HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kampus IPB Dramaga Status Daya Dukung Lingkungan

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai

Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah. - Membawa air dari permukaan ke pembuangan air.

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE

I. PENDAHULUAN. Kata kunci : Air Baku, Spillway, Embung.

BAB III METODOLOGI 3.1 METODE ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

Perencanaan Sistem Drainase Perumahan Grand City Balikpapan

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE SEGOROMADU 2 GRESIK

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

STUDI PENANGGULANGAN BANJIR KAWASAN PERUMAHAN GRAHA FAMILY DAN SEKITARNYA DI SURABAYA BARAT

BAB VII PERENCANAAN JARINGAN UTAMA

MODUL 4 DRAINASE JALAN RAYA

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

PROGRAM PENDIDIKAN EKSTENSION DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

Perencanaan Sistem Drainase Pembangunan Hotel di Jalan Embong Sawo No. 8 Surabaya

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB IV OLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun ,

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum

9. Dari gambar berikut, turunkan suatu rumus yang dikenal dengan rumus Darcy.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

BAB VII PENELUSURAN BANJIR (FLOOD ROUTING)

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

BAB VI ANALISIS KAPASITAS DAN PERENCANAAN SALURAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE ANALISIS

BAB III LANDASAN TEORI

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE SEGOROMADU 2,GRESIK

TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN

ABSTRAK Faris Afif.O,

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) ISSN: Perencanaan Embung Bulung Kabupaten Bangkalan

SISTEM DRAINASE UNTUK MENANGGULANGI BANJIR DI KECAMATAN MEDAN SUNGGAL (STUDI KASUS : JL. PDAM SUNGGAL DEPAN PAM TIRTANADI)

PERENCANAAN SALURAN. Rencana pendahuluan dari saluran irigasi harus menunjukkan antara lain :

KAJIAN HIDROLIK PADA BENDUNG SUMUR WATU, DAERAH IRIGASI SUMUR WATU INDRAMAYU

KAJIAN SISTEM DRAINASE KOTA BIMA NUSA TENGGARA BARAT

Suatu kriteria yang dipakai Perancang sebagai pedoman untuk merancang

Demikian semoga tulisan ini dapat bermanfaat, bagi kami pada khususnya dan pada para pembaca pada umumnya.

TUJUAN PEKERJAAN DRAINASE

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU

TUGAS AKHIR KAJIAN PERENCANAAN EMBUNG UNTUK KEPERLUAN IRIGASI DI DAERAH BATU BETUMPANG KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PERENCANAAN DRAINASE KALI GAJAH PUTIH KODIA SURAKARTA

Perancangan Saluran Berdasarkan Konsep Aliran Seragam

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penelitian tentang Analisis Kapasitas Drainase Dengan Metode Rasional di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1

Analisis Drainase Bandara Muara Bungo Jambi

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian

RC MODUL 2 KEBUTUHAN AIR IRIGASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

PENELUSURAN BANJIR MENGGUNAKAN METODE LEVEL POOL ROUTING PADA WADUK KOTA LHOKSEUMAWE

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

Rt Xt ...(2) ...(3) Untuk durasi 0 t 1jam

STUDI PERENCANAAN BANGUNAN UTAMA EMBUNG GUWOREJO DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BAKU DI KABUPATEN KEDIRI

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran umum Daerah Irigasi Ular Di Kawasan Buluh. Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai pada 18 Desember 2003, semasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 UMUM

STUDI KELAYAKAN SALURAN DRAINASE JALAN SULTAN KAHARUDDIN KM. 02 KABUPATEN SUMBAWA. Oleh : Ady Purnama, Dini Eka Saputri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. parameter yang tertulis dalam kriteria di bawah ini. Nilai-nilai yang

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE PERUMAHAN THE GREENLAKE SURABAYA

HIDROLIKA SALURAN TERTUTUP -CULVERT- SEBRIAN MIRDEKLIS BESELLY PUTRA TEKNIK PENGAIRAN

METODOLOGI Tinjauan Umum 3. BAB 3

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Gambar 2.1.Komponen Drainase Sistem Polder yang Ideal

KONDISI UMUM BANJARMASIN

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

Surface Runoff Flow Kuliah -3

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

NORMALISASI SUNGAI RANTAUAN SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN BANJIR DI KECAMATAN JELIMPO KABUPATEN LANDAK

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keterangan melalui kutipan teori dari pihak yang kompeten di bidang

