BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang termasuk Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan famili Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, terutama Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus. Penyakit DBD dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Kemenkes RI, 2014). Menurut WHO antara tahun DBD terdeteksi di wilayah Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Afrika Selatan, Afrika Utara, Mediterania Timur, Australia dan pada beberapa pulau di Samudra India, Pasifik Selatan dan Tengah serta Karibia (WHO,1999). Tetapi sekarang daerah endemik DBD banyak terdapat di Asia (Thailand, Filipina, Kamboja, Malaysia, Singapura, Cina), karena musim epidemik terjadi di saat musim hujan yang hampir setiap tahun terjadi. Epidemik artinya keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya penyakit) yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat berada dalam frekuensi (jumlah) yang meningkat (Soegijanto, 2006). Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 45 tahun terakhir ini sejak tahun 1968 sampai saat ini dan telah menyebar di 33 provinsi dan di 436 kabupaten/kota dari 497 kabupaten/kota (88%) (Kemenkes RI, 2014). Kematian akibat DBD dikategorikan tinggi jika case fatility rate (CFR) >2%. Dengan demikian pada tahun 2014 terdapat 5 provinsi yang memiliki CFR tinggi yaitu Provinsi Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Gorontalo, dan Maluku. Pada provinsi tersebut masih perlu diupayakan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kesehatan di rumah sakit dan puskesmas (dokter, perawat dan lain-lain) termasuk peningkatan sarana-sarana penunjang diagnostik dan penatalaksanaan bagi penderita di sarana-sarana pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2014). 1

2 2 Provinsi Gorontalo saat ini sudah dalam kondisi waspada penyakit menular DBD. Kasus DBD sudah dinyatakan dalam Kondisi Luar Biasa (KLB). Selama Januari-Desember 2014 tercatat sebanyak 269 kasus penderita penyakit DBD di Provinsi Gorontalo, dengan 13 diantaranya meninggal dunia akibat penyakit DBD (Dinkes Prov. Gorontalo, 2015). Dari 5 kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, Kabupaten Gorontalo yang mengalami peningkatan cukup signifikan, terkhusus Kecamatan Limboto sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Gorontalo. Peningkatan itu dari aspek ekonomi, sosial budaya, pertanian, dan perindustrian serta mobilitas penduduknya sangat tinggi. Kondisi tersebut berdampak terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, seperti perubahan lingkungan pemukiman yang mendukung perkembangan vektor penyakit serta penurunan derajat kesehatan penduduk. Salah satu perkembangan vektor penyakit yang cukup tinggi adalah DBD. Hal ini dibuktikan dengan fluktuatifnya jumlah kasus DBD dari tahun ke tahun di Kabupaten Gorontalo yang masih tergolong cukup tinggi (Dinkes Kab. Gorontalo, 2015). Penyakit DBD di Kabupaten Gorontalo sudah menjadi penyakit endemis setiap tahun dan dilaporkan terdapat penderita yang meninggal. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo, kejadian penyakit DBD selama lima tahun terakhir dapat diuraikan sebagai berikut; tahun 2010 terdapat 167 kasus 3 orang diantaranya meninggal, tahun 2011 terdapat 4 kasus dengan jumlah kematian 1 orang, tahun 2012 terdapat 71 kasus 2 orang diantaranya meninggal, tahun 2013 terdapat 122 kasus 1 orang diantaranya meninggal, tahun 2014 terdapat 110 kasus 6 orang diantaranya meninggal dan pada tahun 2015 terdapat 140 kasus 8 orang diantaranya meninggal (Dinkes Kab. Gorontalo, 2015).. Kecamatan Limboto merupakan kecamatan tertinggi untuk kasus DBD yakni terdapat 107 kasus pada tahun 2010, 1 kasus pada tahun 2011, 35 kasus pada tahun 2012, 49 kasus pada tahun 2013, 34 kasus pada tahun 2014, dan 40 kasus pada tahun 2015 serta di Kecamatan Limboto ini terdapat di 8 desa endemis yakni Desa Bolihuangga, Bongohulawa, Hepuhulawa, Hunggaluwa, Hutuo, Kayu Merah, Kayu Bulan dan Tenilo. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Dinas

