BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak dalam jajaran Ring of Fire dengan 127 gunung masih dinyatakan aktif. Juli 2016, tercatat kurang lebih 18 gunung memiliki status waspada, 2 gunung berstatus siaga, dan 1 gunung masih berstatus awas. Kasus gunung meletus di Indonesia dengan kategori letusan besar terjadi dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, sebagai contoh letusan Gunung Merapi pada tahun 2010, letusan Gunung Kelud pada tahun 2014, Gunung Bromo pada tahun 2015, dan Gunung Sinabung pada tahun 2016 sampai sekarang masih berstatus siaga (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2016). Dampak yang dirasakan warga, seperti terhalangnya aktivitas masyarakat, kehilangan pekerjaan, kehilangan properti, bahkan kehilangan nyawa bisa saja terjadi. Banjir lahar dikategorikan sebagai bencana pasca erupsi. Banjir lahar terjadi akibat adanya hujan yang membasahi material letusan gunung berapi. Aliran yang terbentuk membawa material, yang sering disebut aliran debris. Bencana banjir lahar yang pernah terjadi seperti yang pernah terjadi pada Gunung Kelud, Gunung Bromo, dan Gunung Merapi yang tercatat dapat mengakibatkan terganggunya aktifitas warga dan menyebabkan kerusakan infrastruktur. Kasus banjir lahar yang dinilai mempunyai daya rusak yang tergolong besar terjadi pada bencana letusan Gunung Merapi 2010 silam. Salah satu gunung teraktif di dunia terletak di Indonesia, yaitu Gunung Merapi yang terletak di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunung Merapi mempunyai ketinggian 2958 mdpl, dengan 1
2 tipe gunung stratovolcano (kerucut). Periode letusan pendek sekitar 2-7 tahun. Tipe letusan Gunung Merapi disebut Tipe Merapi, dengan ciri-ciri adanya awan panas yang menuruni lereng merapi secara gravitasional. Awan panas membawa jutaan material vulkanik yang dimuntahkan Gunung Merapi. Letusan terakhir Gunung Merapi pada tanggal 26 September 2010, menghasilkan 150 juta m 3 material yang tersebar di penjuru Merapi. Sifat dari material vulkanik yang bersifat loose apabila terkena hujan akan menyebabkan material akan terbawa oleh aliran air atau dapat disebut aliran debris. Material yang terbawa oleh aliran air akan bermuara ke sungai sungai yang berhulu di lereng merapi, seperti Sungai Gendol, Kali Putih, Sungai Pabelan, Sungai Kuning, dan lain lain. Indonesia teletak pada daerah tropis, sehingga curah hujan yang terjadi tergolong tinggi yang menjadi salah satu faktor penyebab tingginya kejadian aliran lahar dingin di Merapi (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2016). Aliran lahar dingin pada periode letusan 2010, yang menyebabkan rusaknya beberapa infrastruktur umum dan permukiman penduduk menjadi bukti dampak banjir lahar dingin yang terjadi pada letusan periode 2010. Rusaknya infrastruktur di lereng Merapi menyebabkan terganggunya aktivitas dari masyarakat. Selain itu banyak properti milik masyarakat yang tinggal di bantaran sungai hilang atau rusak akibat aliran banjir lahar. Seperti Gambar 1.1 seorang warga yang sedang menyaksikan aliran lahar yang melewati Sungai Gendol. Sebanyak 34 juta m 3 material vulkanik masih berada di hulu Sungai Gendol dan Sungai Pabelan yang masih memunculkan bencana banjir lahar pada kedua sungai tersebut (BNPB, 2016).
3 Gambar 1.1 Warga yang sedang menyaksikan aliran lahar yang melewati Sungai Gendol (Putra, 2011) Banjir lahar merupakan kejadian alami yang setidaknya bisa diprediksi supaya korban jiwa maupun material dapat diminimalisir. Hulu sungai gendol dinilai masih berpotensi menimbulkan banjir lahar, dilihat dari Gambar 1.2 yang merupakan gambar dari hulu sungai yang masih menimbun banyak material letusan Merapi periode 2010. Dengan mempertimbangkan hujan yang terjadi pada suatu waktu, kondisi geometri dari lereng, parameter dari tanah penyusun lereng, dan perbandingan dengan kondisi pada saat terjadi banjir lahar, maka analisis kestabilan lereng dapat dijadikan sebagai pemicu terjadinya banjir lahar.