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Kampus IPB Dramaga Kampus IPB Dramaga memiliki luas ± 277.16 ha yang secara geografis terletak di kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor pada 06 32 41-06 33 58 LS dan 106 42 47-106 44 07 BT. Kampus IPB diapit oleh dua anak Sungai Cisadane yaitu Sungai Ciapus di sebelah Utara dan Sungai Cihideung di sebelah Barat. Data curah hujan dan data iklim diperoleh dari stasiun klimatologi Dramaga yang terletak pada 06 33'13 LS dan 106 44'59 BT dengan elevasi 190 m dpl. Klasifikasi iklim wilayah kampus IPB Dramaga berdasarkan klasifikasi Köppen adalah tipe Afa yaitu iklim tropik basah, tidak ada musim kering, basah sepanjang tahun dan suhu rata-rata bulanan terpanas lebih besar dari 22 C (Evita, 2007). Curah hujan rata rata menunjukkan bahwa stasiun Dramaga memiliki jumlah bulan basah berturut-turut sebanyak 9 bulan (September s/d Mei). Oleh karena itu zona agroklimat wilayah kampus IPB Dramaga berdasarkan klasifikasi Oldeman adalah A1 yaitu sesuai untuk padi terus menerus tetapi produksi kurang karena pada umumnya kerapatan fluks radiasi surya rendah sepanjang tahun. Jenis tanah yang ada di Kampus IPB Dramaga dimasukkan dalam jenis tanah latosol coklat kemerahan dengan tekstur tanah halus dan drainase sedang. Bentuk wilayah adalah bergelombang dengan punggung punggung memanjang. Kelas kesesuaian wilayah untuk tanaman semusim, tanaman setahun dan padi sawah adalah sangat sesuai (LPT, 1979). Berdasarkan uji sondir dalam Final Report Soil Investigation untuk Perencanaan Pekerjaan Pembangunan Gedung Pendidikan IPB (2011) dapat disimpulkan bahwa jenis tanah permukaan adalah tanah lempung sangat lunak sampai lunak kelanauan dan lunak bercampur organik. 4.2. Status Daya Dukung Lingkungan Daya dukung lingkungan berbasis neraca air suatu wilayah dapat diketahui dengan menghitung kapasitas ketersediaan air pada wilayah tersebut. Ketersediaan air hujan di wilayah Kampus IPB Dramaga diperoleh dengan membandingkan nilai total CH andalan dalam satu tahun dengan kebutuhan air pada wilayah tersebut dalam satu tahun (water footprint). Wilayah Kampus IPB Dramaga merupakan wilayah institusi pendidikan dimana didalamnya terdapat bangunan perkuliahan, laboraturium, kantor, asrama, dan perumahan dosen. Oleh karena itu dalam perhitungan kebutuhan air (water footprint) di wilayah Kampus IPB Dramaga perhitungan kebutuhan air hanya dilakukan untuk populasi yang tinggal di dalam kampus yaitu di asrama dan perumahan dosen. Ketersediaan air yang dinyatakan sebagai CH andalan dihitung dengan peluang kejadian hujan 50% (Prastowo, 2010). CH andalan yang digunakan adalah 80% dengan besaran nilai 2,530.0 mm/tahun (Lampiran 4). Kebutuhan air yaitu jumlah populasi yang tinggal di dalam kampus dikalikan dengan 1,600 m 3 /kap/tahun sehingga didapat nilai sebesar 7.9 x 10 6 m 3 /tahun (Tabel 9). Nilai CH andalan total dalam satu tahun dikalikan dengan total luasan sehingga diperoleh nilai ketersediaan air dalam satuan m 3 /tahun, sehingga diperoleh nilai ketersediaan air dalam satuan m 3 /tahun yaitu sebesar 7.01 x 10 6 m 3 /tahun. Besarnya kebutuhan air yang telah dihitung setara dengan 7.9 x 10 6 m 3 /tahun, sehingga rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air adalah sebesar 0.9. Nilai rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air kurang dari 1 sehingga status daya dukung lingkungan untuk wilayah Kampus IPB Dramaga termasuk dalam kategori telah terlampaui 17

