BAB 1 BAB 1 PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya

REKLAMASI TEKNIK PENGAIRAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi.

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK TAMBAK. SITI YULIAWATI DOSEN KOPERTIS WILAYAH I Dpk UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN

Pemanfaatan Pintu Pengendali Muka Air Di Jaringan Sub Kuarter Daerah Rawa Terentang Hulu Kalimantan Barat

TATA PENGELOLAAN BANJIR PADA DAERAH REKLAMASI RAWA (STUDI KASUS: KAWASAN JAKABARING KOTA PALEMBANG)

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak Geografis dan Astronomis Indonesia Serta Pengaruhnya

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Kebutuhan yang paling banyak memerlukan air yaitu lahan pertanian.

BAB I PENDAHULUAN ARHAM BAHTIAR A L2A PRIYO HADI WIBOWO L2A

BAB I PENDAHULUAN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada kegiatan industri yang rumit sekalipun. Di bidang pertanian air atau yang

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PRT/M/2015 TENTANG EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan - 1 -

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) 1.1. UMUM

Prosiding Semnas Geomatika ISBN :

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan Drainase Sistem Sungai Tenggang 1

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

PENDAHULUAN Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun ,

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PERTANIAN BERBASIS SUMBERDAYA & KEARIFAN LOKAL. Benyamin Lakitan 2017

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Tata at Ai a r Rawa (Makr

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tabel Posisi titik acuan (BM, dalam meter) di lokasi MIFEE

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Azwar Wahirudin, 2013

Gambar 2.1.Komponen Drainase Sistem Polder yang Ideal

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2015 HUBUNGAN SIFAT LAHAN SAWAH DENGAN PRODUKTIVITAS PADI DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU

BAB I PENDAHULUAN I-1

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah

BAB I PENDAHULUAN. bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi geografis negara Indonesia terletak di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau

Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7

Tabel 3 Kenaikan muka laut Kota Semarang berdasarkan data citra satelit.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit selama

PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI RAWA LEBAK

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di

BAB I PENDAHULUAN - 1 -

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015)

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

KONDISI UMUM BANJARMASIN

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

BAB I PENDAHULUAN. daerah dengan pasang surut air. Kegunaan pintu air otomatis ini adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

5/15/2012. Novitasari,ST.,MT

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut. Disampaikan Pada Materi Kelas PAM

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

BAB I PENDAHULUAN. dalam usaha pertanian. Cara mengaliri air ketanaman yaitu dengan sistem irigasi,

TUGAS MANDIRI MATA KULIAH PEGELOLAAN AIR

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Achmad Rusdiansyah 1, Rony Riduan. Staf Pengajar Program Magister Teknik Sipil Fakultas Teknik Unlam 1

PENDAHULUAN. Latar Belakang

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PRODUKSI PADI SAWAH DI DAERAH PENELITIAN

1. BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN. swasembada beras. Produksi yang melebihi kebutuhan konsumsi penduduk, menempatkan daerah ini sebagai daerah suplai beras dan penyangga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan rawa adalah suatu bentangan tanah yang mempunyai topografi relatif datar atau cekung dengan kondisi drainase yang buruk dan secara alami tergenang air sepanjang tahun atau selama periode tertentu yang cukup panjang (semusim) (Kodoatie et. al., 2007; Kementerian PU, 2008). Ditinjau dari segi fisik dan proses pembentukannya, lahan rawa dibagi menjadi rawa pasang surut dan rawa non pasang surut (Noor, 2004; Kementerian PU, 2008). Rawa pasang surut terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Rawa non pasang surut dikenal sebagai rawa pedalaman atau rawa lebak yaitu rawa yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pengembangan lahan rawa pasang surut menjadi perhatian serius, mengingat daerah ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian, seperti tanaman padi dan palawija guna menunjang program ketahanan pangan nasional (Mulyana, 2012). Luas potensi lahan rawa pasang surut untuk pertanian di Indonesia sekitar 9,5 juta hektar (Noor, 2004), yang tersebar di tiga pulau, yaitu terluas di Sumatera sekitar 3,9 juta hektar, di Papua 2,8 juta hektar, dan di Kalimantan 2,7 juta hektar (Sudana, 2005). Total lahan rawa pasang surut yang telah diusahakan baik direklamasi oleh pemerintah maupun oleh penduduk secara swadaya sekitar 4,1 juta hektar (44%) (Sudana, 2005). Hal ini menunjukkan potensi lahan rawa pasang surut masih dapat dikembangkan. Setelah kurang lebih 40 tahun pelaksanaan pengembangan irigasi pasang surut pada daerah rawa oleh pemerintah, hingga saat ini tingkat produktivitas padi di lahan rawa masih rendah, yaitu 2 hingga 2,5 ton/ha/tahun (Noor, 2004; Sutami, 2004; Consultant DDC, 2007; Kurniawan, 2010; Irwandi, 2015). Tingkat produktivitas yang rendah ini dipengaruhi oleh rendahnya kualitas lahan dan kualitas air yang disebabkan oleh infrastruktur yang masih minim, kemampuan petani, dan dukungan pemerintah yang kurang memadai (Consultant DDC, 2007; Irwandi, 2015). Kualitas air di daerah rawa pasang surut salah satunya dipengaruhi oleh kinerja jaringan tata air. Dari pengamatan dilapangan, jaringan yang ada saat ini, salah satunya yaitu jaringan tata air di daerah rawa pasang surut Pinang Luar di Kabupaten Kubu Raya 1

Provinsi Kalimantan Barat, belum dikembangkan sesuai tahapan pengembangan jaringan rawa sehingga menyebabkan kesulitan dalam mendapatkan air tawar yang cukup. Contoh kasus lain pada daerah rawa di Kalimantan Selatan, jaringan yang sudah dibangun tidak terawat dengan baik sehingga aliran airnya tidak lancar (Consultant DDC, 2007). Pada musim hujan terjadi penggenangan air yang berasal dari air hujan, luapan banjir dari sungai utama, pasang naik dari air laut, atau kombinasi keduanya. Sedangkan pada musim kemarau akan terjadi kekeringan dan pada daerah yang dekat dengan muara akan terjadi rob, yaitu masuknya aliran muka air laut ke daratan (Widada, 2007; Rahmasari & Hariyanto, 2011). Produktivitas tanaman pangan komoditas padi secara nasional pada tahun 1993 s.d. tahun 2015 menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat. Produktivitas padi nasional pada tahun 1993-2015 berkisar antara 4,2 hingga 5,3 ton gabah kering giling (GKG) per hektar. Produktivitas padi tertinggi berada di Pulau Jawa, yaitu berkisar antara 4,5 hingga 5,6 ton GKG per hektar. Produktivitas terendah berada di Pulau Kalimantan yaitu 2,4 hingga 3,7 ton GKG per hektar (BPS, 2016), lihat Gambar 1.1. Lahan pertanian di Kalimantan didominasi oleh lahan rawa. Produktivitas padi di lahan rawa masih rendah (Haryono, 2013). Untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa maka perlu dilakukan upaya-upaya pengembangan pada segala sektor, antara lain peningkatan jaringan irigasi rawa. Peningkatan jaringan irigasi rawa dapat dilakukan dengan perbaikan teknis sarana dan prasarana penunjang pertanian. Gambar 1.1. Produktivitas Padi per Tahun (BPS, 2016) Produktivitas pertanian yang rendah di daerah rawa pasang surut menyebabkan petani tidak termotivasi untuk terus menanam padi. Akibat dari rendahnya produksi pertanian ini juga menyebabkan banyak lahan pertanian di lahan rawa pasang surut 2

berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit atau perkebunan lainnya. Laju alih fungsi lahan persawahan pasang surut menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 6% per tahun (Suprapto, 2011). Secara signifikan alih fungsi lahan ini dipengaruhi oleh persepsi negatif petani terhadap faktor kondisi infrastruktur, harga kelapa sawit yang lebih tinggi, dan harga padi yang rendah (Suprapto, 2011). Kondisi infrastuktur yang dimaksud adalah tidak terawatnya jaringan tata air yang ada karena kurang memadainya pelaksanaan operasi dan pemeliharaan (OP) oleh pemerintah. Secara teknis kondisi saluran kurang baik menyebabkan aliran air di saluran tidak lancar, yang berdampak pada rendahnya kualitas air di saluran maupun di lahan pertanian. Kinerja OP yang maksimal memerlukan dukungan jaringan tata air yang baik. Pengelolaan air yang baik hanya dapat dilakukan pada lokasi yang dilengkapi dengan infrastruktur jaringan yang baik. Fakta di lapangan menunjukkan pengelolaan air yang ideal masih sulit dilakukan karena minimnya infrastruktur penunjang yang tersedia di daerah rawa pasang surut, misalnya infrastruktur di daerah rawa Pinang Luar di Kalimantan Barat. Pengolahan lahan rawa pasang surut menyebabkan terjadi perubahan karakteristik lahan salah satunya yaitu perubahan hidrotopografi. Hidrotopografi lahan adalah hubungan antara elevasi muka lahan dan elevasi muka air di saluran dan di lahan rawa pasang surut. Tipe hidrotopografi lahan dapat menunjukkan sejauh mana kemungkinan luapan air dapat menggenangi lahan (Departemen PU, 2007). Berdasarkan luapan air pada lahan, ada 4 tipe hidrotopografi yang dikenal, yaitu A, B, C, dan D. Penjelasan tipe hidrotopografi lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Subbab 2.6.1 Gambar 2.7. Hidrotopografi A adalah lahan terluapi air sebanyak 4-5 kali pada siklus pasang surut selama 14 hari di musim hujan maupun musim kemarau, sedangkan hidrotopgrafi B terluapi 4-5 kali pada musim hujan saja. Hidrotopografi C merupakan lahan yang tidak dapat terluapi air pasang atau terluapi kurang dari 4 kali. Permukaan lahan umumnya relatif lebih tinggi dari tipe A dan B, sehingga air pasang hanya mempengaruhi muka air tanah saja. Hidrotopografi D tidak pernah terluapi air, namun pengaruh tinggi muka air di saluran mempengaruhi tinggi muka air tanah. Hidrotopografi C, tinggi muka air kurang dari 50 cm di bawah muka tanah, sedangkan hidrotopografi D, tinggi muka air tanah lebih dari 50 cm di bawah muka tanah. 3

Lahan tipe hidrotopografi A berpotensi untuk ditanami padi, tipe hidrotopografi B berpotensi ditanami padi dan palawija, sedangkan tipe hidrotopografi C dan D berpotensi ditanami tanaman keras. Hidrotopografi ini dapat mempengaruhi terjadinya sirkulasi air yang terkendali pada sistem tata air pasang surut, sehingga proses pematangan atau pencucian tanah dapat berjalan dengan baik (Syaefudin, 2009). Berdasarkan tipe hidrotopografi, kemampuan pemberian air irigasi dan drainase secara gravitasi yang dinyatakan sebagai irigabilitas (potensi irigasi pasang surut) dan drainabilitas (kemampuan drainase atau kemampuan membuang air kelebihan) dari suatu lahan daerah rawa pasang surut (Kodoatie et. al., 2007; Wangsadipoera, 2007). Perubahan hidrotopografi dapat terjadi akibat perubahan karakteristik lahan. Perubahan hidrotopografi yang dimaksud adalah perubahan tipe hidrotopografi suatu lahan, dimana semula pada lahan tersebut merupakan lahan dengan tipe hidrotopografi A, berubah menjadi lahan dengan tipe hidrotopografi B atau sebaliknya. Perubahan hidrotopografi lahan rawa pasang surut dipengaruhi oleh penurunan muka tanah (landsubsidence) (Rahmadi et. al., 2012), kondisi jaringan tata air di daerah rawa pasang surut, perubahan regime aliran di sungai, dan perubahan kenaikan muka air laut (sea level rise). Perubahan hidrotopografi lahan dapat berdampak positif maupun negatif bagi irigasi rawa pasang surut. Perubahan hidrotopografi yang berdampak positif dapat diperoleh dengan adanya penurunan elevasi muka tanah (land subsidence) (Glopper et. al., 1986; Dradjad et. al., 1986). Dengan terjadinya penurunan elevasi muka tanah akan memperluas daerah tipe hidrotopografi A dan B, yaitu daerah yang cocok untuk tanaman pertanian (khususnya padi) dengan sistem irigasi pasang surut. Perubahan hidrotopografi yang berdampak negatif dapat disebabkan oleh pengaruh penurunan regime aliran dari sungai, dimana akan menyebabkan penurunan frekwensi luapan air tawar pada lahan. Sedangkan kenaikan muka air laut bisa berdampak positif atau negatif, tergantung pada keadaan aliran dari hulu sungai. Gejala perubahan regime aliran sungai ini dapat dilihat pada penurunan fungsi hidrologis DAS di hulu sungai. DAS yang berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan melepaskan air sebagai base flow pada musim kemarau, dan kemampuan menyimpan air telah menurun (DKKSDA, 2010). Ketika musim penghujan, air langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir. 4

