BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja atau masa adolesensi adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa anak kemasa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dan berlangsung pada dekade kedua masa kehidupan (Moersintowarti, 2002). Pada saat itu mereka tidak hanya tumbuh menjadi lebih tinggi dan lebih besar, tetapi juga terjadi perubahan-perubahan di dalam tubuh yang memungkinkan untuk bereproduksi. Masa inilah yang disebut dengan masa pubertas (Atikah, 2009). Data demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berusia 10-19 tahun. Jumlah remaja di Indonesia mencapai 36 juta jiwa dan 55% nya adalah remaja putri. Menurut data Susenas BPS Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 jumlah remaja putri usia 10-19 tahun di Jawa Tengah ± sejumlah 2.916.399 juta jiwa (Biro Pusat Statistik, 2006). Permasalahan remaja yang ada saat ini sangat kompleks dan mengkhawatirkan. Berbagai data menunjukkan bahwa penerapan pemenuhan reproduksi bagi remaja belum sepenuhnya mereka dapatkan antara lain dalam hal pemberian informasi. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi yaitu tentang masa subur
(BKKBN, 2008). Pengetahuan dan sikap kesehatan reproduksi remaja memang dinilai masih rendah, kurangnya pengetahuan tentang biologi dasar pada remaja mencerminkan kurangnya pengetahuan tentang resiko yang berhubungan dengan tubuh mereka dan cara menghindarinya (Pinem, 2009). Pada masa remaja khususnya remaja putri akan mengalami perubahan fisik yang pesat, sebagai pertanda biologis dari kematangan seksual. Perubahan ini terjadi pada satu masa disebut masa pubertas, yang merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa reproduksi (Wiknjosastro, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Pelayanan Kesehatan Ramah Remaja (PKRR) dibawah naungan WHO tahun 2005 menyebutkan bahwa permasalahan remaja putri di Indonesia adalah seputar permasalahan mengenai gangguan menstruasi (38,45%), masalah gizi yang berhubungan dengan anemia (20,3%), gangguan belajar (19,7%), gangguan psikologis (0,7%), serta masalah kegemu kan (0,5%) (Setiasih, 2007). Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada remaja putri adalah tentang menstruasi yang pertama kali, biasanya umur 10-16 tahun. Saat menstruasi datang pertama kali tersebut dinamakan dengan Menarche. Banyak wanita mengalami ketidaknyamanan fisik selama beberapa hari sebelum menstruasi datang. Kira-kira setengah hari dari seluruh wanita menderita akibat dismenore atau menstruasi yang menyakitkan. Hal ini khususnya sering terjadi awal-awal masa dewasa. Dalam bentuk yang paling berat, sering melibatkan
depresi dan kemarahan, kondisi ini dikenal sebagai gejala datang bulan atau PMS (Yudi, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Corney dan Stanton (1991) yang disitasi oleh Lu (2000) mengat akan ada perbedaan tingkat prevalensi antara negara barat dengan negara Asia, seperti Indonesia kejadian PMS sangat rendah antara 23-24% sedangkan negara Barat seperti Inggris dan Yugoslavia lebih tinggi tingkat prevalensinya yaitu 71-73%. Dilaporkan dari negara-negara Barat, gejala-gejala perubahan emosional telah dialami oleh 88% wanita, sementara gejala fisik ada 69%. Berdasarkan penelitian di Indonesia prevalensi PMS pada siswi SMA di Surabaya adalah 39,2% mengalami gejala berat dan 60,8% mengalami gejala ringan (Christiany, 2006). Sekitar 80 % sampai 95% perempuan antara 16 sampai 45 tahun mengalami gejala gejala PMS yang dapat menganggu (Wijaya 2008). Ada banyak faktor yang diduga menjadi penyebab timbulnya PMS. Salah satu faktor penyebab PMS yaitu kadar hormon progesteron yang rendah, kadar hormon estrogen yang berlebihan, perubahan ratio kadar hormon esterogen/progesteron, dan peningkatan aktivitas hormon aldosteron, reninangiotensin serta hormon adrenal (Agustina, 2010). Penelitian deskriptif tentang tingkat pengetahuan remaja putri pernah dilakukan di SMU 35 Jakarta Pusat kelas II pada tahun 2004, di dapatkan bahwa 61,2 % tingkat pengetahuan responden terhadap PMS masih rendah (Dinar, 2004). Perlu dilakukan pendidikan kesehatan yang berupa penyuluhan
