TINJAUAN PUSTAKA Perkutut (Geopelia striata) Perkutut tergolong dalam suku burung merpati-merpatian (Colombidae). Geopelia striata (perkutut), hidup berkelompok di dataran rendah. Penyebaran perkutut di Indonesia bermula dari Irian yang terus menyebar ke arah barat, yaitu Lombok, Bali, Jawa, Madura, hingga ke Sumbawa (Sutejo 2002). Berdasarkan IT IS Report (Peterson 2003), klasifikasi dari perkutut adalah: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Aves Order : Columbiformes Family : Columbidae Genus : Geopelia Species : Geopelia striata (Linnaeus 1766) Burung perkutut berkepala kecil, pada individu jantan kepala agak besar dan sedikit tegak, sedang individu betina berkepala bulat dan kecil (Gambar 1). Mata terletak di kiri dan kanan kepala dengan pandangan mata mudah ditujukan ke semua arah, karena lehernya mudah digerakkan ke kiri dan ke kanan. Bentuk mata bundar, dengan penglihatan sangat tajam dan cepat menyesuaikan diri dengan keadaan, atau mengikuti perubahan pandangan sangat jauh dan dekat. Mata burung ini mempunyai dua macam kelopak mata, yaitu kelopak mata biasa dan kelopak mata tembus pandang. Kelopak mata biasa terdapat dua selaput yaitu selaput atas yang bergerak ke bawah dan selaput bawah yang mengatup ke atas. Kelopak mata tembus pandang memiliki selaput yang bening seperti kaca. Jika kelopak mata dikatupkan, burung masih dapat melihat. Kelopak ini sangat berguna ketika burung sedang terbang untuk melindungi mata dari hembusan angin dan air hujan (Sarwono 1999). Habitat burung adalah savana dan hutan musim, selain itu juga berupa semak-semak di pantai berpasir. Umumnya merupakan burung tanah yang menggunakan tenggeran rendah. Pada warna bulu tubuh perkutut seperti zebra
yang memiliki garis-garis hitam tidak teratur pada tubuh bagian atas, leher dan sisi badannya (Holmes dan Nash 1999). Perkutut memiliki paruh lurus panjang dengan ujung meruncing dan berwarna abu kebiruan. Berdasarkan ciri paruh tersebut, perkutut termasuk ke dalam kelompok burung pemakan biji-bijian (granivora) (MacKinnon 1988). Gambar 1 Perkutut (Geopelia striata) Ciri utama burung yang tergolong dalam kelompok suku ini (Sarwono 1999) adalah: 1. Anak yang baru lahir matanya terbuka dan tinggal di dalam sarang. 2. Burung jantan dan betina bertembolok, tembolok mengeluarkan cairan kental untuk makanan anaknya yang masih kecil. 3. Bentuk jari menghadap ke belakang. 4. Mempunyai kemampuan istimewa dalam menyedot air; perkutut tidak perlu mengangkat kepala seperti burung-burung lain ketika minum, karena pada pangkal paruh bagian atas terdapat cuping yang berfungsi untuk menutupi lubang hidung. 5. Burung jantan mampu berbunyi terus menerus dengan irama yang bagus, sedangkan burung betina berbunyi pada waktu-waktu tertentu dan iramanya tidak semerdu individu jantan.
