan konsep perancangan yang mengacu

BAB VI HASIL RANCANGAN. dalam perancangan yaitu dengan menggunakan konsep perancangan yang mengacu 153 BAB VI HASIL RANCANGAN 6.1 Dasar Rancangan Di dalam perancangan Sekolah Seni Pertunjukan Tradisi Bugis terdapat beberapa input yang dijadikan dalam acuan perancangan. Aplikasi yang diterapkan dalam

Lebih terperinci

MUSEUM AFFANDI YOGYAKARTA

MUSEUM AFFANDI YOGYAKARTA MUSEUM AFFANDI YOGYAKARTA Oleh : Theresiana Ani Larasati Objek wisata budaya yang banyak dikunjungi oleh wisatawan ketika datang di Yogyakarta adalah Museum Affandi. Museum ini mengingatkan kita pada kegigihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ragam hias di Indonesia merupakan kesatuan dari pola pola ragam hias

BAB I PENDAHULUAN. Ragam hias di Indonesia merupakan kesatuan dari pola pola ragam hias BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Ragam hias di Indonesia merupakan kesatuan dari pola pola ragam hias daerah atau suku suku yang telah membudaya berabad abad. Berbagai ragam hias yang ada di

Lebih terperinci

Tabel Bentuk Ornamen dan tanda-tanda semiotika pada ornamen Masjid Raya Al-Mashun

Tabel Bentuk Ornamen dan tanda-tanda semiotika pada ornamen Masjid Raya Al-Mashun Lampiran 1 Tabel Bentuk Ornamen dan tanda-tanda semiotika pada ornamen Masjid Raya Al-Mashun No Bentuk Ornamen Keterangan bentuk Tanda-tanda Semiotika Ikon Indeks Simbol 1 Ornamen Geometris ini terdapat

Lebih terperinci

BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Rumusan konsep ini merupakan dasar yang digunakan sebagai acuan pada desain studio akhir. Konsep ini disusun dari hasil analisis penulis dari tinjauan pustaka

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Kesesuaian Feng Shui..., Stephany Efflina, FIB UI, 2009

BAB IV KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Kesesuaian Feng Shui..., Stephany Efflina, FIB UI, 2009 BAB IV KESIMPULAN Penyesuaian terjadi pada masyarakat Cina yang bermukim atau tinggal di Nusantara. Orang-orang Cina telah ada dan menetap di Nusantara sejak lama. Pada perkembangan pada masa selanjutnya,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR GAMBAR... xix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

Masjid Cipari Garut, Masjid Berasitektur Mirip Gereja

Masjid Cipari Garut, Masjid Berasitektur Mirip Gereja SEMINAR HERITAGE IPLBI 207 KASUS STUDI Masjid Cipari Garut, Masjid Berasitektur Mirip Gereja Franciska Tjandra tjandra.fransiska@gmail.com A rsitektur Islam, Jurusan A rsitektur, F akultas Sekolah A rsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. : Pokok pangkal atau yang menjadi tumpunan (berbagai urusan, hal. dan sebagainya (Wikipedia, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. : Pokok pangkal atau yang menjadi tumpunan (berbagai urusan, hal. dan sebagainya (Wikipedia, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul Pusat : Pokok pangkal atau yang menjadi tumpunan (berbagai urusan, hal dan sebagainya (Wikipedia, 2015). Informasi : Sekumpulan data/ fakta yang diorganisasi atau

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh masyarakat khusunya generasi muda. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi membuat bangunan-bangunan

Lebih terperinci

Alkulturasi Budaya Hindu-Budha pada Arsitektur Masjid Gedhe Mataram

Alkulturasi Budaya Hindu-Budha pada Arsitektur Masjid Gedhe Mataram SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 DISKURSUS Alkulturasi Budaya Hindu-Budha pada Arsitektur Masjid Gedhe Mataram Fenyta Rizky Rahmadhani fenyta25@gmail.com Jurusan Arsitektur, Sekolah Arsitektur Perancangan dan

Lebih terperinci

MENGENAL SISTEM PERKOTAAN:

