Jurnal Ilmiah Administrasi Publik (JIAP)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Jurnal Ilmiah Administrasi Publik (JIAP)"

Transkripsi

1 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik (JIAP) URL: x.php/ji ap JIAP Vol 5, No 3, pp , FIA UB. All right reserved ISSN e-issn Analisis Kebijakan Tata Kelola Dampak Aktivitas Penambang Marmer Berdasarkan Perspektif Sustainable Development Astrid Mey Lina a a Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Indonesia INFORMASI ART IKEL Article history: Dikirim tanggal: 05 Juli 2019 Revisi pertama tanggal: 25 November 2019 Diterima tanggal: 29 November 2019 Tersedia online tanggal: 23 Desember 2019 Keywords: impact, marble mining, sustainable development ABSTRACT The objective of this research study is to provide alternatives related to environmental conservation planning in Tulungagung Regency based on a sustainable development perspective. The results of the analysis show that even though mining management through a number of regulations is able to give an impact on economic growth, it is unable to achieve sustainable development due to lack of attention to socio-economic aspects such as lack of community role and lack of special attention to natural disasters. In general, being able to achieve sustainable development must enhance the role of the community and produce policies that are in accordance with the characteristics of the community and environmental conditions. INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif rekomendasi kebijakan terkait pengelolaan dampak lingkungan akibat aktivitas penambangan marmer di Kabupaten Tulungagung berdasarkan perspektif pembangunan berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun pengelolaan pertambangan melalui sejumlah regulasi mampu memberikan dampak pertumbuhan ekonomi, akan tetapi tidak mampu mencapai pembangunan berkelanjutan karena kurangnya perhatian terhadap aspek sosial ekonomi seperti kurangnya peranan masyarakat dan tidak adanya perhatian secara khusus terhadap terjadinya bencana alam. Secara umum untuk mampu mencapai pembangunan yang berkelanjutan harus meningkatkan peran masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat serta kondisi lingkungan FIA UB. All rights reserved. 1. Pendahuluan Negara Indonesia menggantungkan perekonomiannya pada sektor pertambangan sebagai dampak positif dari kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Sektor pertambangan menyerap begitu banyak tenaga kerja dan menambah cadangan devisa negara yang berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi Corresponding author. Tel.: ; astridmeylina@gmail.com 312 nasional. Sektor pertambangan hingga saat ini menjadi yang paling menopang pertumbuhan ekonomi nasional selain sektor industri dan pertanian. Meskipun pertambangan memiliki peran yang cukup strategis dalam pembangunan dan peningkatan ekonomi masyarakat di Indonesia, pertambangan yang mengabaikan aspek lingkungan mengakibatkan bencana besar yang memiliki dampak berkepanjangan bagi

2 manusia. Mengatasi dampak eksploitasi sumber daya alam yang berkepanjangan tidak bisa dengan menghentikan kegiatan pertambangan secara menyeluruh, perlu adanya kebijakan yang mengatur hal ini sebagai tindakan dari pemerintah berwenang yang merupakan reaksi terhadap kebutuhan dan permasalahan masyarakat dan tertuang dalam seperangkat kebijakan. Salah satu kabupaten yang perekonomiannya ditopang oleh sektor pertambangan adalah Kabupaten Tulungagung. Pada Tahun 1960-an pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tulungagung tertinggal jauh jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Jawa Timur. Selanjutnya, pada Tahun 1980-an Kabupaten Tulungagung mampu membangkitkan sektor perekonomiannya dengan bertumpu pada sektor perdagangan dan pertambangan yang memiliki dampak pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Akan tetapi akibat adanya aktivitas pertambangan marmer khususnya di Desa Besole, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung sebagai sentra marmer di Provinsi Jawa Timur; maka mulai terjadi sejumlah bencana alam banjir ancar, banjir bandang, kekeringan, dan tanah longsor. Sejumlah upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tulungagung seperti membentuk tim penilai AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan pengarah UKL/ UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup/ Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup), melakukan pemantauan setiap enam bulan sekali, menetapkan sejumlah tuntutan kepada penambang untuk membuat kolam limbah dan melakukan pengerukan saluran air setiap dua tahun sekali dirasa masih bersifat parsial dan tidak mampu menyelesaikan sejumlah permasalahan yang ada. Hal ini diperparah dengan lemahnya komitmen para aktor pelaksana terutama pemerintah daerah dan penambang, serta kurangnya kepedulian masyarakat terhadap dampak pertambangan bagi lingkungan. Masyarakat kurang berkontribusi dalam setiap kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tata kelola dampak pertambangan. Hal ini mengakibatkan pengawasan lemah dan tidak tepat sasaran, sehingga sejumlah kebijakan tidak mampu terlaksana dengan baik. Dengan demikian, kebijakan untuk mengatasi dampak lingkungan akibat aktivitas penambangan marmer di Kabupaten Tulungagung belum mencapai pembangunan yang berkelanjutan karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap permasalahan sosial seperti keterlibatan masyarakat dalam sejumlah kebijakan. Hal ini dapat dianalisa dari sejumlah kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi dampak pertambangan masih bersifat parsial dan masih berorientasi pada penambang, sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dan menurunkan intensitas bencana alam di Kabupaten Tulungagung. Berdasarkan berbagai isu permasalahan lingkungan hidup yang menjadi pokok permasalahan di Kabupaten Tulungagung dan berdasarkan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Tulungagung Tahun 2017; maka isu terkait alih fungsi lahan menjadi area pertambangan adalah isu kedua yang menjadi isu permasalahan strategis setelah pencemaran air. Bahkan isu pencemaran air juga bermula dari permasalahan pertambangan marmer. Upaya untuk mengurusi aktivitas pertambangan marmer sudah dilakukan namun ternyata upaya tersebut belum memenuhi indikator-indikator sustainable development yang terdiri dari keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan keberlanjutan sosial-budaya (Djajadiningrat, 2005). Berdasarkan sejumlah permasalahan diatas dan sejumlah teori terdahulu, fokus dari penelitian ini adalah menganalisis sejumlah permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan akibat aktivitas pertambangan marmer di Kabupaten Tulungagung, dan merekomendsaikan sejumlah kebijakan yang tepat berdasarakan prinsip pembangunan berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hal ini karena aktivitas penambang jika terus diabaikan tanpa ada rekomendasi kebijakan yang tepat, akan menghambat tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. 2. Teori 2.1 Analisis Kebijakan Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan analis kebijakan akan meneliti sebab, akibat, kinerja kebijakan, dan program publik (Dunn, 2003:1). Selanjutnya dijelaskan Quade dalam Dunn (2003:95) bahwa analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan bagi para pembuat kebijakan untuk membuat keputusan. Dalam analisis kebijakan, kata analisis digunakan dalam pengertian yang paling umum, termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya kedalam sejumlah komponen-komponen tetapi juga perencanaan dan sintesis alternatif-alternatif baru. 2.2 Berkelanjutan Rozikin (2012:5) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bermula dari permasalahan lingkungan 313

