POTENSI PENULARAN FILARIASIS PADA IBU HAMIL DI KECAMATAN MUARA PAWAN KABUPATEN KETAPANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

Proses Penularan Penyakit

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. 1

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PRIMER FILARIASIS DI DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI RW 1 DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT TENTANG FILARIASIS TAHUN

Prevalensi pre_treatment

Kata Kunci : Kelambu, Anti Nyamuk, Kebiasaan Keluar Malam, Malaria

Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 16 (1), 2017, DOI : /jkli

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JATI SAMPURNA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERANAN LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN SILIAN RAYA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

Kajian Epidemiologi Limfatikfilariasis Di Kabupaten Sumba Barat (Desa Gaura) dan Sumba Tengah (Desa Ole Ate) Tahun Hanani M.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN FILARIASIS DI PUSKESMAS SE-KOTA PEKALONGAN TAHUN 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP FILARIASIS DI KABUPATEN MAMUJU UTARA, SULAWESI BARAT. Ni Nyoman Veridiana*, Sitti Chadijah, Ningsi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

ANALISIS SITUASI FILARIASIS LIMFATIK DI KELURAHAN SIMBANG KULON, KECAMATAN BUARAN, KABUPATEN PEKALONGAN Tri Wijayanti* ABSTRACT

PERILAKU MINUM OBAT ANTI FILARIASIS DI KELURAHAN RAWA MAMBOK Anti-filariasis Medicine Drinking Behavior in Rawa Mambok Village

Identification of vector and filariasis potential vector in Tanta Subdistrict, Tabalong District

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan

Studi Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat Sebagai Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

BAB 1 PENDAHULUAN. jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK)

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

PENGARUH PENGGUNAAN KELAMBsU, REPELLENT,

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Sambas

Juli Desember Abstract

BEBERAPA FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN NANGA ELLA HILIR KABUPATEN MELAWI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data)

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

Unnes Journal of Public Health

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. serta semakin luas penyebarannya. Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis Pada Masyarakat di Indonesia. Santoso*, Aprioza Yenni*, Rika Mayasari*

Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh TIWIK SUSILOWATI J

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan bagi

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis Di Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan

Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah, Sosial Ekonomi, dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Pekalongan

Penyakit Endemis di Kalbar

Vol.8 No.2 Oktober Marzuki, Onny Setiani, Budiyono

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Gambar 3.2 Waktu Penelitian 3.3 Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

GAMBARAN PENULARAN FILARIASIS DI PROVINSI SULAWESI BARAT DESCRIPTION OF TRANSMISSION OF FILARIASIS IN WEST SULAWESI

Transkripsi:

POTENSI PENULARAN FILARIASIS PADA IBU HAMIL DI KECAMATAN MUARA PAWAN KABUPATEN KETAPANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT Potential Transmission of Filariasis for Pregnant Women in Subdistrict Muara Pawan, Ketapang District, Province of West Kalimantan Nuhdi Arfarisy Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro Abstrak: Filariasis (elephantiasis) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang berada di saluran dan kelenjar getah bening dalam tubuh manusia. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk. Kecamatan Muara Pawan Kabupaten Ketapang merupakan wilayah endemis filariasis sehingga pencegahan dengan pemberian obat secara massal (Diethyl Citrate Carbamazine) diperlukan bagi masyarakat kecuali ibu hamil karena obat tersebut memiliki efek samping bagi ibu hamil dan bayi. Berdasarkan survei awal Dinas Kesehatan Kabupaten Ketapang terdapat beberapa faktor yang berperan dalam penularan yaitu faktor lingkungan dan faktor perilaku. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan di Kecamatan Muara Pawan Kabupaten Ketapang. Data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara. Tujuan penelitian adalah menentukan potensi penularan filariasis pada ibu hamil di Kecamatan Muara Pawan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Hasil menunjukkan bahwa Survei Darah Jari pada 53 responden tidak ditemukan adanya larva filaria di dalam darah. Identifikasi nyamuk ditemukan yang dominan adalah Anopheles letifer. Hasil tes laboratorium yang dilakukan oleh B2P2VRP Salatiga pada 399 nyamuk tidak ditemukan larva filaria di dalam tubuh nyamuk. Pada 5 variabel yang merupakan potensi penularan filariasis diperoleh bahwa pengetahuan kurang (66,0%), adanya habitat nyamuk (75.5%), adanya tempat peristirahatan nyamuk (71,7%), kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk (66,0%), kebiasaan tidak mengenakan pakaian tertutup di rumah (73,6%). Kesimpulan dari penelitian ini adalah faktor lingkungan dan perilaku yang kurang berpengaruh terhadap potensi penularan filariasis pada ibu hamil. Kata kunci: filariasis, faktor lingkungan dan perilaku, ibu hamil Abstract: Filariasis (elephantiasis) is a contagious disease caused by filarial worms that lives in the channel and lymph nodes (lymph) in the human body. The disease in transmitted through mosquito bites. Sub District Muara Pawan in Ketapang district is endemic region of filariasis so than Bulk Drug Prevention (Diethyl Citrate Carbamazine) against the whole of society in needed except in pregnant women because of the side effects of these drugs for pregnant women and fetus. Based on the preliminary survey and information from Ketapang District Office there were a few factors that play a role in the transmission, that were environmental factor and social behavior. This research was a descriptive cross sectional design conducted at Sub District Muara Pawan Ketapang District. Data were collected through observation and interviews. The research objective was a determine the potential transmission of filariasis in pregnant at Sub District Muara Pawan Ketapang District in West Kalimantan. Result showed that finger blood test results conducted on 53 samples of pregnant women did not find microfilaria in the blood. The results of the identification of mosquitoes are found is the dominant mosquito species Anopheles letifer. Results of laboratory tests were conducted by B2P2VRP Salatiga to 399 mosquitoes are not found filarial worms in the body of the mosquito. There are five variables that have the potential for transmission of filariasis in pregnant women in Puskesmas Tanjung Pura Sub Muara Pawan namely the level of knowledge is less (66.0%), there is mosquito habitat (75.5%), there is a place resting mosquitoes (71.7%), the habit of not using anti-mosquito drugs (66.0%), the habit of not using a closed clothes at home (73.6%). The conclusion of this study is the environmental factors and poor public behavior turned out to be very influential on the potential transmission of filariasis incidence in pregnant women. Keywords: filariasis, environmental factors, behavior, pregnant women PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya kesehatan lingkungan bertujuan mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi 217