(overshoot). Hal ini juga dapat diketahui dengan kurva nomogram pada Gambar 4 yaitu hubungan antara kepadatan penduduk 1,855 jiwa/km 2 dengan curah hujan 2,530.0 mm/tahun dapat diketahui wilayah Kampus IPB Dramaga berada dalam status telah terlampaui (overshoot). Tabel 9. Kebutuhan air (water footprint) wilayah kampus IPB Dramaga Gedung Jumlah penghuni Kebutuhan air (m 3 /kap/tahun) Asrama putra 1,361 2,177,600 Asrama Putri 1,686 2,697,600 Rusunawa 274 438,400 Asrama Silvalestari 182 291,200 Asrama Silvasari 158 252,800 Asrama Amarilis 100 160,000 Asrama Putri Dramaga 35 56,000 Perumahan Dosen* (159 kk) 636 1,017,600 Kantin dan Kios** (260 buah) 520 832,000 Total kebutuhan air domestik 4,952 7,923,200 *asumsi perumahan dosen 1 kk terdiri dari 4 orang **asumsi masing-masing kios terdiri dari 2 orang Wilayah Kampus IPB Dramaga Gambar 4. Nomogram penetapan status daya dukung lingkungan berbasis neraca air untuk kepadatan 1000-10000 Jiwa/km 2 Hal yang perlu diperhatikan pada status daya dukung lingkungan berbasis neraca air pada wilayah Kampus IPB Dramaga yang masuk dalam kategori telah terlampaui (overshoot) adalah kondisi tersebut terjadi apabila air yang tersedia digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dikonsumsi oleh individu atau komunitas atau yang dihasilkan oleh industri. Kondisi aktual di wilayah ini tidak terdapat kegiatan industri untuk memproduksi pangan, papan dan sandang. Oleh 18

karena itu untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan air dibutuhkan rancangan hidrolika bangunan pengendali limpasan. 4.3. Curah Hujan dan Limpasan Curah hujan harian maksimum digunakan untuk menghitung besarnya intensitas hujan yang terjadi dalam suatu wilayah. Data curah hujan maksimum harian didapatkan dari data curah hujan maksimum yang didapat dari Stasiun Klimatologi Dramaga (Lampiran 3). Curah hujan harian maksimum periode ulang 5 tahun dengan menggunakan distribusi log pearson III adalah sebesar 634.20 mm yang perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil observasi, Kampus IPB Dramaga yang luasnya 277.16 ha dapat dibagi menjadi 14 Daerah Tangkapan Air (DTA) atau catchment area (Lampiran 1). Daerah tangkapan ini termasuk wilayah kampus dan perumahan penduduk yang berbatasan dengan IPB namun masih dalam satu daerah tangkapan air. Aliran permukaan pada masing-masing DTA ada yang langsung terbuang ke sungai seperti DTA yang berbatasan langsung dengan Sungai Cihideung yaitu DTA 1, 2, 5, 6 dan 7, sedangkan limpasan yang mengalir ke Sungai Ciapus berasal dari DTA 3, 4, 8, 9, 10 dan 12. Aliran pada DTA yang tidak berbatasan langsung dengan sungai yaitu DTA 11 akan terkonsentrasi pada suatu badan air seperti danau maupun kolam. Pola drainase masing-masing DTA dapat dilihat pada Gambar 5. U Keterangan: : Arah aliran indikatif : Arah jalur aliran : Outlet Gambar 5. Pola Drainase Kampus IPB, Dramaga 19

DTA yang menjadi pusat kegiatan kampus seperti DTA 5, 6, 7, 9, 10, 11, sudah memiliki jalur aliran permukaan yang teratur. DTA yang mencakup perumahan dosen dan kebun percobaan juga sudah memiliki trase aliran permukaan yang relatif baik. Pada DTA yang masih berupa vegetasi bertajuk tinggi seperti DTA 1 dan 2 belum terdapat jalur aliran sehingga hanya ditunjukkan dengan arah aliran indikatif saja. DTA di wilayah studi dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10. Luas DTA beserta penggunaan lahannya ditunjukkan pada Lampiran 2. Tabel 10. Deskripsi kondisi fisik Daerah Tangkapan Air Daerah Deskripsi Tangkapan Air Kelompok 1: DTA dengan arah limpasan ke Sungai Ciapus a. DTA 1 Relatif landai di bagian hulu dan curam di bagian hilir. Penggunaan lahan DTA 1 sebagian besar adalah vegetasi bertajuk tinggi sehingga belum memiliki saluran utama drainase. b. DTA 2 Sebagian besar penggunaan lahannya adalah vegetasi bertajuk tinggi sehingga belum memiliki saluran utama drainase. Bentangan DTA ini relatif landai di bagian hulu dan memiliki sebagian wilayah yang agak curam pada daerah hilir. c. DTA 5 Relatif agak curam dan sudah memiliki saluran drainase utama yang mengalir langsung ke Sungai Ciapus. d. DTA 6 Relatif curam dan belum memiliki saluran drainase utama. Dapat dikatakan daerah yang rawan longsor karena pada bagian hilir terdapat pemukiman warga dan bagian hulunya merupakan daerah terbangun yang relatif curam. e. DTA 7 Daerah ini agak curam di bagian hulu dan relatif landai di bagian hilir. Kelompok 2: DTA dengan arah limpasan ke Sungai Cihideung a. DTA 3 Sebagian besar penggunaan lahannya merupakan vegetasi bertajuk rendah dan kebun percobaan. Bentangan DTA 3 dapat dikatakan relatif landai. b. DTA 4 Sebagian besar penggunaan lahannya merupakan vegetasi bertajuk tinggi. Saluran drainase hanya terdapat di perumahan dan jalan, sehingga belum memiliki saluran drainase utama. Bentangan DTA 4 relatif landai keseluruhan bagiannya akan tetapi pada bagian tengah terdapat perbedaan tinggi cukup besar sehingga DTA 4 berpotensi untuk dijadikan reservoir. c. DTA 8 Bentuk tangkapannya memanjang dan langsung dibatasi oleh Sungai Cihideung. Oleh karena itu DTA ini bentangan wilayahnya relatif curam ke arah barat dimana terdapat Sungai Cihideung. d. DTA 10 Penggunaan lahannya sebagian besar adalah vegetasi bertajuk tinggi dan memiliki bentangan yang relatif curam. e. DTA 12 Area budidaya dan daerahnya relatif landai. Kelompok 3: DTA yang memiliki badan air dan dengan limpasan yang mengalir melewati DTA lainnya. a. DTA 9a Saluran drainase akan bermuara di Danau Situ Leutik bagian hulu. b. DTA 9b Saluran drainase akan bermuara di Danau Situ Leutik bagian hilir. c. DTA 9c Saluran drainase akan bermuara di kolam percobaan. Air dari Danau Situ Leutik dan kolam percobaan akan keluar melalui gorong-gorong menuju Sungai Cihideung. d. DTA 11 DTA ini merupakan cekungan 20