3 yang diangkat Komisi Brundtland (Word Commision on Environmental and Development) mengenai pentingnya pembangunan yang memperhatikan faktor lingkungan. Emil Salim mengatakan bahwa saat ini, hampir semua negara mengimplementasikan pola pembangunan konvensional yang mengikuti satu garis linier paham ekonomi yang terfokus pada pertumbuhan output sebagai fungsi faktor produksi, yang terdiri atas sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, keterampilan dan teknologi (Aziz J, dkk., 2010:21-29). konvensional telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi gagal dalam aspek sosial dan lingkungan. Hal ini terjadi karena pembangunan konvensional meletakkan pembangunan ekonomi pada pusat persoalan pertumbuhan dan menempatkan faktor sosial dan lingkungan pada posisi yang kurang penting. Model pembangunan konvensional tidak dapat diterima lagi, karena menyebabkan ketimpangan yang lebih besar pada distribusi pendapatan antar negara maupun didalam negara. Kondisi ini menunjukkan perlunya model pembangunan berkelanjutan, yang dapat menghasilkan keberlanjutan dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan secara bersamaan dalam tiga jalur pertumbuhan yang terus bergerak maju. Tabel 1 Keterkaitan dalam Berkelanjutan Dari/ Ke Ekonomi Sosial Lingkungan Ekonomi Sosial Lingkungan Pengentasan Rakyat Miskin Dampak Terkait Dampak Terkait Sumber: Rozikin, 2012 Dampak Terkait Manusia Dampak Terkait Dampak Terkait Dampak Terkait Pelestarian Ekosistem Keterkaitan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dalam perspektif pembangunan berkelanjutan juga dapat dilihat berdasarkan gambar berikut: Paradigma Berwawasan Lingkungan Paradigma Sosial ekonomi sosial lingkungan Paradigma Berkelanjutan Paradigma Berpusatkan pada Rakyat Gambar 1 Diagram Hubungan Antar Paradigma Sumber: Hikmat, 2000 Terdapat tiga domain dalam pembangunan, yaitu domain ekonomi, domain sosial, dan domain ekologi (Hikmat, 2000:1). Himpunan bagian yang saling beririsan antara domain tersebut menghasilkan tiga paradigma pembangunan, yaitu (a) pembangunan sosial (sosial development); (b) pembangunan berwawasan lingkungan (environmental development); dan (c) pembangunan yang berpusatkan pada rakyat (people centered development). Integrasi antara ketiga bagian disebut paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). 2.3 Aktivitas Pertambangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; disebutkan dalam Pasal 1 angka (1) yang dimaksud dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan, dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang. Dalam Pasal 1 angka (29) yang dimaksud wilayah pertambangan yang selanjutnya disebut WP adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintah yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Pasal 1 angka (320) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, wilayah pertambangan rakyat yang disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan. 2.4 Dampak Penambangan Batu Marmer Batu marmer mempunyai kegunaan yang sangat strategis, namun keberadaan industri penambangan batu marmer menimbulkan dampak, baik positif dan negatif. Dampak positif merupakan pengaruh dari adanya penambangan batu bara terhadap hal-hal yang bersifat praktis (nyata) dan konstruktif (membangun). Dampak negatif penambangan batu marmer merupakan pengaruh yang kurang baik dari adanya industri penambangan batu marmer. Dampak negatif penambangan batu marmer di Indonesia menurut (Salim, 2012:221), antara lain adalah sebagian perusahaan pertambangan yang dituding tidak memerhatikan kelestarian lingkungan; penebangan hutan untuk kegiatan pertambangan; limbah kegiatan pertambangan yang mencemari lingkungan; areal bekas penambangan yang dibiarkan menganga; bencana alam yang membahayakan masyarakat sekitar; sengketa lahan pertambangan dengan masyarakat sekitar; kontribusi bagi masyarakat sekitar yang dirasakan masih kurang; hubungan dan keterlibatan pemerintah daerah dalam kegiatan pertambangan masih kurang; serta mengakibatkan kebisingan. 314

