BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh School Health Service di Inggris Raya sebesar 0.9%, tetapi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul yang terjadi lebih dari 3

ANGKA KEBERHASILAN MIRINGOPLASTI PADA PERFORASI MEMBRANA TIMPANI KECIL, BESAR, DAN SUBTOTAL PADA BULAN JUNI 2003 SAMPAI JUNI 2004

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Otitis Media Supuratif Kronis

ABSTRAK. Kata Kunci: Gangguan Pendengaran, Audiometri

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian

Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. otitis media dibagi menjadi bentuk akut dan kronik. Selain itu terdapat sistem

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek adalah

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012.

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Otitis media supuratif kronis adalah peradangan kronis mukosa telinga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Audiometri. dr. H. Yuswandi Affandi, Sp. THT-KL

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015).

KRITERIA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

BAB 1 : PENDAHULUAN. membungkus jaringan otak (araknoid dan piameter) dan sumsum tulang belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang ditemukan pada banyak populasi di

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Eustachius dan prosessus mastoideus (Dhingra, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. praktik kedokteran keluarga (Yew, 2014). Tinnitus merupakan persepsi bunyi

BAB 1 PENDAHULUAN. Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis, yang berarti dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Perubahan struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu. infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis d.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. 1

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

BAB I PENDAHULUAN. pendengaran terganggu, aktivitas manusia akan terhambat pula. Accident

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH SELAMA PERIODE BULAN JANUARI JUNI 2013

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.

asuhan keperawatan Tinnitus

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1. Diajukan Oleh : RIA RIKI WULANDARI J

12/3/2010 YUSA HERWANTO DEPARTEMEN THT-KL FK USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN FISIOLOGI PENDENGARAN

BAB I PENDAHULUAN. lansia, menyebabkan gangguan pendengaran. Jenis ketulian yang terjadi pada

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut badan organisasi dunia World Health Organization (WHO)

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang

BAB I PENDAHULUAN. kasus. Kematian yang paling banyak terdapat pada usia tahun yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia, yang ditandai

Pemeriksaan Pendengaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara. Dari hasil WHO Multi Center

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemeriksaan audiometri nada murni (Hall dan Lewis, 2003; Zhang, 2013).

AUDIOLOGI. dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL BAGIAN THT KL FK USU MEDAN 2009

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. masalah gizi di Indonesia, terutama KEP masih lebih tinggi dari pada negara ASEAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB I PENDAHULUAN. paling banyak terjadi pada wanita (Kemenkes, 2012). seluruh penyebab kematian (Riskesdas, 2013). Estimasi Globocan,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

ASKEP GANGGUAN PENDENGARAN PADA LANSIA

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak

Skrining dan Edukasi Gangguan Pendengaran pada Anak Sekolah

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Mencapai derajat sarjana S-1. Diajukan Oleh : NURHIDAYAH J FAKULTAS KEDOKTERAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. mencakup dua aspek, yakni kuratif dan rehabilitatif. Sedangkan peningkatan

BAB 1 PENDAHULUAN. prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. lapisan, yaitu pleura viseral dan pleura parietal. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. secara efektif. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan angka kejadian yang masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat, UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit (RS) sebagai institusi pelayanan kesehatan, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

Pentingnya Menjaga Kesehatan Telinga KAMI BEKERJA UNTUK BANGSA INDONESIA YANG LEBIH SEHAT

Personalia Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas walaupun perkembangan terapi sudah maju. Laporan World Health

SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otitis media supuratif kronis atau yang biasa disebut congek bervariasi pada setiap negara. Angka kejadian otitis media supuratif kronis yang rendah, di negara maju ditemukan pada pemeriksaan berkala, pada anak sekolah yang dilakukan oleh School Health Service di Inggris Raya sebesar 0.9%, tetapi prevalensi otitis media supuratif kronis yang tinggi juga masih ditemukan pada ras tertentu di negara maju, seperti Native American Apache 8.2%, Indian 6%, dan Aborigin 25% (Djaafar, 2008). Survei prevalensi diseluruh dunia, yang bervariasi menunjukkan beban dunia akibat otitis media supuratif kronis melibatkan 65 330 juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39 200 juta) menderita kurang pendengaran yang bermakna (Aboet, 2007). Prevalensi otitis media supuratif kronis pada beberapa negara antara lain dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, hygienie dan nutrisi yang buruk (WHO, 2004). WHO mengemukakan bahwa otitis media supuratif kronis diderita oleh 65-330 juta orang diseluruh dunia, dimana 60% diantaranya mengalami gangguan pendengaran. Lebih dari 90% kasus ditemukan diwilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, Pinggiran Pasifik, dan Afrika. Penyakit ini jarang dijumpai di Amerika, Eropa, Australia dan Timur Tengah (Monasta et al, 2012). 1