4 Gambar 1.2 Hulu Sungai Gendol (Kaliadem) 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan pada penelitian Analisis Stabilitas Lereng sebagai Inisiasi Kejadian Banjir Lahar dengan Model Hidro-Geoteknik adalah intensitas curah hujan yang mempengaruhi stabilitas lereng Merapi mengakibatkan banjir lahar, dan perbandingan analisis data hujan dewasa ini dengan data hujan saat terjadi banjir lahar dahulu kala, sebagai proses inisiasi kejadian banjir lahar 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian Analisis Stabilitas Lereng sebagai Inisiasi Kejadian Banjir Lahar dengan Model Hidro-Geoteknik bertujuan untuk: 1. melakukan uji permeabilitas tanah dengan menggunakan metode Phillip- Dunne, 2. mengetahui kestabilan lereng akibat hujan saat terjadi banjir lahar tahun 2012 dimodelkan dengan kondisi deposit tahun 2016, 3. membandingkan kestabilan lereng akibat hujan maksimal tahun 2013, 2014, 2015, dan 2016 dengan hujan yang terjadi pada saat terjadi banjir lahar di Kaliadem.
5 1.4 Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian Analisis Stabilitas Lereng sebagai Inisiasi Kejadian Banjir Lahar dengan Model Hidro-Geoteknik, antara lain: 1) lereng yang ditinjau adalah lereng dari hulu Sungai Gendol (Kaliadem), 2) pengambilan data permeabilitas tanah (K s ) dan suction head ( ) dengan metode Philip-Dunne, 3) nilai properti tanah dicari dengan uji laboratorium, 4) analisis stabilitas lereng menggunakan perangkat lunak SLOPE/W, 5) pembuatan model lereng menggunakan metode long cross section dengan alat waterpass (levelling) dan GPS, 6) data hujan yang digunakan adalah data hujan maksimum tahun 2013, 2014, 2015, 2016, dan data hujan ketika banjir lahar terjadi tahun 2012, 7) material pembentuk lereng dianggap homogen dan isotropis, 8) vegetasi diabaikan dalam pemodelan lereng, 9) pemodelan infiltrasi dilakukan dengan perangkat lunak SEEP/W, 10) kondisi deposit vulkanik didapatkan dari pengukuran lapangan tahun 2016.
6 1.5 Keaslian Penelitian 1) Pradipta (2011), meneliti bagaimana Critical Line Curve hujan yang terjadi di lereng Gunung Merapi, dapat memprediksi kapan tejadinya bahaya dari banjir lahar Merapi dari sudut pandang hidrologi. 2) Muntohar (2009), meneliti tentang bagaimana model hidro-geoteknik dari suatu lereng, yang menyebabkan terjadinya longsor di berbagai tempat berdasarkan data hujan dan data parameter material pembentuk lereng, dengan asumsi lereng yang ditinjau merupakan lereng tak hingga dan penelitian dilakukan di Taiwan. 3) Song dkk (2016), menganalisis lereng tak hingga yang dilakukan di Korea Selatan, dengan mempertimbangkan hujan yang terjadi pada suatu waktu dan mempertimbangkan adanya kondisi tak jenuh dari material pembentuk lereng. Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian di atas adalah, hujan yang dapat memprediksi banjir lahar adalah hujan yang dapat meruntuhkan lereng Sungai Gendol dengan analisis stabilitas lereng, bukan dari analisis probabilitas kejadian terjadinya banjir lahar. Model hidro-geoteknik dan analisis stabilitas lereng pada kondisi tak jenuh dilakukan pada lereng terbatas. Sejauh pengetahuan penulis, penggunaan model hidro-geoteknik belum pernah dilakukan untuk memprediksi banjir lahar secara spasio-temporal pada lereng Gunung Merapi.