BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pentingnya matematika dapat dilihat dari aplikasi dalam kehidupan seharihari dan perannya dalam teknologi. Matematika dapat memungkinkan siswa mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang konsep ilmu dengan menyediakan cara untuk mengukur dan menjelaskan hubungan dari ilmu pengetahuan (Moyer,2001: 75-195). Matematika adalah cara mengasah pikiran, membentuk kemampuan penalaran dan mengembangkan kepribadian, maka matematika memiliki kontribusi besar terhadap pendidikan umum dan dasar dari banyak negara (Yidana,2004: 45-47). Matematika diajarkan karena dapat menumbuhkembangkan kemampuan bernalar yaitu berpikir sistematis, logis dan kritis, mengkomunikasikan gagasan atau ide dalam memecahkan masalah. Proses penalaran, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah merupakan aktivitas mental yang membentuk inti berpikir. Ketiga proses tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya (Priatna, 2003: 1). Pembelajaran matematika di sekolah tidak hanya diarahkan pada peningkatan kemampuan siswa dalam berhitung, tetapi juga diarahkan kepada peningkatan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah (problem solving), baik masalah matematika maupun masalah lain yang secara konstektual menggunakan matematika untuk memecahkannya. Hal ini didorong oleh perkembangan arah pembelajaran matematika yang digagas oleh National 1
Council of Teacher of Mathematics di Amerika pada tahun 1989 yang mengembangkan Curriculum and Evaluation Standarts for School Mathematics, dimana pemecahan masalah dan penalaran menjadi tujuan utama dalam program pembelajaran matematika di sekolah. Mata pelajaran matematika diantaranya bertujuan untuk agar para peserta didik memiliki kemampuan pemahaman konsep, penalaran, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan (BSNP,2006: 30). Kemampuan siswa dalam memecahkan suatu masalah matematika memiliki tingkat yang berbeda-beda. Setiap anak mempunyai potensi alami untuk berkembang dalam belajarnya. Potensi tersebut dapat berbeda antara satu anak dengan anak yang lain. Demikian juga dengan anak autisme, gangguan emosi dan perilaku yang dimilikinya apakah membawa pengaruh buruk kepada proses pembelajarannya atau bahkan sebaliknya atau terdapat hal-hal lain yang masih perlu dikaji lebih mendalam. Ketika pembelajaran mengikuti kurikulum nasional, maka anak autismeme juga harus mendapatkan pembelajaran dan materi yang sama sesuai dengan karakter dan kemampuan peserta didik. Seperti yang telah tertulis di dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Siswa autisme juga harus diberikan latihan dan pengetahuan bagaimana langkah dan prosedur pemecahan masalah. Sehingga langkah dan prosedur juga ia dapatkan sebagaimana siswa lainnya. 2
Autisme adalah gangguan yang perkembangan yang meliputi gangguan yang meliputi gangguan interaksi sosial, perilaku, dan bahasa penyandangnya (Puspita,2004: 32). Pada anak autisme gaya belajar yang kebanyakan digunakan adalah gaya belajar visual learner dan hands-on learner, sehingga guru banyak menggunakan pengalaman dan visualisasi untuk menjelaskan hal yang sulit dipahami anak seperti menggunakan media video (Lakshita,2012: 71). Untuk pemecahan masalah yang biasa digunakan pada anak autisme khususnya pada matematika belum secara luas diteliti untuk orang-orang yang memiliki karateristik autisme. Banyak orang tua, dokter, dan para pendidik melaporkan bahwa anak-anak autisme memiliki kesulitan dalam menguasai strategi perkalian dan belum benar dalam mengaplikasikan strategi tersebut (Schoenfeld,1992: 334-370). Penelitian seperti ini sebelumnya pernah dilakukan secara teori pada subjek autisme kelas V SD. Penelitian tersebut mengamati kendala siswa autisme dalam menyelesaikan soal cerita, analisis data yang digunakan adalah berupa transkrip