4 2.5 Hukum Lingkungan Undang-Undang Perlindungan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009; mengartikan pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Sedangkan untuk penyelenggaraanya berdasarkan Pasal 3 UUPLH Tahun 2009; bahwa dilaksanakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. 2.6 Penelitian Terdahulu Sumber Empiris penelitian-penelitian terdahulu yang dijadikan acuan dan informasi tambahan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: a) Ahmad H Mubarok & Udisubakti Ciptomulyono (2012) Penelitian ini menekankan pentingnya biaya kompensasi lingkungan oleh masyarakat dan penambang dalam aktivitas pertambangan marmer. b) Shahi Mulk et al., (2015) Penelitian ini menekankan pentingnya sterilisasi (perlakuan khusus) limbah marmer sebelum dibuang ke sungai. c) M. Rozikin (2012) Penelitian ini menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. d) Hesti Triana Sulistiari (2017) Penelitian ini menekankan pada dampak dari penambangan marmer yang tidak memiliki ijin (ilegal) membuat kontrol dan pengawasan tidak berjalan optimal, sehingga legalitas pertambangan marmer sangat diperlukan. e) Ganlin Huang & Saleem Ali (2015) Penelitian ini membandingkan tingkat pertumbuhan sosial ekonomi dimana kawasan pertambangan memiliki pertumbuhan ekonomi pesat tetapi tertinggal dalam pembangunan sosial dibandingkan dengan pariwisata. f) Jonathan E. Oghenekohwo et al., (2017) Penelitian ini menekankan pentingnya pendidikan keaksaraan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. g) Cinzia Capitano et al., (2017) Penelitian ini menekankan pentingnya pelaporan proses dan dampak aktifitas pertambangan marmer berbasis IPAT. h) Fabiana Perez & Luis E. Sanches (2009) Penelitian ini menekankan pentingnya evolusi pelaporan yang bersifat konvensional dan mencakup skala yang kurang luas atau lebih terfokus menjadi pelaporan yang komprehensif. i) Asih Widi Lestari & Firman Firdausi (2016) Penelitian ini menekankan pentingnya peran pemerintah dalam meregulasi perizinan, membuat kebijakan, dan mengkontrol investasi pihak-pihak swasta sangat berpengaruh dalam keberhasilan pembangunan berkelanjutan. j) Meika Dwi Nastiti Mulyaningsih (2016) Penelitian ini menekankan bahwa pembangunan lingkungan hidup yang hanya bersifat normatif tanpa memperhatikan aspek kemasyarakatan maka tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Penelitian-penelitian terdahulu diatas memiliki keterkaitan dengan tata kelola dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan marmer berbasis sustainable development. Akan tetapi penekanan dalam penelitian ini berbeda dengan jurnal-jurnal sebelumnya. yaitu pada aspek kebijakan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sejak Oktober 2016 menjadi kewenangan pemerintah provinsi yang dimaksudkan untuk membatasi jumlah kegiatan pertambangan, sehingga dapat menanggulangi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan ternyata belum mampu mensolusikan dampak aktivitas pertambangan terkhusus di Kabupaten Tulungagung karena tidak memenuhi komponen sustainable development goals. 3. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kritis. Analisis kritis merupakan sebuah perspektif yang dapat dianggap sebagai wacana nilai, konsep kritik yang lebih sentral. Dimana perspektif ini mencoba untuk memahami dan menafsirkan situasi/ permasalahan empirik yang bertujuan untuk membangun makna atau memutuskan kejadian apa, dan kemudian merespons konstruksi sosial yang terjadi. Selain itu analisis kritis lebih menekankan hubungan fakta dengan nilai, bukan nilai saja melainkan juga merekomendasikan proses partisipatif yang luas dimana orang didorong untuk mengeksplorasi pengalaman dan pandangan alternatif mereka (Popper, et al dalam White, 1994). Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Masalah sosial atau kemanusiaan pada umumnya dirasakan banyak orang, terjadi dilingkungan sosial atau masyarakat, dinilai tidak menyenangkan, menuntut perpecahan dari masalah yang terjadi dan harus diselesaikan secara kolektif. Terdapat pemahaman bahwa penelitian kualitatif berkontribusi terhadap kebijakan, 315