218 Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 9, No. 2 Juli 2017: 217 222 maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang tinggi. Untuk mewujudkan hal tersebut maka diselenggarakan berbagai upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan. Upaya pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau mengurangi risiko, masalah dan dampak buruk akibat penyakit (Depkes, 2009). Pola penyebaran penyakit di negara berkembang saat ini mengalami perubahan, namun penyakit menular masih berperan sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian. Penyakit kaki gajah (filariasis) adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (limfe) dalam tubuh manusia. Penyakit ini merupakan penyakit menahun dengan gejala klinis akut dan gejala kronis. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk (Kemenkes, 2012 a ). WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global yaitu The Global Goal of Elimination if Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020. Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC (Diethyl Carbamazine Citrate) dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun berturut-turut di lokasi endemis dan perawatan kasus klinis yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya (Kemenkes, 2012 a ). Penyakit filariasis bukan hanya dapat menyebabkan kecacatan namun juga berdampak negatif terhadap ekonomi bagi negara yang sedang berkembang yang endemis. Filariasis menduduki urutan kedua terbesar penyakit menular vektor setelah malaria. Kasus filariasis menyerang sekitar sepertiga penduduk dunia atau 1,3 miliar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis seperti di Asia, Afrika, Pasifik Barat, dan sebagian Kepulauan Karibia serta Amerika Selatan (Hutagalung dkk, 2014). Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan untuk mengeliminasi filariasis melalui Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis. Kebijakan ini ditujukan bagi kabupaten/kota yang dinyatakan endemis filariasis. Dimana daerah yang dinyatakan endemis filariasis jika di daerah tersebut ada satu persen atau lebih (> 1%) penduduknya mengidap mikrofilaria dalam darahnya, maka daerah tersebut ditetapkan sebagai kabupaten/ kota endemis filariasis dan harus melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) sedangkan bila mikrofilaria di bawah satu persen (< 1%) maka kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah non endemis filariasis (Kemenkes, 2012 b ). Di Indonesia filariasis disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, sedangkan vektor penyakitnya adalah nyamuk. Saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor potensial filariasis. Untuk wilayah Kalimantan Barat, vektor yang menjadi penular filariasis adalah nyamuk Mansonia uniformis dan nyamuk Anopheles nigerimus dengan jenis filaria Brugia malayi (Kemenkes, 2014). Parasit Brugia malayi hidup selain pada tubuh manusia juga bisa hidup pada tubuh hewan reservoir (kucing dan kera). Parasit ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 5 7 tahun (WHO, 2010). Filariasis masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit ini menyebar hampir di seluruh wilayah. Berdasarkan hasil survei cepat filariasis di Indonesia sampai dengan tahun 2014 penyakit ini tersebar di seluruh provinsi dari 511 kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang ada terdapat 235 kabupaten/kota endemis filariasis, jumlah kabupaten/kota endemis filariasis ini dapat bertambah. Di Indonesia kasus klinis secara kumulatif tahun 2013 berjumlah 12.714 kasus dan tahun 2014 semakin bertambah menjadi 14.932 kasus. Penduduk Indonesia diperkirakan kurang lebih 10 juta sudah terinfeksi penyakit filariasis terutama di daerah pedesaan dan sekitar 6500 orang sudah menjadi kronis (Ardias dkk, 2012). Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah endemis filariasis. Hampir seluruh kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat terdapat kasus filariasis. Secara kumulatif jumlah kasus kronis filariasis yang dilaporkan di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2013 sebanyak 269 kasus dan tahun 2014 sebanyak 253 kasus (Dinkes Provinsi Kalimantan Barat, 2014). Dinas Kesehatan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat melakukan kegiatan Survei Darah Jari sebagai tindak lanjut eliminasi untuk menentukan daerah endemis filariasis di Kabupaten Ketapang dan diperoleh 79 kasus tersebar di 5 kecamatan dari 20 kecamatan dan kasus terbanyak di Kecamatan Muara Pawan