3 3 Kesehatan Kabupaten Gorontalo dalam mengatasi penyakit DBD, namun kasus DBD masih saja tetap tinggi dan sulit untuk dikendalikan (Dinkes Kab. Gorontalo 2015). Menurut Rosli et al. (2010), analisis spasial digunakan untuk mendeteksi dan mengukur pola kejadian penyakit yang dapat memberikan wawasan epidemiologi penyakit. Dalam analisis spasial terdapat tiga langkah yang dilakukan yaitu menentukan autokorelasi spasial yang terjadi dalam ruang unit, menentukan pola kejadian penyakit, dan membuat pemetaan penyakit. Gambaran sebaran kasus penyakit DBD diharapkan dapat menambah informasi untuk mengidentifikasi daerah yang mempunyai resiko tinggi kasus DBD (Wen et al. 2010). Menurut Achmadi (2010) mengenai kemungkinan penyakit DBD dapat dieliminasi, bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit DBD yaitu meningkatnya kepadatan dan mobilitas penduduk, tersebar luasnya nyamuk penular DBD, dan tersebar luasnya virus dengue di Indonesia. Beberapa variabel iklim dapat mempengaruhi transmisi penyakit. Namun, terdapat empat variabel utama yang dianggap paling signifikan dalam mempengaruhi penyakit dengan lingkungannya. Keempat variabel tersebut adalah suhu, curah hujan, kelembaban dan angin. Beberapa penelitian menunjukan bahwa ada korelasi positif antara variabel cuaca terhadap distribusi dan populasi vektor serta peningkatan kasus DBD. Populasi dan ovoposisi nyamuk Aedes aegypti di Machala, Ekuador dipengaruhi curah hujan dan suhu udara minimum (Ibarra et al., 2013). Suhu, kelembaban, dan curah hujan positif berhubungan dengan insiden demam berdarah di Guangzhou, Cina, sedangkan kecepatan angin berbanding terbalik dengan tingkat penyakit (Lu et.al, 2009; Li et al., 2011). Penelitian di Taiwan melaporkan bahwa kejadian topan menjadi faktor penting yang mempengaruhi populasi vektor dan kejadian demam berdarah. Topan mengakibatkan curah hujan ekstrim, kelembaban tinggi, dan genangan air, dan dapat menghasilkan sarang nyamuk baru (Hsieh dan Chen, 2009). Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan DBD dengan program 3 M plus

4 4 yaitu kegiatan (menguras tempat penampungan air secara teratur, menutup tempattempat penampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk) diperluas dengan mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali, memperbaiki talang air yang tidak lancar, menutup lubang pada potongan bambu/pohon, menaburkan bubuk larvasida, memasang kawat kassa, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruangan. Diperluas dengan upaya mengurangi kontak manusia dengan serangga vektor dengan penggunaan kelambu pada saat tidur siang, memakai obat anti nyamuk, dan menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam ruangan rumah (Siregar, 2004) Berdasarkan latar belakang di atas dalam upaya pencegahan persebaran penyakit DBD perlu adanya suatu sistem informasi yang cepat dan tepat. Salah satu sistem informasi tersebut adalah Sistem Informasi Geografis (SIG) yang berkaitan dengan penyakit DBD dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. SIG dapat membantu dalam melihat gambaran distribusi spasial dari DBD di suatu daerah. Kabupaten Gorontalo belum pernah dilakukan penelitian SIG terkait distribusi spasial kejadian penyakit DBD. Dengan melakukan gambaran distribusi spasial kejadian DBD tersebut, nantinya akan dijadikan informasi yang berguna untuk mengetahui persebaran secara spasial kasus penyakit DBD di Kabupaten Gorontalo. Sampai saat ini belum diketahui pola spasial yang terinci mengenai kasus DBD di Kabupaten Gorontalo khususnya Kecamatan Limboto sehingga penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis spasial kejadian DBD ditinjau dari faktor lingkungan fisik dan lingkungan sosial. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini disusun berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas sebagai berikut:

