BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tidur 2.1.1. Definisi Tidur Tidur adalah suatu irama fisiologis normal dan kompleks yang melibatkan keadaan kesadaran yang berubah darimana individu dapat terangsang oleh rangsangan yang tepat (Berger & Williams, 1992). Tidur adalah proses yang berfungsi untuk memulihkan energi dan kesejahteraan (Potter & Perry, 2005). Tidur adalah proses yang diperlukan manusia untuk pembentukan sel-sel tubuh yang baru, perbaikan sel-sel tubuh yang rusak (natural healing mechanism), memberi waktu organ tubuh untuk istirahat maupun untuk menjaga keseimbangan metabolisme dan biokimia tubuh (Mass, 2002). 2.1.2. Jenis- Jenis Tidur Tidur dibagi ke dalam dua jenis, yaitu: 1. Tidur NREM (non rapid eye movement) Tidur NREM merupakan jenis tidur yang disebabkan oleh menurunnya kegiatan dalam sistem pengaktivasi retikularis, disebut dengan tidur gelombang lambat (slow wape sleep) karena gelombang otak bergerak sangat lambat (Hidayat, 2006). Tidur NREM juga diartikan sebagai periode tidur dimana tidak ada gerakan mata yang dapat diamati (Berger & Williams, 1992).
2. Tidur REM ( rapid eye movement) Tidur REM merupakan jenis tidur yang disebabkan oleh penyaluran abnormal dari isyarat-isyarat dalam otak meskipun otak mungkin tidak tertekan secara berarti (Hidayat, 2006). Tidur REM juga diartikan sebagai periode dimana ada gerakan mata dapat diamati dan kelopak mata ada kedutan (Berger & Williams, 1992). Menurut Hidayat (2006), tidur NREM mempunyai 4 tahapan yang maasingmasing tahap ditandai dengan pola gelombang otak: 1. Tahap I Tahap I merupakan tahapan transisi, berlangsung selama 5 menit yang mana seseorang beralih dari sadar menjadi tidur. Seseorang menjadi kabur dan rileks, mata bergerak ke kanan dan ke kiri, kecepatan jantung dan pernafasan turun secara jelas. Gelombang alpa sewaktu seseorang masih sadar dibantu dengan gelombang beta yang lambat. Seseorang yang tidur pada tahap pertama dapat dibangunkan dengan mudah. 2. Tahap II Tahap II merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun. Mata masih bergerak-gerak kecepatan jantung dan pernapasan turun dengan jelas, suhu tubuh dan metabolisme menurun. Tahap kedua berlangsung pendek dan berakhir dalam waktu 10-15 menit. 3. Tahap III Pada tahap ini kecepatan jantung dan pernapasan serta proses tubuh berlanjut mengalami penurunan akibat dominasi sistem saraf parasimpatis. Seseorang lebih
sulit dibangunkan. Gelombang otak menjadi teratur dan terdapat penambahan gelombang delta yang lambat. 4. Tahap IV Tahap IV merupakan tahap tidur dalam yang ditandai dengan redominasi gelombang delta yang melambat. Kecepatan jantung dan pernapasan turun. Selama tidur seseorang mengalami 4 sampai 6 kali siklus tidur dalam waktu 7 sampai 8 jam. Siklus tidur sebagian besar merupakan tidur NREM dan berakhir dengan tidur REM. NREM I NREM II NREM III REM NREM IV NREM II NREM III Skema 2-1. Tahapan tidur 2.1.3. Fungsi dan Tujuan Tidur Fungsi dan tujuan tidur secara jelas tidak diketahui, akan tetapi diyakini bahwa tidur dapat menyumbang dalam pemulihan fisiologis dan psikologis (Potter & Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), tidur berfungsi untuk menjaga keseimbangan mental, emosional, kesehatan, mengurangi stress pada paru, kardiovaskular, endokrin, dan lain-lain. Secara umum terdapat dua efek fisiologis dari tidur: pertama, efek pada sistem saraf yang diperkirakan dapat memulihkan kepekaan normal dan
keseimbangan diantara berbagai susunan saraf; dan kedua, efek pada struktur tubuh dengan memulihkan kesegaran dan fungsi dalam organ tubuh karena selama tidur terjadi penurunan, (Hidayat, 2006). Menurut Hidayat (2006), Ada beberapa hal yang berhubungan dengan kebutuhan tidur yaitu: 1. Kebiasaan tidur Yang perlu diperhatikan kebiasaan banyaknya tidur pasien, kebiasaan menjelang tidur, pukul berapa tidur, waktu yang diperlukan untuk dapat tidur, jumlah terjaga selama tidur, obat-obatan yang diminum dan pengaruhnya terhadap tidur, lingkungan tidur sehari-hari, persepsi pasien terhadap kebutuhan tidur dan posisi tidur. Menurut Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa gaya hidup seseorang sangat berpengaruh terhadap pola tidur terutama pada siang hari yang dikarenakan adanya perubahan rutinitas dan gaya hidup anak selama dirawat inap. 2. Tanda-tanda klinis kekurangan tidur Ada beberapa tanda klinis yang perlu diketahui terhadap pasien yang kurang tidur, pasien mengungkapkan rasa capek, mudah tersinggung, dan kurang santai, apatis, warna kehitam-hitaman disekitar mata, konjungtiva merah, pusing dan mual. 3. Tahap Perkembangan Lama tidur yang dibutuhkan oleh seseorang tergantung pada usia. Semakin tua usia seseorang semakin sedikit pula lama tidur yang diperlukan.
