4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

3. METODE PENELITIAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda (Prihadi 2004)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA, PURWAKARTA

3. METODE PENELITIAN

PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK IR. H. JUANDA, PURWAKARTA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

MANAJEMEN KUALITAS AIR

PENGARUH PERCAMPURAN BERBAGAI KOLOM AIR TERHADAP KADAR DO (Dissolved Oxygen) DI KARAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK SAGULING, KABUPATEN BANDUNG

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Pelaksanaan Penelitian Penentuan stasiun

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

PENGARUH PERCAMPURAN BERBAGAI KOLOM AIR TERHADAP KADAR DO (Dissolved Oxygen) DI KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK SAGULING, KABUPATEN BANDUNG 1

FENOMENA DAMPAK UPWELLING PADA USAHA BUDIDAYA IKAN DENGAN KJA DI DANAU DAN WADUK

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. rumah tangga dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan. Rawa adalah sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

3. METODE PENELITIAN

PARAMETER KUALITAS AIR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT

II. TINJAUAN PUSTAKA. Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

Bab V Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

Abstract. Keywords: Koto Panjang reservoir, phosphate, lacustrine and transition

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT SECARA VERTIKAL PADA LOKASI KARAMBA JARING APUNG DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. berdampak buruk bagi lingkungan budidaya. Hal ini erat kaitannya dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Perairan merupakan perpaduan antara komponen fisika, kimia dan biologi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL

PENENTUAN KUALITAS AIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Ketersediaan oksigen terlarut merupakan informasi penting bagi upaya pengelolaan suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya respirasi aerob, pertumbuhan dan reproduksi. Konsentrasi oksigen terlarut di perairan juga menentukan kapasitas perairan untuk menerima beban bahan organik tanpa menyebabkan gangguan atau mematikan organisme hidup. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada tanggal 21 Maret 2009 di salah satu lokasi keramba jaring apung Waduk Ir. H. Juanda, distribusi kandungan oksigen terlarut cenderung mengalami penurunan seiring bertambahnya kedalaman (Tabel 9). Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu keterbatasan cahaya matahari yang masuk ke perairan untuk proses fotosíntesis oleh fitoplankton serta karena akumulasi limbah organik yang tinggi dari sisa pakan dan hasil metabolisme ikan di KJA yang memerlukan oksigen untuk proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan. Berdasarkan hasil pengamatan oksigen terlarut (Tabel 9), diperoleh nilai oksigen terlarut yang bervariasi dari permukaan hingga dasar perairan dengan kisaran rata-rata 0,6-7,6 mg/l sehingga semakin dalam perairan maka konsentrasi oksigen cenderung mengalami penurunan. Konsentrasi oksigen terlarut terbesar terdapat di permukaan dengan nilai oksigen berkisar antara 7,5-7,7 mg/l; sedangkan konsentrasi oksigen terendah terdapat pada kedalaman 30 meter sampai dasar perairan sehingga konsentrasi oksigen terlarut cenderung sama yaitu 0,6 mg/l. Hal ini dikarenakan adanya hasil dari proses akumulasi bahan organik (sisa pakan dan feses ikan) serta limbah penduduk yang bermukim di KJA dan jika hal tersebut terus berlangsung maka lapisan anoksik akan semakin tebal seiring dengan bertambahnya waktu. Konsentrasi oksigen terlarut pada kedalaman 4 dan 6 meter menunjukkan perbedaan yang cukup tinggi. Pada kedalaman 4 meter konsentrasi oksigen terlarut rata-rata adalah 6,2 mg/l; sedangkan kedalaman 6 meter konsentrasi oksigen terlarut menurun drastis menjadi 3,8 mg/l. Hal tersebut dikarenakan pada

kedalaman 4 meter kemampuan fitoplankton dalam melakukan proses fotosíntesis lebih besar daripada di kedalaman 6 meter. Berdasarkan pengukuran kecerahan di lokasi pengamatan diperoleh kedalaman zona eufotik hingga 4,83 meter; sedangkan pada kedalaman 6 meter cahaya matahari sudah mulai berkurang sehingga pada kedalaman ini oksigen cenderung diperoleh dari distribusi lapisan diatasnya. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut merupakan hal yang wajar karena fotosintesis hanya terjadi di zona fotik, sedangkan respirasi terjadi dimana saja baik dari kolom air hingga ke dasar perairan sehingga permukaan air cenderung kaya oksigen terlarut dan akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Tabel 9. Distribusi vertikal DO (mg/l) di lokasi pengamatan Kedalaman (m) Ulangan 1 2 Rata-rata 0 7,5 7,7 7,6 2 6,6 7,0 6,8 4 6,1 6,3 6,2 6 3,7 3,9 3,8 8 3,1 3,0 3,1 10 1,8 1,8 1,8 12 1,8 1,6 1,7 14 1,1 1,2 1,2 16 0,9 0,9 0,9 18 0,7 0,7 0,7 20 0,7 0,7 0,7 30 0,6 0,6 0,6 40 0,6 0,6 0,6 dasar* 0,6 0,6 0,6 Keterangan : *kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 49 meter Berdasarkan distribusi vertikal oksigen terlarut (Gambar 6), ditunjukkan bahwa konsentrasi oksigen terlarut cenderung menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Menurut Goldman dan Horne (1983) tipe distribusi oksigen terlarut (Gambar 6) yang diperoleh dari hasil pengamatan termasuk tipe clinograde yang pada umumnya terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) dengan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Pada tipe ini

oksigen semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman karena adanya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan Widiyastuti (2004) di lokasi KJA di waduk yang sama menyatakan bahwa tipe distribusi oksigen terlarutnya menggambarkan tipe clinograde. DO (mg/l) 0 0 2 4 6 8 Kedalaman (m) 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 ulangan 1 ulangan 2 Gambar 6. Distribusi vertikal konsentrasi oksigen terlarut Distribusi vertikal oksigen terlarut pada saat pengamatan menunjukkan bahwa pada kedua ulangan tidak terjadi penurunan oksigen hingga mencapai nol karena oksigen masih ditemukan hingga dasar perairan. Pada dasarnya penumpukan limbah organik yang berasal dari sisa pakan dan hasil metabolisme ikan pasti akan membutuhkan oksigen untuk melakukan proses dekomposisi, namun pada kenyataannya oksigen terlarut di lokasi pengamatan masih tersedia hingga dasar perairan meskipun dalam jumlah yang sangat minim. Hal ini didukung hasil penelitian Widiyastuti (2004) yang menyebutkan bahwa deplesi oksigen hanya terjadi pada malam hari akibat dari proses respirasi yang berlangsung secara terus-menerus, sedangkan fotosintesis tidak berjalan. Selain itu, adanya arus balik (upwelling) yang terjadi di Waduk Ir. H. Juanda pada tanggal