5 5 1. Bagaimana pola hubungan variabel lingkungan fisik (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, ketinggian tempat dan kepadatan penduduk) terhadap kejadian DBD di Kabupaten Gorontalo tahun ? 2. Apakah faktor lingkungan sosial (kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, penggunaan obat anti nyamuk, dan pengolahan sampah rumah tangga) berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran distribusi spasial kejadian DBD dan menganalisa pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian DBD di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi faktor lingkungan fisik (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, ketinggian tempat dan kepadatan penduduk) dengan kejadian DBD di Kabupaten Gorontalo Tahun b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi dan pola fluktuasi kejadian DBD frekuensi menurut bulan dan tahun di Kabupaten Gorontalo tahun c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi faktor lingkungan sosial (kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, penggunaan obat anti nyamuk, dan pengolahan sampah rumah tangga) dengan kejadian DBD di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo tahun d. Untuk mengetahui pola hubungan secara statistik, grafik/time-trend dan spasial antara variabel lingkungan fisik (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin) dengan kejadian DBD di Kabupaten Gorontalo tahun

6 6 e. Untuk mengetahui pengaruh variabel lingkungan fisik (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin) terhadap kejadian DBD di Kabupaten Gorontalo Tahun D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Manfaat penelitian ini bagi peneliti yakni dapat memperluas ilmu dan menambah pengalaman tentang cara menganalisis spasial dan fakor lingkungan yang mempengaruhi kejadian DBD. 2. Bagi Instansi Kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengelola program pengendalian penyakit DBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo khususnya puskesmas dan pemerintah daerah dalam merencanakan strategi kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit DBD, agar upaya tersebut efektif dan bermanfaat untuk penurunan angka kejadian DBD. 3. Bagi Akademik Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pemikiran dan pertimbangan untuk perkembangan penelitian di masa depan bagi penelitian lain mengenai pemberantasan dan pencegahan penyakit DBD.

7 7 E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian Penelitian No Nama Judul Persamaan Perbedaan 1 Duczmal et al. (2011) 2 Prasetyo, A. (2012) 3 Saktiansyah, L.D.A. (2014) 4 Putri, N.W. (2015) Voronoi distance based prospective space-time scans for point data sets: a dengue fever cluster analysis in a Southeast Brazilian town Analisis spasial penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Magetan Kab. Magetan. Analisis spasial dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Wates Kec. Wates Kab. Kulon Progo. Analisis faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian DBD dan status kerentanan larva nyamuk Ae. Agepty di Kec. Lubuk Basung Kab. Agam. Menggunakan analisis spasial Desain penelitian menggunakan crossectional, serta variabel curah hujan, suhu udara, ABJ, dan maya indeks Desain penelitian menggunakan crossectional. Menggunakan variabel terikat yang sama yakni kejadian DBD dan melakukan pengelompokan kasus (cluster) DBD Tidak menggunakan desain penelitian crossectional. Variabel penelitiaan serta lokasi yang Tidak ditelitinya variabel tentang kelembaban udara, lingkungan sosial masyarakat. Lokasi yang Tidak ditelitinya variabel tentang faktor klimatologis, faktor lingkungan sosial (Kegiatan PSN, Penggunaan obat anti nyamuk dan pengolahan sampah rumah tangga) Lokasi yang Desain Penelitian Variabel bebas penelitian Lokasi

8 8 5 Daswito, R. (2015) 6 Marna, E. (2015) Analisis spasialtemporal kejadian DBD dengan Variabel Cuaca di Kota Yogyakarta Tahun Analisis spasial indikator entomologi DBD daerah endemis dan non endemis di Kec. Koto Besar Kab. Dharmasyara Prov. Sumatra Barat Menggunakan analissis spasial, variabel klimatologis dan variabel terikat yang sama. Menggunakan analisis spasial dan variabel entomologis. Desain Penelitian yang Tidak ditelitinya variabel tentang faktor ketinggian tempat, kepadatan penduduk, faktor lingkungan sosial. Lokasi penelitian yang Desain penelitian yang Tidak ditelitinya faktor lingkungan fisik, dan faktor lingkungan sosial. Lokasi penelitian yang.