Pembagian DTA yang dilakukan berguna untuk perencanaan hidrolika bangunan pengendali limpasan. Bangunan pengendali limpasan ini berfungsi untuk menampung dan menyimpan air agar tidak terjadi banjir dan air dapat dimanfaatkan kembali. Besar kecilnya limpasan sangat ditentukan oleh pola penggunaan lahan yang dinyatakan dengan koefisen pengaliran C dalam persamaan rasional. Koefisien pengaliran bervariasi antara 0.30 0.57 pada masing-masing DTA, karena dipengaruhi oleh penggunaan lahan yang beragam. Semakin besar persentase lahan terbangun maka semakin besar limpasan. Semakin besar kemiringan lahan maka semakin besar limpasan. Jenis tanah juga mempengaruhi nilai limpasan, semakin liat tanah maka semakin besar limpasan. DTA yang memiliki koefisen limpasan terendah sebesar 0.30 adalah DTA 9a karena wilayahnya relatif datar walaupun memiliki persentase lahan terbangun paling besar. DTA yang memiliki koefisien limpasan tertinggi yaitu sebesar 0.57 adalah DTA 7 karena sebagian besar wilayahnya merupakan lahan terbangun dan kemiringan lahan yang relatif curam di bagian hulu dan landai di bagian hilir. Faktor lainnya yang mempengaruhi besarnya limpasan adalah panjang aliran utama (l) dan kemiringan saluran (s). Nilai debit pada masing-masing DTA dapat dilihat pada Tabel 11. Total debit limpasan untuk Kampus IPB Dramaga sebesar 5,662.58 l/dt. Debit limpasan pada masingmasing DTA berkisar antara 48.51 1,450.35 l/dt. Debit limpasan di DTA 9 yang memiliki 3 sub DTA (9a, 9b dan 9c) adalah sebesar 595.11 l/dt. Debit limpasan di DTA 1 relatif lebih besar dibandingkan dengan debit limpasan di DTA 9 yang luas wilayahnya lebih besar dari DTA 1. Faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut adalah DTA 1 memiliki panjang lintasan saluran yang lebih pendek dan wilayah yang relatif curam. Tabel 11. Debit pada masing-masing Daerah Tangkapan Air IPB DTA C* l (m) S tc (jam) i (mm/jam) Luas (ha) Q (m 3 /dt) Q (l/dt) 1 0.51 396.40 0.0748 28.35 23.65 23.60 0.79 786.97 2 0.51 287.67 0.1070 16.43 34.02 30.05 1.45 1,450.36 3 0.43 788.47 0.0478 70.01 12.94 22.34 0.35 348.48 4 0.41 940.38 0.0176 184.95 6.77 26.37 0.20 202.58 5 0.42 563.27 0.0609 44.11 17.61 15.54 0.32 319.84 6 0.53 462.69 0.0979 25.52 25.36 18.76 0.70 704.04 7 0.57 626.52 0.0623 47.02 16.88 20.68 0.55 548.77 8 0.55 1,540.00 0.0131 344.84 4.47 20.74 0.14 142.50 9a 0.30 581.75 0.0079 248.05 5.57 18.57 0.09 85.62 9b 0.44 258.94 0.0085 125.51 8.77 11.43 0.12 122.34 9c 0.46 679.44 0.0179 142.02 8.08 37.73 0.39 387.14 10 0.38 283.02 0.0162 78.54 11.99 9.44 0.12 120.02 11 0.36 170.92 0.0160 53.65 15.46 3.15 0.05 48.51 12 0.50 256.94 0.0225 55.30 15.15 18.78 0.40 395.39 Total 277.16 5.66 5,662.58 C* merupakan koefisien limpasan pada DTA 4.4. Perancangan Hidrolika Bangunan Pengendali Limpasan Sebelum merancang hidrolika bangunan pengendali limpasan terlebih dahulu dilakukan penentuan jalur aliran utama. Jalur aliran utama adalah saluran alami maupun buatan tempat berkumpulnya air dari segala macam sumber yang kemudian dialirkan ke sungai. Jalur saluran ditentukan mengikuti pola aliran yang telah ada. Perancangan hidrolika bangunan pengendali 21