6. Burung jantan dan betina hidup berpasangan, dan burung betina bertelur hanya dua butir dalam satu musim pembiakan. Umumnya perkutut yang diternakkan di Indonesia saat ini adalah burung perkutut bangkok yang merupakan hasil persilangan perkutut lokal Indonesia dengan perkutut Thailand. Impor burung perkutut bangkok masih cukup besar sampai tahun 1994, walau demikian sejak tahun 1995 hasil ternak dalam negeri sudah cukup bagus bahkan lebih unggul dari burung perkutut impor dan tidak sedikit orang-orang Thailand yang membeli bibit dari Indonesia untuk diternakkan (Soemarjoto 1999). Penilaian Kualitas Suara Burung Perkutut Menurut Pratiknjo (2002) baik tidaknya kualitas suara burung perkutut dapat dilihat berdasarkan harmoni yang diciptakan oleh kelima unsur suara, yaitu letak suara (depan, tengah, dan ujung), dasar suara, dan irama yang menciptakan lantunan suara sehingga terdengar merdu. Kategori Suara Betawi Bird Farm (2003) menyatakan lima kategori dalam penilaian suara burung perkutut yang berkualitas yaitu: I. Suara depan atau angkatan: panjang suara, alunan, dan bersih II. Suara tengah atau ke-tek: bertekanan, lengkap, dan jelas III. Suara ujung atau kung: bulat, panjang, dan mengayun IV. Kriteria Irama: senggang, lenggang, dan elok indah V. Kriteria air suara/ dasar suara/ kualitas suara: tebal, kering atau cowong, dan sengau atau denggung. Faktor penting dalam penilaian suara perkutut adalah hitungan (jumlah) ketukan (step), dan itu harus dapat diketahui oleh penggemar. Adapun ketukan (tutukan) adalah jumlah suku kata yang terdengar pada saat burung perkutut berbunyi. Paduan antara suara depan, tengah, ujung tersebut akan dapat terdengar membentuk sebuah irama suara yang tentu saja harus ditunjang dengan kualitas suara yang bagus pula. Menurut Widodo dan Nurcahyo (2002), ada lima hal pokok yang mempengaruhi kualitas suara burung perkutut, yaitu keturunan, perawatan, lingkungan, pakan, serta umur.
Menurut Weary (1995), ada beberapa informasi yang dapat diperoleh dari mempelajari suara burung, yaitu: tempo suara yang merupakan jumlah ketukan per satuan waktu, frekuensi dan amplitudo yang terjadi per satuan waktu. Pakan Perkutut Perkutut merupakan burung pemakan biji-bijian, oleh karena itu pakan yang sering diberikan di peternakan berupa biji-bijian, seperti milet, jewawut, ketan hitam, dan gabah. Biasanya komposisi ransum perkutut terdiri dari tiga bagian milet, selebihnya merupakan campuran jewawut, ketan hitam, dan gabah dengan perbandingan sama. Pakan diberikan ad libitum namun dalam jumlah tidak terlalu banyak yang diperkirakan habis dimakan selama sehari. Penambahan pakan sebaiknya tidak dilakukan ketika masih ada pakan yang tersisa, biasanya pakan yang tersisa merupakan pakan yang tidak disukai perkutut (Widodo dan Nurcahyo 2002). Biji-bijian sering disebut sebagai sumber protein yang merupakan salah satu komponen dari makanan penguat burung, terutama kulit biji sangat baik untuk membantu burung dalam mencerna makanannya. Peranan protein dalam tubuh burung adalah sebagai bahan pembangun tubuh dan pengganti sel atau jaringan yang aus atau rusak, selain itu protein juga merupakan bahan baku pembentuk enzim, hormon, dan antibodi, serta berperan dalam proses reproduksi. Kelebihan protein digunakan oleh tubuh sebagai sumber energi, walau demikian sumber energi yang utama adalah karbohidrat dan lemak (Trollope 1992). Diketahui banyak ragam pendapat peternak dalam meramu pakan untuk perkutut. Pada pakan burung perkutut komersial, penjual biasanya mencampur 6, 8, atau beberapa macam bahan pakan. Jenis pakan yang sering diberikan oleh para pelestari dan penggemar burung perkutut adalah ketan hitam, canary seed, telur ayam, dan madu. Jenis pakan milet merah, milet putih, jewawut, dan telur banyak mengandung protein. Adapun madu digunakan untuk memperkuat daya tahan tubuh (Soemarjoto 1999). Milet Nama milet sudah tidak asing lagi bagi penggemar burung. Walaupun masih diimpor dari luar negeri, tetapi milet merupakan salah satu pakan yang