hasil rekaman video dan task analysis tehadap pekerjaan siswa. Hasil pengamatan yang pertama yaitu dari rekaman video bahwa subjek tidak terlihat merasa sulit dan secara lancar menuliskan jawaban yang diperkirakan merupakan jawaban dari soal yang diberikan. Subjek tidak terlihat melakukan pengecekan ulang terhadap jawaban yang diberikan. Untuk hasil pengamatan dari lembar jawaban terlihat bahwa bahwa subjek mengalami kendala dalam memahami soal matematika dalam bentuk soal cerita. Subjek juga tidak dapat mengusahakan strategi pemecahan masalah yang diharapkan. Unsur-unsur dalam soal tidak dipahami dengan baik, 3
sehingga langkah-langkah yang seharusnya ia lakukan tidak dapat dipenuhi. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa subjek autisme dengan kecenderungan gangguan low function mengalami kendala dalam memahami unsur-unsur soal, sehingga mengalami hambatan pula dalam menentukan langkah dan jawaban soal. Langkah-langkah yang dilakukan hanya bersifat stereotif dan repetitive saja (Kamid,2012: 19). Oleh karena itu observasi perlu dilakukan sebagai pertimbangan awal sebelum melakukan penelitian. Pengamatan bulan April 2016 di SMP Muhammadiyah 2 Malang diperoleh informasi bahwa terdapat 3 siswa penyandang autisme di kelas VIII. 2 siswa bisa diikutkan di kelas reguler dan 1 siswa masih menggunakan sistem PPI (Program Pembelajaran Individual). Peneliti melakukan observasi kedua, peneliti memberikan soal yang tingkat kesulitannya mudah, soal terdiri dari 3 buah pertanyaan dengan materi lingkaran sesuai dengan materi kelas VIII yang diajarkan. Pada saat observasi hanya terdapat 2 orang siswa yang berinisial N dan A. Kedua siswa tersebut memiliki tingkat autisme yang berbeda. Siswa N termasuk subjek autisme yang kecenderungan gangguan high function. Informasi yang diperoleh dari guru pendamping (shadow teacher) siswa N termasuk kategori autisme high function karena dilihat dari komunikasi verbalnya mengalami sedikit gangguan seperti kurang jelas dalam melafalkan suatu kata, untuk perilaku nonverbal seperti kontak mata siswa N tidak bisa fokus jika diajak berbicara, dari hal kognitif siswa N tidak menunjukkan keterbelakangan mental, tapi pada perilaku motoriknya sangat terlihat karateristik autisme seperti sering menggoyang-goyangkan tubuh, dan 4
bertepuk tangan. Pada saat mulai mengerjakan soal siswa N terlihat kesulitan dalam memahami perbedaan konsep luas dan keliling lingkaran, namun keseluruhan siswa N terlihat lancar dalam menyelesaikan soal. Saat menghitung keliling lingkaran siswa N menggunakan rumus luas lingkaran dan ketika mengerjakan soal nomor 3 terkait soal cerita siswa N terlihat bingung dan menanyakan maksud soal tersebut kepada peneliti. Siswa A tergolong subjek autisme yang kecenderungan gangguan low function. Informasi yang diperoleh dari guru pendamping (shadow teacher) bahwa siswa A termasuk kategori autisme low function karena mengalami gangguan komunikasi verbal maupun non verbal, gangguan perkembangan bicara, kurang dapat memahami ucapan yang ditujukan kepadanya, tatapan mata yang berbeda terkadang sering menghindari kontak mata. Saat megerjakan soal siswa A terlihat sangat bingung dan melihat lembar jawaban siswa N, pada lembar soal terlihat bahwa siswa A tidak memahami apa yang dituliskan pada lembar jawaban tersebut. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini ingin mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematika khususnya pada anak penyandang autisme. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil judul Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Anak Autisme di SMP Muhammadiyah 2 Malang. 1.2 RUMUSAN MASALAH Anak autisme memiliki gangguan antara lain gangguan pada kemampuan interaksi, komunikasi dan imajinasi, perlu dilihat agar dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh tentang pola dan perilaku koginitif anak autisme 5