limpasan hanya dilakukan pada DTA 4 dan DTA 9. Lokasi tersebut dipilih karena pada DTA 4 berpotensi untuk dijadikan sebagai reservoir, sedangkan DTA 9 merupakan pusat kegiatan akademik kampus IPB Dramaga. Penentuan jalur dilakukan berdasarkan interpretasi pada saat observasi lapang (Gambar 6). Penampang memanjang dari DTA 4 dan DTA 9 dapat dilihat pada Gambar 7. U DTA 4 DTA 9 Keterangan : : jalur aliran utama Gambar 6. Jalur aliran utama DTA 4 dan DTA 9 DTA 4 Jl. Kayu Manis 188 m 176 m 172 m 713 m 675 m 460 m 330 m 197 m 0 m Reservoir Lahan pertanian Vegetasi bertajuk Lapangan Asrama rendah parkir FKH Sylvalestari DTA 9 190 m 173 m 1223 m 655 m 290 m 0 m Kolam Percobaan Danau Situ Leutik Jalan Kamper Gambar 7. Sketsa penampang memanjang jalur aliran utama di DTA 4 dan DTA 9 22

Faktor yang perlu diperhatikan dalam perancangan hidrolika adalah topografi. Pemahaman mengenai topografi sangat penting agar rancangan hidrolika dapat memenuhi aspek ekonomi dan kemudahan dalam pengerjaan. Pada DTA 4 dilakukan rancangan hidrolika bangunan sebagai berikut: (a) Reservoir (b) Saluran (c) Bangunan penangkap sedimen Pada DTA 9 dilakukan rancangan hidrolika bangunan sebagai berikut: (a) Analisis saluran (b) Bangunan sadap (c) Bangunan penangkap sedimen pada inlet Danau Situ Leutik. 4.4.1 Rancangan Hidrolika Bangunan Pengendali Limpasan di DTA 4 (a) Reservoir Kondisi topografi lahan pada bagian hilir DTA 4 memungkinkan untuk pembangunan reservoir yang dapat berfungsi untuk menampung limpasan sehingga menambah potensi suplai air. Selain itu terdapat sumber mata air yang selalu mengalir dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan kolam ikan. Namun sebagian air mengalir dalam saluran dan langsung terbuang ke sungai. Mata air ini sangat berpotensi untuk dijadikan sumber air untuk reservoir. Berdasarkan keterangan warga, daerah ini dahulu merupakan waduk yang memiliki tubuh bendung. Oleh karena itu desain reservoir memanfaatkan tubuh bendung yang sudah ada. Kondisi DTA 4 dapat dilihat pada Gambar 8. (a) Salah satu sumber mata air (b) Lahan pertanian Tubuh bendung Saluran mata air (c) Bekas tubuh bendung dan saluran mata air Gambar 8. Kondisi DTA 4 berpotensi dijadikan reservoir 23