dengan memberikan informasi kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan sekelompok masyarakat, dalam penelitian ini khususnya pada remaja putri. Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau individu. Dengan adanya pesan tersebut maka diharapkan masyarakat, kelompok, atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik (Notoatmodjo, 2003). Pendidikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Upaya pemberian informasi melalui penyuluhan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan masyarakat (Notoatmodjo,2007). SMA 1 Bae yang mempunyai letak kurang strategis yaitu di jalan pantura, sehingga akses informasi yang sulit masuk menjadikan rendahnya pengetahuan para siswa tentang PMS. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di SMA 1 Bae kudus pada 10 siswi melalui wawancara dengan 10 pertanyaan, didapatkan hasil bahwa 7 dari 10 siswi (70%) ternyata belum mengetahui tentang gangguan haid seperti nyeri saat menstruasi, gangguan fisik, dan emosi saat menjelang menstruasi yang disebut PMS. Berdasarkan alasan tersebut, maka akan diteliti Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Siswi Kelas X SMA 1 Bae Kudus Tentang PMS Sebelum dan Sesudah Penyuluhan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan Latar Belakang tersebut maka dirumuskan masalah sebagai
berikut Apakah ada perbedaan pengetahuan dan sikap remaja putri Siswi Kelas X SMA 1 Bae Kudus tentang Pre Menstrual Syndrom (PMS) sebelum dan sesudah penyuluhan. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui perbedaan pengetahuan dan sikap remaja putri Siswi Kelas X SMA 1 Bae Kudus tentang Pre Menstrual Syndrom (PMS) antara sebelum dan sesudah penyuluhan. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan pengetahuan remaja putri tentang PMS (Pre Menstrual Syndrom) sebelum penyuluhan. b. Mendeskripsikan sikap remaja putri tentang PMS (Pre Menstrual Syndrom) sebelum penyuluhan c. Mendeskripsikan pengetahuan remaja putri tentang PMS (Pre Menstrual Syndrom) sesudah penyuluhan. d. Mendeskripsikan sikap remaja putri tentang PMS (Pre Menstrual Syndrom) sesudah penyuluhan. e. Menganalisis perbedaan pengetahuan remaja putri tentang PMS ( Pre Menstrual Syndrom) sebelum dan sesudah penyuluhan. f. Menganalisis perbedaan sikap remaja putri tentang PMS ( Pre Menstrual Syndrom) sebelum dan sesudah penyuluhan
D. Manfaat Penelitian 1. Praktis Melalui penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi sekolah, orang tua, dan tenaga kesehatan mengenai bagaimana pengetahuan remaja putri tentang PMS (Pre Menstrual Syndrom). 2. Teoritis Dapat menambah wawasan bagi mahasiswa dan sebagai bahan bacaan di Perpustakaan atau Referensi serta sebagai bahan dalam melanjutkan penelitian terkait dengan pengetahuan remaja putri tentang PMS (Pre Menstrual Syndrom). E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Pre Menstrual Syndrom adalah sebagai berikut : Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No Judul,Nama,Tahun Sasaran Variasi yang diteliti Metode Hasil 1. Hubungan antara tingkat kecemasan dengan sindrom pre menstruasi pada mahasiswi DIV Kebidanan Jalur Reguler UNS Surakarta, Asti Andriyani, 2007 2. Hubungan status gizi, asupan zat gizi mikro dengan sindroma pramenstruasi pada remaja putri di SMU Sejahtera Surabaya, Christiany, 2006. 52 responden dengan kriteria yang telah ditentukan 97 remaja putri siswi SMU Sejahtera Surabaya yang sudah Menstruasi. Mengukur tingkat kecemasan dengan sindrom pre menstruasi Status gizi,asupan makan zat gizi mikro (kalsium dan magnesium), Pre Menstrual Syndrome Observasional analitik dengan pendekatan cross sectional Observasional dengan pendekatan cross sectional Ada hubungan secara positif dan signifikan antara tingkat kecemasan dengan Sindrom Premenstruasi dengan kekuatan korelasi sedang Terdapat hubungan yang signifikan antara asupan zat gizi mikro (kalsium dan magnesium) dengan sindroma pramenstruasi, semakin kurang asupan kalsium, magnesium pada remaja putri maka makin meningkatkan keluhan sindroma pramenstruasi 3. Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Remaja dalam Menghadapi Sindrom Premenstruasi di SMP Al-Azhar Medan, Armoni Suci Dewi, 2010. 109 siswi SMP Al- Azhar yang sudah Menstruasi Pengetahuan dan sikap remaja dalam menghadapi Sindrom Premenstruasi Observasional analitik dengan pendekatan cross sectional Hasil penelitian : pengetahuan baik 95 orang (87,2%), pengetahuan kurang baik 14 orang (12,8 %), sikap negatif 58 (53,2%), sikap positif 51 orang ( 46,8 %), pengetahuan baik dan sikap positif (52,6%), pengetahuan baik dan sikap negatif (47,4%), pengetahuan kurang baik dan sikap positif (7,1%), pengetahuan kurang baik dan sikap negatif (92,9%)
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian di atas yaitu pada penelitian ini digunakan metode eksperimen berupa penyuluhan. Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan remaja putri tentang Pre Menstrual Syndrom, yang diukur sebelum dan sesudah pemberian intervensi (perlakuan).