BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut WHO (2000), sekitar 38 juta orang menderita kebutaan dan hampir 110 juta orang menderita penurunan penglihatan. Hal ini menunjukkan bahwa ada sekitar 150 juta orang menderita gangguan penglihatan. Tidak terdapat data mengenai insiden kebutaan yang tersedia dengan baik. Meskipun demikian, diperkirakan jumlah orang buta di seluruh dunia akan meningkat 1-2 juta orang per tahun. Pada tahun 2006, WHO mengeluarkan estimasi global terbaru, yaitu 314 juta orang di dunia menderita gangguan penglihatan, 45 juta dari mereka menderita kebutaan (WHO, 2007). Berdasarkan perhitungan terakhir, katarak yang berkaitan dengan umur merupakan 48% penyebab kebutaan di seluruh dunia, yaitu sekitar 18 juta orang. Diperkirakan setidaknya satu dari seribu populasi akan menderita kebutaan karena katarak setiap tahunnya di Afrika dan Asia (WHO, 2000). Dari hasil estimasi terhadap kebutaan karena katarak pada berbagai regio WHO, dapat diketahui bahwa total kebutaan karena katarak adalah 47,8%, dimana sebesar 58% terdapat di regio Asia Tenggara B (Murray et al, 2001). Hasil Survei Kesehatan Mata Nasional tahun 1993-1996 dalam Agustiawan (2006) menunjukkan bahwa 1,5% penduduk di Indonesia mengalami kebutaan dan lebih dari setengahnya (sekitar 1,5 juta) kebutaan tersebut disebabkan oleh katarak. Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan angka kebutaan di Thailand (0,3%), India (0,7%), Bangladesh (1,0%), dan di Afrika Sub-Sahara (1,4%). Pertambahan buta katarak baru di Indonesia mencapai 210.000 per tahunnya, sedangkan jumlah operasi katarak hanya 70.000 per tahun. Keadaan ini menimbulkan penumpukan katarak di Indonesia. Menurut Surkesnas (2004), hasil SKRT menunjukkan 13% penduduk mengalami gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Ditinjau dari kelompok umur, persentase gangguan penglihatan dan pendengaran semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur. Prevalensi jenis gangguan
kegiatan sehari-hari yang tinggi adalah gangguan penglihatan (71%). Selain itu, hasil survei ini juga melaporkan bahwa responden, yang pernah melakukan pemeriksaan mata dalam kurun lima tahun terakhir, sebesar 11% pernah didiagnosis katarak. Menurut Depkes RI (2008), berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2007, proporsi low vision di Indonesia adalah sebesar 4,8% (Asia 5% - 9%), kebutaan 0,9%, dan katarak sebesar 1,8% (meningkat dari 1,2% menurut SKRT 2001). Patut diduga bahwa peningkatan jumlah kasus katarak ini berkaitan erat dengan peningkatan umur harapan hidup penduduk Indonesia pada periode 2005-2010 (69,1 tahun) dibanding periode 2000-2005 (66,2 tahun). Proporsi penduduk berumur 30 tahun keatas dengan katarak di Sumatera Utara adalah 1,5% (proporsi responden yang mengaku pernah didiagnosis katarak oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan terakhir) dan 11,3% (proporsi responden yang mengaku pernah didiagnosis katarak oleh tenaga kesehatan atau mempunyai gejala penglihatan berkabut dan silau dalam 12 bulan terakhir). Di Sumatera Utara dan Medan, prevalensi kebutaan dan morbiditas akibat katarak tahun 2007 sebesar 0,78% dan 7,3% (BKMM, 2007). Bertambahnya umur berhubungan dengan prevalensi terjadinya katarak. Peningkatan prevalensi yang berhubungan dengan pertambahan umur ini juga terjadi di negara berkembang. Lebih dari 20 tahun yang akan datang, populasi dunia diperkirakan akan meningkat sekitar sepertiga. Pertumbuhan ini akan lebih dominan di wilayah yang berkembang. Dalam periode yang sama, jumlah orang yang berusia lebih dari 65 tahun akan lebih meningkat ganda. Populasi yang berusia ini akan terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju. Jika tidak ada perubahan lain, perubahan demografik ini akan meningkatkan jumlah katarak, morbiditas penglihatan, dan kebutuhan akan operasi katarak. Pada tahun 2020, akan terjadi peningkatan jumlah orang dengan penurunan visus 3/60 atau buruk sebagai akibat dari katarak yaitu dari 20 juta orang yang ada saat ini menjadi 40 juta orang. Hal ini menyebabkan katarak menjadi masalah global yang signifikan, sehingga perlu dilakukan usaha untuk mencegah dan memperlambat terjadinya katarak (Brian & Taylor, 2001).