N Arfarisy, Nurjazuli, dan M Raharjo, Potensi Penularan Filariasis pada Ibu Hamil 219 sebanyak 32 orang positif mikrofilaria, dimana jumlah penderita filariasis pada laki-laki sebanyak 26 orang dengan persentase sebesar 81,25% sedangkan jumlah penderita pada perempuan sebanyak 6 orang dengan persentase sebesar 18,75% (Dinkes Kabupaten Ketapang, 2014). Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa Kecamatan Muara Pawan merupakan daerah endemis filariasis dengan angka microfilaria rate sebesar 2,5% (Ansyari, 2004). Kecamatan Muara Pawan di Kabupaten Ketapang merupakan daerah endemis filariasis sehingga diperlukan Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) filariasis yaitu pemberian obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC), atau albendazol kepada seluruh masyarakat kecuali pada ibu hamil (Kemenkes, 2014). Ibu hamil tidak diberikan pengobatan DEC dikarenakan efek samping dari obat tersebut membahayakan ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Dampak efek samping obat pada seorang ibu yang hamil berbeda dengan orang yang tidak hamil. Walaupun mungkin agak sulit dibayangkan secara langsung, tetapi jelas bahwa upaya untuk menghindari senyawa-senyawa (termasuk obat) yang dapat menimbulkan cacat janin dalam kandungan selama masa kehamilan, akan menentukan mutu generasi yang akan lahir di masa datang (Ansyari, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Lindsay (2000) menyatakan bahwa ibu hamil lebih disukai oleh nyamuk karena ibu hamil mengeluarkan CO2 sebesar 21% lebih besar dari ibu tidak hamil dan suhu ibu hamil meningkat lebih hangat 0 7 C dari ibu tidak hamil sehingga ibu hamil memiliki potensi tertular filariasis (Syuhada dkk, 2012). Observasi awal yang dilakukan oleh peneliti, pada umumnya kondisi lingkungan di Kecamatan Muara Pawan terdiri atas rawa-rawa, semaksemak, parit, dan banyak ditemukan adanya genangan air serta tumbuhan air. Kondisi lingkungan biotik di Kecamatan Muara Pawan merupakan faktor risiko lingkungan terhadap penyebaran penularan penyakit filariasis. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Ardias (2012) menyatakan bahwa keberadaan rawa-rawa, keberadaan semak-semak, keberadaan parit, dan keberadaan genangan air menjadi breeding places bagi nyamuk dan merupakan faktor risiko terhadap kejadian penyakit filariasis (Kadarusman, 2003). Selain itu faktor perilaku masyarakat yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari, kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk, serta kebiasaan tidak menggunakan kelambu pada saat tidur dapat berpotensi memberikan risiko penularan kejadian filariasis. Hal ini dipertegas penelitian lain yang dilakukan oleh Ansyari (2004) menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunakan kelambu saat tidur sebagai faktor risiko kejadian filariasis dan Syuhada (2012) menyatakan bahwa kebiasaan sering keluar rumah pada malam hari merupakan faktor risiko yang dapat menularkan penyakit filariasis (Marzuki, 2008; Depkes, 2006). Dari hasil studi awal mengenai jenis pekerjaan dan tingkat pengetahuan masyarakat di Kecamatan Muara Pawan diketahui bahwa masyarakat memiliki karakteristik yang berbedabeda. Hal ini juga sesuai dengan penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Kadarusman (2003) menyatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan pada malam hari sebagai faktor risiko terjadinya penularan penyakit filariasis dan Marzuki (2008) menyatakan bahwa orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang penyakit filariasis sebagai faktor risiko penularan filariasis (Lindsay et al., 2000; Chin et al., 2006). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul Potensi Penularan Filariasis pada Ibu Hamil di Kecamatan Muara Pawan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional, dengan melakukan pengamatan/pengukuran sekaligus pada saat yang sama terhadap variabelvariabel yang termasuk dalam kausa dan efek, dalam arti bahwa setiap objek diobservasi sekali. Subyek dalam penelitian ini sebanyak 53 ibu hamil yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pura Kecamatan Muara Pawan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, penangkapan dan identifikasi nyamuk, bedah nyamuk, Survei Darah Jari (SDJ) dan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan mikrofilaria pada ibu hamil. Data penelitian diolah dan dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan pada 53 responden yang berada di desa wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pura Kecamatan Muara Pawan. Hasil