11 Februari 2009 mengakibatkan oksigen di dasar perairan menjadi terangkat dan tercampur ke permukaan sehingga oksigen masih tersedia hingga lapisan hipolimnion. Pada dasarnya sumber oksigen terlarut di hipolimnion hampir tidak ada kecuali jika terjadi pembalikan massa air. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui pula bahwa hingga kedalaman 8 meter konsentrasi oksigen terlarut masih dianggap layak bagi kegiatan perikanan karena memiliki kisaran nilai DO 3,0-7,7 mg/l. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 kelas III yang menganjurkan batas minimal konsentrasi oksigen terlarut untuk kepentingan perikanan sebesar 3 mg/l, sedangkan pada kedalaman 10 meter hingga dasar perairan konsentrasi oksigen terlarut sudah tidak layak bagi kegiatan perikanan karena nilai oksigen terlarut pada kedalaman tersebut kurang dari 3 mg/l yaitu berada pada kisaran 0,6-1,8 mg/l. Hal tersebut menandakan kondisi perairan dari kedalaman 10 meter hingga dasar cenderung mendekati kondisi anoksik. Kondisi oksigen terlarut yang minim tersebut dapat membahayakan kehidupan ikan, baik ikan yang berada di dalam keramba maupun yang berada di luar keramba apabila pada nantinya terjadi proses pembalikkan massa air ke lapisan permukaan. 4.2. Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Oksigen Terlarut Berdasarkan pengamatan yang dilakukan melalui beberapa perlakuan (Tabel 10), diperoleh nilai Dissolved Oxygen (DO) rata-rata tertinggi pada perlakuan 1 yaitu 4,03 mg/l. Pada perlakuan 2 konsentrasi DO rata-rata yang diperoleh adalah 2,65 mg/l; dan nilai DO rata-rata pada perlakuan 3 yaitu 2,02 mg/l. Perlakuan 1 memiliki nilai konsentrasi DO yang dianggap masih baik bagi kegiatan perikanan berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 yang menganjurkan nilai DO untuk kegiatan perikanan tidak kurang dari 3 mg/l. Pada perlakuan 2 dan 3 nilai DO sudah berada di bawah baku mutu sehingga dapat mengganggu proses metabolisme dan pertumbuhan ikan dan hanya beberapa ikan saja yang mampu mentolerir kondisi perairan tersebut. Pada perlakuan 3 memiliki nilai DO yang paling buruk dan mendekati kondisi anoksik yang berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan. Kondisi tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya kematian massal ikan budidaya akibat upwelling di Waduk Ir. H. Juanda yang pada umumn ya terjadi pada peralihan musim kemarau ke musim hujan.

Tabel 10. Konsentrasi DO (mg/l) dari hasil pencampuran air di beberapa kedalaman Ulangan Perlakuan 1 2 3 1 3,81 2,97 2,12 2 4,24 2,54 2,12 3 4,24 2,54 2,12 4 3,82 2,54 1,70 Rata-rata 4,03 2,65 2,02 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 8 m (62,5 ml ; 62,5 ml) Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 8 dan 12 m (35,7 ml; 35,7 ml; 53,6 ml) Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 8, 12 dan dasar (49 m) (10 ml ;10 ml ;16 ml; 89 ml) Berbeda dengan hasil pengamatan yang dilakukan Nugroho (2009) di Waduk Saguling yang memiliki nilai konsentrasi DO untuk perlakuan 1 dan 2 yang masih berada pada baku mutu yang dianjurkan (> 3 mg/l) yaitu berturut-turut 4,3 dan 3,21 mg/l; sedangkan untuk perlakuan 3 nilai DO berada di bawah baku mutu yang dianjurkan yaitu 2,2 mg/l. Upwelling atau umbalan merupakan suatu fenomena alam yang tidak dapat diduga dengan pasti waktu terjadinya. Pada pengamatan ini, perlakuan 1 dan perlakuan 2 merupakan salah satu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai DO di perairan jika terjadi pencampuran air sebagian (meromictic), sedangkan perlakuan 3 merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai DO jika perairan mengalami pencampuran massa air sempurna (holomictic). Pencampuran massa air sebagian pada umumnya lebih sering terjadi dibandingkan dengan pencampuran massa air sempurna (holomictic). Meromictic pada umumnya disebabkan oleh pergerakan angin, suhu, dan masukan aliran air sungai atau masukan inlet dari waduk yang berada diatasnya. Umbalan tidak berpengaruh terlalu buruk pada air yang jernih, sedangkan pada perairan yang dasarnya kotor tercemar limbah (termasuk limbah pakan ikan) dapat mengancam kehidupan ikan karena massa air yang naik ke permukaan akan membawa senyawa-senyawa beracun yang membahayakan kehidupan ikan. Menurut Kurniawan (2009), kandungan oksigen terlarut pada saat terjadi umbalan 11 Februari 2009 lalu pada kedalaman 1-3 meter adalah 0,5-0,09 mg/l, sedangkan pada kedalaman 20 meter, kandungan oksigen terlarutnya sudah mencapai 0 mg/l.

Berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan 3 nilai DO yang diperoleh cenderung lebih tinggi dibandingkan nilai DO pada saat terjadi kematian massal akibat umbalan yang terjadi pada bulan Februari 2009. Hal ini diduga pada saat pencampuran air terjadi difusi udara sehingga mempengaruhi kadar oksigen yang akan diamati. Selain itu, tingginya nilai oksigen terlarut ini diakibatkan oleh distribusi vertikal oksigen pada saat pengamatan yang cenderung berada pada kondisi yang lebih baik dibandingkan sebelum terjadi umbalan pada bulan Februari 2009. Hal tersebut akibat penumpukan bahan organik dari pakan dan sisa metabolisme ikan yang memanfaatkan oksigen untuk melakukan proses dekomposisi, akibatnya lapisan anoksik cenderung semakin tebal dengan bertambahnya hari dan setelah terjadi umbalan pada bulan Februari 2009 tersebut kondisi perairan menjadi lebih baik dan lapisan anoksik pun menjadi berkurang. Hasil dari pencampuran massa air diuji secara statistik berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan hipotesis adalah: H 0 : tidak ada perbedaan pengaruh yang nyata antara perlakuan 1, 2, dan 3 terhadap ketersediaan oksigen terlarut H 1 : sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh perlakuan terhadap ketersediaan oksigen terlarut. Berdasarkan Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 11, diperoleh nilai F hitung lebih besar dibandingkan nilai F tabel. Hal ini berarti percobaan memberi kesimpulan untuk menolak H 0 atau menerima H 1, artinya sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh yang nyata dari ketiga perlakuan terhadap ketersediaan oksigen terlarut. Dalam hal ini, perlu dilakukan uji BNT untuk mengetahui perlakuan-perlakuan yang memperoleh pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Tabel 11. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk DO SK db JK KT F hit F tabel Perlakuan 2 8,4728 4,2364 84,42 4,26 Sisa 9 0,4517 0,0502 Total 11 8,9245 Berdasarkan uji BNT (Lampiran 5) diketahui bahwa pencampuran massa air dari semua perlakuan memberi pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap

oksigen terlarut. Hal tersebut dikarenakan setiap perlakuan yang diberikan merupakan hasil dari pencampuran massa air yang diambil dari kedalaman yang berbeda-beda yang distribusi oksigen terlarutnya cenderung menurun seiiring dengan bertambahnya kedalaman (Tabel 11 dan Gambar 6) sehingga pencampuran massa air antar perlakuan tersebut akan memberikan hasil yang berbeda pula terhadap ketersediaan oksigen terlarut. 4.3. Persen Saturasi Oksigen Berdasarkan nilai konsentrasi oksigen terlarut yang diperoleh dari hasil pengamatan, didapatkan kadar oksigen yang melebihi nilai jenuh disebut lewat jenuh (supersaturasi). Effendi (2003) menyatakan bahwa kondisi supersaturasi menggambarkan kadar oksigen terlarut di perairan lebih besar daripada kadar oksigen yang terlarut secara teoritis berdasarkan nilai suhu pada tekanan udara 760 mmhg (Tabel 4). Kondisi supersaturasi pada saat pengamatan diperoleh pada kedalaman 0 meter (permukaan perairan) dengan nilai saturasi sebesar 102,29% (Gambar 7). Persen Saturasi (%) 0 0 50 100 5 10 15 Kedalaman (m) 20 25 30 35 40 45 50 Gambar 7. Persen saturasi oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Ir. H. Juanda

Kondisi supersaturasi ini terjadi karena pada saat pengamatan kondisi cuaca sangat cerah (waktu pengamatan pukul 11.00 WIB) dan cahaya matahari bersinar terik hingga ke permukaan perairan sehingga pada kondisi ini proses fotosintesis dari fitoplankton berjalan dengan cepat dan difusi pun tetap berjalan pada permukaan hingga kadar oksigen mencapai titik jenuh. Pada kondisi jenuh tersebut tidak ada lagi oksigen yang mengalami difusi dari udara ke dalam air. Kondisi saturasi yang diperoleh dari hasil pengamatan ini sesuai dengan Goldman dan Horne (1983) yang menyatakan bahwa perairan yang mengalami penyuburan memiliki kejenuhan oksigen berkisar antara 80 250% saturasi. Menurut Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003), pada saat matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosíntesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi untuk proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen jenuh (saturasi) sehingga perairan mengalami supersaturasi. Menurut Effendi (2003), oksigen yang mencapai titik jenuh akibat pertumbuhan fitoplankton yang berlangsung dengan cepat seiring dengan peningkatan unsur hara dapat membahayakan kelangsungan hidup ikan karena dapat memicu terjadinya eutrofikasi perairan sehingga pada saat malam hari oksigen menjadi sangat minim atau bahkan mencapai nol. 4.4. Parameter Fisika-Kimia Penunjang 4.4.1. Kecerahan Kecerahan merupakan faktor penting dalam mengontrol produktivitas perairan karena berhubungan dengan tingkat penetrasi cahaya matahari yang akan menentukan laju fotosintesis dan produktivitas primer perairan. Berdasarkan pengukuran kecerahan diperoleh nilai kecerahan dengan kisaran 158,5 161 cm. Nilai kecerahan ini masih berada pada kondisi yang umum di lokasi tersebut. Menurut Henderson dan Markland (1976) in Widiyastuti (2004), nilai kecerahan kurang dari 3 meter dapat digolongkan kedalam status waduk eutrofik sehingga Waduk Ir. H. Juanda ini tergolong sebagai waduk yang tingkat kesuburannya cukup tinggi (eutrofik). Nilai kecerahan yang diperoleh juga masih dianggap baik bagi kelangsungan hidup ikan karena menurut Asmawi (1983), nilai kecerahan yang baik untuk kelangsungan hidup ikan adalah lebih besar dari 45 cm.