sering diberikan kepada burung kenari, pipit impor, merpati, parkit, puter, dan perkutut bangkok. Secara umum sosok tanaman milet dalam hal bentuk batang, malai, dan daunnya hampir menyerupai padi, namun dalam hal tinggi tanaman, rumput milet tumbuh tegak dan ramping setinggi 2 3.5 m. Pada ujung titik tumbuhnya muncul malai dengan bijinya. Biji yang dihasilkan pada malai mempunyai bentuk bulat agak pendek dengan ujung lancip. Kulit biji tipis mengkilap berwarna putih, merah kecoklatan, atau coklat muda, dan biasanya biji berwarna coklat muda mengkilap lebih banyak beredar di pasaran (Soemadi dan Mutholib 2003). Berdasarkan hasil analisis proksimat, kandungan nutrisi dari milet yang diperdagangkan di Pasar Burung Sindhu Kodya Mataram berupa bahan kering (89.13%), kadar abu (7.13%), lemak kasar (1.83%), serat kasar (7.17%), protein kasar (13.55%) (Purnamasari dan Binetra 2005). Gabah Secara umum butir-butir padi yang masih ditutupi dan dilindungi oleh sekam disebut sebagai gabah. Gabah yang berkualitas adalah yang berisi, jika ditekan terasa padat dan tidak keropos. Gabah sering dijadikan sebagai pakan burung pipit, gelatik, kenari, merpati, puter, dan perkutut. Di kalangan penggemar burung, sudah sejak lama dikenal gabah jenis lain, yaitu gabah lampung. Gabah lampung berbentuk kecil dan agak bulat dengan kulit berwarna kuning agak halus (Soemadi dan Mutholib 2003). Jewawut Jewawut mudah dijumpai di kios maupun di pasar burung. Pakan ini sering diberikan pada burung dalam bentuk malai atau pipilan. Beberapa burung seperti puter, pipit, gelatik, perkutut, parkit, merpati, dan kenari sangat menyukai jewawut. Malai jewawut berbentuk seperti silinder, padat, tebal, dan berbulu. Biji yang terdapat dalam malai mempunyai bermacam-macam warna: putih, putih pucat, kuning, kuning terang, kuning kemerahan, hijau, ungu tua, dan warna campuran. Kandungan gizi jewawut dapat disamakan dengan kandungan gizi jagung dan padi, namun perlu diperhatikan bahwa jewawut jangan diberikan dalam jumlah banyak dan berlebihan karena dapat menyebabkan burung menjadi
gemuk sehingga burung malas bergerak dan jarang berkicau (Soemadi dan Mutholib 2003). Ketan Hitam Ketan hitam merupakan pakan sekunder bagi perkutut. Ketan hitam memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan sangat cocok diberikan kepada perkutut terutama pada musim hujan agar tubuhnya tetap hangat sehingga lebih tahan terhadap serangan penyakit. Ketan hitam merupakan sumber energi bagi perkutut karena kandungan karbohidratnya mencapai 75%, suara perkutut yang semula terdengar kurang bertenaga bisa menjadi lebih kuat saat menu makanannya ditambah dengan ketan hitam (Praktiknjo 2002). Daun-daunan untuk Perkutut Burung perkutut bakalan yang baru mulai belajar berbunyi harus dibantu kegairahan manggungnya dan pembentukan suaranya, agar bening, luwes, dan merdu, dengan cara memberikan daun-daunan seperti daun saga (Abrus precatorius, Linn), daun sambiloto (Andrographis paniculata Ness), dan daun pare (Momordica charantia L). Diketahui bahwa perkutut yang diberi daundaunan tersebut, suara anggungnya akan lebih jelas, bersih, dan merdu didengar (Sarwono 1999). Daun saga (Abrus precatorius, Linn) Daun saga termasuk jenis tumbuhan