Air yang terdapat di reservoir ini dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sumber air untuk kebutuhan air bersih di DTA 4 dan DTA 8. Pada DTA 4 terdapat kandang peternakan, sedangkan pada DTA 8 terdapat kandang peternakan, rumah pemotongan hewan dan rumah kaca kebun percobaan Cikabayan. Kedua DTA tersebut memiliki suplai air baku sebesar 864 m 3 /hari yang berasal dari Danau Situ Leutik. Selain untuk menyuplai kebutuhan air baku, reservoir dirancang agar dapat dimanfaatkan sebagai tempat budidaya perikanan air tawar dan dapat dijadikan sebagai tempat pemancingan. Untuk memenuhi kebutuhan air tersebut maka volume simpanan aktif dirancang 10% lebih besar dari yang dibutuhkan yaitu sebesar 950.4 m 3 /hari. Simpanan mati (dead storage) merupakan endapan lumpur pada reservoir dirancang sebesar 47.76 m 3 /25 tahun yang perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 6. Sumber air untuk reservoir mengandalkan aliran mata air yang telah diukur debit sesaat yaitu sebesar 0.0435 m 3 /dt pada tanggal 27 April 2012. Nilai debit tersebut setara dengan 3,758.4 m 3 /hari sehingga dianggap setiap harinya dapat memenuhi kapasitas reservoir yang telah dirancang. Tata letak usulan reservoir dapat dilihat pada Gambar 9. 35 m 46 m Gambar 9. Tata letak usulan reservoir DTA 4 Agar reservoir tidak menggenangi lahan pertanian yang sudah ada maka reservoir dibuat dengan cara menggali lahan. Panjang tubuh bendung direncanakan sesuai dengan panjang tubuh bendung yang sudah ada yaitu 35 meter sehingga dimensi tampungan mencapai 35 m x 46 m. Hubungan antara tinggi muka air pada reservoir dan volume reservoir dapat ditunjukkan dengan Gambar 10. Tubuh bendung dilengkapi dengan pelimpah yang berfungsi untuk menjaga tinggi muka air, sehingga air tidak akan melampaui tinggi bendung (overtopping) dan tidak akan menggenangi lahan pertanian disekitarnya. Sketsa tampak atas tubuh bendung yang dilengkapi dengan pelimpah 24

dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12, sedangkan tipikal tubuh bendung dapat dilihat pada Gambar 13. Tinggi muka air maksimum Volume maksimum Gambar 10. Hubungan tinggi muka air dan volume reservoir di DTA 4 terowongan 120 m 200 m 160 m Lubang masuk pelimpah 40 m 40 m 80 m 160 m Bendungan urugan, elevasi mercu.160 m 200 m Gambar 11. Sketsa tampak atas tubuh bendung di DTA 4 (sumber: Linsley dan Franzini, 1985) Elevasi 145 m Bibir tempat masuk, dibulatkan Cerobong tegak Elevasi 35 m Terowongan beton Lengkung halus Gambar 12. Tipikal pelimpah jenis cerobong (sumber: Linsley dan Franzini, 1985) 25

Gambar 13. Tipikal tubuh bendung di DTA 4 Menurut Linsley dan Franzini (1985), pelimpah jenis cerobong (shaft spillway) digunakan apabila tidak ada ruang yang memadai untuk tipe pelimpah jenis lainnya. Biasanya pelimpah cerobong dirancang untuk menghindari pelimpahan di atas atau menembus suatu bendungan urugan. Untuk bendungan rendah dan cerobong pendek, tidak diperlukan perancangan bangunan masukan secara khusus. Pelimpah jenis cerobong yang kecil dapat seluruhnya dibuat dari logam atau pipa beton atau tembikar lempung. (b) Saluran Air dari mata air mengalir melalui saluran alami yang telah ada. Kapasitas saluran alami tersebut perlu disesuaikan agar dapat mendukung suplai air ke reservoir. Hidrolika saluran dirancang dengan trial and error dan mempertimbangkan topografi lahan. Saluran dirancang dengan menggunakan penampang trapesium (Gambar 2). Koefisien kekasaran manning yang digunakan adalah sebesar 0.030 yaitu untuk saluran alami berukuran kecil, bersih lurus, terisi penuh, tanpa rekahan atau ceruk dalam (Tabel 5). Berdasarkan Fortier dan Scobey (1926) dalam Kriteria Perencanaan untuk saluran (KP-03) (DPU, 1986a), kecepatan maksimum untuk saluran yang terbuat dari bahan tanah lempung kelanauan adalah sebesar 0.610 m/dt agar tidak terjadi erosi yang menyebabkan sedimentasi. Kecepatan minimum pada saluran juga perlu diperhatikan yaitu sebesar 0.4 m/dt untuk mencegah nyamuk malaria dan bilharzia (penyakit kaki gajah). Kemiringan saluran dirancang agar aliran mengalir tidak melampaui kecepatan maksimum yang sudah ditentukan. Berdasarkan Kriteria Perencanaan bagian petak tersier (KP-05) (DPU, 1986b), saluran pembuang sebaiknya direncanakan dengan kemiringan minimum 0.5% dan kecepatan aliran di atas 0.45 m/dt. Hidrolika saluran yang dirancang dapat dilihat pada Tabel 12 berdasarkan rumus perhitungan pada Tabel 7. Kemiringan lahan rata-rata adalah sebesar 1.94%. Tabel 12. Dimensi hidrolika saluran DTA 4 Unsur Geometris Nilai Kemiringan saluran (I) 0.005 Kedalaman, h (m) 0.433 Lebar bawah, b (m) 0.5 Lebar atas, B (m) 1.46 Luas, A (m 2 ) 0.276 Keliling basah, P (m) 1.383 Jari jari hidrolik, R (m) 0.200 Lebar puncak, T (m) 0.922 Kedalaman hidrolik, D (m) 0.299 Faktor penampang, Z 0.577 Tinggi jagaan, FB (m) 0.4 26