Berdasarkan nilai keceraha, kedalaman zona eufotik pada perairan ini berkisar antara 4,76 4,83 m yaitu 3 kali kedalaman secchi disk (Boyd 1981). Hal ini didukung oleh data distribusi vertikal oksigen terlarut (Tabel 9) yang menunjukkan bahwa konsentrasi oksigen mulai menurun drastis di kedalaman 6 meter. Hal tersebut menandakan bahwa kedalaman 6 meter sudah tidak termasuk dalam zona eufotik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Simarmata (2007), dikatakan bahwa nilai kecerahan di Waduk Ir. H. Juanda tidak berpengaruh besar terhadap ketersediaan oksigen terlarut. Hal tersebut dikarenakan kedalaman lapisan eufotik yang tinggi tidak diikuti lapisan oksik yang tinggi. Kecerahan perairan erat kaitannya dengan jumlah intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Intensitas cahaya yang menurun mengakibatkan ketebalan zona eufotik semakin menipis. 4.4.2. Suhu Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi perairan. Hasil pengamatan menunjukkan nilai suhu yang menurun seiring bertambahnya kedalaman (Tabel 12) dengan kisaran rata-rata adalah 27,3 31 0 C. Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 kelas III, suhu yang diperoleh masih layak untuk budidaya perikanan karena berada pada baku mutu yang dianjurkan yaitu 28±3 0 C sehingga sebaran suhu di waduk ini masih dapat mendukung kehidupan ikan. Pada saat pengamatan tidak diperoleh lapisan termoklin yaitu lapisan air yang mengalami penurunan suhu cukup besar yaitu lebih dari 1 0 C/m (Tabel 12 dan Gambar 8) yang memungkinan adanya stratifikasi sangatlah kecil. Pola sebaran vertikal suhu yang diperoleh di lokasi pengamatan relatif sama dengan pengamatan yang dilakukan Widiyastuti (2004) dan Simarmata (2007) yaitu tidak ditemukannya lapisan termoklin. Lapisan hipolimnion diduga berkisar dari kedalaman 14 meter hingga dasar perairan. Menurut Goldman dan Horne (1983), lapisan hipolimnion merupakan lapisan dengan perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil, massa air bersifat stagnan, tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih besar. Lapisan ini cenderung mengandung kadar oksigen terlarut yang rendah dan relatif stabil.

Tabel 12. Distribusi vertikal suhu ( 0 C) di lokasi pengamatan Kedalaman (m) Ulangan 1 2 Rata-rata 0 31,0 30,9 31,0 2 30,5 30,3 30,4 4 30,0 29,8 29,9 6 29,2 29,1 29,2 8 28,5 28,6 28,6 10 28,1 28,0 28,1 12 28,0 27,9 28,0 $14 27,7 27,6 27,7 16 27,5 27,6 27,6 18 27,5 27,5 27,5 20 27,4 27,3 27,4 30 27,3 27,3 27,3 40 27,3 27,3 27,3 dasar* 27,3 27,3 27,3 Keterangan : *kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 49 meter Suhu (⁰C) 27.0 28.0 29.0 30.0 31.0 0 5 10 Kedalaman (m) 15 20 25 30 35 ulangan 1 ulangan 2 40 45 50 Gambar 8. Distribusi vertikal suhu pada saat pengamatan

Terjadinya penurunan suhu seiring dengan bertambahnya kedalaman pada saat pengamatan menggambarkan perairan di Waduk Ir. H. Juanda ini memiliki stratifikasi suhu. Adanya stratifikasi suhu ini disebabkan oleh kemampuan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan karena intensitas cahaya yang masuk ke perairan akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan diubah menjadi energi panas sehingga lapisan permukaan memiliki suhu yang lebih besar dan densitas yang lebih kecil daripada lapisan dibawahnya. Hal ini terjadi karena pengamatan dilakukan pada saat cuaca cerah dan saat matahari bersinar sangat terik. Jika terjadi penurunan suhu secara tiba-tiba hingga suhu di permukaan lebih kecil daripada suhu dibawahnya maka berat jenis air (densitas) di permukaan akan lebih besar daripada di lapisan bawah dan hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pencampuran massa air atau pembalikan. Menurut Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003) kelarutan oksigen akan berkurang seiring dengan peningkatan suhu. Kenyataan di lokasi penelitian tidak sama seperti pernyataan tersebut. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran suhu menunjukkan semakin rendah suhu di dasar perairan maka semakin kecil kandungan oksigennya. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang memberi pengaruh lebih besar terhadap ketersediaan oksigen terlarut, seperti dekomposisi bahan organik di dasar perairan serta adanya proses fotosintesis di permukaan. Dekomposisi bahan organik mengakibatkan berkurangnya oksigen di dasar, sedangkan fotosintesis mengakibatan peningkatan ketersediaan oksigen terlarut di permukaan (zona eufotik). Adanya stratifikasi suhu di Waduk Ir. H. Juanda menunjukkan kondisi yang berpotensi mengakibatkan terjadinya proses pencampuran massa air jika suatu saat terjadi penurunan suhu di lapisan permukaan secara tiba-tiba Berdasarkan pengamatan yang dilakukan melalui beberapa perlakuan (Tabel 13), diperoleh kisaran nilai suhu pada perlakuan 1 adalah 29,3-29,9 0 C; pada perlakuan 2 memiliki kisaran suhu 28,7-29,3 0 C; dan pada perlakuan 3 kisaran suhu yang diperoleh adalah 27,5-28,8 0 C. Nilai suhu rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan 1 dengan nilai 29,6 0 C. Perlakuan 1 merupakan pencampuran dari kedalaman 2 meter dan 8 meter. Selanjutnya nilai suhu rata-rata yang diperoleh dari pencampuran kedalaman 2, 8, dan 12 meter (perlakuan 2) adalah 29,0 0 C;