5 evaluasi, dan perbaikan formulasi, bahkan sampai pada analisis kebijakan, baik sendiri maupun dalam hubungannya dengan metode kuantitatif sehingga mencakup permasalahan yang komprehensif. Dalam penelitian ini, digunakan analisis diskursus, analisis yang menekankan transfer kesadaran kepada implementor, masyarakat, dan pembuat kebijakan dimana didalamnya terdapat beberapa tahapan. Pertama peneliti melakukan identifikasi pokok persoalan yang menghasilkan research problem. Dalam research problem peneliti berangkat dari literatur kepustakaan, data dilapangan, dan wawancara kasus yang muncul, sehingga mampu menghasilkan dan membangun asumsi pokok permasalahan yang terjadi. Kedua, setelah mampu mendeskripsikan research problem, akhirnya peneliti mampu menentukan dan mengklasifikasi fokus permasalahan, factor penghambat, faktor pendukung, serta tantangan kedepan. Ketiga, setelah melakukan analisis dan mengklasifikasikan fokus permasalahan, peneliti membuat rekomendasi kebijakan dan mendiskusikan dengan stakeholder. Aufklarung Analysis Deskripsi lmasalauekonomi, Analisis > identifikasi pendukung dan penghambat Rekomendasi Kebijakan Gambar 2 Model Aufklarung Analysis Sumber: Sarwono, 2018 (diolah) Dalam penelitian ini, ditetapkan sebagai lokasi penelitian adalah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tulungagung dengan instrumen penelitian wawancara, observasi, dan dokumentasi. Adapun jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalan getting in, getting along, dan logging the data. Selanjutnya, data yang terkumpul akan dianalisis dengan pola-pola crtical discourse (White, 1994), yang selanjutnya akan diuji dengan metode uji keabsahan data, Moleong (2000:173). 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Dinamika dalam kelompok masyarakat merupakan sebuah perubahan yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya mempengaruhi nilai-nilai sikap dan pola perilaku diantara kelompok masyarakat yang dilakukan secara terus menerus sehingga berdampak besar pada perubahan lingkungan hidup tempat dimana mereka tinggal. Perubahan ini tidak mungkin untuk dihindari karena semakin kompleksnya kebutuhan manusia maka perubahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan secara alami akan terjadi. Hanya saja sampai detik ini dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat perubahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang semakin kompleks ini masih menjadi permasalahan yang terus berupaya untuk disolusikan. 4.1 Bentuk Kebijakan Tata Kelola Dampak Lingkungan Akibat Aktivitas Penambangan Marmer Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tulungagung dalam menangani permasalah tata kelola dampak lingkungan akibat aktivitas penambangan marmer berpedoman pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; yang mengisyaratkan pentingnya pembangunan ekonomi nasional yang diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Selain itu, upaya tersebut juga berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai dasar dalam melaksanakan tugas membantu pemerintah provinsi dalam mengkontrol dan mengawasi aktivitas pertambangan marmer, serta mensolusikan permasalahan dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan marmer didaerah. Selanjutnya diturunkan di Kabupaten Tulungagung dalam bentuk Peraturan Bupati Tulungagung Nomor 22 Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan dan diimplementasikan dalam pembuatan dokumen AMDAL dan dokumen UKL/ UPL oleh para calon penambang marmer. Peraturan Bupati Tulungagung Nomor 22 Tahun 2014 inilah yang dijadikan dasar pemerintah Kabupaten Tulungagung dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pengelolaan lingkungan kawasan pertambangan marmer. Dalam implementasinya, Pemerintah Kabupaten Tulungagung secara khusus membentuk Tim Penilai AMDAL dan tim pengarah UKL/UPL berdasarkan Keputusan Bupati Tulungagung Nomor 660/613/111.2 Tahun 2017 tentang Tim Penilai AMDAL dan Tim Pengarah UKL/UPL yang disahkan pada tanggal 10 November 2017 untuk mempermudah kinerja dalam menanggulangi dan mencegah kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan marmer yang ditimbulkan. Akan tetapi, kebijakan yang dibentuk belum mampu menyelesaikan sejumlah permasalahan pertambangan dan dampak lingkungan seperti bencana alam terutama banjir dan kekeringan serta dampak sosial seperti adanya konflik kepentingan tidak mampu diselesaikan dan justru terus terulang setiap tahunnya. Hal ini karena kebijakan yang ada hanya sekedar formalitas saja dan masih bersifat parsial sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah secara komprehensif. Pemerintah Kabupaten Tulungagung juga belum memiliki program dan kegiatan pendamping untuk mensukseskan agenda pembangunan berkelanjutan. Kebijakan yang ada hanya menyoroti 316