220 Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 9, No. 2 Juli 2017: 217 222 pemeriksaan SDJ pada ibu hamil tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah. Hasil identifikasi nyamuk yang ditemukan adalah jenis nyamuk Anopheles letifer, Mansonia uniformis, Mansonia annulifera, Culex tritaeniorhynus, Culex vishnui dan Aedes albopictus. Sedangkan jenis nyamuk yang dominan adalah nyamuk Anopheles letifer sebanyak 380 ekor nyamuk. Hasil karakteristik responden berdasarkan umur dengan umur terbanyak adalah pada umur 23 27 tahun sebanyak 14 responden (26,4%), terkecil pada umur 38 42 tahun sebanyak 4 responden (7,5%). Rata-rata usia kehamilan responden 24 minggu, hampir mendekati trimester III dimana pernah dilakukan penelitian pada ibu hamil oleh Linsday (2000) menyatakan bahwa ibu hamil lebih disukai oleh nyamuk dikarenakan ibu hamil mengeluarkan CO2 sebanyak 21% lebih besar dan peningkatan suhu lebih hangat 0 7 C sehingga ibu hamil lebih banyak berpeluang digigit nyamuk dibandingkan ibu yang tidak hamil. Ibu hamil yang digigit nyamuk yang mengandung larva filaria akan berpotensi tertular penyakit filariasis. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap karakteristik tingkat pendidikan responden di desa wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pura Kecamatan Muara Pawan Tahun 2016, diperoleh responden yang memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau sederajat sebanyak 23 responden (43,4%). Hal ini menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan responden lebih banyak pada Sekolah Dasar (SD) atau sederajat, tingkat pendidikan yang kurang dapat menyebabkan tingkat pengetahuan kurang. Makin tinggi tingkat pendidikan diharapkan dapat menerima pesan-pesan kesehatan dan mengerti cara pencegahan penyakit. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Marzuki (2008) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan sebagai faktor risiko yang berpotensi menularkan filariasis. Karakteristik jenis pekerjaan responden diperoleh responden lebih banyak tidak bekerja sebanyak 45 responden (84,9%) dan responden lebih sedikit bekerja adalah TNI/PNS/ Polri sebanyak 1 responden (1,9%). Proporsi responden yang lebih banyak tidak bekerja bukan merupakan faktor perilaku yang dapat berpotensi menularkan filariasis. Pekerjaan yang dilakukan pada waktu dimana nyamuk mencari darah dapat berpotensi berisiko menularkan filariasis apalagi pekerjaan yang dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Astri R (2006) menyatakan bahwa pekerjaan pada malam hari merupakan faktor risiko yang dapat berpotensi menularkan filariasis. Pengetahuan responden tentang penyakit filariasis seperti pengertian, cara penularan, penyebab, dan cara pencegahannya diperoleh distribusi responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang sebanyak 35 responden (66,0%) dan responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik sebanyak 18 responden (34,0%). Kurangnya pengetahuan responden terhadap penyakit filariasis menyebabkan kurangnya kesadaran mereka untuk berpartisipasi dalam mencegah penyakit berbahaya ini, karena masih banyak ditemukan sanitasi lingkungan yang buruk dengan kata lain tidak membersihkan lingkungan baik dalam rumah dan luar rumah seperti penguras tempat penampungan air, menggunakan penutup dan juga membersihkan setiap ruangan agar tidak dimanfaatkan oleh nyamuk sebagai tempat beristirahatnya (Nurjazuli, 2015). Kurangnya pengetahuan responden terhadap penyakit filariasis dapat berpotensi terhadap responden untuk tertular filariasis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pebrianto B tahun 2008 (p-value:0,03, OR:7,74) di Kota Pekalongan bahwa tingkat pengetahuan yang kurang merupakan faktor risiko terhadap penularan filariasis. Hal ini juga didukung penelitian Ni Nyoman V tahun 2015 di Pekalongan bahwa tingkat pengetahuan yang kurang merupakan faktor risiko terhadap penularan filariasis (p-value;0,023, OR:8,100) Keberadaan resting places di sekitar lingkungan rumah responden di desa wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pura Kecamatan Muara Pawan diantaranya adalah parit, rawa-rawa, kolam genangan air hujan, sungai kecil. Dimana hasil penelitian tersebut jumlah rumah responden yang terdapat resting places sebanyak 38 responden (71,7%) dan jumlah rumah responden yang tidak terdapat resting places sebanyak 48 responden (90,6%). Proporsi lebih banyak terdapat keberadaan resting places di sekitar lingkungan rumah responden merupakan faktor perilaku yang dapat berpotensi menularkan filariasis. Distribusi keberadaan resting places antara lain pakaian yang menggantung di dalam ruangan seperti di kamar serta kolong gelap yang jarang dibersihkan yang bisa menjadi tempat beristirahatnya vektor nyamuk di siang hari. Hal ini