MENGENAL SISTEM PERKOTAAN: MENGENAL SISTEM PERKOTAAN: SEBUAH PENGANTAR TENTANG KOTA SOLO 3 Sekilas tentang Solo 7 Memahami Sistem Perkotaan 13 Mencari Bentuk 17 Memahami Kelurahan Kita BANJARSARI JEBRES KOTA SOLO LAWEYAN SERENGAN

Lebih terperinci

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH Reny Kartika Sary Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Palembang Email : renykartikasary@yahoo.com Abstrak Rumah Limas

Lebih terperinci

Sistem konstruksi Masjid Paljagrahan menggunakan menggunakan lantai berbentuk

Sistem konstruksi Masjid Paljagrahan menggunakan menggunakan lantai berbentuk Gambar 16. Sketsa Perspektif Masjid Paljagrahan di Cireong, Cirebon Sistem konstruksi Masjid Paljagrahan menggunakan menggunakan lantai berbentuk dengah persegi dengan pembagian ruang sama dengan yang

Lebih terperinci

BAB III GEOGRAFI DAN PEMERINTAHAN

BAB III GEOGRAFI DAN PEMERINTAHAN BAB III GEOGRAFI DAN PEMERINTAHAN A. Geografi Dari sisi letak geografis, Kota Surakarta atau Kota Solo berada di cekungan antara lereng pegunungan Lawu dan pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB III TINJAUAN KHUSUS BAB III TINJAUAN KHUSUS 3.1 Tinjauan Tema Berikut ini merupakan tinjauan dari tema yang akan diterapkan dalam desain perencanaan dan perancangan hotel dan konvensi. 3.1.1 Arsitektur Heritage Perencanaan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI KOTA SURAKARTA

BAB II DESKRIPSI KOTA SURAKARTA BAB II DESKRIPSI KOTA SURAKARTA A. Kondisi Geografi Surakarta merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota besar seperti Semarang maupun Yogyakarta. Letaknya yang strategis dan berpotensi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Posisi Makro terhadap DKI Jakarta. Jakarta, Ibukota Indonesia, berada di daerah dataran rendah, bahkan di bawah permukaan laut yang terletak antara 6 12 LS and 106 48 BT.

Lebih terperinci

by NURI DZIHN P_ Sinkronisasi mentor: Ir. I G N Antaryama, PhD

by NURI DZIHN P_ Sinkronisasi mentor: Ir. I G N Antaryama, PhD by NURI DZIHN P_3204100019 Sinkronisasi mentor: Ir. I G N Antaryama, PhD Kurangnya minat warga untuk belajar dan mengetahui tentang budaya asli mereka khususnya generasi muda. Jawa Timur memiliki budaya

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI VII. 1. Kesimpulan Penelitian proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata ini bertujuan untuk membangun teori atau

Lebih terperinci

NURYANTO PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR-S1 DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

NURYANTO PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR-S1 DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA NURYANTO PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR-S1 DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2016-2017 ARSITEKTUR NUSANTARA-AT. 311 PERTEMUAN KE SEBELAS SENIN, 28 NOVEMBER

Lebih terperinci

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2)

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2) Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2) Gambar simulasi rancangan 5.30 : Area makan lantai satu bangunan komersial di boulevard stasiun kereta api Bandung bagian Selatan 5.6.3 Jalur Pedestrian Jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL Proyek yang direncanakan dalam Studio Konsep Perancangan Arsitektur (SKPA) berjudul Boyolali Historical Park sebagai Pengembangan Taman Sonokridanggo. Maksud dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kawasan perkotaan dari segi geografis kota diartikan sebagai suatu sistim jaringan kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II pada tahun 1744 sebagai

Lebih terperinci

MAKASSAR merupakan salah satu kota yang mengalami perkembangan pesat dalam berbagai bidang. meningkatkan jumlah pengunjung/wisatawan

MAKASSAR merupakan salah satu kota yang mengalami perkembangan pesat dalam berbagai bidang. meningkatkan jumlah pengunjung/wisatawan MAKASSAR merupakan salah satu kota yang mengalami perkembangan pesat dalam berbagai bidang EKONOMI SOSIAL POLITIK INDUSTRI PARIWISATA BUDAYA mengalami perkembangan mengikuti kemajuan zaman meningkatkan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL RANCANGAN. produksi gula untuk mempermudah proses produksi. Ditambah dengan