perdu dengan pokok batang yang berukuran kecil dan merambat pada inang, membelit-belit ke arah kiri (Gambar 2). Daunnya majemuk berbentuk bulat telur serta berukuran kecil-kecil. Daun saga menyerupai daun Tamarindus indica dengan bersirip ganjil dan memiliki rasa agak manis (biasa disebut saga manis). Saga mempunyai buah polong berisi biji-biji yang berwarna merah dengan titik hitam yang mengkilap dan licin. Biji saga mengandung zat racun yang disebut abrin, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk pembibitan, sedang bunganya berwarna ungu muda dengan bentuk menyerupai kupu-kupu, dalam dukungan tandan bunga. Tumbuhan ini banyak tumbuh secara liar di hutan-hutan, ladang-ladang atau sengaja dipelihara di pekarangan. Saga dapat tumbuh dengan baik pada daerah dataran rendah
sampai ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Komposisi nutrisi dari daun maupun akar tumbuhan saga ini antara lain mengandung protein, vitamin A, B1, B6, C, kalsium oksalat, glisirizin, flisirizinat, polygalacturomic acid dan pentosan (IPTEKnet 2002). Abrin yang terkandung dalam biji tanaman saga merupakan racun yang dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada membran mukosa sehingga dapat menyebabkan kematian. Abrin terdiri dari dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh ikatan disulfida (Cheeke dan Shull 1985). Gambar 2 Tanaman Saga (Abrus precatorius, Linn) Zat aktif glisirizin pada tumbuhan saga, biasa dipergunakan untuk obat sariawan pada manusia. Selain itu juga dimanfaatkan sebagai jamu penjernih suara serak tenggorokan dan bengkak amandel (Sarwono 1999). Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Tumbuhan sambiloto merupakan tumbuhan liar di tempat terbuka, seperti di kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab, atau di pekarangan (Gambar 3). Sambiloto tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 700 m dpl, tinggi tumbuhan 50 90 cm dan memiliki batang yang disertai banyak cabang berbentuk segi empat dengan nodus yang membesar. Daun sambiloto merupakan daun tunggal yang bertangkai pendek dengan letak berhadapan bersilang, berbentuk lanset dengan bagian pangkal dan ujung meruncing bertepi rata dan warna permukaan atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau muda, panjang
daun antara 2 8 cm, serta lebar 1 3 cm. Bunga yang bercabang membentuk malai, keluar dari ujung batang atau ketiak daun. Bunga berbibir berbentuk tabung; kecil-kecil, warnanya putih bernoda ungu (IPTEKnet 2002). Adapun kandungan kimia daun sambiloto adalah sebagai berikut: daun dan percabangannya mengandung laktone yang terdiri dari deoksiandrografolid, andrographolid (zat berasa pahit), neoandrografolid, 14-doksi-11-12- didehidroandrografolid, dan homoandrografolid. Juga terdapat flavonoid, alkane, keton, aldehid, mineral (kalsium, kalium, natrium), asam kersik, dan damar (IPTEKnet 2002). Gambar 3 Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Andrographolid adalah komponen utama sambiloto yang memiliki multiefek farmakologis. Zat aktif ini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker pada hati, payudara dan prostat, selain itu zat yang terasa pahit ini dapat meningkatkan produksi antibodi (immunostimulant). Berkat efek farmakologisnya yang mampu merangsang daya tahan seluler (fagositosis) dan memproduksi antibodi (immunostimulant) sehingga ekstrak sambiloto sudah digunakan sebagai salah satu penghambat HIV (Human Immunodeficiency Virus) dalam dunia pengobatan modern (Prapanza dan Marianto 2003). Daun Pare Hutan (Momordica charantia L.) Pare banyak terdapat di daerah tropika, tumbuh baik di dataran rendah dan dapat ditemukan tumbuh liar di tanah terlantar, tegalan, dibudidayakan atau