N Arfarisy, Nurjazuli, dan M Raharjo, Potensi Penularan Filariasis pada Ibu Hamil 221 disebabkan oleh kurangnya antisipasi masyarakat dalam memberantas sarang nyamuk yang sering membawa penyakit menular. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jusniar (2014) menyatakan bahwa keberadaan breeding places merupakan faktor risiko yang dapat berpotensi menularkan filariasis. Kebiasaan responden tidak menggunakan obat anti nyamuk sebanyak 35 responden (66,0%) dan kebiasaan responden menggunakan obat anti nyamuk pada saat tidur sebanyak 18 responden (34,0%). Sedikitnya responden ibu hamil yang menggunakan obat anti nyamuk disebabkan aroma dari obat anti nyamuk yang tidak enak selama kehamilan. Hal ini memudahkan nyamuk untuk menggigit tubuh responden pada saat tidur. Responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk pada saat tidur merupakan faktor perilaku yang dapat berpotensi menularkan filariasis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Febrianto B tahun 2006 menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk pada saat tidur merupakan faktor risiko yang dapat berpotensi menularkan filariasis. Kebiasaan menggunakan kelambu pada saat tidur sebanyak 33 responden (62,3%) dan kebiasaan tidak menggunakan kelambu pada saat tidur sebanyak 20 responden (37,7%). Responden yang menggunakan kelambu merasa lebih aman dari gigitan nyamuk serta tidak menimbulkan aroma yang tidak sedap seperti obat anti nyamuk. Penggunaan kelambu merupakan upaya mencegah dan melindungi dari gigitan nyamuk saat tidur malam, di samping pemakaian obat anti nyamuk bakar, semprot maupun oles/repellent. Oleh karena kebiasaan nyamuk Anopheles untuk mencari makan atau menghisap darah manusia dilakukan pada malam hari, dengan demikian tidur memakai kelambu pada saat tidur malam dapat mencegah atau melindungi dari gigitan nyamuk yang akan memberikan proteksi terhadap penularan filariasis. Kebiasaan tidak mengenakan pakaian tertutup di dalam maupun di luar rumah (baju lengan panjang dan celana panjang) yakni sebanyak 39 responden (73,6%) dan responden yang memiliki kebiasaan mengenakan pakaian tertutup di dalam maupun di luar rumah (baju lengan panjang dan celana panjang) yakni sebanyak 14 responden (26,4%). Hal ini menunjukkan bahwa responden yang tidak mengenakan pakaian tertutup (baju panjang dan celana panjang) mudah untuk tergigit oleh nyamuk karena tubuh tidak terlindungi dengan baik. Kebiasaan responden yang tidak mengenakan pakaian tertutup di dalam maupun di luar rumah merupakan faktor perilaku yang dapat berpotensi menularkan filariasis. Sebaran keberadaan nyamuk yang diduga sebagai vektor penyakit filariasis di lokasi penelitian di desa wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pura ditemukan jenis nyamuk yang dominan hidup adalah jenis nyamuk Anopheles letifer. Jenis nyamuk tersebut berkembang biak sangat sesuai dengan kondisi lokasi penelitian dimana secara umum kondisi gambaran lokasi penelitian merupakan wilayah perkampungan yang berada dalam kondisi wilayah berair/rawa. Hutan rawa yang ditumbuhi berbagai jenis flora seperti sagu, bambu, pinang, pandan, durian, rambutan, mangga serta tanaman semak lainnya merupakan daerah yang sangat cocok untuk keberadaan habitat nyamuk. Hasil identifikasi dan bedah nyamuk yang dilakukan oleh B2P2BRVP Badan Litbang Kemenkes RI Salatiga tidak ditemukan larva filaria dalam tubuh nyamuk. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Nurjazuli (2015) di Kota Pekalongan dimana dari 524 ekor nyamuk yang dibedah ditemukan 8 larva filaria (1,53%) pada jenis nyamuk Culex quinqueasciatus. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan vektor di suatu wilayah pemukiman penduduk berpotensi menularkan filariasis. Menurut Bruce A. Harrison and John E. Scanlon (1975) dalam bukunya ditulis bahwa jenis nyamuk Anopheles letifer yang ditemukan di Thailand berdasarkan eksperimen setelah dilakukan pembedahan ditemukan L3 sebagai pembawa vektor W. bancrofti. Sedangkan Mansonia annulifera yang ditemukan di Vietman merupakan jenis nyamuk pembawa filaria Brugia malayi (Stojanovich et al., 1966). KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini tidak menemukan cacing mikrofilaria dalam darah ibu hamil. Hasil penangkapan nyamuk menemukan beberapa spesies nyamuk: Anopheles letifer, Mansonia uniformis, Mansonia annulifera, Culex tritaeniorhynus, Culex vishnui dan Aedes albopictus, namun tidak satupun nyamuk yang mengandung cacing filaria. Rendahnya tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, terdapat keberadaan breeding places, terdapat keberadaan resting places, kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk, serta kebiasaan tidak mengenakan