Sebaliknya pada musim kemarau, aliran base flow sangat kecil bahkan ada beberapa sungai tidak mengalirkan air, sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar selama musim kemarau (DKKSDA, 2010). Kenaikan muka air laut atau sea level rise (SLR) adalah meningkatnya muka air laut yang disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain, pengaruh pasang surut air laut dan perubahan iklim global, serta akibat mencairnya glasier pegunungan dan tutupan es yang diprediksi menjadi penyebab utama kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut hingga awal abad ke-19 hanya berkisar antara 0,1 hingga 0,2 mm/tahun. Pada tahun 1990 an, muka air laut naik 1 hingga 3 mm/tahun (Alley et. al., 2010; Cronin, 2012). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir- P3SDLP (2014), menyatakan bahwa kenaikan muka laut Indonesia yaitu 0,76 cm per tahun. Kenaikan muka air laut ini dapat menyebabkan kemungkinan intrusi air asin semakin jauh masuk ke daratan (Glopper et. al., 1986). Jika debit sungai tetap, maka naiknya muka air laut bertindak sebagai pembendung yang lebih tinggi, sehingga air sungai bisa lebih tinggi dan lebih luas menggenangi lahan di sekitarnya. Meskipun jangkauan intrusi lebih ke hulu saat pasang air laut, namun intrusi air laut hanya terjadi di air tanah. Berkenaan dengan perencanaan daerah rawa telah diterbitkan Manual Perencanaan Teknis Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak tahun 2007 (Departemen PU, 2007). Disebutkan dalam manual tersebut bahwa dalam penentuan pengelolaan air, faktor penting untuk dikaji adalah faktor hidrotopografi, disamping faktor tanah, kualitas air dan tata letak geografisnya (Kementerian PU, 2008). Kriteria desain pada aspek teknis didasarkan pada data fisik seperti: penetapan beban limpasan (modulus drainase), pengaturan ketinggian muka air tanah di lahan dan di saluran, penentuan dimensi atau ukuran saluran dan pola drainase, kebutuhan transportasi (navigability), kebutuhan jalan, jembatan, timbunan, dan bangunan hidraulis atau pintu air (Departemen PU, 2007). Namun kriteria pengaruh regime aliran sungai sebagai pemasok air irigasi belum secara eksplisit disebutkan. Dalam perencanaan jaringan tata air di daerah rawa pasang surut, dimensi saluran ditentukan oleh kebutuhan pembuangan air atau saluran drainase (Departemen PU, 2007). Debit rencana untuk penentuan dimensi saluran adalah besarnya modulus drainase yang 5