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi kronis bidang THT di Indonesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian (Djaafar, 2008). Sesuai kriteria WHO Indonesia termasuk negara dengan prevalensi tinggi untuk penyakit otitis media supuratif kronis (WHO, 2004). Secara umum prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia adalah 3,8% dan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 25% pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien, sedangkan pada tahun 2007-2008 diperkirakan sebesar 28-29% (Aboet, 2007). Dari penelitian yang dilakukan Santoso (2016) didapatkan prevalensi otitis media supuratif kronis di provinsi Sumatera Utara tahun 2015 sebesar 3.5%, yang meliputi tipe aman sebesar 2.8% dan tipe bahaya sebesar 0.7%. Pada penelitian ini didapatkan kelompok usia terbanyak yang menderita otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah kelompok usia 10 - <20 tahun sebesar 26.23%. untuk jenis kelamin laki-laki didapati lebih banyak menderita yaitu sebesar 54.1% dari pada perempuan sebesar 45.9% Otitis media supuratif kronis yang merupakan radang kronis mukosa telinga tengah dan mastoid ditandai dengan adanya defek pada membran timpani (perforasi membran timpani) dan adanya otorea yang persisten lebih dari 3 bulan (Kenna & Latz, 2006; Chole & Nason, 2009). Riwayat keluarnya cairan dari telinga (otorea) lebih dari tiga bulan baik terus menerus ataupun hilang timbul (Telian & Schmalbach, 2002). Cairan biasanya mukoid, encer, atau berupa nanah (Helmi, 2005; Kenna & Latz, 2006; Dhingra, 2009).

Terjadinya otitis media akut menjadi awal penyebab otitis media supuratif kronis yang merupakan invasi mukoperiosteum organisme yang virulen, terutama berasal dari nasofaring yang terdapat paling banyak pada masa anak-anak (Kenna & Latz, 2006). Status sosio-ekonomi yang rendah disertai akses terbatas pelayanan kesehatan mungkin sebagai faktor yang berhubungan dengan kejadian otitis media supuratif kronis (Koch et al., 2009). Salah satu sekuele otitis media supuratif kronis yang sering menimbulkan masalah berupa perforasi membran timpani yang menetap. Dampak perforasi tersebut menimbulkan turunnya ketajaman pendengaran yang mengganggu komunikasi. Infeksi berulang juga sangat mengganggu kondisi psikososial penderita, makin sering infeksi berulang makin bertambah luas kerusakan jaringan telinga tengah dan makin bertambah berat kerusakan pendengaran yang terjadi (Soewito, 1994). Pasien otitis media supuratif kronis yang datang ke RSCM Jakarta pada tahun 2001 kurang lebih 90% berasal dari masyarakat sosio-ekonomi lemah. Namun demikian sebagian besar ( 80%) dari mereka secara tidak teratur sudah pernah berobat ke dokter umum, dokter THT, atau diobati sendiri berulang-ulang dengan obat tetes. Sebagian dari pasien ini datang karena ketulian yang sudah mengganggu komunikasi atau sudah disertai tanda-tanda komplikasi (Djaafar, 2008). Pada hakekatnya sumber daya manusia terdiri dari 3 unsur utama, yaitu unsur informasi oleh panca indera, unsur pengambilan keputusan oleh sistem otak dan unsur pelaksana oleh tubuh serta perangkatnya. Gangguan pendengaran

merupakan salah satu hambatan yang sangat besar dalam kemampuan berkomunikasi yang efektif. Kemampuan berbicara dan untuk memahami sesuatu, sangat tergantung pada kemampuan memproses informasi suara yang didengar (Ashley et al, 2009). Gangguan pendengaran yang terjadi dapat bervariasi. Pada umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif, namun dapat pula bersifat tuli saraf atau tuli campur apabila sudah terjadi gangguan pada telinga dalam. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di telinga tengah (Djaafar, 2008). Infeksi kronis telinga tengah menyebabkan edema, perforasi membran timpani, dan defek rantai tulang pendengaran yang menyebabkan tuli konduksi berkisar antara 20-60 db (Verhoeff et al., 2006). Pada otitis media supuratif kronis tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi seringkali kolesteatoma bertindak sebagai penghantar suara ke foramen ovale sehingga gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologis yang terjadi sangat hebat (Djaafar, 2008). Penelitian pada hewan menunjukan bahwa mediator inflamasi, penetrasi kedalam telinga dalam hingga round window membrane dan menyebabkan kehilangan sel rambut koklea. Penelitian pada manusia menunjukan bahwa sel rambut dalam dan luar pada basal koklea menurun pada pasien otitis media supuratif kronis (Verhoeff et al., 2006). Evaluasi audiometri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi koklea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang, besarnya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan,