6 secara khusus terhadap ijin pertambangan dan kurang memperhatikan kegiatan pasca tambang, keterlibatan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat. 4.2 Hubungan Antar Aktor Pelaksana Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi sebuah kebijakan dapat disebabkan oleh jumlah staff yang kurang mencukupi ataupun tidak berkompeten dalam bidangnya. Selanjutnya dijelaskan oleh Grindle dalam Agustino (2016:145), bahwa faktor lain yang mendukung proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para aktor pelaksana kebijakan. Selain adanya sumberdaya yang berkualitas dan memadai secara kuantitas, faktor penting lainnya yang mendukung keberhasilan sebuah kebijakan adalah adanya koordinasi dan kerjasama yang solid diantara para aktor pelaksana. Koordinasi dan kerjasama yang dilakukan antar stakeholder atau aktor pelaksana yang diprakarsai oleh DLH dan tergabung dalam tim penilai AMDAL dan pengarah UKL/ UPL belum bisa berjalan dengan baik. Dijelaskan bahwa buruknya koordinasi, kerjasama dan komunikasi antar aktor pelaksana disebabkan oleh petugas yang kurang berkompeten dan kurang berkomitmen, adanya gap dalam menjalankan aturan antara pemerintah pusat dan pemerintah desa karena adanya perbedaan kepentingan, serta adanya tumpang tindih wewenang dalam menyelesaikan permasalahan dampak aktivitas pertambangan menjadikan sejumlah permasalahan tidak mampu terselesaikan dengan baik. 4.1 Dampak dari Kebijakan Tata Kelola Dampak Lingkungan Akibat Aktivitas Penambangan Marmer Suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang mampu menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Menurut Dye dalam Dunn, (2003:110) dijelaskan bahwa dampak kebijakan dapat diartikan sebagai keseluruhan dari efek yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dalam kondisi kehidupan yang nyata. Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat dari adanya suatu aktivitas. Aktivitas tersebut bisa bersifat alamiah, kimia, fisik, maupun biologi serta dapat pula dilakukan oleh manusia berupa analisis dampak lingkungan pembangunan dan perencanaan suatu kebijakan. Secara khusus dampak kebijakan dapat dilihat dari aspek ekonomi terutama tingkat kemiskinan masyarakat setempat. Tabel 2 Garis Kemiskinan dan Penduduk Miskin di Kabupaten Tulungagung Tahun Tahun Garis Kemiskinan (Rupiah) Penduduk Miskin Jumlah Persentase (Jiwa) (%) , , ,57 Tahun Garis Kemiskinan (Rupiah) Penduduk Miskin Jumlah Persentase (Jiwa) (%) , ,04 Jumlah ,67 Sumber: BPS Kabupaten Tulungagung, 2018 Berdasarkan tabel 2 dapat dianalisis bahwa dampak kebijakan tata kelola dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan marmer secara ekonomi mampu mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat Kecamatan Besuki, akan tetapi belum memberikan dampak yang signifikan terhadap aspek sosial dan lingkungan di Kabupaten Tulungagung. Hal ini ditandai dengan setiap tahunnya intensitas bencana alam banjir ancar dan kekeringan terus meningkat tanpa ada penanganan yang strategis. Dengan demikian, tujuan dan sasaran yang diharapkan belum mampu terlaksana dengan sebaik mungkin, dimana masih perlu banyak perbaikan terkait upaya yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tulungagung. 4.2 Tantangan Kedepan Terkait Kebijakan Tata Kelola Dampak Lingkungan Akibat Aktivitas Penambangan Marmer Tantangan kedepan yang terjadi di Kabupaten Tulungagung yang berkaitan dengan tercapainya tujuan kebijakan tata kelola dampak lingkungan akibat aktivitas penambangan marmer adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian lingkungan. Selama ini kepedulian masyarakat terhadap lingkungan masih sangat kurang, mereka hanya peduli dengan memenuhi kebutuhan perut. Masyarakat setempat juga sudah secara turun temurun menggeluti pertambangan dan kerajinan marmer sehingga akan sulit untuk merubah kebiasaan dan matapencaharian penduduk setempat. Selain itu, yang menjadi tantangan lainnya terkait tata kelola dampak lingkungan akibat pertambangan marmer adalah tidak dapat terhindarkannya pengaruh eksogen dari kehidupan masyarakat seluruhnya. Pengaruh eksogen dipengaruhi oleh faktor kemajuan teknologi dan globalisasi. Dimana pengaruh dari teknologi, modernisasi, dan globalisasi berdampak kepada munculnya gaya hidup perilaku konsumtif berlebih dan memunculkan pola pikir, budaya, dan gaya hidup berlebihan yang salah yaitu ingin serba instan dengan hasil yang maksimal tanpa memikirkan dampak jangka panjang dari kerusakan yang ditimbulkan yang berdampak kepada degradasi lingkungan. 4.3 Rekomendasi Kebijakan Tata Kelola Dampak Lingkungan Akibat Aktivitas Penambangan Marmer Dampak pertambangan marmer di Kabupaten Tulungagung seperti banjir dan kekeringan terus terjadi setiap tahun. Menyikapi hal tersebut maka pemerintah 317

7 daerah sebaiknya menciptakan progam pendamping untuk memperkuat dan melengkapi regulasi yang ada agar kebijakan tidak hanya berfokus kepada perijinannya saja tapi juga pengawasan, pengelolaan, serta dampaknya kepada lingkungan dan masyarakat setempat. Perlu ada program baru dan kebijakan baru sebagai pendamping kebijakan yang ada yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan karakteristik lingkungan setempat, pemerintah juga harus memperluas kerjasama untuk memperkuat pengawasan serta melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap program dan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Program Desa Tangguh dirasa sesuai untuk melibatkan masyarakat dalam upaya penanganan dan pencegahan kerusakan lingkungan dengan melakukan kegiatan reboisasi dan pembangunan sejumlah tanggul serta daerah resapan air untuk mengatasi kekeringan di musim kemarau. Hal ini karena subyek dan obyek dari adanya program desa tangguh adalah masyarakat sehingga kegiatan yang ada disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, program desa tangguh dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Melalui program desa tangguh, masyarakat bisa dibina untuk melakukan kegiatan perkebunan yang cukup pontensial berdasarkan karakteristik tanah Desa Besole, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung, sehingga masyarakat memiliki alternatif mata pencaharian lainnya selain pertambangan marmer. Diharapkan dengan adanya program desa tangguh dapat menjadi pendamping kebijakan yang ada sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Tulungagung dapat terlaksana. 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan permasalahan yang ada maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: a) Pemerintah Kabupaten Tulungagung dalam melaksanakan kebijakan tata kelola dampak lingkungan akibat aktivitas penambangan marmer berpedoman pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; yang selanjutnya diturunkan dalam bentuk Peraturan Bupati Kabupaten Tulungagung Nomor 22 Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan. Keseluruhan peraturan tersebut diimplementasikan dalam sejumlah kegiatan seperti pendampingan pembuatan dokumen perencanaan, pemantauan langsung ke lokasi tambang setiap enam bulan sekali dan menetapkan sejumlah tuntutan kepada penambang untuk membangun fasilitas untuk menanggulangi dampak penambangan marmer. Namun, sayangnya, kebijakan yang dibentuk belum dapat dijadikan pondasi yang kuat untuk menyelesaikan sejumlah permasalahan yang ada karena pemerintah daerah belum membuat program pendamping atau kebijakan khusus untuk menyempurnakan dan melengkapi pelaksanaan kebijakan tersebut di daerah. Hal ini diperparah dengan kurangnya komitmen pelaksana ditingkat daerah. b) Implementasi kebijakan juga belum memperoleh hasil yang maksimal karena kurangnya peran masyarakat dalam implementasi kebijakan yang ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan yang ada, dirasa belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak berpengaruh terhadap pengurangan kejadian bencana alam setempat sehingga kebijakan yang dibuat dirasa masih belum sesuai untuk mengatasi permasalahan yang ada. c) Kerjasama dan koordinasi yang dilakukan antar stakeholder yang dinaungi oleh DLH belum mampu berjalan dengan baik. Dijelaskan bahwa buruknya koordinasi dan kerjasama antar aktor disebabkan oleh adanya kebijakan desa yang gap dengan kebijakan dari kabupaten/ provinsi, petugas yang kurang berkompeten dan kurang berkomitmen karena bergerak hanya ketika ada teguran, dan adanya tumpang tindih wewenang dalam mengurusi lahan area tambang. Dimana hal ini akan berdampak pada proses penanganan dan pencegahan dampak negatif dari aktivitas pertambangan yang belum maksimal. d) Kebijakan tata kelola dampak lingkungan akibat aktivitas penambangan marmer yang diimplementasikan selama ini di Kabupaten Tulungagung secara ekonomi mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan, akan tetapi dampak ekonomi yang ditimbukan tidak mampu mengatasi intensitas kejadian bencana alam dan penyelesaian permasalahan sosial kemasyarakatan. Hal ini ditandai dengan terus terjadinya bencana alam banjir dan kekeringan dan masih lemahnya kesadaran penduduk terhadap pentingnya lingkungan. e) Tantangan untuk mengatasi dampak aktivitas penambangan marmer yang akan dihadapi adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keberlangsungan lingkungan, aktivitas penambangan yang tidak dapat dihentikan karena berkaitan dengan sumber mata pencaharian masyarakat yang sudah secara turun temurun bekerja di bidang marmer, dan meningkatnya pola fikir konsumtif yang sehingga muncul tuntutan untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Pola perilaku konsumtif masyarakat ini tidak diimbangi dengan meningkatnya kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan karena adanya beragam kepentingan. 318