2.1.4. Kebutuhan dan Pola Tidur Normal Anak Pola tidur merupakan pola dan kecukupan tidur yang dialami seseorang tiap hari. Durasi tidur dan kualitas tidur berbeda setiap orang. Satu orang mungkin butuh 4 jam untuk tidur, tetapi yang lain membutuhkan 10 jam (Potter & Perry, 1992). Pola tidur adalah model, bentuk atau corak tidur dalam jangka waktu yang relatif menetap dan meliputi (1) masalah waktu tidur, (2) tidur siang yang berlebihan, (3) frekuensi terbangun di malam hari, (4) ketidakteraturan dan durasi tidur (Mohammadi, 2007). Suherman (2000) menyatakan bahwa semakin bertambah umur, maka yang dibutuhkan untuk tidur semakin berkurang karena kegiatan fisiknya meningkat. Menurut Berger & William (1992), masalah dalam memulai dan mempertahankan tidur umumnya banyak berkurang pada usia 3-12 tahun dan semakin bertambah usia anak maka respon anak jika sulit tidur pada malam hari dan anak akan melanjutkan untuk bermain atau membaca. Gangguan pola tidur juga diartikan dengan adanya keluhan verbal dari kesulitan tidur, terbangun lebih cepat atau lebih lama darikeinginan, menunda tidur, keluhan verbal karena tidak merasakan tidur yang baik, perubahan sikap dan penampilan (Bellack & Edlund, 1992). a. Neonatus Kebutuhan tidur neonatus kira-kira 16 jam per hari, dengan rentang pukul 10.00 23.00. Setelah beberapa jam setelah kelahiran menjadi diam dan responnya berkurang terhadap stimulus internal dan eksternal. Kira-kira 50% pada tidur tersebut adalah tidur REM, dengan stimulus dari pusat otak.
b. Bayi Pola tidur berbeda pada setiap bayi. Untuk bayi yang aktif tidurnya lebih sedikit dibandingkan dengan bayi yang pendiam. Bayi umumnya membutuhkan tidur malam sejak usia 3 4 bulan. Bayi mungkin tidur sebentar pada siang hari tetapi umumnya tidur kira-kira 8 10 jam pada malam hari. Bayi untuk usia 1 bulan dan 1 tahun tidur dengan rata-rata 14 jam per hari dan biasanya itu adalah tidur REM. c. Toddler Mulai pada usia 2 tahun, anak umumnya tidur pada malam hari dan tidur sebentar di siang hari. Total tidur rata-rata 12 jam per hari.tidur sebentar itu mulai dimulai pada usia 3 tahun. Persentase tidur REM mulai berkurang karena anak memiliki berbagai stimulus eksternal yang berarti. d. Usia Prasekolah Rata-rata anak prasekolah tidur antara 12 jam per hari dan jarang tidur siang. Anak umumnya memiliki kesulitan untuk tenang atau terdiam sejenak setelah hari aktif. Seorang anak sering bermasalah dalam tidurnya, terbangun pada malam hari, atau mimpi buruk. e. Usia Sekolah Jumlah kebutuhan tidur pada usia sekolah sangat berbeda karena variasi aktivitas dan level kesehatan. Anak usia sekolah umumnya tidak memerlukan tidur siang. Pada usia 6 tahun tidur malam berkisar 11-12 jam, sedangkan usia 11 tahun tidur antara 9-10 jam.