ketika menyelesaikan soal. Berkaitan dengan soal matematika, hal ini diartikan bahwa matematika merupakan salah satu pelajaran yang kompleks. Matematika memerlukan pemahaman dan pengetahuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Penelitian yang akan dilakukan akan mengkaji tentang kemampuan pemecahan masalah pada anak autisme. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka rumusan masalah yang diambil dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak autisme di SMP Muhammadiyah 2 Malang? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian adalah untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan menemukan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan penelitian tersebut. Oleh karena itu tujuan penelitian harus dibatasi berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, sehingga dapat ditarik bahwa adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mendeskripsikan kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak autisme dalam menyelesaikan soal matematika. 1.4 BATASAN MASALAH Untuk memfokuskan pada tujuan penelitian, maka ruang lingkup pada penelitian ini memiliki batasan. Adapun yang menjadi ruang lingkup adalah sebagai berikut : Subjek yang diambil untuk penelitian adalah siswa autisme kelas VIII di SMP Muhammadiyah 2 Malang. Autisme atau Gangguan Spektrum Autisme (Autism Spectrum Disorders / ASD) disebut gangguan perkembangan yang tersebar luas, berkisar dari gangguan parah yaang disebut 6
autismetik hingga yang ringan, disebut Sindrom Asperger. Gangguan spektrum autisme dicirikan dengan masalah dalam interaksi sosial, masalah berkomunikasi secara verbal dan nonverbal, dengan perilaku berulang (Boutot & Myles, 2011; Hall, 2009). Jenis pemecahan masalah yang akan menjadi acuan adalah pemecahan masalah menurut Polya. Polya (1973) menjelaskan bahwa dalam pemecahan suatu masalah terdapat empat langkah yang harus dilakukan, yaitu : a. Memahami masalah Pada tahap ini, peserta didik diminta untuk mengulangi pertanyaan dan mereka sebaiknya harus mampu menyatakan pertanyaan yang fasih, menjelaskan bagian terpenting dari pertanyaan tersebut, meliputi : apa yang ditanyakan, apa sajakah data yang diketahui, dan bagaimana syaratnya. b. Merencanakan pemecahan Sebelum menjawab masalah yang ditanyakan, peserta didik harus membuat rencana untuk menyelesaikan masalah, mengumpulkan informasi atau data-data yang ada dan menghubungkan dengan beberapa fakta yang sudah dipelajari sebelumnya. c. Melaksanakan pemecahan sesuai rencana pada langkah kedua Peserta didik menyelesaikan masalah yang sesuai dengan rencana, dan mereka harus yakin bahwa setiap lagkah sudah benar. d. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh Memeriksa kembali hasil yang diperoleh dapat menguatkan pengetahuan mereka dan mengembangkan kemampuan mereka dalam pemecahan 7
masalah, peserta didik harus mempunyai alasan yang tepat dan yakin bahwa jawabannya benar, dan kesalahan akan sangat mungkin terjadi sehingga pemeriksaan kembali perlu dilakukan. 1.5 MANFAAT PENELITIAN 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi di bidang keilmuan, yaitu ilmu pendidikan yang didalamnya terdapat kemampuan pemecahan masalah polya, dan dapat memberikan informasi mengenai pemecahan masalah pada anak autisme saat menyelesaikan soal matematika. 2. Secara Praktis a. Sebagai bahan informasi tambahan dalam proses peningkatan kualitas peserta didik khususnya penyandang anak berkebutuhan khusus (ABK). b. Penelitian ini dapat berguna untuk pengembangan intelektual siswa berkebutuhan khusus tentang pemecahan masalah matematika yang didalamnya mengandung proses pesan panyampaian. c. Guru bisa mengetahui pola pemecahan masalah khususnya pada anak autisme. d. Sebagai bahan referensi tambahan untuk penelitian selanjutnya. 8