8 Daftar Pustaka Agustino, Leo. (2012). Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta, Bandung. Aziz, Iwan J dkk. (2010). Berkelanjutan Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta: PT. Gramedia. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tulungagung. (2018). Garis Kemiskinan dan Penduduk Miskin di Kabupaten Tulungagung Tahun Tulungagung: BPS Kabupaten Tulungagung. Capitano, Cinzia et al., (2017). Toward a Holistic Environmental Impact Assessment of Marble Quarrying and Processing: Proposal of a Novel Easy to Use IPAT Based Method. Environmental Monitoring and Assessment, Vol. 189(3), pp Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tulungagung. (2016). Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Tulungagung Tahun Tulungagung: DLH Kabupaten Tulungagung. Djajadiningrat, S.T. (2005). Menuju Sustainable Future, Sustainable Future: Menggagas Warisan Peradaban Bagi Anak Cucu Seputar Wacana Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat. Jakarta: ICSD. Dunn, William N. (2003). Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hikmat, Harry. (2000). Analisis Dampak Lingkungan Sosial: Strategi Menuju Berpusat Pada Rakyat (People Centered Development). Tesis, Pascasarjana Manajemen Sosial Universitas Indonesia, Jakarta. Huang, Ganlin., & Ali, Saleem. (2015). Local Sustainability and Gender Ratio: Evaluating the Impacts of Mining and Tourism on Sustainable Development in Yunnan, China. International Journal of Environmental Research and Public Health, Vol. 12, No.1, pp Keputusan Bupati Tulungagung Nomor 660/613/111.2 Tahun 2017 tentang tim Penilai AMDAL dan Tim Pengarah UKL/UPL. Lestari, Asih Widi., & Firdausi, Firman. (2016). Peran Pemerintah Kota Batu dalam Implementasi Kebijakan Pariwisata Berdasarkan Paradigma Berkelanjutan (Sustainable Development). Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 30, No.3, pp Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mubarok, Ahmad. H., & Ciptomulyono, U. (2012). Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan Tambang Marmer di Kabupaten Tulungagung dengan Pendekatan Willingness to Pay dan Fuzzy MCDM. Jurnal Teknik ITS, Vol. 1, No.1, pp.d-119-d-121. Mulk, Shahi., Azizullah., Korai, Abdul Latif., & Muhammad Nasir Khan Khattak. (2015). Impact of Marble Industry Effluents on Water and Sediment Quality of Barandu River in Buner District, Pakistan. Environmental Monitoring and Assessment, Vol. 187, No. 2, pp Mulyaningsih, Meika D.N. (2016). Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kabupaten Kediri dengan Pendekatan Sistem. Tesis, Magister FIA-UB, Malang. Oghenekohwo, Jonathan E., & Ekima A. Frank-Oputu. (2017). Literacy Education and Sustainable Development in Developing Societies. International Journal of Education & Literacy Studies, Vol. 5, No. 2, pp Peraturan Bupati Tulungagung Nomor 22 Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan. Perez, Fabiana., & Sanchez. E Luiz. (2009). Assessing the Evolution of Sustainability Reporting in the Mining. Sector. Environmental Management, Vol. 43, No. 6, pp Rozikin, M. (2012). Analisis Pelaksanaan Berkelanjutan di Kota Batu. Jurnal Review Politik, Vol. 2, No. 2, pp Salim, H. (2012). Hukum Pertambangan di Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sarwono. (2018). Metode Aufklarung Analysis. Malang: UB Press. Sulistiani, Hesti.T. (2017). Penambangan Batu Marmer di Desa Banjar, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek (Tinjauan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Fiqh Lingkungan). Skripsi, Jurusan Hukum Bisnis Syariah, Fakultas Syariah, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengalolaan Lingkungan Hidup. White, Lousie G. (1994). Policy Analysis as Discourse. Journal of Policy Analysis and Management, Vol. 13, No. 3, pp

Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung

Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung ISSN : 205-421 Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung Randy Maulana Institut Teknologi Bandung E-mail : maulana.randy@fe.unpad.ac.id Abstrak. Ekonomi hijau menunjukan hubungan antara degradasi lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekarang tanpa harus merugikan generasi yang akan datang. longsor dan banjir. Namun kekurangan air juga dapat menimbulkan masalah

BAB I PENDAHULUAN. sekarang tanpa harus merugikan generasi yang akan datang. longsor dan banjir. Namun kekurangan air juga dapat menimbulkan masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber daya air harus dilindungi

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pertambangan rakyat di Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengusahaan mineral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT

BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAUR, Menimbang : a. bahwa Kabupaten Kaur

Lebih terperinci

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung Ardhana Januar Mahardhani Mahasiswa Magister Kebijakan Publik, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya Abstract Implementasi

Lebih terperinci

Baharuddin Nurkin, Ph.D Lahir : 24 Febr. 1946, Bantaeng Pendidikan formal: M.Sc (Washington State Univ. USA, 1983); Ph.D (University of Idaho, USA, 19

Baharuddin Nurkin, Ph.D Lahir : 24 Febr. 1946, Bantaeng Pendidikan formal: M.Sc (Washington State Univ. USA, 1983); Ph.D (University of Idaho, USA, 19 PENGERTIAN, PROSES & MANFAAT AMDAL Oleh : Baharuddin Nurkin -Dawn- Baharuddin Nurkin, Ph.D Lahir : 24 Febr. 1946, Bantaeng Pendidikan formal: M.Sc (Washington State Univ. USA, 1983); Ph.D (University of

Lebih terperinci

NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG

NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG /).' PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Meng ingat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP Ikhtisar Eksekutif Pembangunan sistem administrasi modern yang andal, professional, partisipatif serta tanggap terhadap aspirasi masyarakat, merupakan kunci sukses menuju manajemen pemerintahan dan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara `1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang kaya akan sumber daya alam (natural resources). Sumber daya alam itu ada yang dapat diperbaharui (renewable),

Lebih terperinci

n.a n.a

n.a n.a 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan suatu bangsa memerlukan aspek pokok yang disebut dengan sumberdaya (resources) baik sumberdaya alam atau natural resources maupun sumberdaya manusia atau

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG SINKRONISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN DENGAN KEGIATAN USAHA SEKTOR LAIN

Lebih terperinci

MODUL 1 MASALAH PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP

MODUL 1 MASALAH PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP MODUL 1 MASALAH PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP Kegiatan pembangunan pada dasarnya adalah proses perubahan dan pertumbuhan yang secara cepat atau secara bertahap dan berangsur-angsur dan merubah rona,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH 1 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DAFTAR ISI BAB I KETENTUAN UMUM... 2 BAB II LANDASAN PENGELOLAAN AIR TANAH... 3 Bagian Kesatu Umum... 3 Bagian Kedua Kebijakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR

PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR Oleh: FIERDA FINANCYANA L2D 001 419 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, baik berupa minyak dan gas bumi, tembaga, emas dan lain-lain. Kekayaan alam Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN KEBIJAKAN Dalam rangka mewujudkan visi dan melaksanakan misi pembangunan daerah Kabupaten Ngawi 2010 2015, Pemerintah Kabupaten Ngawi menetapkan strategi yang merupakan upaya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAUN. dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULAUN. dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULAUN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik, hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah, yang kemudian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah, yang kemudian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah, yang kemudian dimanfaatkan oleh banyak perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari hasil tambang batubara. Keberadaan

Lebih terperinci

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG,

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa air tanah mempunyai peran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tidak mungkin dihindari oleh setiap negara.dewasa. penduduk dan kepentingan untuk mensejahterakan rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tidak mungkin dihindari oleh setiap negara.dewasa. penduduk dan kepentingan untuk mensejahterakan rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Seiring dengan kemajuan tehnologi dan globalisasi, pembangunan merupakan hal yang tidak mungkin dihindari oleh setiap negara.dewasa ini pemerintah sedang giat

Lebih terperinci

Bab II Perencanaan Kinerja

Bab II Perencanaan Kinerja Bab II Perencanaan Kinerja 2.1. Visi Misi Daerah Dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Gorontalo seperti tercantum dalam RPJMD Provinsi Gorontalo tahun 2012-2017 adalah Terwujudnya Percepatan Pembangunan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH 30 Juni 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI UTARA, Menimbang : a. bahwa pengaturan pengelolaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

TANTANGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH

TANTANGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH JRL Vol. 4 No.1 Hal 47-51 Jakarta, Januari 2008 ISSN : 2085-3866 TANTANGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH Lestario Widodo Pusat Teknologi Lingkungan, BPPT BPPT Gedung 2,Jl MH Thamrin No

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cipta. hlm Salim HS Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia. Bandung: Pustaka Reka

BAB I PENDAHULUAN. Cipta. hlm Salim HS Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia. Bandung: Pustaka Reka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, baik sumber daya alam yang dapat di perbaharui maupun yang tidak dapat di perbaharui. Potensi yang sangat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA G U B E R N U R NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya Undang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DI INDONESIA. pemanfaatan sumber daya alam tambang (bahan galian) yang terdapat dalam bumi

BAB II PENGATURAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DI INDONESIA. pemanfaatan sumber daya alam tambang (bahan galian) yang terdapat dalam bumi BAB II PENGATURAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DI INDONESIA A. Pengertian Kegiatan Usaha Pertambangan Usaha pertambangan merupakan kegiatan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tambang

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. barang dan jasa, pemakaian sumber-sumber energi, dan sumber daya alam.