dan manfaat dari operasi rekonstruksi telinga tengah terhadap perbaikan pendengaran dapat ditentukan (Chole & Nason, 2009; Djaafar, 2008). Salah satu cara untuk mengatasi ketulian yang timbul akibat otitis media supuratif kronis adalah pembedahan rekonstruksi telinga tengah yang dikenal dengan istilah timpanoplasti, suatu prosedur pembedahan untuk menghilangkan proses patologik didalam kavum timpani yang diikuti oleh rekonstruksi konduksi suara, disertai atau tanpa penanduran membran timpani. Prinsip utama timpanoplasti menciptakan membran timpani yang intak, mencegah rekurensi telinga berair dan mengembalikan fungsi pendengaran. Keberhasilan operasi timpanomastoidektomi adalah ketika dapat dilakukan eradikasi penyakit secara komplit sekaligus perbaikan pendengaran. Pendengaran dapat dikatakan bertambah baik setelah dilakukan rekonstruksi pendengaran apabila dijumpai kenaikan ambang dengar lebih dari 15 db yang dapat diukur dengan audioetri nada murni (Soewito, 1994). Perubahan histopatologik jaringan mukoperiosteum kavitas timpani penderita otitis media supuratif kronis yang mendapatkan terapi akan kembali normal setelah 12 minggu. Pada timpanoplasti tandur bertindak sebagai media untuk migrasi epitel skuamosa permukaan luar dan mukosa membran timpani. Dalam waktu 6-8 minggu, fasia telah dilapisi oleh epitel dari kedua permukaan, sedangkan lapisan fibrosa dari jaringan ikat yang kaya fibroblast dibagian tengah membran timpani baru terbentuk pada minggu ke2-5 setelah penempelan perforasi oleh fasia. Penyembuhan dimulai 2-4 hari setelah operasi, epitel skuamosa pada pinggiran luka akan mulai berproliferasi dan bermigrasi melintasi pinggiran luka.

Melalui aktivitas fibroblast, limfosit dan kapiler terjadi regenerasi jaringan ikat yang juga dimulai dari pinggir luka. Nutrisi yang diperlukan untuk regenerasi ini didapat dari kapiler-kapiler disekeliling luka. Dalam waktu 2 minggu, tandur akan sudah dilapisi epitel skuamosa (Fitri & Taufiq, 2004). Penelitian yang dilakukan Fitri & Taufiq (2004) terhadap 52 pasien, menunjukan angka keberhasilan miringoplasti dengan peningkatan pendengaran sebesar 10-20 db sebanyak 33 kasus (63.3%), 17 kasus meningkat sebesar 21-30db (32.7%), dan peningkatan sebesar 31-40db sebanyak 4 kasus (0.8%). Sengupta et al. (2010) melakukan penelitian terhadap pasien otitis media supuratif kronis, mendapati hasil audiometri preoperatif 30% kasus dengan gangguan pendengaran ringan, 57.5% dengan gangguan pendengaran sedang dan 12.5% dengan gangguan pendengaran berat. Setelah dilakukan audiometri ulang 6 bulan pasca operasi, secara keseluruhan dijumpai peningkatan pendengaran sebanyak 35%. Peningkatan ambang dengar tidak dipengaruhi oleh tipe mastoidektomi. Seperti yang dilaporkan Min-Beom et al. (2010), dimana rerata ambang dengar kurang dari 20 db dijumpai pada canal wall down type (58.6%) dan canal wall up type (68.4%). Penelitian Sheresta et al (2008), menunjukan peningkatan ambang dengar yang ditandai dengan perbaikan nilai air bone gap pre dan pasca operasi timpanomastoidektomi tipe III senilai 37.8 db menjadi 29.8 db. Hal ini menunjukan bahwa dengan pendekatan operasi yang dilakukan, keparahan

gangguan pendengaran setelah operasi diatasi selain dilakukan pencegahan kekambuhan penyakit. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan ambang dengar pre dan pasca operasi timpanoplasti pada penderita otitis media supuratif kronis. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas ingin dijawab beberapa masalah yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Pertanyaan penelitian tersebut adalah apakah terdapat perubahan ambang dengar pada penderita otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui apakah terdapat perubahan ambang dengar pada penderita otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti. 1.3.2 Tujuan khusus kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan usia. kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan jenis kelamin. kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan tipe otitis media supuratif kronis.

kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan tipe perforasi. kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan jenis ketulian. kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan tipe timpanoplasti. - Untuk mengetahui perbedaan hantaran udara (air conduction) pre dan pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis. - Untuk mengetahui perbedaan hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis. - Untuk mengetahui rerata perbedaan ambang dengar pre dan pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis. - Untuk mengetahui besar peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis. 1.4 Manfaat Penelitian Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perubahan ambang dengar setelah timpanoplasti disertai besar peningkatannya pada penderita otitis media supuratif kronis. Secara klinis data tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan evaluasi keberhasilan operasi timpanoplasti pada penderita otitis media supuratif kronis serta dapat memberikan gambaran prognosis pendengaran penderita otitis media supuratif kronis.