TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Apu-Apu (Pistia stratiotes) Tanaman apu-apu berasal dari Afrika dan Amerika Selatan tepatnya di semenanjung Florida dan menuju ke barat hingga Texas yang tumbuh secara alami atau bisa juga dibawa oleh manusia (Buzgo, 2006). Tanaman apu-apu biasa ditemukan mengapung di sepanjang danau, aliran sungai, pantai, rawa, dan persawahan. Tanaman apu-apu mampu bertahan hidup untuk periode waktu yang panjang, pada keadaan lembab ataupun kotor dan telah menyebar hingga wilayah beriklim tropis dan subtropis termasuk Asia. Tanaman ini lebih suka di tempat yang cerah dan mendapat cahaya matahari secara bebas karena berfotosintesis dengan cahaya matahari namun, dapat juga hidup di tempat yang teduh dan terkena cahaya matahari secara parsial (Langeland et al.,2008). Tabel 1. Kandungan Nutrisi Pada Tepung Daun Apu-apu (Pistia stratiotes) Nutrisi Kandungan Energy Metabolis (Kkal/kg) 3584 b Protein Kasar (%) 17,35 a Lemak Kasar (%) 1,31 a Serat Kasar (%) 14,62 b Abu (%) 20,38 b Bahan Kering (%) 88,66 a Sumber : a Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak (2016) b Laboratorium Loka Penelitian Kambing Putih Sei Putih (2016 Penggunaan gulma air (water plant), seperti apu-apu (Pistia stratiotes ) ataupun duckweed merupakan suatu langkah yang tepat untuk mengatasi masalah pakan itik. Apu-apu (Pistia stratiotes ) dapat berpotensi sebagai bahan penyusun pakan karena, berdasarkan berat kering mengandung BETN 37,0%, protein kasar 19,5%, kadar abu 25,6%, lemak kasar 1,3% dan mengandung serat kasar 11,7% (Diler et al., 2007).
Kandungan serat yang tinggi ini diharapkan mampu menurunkan lemak sebesar 25g dalam 100g pada daging ayam kampung (Cahyono, 2001), sehingga dapat disediakan produk unggas yang kadar lemaknya lebih rendah. Tanaman air apu-apu juga merupakan salah satu tanaman dari kelompok floating plant yang mengandung jumlah nutrisi yang cukup aman untuk dipertimbangkan sebagai pakan ternak potensial (Banerjee dan Matai, 1990). Berdasarkan pengamatan terhadap phytochemical screening menunjukan bahwa tanaman air apu-apu mengandung flavonoid (antibiotik), minyak, lemak dan glikosid (Tribianto dan Purnomo, 2011). Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara di lingkungan subtropis maupun tropis. Itik peking mudah beradaptasi dan keinginan untuk terbang kecil sekali. Umumnya di pelihara secara intensif dengan di lengkapi kolam yang dangkal (Murtidjo, 1996). Itik peking merupakan tipe pedaging yang popular disebut green duck. Itik ini mempunyai kepala besar juga bundar, paruhnya lebar dan pendek, paruhnya berwarna kuning akan tetapi ada yang berwarna putih. Leher gemuk pendek dan tegak. Dada besar, bundar membusung. Kaki pendek berwarna kekuning-kuningan. Sayap pendek dan kuat, warna bulunya putih dan pada jantan ada jambul di kepala (Samosir, 1994). Dari golongan itik pedaging (peking, muskovy atau entok), itik peking mulai popular di Indonesia. Produksi dagingnya dapat mencapai 3 sampai 3,5 kg pada umur 7-8 minggu. Namun meskipun itik peking adalah itik pedaging,
pemeliharaannya belumlah meluas, kemungkinan karena masalah harga saat itik dipasarkan (Anggorodi, 1985). Dilihat dari warna bulu itik peking umumnya putih, tetapi ada juga yang berwarna krem dengan kaki dan paruh yang berwarna jingga. Matanya agak gelap dan berwarna kebiruan dengan posisi yang tenggelam karena bagian pipi relatif lebih menonjol (Srigandono, 1998). Marhijanto (1993) mengemukakan bahwa itik peking bukanlah suatu jenis itik yang cocok untuk petelur, tetapi lebih cocok jika itik ini diternakkan untuk diambil dagingnya. Sebagai unggas pedaging beberapa kelebihan itik peking adalah sebagai berikut; pertumbuhannya cepat, mudah dalam pemeliharaannya, hemat biaya dan tahan terhadap penyakit. Kebutuhan Nutrisi Itik Peking Bahan pakan itik adalah bahan pakan yang