Berdasarkan perhitungan dari persamaan (16) dengan debit rencana pada DTA 4 sebesar 0.2 m 3 /dt (Tabel 11), didapat kecepatan aliran yang terjadi sebesar 0.72 m/dt. Nilai tersebut masih lebih besar dibandingkan dengan kecepatan maksimum yang diizinkan sehingga diperlukan penanaman vegetasi pada saluran untuk mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi. Selain itu menurut Kriteria Perencanaan bagian petak tersier (KP-05) (DPU, 1986b), jika kecepatan yang dihasilkan lebih tinggi dari kecepatan maksimum yang diizinkan maka diperlukan adanya bangunan terjun. Bangunan terjun juga diperlukan mengingat perbedaan kemiringan dasar saluran yang direncanakan (0.5%) berbeda dari kemiringan lahan rata-rata (1.94%). Menurut Chow (1992) adanya rumput atau tetumbuhan di saluran akan menimbulkan turbulensi yang cukup besar, yang berarti adanya kehilangan energi dan terjadinya hambatan aliran. Namun untuk saluran tanah yang dipakai untuk pengairan, adanya lapisan rumput ini sering dipandang menguntungkan dan disukai. Rumput tersebut akan menstabilkan tubuh saluran, mengkonsolidasikan massa tanah di dasar saluran dan mengontrol erosi permukaan saluran dan gerakan butir-butir tanah di sepanjang dasar saluran. Pedoman pemilihan tetumbuhan untuk saluran dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Pedoman pemilihan tetumbuhan untuk saluran bervegetasi Rumpun Tinggi rumput rata rata (cm) Tingkat hambatan >76 A Sangat tinggi 25 30 B Tinggi Baik 15 25 C Sedang 5 15 D Rendah < 5 E Sangat rendah >76 A Sangat tinggi 25 30 B Tinggi Sedang 15 25 C Sedang 5 15 D Rendah < 5 E Sangat rendah Sumber: U.S Soil Conservation Service dalam Chow, 1992. Perencanaan bangunan terjun pada saluran dibagi menjadi 4 ruas, masing masing ruas memiliki kemiringan lahan berturut-turut 0.004, 0.02, 0.028 dan 0.032. Seperti terlihat pada Gambar 14, dibutuhkan bangunan terjun pada saluran sebanyak dua buah sejarak 228.6 m (a) dan 304.8 m (b) dari hilir. Detail bangunan terjun dapat dilihat pada Gambar 15. reservoir Kemiringan lahan s = 0.004 s = 0.02 s = 0.028 s = 0.032 a b Kemiringan dasar saluran Gambar 14. Sketsa Penampang memanjang saluran di DTA 4 27

Kemiringan lahan FB h Kemiringan dasar saluran 0 Gambar 15. Sketsa detail kemiringan dasar saluran dan bangunan terjun di DTA 4 (c) Bangunan penangkap sedimen Untuk menghindari terjadinya pendangkalan, reservoir perlu dilengkapi dengan bangunan penangkap sedimen yang dipasang pada bagian inlet (Gambar 16). Bangunan penangkap sedimen terdiri dari saluran penangkap sedimen dan pintu air. Saluran penangkap sedimen dirancang berbentuk penampang trapesium (Gambar 2) dengan kecepatan aliran yang minimum untuk mengendapkan sedimen yang dibawa aliran. Kecepatan minimum aliran yang dirancang adalah sebesar 0.4 m/dt. Rancangan hidrolika saluran penangkap sedimen dapat dilihat pada Tabel 16. Slope saluran relatif datar Pintu pembilas Gambar 16. Tipikal bangunan penangkap sedimen Tabel 14. Dimensi hidrolika saluran penangkap sedimen di DTA 4 Unsur Geometris Nilai Kemiringan saluran (I) 0.00085 Kedalaman, y (m) 0.52 Lebar bawah, b (m) 0.6 Lebar atas, B (m) 1.56 Luas, A (m 2 ) 0.50 Keliling basah, P (m) 1.80 Jari jari hidrolik, R (m) 0.26 Lebar puncak, T (m) 1.20 Kedalaman hidrolik, D (m) 0.39 Faktor penampang, Z 0.577 Tinggi jagaan, FB (m) 0.4 28