merupakan penjumlahan dari kebutuhan air irigasi dan kelebihan air hujan (Departemen PU, 2007). Besarnya modulus drainase ini dihitung berdasarkan banyaknya curah hujan. Pada lahan yang dipengaruhi pasang surut, saluran tidak hanya menampung kelebihan air hujan saja, tetapi ada pengaruh pasang surut air laut. Pengaruh pasang surut ini dapat menahan aliran air berupa pembendungan terhadap aliran air dari hulu, maupun dapat menyebabkan masuknya air laut ke dalam saluran atau sungai (Lin et. al., 1995; Widada, 2007). Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di daerah rawa pasang surut adalah berikut ini. 1. Fluktuasi air tanah di Daerah Rawa Telang, Sumatera Selatan yang mempunyai frekwensi pasang surut sangat perlahan (satu siklus tiap tiga hari) dan mempunyai amplitudo kurang dari 60 cm (Nugroho, 2004). 2. Pengendalian muka air tanah di lahan sangat tergantung pada tinggi muka air di saluran tersier. Banyaknya curah hujan dan evapotranspirasi hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap tinggi muka air tanah di lahan (Ngudiantoro, 2010). 3. Tujuan utama pengelolaan air di daerah rawa pasang surut adalah tampungan air (water retention) dan pencucian lahan (land leaching) (Imanudin et. al., 2009). 4. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut yang optimal dapat dilakukan dengan pengelolaan lahan dan komoditas yang adaptif. Pengelolaan air dengan sistem aliran air satu arah pada tipe hidrotopografi A dan B, serta sistem tabat (konservasi) pada tipe hidrotopografi C dapat meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut (Nazemi et. al., 2012). 5. Hidrotopografi merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kebijakan pengelolaan air di lahan rawa pasang surut (Rahmadi et. al., 2010). Perubahan hidrotopografi dapat disebabkan oleh terjadinya subsidence dan sea level rise (SLR), di daerah rawa Telang I Palembang, Sumatera Selatan telah terjadi perubahan berupa hidrotopografi A dan B yang cenderung bertambah, sedangkan hidrotopografi C berkurang (Rahmadi et. al., 2010). Dari penelitian yang pernah dilakukan belum ada penelitian yang meninjau pengaruh faktor perubahan (penurunan) regime aliran air di bagian hulu sungai dan kenaikan muka air laut (sea level rise) (SLR) terhadap perubahan hidrotopografi pada daerah rawa pasang surut. Dengan demikian penelitian dengan topik perubahan 6

hidrotopografi pada daerah rawa pasang surut yang dipengaruhi oleh perubahan regime aliran sungai dan kenaikan muka air laut menarik untuk dilakukan. Penelitian ini penting, karena akan mendapatkan laju perubahan hidrotopografi pada daerah rawa pasang surut akibat perubahan regime aliran dan kenaikan muka air laut. Dengan mengetahui adanya perubahan hidrotopografi lahan maka dapat dilakukan beberapa upaya penyesuaian tata air daerah rawa sehingga produktivitas lahan dapat ditingkatkan. 1.2. Identifikasi Masalah Dengan anggapan bahwa daerah rawa merupakan suatu daerah yang relatif datar, maka sistem yang direncanakan di lapangan dianggap cukup dengan membangun 1 sistem jaringan pengembangan rawa. Fakta di lapangan tidaklah demikian. Berdasarkan fakta di lapangan, timbul pemikiran mengenai pembagian lahan sesuai kondisi kebasahannya (Darmanto, 2013). Selanjutnya pembagian lahan yang dikenal dengan tipe hidrotopografi ini menentukan kesesuaian lahan pada daerah rawa yang akan dikembangkan. Setelah dibangun dan dikembangkan selama 40 tahun, produktivitas pertanian di daerah rawa pasang surut masih rendah, misalnya produktivitas padi yaitu 2 hingga 2,5 ton GKG/ha/tahun. Rendahnya produktivitas pertanian ini dapat disebabkan oleh kuantitas dan kualitas air yang tersedia belum mencukupi kebutuhan tanaman. Selain itu aspek operasional dan pemeliharaan infrastruktur tata air juga mempengaruhi keberhasilan produktivitas pertanian. Metode pemberian air irigasi yang dibutuhkan oleh tanaman juga dipengaruhi oleh tipe hidrotopografi lahan. Dalam suatu sistem tata air daerah rawa dapat terjadi perubahan tipe hidrotopografi lahan. Perubahan hidrotopografi dapat disebabkan oleh penurunan permukaan lahan (land subsidence), peningkatan pemukaan air laut (sea level rise) dan regime aliran dari hulu sungai. Perubahan iklim global dan pengembangan wilayah pada bagian hulu sungai telah menyebabkan terjadinya perubahan debit aliran dari hulu sungai. Perubahan ini berpengaruh terhadap penyediaan air tawar bagi pertanian di daerah rawa pasang surut yang dikembangkan. Fenomena yang terjadi adalah pada musim hujan akan terjadi banjir sehingga menggenangi lahan, sedangkan pada musim kemarau akan terjadi kekeringan yang menyebabkan lahan tidak dapat ditanami. Demikian juga pengaruh dari perubahan muka air laut akan mempengaruhi kuantitas air yang mengalir ke daerah rawa pasang surut. 7