ditanam di pekarangan dengan dirambatkan di pagar untuk diambil buahnya (Gambar 4). Tanaman ini tidak memerlukan banyak sinar matahari, sehingga dapat tumbuh subur di tempat-tempat yang agak terlindung. Pare merupakan jenis tanaman setahun, merambat, atau memanjat dengan alat pembelit atau sulur berbentuk spiral, banyak bercabang, berbau tidak enak. Batang berusuk lima, panjang 2-5 m dan pada batang dan daun muda berambut rapat. Daun pare merupakan daun tunggal, bertangkai yang panjangnya 1.5 5.3 cm, letak berseling, bentuknya bulat panjang, dengan panjang 3.5 8.5 cm, lebar 4 cm berbagi menjari 5-7, pangkal berbentuk jantung, warnanya hijau tua (IPTEKnet 2002). Gambar 4 Tanaman Pare Hutan (Momordica charantia L.) Sejauh ini dikenal tiga jenis tanaman pare, yaitu pare gajih, pare kodok, dan pare hutan, dan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pare hutan. Jenis pare ini tumbuh liar, berbuah kecil, dengan buah dan daun berasa pahit. Daun pare berkhasiat untuk pengobatan berbagai penyakit, antara lain batuk, radang tenggorokan, sakit mata merah, demam, malaria; menambah nafsu makan, kencing manis, rhematik, sariawan, cacingan. Kandungan kimia daun pare yang diketahui adalah: momordisin, momordin, karatin, asam trikosanik, resin, asam resinat, saponin, vitamin A, dan C serta minyak lemak terdiri dari asam oleat, asam linoleat, asam stearat, dan L oleostearat (IPTEKnet 2002).
Suara Burung Emisi suara merupakan salah satu cara atau bentuk komunikasi intraspesies dan interspesies. Pada burung bernyanyi, burung akan memproduksi suara (vokalisasi) yang berisi informasi untuk disampaikan pada anggota lainnya sesama spesies. Vokalisasi pada burung dibagi menjadi 2 tipe, yaitu song (suara nyanyian) dan call (suara panggilan). Umumnya song (suara nyanyian) memiliki irama yang lebih panjang dan kompleks serta diproduksi oleh individu jantan untuk menarik perhatian individu betina pada musim kawin. Call (suara panggilan) umumnya lebih pendek iramanya dan lebih sederhana bila dibandingkan dengan song (suara nyanyian) serta dapat diemisikan baik pada individu jantan maupun betina setiap saat. Call (suara panggilan) biasanya berfungsi khusus seperti panggilan saat terbang, saat ada ancaman (sebagai alarm) dan komunikasi intraspesies (Catchpole dan Slater 1995). Menurut Welty (1982), nyanyian pada burung adalah kumpulan dari notnot yang berbeda dalam irama yang kompleks dan dikontrol oleh hormon sex jantan (testosteron) pada musim reproduksi, walaupun ada beberapa spesies burung tropik lainnya individu betina juga mampu bernyanyi sebaik individu jantan. Selanjutnya dinyatakan setiap burung umumnya memiliki variasi dalam nyanyian, tetapi perbedaan nyanyian dari burung dengan spesies yang sama tidak terlalu besar. Produksi suara burung merupakan hasil kerjasama antara otot pernapasan pada trakea dengan organ pengatur suara (syrinx) yang diatur oleh sistem saraf (McCasland 1987). Proses pernapasan burung adalah masuknya oksigen dari lingkungan luar ke dalam jaringan tubuh dan keluarnya karbondioksida dari dalam tubuh. Pada sistem respirasi, pertukaran udara berperan penting sebagai sistem termoregulasi tubuh pada suhu normal (Pesek 2000). Burung memproduksi suara dengan cara yang berbeda dari anurans dan mamalia. Burung tidak memproduksi suara dengan larynx yang terletak pada trachea dan pharyngeal, tetapi untuk bersuara burung menggunakan syrinx yang terletak pada pertautan trachea dan bronchi (King 1989). Terlihat pada Gambar 5 lokasi syrinx dalam tubuh burung (Powell 2000).