BAB I PENDAHULUAN. barang dan jasa, pemakaian sumber-sumber energi, dan sumber daya alam. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan industri pada sektor usaha bidang agroindustri adalah suatu upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara dan bila ditinjau dari segi pola kehidupan

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI BENTUK-BENTUK INVESTASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH SEKTOR INDUSTRI

IDENTIFIKASI BENTUK-BENTUK INVESTASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH SEKTOR INDUSTRI IDENTIFIKASI BENTUK-BENTUK INVESTASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH SEKTOR INDUSTRI (Studi Kasus: PT Coca Cola Bottling Indonesia Divisi Jawa Tengah, PT. Leo Agung Raya, PT Djarum Kudus, dan Sentra Industri

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT MINERAL LOGAM, MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DI KABUPATEN BURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

Payung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan

Payung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan Pewarta-Indonesia, MESKI istilah undang-undang pokok tidak dikenal lagi dalam sistem dan kedudukan peraturan perundang-undangan sekarang ini, namun keberadaan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam beserta lingkungan merupakan suatu kesatuan sistem ekologis atau ekosistem yang mempunyai manfaat langsung dan tak langsung bagi manusia. Dalam ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Mengingat : a. bahwa mineral dan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa

BAB I PENGANTAR. ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertambangan 1 merupakan industri yang dapat memberikan manfaat ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa mineral 2 dan batubara 3 mampu memberikan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN 2 Desember 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Nomor 1 Seri E

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanggung jawabannya di akhirat kelak. memperoleh dan memanfaatkan sumber daya yang memiliki nilai ekonomis

BAB I PENDAHULUAN. pertanggung jawabannya di akhirat kelak. memperoleh dan memanfaatkan sumber daya yang memiliki nilai ekonomis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aktivitas dan perilaku ekonomi tidak lepas dari karakteristik manusianya. Pola perilaku, bentuk aktivitas dan pola kecendrungan terkait dengan pemahaman manusia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA No. 4959 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 5 2013 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara 4 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN SSK. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN SSK. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kondisi umum sanitasi di Indonesia sampai dengan saat ini masih jauh dari kondisi faktual yang diharapkan untuk mampu mengakomodir kebutuhan dasar bagi masyarakat

Lebih terperinci

BUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI KULON PROGO,

BUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI KULON PROGO, BUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI KULON PROGO, Menimbang : a. bahwa pengaturan Air Tanah dimaksudkan untuk memelihara kelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Program dan kegiatan Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan, meningkatkan produktifitas dan meningkatkan

Lebih terperinci

Pemerintah Indonesia GGGI Program Green Growth

Pemerintah Indonesia GGGI Program Green Growth Pemerintah Indonesia GGGI Program Green Growth Memprioritaskan Investasi: Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Oktober 2013 Kata Sambutan Dr Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, M.A Wakil Menteri Kementerian Perencanaan

Lebih terperinci

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah;

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah; LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 3 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. b. WALIKOTA SALATIGA, bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, bijih besi, dan

BAB I PENDAHULUAN. meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, bijih besi, dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat besar, salah satunya adalah bahan galian tambang. Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

REVIEW-INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA PRABUMULIH TAHUN

REVIEW-INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA PRABUMULIH TAHUN REVIEW-INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA PRABUMULIH TAHUN 2013-2018 PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH 2017 INDIKATOR KINERJA UTAMA BADAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA PRABUMULIH TAHUN 2015-2018

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era desentralisasi saat ini, pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. Pada era desentralisasi saat ini, pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era desentralisasi saat ini, pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam memberikan dampak yang

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melimpah. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melimpah. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia adalah sumber daya mineralnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan dengan fungsi lindung yaitu hutan sebagai satu kesatuan

Lebih terperinci

BUPATI PURWAKARTA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

BUPATI PURWAKARTA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN BUPATI PURWAKARTA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWAKARTA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, 1 BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa pengaturan Air Tanah dimaksudkan

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT DI LINGKUNGAN KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

BUPATI SERUYAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 13 TAHUN 2010 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

BUPATI SERUYAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 13 TAHUN 2010 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI BUPATI SERUYAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 13 TAHUN 2010 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, Menimbang : a. bahwa Minyak

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi ekologi dan sosial yang tinggi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa air tanah mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional yang dinilai berhasil pada hakikatnya adalah yang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan energi yang semakin meningkat dan kenaikan harga minyak yang melonjak pesat dari tahun ke tahun mengakibatkan minyak sangatlah berharga, sehingga sumur-sumur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah tandus, akan tetapi pada kenyataannya Kabupaten Gunungkidul

BAB I PENDAHULUAN. daerah tandus, akan tetapi pada kenyataannya Kabupaten Gunungkidul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Gunungkidul selalu identik dengan kekeringan dan daerah tandus, akan tetapi pada kenyataannya Kabupaten Gunungkidul mempunyai berbagai sumberdaya yang

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan masyarakat merupakan tanggungjawab semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha (swasta dan koperasi), serta masyarakat. Pemerintah dalam hal ini mencakup pemerintah

Lebih terperinci