Salah satu contoh daerah rawa yang mengalami perubahan hidrotopografi adalah daerah rawa Pinang Luar di Provinsi Kalimantan Barat. Sistem tata air daerah ini mulai dibangun pada tahun 1976 dengan luas area 2.200 ha. Berdasarkan kajian pada tahun 1999, pembagian tipe hidrotopografinya adalah tipe B seluas 442 ha, tipe C seluas 955 ha, dan tipe D seluas 803 ha (Euroconsult, 1999). Sedangkan pada tahun 2008 pembagian luas hidrotopografi di daerah rawa Pinang Luar yaitu, tipe B seluas 822 ha, tipe C seluas 886 ha, dan tipe D seluas 740 ha (BWSK-I, 2008). Produktivitas pertanian pada daerah rawa Pinang Luar masih rendah. Hasil panen padi tahun 1999 adalah 1 hingga 2,5 ton/ha (Euroconsult, 1999). Meskipun telah terjadi penambahan tipe hidrotopografi B dan C pada tahun 2008, namun hasil panen padi pada tahun 2008 masih rendah, yaitu 1 hingga 1,5 ton/ha. Dari data diketahui bahwa beberapa bagian lahan semula diperuntukkan menanam padi telah diubah untuk tanaman palawija. Tanaman palawija yang banyak diusahakan adalah jagung. Produksi jagung berkisar antara 2,4 hingga 3,6 ton/ha per musim tanam. Dari latar belakang dan uraian di atas dan dengan memperhatikan fakta di lapangan dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut: 1. produktivitas pertanian di daerah rawa pasang surut masih rendah, 2. motivasi petani melakukan usaha tani di daerah rawa pasang surut rendah, 3. terjadi kenaikan muka air laut (sea level rise), 4. terjadi perubahan regime aliran, 5. beberapa bagian di lahan, pada waktu sebelumnya dapat terluapi air dari saluran, namun saat ini air di saluran tidak dapat mencapai lahan tersebut. 1.3. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. apakah telah terjadi perubahan regime aliran sungai dari hulu? 2. bagaimana pengaruh penurunan regime aliran (debit sungai) terhadap perubahan hidrotopografi? 3. bagaimana pengaruh kenaikan muka air laut pada perubahan hidrotopografi? 4. bagaimana pengaruh perubahan regime aliran dan kenaikan muka air laut terhadap perubahan hidrotopografi? 5. bagaimana dampak perubahan hidrotopografi terhadap irigasi pasang surut yang ada di daerah rawa pasang surut? 8