sedangkan suhu rata-rata yang diperoleh dari pencampuran air di kedalaman 2, 8, 12, dan 49 meter (perlakuan 3) adalah 28,1 0 C. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai suhu cenderung menurun karena perlakuan 3 merupakan hasil pencampuran dari 4 kedalaman yang berbeda termasuk kedalaman di dasar dengan suhu yang rendah sehingga pada perlakuan 3 nilai suhu yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai suhu pada perlakuan 1 dan 2. Tabel 13. Hasil pengukuran suhu ( 0 C) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Ulangan Perlakuan 1 2 3 1 29,9 29,1 28,3 2 29,5 29,3 28,8 3 29,3 28,7 27,8 4 29,7 28,9 27,5 Rata-rata 29,6 29,0 28,1 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 8 m (62,5 ml ; 62,5 ml) Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 8 dan 12 m (35,7 ml; 35,7 ml; 53,6 ml) Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 8, 12 dan dasar (49 m) (10 ml; 10 ml; 16 ml; 89 ml) Hasil pengukuran dari ketiga perlakuan yang dilakukan merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai suhu pada saat terjadi pencampuran massa air sebagian (meromictic) dan pencampuran sempurna (holomictic). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari ketiga perlakuan menunjukkan bahwa nilai suhu yang diperoleh masih cukup tinggi. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh suhu di permukaan pada saat pengukuran karena pada dasarnya umbalan terjadi pada saat suhu dipermukaan mencapai suhu yang lebih rendah daripada suhu di lapisan bawahnya karena intensitas cahaya matahari yang berkurang, sedangkan pada saat dilakukan percobaan, suhu di permukaan masih tinggi (Tabel 12) karena pengaruh sinar matahari sehingga hasil pengukuran suhu yang diperoleh pun masih cukup besar. Nilai suhu yang diperoleh pada ketiga perlakuan masih memenuhi baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001, yang menganjurkan kisaran suhu untuk kegiatan perikanan adalah 28±3 0 C.

Berdasarkan Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 14, diperoleh nilai F hitung lebih besar dibandingkan nilai F tabel yang berarti bahwa percobaan memberikan kesimpulan untuk menolak H 0 atau menerima H 1, artinya sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh yang nyata dari ketiga perlakuan terhadap suhu. Dalam hal ini, perlu dilakukan uji BNT untuk mengetahui perlakuan mana yang memperoleh pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil uji BNT (Lampiran 5) dapat diketahui bahwa pencampuran massa air dari semua perlakuan memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap suhu (p<0,05) kecuali antara perlakuan 1 dan 2 yang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p 0,05). Adanya perbedaan antar perlakuan diakibatkan karena pengamatan pencampuran massa air diambil dari kedalaman yang berbeda-beda sehingga pola distribusi suhu cenderung menurun seiiring dengan bertambahnya kedalaman (Tabel 12 dan Gambar 8) akibatnya pencampuran massa air antar perlakuan tersebut memberikan hasil yang berbeda pula terhadap suhu. Tabel 14. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk suhu SK db JK KT F hit F tabel Perlakuan 2 4,5600 2,2800 14,87 4,26 Sisa 9 1,3800 0,1533 Total 11 5,9400 4.4.3. Derajat keasaman (ph) Kadar ph dapat mempengaruhi toksisitas senyawa kimia di perairan, salah satunya adalah amonia yang dapat terionisasi yang banyak ditemukan di perairan dengan ph rendah. Berdasarkan hasil pengukuran ph di lokasi pengamatan didapat nilai ph yang cenderung menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Berdasarkan data pada Tabel 15, ditunjukkan bahwa nilai ph rata-rata tertinggi terdapat di permukaan yaitu 8,05 dan ph terendah terdapat di dasar yaitu 6,54. Berdasarkan hasil yang diperoleh di lokasi pengamatan, ph di permukaan hingga kedalaman 6 meter cenderung bersifat basa, sedangkan ph pada kedalaman 8 meter hingga dasar perairan cenderung bersifat asam. Pola sebaran vertikal ph pada lokasi pengamatan dapat dilihat pada Tabel 15 dan Gambar 9.

Tabel 15. Distribusi vertikal ph di lokasi pengamatan Kedalaman (m) Ulangan 1 2 Rata-rata 0 8,02 8,07 8,05 2 7,86 8,01 7,94 4 7,71 7,81 7,76 6 7,60 7,64 7,62 8 6,99 6,86 6,93 10 6,75 6,85 6,80 12 6,73 6,72 6,73 14 6,72 6,72 6,72 16 6,70 6,68 6,69 18 6,67 6,66 6,67 20 6,66 6,61 6,64 30 6,65 6,60 6,63 40 6,62 6,57 6,60 dasar* 6,56 6,51 6,54 Keterangan : *kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 49 meter ph 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 0 5 10 15 Kedalaman (m) 20 25 30 35 ulangan 1 ulangan 2 40 45 50 Gambar 9. Distribusi vertikal ph di lokasi pengamatan

Nilai ph yang diperoleh pada pengamatan kali ini masih dianggap cukup tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widiyastuti (2004) yang menyatakan bahwa ph di permukaan pada siang hari adalah 6,75. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai ph yang diperoleh dari hasil pengukuran secara vertikal masih memenuhi baku mutu yang dianjurkan bagi kegiatan budidaya perikanan yaitu 6-9. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan melalui beberapa perlakuan (Tabel 16), diperoleh nilai kisaran ph pada perlakuan 1 adalah 7,31-7,39; pada perlakuan 2 memiliki kisaran ph 6,93-7,11; dan pada perlakuan 3 kisaran ph yang diperoleh adalah 6,61-6,74. Nilai ph rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan 1 dengan nilai 7,34; nilai ph rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 adalah 6,99; sedangkan ph rata-rata pada perlakuan 3 adalah 6,67. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai ph cenderung menurun karena perlakuan 3 merupakan hasil pencampuran dari 4 kedalaman yang berbeda termasuk kedalaman di dasar dengan ph yang cenderung rendah (asam) sehingga pada perlakuan 3 nilai ph yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai ph pada perlakuan 1 dan 2. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi pencampuran air sempurna, maka perairan akan cenderung bersifat asam. Namun, seluruh perlakuan menunjukkan bahwa nilai ph yang diperoleh masih layak bagi kegiatan perikanan. Tabel 16. Hasil pengukuran ph melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Ulangan Perlakuan 1 2 3 1 7,32 6,94 6,69 2 7,34 6,93 6,65 3 7,39 6,97 6,74 4 7,31 7,11 6,61 Rata-rata 7,34 6,99 6,67 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 8 m (50 ml ; 50 ml) Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 8 dan 12 m (28,6 ml ; 28,6 ml ; 42,8 ml) Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2,8,12 dan dasar (49m) (8,2ml;8,2ml;12,2ml; 71,4ml) Menurut Widiyastuti (2004), nilai ph pada siang hari relatif lebih tinggi dibandingkan ph pada malam hari. Hal tersebut dikarenakan adanya proses