4.4.2 Rancangan Hidrolika Bangunan Pengendali Limpasan di DTA 9 DTA 9 merupakan pusat kegiatan akademik Kampus IPB Dramaga. Perancangan hidrolika bangunan pengendali limpasan khususnya dilakukan di DTA 9c seperti yang terlihat pada Gambar 17. U Keterangan : : Saluran yang dianalisis : Inlet Situ Leutik : Bangunan sadap Gambar 17. Tata letak rancangan hidrolika pada DTA 9 (a) Saluran Analisis rancangan hidrolika saluran dilakukan di DTA 9 yang terletak di Jalan Kamper. Saluran dirancang dengan penampang segi empat dan berlapis beton (Gambar 18). Koefisien kekasaran manning untuk saluran berlapis beton sebesar 0.017 (Chow, 1992) dan analisis dimensi saluran pada DTA 9 dapat dilihat pada Tabel 15. Pada DTA 9 sudah terdapat saluran drainase yang berlapis beton dengan penampang segiempat. Saluran ini memiliki dimensi aktual lebar dasar (b) saluran sebesar 0.8 m dan kedalaman (h) ditambah tinggi jagaan (FB) sebesar 0.83 m. Berdasarkan analisis rancangan hidrolika yang dilakukan maka kapasitas saluran yang sudah ada dinilai telah memadai. 29

FB h (b) Bangunan sadap Gambar 18. Tipikal saluran penampang segi empat Tabel 15. Analisis dimensi saluran di DTA 9 Unsur Geometris Nilai Kedalaman, y (m) 0.313 Lebar bawah, b (m) 0.8 Luas, A (m 2 ) 0.196 Keliling basah, P (m) 1.252 Jari jari hidrolik, R (m) 0.156 Lebar puncak, T (m) 0.626 Kedalaman hidrolik, D (m) 0.313 Tinggi jagaan, FB (m) 0.4 b Air yang menggenang di permukaan jalan dapat merusak jalan dan mengganggu pengguna jalan. Sebagai contoh di Jalan Kamper air sering menggenang sampai setinggi trotoir pada saat hujan. Pada tepi jalan terdapat lubang lubang drainase untuk mengalirkan air ke saluran (Gambar 19), akan tetapi lubang drainase tersebut relatif kecil sehingga tidak memadai untuk mengalirkan debit aliran yang ada. Selain itu lubang drainase tersebut juga tertutup daun-daunan maupun sedimen yang menghambat aliran masuk ke lubang drainase. Lubang drainase juga rata dengan jalan sehingga memperlambat aliran yang akan masuk. Untuk itu konstruksi lubang perlu dibuat yang cekung ke dalam untuk mempercepat aliran masuk ke saluran drainase. Gambar 19. Lubang drainase 30

Untuk menghindari terjadinya genangan yang tinggi maka perlu dibuat kapasitas bangunan sadap berupa lubang drainase yang diperbesar. Selain itu posisi lubang drainase dibuat lebih rendah daripada permukaan jalan agar tidak terjadi genangan pada jalan pada saat hujan. Tipikal bangunan sadap dapat dilihat pada Gambar 20. trotoir trotoir (a) (b) Gambar 20. Tipikal bangunan sadap (a) berkisi (b) lubang penahan (sumber: Linsley dan Franzini, 1985) (c) Bangunan penangkap sedimen Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dalam kegiatan Save Our Situ oleh UKM Pecinta Alam (Lawalata) IPB, telah terjadi penyusutan luas danau akibat dari sampah organik yang menumpuk di tepi danau. Oleh karena itu, perlu adanya bangunan penangkap sedimen pada inlet Danau Situ Leutik (Gambar 16) untuk mencegah terjadinya sedimentasi. Bangunan penangkap sedimen berfungsi untuk menahan partikel-partikel atau sedimen agar tidak masuk ke dalam badan air seperti Danau Situ Leutik maupun Kolam Percobaan. Bangunan ini diletakkan di bagian hulu dari inlet yang menuju ke badan air tersebut. Sedimen yang terbawa masuk ke badan air dan kemudian mengendap akan menyebabkan terjadinya pendangkalan dan akan mengurangi kapasitas badan air dan kualitas airnya. 31