memiliki unsur-unsur gizi seperti energy, mineral, protein, vitamin, karbohidrat dan air. Bahan pakan untuk itik biasanya adalah jagung kuning, bungkil kedelai, tepung ikan dan pakan lainnya yang menjadi sumber energy (Wahyu, 1997). Tabel 2. Kebutuhan gizi itik Peking pada berbagai umur* Gizi Starter Grower (0-2 minggu) (2-7 minggu) Bibit Protein kasar (%) 22 16 15 Energi (kkal EM/kg) 2.900 3.000 2.900 Metionin (%) 0,40 0,30 0,27 Lisin (%) 0,90 0,65 0,60 Ca (%) 0,65 0,60 2,75 P tersedia (%) 0,40 0,30 Sumber : NRC (1994) Ransum untuk itik pada dasarnya sama seperti untuk ayam, kesamaannya terutama dalam penggunaan bahan pakan. Ransum itik umumnya diberikan agak
basah. Air perlu ditambahkan kedalam ransum untuk membuat bahan tansum saling melekat, akan tetapi ransum tidak boleh begitu basah (Anggorodi, 1985). Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi ransum adalah palatabilitas ransum yang meliputi bau, rasa dan tekstur. Lebih lanjut Tilman et all., (1986) menjelaskan bahwa semakin palatebel suatu pakan maka semakin banyak jumlah ransum yang dapat dikonsumsi ternak. Unsur-unsur gizi untuk itik terdiri dari protein yang merupakan unsur gizi yang paling dibutuhkan untuk kehidupan dan produksi. Kebutuhan protein untuk itik dipengaruhi oleh umur, pertumbuhan, reproduksi, iklim dan temperatur. Bila protein atau asam aminonya kekurangan atau tidak terpenuhi akan menyebabkan pertumbuhan terganggu ( Rasyaf, 1982). Secara garis besar dianjurkan bahwa pada periode starter hendaknya ransum mengandung protein 20 sampai 22% dengan energi metabolis 2800 sampai 3000 kkal, sedangkan setelah umur 2 minggu samapi saat dipotong protein diturunkan menjadi 16 sampai 17% dan energi 3000 kkal (Srigandono, 1998). Tingkat serat kasar yang tinggi dalam ransum akan menurunkan konsumsi ransum yang pada gilirannya pertumbuhan juga akan menjadi lambat. Sebaliknya apabila kandunga serat kasar dalam ransum terlalu rendah mengakibatkan laju ransum dalam pencernaan meningkat sehingga dapat menurunkan pertumbuhan (Siregar et al., 1980). Konsumsi Pakan Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah unsur nutrisi yang ada dalam pakan tersebut. Secara biologis itik mengkonsumsi makanan untuk proses hidupnya. Kebutuhan energi untuk fungsi-fungsi tubuh dan
memperlancar reaksi-reaksi asam amino dari tubuh. Hal ini menunjukan bahwa ternak itik dalam mengkonsumsi makanannya digunakan untuk kebutuhan ternak tersebut (Wahyu, 1997). Semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan makan semakin tebal dinding sel dan akibatnya semakin rendah daya cerna dari bahan makanan (Anggorodi, 1985). Jumlah konsumsi bahan kering pakan di pengaruhi beberapa variabel meliputi palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan konsumsi kimia serta kualitas pakan. Salah satu yang menjadi penentu tingkat konsumsi adalah keseimbangan zat makanan dan palatabilitas. Tingakat perbedaan konsumsi juga di pengaruhi oleh beberapa faktor antar lain faktor ternak (bobot badan, umur, tingkat kecernaa pakan, kualitas pakan dan palatabilitas). Makana yang berkualitas baik tingkat konsumsinya lebih baik dibandingkan dengan makanan berkualitas rendah, sehingga kualitas pakan yang relatif sama maka tingkat konsumsinya juga relatif sama (Parakkasi, 1995). Bobot Potong Bobot potong adalah bobot yang didapat dengan cara penimbangan bobot itik setelah dipuasakan selama 12 jam. Bobot potong perlu diperhatikan karena berpengaruh terhadap bobot karkas, oleh karena itu diperhatikan kualitas dan kuantitas karkas dari ransum yang dikonsumsi, sehingga didapat pertumbuhan yang baik (Blakely and Bade, 1998). Siregar dan Sabrani (1990) yang menyatakan bahwa serat kasar yang tinggi dapat mengurangi efisiensi penggunaan nutrient lain, sebaliknya apabila serat kasar dalam ransum terlalu rendah, mengakibatkan ransum tidak tercerna dengan baik.