fotosíntesis pada siang hari yang banyak menyerap CO 2 bebas. Pada kondisi ini, CO 2 diperoleh dari HCO 3 dengan melepaskan ion hidroksil (OH - ) yang akan meningkatkan ph ke arah basa. Oleh karena itu pula nilai ph di permukaan pada lokasi pengamatan cenderung bersifat basa. Berdasarkan Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 17, diperoleh nilai F hitung lebih besar dibandingkan nilai F tabel yang berarti bahwa percobaan yang memberikan kesimpulan untuk menolak H 0 atau menerima H 1, artinya sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh yang nyata dari ketiga perlakuan terhadap ph. Dalam hal ini, perlu dilakukan uji BNT untuk mengetahui perlakuan yang memperoleh pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil uji BNT (Lampiran 5) dapat diketahui bahwa pencampuran massa air dari semua perlakuan memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap ph (p<0,05). Hal tersebut dikarenakan setiap perlakuan yang diberikan merupakan hasil dari pencampuran massa air yang diambil dari kedalaman yang berbeda-beda dengan pola distribusi ph cenderung menurun seiiring dengan bertambahnya kedalaman (Tabel 15 dan Gambar 9) sehingga pencampuran massa air antar perlakuan tersebut akan memberikan hasil yang berbeda pula terhadap ph. Tabel 17. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk ph SK db JK KT F hit F tabel Perlakuan 2 0,8920 0,4460 118,24 4,26 Sisa 9 0,0340 0,0038 Total 11 0,9260 4.4.4. Amonia (NH 3) Amonia merupakan salah satu senyawa kimia yang bersifat racun bagi biota perairan jika jumlahnya berlebihan di perairan. Kadar amonia yang tinggi bisa menjadi indikasi adanya pencemaran bahan organik. Berdasarkan hasil pengukuran amonia yang dilakukan melalui beberapa perlakuan, diperoleh nilai amonia yang cenderung meningkat dari perlakuan 1 hingga perlakuan 3. Berdasarkan data pada Tabel 18, kisaran amonia yang diperoleh pada perlakuan 1 adalah 0,0068 0,0113 mg/l; pada perlakuan 2 memiliki kisaran amonia 0,0116 0,0151 mg/l; dan kisaran amonia yang diperoleh pada perlakuan 3 adalah

0,0196 0,0227 mg/l. Nilai amonia rata-rata tertinggi pada saat pengamatan terdapat pada perlakuan 3 dengan nilai 0,0213 mg/l; nilai amonia rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 adalah 0,0133 mg/l; sedangkan amonia rata-rata pada perlakuan 1 adalah 0,00896 mg/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai amonia bebas yang diperoleh cenderung meningkat. Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai amonia pada perlakuan 3 tidak memenuhi baku mutu untuk kegiatan budidaya perikanan tawar karena nilai ratarata amonia yang diperoleh lebih dari 0,02 mg/l. Tabel 18. Hasil pengukuran amonia (mg/l) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Ulangan Perlakuan 1 2 3 1 0,0087 0,0137 0,0212 2 0,0113 0,0127 0,0227 3 0,0068 0,0116 0,0217 4 0,0090 0,0151 0,0196 Rata-rata 0,0089 0,0133 0,0213 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 8 m (125 ml; 125 ml) Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 8 dan 12 m (71,4 ml; 71,4 ml; 107,2 ml) Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 8, 12 dan 49 m (20,4 ml; 20,4 ml; 30,6 ml; 178,6 ml) Pada pengamatan ini, tidak dilakukan pengukuran amonia bebas di setiap kedalaman sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti sebaran vertikal amonia di lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi amonia yang diperoleh dari hasil pengukuran pada setiap perlakuan ini dapat menduga bahwa konsentrasi amonia di permukaan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan lapisan di bawahnya. Hal tersebut dapat dilihat dari perlakuan 1 yang memiliki konsentrasi amonia lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 2 dan 3 yang pencampurannya berasal dari lapisan dibawahnya bahkan mencapai lapisan dasar. Kondisi ini terjadi karena proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan yang menghasilkan amonia pada kondisi anaerob, sehingga konsentrasi amonia bebas di dasar lebih besar dan hal tersebut mengakibatkan hasil dari pencampuran massa air pada perlakuan 3 lebih besar dibandingkan perlakuan 1 dan 2. Menurut Effendi (2003),

tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia dan kadar amonia bebas akan semakin meningkat dengan meningkatnya ph namun pada pengamatan ini nilai ph semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Tabel 15 dan Gambar 9). Dari hasil pengamatan diketahui bahwa perlakuan 3 yang diumpamakan sebagai pencampuran sempurna (holomictic) memiliki potensi berakibat buruk bagi kehidupan ikan budidaya. Hal tersebut terjadi karena konsentrasi amonia maupun konsentrasi oksigen terlarut pada perlakuan 3 tidak berada pada baku mutu yang dianjurkan, sedangkan pada perlakuan 1 dan 2 nilai amonia yang terukur masih sesuai baku mutu sehingga jika dilihat dari konsentrasi amonia dari kedua perlakuan maka masih dianggap aman bagi kegiatan budidaya ikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pencampuran massa air sempurna cenderung memberi pengaruh lebih buruk bagi budidaya perikanan karena menurut Effendi (2003) toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, ph, dan suhu. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah. Berdasarkan Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 19, diperoleh nilai F hitung lebih besar dibandingkan nilai F tabel yang berarti percobaan memberikan kesimpulan bahwa sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh yang nyata dari ketiga perlakuan terhadap konsentrasi amonia bebas. Berdasarkan hasil uji BNT (Lampiran 5) dapat diketahui bahwa pencampuran massa air dari semua perlakuan memberi pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap konsentrasi amonia bebas. Tabel 19. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk amonia SK db JK KT F hit F tabel Perlakuan 2 3,1417 10-4 1,5709 10-4 64,62 4,26 Sisa 9 2,1878 10-5 2,4308 10-6 Total 11 3,3605 10-4