Katarak merupakan penyebab utama terjadinya kebutaan di seluruh dunia yang dapat dicegah (WHO, 2000). Menurut Brian & Taylor (2001), meskipun banyak studi cross-sectional tentang faktor risiko katarak telah dilakukan dan hasil dari beberapa studi longitudinal telah tersedia, pemahaman tentang etiologi umur yang berhubungan dengan katarak masih belum jelas. Perkembangan terbaru tentang epidemiologi katarak telah mengidentifikasi adanya komponen genetik yang kuat. Umur secara jelas telah menunjukkan efek kumulatif dari interaksi yang kompleks antara paparan terhadap berbagai macam faktor dalam waktu yang lama yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan katarak. Beberapa dari faktor ini diketahui, sedangkan yang lainnya belum diketahui. Faktor risiko penting terjadinya katarak yang berhubungan dengan umur antara lain paparan radiasi sinar ultraviolet-b (UV-B), diabetes, penggunaan obat-obat untuk terapi seperti kortikosteroid, nikotin, dan alkohol. Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi faktor risiko terjadinya katarak hanya dengan mengurangi paparan radiasi sinar UV-B terhadap mata dan berhenti merokok. Hampir 1 juta milyar laki-laki di dunia merokok, sekitar 35% dari mereka berada di negara maju dan 50% berada di negara berkembang. Sekitar 250 juta perempuan di dunia merupakan perokok. Sekitar 22% dari perempuan tersebut berada di negara maju dan 9% berada di negara berkembang. Jumlah perokok di dunia akan terus bertambah terutama karena terjadi pertambahan jumlah populasi. Pada tahun 2030 akan ada sekitar 2 milyar orang di dunia. Meskipun angka prevalensi ini salah, jumlah perokok akan tetap meningkat. Konsumsi tembakau telah mencapai proporsi epidemik global (Mackay & Eriksen, 2002). Indonesia adalah salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia. Secara nasional, konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2002 berjumlah 182 milyar batang yang merupakan urutan ke-5 diantara 10 negara di dunia dengan konsumsi tertinggi pada tahun yang sama (Depkes RI, 2004). Konsumsi rokok di Indonesia meningkat 7 kali lipat selama periode 1970-2000 dari 33 milyar batang pada tahun 1970 menjadi 217 milyar batang pada tahun 2000. Antara tahun 1970 dan 1980 konsumsi meningkat sebesar 159%, yaitu dari 33 milyar batang menjadi 84 milyar batang. Antara tahun 1990 dan 2000 peningkatan jauh lebih sebesar
54% terjadi dalam konsumsi tembakau walaupun terjadi krisis ekonomi. Prevalensi merokok di kalangan dewasa meningkat ke 31,5% pada tahun 2001 dari 26,9% pada tahun 1995 (Depkes RI, 2003). Prevalensi merokok penduduk usia 15 tahun ke atas adalah 31,5 %, lebih tinggi dibandingkan tahun 1995 yang sebesar 26,9%. Prevalensi ini berbeda menurut jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, kelompok umur, tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan. Prevalensi merokok dewasa (umur 15 tahun ke atas) pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi pada perempuan. Pada tahun 2001, prevalensi pada laki-laki sebesar 62,2% dan perempuan sebesar 1,3%. Penduduk yang tinggal di pedesaan mempunyai prevalensi merokok yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan. Prevalensi merokok di pedesaan adalah sebesar 34% dan di perkotaan sebesar 28,2%. Prevalensi merokok laki-laki umur 15 tahun ke atas yang tinggal di desa adalah sebesar 67% dan yang tinggal di kota 56,1% sedangkan prevalensi perempuan umur 15 tahun ke atas di desa 1,5% dan di kota 1,1% (Depkes, 2004). Menurut Surkesnas (2004), hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004 menunjukkan bahwa perokok umur 15 tahun di Indonesia sebesar 35%, kisaran menurut provinsi terendah di Nanggroe Aceh Darussalam (24%) tertinggi di Maluku Utara (42%), persentase di atas rata-rata angka nasional meliputi 13 provinsi. Perokok laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan (63% dibanding 4,5%). Sebanyak 63% perokok yang merokok 10 batang per hari, kisaran menurut provinsi terendah di Maluku (22%) dan tertinggi di Sumatera Utara (84%). Pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan katarak. 1.2. Rumusan Masalah Prevalensi katarak yang semakin meningkat serta adanya peningkatan tingkat konsumsi rokok yang merupakan salah satu dari faktor risiko terjadinya katarak, maka penulis berkeinginan untuk mengetahui bagaimana hubungan merokok dengan katarak di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan merokok dengan katarak di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 1.3.2. Tujuan Khusus Yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hubungan merokok dengan katarak di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 2. Untuk mengetahui gambaran usia awal merokok pada penderita katarak di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 3. Untuk mengetahui gambaran lama merokok pada penderita katarak di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 4. Untuk mengetahui gambaran jumlah konsumsi rokok batang per hari pada penderita katarak di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 5. Untuk mengetahui gambaran jenis rokok pada penderita katarak di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Peneliti Sebagai tambahan wawasan serta kesempatan penerapan ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti pendidikan di FK USU. 1.4.2. Bagi Pembaca Dapat menjadi sumber informasi dan kelak dapat dipergunakan dalam hal yang berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan penulis.