222 Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 9, No. 2 Juli 2017: 217 222 pakaian tertutup di dalam rumah diduga menjadi potensi sumber penularan penyakit filariasis. Kasus filariasis menyebar secara merata di seluruh wilayah di Kecamatan Muara Pawan Kabupaten Ketapang. DAFTAR PUSTAKA Ansyari R. (2004). Analisis faktor risiko kejadian filariasis di dusun Tanjung Bayur desa Sungai Asam Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Pontianak. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. Ardias, Setiani, O., dan Hanani, Y. (2012). Faktor lingkungan dan perilaku masyarakat yang berhubungan dengan filariasis di Kabupaten Sambas. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Vol. 11(2): 199 207. Chin J, Kandun N, editors. (2006). Manual pemberantasan penyakit menular. Jakarta: CV. Informatika. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Pelayanan Farmasi untuk ibu hamil dan menyusui. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. (2014). Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar tahun 2014. Provinsi Kalimantan Barat. Dinas Kesehatan Kabupaten Ketapang. (2014). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Ketapang. Kabupaten Ketapang. Harrison, B.A. dan Scanlon J.E. (1975). The Subgenus Anopheles in Thailand (Diptera: Culicidae): Medical Entomology Studies-II. Hutagalung, J., Hari, K., Supargiyono, dan Hamim, S. (2014). Faktor-Faktor Kejadian Penyakit Lymphatic filariasis di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010. OSIR. Vol. 7(1): 9 15. Kadarusman. (2003). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Desa Talang Babat Kecamatan Sabak Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012) a. Pedoman pemberantasan filariasis di Indonesia: Penatalaksanaan penderita filariasis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012) b. Pedoman pemberantasan filariasis di Indonesia: Epidemiologi filariasis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor. 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis. Jakarta. Lindsay, S., Ansell, J., Selman, C., Cox, V., Hamilton, K., dan Walrave, G. (2000). Effect of pregnancy on exposure to malaria mosquitoes. Lancet. Marzuki. (2008). Faktor lingkungan dan perilaku yang berpengaruh terhadap kejadian filariasis pada daerah endemis filariasis di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muara Jambi Propinsi Jambi. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. Nurjazuli. (2015). Entomologi survey based on lymphatic Filariasis locus in the district of Pekalongan city Indonesia. IJSBAR. Vol. 22(1): 295 302. Stojanovich, C.J. dan Scott, H.G. (1966). Illustrate key to Mosquitoes of Vietnam: Department of Health, Education and Welfare Public Health Service: Atlanta. Syuhada, Y., Nurjazuli, dan Wahyuningsih, N.E. (2012). Studi kondisi lingkungan rumah dan perilaku masyarakat sebagai faktor risiko kejadian filariasis di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 11(1): 95 101. World Health Organization. (2010). The regional strategic plan for elimination of lymphatic filariasis 2010 2015. India.