Pertambahan bobot badan sangat mempengaruhi bobot potong. Pertambahan bobot badan juga dapat di pengaruhi oleh bahan pakan penyusun ransum. Bahan penyusun ransum harus memiliki gizi yang cukup tinggi dengan gizi yang cukup tinggi tersebut dapat memberikan kualitas pakan yang baik untuk ternak sehingga ternak akan tumbuh lebih cepat dan lebih baik (Nataadmidjaya, 1995). Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan melalui penimbangan berulang-ulang, yaitu setiap hari, setiap minggu atau setiap waktu lainnya (Tillman et al., 1986). Bobot Karkas dan Persentase Karkas Bobot karkas normal adalah 60-75% dari tubuh, sedangkan persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup dikalikan 100% (Siregar, 1994). Menurut Soeparno (2005) bobot karkas meningkat seiring dengan meningkatnya bobot hidup, tetapi persentase non karkas seperti kulit, darah, usus halus dan hati menurun. Bobot karkas merupakan bobot tubuh yang telah disembelih setelah dipisahkan darah, bulu, kepala sampai batas pangkal leher, kaki sampai batas lutut, organ dalam (Murtidjo, 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot karkas tidak hanya jenis kelamin, umur dan bobot badan tetapi ada beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karkas diantaranya strain, makanan, manajemen dan lingkungan. Karkas merupakan bagian tubuh yang penting dalam produksi daging. Karkas ayam pedaging adalah bagian tubuh setelah ayam dipotong dan dikeluarkan isi rongga perut tanpa kaki dan kepala, namun dapat pula ditambah
dengan giblet (hati, jantung dan limpa) dan leher (Synder dan Orr, 1964). Persentase karkas merupakan faktor yang penting untuk menilai produksi ternak, karena produksi erat hubungannya dengan bobot karkas, dimana semakin bertambah bobot karkas maka produksi karkasnya semakin meningkat (Murtidjo, 1996). Persentase karkas dipengaruhi oleh bangsa, umur, jenis kelamin, bobot hidup dan makanan. Persentase karkas umur muda lebih rendah dibandingkan persentase ayam betina lebih banyak menghasilkan kulit dan lemak abdominal dari pada jantan (Morran and Orr, 1970). Ahmat (1992) yang menyatakan bahwa itik yang bobot tubuhnya tinggi akan menghasilkan persentase karkas yang tinggi, sebaliknya itik yang bobot tubuhnya rendah akan menghasilkan persentase yang rendah. Lemak Abdominal Lemak abdominal merupakan lemak yang terdapat disekitar rongga perut atau disekitar ovarium. Lemak sebagai sumber energi sangat efesien dalam jumlah atau 2,5 kali lebih tinggi dari kandungan karbohidrat. Namun pemakaian lemak untuk konsumsi unggas hanya dibolehkan sekitar 5% dari jumlah total ransum. Hal ini disebabkan kandungan lemak yang tinggi akan menghambat ovulasi (Triyantini, et al., 1997). Menurut Haris (1997) yang menyatakan bahwa pembentukan lemak tubuh diakibatkan dari konsumsi energi yang berlebih yang akan disimpan dalam jaringan tubuh yaitu pada bagian intramuscular, subkutan dan abdominal. Selain itu menurut Tilman et al., (1986) kelebihan energi pada itik akan menghasilkan karkas yang mengandung lemak lebih tinggi dan rendahnya konsumsi menyebabkan lemak dan karbohidrat yang disimpan dalam glikogen rendah.
Nutrisi merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi komposisi karkas terutama terhadap proposi lemak. Faktor yang mempengaruhi kandungan lemak tubuh adalah ransum (Komot, 1984).