Gambar 5 Lokasi syrinx dalam tubuh burung (Powell 2000) Pada syrinx burung Columbiformes terdapat sepasang medial tympaniform membranes (MTM) yang bergetar pada saat dilewati udara ekspirasi (Gambar 6) (Goller dan Larsen 1997). Selaput ini berupa organ sederhana pada sebagian besar unggas, namun merupakan selaput yang kompleks pada burung bernyanyi (Young 1981). Gambar 6 Syrinx burung Columbiformes (King and McLelland 1989) Selanjutnya dinyatakan oleh Franz dan Goller (2003) bahwa produksi suara dari burung diatur secara kompleks oleh organ pernapasan. Sebagian besar produksi suara burung mengalami konversi dari energi dinamik aliran udara
menjadi energi suara. Udara masuk ke dalam organ syrinx karena adanya kontraksi otot pernapasan, di mana otot syrinx mengatur jalannya udara. Tipe karakteristik suara dikontrol oleh aktivitas otot pernapasan, sebagai contoh untuk meningkatkan frekuensi dasar suara berhubungan dengan aktivitas menutupnya otot syrinx bagian ventral. Demikian juga dengan modulasi amplitudo diatur oleh aktivitas membuka dan menutupnya klep syrinx. Setiap produksi suara diatur oleh syrinx. Bervariasinya suara yang diproduksi kemungkinan karena mekanisme pergerakan paruh, trakea, dan syrinx. Membukanya paruh menunjukkan korelasi yang positif terhadap frekuensi suara dan kemungkinan terhadap amplitudo suara. Bangsa burung Columbiformes memiliki tipe suara sederhana (call), yaitu suara yang hanya terdiri dari satu atau dua elemen suara (syllable) sederhana dengan kisaran frekuensi suara yang rendah dan relatif sama (tidak termodulasi). Hal ini berbeda dengan tipe suara bangsa burung bernyanyi (Passeriformes) yang memiliki sistem suara yang lebih kompleks. Burung Passeriformes mampu menghasilkan suara kompleks dengan berbagai macam tipe syllable yang terdiri dari beberapa elemen yang sama ataupun berbeda dan memiliki kisaran frekuensi suara yang berbeda-beda (termodulasi) (Fitri 2002). Untuk menghasilkan nyanyian, burung membutuhkan keahlian dan energi yang mahal, karena ini berkaitan dengan kerjasama yang baik antara organ respirasi, organ vokal, dan kelompok otot craniomandibular (Suthers et al. 1999). Sementara itu, pernapasan memegang peranan penting dalam pengaturan suhu dan suara ketika oksigen dihirup masuk ke jaringan dan karbondioksida dikeluarkan dari jaringan selama berlangsungnya proses metabolisme faal tubuh (Powell 2000). Untuk memenuhi kebutuhan energi pada proses pernapasan dan produksi suara dibutuhkan suplai oksigen dan nutrisi yang cukup, suplai oksigen dan nutrisi tersebut diperlukan untuk menghasilkan energi (ATP) pada kontraksi organ respirasi saat memindahkan udara ke dalam dan keluar dari kantong udara (air sac) dan melalui paru-paru (Powell 2000). Pada burung Columbiformes, suara yang dihasilkan merupakan kerjasama dari otot-otot syrinx yang mengetarkan Medial Tympaniform Membrane (MTM)
dan Lateral Tympaniform Membrane (LTM) sehingga menyebabkan terbentuknya lubang suara yang dapat mengeluarkan suara datar (tonal sound). Besaran udara yang menggetarkan MTM dan LTM akan menentukan besar kecilnya lubang suara pada syrinx yang akan menentukan frekuensi suara (Goller dan Larsen 1997).