BAB VI HASIL RANCANGAN. produksi gula untuk mempermudah proses produksi. Ditambah dengan BAB VI HASIL RANCANGAN 6.1 Hasil Rancangan Kawasan Revitalisasi Kawasan Pabrik Gula Krebet ini dibagi menjadi 3 yaitu bangunan primer, sekunder dan penunjang yang kemudian membentuk zoning sesuai fungsi,

Lebih terperinci

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 130 BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 6.1. KONSEP LOKASI Pada konsep lokasi dijelaskan tentang lokasi yang digunakan yaitu berada di kota Surakarta yang merupakan kota budaya. Surakarta terletak

Lebih terperinci

, 2015 KOMPLEKS MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DALAM SITUS MASYARAKAT KOTA CIREBON

, 2015 KOMPLEKS MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DALAM SITUS MASYARAKAT KOTA CIREBON BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak penduduk yang di dalamnya terdapat masyarakat yang berbeda suku, adat, kepercayaan (agama) dan kebudayaan sesuai daerahnya masing-masing.

Lebih terperinci

BAB II FIRST IMPRESSION. perancang melakukan survey lokasi ke Istana Maimun, kesan pertama ketika perancang

BAB II FIRST IMPRESSION. perancang melakukan survey lokasi ke Istana Maimun, kesan pertama ketika perancang BAB II FIRST IMPRESSION Berdasarkan pengetahuan perancang tentang kondisi dan potensi yang mendasari perencanaan untuk penambahan fasilitas pada lokasi Istana Maimun. Selanjutnya, perancang melakukan survey

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. KARAKTERISTIK BENTUK MASJID KERAJAAN DI SURAKARTA Kasus : Masjid Agung Surakarta dan Masjid Al-Wustho Mangkunegaran

TUGAS AKHIR. KARAKTERISTIK BENTUK MASJID KERAJAAN DI SURAKARTA Kasus : Masjid Agung Surakarta dan Masjid Al-Wustho Mangkunegaran TUGAS AKHIR Penelitian (Riset) Arsitektur KARAKTERISTIK BENTUK MASJID KERAJAAN DI SURAKARTA Kasus : Masjid Agung Surakarta dan Masjid Al-Wustho Mangkunegaran Diajukan sebagai Pelengkap dan Syarat guna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk memotivasi berkembangnya pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berupaya

I. PENDAHULUAN. untuk memotivasi berkembangnya pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berupaya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata merupakan bentuk industri pariwisata yang belakangan ini menjadi tujuan dari sebagian kecil masyarakat. Pengembangan industri pariwisata mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Majapahit merupakan kerajaan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia pada

BAB I PENDAHULUAN. Majapahit merupakan kerajaan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Majapahit merupakan kerajaan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia pada tahun 1293-1500M. Permasalahannya peninggalan-peninggalan kerajaan Majapahit ada yang belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selain bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selain bertujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang sekarang ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selain bertujuan untuk memperkenalkan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah atau kota di Indonesia memiliki kesenian dengan ciri

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah atau kota di Indonesia memiliki kesenian dengan ciri BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Setiap daerah atau kota di Indonesia memiliki kesenian dengan ciri khasnya masing-masing. Hal itu bisa dilihat pada pengaruh karya seni rupa peninggalan kerajaan

Lebih terperinci

A. Peta 1. Pengertian Peta 2. Syarat Peta

A. Peta 1. Pengertian Peta 2. Syarat Peta A. Peta Dalam kehidupan sehari-hari kamu tentu membutuhkan peta, misalnya saja mencari daerah yang terkena bencana alam setelah kamu mendengar beritanya di televisi, sewaktu mudik untuk memudahkan rute

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia, sehingga kemudian jalur perdagangan berpindah tangan ke para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang mendukung dan sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang mendukung dan sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu sektor yang mendukung dan sangat berarti terhadap pembangunan, karena melalui pariwisata dapat diperoleh dana dan jasa bagi

Lebih terperinci