4.4.5. Sulfida (H 2S) Hidrogen Sulfida (H 2S) pada kondisi perairan yang anoksik bersifat beracun yang berasal dari sulfat dan terbentuk secara reduksi pada kondisi anaerob oleh bakteri heterotrof (Effendi 2003). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan konsentrasi sulfida dari perlakuan 1 hingga perlakuan 3 cenderung meningkat (Tabel 20). Konsentrasi sulfida tertinggi terdapat pada perlakuan 3 dengan kisaran nilai 0,6292 0,7229 mg/l; pada perlakuan 2 konsentrasi sulfida yang terukur adalah 0,4086 0,5752 mg/l; dan perlakuan 1 dengan kisaran nilai 0,2142 0,4046 mg/l. Berdasarkan data pada Tabel 20 dapat ditunjukkan bahwa nilai sulfida ratarata tertinggi pada saat pengamatan terdapat pada perlakuan 3 dengan nilai 0,6756 mg/l; nilai sulfida rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 adalah 0,4988 mg/l; sedangkan sulfida rata-rata pada perlakuan 1 adalah 0,3050 mg/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai sulfida yang terukur cenderung meningkat. Hal ini terjadi karena adanya proses dekomposisi bahan organik yang banyak menggunakan oksigen sehingga pada kondisi anoksik hasil dari proses dekomposisi tersebut akan membentuk sulfida (H 2S). Tabel 20. Hasil pengukuran Hidrogen Sulfida (H 2S) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Ulangan Perlakuan (mg/l) 1 2 3 1 0,2142 0,4641 0,7045 2 0,3213 0,5474 0,6459 3 0,2797 0,4086 0,6292 4 0,4046 0,5752 0,7229 Rata-rata 0,3050 0,4988 0,6756 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 8 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 8 dan 12 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 8, 12 dan 49 m Pada pengamatan ini, tidak dilakukan pengukuran konsentrasi sulfida di setiap kedalaman sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti sebaran vertikal

sulfida di lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi sulfida yang diperoleh dari hasil pengukuran pada setiap perlakuan ini dapat menduga bahwa konsentrasi sulfida cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Hal tersebut dapat dilihat semakin besarnya konsentrasi sulfida yang terukur dari perlakuan 1 hingga perlakuan 3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai sulfida yang diperoleh pada ketiga perlakuan tersebut tidak memenuhi baku mutu untuk kegiatan budidaya perikanan tawar karena konsentrasi sulfida yang dianjurkan <0,002 mg/l. Namun mengingat adanya parameter lain (DO, ph, dan suhu) yang mampu mendukung kelangsungan hidup ikan budidaya di keramba jaring apung maka tingginya konsentrasi sulfida diduga masih dapat di tolerir oleh ikan budidaya. Berbeda dengan perlakuan 3, pada perlakuan 1 tingginya konsentrasi sulfida tidak diiringi dengan rendahnya DO dan meningkatnya amonia, nilai suhu dan ph yang diperoleh pun masih berada pada baku mutu yang dianjurkan sehingga jika dilihat dari keempat parameter tersebut maka untuk perlakuan 1 masih dianggap layak untuk kegiatan budidaya ikan, sedangkan tingginya sulfida menunjukkan bahwa perlakuan 1 tidak aman bagi kegiatan budidaya perikanan berdasarkan PP No. 82 tahun 2001. Menurut Effendi (2003) pada kondisi aerob, hidrogen sulfida segera dioksidasi oleh bakteri Thiobacillus menjadi sulfat yang tidak berbahaya di perairan dalam jumlah tertentu. Jika konsentrasi sulfida tidak memenuhi baku mutu kegiatan perikanan, diringi dengan kondisi perairan yang miskin oksigen seperti hasil yang diperoleh pada perlakuan 3, maka ikan budidaya yang berada pada keramba jaring apung tersebut cenderung akan mati karena tidak mampu untuk meloloskan diri dari kondisi air yang buruk. Keadaan demikianlah yang biasanya terjadi pada saat terjadi umbalan sempurna (holomictic) dan mengakibatkan terjadinya kematian massal ikan di lokasi keramba jaring apung. Berdasarkan Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 21, diperoleh nilai F hitung lebih besar dibandingkan nilai F tabel yang berarti bahwa percobaan memberikan kesimpulan untuk menolak H 0 atau menerima H 1, artinya sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh yang nyata dari ketiga perlakuan terhadap konsentrasi hidrogen sulfida. Berdasarkan hasil uji BNT