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas maka maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penurunan regime aliran dan kenaikan muka air laut terhadap hidrotopografi pada irigasi pasang surut. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. menganalisis perubahan regime aliran sungai, 2. menganalisis pengaruh perubahan regime aliran terhadap perubahan hidrotopografi, 3. menganalisis pengaruh kenaikan muka air laut terhadap perubahan hidrotopografi. 4. menganalisis pengaruh perubahan regime aliran dan kenaikan muka air laut terhadap perubahan hidrotopografi, 5. menganalisis dampak perubahan hidrotopografi terhadap irigasi pasang surut yang ada di daerah rawa pasang surut. 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. memberikan masukan dalam perencanaan tata air pada irigasi pasang surut agar memperhitungkan pengaruh regime aliran air di hulu sungai dan kenaikan muka air laut dalam menentukan tipe hidrotopografi lahan di daerah rawa pasang surut, dengan perencanaan jaringan tata air yang lebih baik, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian pada lahan rawa pasang surut. 2. memberikan penjelasan teori tentang perubahan hidrotopografi yang terjadi di lahan rawa pasang surut, 3. memberikan bahan referensi dan informasi bagi peneliti tentang hidrotopografi daerah rawa pasang surut. 1.6. Pembatasan (Ruang Lingkup) Masalah Penelitian Aspek yang berpengaruh terhadap pengembangan irigasi pasang surut di daerah rawa pasang surut ini pada masing-masing lokasi pengembangan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Penelitian dilakukan pada daerah rawa Pinang Luar, Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat, dengan pembatasan pembahasan, yaitu: 1. jaringan tata air daerah rawa pasang surut yang ditinjau adalah jaringan yang sudah ada di lapangan saat ini, 2. aspek yang ditinjau hanya pada aspek teknis saja yang berhubungan dengan desain saluran sebagai dampak perubahan regime aliran dan kenaikan muka air laut, 9

3. pengaruh parameter penurunan muka tanah (land subsidence) terhadap perubahan hidrotopografi di daerah rawa pasang surut tidak ditinjau pada penelitian ini, 4. daerah rawa pasang surut yang ditinjau adalah pada unit pelayanan lahan rawa pasang surut yang mempunyai tipe hidrotopografi B, C dan D, 5. lahan yang mempunyai tipe hidrotopografi A tidak ditinjau, karena lahan A umumnya merupakan lahan dengan topografi lebih rendah, sehingga pasang surut air laut sangat berpengaruh terhadap tinggi elevasi air di jaringan tata air daerah rawa pasang surut. 1.7. Sistematika Penulisan Disertasi Sistematika penulisan disertasi ini terdiri dari: Bab 1 Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, perumusan masalah, maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan pembatasan (ruang lingkup) masalah serta sistematika penulisan disertasi. Bab 2 Kajian Pustaka dan Kerangka Berpikir terdiri dari uraian tentang pengertian dan definisi lahan rawa, pasang surut, lahan rawa pasang surut, irigasi pasang surut, topografi lahan rawa pasang surut, tinggi muka air tanah, hidrotopografi rawa pasang surut, kenaikan permukaan laut, regime aliran, daerah aliran sungai, pemodelan, kerangka berpikir dan hipotesis penelitian serta kebaruan (novelty). Bab 3 Metode Penelitian terdiri dari uraian tentang pendekatan penelitian, populasi dan sampel penelitian, variabel dan instrument penelitian, desain dan skenario penelitian, prosedur penelitian, dan rencana analisis data. Bab 4 Kompilasi dan Analisis Data berisi tentang pengumpulan data, analisis curah hujan dan debit aliran sungai, analisis perubahan regime aliran sungai, analisis pasang surut air laut, analisis jaringan tata air daerah rawa Pinang Luar dan analisis hidrotopografi lahan. Bab 5 Hasil dan Pembahasan Penelitian terdiri dari pembahasan tentang perubahan regime aliran sungai, pengaruh penurunan regime aliran terhadap perubahan hidrotopografi, pengaruh perubahan kenaikan air laut terhadap perubahan hidrotopografi, dampak perubahan hidrotopografi terhadap irigasi pasang surut. Bab 6 Kesimpulan, Implikasi dan Saran atau Rekomendasi Daftar Pustaka. Lampiran-Lampiran. 10