2.1.5. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Tidur Kuantitas dan kualitas tidur dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kualitas tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya (Potter dan Perry, 1992). Menurut Bellack & Edlund (1992), faktor yang berhubungan dengan gangguan pola tidur adalah perubahan sensori; internal (penyakit dan stress psikologi); eksternal (perubahan lingkungan dan isyarat sosial). Menurut Potter dan Perry (1992), faktor yang dapat mempengaruhi tidur adalah: a. Penyakit Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit yang memperbesar kebutuhan tidur. Keadaan sakit menjadikan kurang tidur dan bahkan tidak bisa tidur. b. Latihan dan Kelelahan Keletihan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal tersebut terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek. c. Stres Psikologis Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa. Hal tersebut terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah psikologis mengalami kegelisahan sehingga sulit untuk tidur. Karena stress emosional, klien menunjukkan penundaan untuk tidur, sedikitnya tidur REM, frekuensi terbangun
meningkat, peningkatan total untuk tidur, merasa kekurangan tidur dan cepat bangun. d. Obat Obat dapat juga mempengaruhi proses tidur. Beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi proses tidur adalah jenis golongan obat diuretik yang menyebabkan seseorang insomnia, antidepresan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan saraf simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk tidur, dan lain-lain. f. Nutrisi Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena adanya tryptophan yang merupakan asam amino dari protein yang dicerna. Demikian sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang dapat juga mempengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit untuk tidur. g. Lingkungan Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang dapat mempercepat terjadinya proses tidur.lingkungan menjadi penyebab yang signifikan untuk mampu memulai dan mempertahankan tidur. Tempat tidur di rumah sakit sangat berbeda dengan di rumah. Di rumah sakit, keributan menjadi masalah terhadap pasien dan menjadikan pasien rawan untuk terbangun. Keributan di rumah sakit biasanya baru dan asing. Masalah tersebut sangat tampak pada malam pertama rawat inap.
h. Motivasi Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur. Beberapa anak takut untuk tidur yang mengakibatkan penundaan untuk memulai tidur yang akhirnya kesulitan untuk merasakan tidur dan mempertahankan tidurnya (Hay, Groothuis, Hayward and Levin, 1997). Penundaan fase tidur tersebut dikarenakan adanya keterlambatan untuk tidur akibat irama sirkardian yang tidak teratur ( Behrman & Kliegman, 2002). 2.1.6. Jenis Gangguan Tidur Gangguan tidur merupakan kondisi yang berulangkali menyebabkan gangguan pada pola tidur (Potter & Perry, 1992). a. Insomnia Insomnia adalah kesulitan untuk tidur atau kesulitan untuk tetap tidur, atau gangguan tidur yang membuat penderita merasa belum cukup tidur pada saat terbangun. b. Hipersomnia Hipersomnia adalah kesulitan untuk tidur yang berebihan dan selalu mengantuk di siang hari dan sering disebut dengan narkolepsi dimana pasien tidak dapat menghindari untuk tidur.
c. Parasomnia Parasomnia adalah gangguan tidur yang tidak umum dan tidak diinginkan, yang tampak secara tiba-tiba selama tidur atau yang terjadi pada ambang terjaga dan tidur. Sering muncul dalam bentuk mimpi buruk yang ditandai mimpi lama dan menakutkan. 2.2. Rawat Inap 2.2.1. Definisi Rawat Inap Supartini (2004) menyatakan rawat inap pada anak merupakan suatu proses karena suatu alasan yang direncanakan atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai anak dapat dipulangkan kembali ke rumah. Perawatan rumah sakit atau hospitalisasi adalah suatu keadaan sakit dan harus dirawat di rumah sakit yang terjadi pada anak dan keluarganya (Thompson, 2001). Rawat inap mempengaruhi reaksi pasien berupa sakit, stress, cemas, dan ketakutan. Dampak tersebut dapat mengakibatkan pola tidur yang buruk (Slota, 2006). Beberapa perubahan lingkungan fisik selama dirawat di rumah sakit dapat membuat anak merasa asing. Perubahan lingkungan fisik ruangan seperti fasilitas tempat tidur yang sempit dan kurang nyaman, tingkat kebersihan kurang, pencahayaan yang terlalu terang atau terlalu redup, keadaan dan warna dinding dan tirai dapat membuat anak merasa kurang nyaman, (Thompson, 2001).