(Lampiran 5) dapat diketahui bahwa pencampuran massa air dari semua perlakuan memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi hidrogen sulfida (p<0,05). Tabel 21. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk Hidrogen Sulfida SK db JK KT F hit F tabel Perlakuan 2 0,2750 0,1375 28,97 4,26 Sisa 9 0,0427 0,0047 Total 11 0,3177 4.5. Pengelolaan Waduk Ir. H. Juanda merupakan salah satu waduk yang dibangun di daerah aliran sungai Citarum, Jawa Barat. Pembangunan waduk melalui bendungan di suatu aliran sungai akan merubah ekosistem air mengalir menjadi ekosistem air tergenang. Perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan biota perairan termasuk ikan. Kegiatan perikanan meskipun bukan merupakan fungsi utama waduk namun keberadaannya berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar waduk. Meskipun pada kenyataannya, pemilik budidaya ikan dalam keramba jaring apung sebagian besar adalah investor yang bukan penduduk setempat, sedangkan kegiatan perikanan tangkap justru berkembang secara alami dan pelakunya adalah masyarakat setempat. Pengembangan teknologi KJA di Waduk Ir. H. Juanda telah menimbulkan berbagai permasalahan yang dapat mengganggu kelestarian sumberdaya air waduk dan usaha perikanan itu sendiri. Kegiatan budidaya ikan yang berkembang pesat saat ini telah menurunkan kualitas perairan waduk. Selain itu, pada kenyataannya unit-unit KJA yang ada juga berfungsi sebagai tempat tinggal dan warung-warung yang menimbulkan limbah sampah. Keramba jaring apung yang tidak beroperasi lagi serta limbah bekas KJA yang rusak seperti drum bekas, bambu, dan plastik juga dibiarkan mengapung di perairan. Apabila terjadi kematian massal ikan pun para pemilik KJA selalu membuang bangkai ikan ke perairan bebas sehingga menambah pencemaran lingkungan di perairan waduk. Kondisi tersebut selain berakibat langsung kepada petani KJA, juga berpengaruh

buruk bagi Waduk Ir. H. Juanda karena menyebabkan semakin meningkatnya beban pencemaran dan menurunnya kualitas air. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini merupakan salah satu pendekatan dalam upaya pengelolaan sumberdaya perairan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan baik karena faktor alam (upwelling) maupun dari kegiatan manusia yang terlibat di dalamnya. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, daerah keramba jaring apung Pasir Jangkung berpotensi mengakibatkan kematian ikan apabila terjadi peristiwa umbalan (upwelling). Hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya konsentrasi oksigen pada perlakuan 3 yang diumpamakan sebagai pencampuran massa air sempurna (holomictic) serta tingginya kandungan amonia dan sulfida yang melebihi batas baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 kelas III yang pada umumnya kematian massal ikan dalam keramba jaring apung yang terjadi setiap tahun merupakan akibat dari naiknya air dasar waduk yang mengandung bahan beracun dan miskin oksigen ke permukaan perairan di area keramba. Kematian massal ikan disamping merugikan para pembudidaya ikan maupun nelayan juga mengakibatkan terjadinya pencemaran perairan dan mengurangi estetika waduk sehingga diperlukan alternatif pengelolaan berupa: 1) Pembatasan jumlah unit KJA Jumlah unit KJA di Waduk Ir. H. Juanda sampai saat ini telah melebihi dari jumlah yang seharusnya karena keberhasilan pemeliharaan ikan di KJA yang meningkat dengan pesat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 10 tahun saja terjadi peningkatan unit KJA yang cukup besar yaitu pada tahun 1994 jumlah KJA sebanyak 850 unit dengan produksi ikan 1.998 ton/tahun (Krismono 2000) dan jumlah KJA pada tahun 2004 adalah 3.216 unit dengan produksi 12.580 ton/tahun (Sudjana 2004). Jumlah unit KJA hingga saat ini bahkan mencapai 4.714 unit (Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta, 2009). Jumlah unit KJA ini sudah dikategorikan dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan tersebut mengakibatkan tidak terkendalinya perkembangan budidaya KJA sehingga perlu dilakukan pembatasan unit KJA yang sesuai dengan daya dukung waduk (Tabel 2). Pembatasan jumlah unit KJA dapat dilakukan dengan cara tidak memberikan izin pembangunan unit KJA baru dan membatasi unit KJA yang boleh beroperasi.

2) Jenis dan manajemen pakan Pakan yang diberikan harus dapat meningkatkan efesiensi pakan dan meminimalkan limbah pakan di perairan waduk. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pemberian pakan yang tepat berdasarkan dosisnya. Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan yaitu dengan cara mengurangi frekuensi pemberian pakan pada kondisi tertentu misalnya pada saat cuaca mendung. 3) Penerapan Early Warning System Sistem ini dimaksudkan untuk mengembangkan sistem peringatan dini (early warning) agar dapat mengantisipasi terjadinya umbalan yang menyebabkan kematian massal ikan. Early warning system dapat diterapkan melalui monitoring kondisi perairan (parameter fisika, kimia, dan biologi); monitoring cuaca secara rutin; analisa dan evaluasi hasil monitoring; serta solusi tindak lanjut yang disebarkan langsung kepada pembudidaya KJA dengan cara diberlakukannya larangan untuk melakukan budidaya ikan pada saat memasuki musim hujan. 4) Penggunaan sistem aerasi Sistem aerasi berguna untuk memperbaiki keterbatasan oksigen terlarut di lokasi KJA sehingga dapat mencegah terbentuknya gas-gas beracun karena kondisi oksigen yang anoksik. 5) Restocking ikan-ikan pemakan plankton Prinsip budidaya KJA intensif akan berdampak terhadap penambahan bahan organik ke perairan yang mengakibatkan terjadinya eutrofikasi sehingga menyebabkan fitoplankton melimpah yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan kualitas air menurun jika tidak ada yang memanfaatkan. Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu dilakukan restocking atau penebaran ikanikan pemakan plankton (plankton feeder) yang tidak bersifat kompetitor dengan ikan lainnya seperti ikan tawes, nilem, nila, bandeng, dan sebagainya. 6) Penyedotan sedimen darí akumulasi bahan organik di dasar perairan Penyedotan hasil akumulasi limbah organik dimaksudkan agar limbah organik tidak banyak yang terakumulasi di dasar sehingga dapat mengurangi penggunaan oksigen dalam melakukan proses dekomposisi dan mencegah terbentuknya gas beracun (H 2S dan NH 3) akibat dekomposisi secara anaerob. Penyedotan sedimen bisa dijadikan sebagai pengelolaan alternatif terakhir mengingat perlunya biaya yang sangat mahal.