2.2.2.Reaksi Anak Terhadap Rawat Inap Reaksi anak akibat dirawat di rumah sakit sifatnya sangat universal karena faktor yang mempengaruhinya sangat bervariasi. Reaksi anak terhadap rawat inap dipengaruhi oleh usia anak, persiapan, pengalaman terhadap penyakit dahulu, dukungan keluarga dan petugas kesehatan dan status emosional anak (Thompson, 2001). Menurut Smith (1982), reaksi anak usia sekolah sering ditunjukkan dengan ketakutan akan nyeri dan cedera tubuh, sakit dipersepsikan sebagai hukuman, ketakutan kehilangan control, dan kesedihan yang berlebihan karena perpisahan dari teman, sekolah dan keluarga. Supartini (2004) menyatakan bahwa reaksi anak terhadap rawat inap bersifat individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimilikinya. Pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Menurut Potter dan Perry (1992), reaksi anak terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit sesuai dengan tahapan perkembangan anak. a. Infant dan Toddler Pengalaman bayi dan anak akan kecemasan pemisahan menjadi stresor utama pada mereka selama hospitalisasi. Tiga tingkatan dari kecemasan pemisahan, antara lain: protes, putus asa, dan menolak. Kecuali anak yang sangat kesakitan, kesedihan dan perasaan mereka ditinggal adalah nyata. Mereka protes dengan nyaring. Mereka melihat dan mendengar ibunya.
Tahap kedua terjadi dengan perubahan marah ke putus asa. Anak terlihat sedih dan kesepian dan terkadang menolak untuk makan. Mereka depresi dan berubah pada penurunan. Pada tahap ketiga, menolak, anak mencoba untuk mengingkari untuk membutuhkan ibunya dengan melepaskan dan ketidaktertarikan kunjungan ibunya.. Anak juga menunjukkan kehilangan kontrol pengalaman mereka saat hospitalisasi. Pembatasan aktivitas, penurunan kesempatan untuk memilih, mengganggu keagamaan menjadi perasaan tidak berdaya. Anak sering berpurapura takut luka dan nyeri dan mencoba mengingat pengalaman masa lalu. b. Usia Prasekolah Prasekolah menunjukkan pemisahan kecemasan walaupun tidak nyata kelihatan. Anak prasekolah terkadang bertindak tidak mau kerjasama dan sering bertanya kepada orangtua mereka. Penting untuk membantu menyadarkan anak prasekolah yang hospitalisasi bahwa hospitalisasi itu tidak suatu hukuman akan sesuatu yang mereka perbuat salah. Rawat inap pada anak prasekolah terkadang muncul mimpi buruk dan menunjukkan ketakutan akan kegelapan atau tidak kenal dengan lingkungan. Anak prasekolah sering takut dengan peralatan dan perlengkapan rumah sakit karena mereka percaya selama mereka disana akan melukai mereka. Itulah yang menyebabkan mereka merasa tidak berdaya. c. Usia Sekolah Anak usia sekolah sering menunjukkan tanda kecemasan akan terpisahnya dari orangtua, khususnya ketika mereka jatuh sakit. Anak usia sekolah
merindukan teman sekolahnya. Mereka sering takut akan melupakan teman sebayanya ketika mereka sedang jauh dari sekolah. Anak usia sekolah adalah proses menghasilkan kepercayaan dalam kebiasaan mereka untuk mengontrol perasaan dan tindakan mereka. Menempatkan mereka di rumah sakit akan membuat mereka tidak merasa nyaman karena mengganggu rutinitas mereka dan mengurangi kebebasan mereka. Menurut Berger & William (1992)menyatakan bahwa klien menunjukkan ketakutan dan kecemasan karena masuk rumah sakit dan juga ketidakmahiran dalam negosiasi terhadap sistem rumah sakit. Kecemasan yang dialami pasien karena masalah yang dihadapinya membuat anak menjadi tegang dan berusaha keras untuk tertidur. 2.3. Anak Usia Sekolah 2.3.1. Definisi Anak Usia Sekolah Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri (Supartini, 2004). Periode perkembangan anak terdiri dari masa prenatal, baru lahir atau neonates (0 4 minggu), bayi (4 minggu sampai 1 tahun), toddler (1 sampai 3 tahun), pra sekolah (3 sampai 6 tahun), usia sekolah (6 sampai 12 tahun) (Thompson, 2001). Anak usia sekolah adalah anak yang berusia antara 6-12 tahun. Periode ini dimulai dengan penerimaan dari pengaruh lingkungan yang luas diantaranya
lingkungan sekolah, dengan pengaruh yang menonjol terhadap perkembangan dan hubungan dengan orang lain (Wong & Hockenberry, 2003).